Di Balik Nama Pena-Niat Menyamar Malah Dilamar (1-10) - GRATIS

0
0
Deskripsi

              “Gila kamu, Lintang! Beneran ingin jadi pembantu? Serius?!” protes Laila temanku. Dia mempunyai perusahaan penyedia tenaga kerja. Biasanya, perusahaanku mencari penjahit dari sana. Sekarangm aku minta tolong untuk mencari majikan yang rewel.

 

“Beneran, Aku serius, La. Aku sudah riset dengan pembokat di rumah, tapi aku tidak dapat feelnya. Walaupun aku menulis fiksi, jangan sampai cacat logika. Iya, kan?”

 

“Tapi, kagak sampai gitu, kali! Kuat, kamu?” Laila memastikan.                ...

 Bab 1. Cacat Logika

 

"Nama kamu bagus. Lintang Astuti. Saya panggil kamu, apa?" tanya wanita tua di depanku. 

Aku mengangkat dagu, menatapnya. Dia duduk tegak dengan kepala mendongak, baju kebaya berhias bordiran dan rambut berwarna  hitam semburat putih disasak ke atas, terlihat jelas, dia seorang priyayi.

"Ditanya kok malah bengong!" 

Suara kerasnya mengalihkan perhatianku.

"As-Astuti saja, Bu." Aku langsung duduk dengan menegakkan badan, namun kepala kembali menunduk menatap lantai.

"Panggil saya, Den Ajeng. Kamu ini tidak bisa masak, tapi pintar bersih-bersih, benar?"

"Iya, Den Ajeng."

"Saya juga tidak butuh tukang masak! Kerjaan kamu membersihkan rumah, jangan sampai ada debu. Kalau nyapu, dirapikan juga. Pembantu yang dulu, kerja tidak pakai otak. Dia nyapu, tapi meja, buffet dan lemari tidak dibersihkan! Kamu beneran bisa bersih-bersih?!" 

"Bisa."

"Saya tidak suka pembantu jorok, bau, apalagi ganjen. Di rumah ini, ada anak saya laki-laki. Sekarang, bawa bawaanmu ke kamar yang di ujung. Satu jam lagi, saya tunggu. Cepat!"

"Iya, Den Ajeng," jawabku, kemudian langsung ke belakang dengan membawa tas lusuh berisi pakaian. 

"Eh, kamu sini dulu!" 

Teriakannya menghentikan langkahku. Aku berbalik menghampirinya.

"Jangan meninggalkan saya bicara dengan memunggungi saya. Kamu harus mundur dulu, baru balik badan. Ngerti?!" 

Aku terperangah mendengarnya, ini hal baru untukku. Aku mengangguk dan melakukan apa yang diperintahkan, mundur beberapa langkah kemudian berbalik menuju kamar.

Suasana terasa berbeda. Terasa jelas, sikapnya menjaga jarak antara majikan dan pembantu. Ada aturan khusus yang baru aku mengerti.

Aku suka ini. 

*

Masih ada waktu tiga puluh menit, aku sudah merapikan kamar kecil yang ditunjukkan tadi. Bersih, rapi dan lumayan nyaman, walaupun jauh dari kamarku di rumah. Di sini hanya ada jendela kecil menghadap halaman belakang, tidak seperti kamarku dengan jendela lebar menghadap kolam renang dan taman.

Yah, di sinilah aku terdampar. Aku ingin riset melengkapi bahan tulisanku sekarang, tentang pembantu yang teraniaya.

"Gila kamu, Lintang! Beneran ingin jadi pembantu beneran? Serius?!" protes Laila temanku, beberapa hari yang lalu. 

Dia mempunyai perusahaan penyedia tenaga kerja, biasanya perusahaanku mencari penjahit di sana. Aku minta tolong untuk mencari majikan yang rewel.

"Beneran. Aku serius, La. Aku sudah riset dengan ngobrol dengan pembokat, tapi aku tidak dapat feelnya. Walaupun, aku menulis fiksi, jangan sampai cacat logika. Iya, kan?" 

"Tapi, kagak sampai gitu, kali! Kuat, kamu?" Laila memastikan lagi

"Kalau bersih-bersih, itu hal kecil bagiku. Asal jangan masak, ya? Laila, semakin orangnya rewel semakin aku suka. Ingat, ya!"

Aku memang mempunyai usaha garmen yang sudah bersistem. Dasar design sepenuhnya dariku dan akan dikembangkan tim design. Sudah ada tim pemasaran, tim produksi, dan ada direktur operasional yang menjalankan keseharian perusahaan. Tugasku hanya kebijakan umum, kontrol dan memberikan design di setiap musim.

Itu saja. 

Seterusnya, aku nganggur!

Saat masuk musim pemasaran dan produksi, aku mempunyai luang untuk menulis karangan fiksi. Awalnya hanya iseng, dan sekarang semakin asyik. Dalam segala pekerjaan, aku menuntut kesempurnaan, termasuk dalam menulis. Aku tidak mau nanti dibully karena masuk akal. Bisa malu, apalagi tulisan ini di posting di internet, yang jejak digitalnya seumur hidup.

Karena itulah, risetku ini harus sempurna. Semua properti disiapkan oleh Laila, mulai dari tas bekas, baju lusuh, sandal jepit trepes, dan ponselku diganti ponsel jadul. Bahkan selama dua minggu, aku dilarang menggunakan lotion atau perawatan kulit lainnya. Beneran dia ngerjain aku.

"Melamar pembokat harus total, pembokat itu kulitnya kagak mulus, kukunya juga bukan bekas meni pedi kayak ini! Supaya penyamaran kamu kagak cacat logika!" papar Laila

Demi riset, aku turuti anjurannya. Mbak di rumah sampai heran, aku ikutan bersih-bersih juga. Pekerjaan seperti ini, sebenarnya bukan hal berat untukku yang menyukai kebersihan dan kerapian. Teman-temanku sampai menyebutku penderita OCD, hanya gara-gara ini.

"Astuti! Astuti!" teriakan dari Den Ajeng. 

Akhirnya, aku harus bersiap memulai riset.

*

Pekerjaan pertama, aku membersihkan dan merapikan ruang kerja anaknya. Selama bekerja, majikanku ini menunggui sambil bercerita tentang keseharian, termasuk anak semata wayangnya ini.

Dia bernama Raden Langit Baksoro. Kesehariannya di perusahaan batik yang sebelumnya dikelola bapaknya--suami Den Ajeng. Sejak suami Den Ajeng meninggal dua tahun yang lalu, Den Langit yang masih kuliah terpaksa berhenti dan konsentrasi di perusahaan warisan itu.

"Kasihan Langit, dia tidak bisa menikmati masa mudanya. Saya pun membantu, walaupun hanya sekedar mengelola keuangan. Itu pun sepertinya tidak sanggup lagi. Langkah Langit begitu cepat, saya tidak bisa mengimbangi," ucapnya dengan menatap jendela. 

Aku mendengarkan keluh kesahnya sambil menata file yang berantakan sesuai dengan abjad, dan merapikan map di meja disamakan dengan warna sampul. Kebiasaanku saat bekerja, entah ini sesuai atau tidak.

"Sekarang saya bingung, Langit membuka pemasaran ke luar negeri. Pembayaran tidak menggunakan rupiah lagi. Orang Singapur minta rekening dollar, orang Jepang minta rekening yen, malah orang Perancis minta rekening euro. Pusing, saya!" Majikanku ini, memijit pelipisnya sambil memejamkan mata.

Aku menoleh ke arahnya, apa yang dipusingkan? Mendapat pemasukan, kok malah bingung. 

"Saya kemarin ke bank langganan, dia hanya mempunyai rekening dollar US. Jadi, kalau ada yang kirim yen, harus diputer dulu ke dollar, itu pun saat penarikan, diputer lagi jadi rupiah. Pusing saya nulis di laporan," ucapnya lagi. Sekarang tidak hanya memijit pelipis, tetapi berpindah memijit kepala dengan kedua tangannya.

"Eh, Astuti! Kenapa saya malah curhat ke kamu, ya. Mana tahu kamu tentang dollar, euro, yen, atau rekening bank!" Satu sudut bibir ditarik ke atas, kemudian dia berjalan mendekati jendela dan berguman, entah apa.

Aku menjadi kasihan.

"Ada tabungan multicurrency namanya. Tabungan dengan dua belas mata uang dalam satu rekening, Den. Kita juga bisa mencairkan dalam bentuk rupiah atau dalam mata uang asing. Tukar valas juga bisa lewat online!" celetukku dengan semangat.

Den Ajeng langsung menoleh ke arahku dengan kedua alis bertaut.

"Darimana kau tahu?" 

Duh! 

Harusnya aku tetap bersikap tidak tahu. Kalau seperti ini, penyamaranku menjadi cacat logika.

Gajah mangan kawat tenan, iki.

Gawat!

BERSAMBUNG

***

 

Bab 2. Hampir Saja

 

Den Ajeng langsung menoleh ke arahku dengan kedua alis bertaut.

"Darimana kau tahu?" 

Aku menatapnya, kemudian meletakkan buku katalog tebal di sebelah komputer. Otakku berputar mencari alasan yang masuk logika. Lucu, kalau baru satu hari penyamaranku sudah terbongkar.

"Sa-saya pernah dengar dari majikan sebelumnya, Den Ajeng. Dia mempunyai barang yang dijual ke luar negeri. Karena saya yang membersihkan kantor, jadi saya sering dengar gituan."

Den Ajeng mengangguk-angguk, sambil berguman, "Aku pikir kamu tahu beneran. Ya tidak mungkinlah. Mosok orang seperti kamu ngerti multi-multian!"

"Yo, wes! Aku tinggal dulu. Ingat! Yang bersih dan rapi!" teriaknya dengan tangan menjulur ke atas rak folder. Kemudian dia memperhatikan jemarinya, terakhir tersenyum, mungkin itu tanda puas.

Lega rasanya.

Aku lolos.

***

Rumah ini lumayan besar. Kelihatan sekali mereka dulu orang berada. 

Bangunan dengan ornamen ukiran kayu dimana-mana. Bagus, namun aku tidak terlalu suka, karena pencahayaan yang kurang, terasa suram. Banyak jendela dan pintu yang jarang dibuka, terlihat dari engsel yang berkarat. Aku merasa ada kemuraman di sini.

Selain aku, ada dua pekerja di sini, Pak Salim sopir merangkap tukang kebun, dan Bulek Ningsih yang membantu Den Ajeng memasak.

Kata mereka, keadaan di rumah seperti ini terjadi semenjak suami Den Ajeng meninggal. Celakanya, dia kecelakaan bersama anak sulungnya yang selama ini membantu di perusahaan. Dikarenakan itulah, Den Langit yang tidak dipersiapkan memegang perusahaan, terpaksa harus turun tangan. 

Mereka juga bercerita, bagian kebersihan yang menjadi bagianku ini, sudah tak terhitung berapa kali keluar masuk. Den Ajeng pencinta kebersihan dan Den Langit yang pemarah, penyebabnya.

Jadi penasaran dengan yang namanya, Langit Baskoro. Modelnya seperti apa dia?

Sebenarnya, cerita ini sudah diperingatkan Laila. Ternyata benar, hanya perlu pembuktian. Aku ingin cepat merasakan menjadi pembantu yang teraniaya.

"Siapa yang masuk ruang kerjaku?!" 

Suara keras mengagetkan kami, Bulek Ningsih memberi isyarat untuk diam dan berbisik, "Ssst .... Itu, Den Langit."

Langkah kaki terdengar mendekati dapur, kemudian terlihat sosok tinggi menjulang, kurus, dan berkulit bersih. 

"I-iya, Den?" Bulek Ningsih langsung menghampiri laki-laki itu, dengan badan membungkuk.

Rambut ikal panjang sebahu dan berewokan, diperparah mata melebar dan dengusan kesal, dia terlihat marah. Seharusnya, seseorang di posisiku merasa takut, tetapi aku tidak bisa merasakan hal itu. 

Ini, satu alasan kenapa harus menjalani riset seperti ini. Aku tidak bisa merasakan rasa yang seharusnya.  Bagiku, dia tidak menakutkan seperti dikatakan mereka.

"Hei! Ini pasti kamu, kan? Yang mengobrak-abrik meja kerja saya? Kamu orang baru! Siapa nama kamu?!" tanyanya dengan menunjuk ke arahku. 

Tindakan yang tidak sopan. Kepada siapapun, seharusnya tidak bersikap sedemikian, walaupun kepada pembantu. Bukannya takut, aku malah terikut kesal. 

"Saya Astuti, baru mulai kerja hari ini. Tadi saya disuruh Den Ajeng untuk menata ruang kerja. Kalau, Den Langit ada yang dicari, saya bisa membantu," ucapku sambil meredam rasa kesal ini. 

Aku menatap wajah yang hampir ditutupi oleh bulu-bulu halus itu. Membayangkan, bagaimana wajah aslinya kalau dicukur bersih. Pasti tidak seseram seperti sekarang. 

"Sini! Kamu carikan invoice yang baru saya tulis hari kemarin! Kamu ini mindah-mindah tanpa ijin! Membuat saya susah saja!" 

Dia berbalik dan aku segera mengikutinya setelah Bulek Ningsih mencolek dan mendorongku.

"Ada dua nota di tanggal kemarin. Ini dan ini." ucapku menyodorkan dua lembar kertas yang dimaksud. 

Tadi saat merapikan tempat ini,

aku tahu, kemungkinan kejadian seperti sekarang pasti terjadi. Karena itulah, aku mengingat dimana saja aku letakkan berkas. Semua aku susun rapi, untuk mempermudah mencari sesuatu.

Laki-laki ini hanya diam menatap dan mengernyitkan dahi, membiarkan tanganku terkatung di udara. Aku juga berbalik menatapnya, berpikir kenapa dia bersikap seperti itu. Apakah aku salah lagi?

"Dari tadi saya tidak pernah ngomong nota. Saya bilang invoice. Darimana kamu tahu, saya mencari nota?" tanyanya setelah beberapa saat tadi terdiam.

Aku menunduk menatap nota di tanganku, mencerna ucapannya. 

Duh!

Aku melakukannya lagi. Kata invoice jarang-jarang digunakan sehari-hari. Harusnya, seperti aku sekarang ini, tidak mengerti apa yang dia katakan. Pemilihan kata, ternyata juga menentukan siapa orang itu.

Bisa jadi aku diusut lagi. Aku harus cari alasan supaya penyamaran tetap aman.

"Eh, maaf, Den. Saya tadi merapikan sambil membaca ada tulisan ini," ucapku sambil menunjukkan tulisan di bagian atas. "Saya pikir, ini seperti nota dari toko. Ada barang dan harga. Makanya saya mikirnya ini. Saya salah, ya, Den?" 

Aku menunduk, bukan karena takut, namun menghindari tatapan yang menyelidik. Aku harus mencari cara untuk kemungkinan yang terjadi berikutnya.

Huuft ...!

Menyamar ternyata susah. Pantas saja, artis dibayar mahal, padahal hanya untuk berpura-pura, namun menyakinkan. Kabarnya, semakin meyakinkan penonton, semakin mahal. Begitu juga tulisan, semakin meyakinkan pembaca dan membuatnya larut, semakin berkualitas. Aku ingin seperti itu.

Aku tetap berdiri dengan sedikit membungkukan badan, meniru sikap Bulik Ningsih saat bicara dengan Den Ajeng. Sesekali mataku melirik dia, yang masih berputar mengelilingi ruangan. Tangannya meneliti setiap folder file yang aku rapikan tadi. Memeriksa semua map yang aku susun di meja. 

Apakah, tindakanku ini salah lagi? Menata sebegitu rapi dan terorganisir. Seharusnya, aku menata dengn asal, walaupun harus menahan gatal di tangan. Sesuatu yang berantakan, membuatku tersiksa.

"Buatkan saya teh manis!" perintahnya setelah duduk di belakang meja kerja. Aku menatapnya dan menunduk lagi, sikap yang seharusnya.

"Baik, Den. Saya suruh Lek Ningsih," ucapku, kemudian mundur beberapa langkah, kemudian baru berbalik.

"Eh, kamu!" 

Teriakkannya menghentikan langkahku, kemudian pelan, kubalikkan badan. 

"Kamu saja yang membawa ke sini. Bantu saya mencari data lainnya!" perintahnya tanpa mengalihkan pandangan dari berkas ditangannya. 

Duh!

Aktingku harus berlanjut lagi, padahal aku sudah merasa kewalahan menjadi orang lain. Di depannya, sepertinya harus lebih hati-hati. Dia bukan orang yang bisa dikibuli dengan mudah.

Huuft ....

BERSAMBUNG

***            

  

Bab 3. Den Langit

 

"Beneran, ini yang nganter sampeyan?" tanya Lek Ningsih memastikan. 

Tadi dia sempat heran, kenapa Den Langit menyuruhku yang mengantar minumannya. Katanya, dia paling anti dengan orang baru.

"Sini dulu, Tik," pintanya, menarikku lebih dekat. Dia mengendus-endus rambut dan bajuku. "Aman! Den Langit itu, paling tidak suka dengan orang jorok. Juga bau wangi parfum seperti minyak nyong-nyong. Sampeyan tidak bau, malah seger."

Dia belum tahu, ini titik terendah keadaanku. Tanpa perawatan apapun, hanya roll on dengan aroma shea butter favoritku.

"Ini, Den Langit." 

Aku menyodorkan teh di sebelahnya, kemudian segera akan berlalu. 

"Heh, siapa yang menyuruhmu keluar? Kamu harus di sini! Siapa nama kamu?!" Teriaknya setelah menyesap teh.

"Saya Astuti."

Dia meletakkan berkas di tangannya, dan berdiri mendekatiku. Bau wewangian kayu menguar lekat bersamaan jarak yang mulai terkikis. Aku mulai sesak napas, dia begitu dekat.

"Minggir kamu, Tik!" ucapnya dengan memegang kedua bahu ini dan mendorong ke samping. Dia membungkuk dan mengambil kardus di rak paling bawah.

Duh! 

Aku kira, dia akan .... 

Kepalaku aku gelengkan dengan kuat, mengusir pikiran yang aneh di otakku.

"Ini kerjaanmu!" 

Dia meletakkan kardus yang masih terikat tali rafia. Membuka dan terlihat tumpukan nota bercampur dengan berkas lainnya. Gatal aku  melihat sesuatu yang berantakan.

"Saya lihat, penataanmu rapi. Urutkan nota sesuai tanggal dan pisahkan dari kertas yang lain." 

Aku memeriksa isi kardus itu, benar-benar berantakan. Bagaimana bisa kerja cepat, kalau mencari file saja kesusahan. Pantas saja, dia sering marah-marah. Mungkin karena ini 

"Berdasarkan tanggal saja, atau dipisah sesuai buyer?"

"Apa?" tanyanya, kemudian ikut jongkok di sebelahku. 

Duh, aku salah ucap lagi.

"E, maksud saya, ini. Tulisan yang ini," ucapku menunjuk tulisan buyer. Seharusnya aku membaca sesuai tulisan, bukan berucap lafal bahasa Inggris.

"Ya, boleh. Ini bahasa Inggris, artinya pembeli. Ngerti?"  

Dia menoleh ke arahku. Dalam jarak yang begitu dekat, wajah imut berbayang dibalik brewoknya itu. Tangannya juga putih bersih,  bulu-bulu halus terlihat begitu jelas.

"Ngerti, Tik?"

"I-Iya, Den," ucapku dengan gugup. 

Rasa gugup yang bukan rekayasa. Aku menunduk menghindari tatapannya, sikap yang tidak pernah aku lakukan saat berhadapan dengan siapapun.

Apa ini?! 

*

"Aman, Tik?" tanya Bulek Ningsih saat kami makan sore bersama. Aku, Bulek Ningsih dan Pak Salim. 

Kami dapat makan, tentunya dengan menu berbeda dengan majikan. Tempe goreng penyet sambal pedas, dan sayur bayam. Menu sederhana, namun enak. 

Sepanjang kebersaman ini, tidak henti-hentinya mereka menginterogasiku. Seputar tentang Den Langit, tentunya. Mereka juga menceritakan siapa sebenarnya dia.

Dia dulu anak periang, manja dan lumayan gaul. Malah dia menjadi vokalis band di kampus. Kegiatannya yang seperti itu, sempat ditentang keras oleh Ayahnya. Namun, pembelaan dari Bumi--kakak yang meninggal kecelakaan--membuatnya dia bisa melakukan kesenangannya kembali.

"Dulu malah sempat akan rekaman, lo, Mbak! Kalau tidak ada kejadian mengerikan itu, pasti  Den Langit sudah jadi artis terkenal!" ucap Pak Salim. 

"Yo kuwi, Tik. Sejak kejadian itu, dia jagi galak. Mungkin setres karena pekerjaan. Yo, maklum lah. Dia itu kehilangan bapak dan Mas Bumi yang dia sayangi. Bulek kan tahu dia dari masih piyik," timpal Bulek Ningsih.

Aku juga menceritakan, tadi membantu merapikan berkas di kantor. Tentunya, tanpa cerita baunya yang masih terasa lekat di penciumanku. Sampai sekarang.

"Dari dulu memang berewokan?" 

"Ya, tidak! Den Langit itu gini," sahut Pak Salim menunjukkan jempolnya. 

"Dan, ceweknya banyak! Kami sampai kewalahan. Ya Pak Salim!" imbuh Bulek Ningsih, kemudian mereka tertawa bersama.

Ternyata dia orangnya seperti itu. Aku mulai mengerti.

*

Malam ini, malam pertama di rumah Den Ajeng. Aku gelisah di tempat tidur, balik kanan dan kiri. Biasanya, pengantar tidurku adalah membaca buku atau main ponsel. Ini, buku tidak ada, ponselpun hanya bisa untuk terima panggilan dan kirim pesan. 

Aku membuka kembali buku harian yang ada gemboknya. Ini catatan hasil riset hari ini yang baru aku tulis, kubaca kembali. 

Pilihan istilah, pilihan kata, ekpresi wajah dan gestur tubuh, penting untuk memperkuat karakter dalam cerita. Ini hanya bentuk yang kasat mata, yang aku dapatkan. Untuk rasa teraniaya sebagai pembantu, belum ada. Aku merasa belum menjiwai peranku.

Aku meregangkan badan. Kamar sempit ini membuatku tidak leluasa bernapas, aku membuka jendela yang mengarah ke halaman depan. Terdengar sayup-sayup petikan gitar. Bukan lagu yang pernah aku dengar, namun iramanya begitu menyayat hati. 

Penasaran, aku keluar kamar dan menuju ke pusat suara itu. Keadaan begitu sepi nyenyat, pintu kamar Bulek Ningsih pun sudah tertutup rapat.

Kelihatan sosok duduk memegang gitar. Dari belakang, aku yakin dia itu Den Langit. Dia sudah tidak memainkan gitar lagi, ditangannya memegang pigura foto. Samar, aku mendengar isakan lirih. 

Dia menangis?

Aku berdiri bersandar di tembok, tidak jauh darinya. Menatap punggung kokok itu yang terguncang pelan. Sinar rembulan menyorot disela-sela dahan pohon. Entah kenapa, hatiku ikut merasa pilu.

"Siapa itu!" teriaknya mengagetkanku. Ternyata banyanganku yang tersorot sinar rembulan, tertangkap olehnya. Mau tidak mau, aku harus menampakkan diri.

"Saya, Den Langit. Astuti," ucapku pelan. Berlahan aku keluar dari balik tembok, disambut tatapan curiga darinya.

"Kamu sudah lama di situ?" 

"Baru saja. Saya ...." Aku bingung harus bicara apa. Aku menoleh kanan-kiri mencari ide untuk alasan. Oh aku tahu!

"Saya lapar. Maunya ingin masak mi instan. Tapi sekarang sudah tidak lapar. Maaf, Den. Saya permisi dulu." Aku langsung melangkah mundur, dan bersiap untuk berbalik.

"Masakkan saya juga!" celetuknya, membuatku berhenti.

"Sa-saya yang masak?" 

Aku menatapnya, waduh bagaimana ini. Beri saya pekerjaan apapun, tetapi jangan memasak, walaupun hanya mi instan.

"Saya bangunkan Bulek Ningsih, ya?"

"Tidak usah. Kamu saja yang memasak. Kenapa?" Dia berdiri dan melangkah mendekatiku. Sinar rembulan menyorot, memperjelas siluet yang membuatku berasa tak biasa.

"Sa-saya tidak bisa menyalakan kompor gas," ucapku kemudian menunduk, menghindari sorot matanya.

Rasa malu membuat pipi ini menghangat, mungkin kalau aku berkaca di tempat terang, pasti merah seperti tomat rebus.

Duh!

BERSAMBUNG

***      

  

Bab 4. Mi Instan

 

"Sa-saya tidak bisa menyalakan kompor gas," ucapku kemudian menunduk, menghindari sorot matanya.

Dengan langkah panjangnya, Den Langit mendekat dan dengan memiringkan kepala dia bertanya, "Selama ini, kamu masak pakai apa?" Tercium nada curiga di sana.

Aku menunduk sambil memilin ujung baju kaos, mengikuti saran Laila. 

"Ini kamu lakukan pada posisi, saat seharusnya merasa gugup atau takut. Gunakan waktu jeda ini untuk berpikir. Mengerti?" ucapnya saat itu. "Jangan bersikap seperti sekarang. Posisikan menjadi orang yang tidak banyak tahu, orang dari tempat yang tidak ada teknologi. Tapi, aku kok ragu, kami bisa melakukan ini."

Huuft, Laila meragukan aku. Belum tahu dia, aku jago berkilah.

"Di kampung tidak ada kompor gas, Den. Kami menggunakan kayu bakar dan kompor sumbu. Sa-saya takut dengan kompor gas, takut meledak." Aku mengangkat dagu, meliriknya sebentar dan kembali menunduk. 

Tidak ada reaksi darinya, dia hanya memandangku. Apa aktingku tidak menyakinkan, ya?

"Ha-ha-ha ...!" Tawanya mengagetkanku, aku menatapnya dengan mengernyitkan dahi.

"Zaman sekarang, masih ada orang seperti kamu. Orang sudah akan pindah ke Mars, eh kamu masih takut kompor gas!" ledek Den Langit dan terus tertawa terkekeh.

Aku melirik dan menarik sedikit ujung bibir ini, akhirnya lolos. 

Untuk hal ini, aku berkata jujur. Ketakutanku karena dahulu saat kecil, pernah terjadi ledakan kompor gas di rumah. Aku mengerti, ini karena kebocoran. Namun, memegang knopnya saja, aku merasa akan ada ledakan kemudian. 

Ketakutan ini sampai sekarang. Karena itulah, aku menggunakan kompor induksi--kompor energi elektromagnetik--cukuplah untuk diriku yang masih lajang. Itupun jarang dipakai.

"Ayo! Aku temani masak!" teriaknya, kemudian mendahuluiku masuk ke dapur. Terpaksa, aku mengikutinya.

"Benar, kamu tidak makan?" tanyanya saat menjerang air. 

"Tidak, Den. Perempuan, tidak baik makan tengah malam," jawabku sambil menyiapkan mangkok dan pelengkap mi instan: sawi hijau, cabe kecil, bakso, dan sosis sapi. Aku beri keratan memanjang di tiga sisi sosir, kemudian baru dipotong-potong, begitu juga bakso dikerat silang.

Dengan cekatan, Den Langit merebus air, memasukkan mi dan pelengkapnya. Setelah itu, memberikan kepadaku. Memang, aku tidak jago masak. Namun untuk penyajian makanan, lumayan bisa diandalkan. Mi dimasukkan mangkok, sawi, dan menyusul sosis dan bakso berbentuk bunga, kemudian aku tata rapi.

"Cantik .... "

Aku menoleh ke arahnya, sejenak suasana menjadi hening. Kesan manis begitu lekat pada laki-laki berewokan ini, jauh dari kata sangar.

"Maksud saya, mi ini cantik! Ada bunga sosis dan bakso. Kalau makan, ada yang cantik gini, jadi semangat!" Kemudian dia duduk di meja makan, menungguku menghidangkan makanan. 

Huuft! 

Aku menghela napas, mengingat kebersamaan kami tadi. Sesaat, aku lupa kalau berperan sebagai pembantu. 

Ini bisa merusak rencana risetku.

Kalau ketahuan, bisa jadi Den Ajeng menyebutku ganjen. Pembantu yang berani menggoda anak majikan. 

Ganjen yang artinya genit, ya, bukan gajah mangan jenang.

*

Pagi subuh, aku sudah dibangunkan Bulek Ningsih. Setelah salah bersama, kami memulai aktifitas. Bik Ningsih pergi ke pasar dan aku mulai membersihkan dalam  rumah.

Tadi sempat ditanya Bik Ningsih, apakah aku memasak tadi malam. Aku jawab saja, Den Langit yang masak, tanpa menceritakan kalau aku menemaninya. 

Aku mulai dengan membersihkan ruang keluarga. Jajaran pigura foto, tertata rapi di atas meja panjang. Beberapa, ada foto hitam putih menggunakan baju tradisional dan foto di waktu sekarang.

Di dinding ada foto dengan pigura kayu berukir indah. Den Ajeng duduk memangku bayi, diapit seorang laki-laki berkumis dan seorang anak laki-laki. Mereka menggunakan baju adat Jawa. 

Sebentar!

Ada pigura foto yang tergeletak di meja depan televisi, aku mengambilnya. Dua remaja laki-laki berangkulan. Yang satu berkumis tipis dan satunya lagi terlihat masih muda dan menawan. Mereka tertawa bersama, tawa yang mirip. Mungkin yang berkumis ini Den Bumi, kalau begitu, yang menawan ini adalah Den Langit?

Ya, aku ingat. 

Tadi malam, aku melihatnya terisak sambil memegang pigura foto. Berarti, foto ini yang membuatnya menangis. Mungkin dia merindukan kakaknya.

"Tutik! Ambilkan saya berkas meeting hari ini di map warna merah. Saya tunggu di meja makan," ucap Den Langit mengagetkanku. Tiba-tiba saja dia ada dibelakangku. Pelan, aku letakkan pigura foto itu, dan berbalik menghadapnya.

"Nama kamu Tutik, kan?"

"Astutik, Den."

"Yah, sama saja! Aku panggil kamu Tutik saja! Dengar yang saya suruh tadi?"

"Iya," jawabku, kemudian mundur dan meninggalkannya. Aku berusaha menjaga jarak, demi riset berhasil.

Aku meletakkan sapu dan lap di belakang, mencuci tangan, kemudian ke ruang kerja. Tadi aku akan mengambil map warna merah, tetapi di meja ada tiga tersebut. Satu berisi berkas penawaran barang, kedua berisi portfolio, dan yang ketiga berisi perjanjian kerja sama. 

Kalau melihat isinya, ini pasti ketiganya akan dibawa. Semua menunjang untuk bahan meeting.

"Ketiga map saya masukkan di tas ini, Den. Tolong diperiksa. Apakah ini benar?" Aku meletakkan di kursi di sebelahnya. 

Den Langit menaruh sendok dan garpu, kemudian menatapku. "Saya tadi bilang apa? Kenapa kamu berikan ketiga map? Saya bilang jumlahnya?"

"Ada apa, Lang? Kok ribut?" Den Ajeng, ibunya baru saja datang dan duduk di depannya. "Astuti ada salah?" tanyanya lagi.

Aku menatap Den Langit dan Den Ajeng bergantian, kemudian dengan menundukkan kepala menjelaskan alasanku. "Tadi Den Langit menyuruh mengambil map warna merah, karena di meja ada tiga, ya, saya bawa semua."

"Kenapa kamu tidak ambil satu?" tanyanya menyelidik. Aku merasa, dia mulai mencurigai sesuatu. Kalau aku jelaskan, isi ketiganya adalah bahan meeting, pasti dia akan curiga.

"Ka-kalau begitu, saya salah. Maaf." 

Aku harus bersikap tidak mengerti dan bingung, dengan mengembalikan map itu ke ruang kerja. 

"Saya akan kembalikan ini," ucapku sambil meraih tas berisi map tadi. Aku terkesiap, tanganku yang memegang tas, digenggamnya.

"Kamu tidak salah. Ini benar, kok," kata Den Langit dengan nada melunak. Tangan satunya melepas tanganku, dan sekarang tas berada di tangannya. Aku terpaku dengan tangan masih menggantung di udara. 

"Langit, Langit! Kamu ini jangan jahil ke Astuti. Kasihan dia!" celetuk Den Ajeng menyadarkanku. 

Segera aku permisi dan meninggalkan mereka. Meregangkan badan yang pegal karena selalu membungkukkan badan. Sikap badan yang biasanya tegak, sementara aku tinggalkan. Leher juga terasa kaku, seharian harus menunduk. 

"Tik, dipanggil Den Ajeng" panggil Bulek Ningsih dari jendela dapur. 

"Saya?" tanyaku sambil menunjuk diriku.

"Iya, cepetan. Di ruang tengah."

Aku langsung ke sana, semoga tidak ada masalah. Aku kawatir, dia tahu tentang kejadian semalam.

Di ruang tengah, sudah ada mereka berdua yang duduk di kursi sofa. Den Ajeng langsung menunjuk kursi kecil, untuk aku duduk. Ada apa lagi ini?

"Astuti, kamu kemarin bicara tabungan multi-multian itu, lo? Saya sudah cerita kepada Langit," ucap Den Ajeng.

"Tabungan di bank apa itu?" tanya Den Langit dengan menatapku lekat.

Duh, aku harus cari cerita yang tepat dan masuk akal di pikiran mereka. Dengan begitu mereka percaya dan aku bisa melanjutkan programku ini.

"E .... Saya pernah ikut majikan ke bank. Momong anaknya, Den. Itu, bank yang plangnya merah yang dekat alun-alun. Saya baca promosi yang dipasang. Tulisannya tabungan multicurrency, katanya satu nomor tabungan bisa berisi dua belas mata uang. Majikan saya yang tanya ke tukang bank," paparku dengan hati-hati. 

Aku berusaha memilih kata yang paling sederhana, supaya tidak ketahuan. Ternyata susah juga.

"Bank apa namanya?" tanya Den Langit. 

"Sa-saya tidak tahu," jawabku cepat. Kalau aku kasih tahu nama banknya, aku akan terkesan menggurui mereka. Tidak! Aku harus tetap bersikap tidak tahu, walaupun mulut ini sudah gatal.

"Kalau begitu, besuk kamu ikut aku ke sana!" ucapnya setelah minum dan beranjak pergi. Begitu juga Den Ajeng, mengikuti Den Langit ke depan, mengantar anak semata wayang berangkat kerja.

Aku diam mematung. Kalau aku ikut dia ke bank, bisa jadi berantakan.

Duh! 

Bagaimana caranya mengatasi petugas costumer service di bank itu. Sedangkan, aku sudah dikenal sebagai nasabah prioritas.

Pusing, aku!

BERSAMBUNG

***         

     

Bab 5. Berbincang

Sampai malam hari, aku belum menemukan solusi untuk hari besuk.

Tidak mungkin menyuruh petugas bank untuk tidak mengenaliku. Apalagi, kelebihan pelayanan mereka adalah mengenal lebih dekat nasabah. Mulai satpam, teller, dan costumer sevice, setiap aku datang pasti menyapa dengan menyebut namaku, Mbak Lintang.

Usahaku memang mengembangkan toko kain warisan. Setelah kedua orang tuaku meninggal secara bersamaan karena kecelakaaan, terpaksa aku yang mengelola. 

Saat itulah, aku menerapkan ilmu yang aku dapat dari sekolah fashion design. Aku membuat design pakaian dengan menggunakan stok kain di toko. Meningkatkan nilai jual dan mengembangkan jangkauan pasar.

Untuk mempercepat langkahku, aku menjual toko dan berpindah ke pinggiran kota dengan lahan yang lebih luas. Ini juga satu caraku untuk bertahan hidup, menyingkirkan kesedihan akan kehilangan mereka. Sejak itu, aku yang anak tunggal menjadi sebatang kara. 

Bermodal pengetahuan pasar, aku menawarkan melalui internet ke beberapa calon pembeli di dalam dan di luar negeri, jangkauan yang tidak terbatas. Aku juga mengikuti pameran yang disponsori oleh departemen perdagangan.

Sampai sekarang, usaha ini berkembang pesat. Aku membangun sistem kerja, sehingga perusahaan tetap jalan, walaupun aku tidak berada di kantor sepanjang waktu. 

Hal-hal kunci saja yang tetap di tanganku, seperti design dasar dan tema di setiap musim, juga pengeluaran anggaran dana di setiap musim produksi. 

Designku ini yang menjadi identitas disetiap produk yang berlabel, Lintang Soul.

"Astuti ... Astuti .... Buka pintu, ini Bulek Ningsih." Namaku dipanggil sambil ketukan di pintu kamar. Segera aku membukanya.

"Tik, ke depan, yuk. Pak Salim beli martabak," ucap Bulek Ningsih sambil menarikku untuk mengikutinya.

Pak Salim memang tinggal di rumah ini juga, tetapi di bangunan terpisah. Di depan dekat pintu gerbang, ada bangunan kecil sebagai tempat tidur Pak Salim. Sekalian jaga dan membukakan pintu gerbang saat ada yang datang.

"Kok sepi, Bulek?" tanyaku setelah melihat ke sekeliling. Di garasi tinggal satu mobil tua yang parkir, mobil Den Langit tidak ada.

"Den Ajeng dan Den Langit pergi kondangan. Temenin saya di sini, ya," sahut Pak Salim. 

Kami berbincang, sekalian aku menggali informasi tentang mereka berdua. Mereka sudah lama kerja di sini, malah semenjak Den Langit sejak bocah. 

Mereka juga bertanya tentangku. Aku ceritakan saja bahwa aku sebatang kara, pastinya tanpa menyebut pekerjaanku sebenarnya.

"Sabar, ya. Anggap saja kami ini saudaramu. Jangan merasa sendiri," ucap Bulek Ningsing sambil menepuk bahuku. 

Sebenarnya, aku tidak suka menceritakan hal ini. Teringat kejadian tragis itu, membuat hatiku terasa perih kembali.

Aku hanya mengangguk, kemudian melanjutkan menikmati martabak telor ini. Mengusir sedih di hati.

Makan apapun kalau bersama-sama, rasanya lain. Aku merindukan kebersamaan ini. Sudah lama, aku tidak makan sambil berbincang santai seperti ini.

Keseharianku selama ini diisi dengan bagaimana cara supaya berkembang atau sekadar bertahan, minimal bisa menggaji karyawan. Perbincanganku hanya seputar pekerjaan dan teman berbicara pun para manager. 

Setelah mulai menulis, aku seperti mendapatkan dunia baru, teman, sahabat, bahkan penggemar. Walaupun ini sekadar di dunia maya. Aku bisa saling menyapa tanpa ada jarak. 

Pernah aku mempunyai penggemar yang ternyata penjahitku sendiri. Awalnya, aku tidak mengenalnya karena dia bagian produksi. Dari dialah, aku bisa berbincang biasa seperti sekarang. Bertanya tentang apa yang diharapkan atau apa yang dikeluhkan, tanpa ada canggung. 

Ya iyalah, dia hanya tahu  sebatas nama pena.

Selama mendengar obrolan mereka, aku melirik mobil antik yang kelihatan tetap mengkilap. Mobil Jaguar klasik Land Rover berwarna tosca. 

Aku penasaran.

"Pak Salim, itu mobil siapa? Bagus."

Bulek Ningsih dan Pak Salim langsung terdiam, saling pandang dan menatapku bersamaan. Aku mengernyitkan dahi, ada apa ini?

Bulek Ningsih mengusap kedua lengan dan menoleh ke kanan kiri. "Astuti ... jangan tanya hal gituan. Aku merinding," celetuknya.

Aku semakin tidak mengerti, menoleh ke arah mobil itu. Warna tosca dengan lampu bulat berbingkai warna silver, terlihat cantik. Apalagi jaguar loncat menambah mobil ini terlihat berkelas. Aku suka.

"Itu mobil Den Besar, suaminya Den Ajeng. Mobil inilah yang dipakai saat kecelakaan itu," ucap Pak Salim dengan suara pelan. "Sejak itu, mobil tidak pernah dipakai, yah, paling saya yang panasin putar komplek saja."

"Awalnya, pintu depan penyok. Setelah dimasukkan bengkel, jadi bagus lagi," tambah Bulek Ningsih.

"Kadang-kadang, Den Langit duduk di dalam mobil itu. Lama banget." Tatapan Pak Salim menerawang, tergambar kesedihan. "Anak itu,  kasihan. Sejak ditinggal keduanya, hampir tidak pernah istirahat. Setiap hari, kerja dan kerja terus. Penampilan sampai tidak terurus seperti itu."

"Iya, Tik. Walaupun penampilannya sangar, Den Langit itu hatinya lembut. Kalau marah atau ngomel, kami ini maklum. Mungkin dia capek kerja. La wong kata orang, pabrik batik dulunya hampir bangkrut." 

"Tapi sekarang maju, Yu," sahut Pak Salim memotong ucapan Bulek Ningsih. "Sekarang itu, malah yang datang wong Londo. Embuh bicara apa. Cas cia cus, gitu."

"Den Langit, bisa?"

"Wah, malah lancar. Mereka pesan banyak, malah pabrik sekarang kewalahan."

"Memang Kang Salim tahu, mereka omong apa?"

"Ya tidak tahu. Kira-kira aja!" jawab Pak Salim sambil tertawa, disambut gelak tawa Bulek Ningsih.

Aku tersenyum mendengar percakapan mereka. Ada rasa pengertian dan sayang saat Den Langit kelihatan lelah, dan ada harapan ketika yang diusahakan mulai berkembang. Rasa sayang terpancar dari ucapan mereka 

"Astuti, kita tidur, yuk. Katanya besuk akan pergi dengan Den Langit?"

"Eh, iya, Bulek. Aku hampir lupa."

Duh iya, aku lupa belum tahu caranya meloloskan diri. Ini tidak bisa dibatalkan, kecuali kalau aku benar-benar tidak bisa, mungkin karena sakit. 

Yah, betul!

Karena sakit.

***

"Tik ... Astuti ...." Suara Bulek Ningsih, kemudian terdengar pintu dibuka pelan. 

"Kamu sakit, Tik? Badanmu kok panas?!" 

Tangannya meraba keningku, aku membuka mata dan mencoba menjawab pertanyaannya. Namun, aku tidak mampu. Tenggorokanku serak dan sakit. Penyakitku kumat.

Yes!

Usahaku berhasil!

Bulik Ningsih menyelimutiku sampai leher, dan memastikan kakiku juga terselimuti. Aku menatapnya nanar sambil menunjuk leher ini.

"Kamu istirahat saja, Bulek yang nyapu. Dibuatkan teh anget, ya. Nanti tak ngomong ke Den Langit, kamu sakit," ucapnya kemudian pergi meninggalkanku.

Aku tersenyum lemas teringat usahaku tadi malam. Radang tenggorokanku pasti kambuh saat minum air dingin, apalagi air es dalam jumlah banyak. Itu yang aku lakukan semalaman. Ditambah, kipas angin yang terpusat kepadaku dengan kecepatan maksimal. 

Biasanya kalau kambuh, radang akan menjalar ke pita suara, dan suaraku menjadi serak.

Ini demi riset untuk tulisanku berikutnya.

Duh!

Sampai berkorban seperti ini.

BERSAMBUNG

***

 

Bab 6. Merasa Disayangi

 

Biasanya kalau kambuh, radang akan menjalar ke pita suara, dan suaraku menjadi serak, seperti sekarang ini.

Aku meringkuk menahan tenggorokan yang sakit, kalau dibiarkan bisa bertambah parah. Penyakit ini sudah langganan untukku, biasanya kalau terlalu banyak minum air dingin atau terlalu lelah. Segera aku kirim pesan ke dokter langganan, untuk mengirim obat seperti biasanya. Tentunya, dikirim atas nama Astuti ke rumah ini.

"Tik? Apa bulek kerok? Kamu ini masuk angin, kalau dibiarkan bisa parah. Mau, ya?" bujuk Bulek Ningsih, setelah meletakkan teh hangat.

Aku menggeleng, kemudian menunjuk leher yang sakit. "Saya sudah pesan obat. Sebentar lagi dikirim," ucapku dengan suara serak. Aku meringis menahan sakit.

"Wes, tidak usah banyak bicara. Minum dulu teh ini, nanti tak belikan bubur saja. O ya, Den Langit juga sudah pergi, malah bareng Den Ajeng," jelasnya melegakanku.

*

Setelah makan bubur, minum obat yang dikirim tadi, dan tidur, keadaanku membaik. Sakit di tenggorokan berkurang, walaupun suara masih terdengar serak. Hanya kepala masih terasa pusing. 

Aku beranjak ke kamar mandi yang terletak di belakang untuk membersihkan badan. Lebih segar setelah ritual ini.

"Sudah baikan?"

Aku menoleh ke arah suara itu. Den Langit berdiri di taman belakang dengan membawa secangkir teh yang masih mengepulkan uap panas. Dia masih menggunakan kemeja rapi dan bersepatu, kelihatan kalau dia baru datang. Apalagi, terlihat tas kerja yang biasa dibawa tergeletak di atas meja taman. 

"Sudah, Den," ucapku cepat. 

Kenapa orang ini sudah di rumah? Bukankah biasanya dia pulang sore?

"Permisi, Den. Saya ke ...."

"Eh! Kamu duduk di sini dulu!" perintahnya seraya menunjuk kursi taman satunya.

Masak baru keluar kamar mandi langsung ditangkap. Walaupun keberatan aku mengangguk dan menuruti kemauannya.  Pembantu harus nurut majikan, asal masih di dalam batasan. 

Aku duduk di kursi besi berwarna putih.  Sambil memegang handuk lembab, aku menunggu apa yang akan diucapkan. 

Dia meraih tas dan menunjukkan brosur berwarna dominan merah. "Maksudmu ini, kan?" Dia menyerahkan kepadaku.

"Iya. Betul, Den Langit," jawabku setelah melihat brosur bertuliskan nama bank yang aku maksud.

"Saya sudah membuka rekening tabungan multi currency di sana. Terima kasih, ya. Saran kamu membantu. Tadi ibu juga ikut ke bank sebelum ke bandara," ucap Den Langit.

"Den Ajeng pergi?"

"Iya, Ibu ke Jogja."

"Kamu ini, lucu," ucap Den Langit tiba-tiba, setelah beberapa saat kami terdiam. Dia menatapku sambil tersenyum. Seketika, wajah di depanku ini terlihat lebih menawan. Sangar dan galak menghilang sudah. 

"Ok! Kamu istirahat dulu saja. Tenggorokanmu pasti sakit, tuh suaranya masih serak."  Dia berdiri dan kembali tersenyum kepadaku. Kali ini lebih lebar. 

Den Langit menghela napas, kemudian dia berkata, "Kenapa kamu tidak ngomong kalau tidak mau mengantar saya? Kamu tidak perlu sampai sakit seperti ini."

Aku menatapnya sejenak, memahami apa yang dimaksud. Apa ...?

"Saya tahu, semalaman kamu hilir mudik ke dapur dan minum air dari kulkas. Kamu sengaja sakit, kan?" ucapnya sambil meraih tas di meja, kemudian meninggalkanku yang semakin meremas handuk ini.

Mati, aku!

*

Hari ini, aku menghindar bertemu Den Langit. Rasa malu hari kemarin, masih lekat di ingatan. Sengaja aku membersihkan areal belakang dulu, sampai dia benar-benar pergi ke kerja. 

"Tik, Tutik!" Bulek Ningsih tergopoh-gopoh menghampiriku. "Kamu ini masih belum sembuh kok sudah kerja. Tak cari kemana-mana ternyata malah nyapu di belakang. Tuh, dicari Den Langit!" 

"Dia belum berangkat?"

"Sudah!" 

Bulek melihat ke sekeliling, dia mengerutkan keningnya dan berkata, "Wong ini sudah bersih, kok mbok bersihkan lagi. Kamu nyari kerjaan, ya. Sampai cabut rumput segala. Ayo, sarapan! Nanti kamu tidak sembuh-sembuh! " Dia mengambil sapu ditanganku dan menarikku untuk mengikutinya.

Memang sih, halaman belakang sudah bersih. Hanya aku mencari pekerjaan saja untuk menghindarinya. Aku melihat kuku tanganku yang sudah tak berbentuk, perawatan yang selama ini rutin aku jalani tidak berbekas.

"Tenggorokanmu, kan sakit. Ini makan bubur ayam. Ini spesial, lo," ucapnya dengan mengedipkan mata.

Aku menatapnya heran, tetapi langsung teralihkan dengan mangkok bubur ayam yang baunya menggoda. Suwiran ayam dengan kuah kuning yang menggenang, ditambah sate telor puyuh. Aku langsung melahapnya, tekstur yang lembut membuatku mudah menelannya. Ini memang bubur spesial, rasanya enak banget.

"Bulek pengertian, ya. Bubur ayamnya tidak pakai kacang goreng dan kerupuk. Tahu kalau tenggorokanku sakit. Terima kasih, ya," ujarku senang. 

Sarapan ini memulihkan tenagaku. Selain itu, aku merasa disayangi. Di tempat ini, ternyata aku mendapatkan perhatian lebih di saat sakit. Pak Salim dan Bulek Ningsih tidak menganggapku orang asing.

Setelah orangtuaku meninggal dunia, aku seperti orang yang kesepian. Beruntung masih ada pegawai kepercayaan dari toko kain. Merekalah yang melanjutkan kesetiaan untuk bersamaku. Ada Mbak Rahmi yang dahulu kasir di toko, aku jadikan asisten pribadiku. Pak Mamat yang sebelumnya memegang operasional toko, sekarang di posisi pengadaan barang.

Mbak Rahmi seorang janda ditinggal mati, dialah yang menemaniku di rumah. Dia sudah seperti kakakku sendiri. Saat aku sakit, dia yang paling sibuk mengurus ini dan itu, termasuk menyediakan bubur seperti yang aku makan barusan.

"Bulek Ningsih ...." 

Aku menatapnya terharu setelan dia menyodorkan teh hangat. 

"Opo, Tik? Rasah nangis. Di sini, kita jadi saudara." Dia duduk di sebelahku dan menggenggam tangan ini.

"Terima kasih perhatiannya. Dibelikan bubur, dibuatkan teh hangat. Terima kasih." 

Aku menyandarkan kepala di bahu yang tebal. Hangat tubuhnya mengingatkan aku kepada almarhum ibu. Perawakannya tidak jauh berbeda dengan Bulik Ningsih, gemuk dan hangat.

"Salah alamat kamu, Tik. Jangan bilang terima kasih ke Bulek. Memang yang belikan bubur siapa? Bukan Bulek!" ucapnya, membuatku kaget.

Aku langsung menarik kepalaku dan menghadapnya. "Memang siapa. Pak Salim, ya?"

Tidak menjawab, malah dia menyodorkan sesisir pisang hijau di depanku. Ini, aku anggap jawabannya, iya. Pak Salim yang membelikanku. 

"Katanya, kamu makan ini juga supaya cepat pulih." 

Benar juga, buah yang paling tepat untuk sakit radang tenggorokan, ya, pisang ini. Selain untuk menambah stamina tubuh, makannya tidak membuat tenggorokan sakit. Lumayan, sebagai teman minum obat.

Rencana tema cerita sepertinya harus diganti, bukan pembantu teraniaya. Namun, persahabatan antar pembantu yang saling membantu dan saling perhatian di perantauan. Tema ini belum tersentuh. Risetku ini, memunculkan banyak pilihan tema.

"Pak Salim, terima kasih sudah membelikan saya ini dan itu. Nanti saya akan ganti," ucapku menyambut Pak Salim yang masuk ke dapur.

Dia menatapku dan Bulek Ningsih bergantian dengan tatapan tidak mengerti. 

"Tik, ini bukan dari Pak Salim. Bubur ayam yang belikan Den Langit, termasuk yang kau makan sekarang. Itu pisangnya Den Langit!" 

Uhuk!

Aku yang makan pisang, kaget sampai tersedak. 

Jadi ini pisangnya ....

BERSAMBUNG

***

 

Bab 7. Kamu Tanggung Jawabku

 

Sejak pembicaraan kemarin, aku selalu diolok-olok oleh Bulek Ningsih dan Pak Salim

"Tik, pisange enak?" 

"Yo enak, to, Yu. Pisange Cah Bagus rasane spesial," sahut Pak Salim, diakhiri tawa mereka.

Aku hanya menanggapi dengan senyuman. Mendengar suara tawa di rumah ini, menimbulkan suasana yang berbeda. Gak apa-apa, lah, aku dijadikan obyek. 

Namun, guyonan ini tidak berhenti sampai disitu, pembicaraan tentang aku dan Den Langit mulai bergulir. 

Seperti sekarang. Kami makan sarapan bersama, tentunya setelah Den Langit pergi kerja. Nasi pecel dengan lauk tempe goreng. 

"Den Langit tidak bawa mobil?" tanya Bulek Ningsih ke Pak Salim.

"Tidak Yu Ningsih. Pakai motor, seperti kebiasaan dulu." 

"Mungkin ada yang diincer, tapi siapa? Wong berangkat pagi, pulang juga sore. Ketemune kapan? Kak Salim selalu sama Den Langit, kan?" 

Aku mengernyitkan dahi, tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Mobil, motor, kebiasaan, incer, kata-kata yang tidak bisa digabungkan.

Setelah aku tanya, Pak Salim menceritakan, kebiasaan Den Langit dulu saat masih kuliah. Dia akan menggunakan motor kalau ada perempuan yang di dekati. Kata Pak Salim, dia bilang untuk mempermudah operasional. 

Huuft, dasar playboy gondes--gondrong deso--deketin perempuan supaya bisa berboncengan bareng dengan tanpa jarak, kan. Aku kesal, membayangkannya.

"Yu, Den Langit koyokke suka sama Tutik, ya," celetuk Pak Salim. 

"Iya, selama ini Den Langit selalu marah dan memecat orang yang memegang tugasmu, Tik. Wes, kita sampai bingung. Tapi, sama kamu kok lain, ya," timpal Bulik Ningsih 

"Anehnya, pas kamu sakit, dia kelihatan bingung banget. Belikan bubur, pisang, dan sempat menyuruh beli obat. Ya, saya bilang, kamu sudah beli obat sendiri. Sikapnya mencurigakan, kan, Yu?"

"Koyokke ada tanda-tanda, Kang. Tutik ki, tidak peka!"  ujar Bulek sambil menepuk bahuku.

"Dia begitu karena kerjaan saya bener, Bulek, Pak Salim. Jangan suka prasangka, deh. Nanti aku GR!" protesku sambil tertawa. "Den Langit suka dengan hasil kerja saya. Makanya dia baik, susah lo, cari orang seperti ini di zaman sekarang." 

Aku menepuk dada menyombongkan diri, walaupun sebenarnya menekan degub jantung yang mulai tak biasa. Teringat senyumnya itu. Huuft!

***

Pekerjaanku tidak hanya membersihkan rumah, namun lebih banyak menata berkas di ruang kerja. Ini atas perintah Den Langit. 

Semua rak, satu persatu aku rapikan. 

[Mbak Lintang, saya butuh tanda tangan. Kita janjian di mana?] 

Pesan dari Mbak Rahmi asisten pribadiku. Selain Laila, Mbak Rahmi juga tahu penyamaranku ini. Dia yang aku tunjuk sebagai perantara orang kantor dan aku.

[Satu jam lagi di toko pojokan yang ada pohon rindang] 

Aku membalas pesan, kemudian bergegas merapikan tumpukan berkas ini.

"Bulek Ningsih, saya ke toko dulu."

"Beli apa, Tik? Minta tolong Pak Salim saja, dia di depan." Dia meletakkan panci di kompor dan mendekatiku. 

"Den Langit makan siang di rumah. Itu saya buatkan soto daging kesukaannya. Kalau kamu pergi dan dia mencarimu gimana? Saya tidak ngerti kalau disuruh cari ini dan itu."

Aku menatapnya sambil mencari alasan untuk bisa keluar menemui Mbak Rahmi. 

"Harus saya sendiri, Bulek. Belanjaan saya untuk datang bulan. Tidak enak kalau menyuruh Pak Salim membeli pembalut wanita," jawabku cepat setelah terbersit alasan ini. Aku menepuk lengan Bulek dan segera pergi.

*

"Mbak Lintang kapan pulang?" Pertanyaan yang menyambutku setelah masuk ke mobil luxury MPV yang diparkir di depan toko.

Aku tersenyum dan duduk menikmati sejenak kursi yang biasanya aku pakai ini. Mataku terpejam, pelan, sandaran kursi diturunkan. Kebiasaan Mbak Rahmi, saat aku lelah, dia mengatur semuanya termasuk sandaran kursi ini.

Setelah beberapa saat terdiam, aku membuka mata. Terlihat mbak Rahmi tersenyum memandangku dan berucap. " Capek?  Pulang saja, ya?" Dia menyodorkan jus kegemaranku, jus strawberry.

"Belum waktunya, Mbak! Huuft, segarnya!" teriakku sambil meregangkan badan. "Kita mulai kerja sekarang?!" 

Kami mulai serius bekerja, mendiskusikan tentang laporan dari beberapa manager. Mbak Rahmi mencatat semua yang aku sampaikan di setiap laporan mereka. Setelah itu, aku bubuhkan paraf di bawahnya sebagai penguat bahwa ini adalah perintahku.

Ada beberapa even perjamuan, yang seharusnya aku datangi. Beberapa aku tunjuk manager yang bersangkutan, namun ada satu yang harus aku hadiri. 

"Ini masih satu bulan lagi. Yang ini, saya sendiri yang datang. Tolong diingatkan!" ucapku menunjuk undangan grand opening butik di ibu kota. 

Yang mengharuskanku datang, karena nama pemilik tertera di sana. Dia sahabatku dulu di kampus, Mahardika namanya. Banyak kenangan indah bersamanya, kenangan dalam ikatan persahabatan. Sudahlah, itu masa lalu. 

"Ini BG untuk operasional season ini, dan yang ini untuk operasioal sehari-hari," ucap Mbak Rahmi seraya meletakkan dua lembar surat berharga yang tertera nominal yang cukup besar.

Aku baca berkas yang terlampir, anggaran yang diajukan dari divisi produksi dan manager keuangan. Setelah cukup, aku bubuhkan tanda tangan di BG--Bilyet Giro-- ini.

Ini dana yang aku kucurkan dari kas besar ke kas operasional. Nantinya, bagian keuangan yang akan mengatur sesuai proposal yang diajukan ini. Disetiap pembayaran suplayer, dana akan dikeluarkan tetap menggunakan BG, dengan otoritas tanda tangan manager keuangan.

Sengaja, aku memilih BG dibandingkan cek. Keduanya terlihat sama, namun berbeda pada ketentuan pencairan dana. 

Cek dapat diuangkan secara langsung berwujud tunai atau cash di bank terkait. Sedangkan, BG tidak bisa diuangkan cash, tetapi dengan pemindahan dana dari rekening nasabah kepada rekening pihak yang namanya tertera.

Karena itulah, semua terlacak jelas aliran dana pada laporan bank--rekening koran--yang terbit dari bank.

"Selesai!" teriakku kemudian menyeruput minuman kesukaanku. 

Mbak Rahmi tidak berhenti menatapku dan membujuk untuk segera pulang.

"Mbak Lintang, setelah pulang harus masuk salon dan spa," ucapnya sambil memegang tanganku dan mengamatinya. 

"Segitu parahnya?" Aku mengambil cermin di box perlengkapan. 

Mobil ini seperti alat tempur, di belakang lengkap beberapa box perlengkapan yang aku butuhkan. Mulai dari sepatu, baju, make-up, bahkan bantal tidur. Semua sudah diatur oleh Mbak Rahmi ini.

"Sudahlah, saya harus cepat kembali. Sekitar dua minggu lagi saya pulang. Tolong jaga rumah dan perusahaan. Oya, mana yang aku minta?" 

Dia mengambil tas kulit lawas berwarna coklat, tas lawas milik bapak dulu. Aku meminta alat tulis dan ponsel bekas yang bisa untuk online. Cukup untuk sekadar menuangkan cerita yang sudah penuh di otakku. Sementara, aku menulis cerpen untuk pengingatkan pembaca bahwa aku masih ada.

"Baiklah, terima kasih, ya," ucapku, kemudian memeluk Mbak Rahmi. 

Terlihat matanya berkaca-kaca saat menatapku. Aku segera berpaling, dan keluar dari mobil. Terlalu lama berbincang dengannya akan memudarkan niatku sekarang.

Berlahan, mobil meninggalkan pelataran toko.  Aku menatapnya dan akan segera masuk ke toko. 

"Tutik!"

Teriakan dan cekalan di tangan ini mengagetkanku. Hampir saja, aku menendang orang ini. Namun urung, saat kaca helm full face terbuka. Wajah yang sering terlitas di pikiranku, terlihat. Dia Den Langit.

Duh!

Dia menatapku lekat setelah membuka helm, ada kilatan amarah di sana. Ada apa?

"Kenapa kamu masuk mobil orang tadi!"

"Saya?" 

Sesaat aku lupa akan peranku. Duh! Susah sekali kalau mempunyai peran ganda. Aku harus kembali menjadi Astuti.

"Ta-tadi ada mbak-mbak yang tanya alamat. Saya cuma kasih tahu saja," ucapku memberi alasan.

"Itu sangat berbahaya, Tik! Kalau di dalam sudah ada laki-laki yang menunggu, bagaimana? Kamu dibius dan diculik! Mengerti!"

"Tapi, Den ..."

Dia memotong ucapku dengan menunjuk telunjuk di bibirnya. 

"Sudah! Jangan membantah! Kamu ini tanggung jawabku! Saya tidak mau terjadi hal buruk padamu!"

Aku menatapnya, menikmati bentuk kemarahan yang menumbuhkan geleyar indah di hati ini. Termasuk tangan yang masih memegang pergelanganku.

Ops!

BERSAMBUNG

*** 

 

Bab 8. Harapan Tak Biasa

 

"Mana belanjaanmu?!" Masih dengan kedua alis bertaut, tetapi kilatan mata yang mulai meredup.

"Belanjaan?" tanyaku seperti orang linglung. Mungkin dia bertambah kesal, karena aku tidak menciut, malah menatapnya dengan senyuman. 

"Kamu ke sini akan belanja, kan?" Nada suaranya mulai melunak. Dia menarikku untuk duduk di kursi yang disediakan di depan toko.

Aku langsung tersadar, bahwa tadi minta ijin Bulek Ningsih untuk belanja. Tanganku meremas ujung baju, mengalihkan perhatian selagi mencari apa jawaban yang tepat. Kalau aku mengatakan belum belanja, itu pasti mencurigakan 

"Oh, belanjaan saya di mana, ya?" Aku mengedarkan pandangan, pura-pura mencari belanjaan.

"Aduh! Saya lupa ambil! Ketika di mobil tadi, belanjaan saya letakkan di lantai mobil. Orang tadi sudah minta tolong, malah belanjaan saya diembat!" ucapku dengan kesal. Aku menunduk dan menepuk dahiku untuk meyakinkan rasa kesal.  

"Sudahlah! Tidak usah mikir belanjaan. Yang penting kamu selamat!" 

Aku yang masih menunduk, melirik sekilas Den Langit. Memastikan dia percaya, dan senyum lega terbit, ketika semuanya aman.

"Den Langit kenapa ada di sini? Belanja juga?" Aku mengangkat pelan wajah ini, pasang tampang tanpa dosa.

Dia melirikku sebentar dan tersenyum. Tidak ada jawaban, dia malah menyunggar rambut dan mengikat di bagian atas. Seandainya aku jadi karetnya, aku akan terikat kuat di sana. Otakku mulai berhalusinasi, bermain kata andai. 

"Saya membutuhkanmu. Sekarang ikut saya!" ucapnya langsung beranjak, dan berjalan menuju motor 

Aku menatapnya, tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Den Langit membutuhkan aku? Sekarang mengajakku naik motor, itu artinya yang dikatakan Pak Salim benar. Ada yang diincar, dan itu aku. 

"Tutik cepetan, keburu sore!" teriaknya sambil mengacungkan helm. 

Ya, itu helm untukku. 

Kekawatiran lain timbul, apakah sekarang kepalaku muat di helm itu? 

Aku merasa kepala ini membesar.

*

"Kita sudah sampai!" 

Kami memasuki pelataran bangunan besar dengan astitektur kuno. Di parkir sisi lain, ada tiga mobil box dan berjajar banyak sepeda motor. Den Langit parkir di sisi lain, ada plang kayu bertuliskan pimpinan.

"Tutik, mulai di toko tadi, kamu lebih banyak bengong. Jangan-jangan kamu diguna-guna orang mobil tadi. Kok kayak orang linglung," ucap Den Langit sambil menerima helm yang aku pakai tadi. 

"Ini dimana?" Aku masih mengedarkan pandangan, kemudian terpaku pada tulisan di sebelah pintu masuk. 

Batik Sasmita.

Ternyata, kami di pabrik batik keluarga Baskoro. Pak Salim sering menceritakan pabrik warisan ini.

"Ayo ikut aku!" 

Setengah berlari, aku mengejar langkah panjangnya. 

Huuft, dia tidak tahu kalau kakiku ini masih pegal. Selama perjalanan, kaki ini menahan untuk tidak merosot ke depan. Tahu kan, sadel motor laki-laki yang mencuat ke belakang. 

Den Langit sempat menarik tangan ini untuk berpegangan pinggangnya. Namun aku memilih mengeratkan tanganku pada sadel motor--gaya berboncengan kekasih yang lagi bertengkar--walaupun terlihat aneh.

Bukannya tidak ingin, tetapi aku sibuk dengan jantung ini yang semakin bertalu menendangkan lagu yang tak biasa. Perasaan karena terlalu lama tidak dekat dengan lawan jenis, itu kemungkinannya.

Terakhir berboncengan seperti ini, aku bersama Mahardika. Dengannya, kami seperti sahabat yang tidak terpisahkan. Kalau dengan dia, aku sudah biasa. Namun, dengan Den Langit ada perasaan jengah.

Memasuki gedung besar ini, aku seperti anak ayam yang memasuki lumbung padi. Mata ini liar melihat motif batik yang tergantung rapi. Ide berjubel bermunculan di kepala. Ini bisa menjadi inspirasi design berikutnya. Batik klasik dipadukan gaya modern. Pasti laku keras nantinya.

Aku terpaku pada satu lembar batik yang di gantung di ujung ruangan.  Tergantung sendirian dengan lampu sorot mengarahnya.

Motif dengan dasar warna hitam yang ditoreh motif tinta warna merah dan hijau. Entah kenapa, aku merasa ada kesedihan yang tersirat. Pelan, aku sentuh batik yang berbahan kain sutra ini. Hatiku seperti tertusuk, sakit.

"Kamu di sini, Tik? Disuruh mengikuti, kok malah nyaplir!" ucap Den Langit. Dahinya berkerut menatapku.

"Kamu bisa merasakan ini?"

Aku menoleh ke arahnya, pandanganku kabur tertutup air mata yang mengambang. Den Langit menarik tanganku menuju sebuah ruangan. Masih terasa sisa-sisa kepedihan di hati ini, dan mereda setelah Den Langit menyodorkan minuman dingin.

"Itu hasil karya Romo sebelum meninggal." Dia menghela napas dan melanjutkan bicaranya.

"Satu minggu sebelum kecelakaan itu, beliau kelihatan gelisah. Menurut sesepuh, Romo sudah merasa akan berpisah dengan kami, dan ini pesan yang beliau buat."  Dia menunduk dan meremas kepalanya. Laki-laki di depanku ini, kelihatan sekali memendam beban yang sangat berat. Aku merasa bersalah telah membangkitkan kesedihannya.

"Den Langit, maafkan saya."

Beberapa waktu kami hanya diam. Ruangan ini dikuasai detak jam dinding saja.

.

.

.

.

"Huuft! Saya mengajakmu ke sini karena ada maksud," ucap Den Langit mengagetkan. Wajahnya kembali seperti semula, sudah tidak kelihatan kesedihan yang berbayang.

"Tutik, selama ini saya sendiri. Tidak ada orang di sampingku." Dia terlihat berpikir sejenak sebelum mengatakan hal yang mengejutkan. "Kamu mau selalu menemaniku, kan?"

Tatapanku terkunci ke arahnya, senyum ini mengembang sempurna. Kepalaku mengangguk dengan sendirinya.

Ini berarti, aku dan dia .... 

Aku menghela napas, menyadari bahwa ucapan Bulek Ningsih benar. Menepis keraguan, karena ini terlalu cepat. Hatiku sibuk menendangkan lagu riang.

"Bagus! Berarti kamu menerimanya. Kamu tahu, kan, Ibu di Jogja lama. Saya memerlukan orang yang membantuku. Yang pertama, kita rapikan kantor ini. Aku lemari sebelah sini dan kamu yang sebelah sana. Untung ada kamu, Tik. Kalau tidak, aku bisa stres. Terima kasih, ya!" ucapnya dengan riang dan mata berbinar. 

Aku menatapnya lekat, mencerna apa yang terjadi sebenarnya. Bahkan, tepukan tangannya di bahuku tidak membantuku paham. 

Dia sudah membuat otakku tumpul, bahkan mata ini menjadi buta. 

Mungkinkah ini karena harapan tak biasa?

Duh!

BERSAMBUNG

*** 

 

Bab 9. Luruskan Niat

 

Sudah satu minggu ini, aku membantu Den Langit di kantor. Itu pun setelah pekerjaan di rumah selesai.

Malam harinya, mulai aku menulis cerita dari hasil riset. Tema bukan tentang pembantu teraniaya, tetapi tentang pembantu yang mampu membantu pekerjaan majikan. Tak disangka, cerita pertama yang aku pos di media sosial mendulang ribuan like. Padahal, aku belum memberi judul cerita.

Beberapa penulis senior mendorongku untuk menulis lagi dan diingatkan tidak lupa memberi judul. Semangat menulisku mulai menggebu, lelah karena bekerja sudah tidak kuhiraukan. Aku tetapkan  cerita bersambung ini berjudul Pembantu Rasa Bos. 

Malam-malam berikutnya, aku begadang untuk menulis dan dipos di platform. Itu pun,  atas saran penulis lainnya. Dengan nama pena, Astika Buana. 

Pernah, Mbak Rahmi bertanya, kenapa menggunakan nama pena dan tidak memakai nama sendiri. Bukankan ini kerugian, saat nama sebenarnya tidak dikenal di dunia nyata?

Aku ingin menjadi Lintang Astuti sebagai designer baju, dan disebut Astika Buana si penulis. Sebagai penulis yang dikenal karena karya, bukan karena profesi yang membayangi.

Sekarang, aku di sini sebagai Tutik pembantu bagian bersih-bersih di keluarga Baskoro. 

Setiap siang, Pak Salim lah yang mengantarku  ke pabrik batik. Seperti sekarang ini, Pak Salim menjemputku setelah mengantar pesanan batik. Kami menggunakan mobil box.

"Tik, kalau seperti ini caranya, gaji kamu dobel!" celetuk Pak Salim saat mengantarku tadi. 

"Sebenarnya saya tidak mau, Pak. Saya capek tenaga dan pikiran. Ada saja yang disuruh Den Langit. Mencari ini, menata itu, pokoknya banyak!" 

"Tapi Den Langit baik sama kami, Tik? Tidak macam-macam."

"Tidak, Pak. Kami sibuk bekerja."

"Yo wes, hati-hati kerjanya. Yang penting, luruskan niat."

Yang diucapkan Pak Salim terakhir inilah yang terngiang di telingaku, luruskan niat. 

Niatku di sini untuk riset bukan untuk terlibat dengan perasaan yang tidak perlu ini. 

Huuft!

Aku harus terjaga sekarang, Lintang Astuti harus kembali menjadi perempuan yang tegar, mandiri, dan tidak tergoda dengan roman picisan. Aku bukan perempuan remaja yang menyukai seseorang hanya karena dia bersikap baik atau sekadar penampilan yang menggoda.

Pandanganku menyapu ke seluruh ruangan kerja ini. Di setiap sudut ruangan terbayang kenangan dengan Den Langit. 

Ketika dia membantu meraih folder dari rak paling tinggi. Tangannya menjulur tak jauh dari kepala ini, sampai bau tubuhnya masih begitu lekat diingatan. 

Suara tawanya pun, masih terdengar jelas, pada saat itu aku bingung melihat tingkahnya. "Tik .... Diam, ya," ucapnya setelah menghentikan tawanya. 

Tangannya terulur ke wajahku, mengusap pipi ini dengan jari. Aku terdiam kaku, menatap wajahnya yang begitu dekat, bahkan embusan napasnya sempat menerpa.

"Sekarang sudah tidak kotor, lagi!" teriaknya sambil menunjuk noda hitam di jemarinya. 

Atau, di meja itu saat aku menata map. Dia yang dibelakangku, meraih bolpoin yang aku tata di depanku. 

Di setiap sudut ruangan ini mempunyai kenangan indah. Aku tersenyum mengingat semua kejadian tadi.  Entah dia sengaja atau tidak. Mungkin hanya perasaanku saja yang tidak tepat, dan ini bukan niat awalku. Aku harus menyudahinya, apalagi tenggang waktuku di sini sudah tidak lama lagi.

"Tutik, kamu sudah datang ternyata. Tolong bantu saya menyortir sampel ini," ucapnya sambil menaruh keranjang penuh dengan sampel kain batik.

"Besuk ada tamu. Dia pembeli besar, jadi kita harus siapkan semuanya. Orang belakang juga saya suruh membersihkan areal dalam dan luar pabrik. Aku ingin image pabrik ini bersih, tertata, dan rapi. Pokoknya, zero mistake!"

"Ya, Den. Saya pastikan tidak ada yang salah. Sample ini diberi nama sesuai daftar, kan?" tanyaku, kemudian mendongakkan wajah menunggu jawaban yang tak kunjung kudengar.  Den Langit menatapku tajam.

"Saya salah, Den?"

"Tidak! Malah bener sekali. Ternyata kamu mengerti bahasa Inggris, ya? Kamu sering membuatku kaget."

Aku mengernyitkan dahi, tidak mengerti apa yang dimaksud. Bahasa Inggris? 

Aduh! 

Tidak sengaja, aku bersikap tahu arti zero mistake.

"Oh, itu Den. Saya cuma pernah dengar dari film. Bahasa Inggris lainnya tahu juga. Seperti welcome artinya keset, no smoking artinya pom bensin, kayu manis bahasa Inggrisnya sweet wood, dan thank you artinya terima kasih. Bener ya, Den?" tanyaku menatap sekilas dan menunduk menahan tawa. Mentertawakan alasanku yang aneh, aku semakin lihai untuk hal ini.

"Trus, kalau I love you?" tanya Den Langit sambil terkekeh. 

Aku sempat terhenyak, menatap balik kemudian tersadar ini hanya guyonan. 

"Tidak tahu, Den. Pusing kalau bahasa Inggris." 

Aku mengalihkan perhatiannya dengan menunjukkan beberapa katalog dan sampel kain. Kami kembali berpusat kepada pekerjaan. Kata Den Langit, tamu ini adalah designer dari ibu kota yang memiliki butik tersebar di Indonesia bahkan di luar negeri.

"Kalau dia tertarik dan bekerja sama dengan kita, bayangkan berapa banyak kain bahan yang dia beli. Lumayan, Tik!" ucap Den Langit dengan antusias. Senyuman merekah dan rambut halus di wajahnya bergoyang karenanya. Aku melihatnya, ada yang kurang. Seharusnya dia bisa berpenampilan lebih menarik. Kain batik itu bahan fashion, alangkah baiknya kalau pelakunya juga fashionable.

"Ono opo, Tik? Kok melihatku seperti itu?"

"Den Langit tidak bersiap untuk menyambut tamu besuk?" 

"Maksudnya apa?"

"Sebaiknya dirapikan," ucapku sambil mengusap pipi dan daguku, menunjuk cambangnya yang begitu tak terurus.

"Memang kenapa? Apa aku kurang keren?"

"Bukan begitu, Den. Itu supaya Den Langit lebih keren dan kelihatan rapi," ucapku sambil menyodorkan katalog sample yang sudah siap. "Seperti ini, kalau rapi jadi enak dilihat"

"Maksudmu, sekarang saya tidak enak dilihat?" ucapnya seraya menunjuk wajah dan mendekatiku.

"Bukan begitu, Den." Aku beringsut menjauh darinya, menghindari aroma yang bisa menggoda pikiran ini.

"Ya ... ya, aku mengerti."

***

Aku sudah mulai bersiap meninggalkan keluarga ini. Terutama tugas yang berhubungan dengan Den Langit, semua aku tata rapi sesuai periode dan berurut sesuai abjad. Semua untuk memudahkan dia saat aku sudah tidak di sini.

"Seharusnya Den Langit mempunyai sekretaris yang membantu. Seperti di sinetron itu," celetukku kemarin. 

"Untuk apa, Tik. Mereka biasanya jual tampang saja. Diajak kerja malah sibuk dandan. Malah stres!" jawabnya, kemudian menatapku. "Kan ada kamu yang membantuku?"

"Saya kan cuma pembantu, Den. Bukan sekretaris yang ikut bos kemana-mana. Saya pun tidak bisa ke sini terus." Aku harus mulai menjaga jarak dengan Den Langit. Jangan sampai dia tergantung kepadaku terus.

"Ok ok. Kasihan kamu juga. Nanti usulanmu aku pertimbangkan!"

Syukurlah, akhirnya dia mengerti. Pelan-pelan aku menarik langkah ini untuk menghilang sebagai Tutik dan kembali ke duniaku sebenarnya.

"Tik! Astuti!" teriak Bulek Ningsih tergopoh menghampiriku. Dia mengangkat ujung kain yang digunakan untuk langkah cepatnya. 

"Ada apa, Bulek?" 

"Den Langit! Den Langit itu, lo!" 

Dia menunjuk ke arah depan. Aku mengernyitkan dahi, ada apa dengan Den Langit? Bukankan dia harus berangkat pagi karena pembeli yang ditunggu datang hari ini.

"Den Langit, kelihatan lebih ganteng," bisiknya dengan mengedipkan mata. "Dia sudah tidak brewokan lagi."

Aku langsung menoleh ke Bulek Ningsih, ternyata Den Langit mendengar usulanku. Lengkungan dibibir ini tercetak sempurna, sambil membayangkan wajahnya sekarang.

"Heh! Diajak ngomong malah melamun. Itu lo, kamu dicari Den Langit." Bulek mencolek bahuku dan berbisik lagi, "Hati-hati, jangan kesengsem, ya. Nanti kedip, mundak khilaf."

"Den Langit memanggil saya?"  Aku berdiri di belakangnya. 

Den Langit baru saja selesai makan pagi. Mendengar suaraku dia tidak menoleh, malah dia mengacungkan telunjuk memberi tanda supaya aku mendekat.

Pemandangan baru terpampang. Benar kata Bulek Ningsih. Dia tidak brewokan lagi dan terlihat lebih mempesona. Wajahnya putih bersih dengan rambut disisir rapi dan diikat ke belakang. Mungkin kalau dia seorang model, aku pasti mengontraknya untuk memperagakan design bajuku.

"Maksudmu saya harus seperti ini?" ucapnya sambil menoleh dan menunjukkan senyum menawan. 

Penampilannya sangat rapi, berpakaian baju batik berwarna dasar krem dengan motif berwarna dominan merah. Pilihan yang bagus untuk menunjukkan semangat dan keseriusan.

"Baiklah. Terima kasih sarannya, doakan saya supaya pertemuan ini berhasil," ucapnya seraya menepuk bahuku. "Tolong bawakan tas ku di ruang kerja. Saya tunggu di garase."

Aku segera melaksanakan perintahnya.

"Ini Den Langit." Aku menyodorkan tas kulit berwarna coklat ini. 

Tersadar, bukankan ini adegan istri mengantar suami berangkat kerja? 

Duh! Aku mulai berkhayal lagi.

Tidak menerima tas yang aku sodorkan, dia malah mendekatkan wajahnya dan berbisik, "Memberinya sambil ngomong gini. Hati-hati di jalan, semoga berhasil. Itu doa. Ayo ulangi."

Mataku melebar mendengar permintaan ini, dia malah tersenyum sambil menggerakkan dagunya ke depan. Bagaimana lagi, daripada tanganku terkatung lama.

"Ini tasnya. Hati-hati di jalan, semoga semuanya lancar dan berhasil," ucapku sambil tersenyum.  

"Terima kasih doanya." Dia menerima dan segera masuk ke dalam mobil. 

Seharusnya tadi aku tambah kalimatnya. "Cepat pulang. Aku tunggu di rumah, Sayang."

Dia merengkuh pinggangku dan mengecup dahi dengan lembut sambil berbisik, "Aku pasti cepat pulang. Jauh darimu membuatku kangen berat. I love you."

Eh!

Deru mobil menyadarkan pikiranku yang mulai liar. Adegan ini bagus untuk tulisanku.

BERSAMBUNG

*** 

 

 

Bab 10. Pov Langit Baskoro

 

Semenjak meninggalnya Romo Baskoro dan Mas Bumi, duniaku menjadi terbalik.

Keseharianku yang biasanya pergi ke kampus, nge-band, dan nongkrong di cafe, hilang sekejap. Tiba-tiba tanggung jawab besar tertumpuk di pundakku. Aku harus bertanggung jawab dengan keluarga dan perusahaan.

Memang dalam keluarga ada dua putra, aku dan Mas Bumi. Namun, Romo lebih menyiapkan Mas Bumi sebagai putra pertama sebagai pemegang pabrik batik. Awalnya merasa tersisih, dan aku merasa Mas Bumi dianak emaskan. 

Mas Bumilah yang memberiku pengertian.

"Dek Langit, Romo tidak bermaksud seperti itu. Malah sebenarnya, Mas ingin seperti Dek Langit. Diberi kebebasan untuk kuliah apapun dan bisa ngumpul dengan teman. Lihat Mas, kuliah diharusnya mengambil managemen bisnis. Setelah itu langsung ke pabrik sampai sore. Teman pun, hanya orang pabrik atau relasi bisnis," keluhnya kala itu. 

Kami mempunyai kebiasaan menghabiskan malam dengan bernyanyi dan mengobrol di halaman belakang. Itu karena hanya waktu itulah kami bisa berbincang leluasa. 

Mas Bumi mempunyai bakat dan kesukaan melukis. Namun, ini ditentang keras oleh Romo. Kakakku ini diharuskan menjadi putra mahkota keluarga ini.

Malam itu bulan purnama, seperti biasa kami nongkrong di halaman belakang. Tak biasanya, Romo ikut bergabung walaupun sebentar. Minum kopi dan makan pisang goreng buatan Bulek Ningsih.

"Coba lihat tinggimu seberapa?" Romo menarikku untuk mensejajarinya. Mengukur tinggiku yang ternyata beberapa centi lebih tinggi.

"Langit, kamu sekarang sudah tumbuh menjadi laki-laki dewasa. Sudah tidak bisa sembunyi di ketiak Bumi. Kamu sudah mulai kuat walaupun tanpa Bumi!" seloroh Romo sambil mengacak rambutku. Ini diluar kebiasaannya, menyentuh kepala sesuatu hal yang tabu.

"Romo, dia sudah tahu cewek. Tuh! Kata Pak Salim, pacarnya Den Langit banyak dan cantik-cantik! Susanti, Laras, Susi, Syanaz, dan siapa lagi? Aku sampai lupa," celetuk Mas Bumi dengan senyum jahil, aku mendelik ke arahnya.

"Bukan Romo! Mereka bukan pacar! Mereka cuma suka dengan Langit, biasa orang keren banyak yang naksir!"

"Tuh, kan! Mereka berarti banyak!" Teriak Mas Bumi sambil menunjukku dan tertawa.

"Tidak apa-apa. Asal setelah menikah, cukup satu saja! Kalau aneh-aneh, Romo yang jewer kuping ini!" ucap Romo sambil tertawa.

Walaupun hanya guyonan biasa, bercanda dengan Romo seperti itu adalah hal yang menyenangkan. 

"Tapi Dek, Mas sudah seneng melihat kamu kuliah arsitek. Nanti kalau pabrik dipugar, itu tugas kamu untuk merancangnya. Oya, kamu jadi rekaman?" tanya Mas Bumi setelah Romo meninggalkan kami berdua.

Dialah yang paling mengerti. Kesukaan dan apa yang aku inginkan. Bahkan saat Romo menentang, dia yang pasang badan untukku.

"Aku selalu mendukungmu, Dek. Tapi, sejauh-jauhnya kamu melangkah, tetap ingat rumah dan tanggung jawab. Mas inginnya kamu membantu di pabrik. Itu kalau ada waktu, tapi mana ada? Sibuk sama mbak-mbak gitu!" ucapnya dengan diakhiri tawa. 

Malam itulah, malam kebersamaan kami yang terakhir. Bulan purnama yang akan kukenang sepanjang hidupku. 

Mas Langit dan Romo, nyawanya terengut karena kecelakaan beruntun. Ibu sangat terpukul dan sampai sakit karena kesedihan yang sangat ini. Sedangkan aku, tidak ada ruang untuk meratapi nasib. Kakiku dipaksa kuat dan tegar memikul tanggung jawab keluarga dan pabrik.

Begitulah, sejak itu hariku terbalik. Terpaksa aku tidak meneruskan kuliah, dan dari pagi sampai sore di pabrik. Beruntung Ibu mulai membaik, dialah yang membantu pekerjaan yang tidak aku mengerti. Walaupun dengan informasi dan tenaga yang terbatas.

***

Aku mulai serius memegang managemen pabrik. Setelah aku pelajari, ada beberapa yang Romo terapkan sudah tidak sesuai dengan jaman sekarang. 

Penjualan dengan mensupplai toko tidak mendapatkan hasil yang maksimal. Kami akan mendapatkan hasil setelah barang laku, dan itu dalam waktu tidak jelas. Ini harus di rubah. 

Aku memulai dengan mempelajari pasar. Penyuka batik sangat berkurang, kalau tidak ada langkah lain, kami akan tergilas oleh waktu.

Sering kali kita tergila-gila dengan produk luar, begitu juga sebaliknya. Mereka pun sangat menyukai produk tradisional, termasuk batik. Inilah yang aku garap sekarang.

Beruntung aku dipertemukan designer ibu kota yang mempunyai pikiran global. Dari dialah aku lebih memantapkan langkah ini untuk bersaing di pasar luar negeri.

Mereka sangat antusias dengan batik yang aku tawarkan. Namun, Ibu yang mendampingiku mulai kelelahan mengikuti langkah ini. Mengingatkan, bahwa orang tua satu-satunya ini sudah seharusnya tidak memegang operasional yang memusingkan.

"Le ... katanya Astuti, ada tabungan yang bisa menerima mata uang asing. Tidak hanya satu mata uang, ada lebih dari sepuluh. Namanya rekening multi apa, gitu! Buka saja rekening itu. Ibu pusing kalau mondar-mandir ngurus uang pabrik," kata Ibu malam itu. 

Seperti diingatkan sekali lagi, aku harus mencari teman yang bisa diajak bekerja dan berjuang. Bukan sekadar teman dalam suka saja. Namun, siapa?

Semua jenis perempuan yang mendekatiku hanya mengerti aku sebagai pewaris tunggal. Mereka tidak mau tahu susahnya mempertahankan usaha, dan putar otak supaya bisa menggaji karyawan. 

Sekarang, Ibu menyebut nama Astuti. Siapa dia? Sok tahu tentang bank saja. Mungkin dia berkhayal mempunyai nenek moyang yang punya bank seperti itu.

***

Siang itu, aku pulang akan mengambil berkas yang ketinggalan. Betapa kagetnya aku, melihat kantor yang sudah berubah. Lebih bersih dan tertata rapi, tetapi membuatku bingung. Malamnya aku meletakkan berkat itu di meja dan sekarang tidak kutemukan lagi.

Ternyata ini kelakuan yang namanya Astuti itu. Awalnya aku ingin marah, tetapi melihat dia begitu cekatan menyerahkan apa yang aku minta, membuatku ingin tahu siapa dia. 

Perempuan ini unik. Walaupun pembantu, dari sorot matanya terlihat dia tahu banyak hal. Dia seperti mendatangkan warna baru di rumah ini, ada saja kejadian yang membuatku tertawa. Seperti saat dia tidak bisa menyalakan kompor gas. Aku tidak habis pikir, ada orang kampung yan takut kompor gas.  Atau, saat dia sakit gara-gara takut ke bank. Kejadian inilah yang membuatku merasa bersalah. 

Entah, ada yang keliru dengan perasaan ini. Saat bersama Astuti, aku merasa lebih nyaman dan dimudahkan. Pikiranku serasa terbentang luas dan pekerjaan menjadi lancar. Sempat terlintas di pikiran, dia bukan pembantu biasa.

Kadang aku merasa gemas melihat Astuti. Apalagi saat pipinya memerah setelah kugoda. Atau, ketika aku tanya dan matanya menatapku tidak mengerti dengan mulut sedikit terbuka.

Lucu.

Ini perasaan yang salah. Dia hanya pembantu dan aku majikan. Mungkin ini hanya perasaan sesaat karena aku kesepian dan selalu berkutat dengan pekerjaan.

Namun, kenapa hati ini tidak rela ketika dia mengatakan keluar kerja? Dia mengatakan permohonan menjadi TKW disetujui.

BERSAMBUNG

***

 

 

     

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Di Balik Nama Pena-Niat Menyamar Malah Dilamar(11-20)
0
0
Waktuku harus meninggalkan tempat ini sudah dekat. Rasa kehilangan begitu lekat di hati. Keramahan Bulek Ningsih dan Pak Salim,  mencandui. Mereka seperti keluarga baru bagiku.Apakah aku bisa melupakan mereka? Terlebih dia yang mulai mengusik hati ini
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan