Pembantu Rasa Bos (Bab 1-10) GRATIS

12
1
Deskripsi

Bab 1. Diterima Kerja

------

"Jadi kamu janda?!" Sudah punya anak berapa? Umur kamu 39 tahun. Penampilan kamu juga bersih. Saya suka," kata Nyonya Besar yang duduk di sofa.

Dia memegang surat lamaranku yang berisi berkas lengkap yang aku punya. Hanya ijazah terakhirku saja yang tidak aku lampirkan. Masak seorang lulusan Diploma III melamar jadi pembantu, bisa ditolak nanti.

Dia sekitar berusia 75 tahun, kelihatan sekali orang kaya. Baju sutra, perhiasan berkilau dan rambut yang disasak keatas menunjukkan...

Akhirnya aku mendapatkan pekerjaan.
Anita, karyawan senior di rumah ini mengantarku ke rumah Tuan Kusuma Adijaya.

Dalam perjalanan, Anita menjelaskan tentang beliau. Beliau anak sulung Nyonya Besar, mempunyai anak satu perempuan bernama Amelia Adijaya. Anaknya sudah sekolah SMP kelas dua.

Tugasku adalah mengurus rumah dari A sampai Z dan setiap seminggu sekali Anita akan datang untuk mengecek semua berupa laporan tertulis. Termasuk memasak, belanja, bertanggung jawab dengan penataan rumah sampai laporan keuangan.

"Maaf Mbak Anita, pekerjaannya banyak sekali. Saya di sana sendirian?"

"Yang bertanggung jawab Bu Rani sendiri. Ada Pak Maman sebagai sopir dan Bik Inah yang akan bantu. Ada satpam tiga orang, jadwal sudah saya atur, nanti bisa diatur ulang. Namun, nantinya tetap mereka di bawah tanggung jawab Bu Rani" jelas Anita.

"Ini buku yang sudah saya rekap tentang jadwal Tuan Kusuma dan Nona Amelia. Di sini juga dijelaskan apa kesukaan dan apa yang harus dihindari. Lengkap. Ada juga nomor telpon saya yang bisa dihubungi kalau keadaan terpaksa. Bagaimana, Bu? Ada yang ditanyakan?"

Satu buku tebal ditaruhnya di pangkuanku. Dasar orang kaya, cari pembantu sampai seperti ini. Pantesan sampai berbulan-bulan tidak dapat pegawai. Ditraining saja sudah nyeremin.

"Mbak Anita, mau tanya, memang istri Tuan Kusuma ke mana? Apakah sibuk juga?" tanyaku heran, karena semua pekerjaan sepertinya tugas seorang istri bukan tugas pembantu. Apalagi disana juga sudah ada Bik Inah.

"Oya lupa saya. Tuan Kusuma duda. Istrinya meninggal ketika Amelia umur 5 tahun. Ada lagi tugas khusus, yaitu memperhatikan Nona Amelia. Dia sudah ABG, pesen Nyonya Besar harus mengurus keperluan dia. Siap ya, Bu?" kata Anita memastikan kesungguhanku.

"Insyaallah, siap."

*

Mobil sudah memasuki di rumah yang mempunyai gerbang tinggi, nyaris tidak kelihatan orang berdiri dari luar. Rumah design romawi, kelihatan mewah dengan asesoris mahal di sana-sini. Guci kuno, lampu kristal dan hiasan sclupture yang aku tahu itu harganya mahal.

"Ayo masuk, Bu Rani. Di rumah masih sepi. Non Amelia sekolahnya fullday, Tuan Kusuma di kantor sampai sore, jadi cuma Bik Inah yang di rumah."

"Rumah segede ini, hanya mereka berdua saja? Tetapi Bik Inah tinggal di sini, kan?"

"Bik Inah dan Pak Maman suami istri, dia tinggal terpisah di rumah belakang. Ini kamar Bu Rani, sebelah ini kamar Non Amelia, di ujung dekat taman kamar kerja Tuan Kusuma. Kalau kamar Tuan Kusuma ada di atas."

Kamarku besar sekali, ber-AC dan ada kamar mandi di dalamnya. Nyaman sekali. Ini terlalu mewah untuk kamar seorang pembantu. Letaknya berdekatan dengan kamar nona rumah ini. Karena tugas khusus itu, aku harus dekat dengannya.

Anita mengajakku keliling rumah. Rumah dua lantai ini sangat luas dan mewah. Aku harus mengingatnya dengan jelas, takut kesasar.  Setelah berkenalan dengan Bik Inah dan Pak Maman, kami ke ruangan dekat dapur.

"Ini ruang kerja Bu Rani. File semua ada di komputer. Berkas juga ada di folder ini. Maaf agak berantakan, saya tidak sempat merapikan karena harus mondar-mandir ke rumah Nyonya Besar," jelas Anita panjang lebar.

Ruangan ini seperti kantor saja. Ada meja kerja yang di atasnya ada komputer. Beberapa folder ada di rak berjajar rapi. Aku ini pembantu, tetapi kok seperti kerja kantoran. Pembantu yang mempunyai ruangan kerja.

Yang penting gajinya besar! Senyumku mengembang.

"Bu Rani, semua sudah saya jelaskan. Tolong dicari tahu sendiri. Ini ponsel untuk kerja, dan  ini ada brankas untuk simpan uang cash dan ini atmnya. Saldo bisa di cek di internet banking atau mobile banking, data ada di sini. Apa yang ditanya, bu?"

"Saya mengerti. Insyaallah, saya bisa," jawabku mengangguk mantap.

Pengalamanku pernah menjadi manager restoran, mengatur keuangan perusahaan mantan suami,  dan tentunya ibu rumah tangga, aku yakin sanggup.

"Sip kalau begitu. Ada waktu satu minggu untuk tanya-tanya ke saya. Saya mau cuti menikah, Bu," ucap Anita sambil tersipu. Dia masih muda sekitar 25 tahun, hebat dia bisa mengurus rumah besar dan rumah Tuan Kusuma walaupun sementara.

"Jadi, semua keperluan rumah di sini tanggung jawab Bu Rani, termasuk mengurus keperluan tuan dan nona. Sudah saya perinci di berkas yang tadi. Kalau begitu, saya permisi dulu."

Anita mengangguk permisi kembali dengan sopan. Tinggal aku sendiri di sini, Bik Inah masih di belakang mencuci baju dan Pak Maman merapikan kebun di depan.

Aku kembali ke meja kerja untuk mempelajari file di komputer. Uang cash yang ada Rp 8.659.000,- dan saldo di rekening Rp 35.879.453,-, kemudian aku cocokkan dengan laporan sebelumnya. Jadi, aku harus mengelola semuanya untuk keperluan rumah. Pantesan, Nyonya Besar bilang kalau harus jujur karena ini. Folder demi folder aku pelajari dan dimengerti benar. Kerjaan yang berat untuk seorang pembantu, pantas saja digaji tinggi.

Sudah mulai sore, dengan dibantu Bik Inah aku menyiapkan makanan. Sesuai jadwal menu: rendang, opor ayam, dan cah kangkung. Menu sudah ada resep yang harus diikuti, hanya aku modifikasi sedikit. Rendang ditambah koya kelapa, jadi terasa gurih dan lebih kering.

Sepertinya lauknya berat semua. Aku cek di dalam kulkas ada ikan laut, kayaknya enak kalau dibuat pepes bakar. Aku mempunyai resep sendiri, manis, asam, dan pedas sedikit, rasanya segar. Aku mencoba membuat ini, mungkin mereka suka.

Dan, menunggu Tuan Kusuma dan Nona Amelia.

***

"Bik Inah, tolong cobain. Enak, kan?" Aku buka satu bungkus pepes untuk dicoba. Setelah dipanggang sebentar, bau pepesnya terasa lebih enak. 

"Heem, enak Bu. Rasanya seger, tidak ada rasa amis. Enak. Ini saya coba dikit saja, ya. Tak bawa ke belakang buat Kang Maman. Dia suka yang ginian," katanya sambil menunjukkan jempol. Kemudian, dia bergegas merapikan makanan itu dan menyisihkannya.

"Saya mandi dulu ya, Bik? Tuan dan Nona masih lama kembalinya. Tolong dijaga sebentar, ya."  Aku rapikan peralatan dapur dan diteruskan Bik Inah mencuci peralatan dapur. Untuk urusan cuci mencuci diambil alih dia.

*

Terasa hilang pegal di badan dan sedikit terurai otakku yang penuh dengan ingatan file-file tadi. 

Hmmm ... ternyata capek juga.

Aku memakai baju bersih, baju hijau toska dipadukan dengan rok tiga perempat dengan warna hijau tua. Rambut disanggul rapi dan riasan tipis. Mbak Anita sudah berpesan, aku harus selalu tampil rapi dan bersih.

Aku cek ponsel, mungkin ada yang menghubungi. Satu pesan yang masuk, dari Wisnu-anakku.

[Ma, bagaimana pekerjaannya? Mama baik-baik saja?]

[Mama sudah di tempat kerja. Alhamdulillah, kerjaannya baik. Kamu jaga diri. Do'akan Mama selalu sehat]

[Selalu, Ma. Wisnu selalu berdo'a buat Mama. I love you, Ma]

Dia langsung menjawab pesanku, ini menunjukkan dia menantikan balasanku sedari tadi. Terasa sesak di dada, ingin menangis karena perhatiannya . Aku menghela napas dalam-dalam mencari kekuatan. Aku harus kuat dan tega kepada Wisnu, supaya dia menjadi anak yang mandiri dan kuat.

[Iya, sayang. Love you anakku]

Wisnu, dia anak satu-satunya. Setelah berpisah dengan Mas Bram-mantan suami, kami menetap di rumah orang tuaku. Tinggal ibu saja di sana, bapak sudah meninggal. Ibu mempunyai beberapa peternakan ayam yang dikelola rekanan. Nanti hasil usaha akan dibagi sesuai kesepakatan. Hasilnya lumayan untuk kehidupan kami bertiga. Namun, akhir-akhir ini harga tidak stabil, kami mengalami kebangkrutan. Bukan untung, malah tabungan kami keikut untuk biaya operasional.

Minggu kemarin, Wisnu memberi kabar gembira. Kabar ini yang membuat aku bertekad untuk mencari pekerjaan dengan berpenghasilan tetap.

"Mama ...! Mama ...! Aku diterima kuliah!" teriak Wisnu kala itu. Dia berlari dan memelukku. Wajahnya terlihat sangat senang, cita-cita sekolah di perguruan tinggi di Malang tercapai. Arsitektur, jurusan yang menjadi pilihannya.  

"Alhamdulillah, Nak. Akhirnya kerja kerasmu tercapai. Mama senang sekali." Aku mengusap rambutnya yang panjang ikal sebahu.  Rambutnya gondrong, dia berjanji akan memotongnga kalau yang diinginkan tercapai. Badannya sudah kelihatan tinggi, dengan tinggi sekitar 170 cm, kulit sawo matang, dan wajah bersih, dia kelihatan lebih dewasa dan ganteng.

Aku bertekad untuk mengantarmu menjadi orang sukses tanpa mengandalkan Mas Bram, Papamu. 

Sakit hati ini kalau mengingat penghianatannya. Tiga tahun dia membohongiku.

Tiga tahun, aku dibodohi mereka!

Pembukaan cabang di Batam hanya sekedar kedok untuk menyembunyikan istri barunya. Sampai mempunyai anak dua, dan bodohnya aku tidak menyadari penghianatan ini. Aku sangat kecewa dan merasa menjadi orang bodoh sedunia. 

Saat ini,  anggap saja kembali seperti dulu ketika kami tidak pernah kenal. Ya,  kembali dititik awal itu.

Aku menganggap tidak pernah mengenal Mas Bram, dan mencoretnya dari kisah hidup ini. Oleh karena itu, aku menolak dengan tegas pembagian harta ataupun biaya untuk Wisnu. Aku bertekad menghilangkan namanya dari hidupku.

Aku ingin hidup tenang.

Tin ....  Tin .... Tin .... 
Terdengar bunyi klanson mobil.  Aku melongokkan kepala ke depan,  ternyata Nona Amelia pulang dari sekolah.

"Selamat siang, Nona Amelia. Perkenalkan, saya Maharani, panggil saja Rani," ucapku memperkenalkan diri.

"Ini Tante Rani, ya! Wah, sudah dateng!" Dia langsung menghampiriku, memelukku dan  menggelayut manja seperti seorang anak kepada ibunya. Tanpa rasa canggung sedikitpun.  Anak ini manis sekali, sejenak aku teringat Wisnu. Wajahnya cantik putih bersih, memakai baju seragam kotak-kotak, sepatu putih, cantik sekali.

"Non, segera bersih-bersih dan langsung makan, ya. Tante sudah masak buat Non Amelia."

"Ok!" jawab Amelia. Dia langsung berlari ke kamarnya. 

Gegas,  aku menyiapkan makanan di atas meja makan dengan piring, sendok, garpu termasuk napkin yang ditata sedemikian rupa seperti di restoran. 

Di buku panduan tercantum, anak ini menyukai jus mangga, dan tidak suka jus buah naga. Baik, aku buat jus mangga dengan racikan seperti di restoran tempatku pernah bekerja. Dulu sebagai manager, aku tahu benar resep dan rasa yang pas. 

"Wow, enak sekali!" teriak Amelia melihat makanan yang tersedia di meja.

"Heeemmm, jusnya enak banget. Tante racik sendiri, ya?! Tidak seperti biasanya," komentarnya setelah minum jus mangga sampai tandas.

"Mau lagi, Te"

"Cukup ya. Makan dulu. Nanti Tante buatkan lagi setelah makan. Nona, ayo makan!"

Aku ambilkan nasi di piringnya. Pepes kubuka sedikit. Dia memandangku terus, apa yang aku lakukan dia perhatikan.  
Entah, apa yang dipikirkan.

"Tante, jangan panggil aku nona, dong. Aku malu. Panggil aja Amel atau sayang. Seperti temanku dipanggil mamanya. Aku pingin gitu," rajuk Amelia kepadaku. 

Matanya menatapku seperti memohon.

Deg ...!

Aku iba melihatnya.

"Baik. Tante panggil Amel atau sayang, ya. Ayok, sekarang makan. Ini pakai lauk yang mana, Sayang?" 

Kamipun mulai akrab. Ternyata Amelia yang memilihku untuk bekerja di sini. Berkas lamaran yang dikirim lewat online dia pelajari semua, dan jatuh pilihannya kepadaku. Katanya, merasa sudah klik.

Ini kesempatan pertama, dia memilih orang yang bekerja di sini. Biasanya, Nyonya Besar yang mengirim orang untuk bekerja mengurus pekerjaan ini. Kata Amelia, orangnya banyak yang aneh-aneh. Paling lama satu tahun bertahan.

Kami makan bersama, dia memaksa untuk ditemani. Makannya lahap sekali, bahkan sekarang sudah piring kedua. Seperti lapar sekali.

"Sayang, di sekolah apa tidak makan di kantin?"

"Makanan di kantin tidak enak. Amel malas makan. Di sekolah makan camilan aja," katanya sambil mengunyah makanannya.

"Kalau Tante bawakan bekal makanan mau?"

"Mau banget, Tante! Wah, aku bisa pamer sama temanku! Biasanya aku suka dipameri bahkan diledek sama mereka. Mereka suka bawa bekal, katanya mamanya yang buat. Yang enak, ya?" 

Melihat tingkah Amelia, dadaku terasa sesak. Anak ini dari umur lima tahun tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu. 

Kasihan.

Sambil makan, dia terus tersenyum dan sesekali memandangku.

Manis sekali.

***

Hari semakin malam dan terasa sepi. Bik Inah dan Pak Maman pulang ke rumah belakang. Tinggal satpam saja yang di depan. Setelah makan, Amelia langsung kembali ke kamar, katanya banyak tugas sekolah. Rumah sebesar ini terlihat sangat sepi.

Aku berkeliling di dalam rumah, sambil mengenal semua sudut yang ada. Tanggung jawab besar, apapun yang ada, apapun yang terjadi adalah tanggung jawabku. Apalagi Tuan Kusuma jarang ada di rumah, jam segini saja belum sampai. Kasihan Amelia, pantas dia kelihatan girang melihat kedatanganku.

"Non Amelia sudah menunggu kedatangan, Bu Rani. Makanya dia seneng banget. Dia tidak ada teman ngobrol. Kalau ngobrol, Bibik sering tidak nyambung. Bibik tidak mengerti dia ngomong apa," kata Bik Inah tadi siang.

Dari lantai paling atas, separuh lantai atas adalah ruang terbuka. Ada ruang fitnes yang menghadap taman di roff top, di dalamnya berbagai peralatan tersedia, tetapi seperti jarang digunakan. Taman di atas ada teras yang terdapat kursi dan meja panjang, ada beberapa sunbed yang mengarah ke arah timur, cocok sekali untuk berjemur di pagi hari. Semuanya terawat bersih, tetapi terasa kosong. Ada dua kamar di atas, kamar utama-kamar Tuan Kusuma dan kamar satu yang biasanya dipakai Nyonya Besar ketika berkunjung.

Aku buka kamar Tuan Kusuma, kesan maskulin terasa benar. Tercium pengharum ruangan beraroma kayu-kayuan, cat berwarna abu-abu muda, perabotan kayu jati kombinasi dengan metal minimalis dengan sprei warna gelap dan lampu sorot di beberapa titik. Selera interior design zaman sekarang. Aku rapikan beberapa pernak-pernik di atas meja nakas dan aku melihat berkas lamaranku di sana.

Ah, aku berkeliling sebentar saja sudah capek, besuk dilanjut lagi untuk kamar berikutnya. Aku harus menyiapkan apa yang harus dikerjakan esok hari.

Cek kulkas, jadwal yang harus dimasak besuk. Ada titipan belanja dari Bik Inah, bahan-bahan kebersihan. Kata Bik Inah, belanja biasanya di supermarket lengkap di dekat sini. 

Tap ... tap ... tap ... 

Suara langkah kaki yang bersepatu, aku melongokkan kepala dan terlihat laki-laki berumur sekitar empat puluh tahunan, perawakan tinggi agak kurus menenteng tas kerja. Segera aku berdiri menyambutnya, pasti dia Pak Bos rumah ini.  

"Selamat malam Tuan Kusuma, perkenalkan saya Maharani, karyawan baru."

Dia mengangguk pelan sambil tersenyum dan menyerahkan tas kerjanya. 

"Tolong taruh di meja ruang kerja. Saya mau makan, siapkan cepat. Saya bersih-bersih dulu." 

Oh, ini yang namanya Tuan Kusuma. Penampilan seorang bos memang lain. Kelihatan rapi dan bersih. Segera kutata meja makan seperti tadi. Ditambah air putih hangat dan teh manis di sampingnya. Aku menunggu di kursi yang terletak agak jauh dari meja makan.

"Mbak Rani. Kau duduk di sini saja, menemani saya makan sambil ngobrol-ngobrol," kata Tuan Kusuma sembari menunjuk kursi yang harus aku duduki.

"Baik, Tuan."

Mungkin beliau akan mewawancaraiku seperti bos kalau menerima karyawan baru. 

"Ini yang masak Mbaknya, ya? Enak. Rendangnya gurih, dikasih apa? Terus ini pepesnya enak juga," tanyanya sambil mencicipi semua makanan yang tersedia. Mulutnya tidak berhenti mengunyah.

"Rendangnya saya kasih koya kelapa, Tuan. Kelapa sangrai yang ditumbuk halus. Kalau pepes ikannya, itu khas Banyuwangi. Ada rasa asam, manis dan pedas. Tetapi, pedasnya saya kurangi. Apa ada yang kurang, Tuan?" Deg-degan juga sih. Seperti tes masakan saja. Semoga dia suka.

"Tidak, sih. Saya suka semua. Oya, jangan panggil saya tuan. Seperti zaman penjajahan saja," katanya sambil terkekeh. Ternyata dia juga bisa melucu.

"Panggil saya pak atau mas aja!"

"Baik, Pak!" 

Aku sengaja memanggilnya pak, bukan mas. Aku ingin tetap profesional, bagaimanapun dia adalah seorang majikan dan aku pekerja.

"Rani! Aku panggil Rani, ya. Buatkan saya seperti pepes ini, tapi, pakai udang. Buat makan siang saya. Besuk sopir kantor akan ambil. Oya, menu yang Anita susun kamu ganti saja. Terserah kamu, saya tidak sempat mikir. Saya yakin kamu pintar masak!" kata Tuan Kusuma sambil meneruskan makan malamnya. 

Sambil makan, dia bertanya tentang apa yang aku bisa kerjakan. Apakah bisa mengoperasikan komputer, bisa pakai internet dan tentunya bisa masak apa saja. Dia juga menjelaskan, apa saja yang harus dikerjakan. 

"Hal-hal kecil di rumah, tolong kau atur. Saya tidak sempat."

"Baik, Pak. Apa ada lagi yang harus saya kerjakan?" tanyaku setelah makan malamnya selesai.

"Saya masih ada pekerjaan sedikit. Tolong kamu buatkan minuman hangat? Tenggorokan saya, agak tidak enak." 

"Baik, Pak."

Orang kaya memang enak dilihat dari jauh, tetapi sebenarnya tidak demikian. Pagi sampai sore kerja mengatur perusahaan. Malamnya masih kerja lagi. Tanggung jawabnya besar, banyak yang menggantungkan nasib di pundaknya.

"Malam, Pak." Aku ketuk dulu pintu ruang kerja sebelum masuk. Aku mengantar jahe hangat dan camilan biskuit di nampan.

"Terima kasih, ya. Kau duduk sebentar saja. Saya mau bicara."

"Saya minta tolong. Amelia, anak saya. Dia sudah beranjak dewasa. Tolong dia diperhatikan, ya. Saya tidak sempat. Apalagi dia perempuan, kadang-kadang saya tidak mengerti apa maunya. Jangan sampai dia di jalan yang salah. Kasihan dia, pasti dia merasa kesepian," katanya sambil memperlihat raut wajah sedih.

"Kau sudah punya anak, kan?"

"Anak saya sudah lulus SMA, Pak."

"Ok, siip. Anggap saja dia anakmu. Kalau nakal marahin saja. Saya tidak apa-apa kalau demi kebaikan. Tolong habis ini lihat dia, ya!"

"Baik, Pak." 

"Eh, tunggu!" teriak Tuan Kusuma ketika aku akan menutup pintu. Aku membalikkan badan dan mendapati matanya yang menyelidik melihatku dari atas sampai ke bawah. 

Apa aku ada salah, ya?

"Kamu akan sering mendampingi Amelia. Jadi penampilanmu harus sesuai. Besuk, kamu pergi belanja pakaian dengan Amelia. Pakai uang kas. Jangan uangmu!"

"Ba-baik, Tuan. Tetapi, saya sudah bawa baju. Itu tidak perlu. Menurut saya---"

"Tidak perlu bagaimana?! Saya tidak mau anak saya malu karena penampilanmu! Nanti dia diejek sama teman-temannya. Kamu ngerti enggak sih. Jangan samakan dengan di kampung! Sudah, sana-sana!" katanya memotong ucapanku,  sambil mengibaskan tangan menyuruh aku segera pergi.

Huufff ....
Tadi baik, sekarang julid. Seenaknya saja. Tidak mau dibantah. Aku merasa kesal, apa yang salah dengan penampilanku? Bersih dan rapi kok.

Dasar bos!

***

Mas Bram, sebutanku untuk laki-laki bernama Bramantya Atmaja. Dia adalah mantan suamiku. Kami bersama dari masa kuliah dahulu, dan meresmikan setelah mendapatkan ijasah kelulusan. Dimataku, dia orang yang spesial. Dengan postur yang tinggi, badan tegap walaupun tidak terlalu besar, dan kulit sedikit gelap menambah dia kelihatan keren pada saat itu. Dia mengambil jurusan Tehnik Sipil sedangkan aku di D3 Design Interior, pasangan yang sempurna.

Berbekal ilmu dan tekad, kami mulai membuka usaha di Bali. Itu tempat yang kami impikan semenjak dulu. Kami bisa bekerja sekaligus berlibur di setiap harinya. Impian yang indah untuk pasangan baru.

Bertahap tetapi pasti, usaha kami mulai berkembang. Kebahagiaan saat itu menjadi lengkap dengan lahirnya anak lelakiku, Wisnu Atmaja. Harapan menjadi anak lelaki yang bijaksana yang tersirat disitu.

Awalnya, usaha kami masih belum ada hasil memuaskan, untuk membantu keuangan aku bekerja sebagai manager restoran di pusat pariwisata ini. Pengalamanku berorganisasi sangat membantuku. Karirku melesat pesat, dalam dua tahun aku sudah menjadi kepala cabang yang membawahi wilayah Bali dan Lombok.

Kami sepakat untuk konsentrasi ke usaha sendiri dan perkembangan anakku yang mulai beranjak besar. Ini sebagai alasanku keluar dari tempat kerja dan konsentrasi membantu Mas Bram untuk mengelola usahanya

Kami bahagia sekali. Aku dan mas Bram setiap hari bersama.

Usaha kami semakin maju, dan Mas Bram membuka cabang baru di Batam. Katanya ada teman yang mengelola di sana jadi tidak akan merepotkan pekerjaanku di kantor.

Benar, aku tidak direpotkan dengan pekerjaan di Batam, termasuk dengan urusan suamiku. Seringkali dia di sana dengan alasan ada proyek yang mengharuskan dia di sana. Tidak hanya satu atau dua hari, bahkan pernah dia sebulan tidak pulang.

Hari itu. Duniaku seperti terbalik. 

Aku menerima kiriman foto-foto Mas Bram ketika menikah, ketika menggendong bayi dan ketika liburan keluarga. Dan, foto disebelahnya bukan kami. Mereka terlihat bahagia, Mas Bram, perempuan muda yang cantik dan dua anak yang masih balita. Pengirim tanpa nama, dan ketika aku hubungi sudah tidak aktif lagi

Aku tidak memerlukan penjelasan apapun. Ketika itu, Wisnu sudah SMA kelas tiga. Dia tahu benar apa itu artinya.

Hatiku menjadi beku dan mati seketika. 

Pada hari itu juga, kami--aku dan Wisnu--sepakat untuk segera meninggalkan rumah.

Perceraianku diurus pengacara, kami tidak mau bertemu lagi dengan dia. Aku tidak menuntut atau meminta apapun dari dia. Pergi secepatnya, itu saja yang aku inginkan!

Aku anggap, Mas Bram tidak pernah ada di dalam hidupku. 

Dia sudah mati di hati kami.

***

Kriiing .... Kriiing ....

Jam weker berbunyi. 
Pukul empat pagi, kalau di kampung kami dibangunkan oleh azan subuh. Di sini mana ada? 

Aku segera mandi dan siap-siap untuk salat subuh. Kemarin Amelia minta dibuatkan bekal sekolah. Menu ayam pesannya, tetapi bukan ayam kentucky. 

Tadi malam, aku memasak ayam lengkuas. Ayam dibumbui dan spesialnya parutan lengkuas yang berlimpah. Sengaja aku buat rebusan ayam bunbu agak banyak. Jadi kalau mau makan tinggal goreng saja. Digoreng hingga kering, enak dimakan dengan nasi putih.

Menu ini kesukaan Wisnu. Dia kalau dimasakkan menu ini, alamat nasi terancam habis. Tersenyum aku ingat dia. Bagaimana makannya di kost? Dia sudah enam bulan kuliah di universitas negeri di Malang.

"Mama tidak usah kawatir. Wisnu di asrama, banyak temannya. Urusan makan, Wisnu bisa atur. Jangan kawatir, ya." Dia menenangkan ketika  aku tanya tentang pola makannya. Dia tinggal di asrama di dalam areal kampus, jadi lebih aman.

Anakku lebih mandiri, dia adalah kekuatanku. Dia juga yang mendukungku ketika berpisah dengan Mas Bram. Dia menguatkanku ketika aku menangis bahkan berusaha menghiburku, walaupun aku tahu dia juga kecewa dengan papanya. 

Baik-baik kau ya, Nak .... 

"Bu Rani sudah bangun dari tadi? Maaf saya telat" ucap Bik Inah mengagetkanku. 

"Baru aja, Bik. Ini lagi goreng ayam."

"Kapan mulai masaknya. Hmmm ... baunya enak sekali? Bu Rani kalau masak bikin perut lapar. Saya bersih-bersih di depan saja. Daripada ngiler," ujar Bik Inah terkekeh. Aku tersenyum melihat tingkahnya.

*


"Selamat pagi, Tante." Amelia sudah siap berangkat sekolah. Dia cantik sekali. 

"Ini susunya diminum, ya. Rotinya juga dimakan. Harus sarapan," ucapku sambil menyodorkan segelas susu. Dia minum sedikit, kemudian meneruskan memakai sepatu.

"Ayo ini rotinya. Aaak ...," ucapku menyuapinya dengan roti.

"Tante, aku makan di mobil. Ini bekalku, ya. Makasih tante. Love you. Muach ...," dia menciumku dan berlari terburu-buru. 

Hemmm .... 
Anak-anak di mana-mana sama. Selalu terburu-buru kalau mau berangkat sekolah.

Aku teruskan pekerjaanku di dapur, sekali lagi cek belanjaan hari ini.

*

Daftar belanja sudah. Setelah Tuan Kusuma berangkat kerja, Bik Inah akan belanja. 

Makanan pagi sudah aku siapkan. Segelas kopi hitam sedikit gula dan roti. 
Sarapannya orang kaya memang lain. Kalau kita di kampung, kalau belum makan nasi itu bukan makan, tapi camilan. Hehehe.

"Pagi!"

"Pagi, Pak Kusuma. Silahkan makan pagi. Sudah saya siapkan," ucapku.

"Selain tas kerja, apakah ada yang harus dibawa, Pak?" tanyaku untuk memastikan tidak ada yang ketinggalan.

"Hampir saya lupa! Ada map biru, itu proposal proyek di Bali. Pastikan masuk di tas!" teriak Tuan Kusuma sambil menikmati sarapannya.

"Rani! Rani!" teriaknya lagi memanggilku. Aku yang di ruang kerja setengah berlari ke arahnya. 

Ada apa ini? 
Apa aku ada salah?

"Ini bau apa, ya!?" 
Tuan Kusuma berdiri di dapur sambil mengendus-endus mencari bau yang dimaksud.

"Bau apa, Pak?" 

"Ini bau masakan. Kamu masak apa?"
Ya ampun, ternyata bau masakan. Aku pikir bau  kotoran atau apa. Dia mencium sisa ayam lengkuas yang dibawa Amelia.

"O bau masakan? Saya tadi masak ayam lengkuas buat bekal Amelia," jelasku sambil menunjukkan sedikit sisa ayam tadi. Diambilnya sedikit untuk dicicipin.

"Hemmm, enak. Kenapa kamu sembunyikan dari saya?!" katanya sambil mengambil satu potong ayam.

"Nanti siang, saya mau dikirim ini, ya? Dan jangan sekali-kali menyembunyikan makanan dari saya," ancamnya sambil mengambil satu potong ayam lagi.

"Pepes udangnya bagaimana, Pak?"

"Besuk!" ucap Tuan Kusuma, kemudian bergegas keluar untuk berangkat kerja.

*

Daftar belanja sudah siap, Bik Inah dan Pak Maman yang berangkat. Aku masih berkutat dengan urusan folder-folder ini yang belum sempat aku pelajari. 

Dreetttt .... Dreetttt ....  Dreetttt .... 

Ponsel kerja berbunyi, aku sebut ponsel kerja karena ini khusus untuk urusan pekerjaan. Disana sudah lengkap nomor telpon yang berhubungan dengan rumah ini. 

Amelia kirim pesan whatsapp.

Terlihat fotonya ketika makan bekalnya yang dia bawa tadi. Ada dua foto, dikasih judul before dan after. Foto makanan masih utuh dan foto tinggal kotak kosong.

[Makasih Tante sayang. Love you]
Aku tersenyum membacanya. Alhamdulillah.

[Sama-sama sayang]

[Tante, temanku juga suka]
[Besuk bikin 25 kotak bekal seperti tadi ya. Aku mau traktir temenku]
[Porsinya dibanyakin]
[Love you]

Apaaa ...!?
25 kotak ayam lengkuas!?
Ini namanya tragedi! 
Alamat semalaman memarut lengkuas ....

***

Seharian kami sibuk.

Pesanan dadakan ayam lengkuas, langsung dieksekusi hari itu juga. Pak Maman sampai Pak Satpam dapat tugas mengupas lengkuas dan bumbu lainnya. Bik Inah memarut lengkuas. Mereka semangat dengan imbalan nasi kotak ayam lengkuas.

"Lama-lama kita buka pesanan nasi kotak ya, bu?" celetuk Bik Inah sambil tertawa. Aku tersenyum melihat kesibukan ini. Ini benar-benar tragedi!

Aku belanja peralatan untuk nasi kotak. Harus yang bagus, jangan sampai membuat malu. Jadi ingat kalau mau hajatan di kampung.

Tak lupa, siang hari nasi bekal makan siang untuk Tuan Kusuma. Kalau lupa, bisa diomelin lagi. Aku siapkan di food pack khusus, sehingga makanan tetap hangat sampai di tempat. Tadi sudah ada orang dari kantor ada yang mengambil.

Untuk besuk, serundeng lengkuas aku goreng dulu, disimpan di tempat kedap udara. Besuk tinggal goreng ayamnya dan masak nasi. Beres!

Tring ... Tring ... Tring ...

Ponselnya berbunyi. Ada pesan masuk dari Amelia. 


[Tante! Papa bilang, tante suruh jemput Amel ke sekolah. Langsung mau ke mall. Sekarang ya, Te]

[OK]

Aku segera siap-siap. Pilihan pakaianku  kemeja putih dan rok bunga-bunga. Tidak ada asesoris yang mencolok, karena memang tidak punya. Yang penting tampil rapi. Yang penting,  jangan sampai kena marah lagi sama pak bos.

"Pak Maman, ayok berangkat jemput Amel. Dia sudah menunggu! Dia pulang cepat."

*

Sekolah Amelia sangat besar, mobil penjemput berjajar panjang. Semua merk mobil mewah ada disana. Pasti sekolah mahal. Ya iyalah, anaknya bos.

[Tante sudah dimana?]

[Sudah dijalan masuk sekolah. Masih antri. Sabar ya]

[Tidak usah parkir. Amel tunggu di depan gerbang]

[OK]

Kata Pak Maman, antrian panjang mobil penjemput terjadi setiap hari. Ini terjadi juga ketika mengantar sekolah. Makanya, Amelia selalu buru-buru. Oh itu dia, kelihatan Amelia celingak-celinguk melihat mobil yang lewat. Pak Maman berhenti, aku turun membukakan pintu untuk Amelia.

"Tante, duduk di belakang, ya. Bareng Amel," katanya sambil menarikku masuk di bangku belakang. Kami langsung menuju mall sesuai arahan Amelia. 

Sampai tujuan, kami langsung menuju butik langganan mereka. Kata Amelia, ini butik langganan keluarga Adijaya. Selain kualitas bagus, koleksinya juga lengkap. Tersedia dari baju anak muda, tua, wanita atau pria bahkan asesoris juga ada. Ternyata butik ini berkerjasama dengan beberapa designer terkenal.

"Selamat siang, Non Amel." 

Kami disambut beberapa pegawai yang menjaga pintu, diantarkannya menuju ruangan seperti ruangan untuk tamu. Seorang wanita cantik keluar dari ruangan menghampiri kami.

"Hai Amel cantik. Tadi Papi telpon. Sudah tante disiapkan pesanannya. Ini yang namanya Bu Rani?" katanya, dia melihatku dari atas sampai bawah. Aku tersenyum membalasnya.

"Hmmm, badannya ideal. Perlu sedikit polesan saja. Saya Claudia, yang handle anda. Mari ikut saya!"

Kami mengikutinya. 

"Sayang, Tante mau diapain?" bisikku ke Amel.

"Tante mau dimake over," katanya sambil tersenyum.

Ruangan yang kami tuju seperti salon khusus. Aku di lulur, facial dan dirapikan rambutku sedikit. Setelah dua jam, aku dibawa ke ruangan sebelumnya. Terlihat Amelia duduk-duduk malas sambil menikmati camilan yang disediakan. 

"Wow, Tante Rani cantik sekali. Wangi!" teriak Amel sambil memelukku erat. 

"Kamu tidak capek, Sayang? Maaf ya, menunggu lama."

"Gak capek. Demi, besuk diantar jemput tante. Amelia belain, deh," katanya sambil menggelayut manja.

Iya, kemarin Tuan Kusuma bilang akan membelikan baju untukku supaya tidak memalukan anaknya. Ternyata sampai make over keseluruhan. Aku sebenarnya tidak terlalu suka berjam-jam di salon seperti ini. Tampilan sederhana itu saja sudah  cukup. 

Mungkin pikiranku yang kolot ini membuat Mas Bram berpaling ke wanita yang lebih modis dan cantik. Laki-laki memang kalau melihat yang lebih bening menjadi jelalatan. 

Huuft .... Kalau mengingat itu, hatiku terasa sesak.

Terdengar seperti rak didorong.

Benar. 

Tiga rak gantungan baju di dorong ke depan kami.  Diikuti wanita cantik tadi.

Oya, namanya Claudia.

"Coba, kesini Bu Rani. Bajunya pilih sendiri atau saya yang pilih?"

"Dipilihkan saja," jawabku. 

Semua bagus-bagus. Modelnya sederhana tetapi mewah dan elegan. Baju dirak itu aku lihat bandrol harganya ratusan ribu bahkan hampir satu juta bahkan ada yang lebih. Tidak enak, kalau memilih sendiri, bukan uangnya sendiri.

Setelah bolak balik mencoba baju, Amelia dan Claudia yang menilai. Tak hanya baju, tetapi juga sepatu dan asesoris. Aku dibantu dua asisten untuk mendandaniku. Serasa menjadi model dadakan.

Capek rasanya! Kakiku cenut-cenut!

Mungkin kalau perempuan yang gila belanja akan senang sekali. Tetapi, kalau aku tersiksa rasanya.

"Amel, ini belanjaan tidak kebanyakan, ya?"

Tumpukan baju lebih dari satu lusin, asesoris dari anting, kalung, gelang sampai kalung dan juga beberapa pasang sepatu. Berapa totalnya ini?

"Tidak, Tante. Papi tadi yang nyuruh langsung ke Tante Claudia. Sudah tenang aja. Tante nurut aja, Papi nanti marah, lo," katanya sambil senyum-senyum senang.

"Tante, tadi Papi telpon. Katanya langsung ke rumah eyang. Jadi nanti tidak usah ditingguin."

Tring ... Tring ... Tring ...

[Rani]

[Saya langsung rumah mama]

[Jangan ditunggu]

Ternyata Tuan Kusuma yang kirim pesan. Bukannya tadi sudah kasih tahu Amelia, ya. Ada-ada saja.

[Baik, Pak. Kami masih di butik sekarang. Terima kasih atas semuanya]

[OC :-)]


Langsung dijawab pesannya dengan tanda smile di belakangnya. Ternyata bisa santai juga dia.

Berarti, nanti aku bisa langsung istirahat. Tidak usah menyiapkan makan malam dan menunggu Tuan Kusuma yang pulang malam.

"Bu Rani, semua sudah selesai. Untuk semuanya, sudah saya laporkan ke Tuan Kusuma. Ada yang bisa saya bantu lagi?" kata Claudia menggangguk sopan. 

"Tidak terima kasih," ujarku. Aku sudah tidak sabar untuk pulang. Capek!

Ketika melewati cermin besar, aku melirik kebayanganku. Hasil make over, memuaskan!

Sangat memuaskan!

***

Penat rasanya!
Setelah ganti baju kebangsaan emak-emak, daster gombrong, terasa merdeka badan ini.

Aku menggosok kakiku dengan minyak angin supaya pegal-pegalnya reda. Maklumlah faktor usia,  jalan di mall sebentar sudah angkat tangan.  

Seperti biasa sebelum tidur, aku membaca cerita favoritku di aplikasi. Alhamdulillah, bisa istirahat lebih awal.

Tok ... tok ... tok ....

Pintu kamarku ada yang ketok, siapa ya? Apa Bik Inah. Aku buka pintunya, ternyata Amelia dengan menampilkan selarik senyum penuh arti.  Dia membawa guling.

"Ada apa, Sayang?" 

"Tante, aku tidur sini ya. Please," pintanya dengan tampang memelas. Anak ini memang menggemaskan, manja sekali. 

"Iya boleh. Tapi besuk harus bangun pagi!" 

"Beres!" 

Dia langsung menyelonong masuk dan berbaring memeluk guling yang dia bawa tadi.  Iba rasanya melihat anak ini. Bagaimana hari-hari kemarin ketika aku belum datang. Pasti sangat kesepian.

"Langsung mau tidur? Atau mau makan apa gitu?" kataku sambil mengelus rambutnya. Dia menjawab dengan menggeleng. 

"Ya udah, tidur saja."

Aku langsung berbaring disampingnya. 

"Tante .... "

"Hmm .... "

"Aku ingin peluk Tante," kata Amel lirih. Aku rengkuh kepalanya dan dia memelukku erat. 

"Sudah, tidur, ya."

Kubelai rambutnya perlahan-lahan, dan berangsur-angsur pelukannya melemah dan terdengar napasnya teratur. Dia sudah tertidur.

*


Tok ... tok ... tok ....

"Rani ... !"
Ada yang mengetuk pintu kamar dan memanggil namaku. Apa aku bermimpi, ya?

"Rani ...!"
Benar, ada yang memanggil namaku. Aku rapikan rambutku terlebih dahulu. Kemudian membuka pintu kamar, ada Tuan Kusuma di depanku dengan raut wajah kebingungan.

"Rani! Amel hilang! Dia tidak ada di kamarnya!" ucapnya serak. Tersirat kekawatiran yang amat sangat.

"Amel ada di kamar, Pak. Dia tidur."

"Tidak ada! Saya sudah cek! Kamu ini bagaimana, sih! Saya tinggal sebentar saja sudah berantakan!" bentaknya keras sambil matanya melotot.

"Ssttt ...." 

Aku memberi kode untuk tidak berisik dengan menaruh telunjuk di depan mulutku. 

"Bukan di kamarnya, Pak. Tapi di sini, di kamar saya." 
Aku membuka lebar pintu kamar untuk menunjukkan Amelia yang lagi tidur.

Tergopoh, dia menorobos masuk menghampiri anaknya yang lagi terlelap. Dibelai rambut dan dicium keningnya, sambil bergumam entah apa. Pemandangan ini membuatku sangat terharu. Kasih sayang seorang ayah kepada anaknya, terlihat jelas di sana.  

"Amelia tadi malam minta tidur dengan saya. Biarkan dia tidur, Pak. Sudah jam tiga pagi, sebentar lagi juga waktunya bangun," ujarku berbisik. 

"Baik kalau begitu. Saya sangat kawatir tadi. Entah bagaimana kalau ada apa-apa dengan Amelia," ucapnya sambil mengusap wajahnya yang tadi tegang.

Dia beranjak dari tempat tidur dan menuju pintu. Tiba-tiba dia berbalik ke arahku.

"Rani! Tolong jaga dia, ya! Mulai saat ini, tugas utamamu adalah mengawasi Amelia. Apapun yang kau minta pasti saya penuhi. Tapi, tolong jaga dia!" katanya tegas. Raut wajahnya serius sekali, keningnya berkerut.

"Baik, Pak! Saya berusaha sebaik mungkin. Hari ini saya mulai mengantar dan menjemput Nona Amelia," tandasku menekankan kesungguhanku.

"Buatkan saya teh! Supaya saya relax sebentar. Saya di ruang kerja," pintanya,  kemudian bergegas menuju ruangan di ujung rumah, ruang kerjanya.

Langkahnya pasti dengan kepala menunduk. Aku pandangi punggung laki-laki itu, punggung seorang ayah yang sangat mencintai anak gadisnya, punggung seorang yang digantungi banyak nasib para pekerjanya yang ratusan jumlahnya.

"Rani!" teriaknya tiba-tiba. Dia berhenti dan memiringkan badannya ke belakang, dan dengan sekilas dia menatapku.

"Kau sudah kelihatan lain hari ini! Good job!" katanya sekilas sambil tersenyum, dan melanjutkan langkahnya.

Waduh, apa dia memergokiku ketika memandanginya dari belakang, ya? 
Malu aku!

Atau, dia melihat penampilanku yang lebih glowing akibat, make over?

*

Pagi ini hari pertama, aku mengantar Amelia sekolah. Lumayan sibuk, karena harus menyiapkan nasi kotak. Bik Inah dari pagi juga sudah siap. 

Amelia juga dari pagi sudah bangun. Dia ikut terjaga ketika aku salat subuh. Dia seperti terheran dengan apa yang aku lakukan, salat dan mengaji. Segera aku menyuruhnya kembali ke kamar dan siap-siap untuk berangkat sekolah.

"Amel sayang, buka pintunya. Sudah siap belum? Berangkat pagian, ya," ujarku. Aku ketuk pintu kamarnya pelan.

"Taraa ...! Amel sudah siap!" 

Sengaja aku berangkat 30 menit lebih awal. Kata Pak Maman, kalau pagi akan terhindar dari antrian pengantar yang mengular seperti kemarin.

"Tante, aku senang hari ini. Amel seperti teman-teman yang diantar sama orang tuanya. Papi mana sempat seperti ini"

Seperti kemarin, dia menggelayut manja. Nempel terus. Untung aku sudah wangi. Tangannya terus menggenggam tanganku, dan sesekali aku elus lembut dia. Sepanjang jalan terukir senyum di wajahnya.

Aku memakai baju yang dibelikan kemarin. Dress terusan membentuk siluet badan yang panjang melewati lutut sedikit warna coklat susu. Potongan sederhana ditambah scraf motif warna cerah. Rambut aku ikat cepol agak tinggi dengan ikat rambut ada permatanya sedikit, leherku yang jenjang kelihatan lebih indah. Aku memakai sepatu bertumit sedang, warna coklat mengkilat. Badanku yang sudah tinggi menjadi lebih tinggi sedikit.

Tampilan sederhana, tetapi mewah.

Benar. 
Kalau berangkat pagi, tidak ada antrian mobil pengantar. Kami bisa parkir di dekat pintu gerbang. Di depan sudah  ada beberapa guru yang berjaga. Aku ikut turun mengantar Amelia ke dalam diikuti pak Mamang yang membawa makanan. Kami disambut seorang guru, setelah berkenalan ternyata dia guru wali kelas Amelia. Aku menjelaskan, bahwa mulai saat ini aku yang mengurus sekolahnya. Dan, sekalian minta ijin memberikan kotak makan ke teman sekelas Amelia. Sengaja aku lebihkan juga untuk gurunya. 

Amelia sangat senang, dia memelukku sebelum aku pulang.

"Tante, hari ini aku senang. Terima kasih, ya," bisiknya ketika dia memelukku. Aku cium sekilas puncuk rambutnya.

"Love you, Sayang. Belajar yang rajin, ya. Sore tante jemput lagi."

***


Bergegas aku turun dari mobil, waktunya sudah mepet. Aku harus menyiapkan keperluan Tuan Kusuma untuk berangkat ke kantor. Kalau baju kerja, selalu aku siapkan malam harinya dan sudah lengkap ada di ruang pakaian. Sekarang tinggal menyiapkan tas kerja dan makan pagi. 

Segelas teh hangat, air putih hangat, dan nasi uduk lengkap dengan ayam lengkuas yang kemarin dia pesan. 

"Pagi!"

"Pagi, Pak!"

Dia menanyakan tentang bagaimana tadi mengantar Amelia. Setelah itu, dia kembali serius dengan ponselnya. Makan sambil main ponsel. Kalau Wisnu pasti aku marahi.

"Ini tasnya, Pak. Tolong cek apa ada yang ketinggalan."

" Tidak. Hari ini tidak ada meeting," katanya sambil menerima tas yang aku berikan.

"Begitu dong, Rani. Bajumu pas buat kamu. Saya mau setiap hari, kamu berpenampilan seperti ini. Kadang-kadang ada tamu yang datang ke rumah. Atau, tiba-tiba ada tugas keluar. Jadi kamu harus siap selalu. Claudia akan sering-sering datang untuk mengecek penampilanmu," ujarnya sambil tersenyum. 

Dia menatapku agak lama. Dan, tersenyum.

"Ternyata, kamu cantik!"

***

"Papi, aku suka yang ini," kata Amelia putriku. Dia menyodorkan berkas kerja ke tanganku.

Sudah berbulan-bulan kami mencari pekerja yang mengurus keperluan rumah. Ratusan lamaran yang masuk secara online, banyak yang berminat karena gaji yang ditawarkan besar. Anita karyawan Mami, yang menyortirnya dan tersisa lima belas kandidat. Tumpukan berkas itu sudah satu minggu di meja kerjaku tanpa sempat aku sentuh. Aku tidak ada waktu.

Sebenarnya, yang aku cari tidak hanya sekedar pengurus rumah. Namun, teman untuk anakku, Amelia. Diumurnya yang masih labil, dia membutuhkan sosok yang bisa mendampinginya. Aku sebagai papinya tidak sempat dan tidak mengerti kebutuhan anak perempuan seusia dia. Sering kali dia membuatku stres tanpa aku tahu harus bagaimana. Mamiku yang akhirnya turun tangan.

"Papi! Dilihat dong, Pi. Aku pingin cepet punya temen," rengeknya dengan manja. Kebiasaan kalau ada yang diinginkan dia akan menggelendot di lenganku. Dan tidak akan dilepas sebelum keinginannya terkabul. Namun,  kalau tidak ada maunya, dia akan di kamar terus. Bahkan seharian.

"Manja sekali anak Papi. Temenmu kan Papi. Sudah bosan, ya?" Kucubit pipinya gemas.

"Papi sukak tidak nyambung. Aku kan mau yang cewek, Pi. Banyak urusan khusus cewek. Papi tidak bakalan ngerti," bisik Amelia tersenyum geli. 

Anakku sekarang sudah besar, kebutuhannya sudah berbeda. Bagaimana bisa dia curhat atau ngobrol denganku, ketemu saja jarang. Walaupun kami tinggal berdua, kami jarang bertemu. Pagi-pagi dia sudah ke sekolah, aku masih istirahat di kamar. Malam aku pulang dari kantor, dia sudah tidur.

Aku membaca berkas yang disodorkannya. Nama Maharani, umur 39 tahun. Dari fotonya kelihatan orangnya bersih dan pintar.

"Ok! Langsung saja hubungi Anita untuk panggil. Semoga kamu suka, ya." Aku usap dan cium pucuk kepala. 

"Asyik! Terima kasih, Pi! Love you." Dia memcium pipiku dan melesat lari kegirangan.

Aku tersenyum geli melihat tingkah anak tunggalku ini.

***

"Selamat malam Tuan Kusuma, perkenalkan saya Maharani karyawan baru."

Seorang perempuan menyambutku dengan sopan. Ternyata ini pegawai baru itu. Perawakannya tinggi dan besar, tapi tidak gendut. Tidak terlalu cantik tetapi menarik dan bersih. Gestur tubuhnya menandakan dia wanita yang kuat dan percaya diri. 

Maharani. 
Namanya bagus.

*


Makan malamku enak sekali. Dia pintar memasak. Menunya umum, tetapi ada tambahan rasa yang membuat lebih enak. Tumben sekali aku sampai menghabiskan dua piring. Rasa masakan yang segar menggugah seleraku.

Biasanya kami dikirim makanan dari rumah mami atau beli di luar. Namun, lama-lama bosan. Seenak apapun makanan diluar, lebih enak makanan rumah.

Rani.
Itu panggilanku buat dia.

Aku tes dia.
Aku coba menawarkan dia untuk memanggilku mas atau pak. Dan,  dia memilih memanggilku, pak. Pilihannya menandakan dia ingin bersikap profesional. Dia berusaha menjaga jarak denganku.  Dia membuatku semakin penasaran, siapa dia sebenarnya.


Ponselku nyala.

[Kus, sudah di rumah?]

Ternyata Mami yang kirim pesan. Kasihan, diusianya sekarang masih mengurus keperluan rumahku. Terutama, keperluan Amelia cucunya. Dia mengirim Anita-pegawainya untuk mengawasi keperluan di sini. Seringkali aku ditekan untuk menikah lagi, supaya ada yang mengurus katanya. Namun, zaman sekarang susah mencari yang benar-benar tulus dan cocok untukku. Apalagi ada Amelia yang sudah ABG. Aku lebih nyaman seperti ini, tidak repot mengurusi perempuan yang complicated.

[Kus, apa sudah ketemu pegawai baru?]
Pesan masuk lagi ke ponselku.

[Sudah, Mi]

[Cicipin masakannya. Enak atau tidak. Mami belum sempat tes dia]

[Sudah, Mi. Enak]

[Bagaimana menurutmu penampilannya]

[Biasa saja] Balasku singkat. 

Drrrt ... drrrt ... drrrt ....
Wah, Mami langsung telpon. Apa salahku, ya? Biasanya, kalau ada yang penting baru dia menelpon.

"Kusuma, anak mami. Bukan itu maksudnya. Coba liat penampilannya. Ngglubut gitu. Mana bisa kalau diajak pergi sama Amelia. Bikin malu aja! Kamu ngerti enggak, sih. Uwong kok ora mudengan!" 

Mami ngomel tentang Rani. Dia menyebutku orang yang tidak cepat mengerti.  Maksudnya apa? 

"Terus saya harus bagaimana, Mi?"

"Ya sana, kasih tahu Claudia. Itu kan kerjaan dia. Wes, urus semuanya ya. Jangan bikin malu!" teriak Mami kesal. Dia langsung tutup ponselnya. 

Gara-gara perempuan itu aku kena marah! Urusan penampilan, masak aku juga yang mengurus! Membuatku kesal, saja!

Kebetulan dia mengantar minuman ke sini. Aku tawarin dia untuk membeli baju, dia malah menolak. 

"Tidak perlu bagaimana?! Saya tidak mau anak saya malu karena penampilanmu! Nanti dia diejek sama teman-temannya. Kamu ngerti enggak sih. Jangan samakan dengan di kampung! Sudah, sana-sana!" teriakku kesal. 

Perempuan macam apa, sih dia. 
Dimana-mana perempuan kalau dibelanjakan akan hijau matanya. Bahkan akan loncat kegirangan. 
Ini malah menolak. 

Perempuan aneh!

[Claudia. Tolong make over karyawanku. Namanya Rani. Besuk dia ke butik diantar Amelia. Kasih dia penampilan yang terbaik. Dia yang akan dampingi Amelia. Buat supaya tidak memalukan]

Aku langsung kirim pesan ke Claudia, dia pemilik butik ternama langganan keluarga kami. 

Semakin aku ingin tahu, perempuan aneh ini.

***


Kaget sekali aku melihat kamar Amelia kosong. Kemana anak ini, apa dia keluar tanpa pamit? Baru saja aku tinggal ke rumah Mami, sudah hilang!

Oya, Rani.
Ini tanggung jawab dia. 
Anak hilang, dia malah tidur.

"Rani ...!"
Setelah beberapa ketukan, baru pintu kamarnya terbuka. Ternyata, Amelia tidur bersamanya. Lega hati ini. Aku sangat takut terjadi apa-apa dengan anakku ini.

Tersadar aku, ternyata penampilannya sedikit berubah. Wajahnya terlihat cerah, hasil pekerjaan bagus dari Claudia. Rani dengan daster lebarnya dan rambut terurai panjang, kelihatan cantik.

"Rani, tolong buatkan jahe hangat!" teriakku.

Tidak ada jawaban, yang datang malah Bik Inah. 

"Ada apa, Tuan? Bu Rani pergi mengantar Non Amelia ke sekolah. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Bik Inah tergopoh-gopoh.

Oya, aku lupa. Memang hari ini, dia mulai mengantar Amelia ke sekolah. 

Beberapa saat kemudian, terdengar mobil datang. Dia sudah pulang. Aku ingin melihat bagaimana penampilannya. Apakah ada perubahan?

Benar!
Dia kelihatan berkelas.
Tidak lusuh seperti kemarin.

"Ternyata, kamu cantik!"

***

Hampir dua minggu aku bekerja di rumah ini. Sedikit demi sedikit aku mengerti tentang sifat Tuan Kusuma dan Nona Amelia. 

Aku merubah sedikit penataan rumah sehingga terkesan asri dan lebih nyaman, tentunya dengan seijin Tuan Kusuma. Dia membebaskanku untuk mengatur apa yang aku mau. 

Yang aku rombak di bagian dalam rumah dulu. Di depan pintu rumah, di bagian dalam, aku menaruh meja tinggi sebagai foyer yang di atasnya ada pot besar dengan dedaunan hijau dan bunga sedap malam. Jadi ketika masuk rumah, langsung disuguhi pemandangan daun hijau dan bau wangi bunga. Harapannya, masuk rumah langsung hilang aura negatif dari luar.

Di ruang bagian dalam, aku juga meletakkan beberapa bunga hidup di beberapa titik yang aku ambil dari taman belakang. Kesan segar dan nyaman. Dalam hal ini, Pak Maman dan Pak Satpam yang membantuku. 

Ruang kerja Tuan Kusuma juga aku beri sentuhan sedikit. Setiap hari aku rangkai bunga pisang kecil berwarna kuning yang tumbih banyak di taman belakang. Aksen warna kuning dan hijau bisa mengurai pikiran yang kusut. Cocok untuk di ruangan ini.

File-file aku rapikan tanpa merubah susunan awal. Kawatirnya, ketika Tuan Kusuma mencari sesuatu malah bingung. Ada beberapa rak di sana. Koleksi bukunya banyak, bermacam buku ada. Ternyata Tuan Kusuma hobi membaca buku. Ada buku yang dulu aku pernah membacanya.

Dunia Sofie  judulnya, karya Jostein Gaarder.

Buku tentang filsafat. Bagus banget. Walaupun tentang filsafat,  tetapi penyampaiannya ringan dan mufah dimengerti. Buku ini sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, tetapi yang ini dalam Bahasa Inggris. Ini lebih bagus. Kadang-kadang terjemahan merubah penangkapan, walaupun sedikit. Aku ingin membacanya lagi, untuk vitamin otak yang sudah lama beku karena masalah keseharian.  

"Can you speak english?" 

Kaget aku! Aku membalikkan badan ke arah suara itu. Ternyata Tuan Kusuma.

"Bisa, Pak. Sedikit. Maaf, tadi saya rapikan buku-buku dan melihat ini," jelasku. Segera aku meletakkan kembali buku Dunia Shopie dan menutup pintu kaca rak.

"Pernah baca buku itu?" tanya Tuan Kusuma, sambil mendekatiku. Aroma parfumnya menyeruak lembut. Tiba-tiba aku terdiam dan hanya mampu menjawab dengan anggukan. 

Dia buka kembali pintu rak dan diambilnya buku yang tadi. Diulurkannya tangan ke rak bagian atas. Entah, kenapa hangat tubuhnya membuat kulitku meremang? Segera aku menjauh darinya. Aku harus menjaga jarak.

"Ini, kau bawa aja bukunya. Ada beberapa buku dengan pencipta yang sama. Mungkin kamu suka. Kalau ada yang lain, ambil saja!" jelasnya sambil menyerahkan buku itu kepadaku.

"Terima kasih, Pak. Saya permisi!" pamitku, dan segera aku berbalik menuju pintu keluar.

"Rani!"

"Iya, Pak?" Panggilannya, menghentikan langkahku.

"Terima kasih. Rumahnya jadi nyaman," ucapnya sambil tersenyum. 

Aku anggukkan kepala dan pergi, tidak baik aku berlama berdua dengannya. Tidak nyaman.  

*

"Tante! Aku cari di kamar tidak ada, ternyata di sini. Ayook, temenin aku," rengeknya manja. Belum aku jawab, langsung ditariknya tangan ini ke dalam kamarnya.
Kamarnya berantakan sekali. Banyak baju yang digelar di tempat tidur. 

"Kamu lagi apa, Sayang?"

"Besuk mau lari pagi. Mumpung hari minggu. Pakai baju yang mana, ya?" katanya bingung. Aku terkekeh melihat tingkahnya. Mau memilih baju saja, seperti mikir negara. Dasar ABG-anak baru gede.  

"Sekarang cuacanya dingin. Pakai baju ini saja yang agak tebel!" kataku. Baju biru muda bergaris dan celana biru tua.

"Oh iya. Bagus, Tante! Besuk pagi temenin, ya. Putar-putar di komplek saja."

Aku membantu dia membereskan baju yang berserakan. 

Pada laptopnya menayangkan video K-Pop, lagu NCT terbaru, 90's Love. Jadi ingat Wisnu, dia juga penggemar NCT. Kalau di rumah dulu, sepanjang hari layar komputer terpampang video lagu mereka. Bahkan ketika mengerjakan tugas, videonya dikecilkan jadi masih terlihat. Bagaimana bisa konsentrasi? pikirku. Katanya, menambah semangat. Anak-anak sekarang ada-ada saja.

"Amel, suka NCT?" 
Dia seperti kaget dan menoleh ke arahku. 

"Tante tahu NCT?" Dia mendekatiku dengan memasang wajah heran. Mungkin dia berpikir, emak-emak kok tahu grup brondong Korea?

"Tahulah. Tante sering dengar lagunya karena anak Tante suka banget. Setiap hari diputar. Sampai hafal!" jelasku. 

Aku sudah terikut terkontaminasi virus K-Pop terutama NCT. Ini dikarenakan Wisnu, setiap pagi selalu nge-dance mengikuti video latihan mereka. Sekalian olah raga katanya. Bagaimana otak kecilku tidak merekam video mereka?

Diwaktu senggang, anakku itu menceritakan tentang mereka. Dari kesukaannya apa, bahkan arti lirik lagupun dia diskusikan denganku. Dia suka sekali dengan Taeyong dan Ten.


"Oya! Aku suka sama Lukas. Kalau Tante suka siapa?" kata Amel menunjuk layar laptop.

"Tante, suka Doyong. Suaranya bagus!"

"Aku seneng sekali!  Akhirnya Amel ada temen nonton NCT. Tante tidur sini, ya. Kita nonton bareng," rajuknya sambil memelukku.

Duh!
Keracunan lagi, aku.
Keracunan NCT.

***

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Pembantu Rasa Bos (Bab 11-20)
23
7
Pi, boleh enggak minta sesuatu?! Amelia memandang Papinya dengan serius. Aku mau punya kakak! katanya serius.Tuan Kusuma terhenyak, ditaruhnya ponsel dan menatap balik putrinya. Sesaat terdiam dan kemudian dia tertawa terbahak-bahak.Amelia, Sayang. Kalau minta jangan aneh-aneh. Memang ada yang jualan 'kakak'?! ucapnya sambil masih tertawa. Amel merengut melihat tanggapan Papinya itu.Papi, kok ketawa, sih! Amel pingin punya saudara kayak teman-teman Amel! katanya marah.Aku mau Kak Wisnu jadi kakakku!  teriakan Amel mengagetkanku. Aku tersedak kaget. Tawa Tuan Kusuma langsung berhenti. Kami saling tatap tidak mengerti apa yang ada di pikiran Amelia.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan