
❗AWAS BENAR-BENAR CINTA❗
Perbedaan budaya dan pandangan tentang kehidupan tidak menjauhkan mereka. Sebaliknya, mereka semakin dekat. Saling melengkapi dan membutuhkan.
Itulah kisah Dewi Larasati, perempuan asli Solo dan Jazil Ehsan yang berasal dari Sumenep, Madura. Di Pulau Dewata-Bali, mereka dipertemukan karena pekerjaan.
Larasati, Sarjana Ekonomi yang banyak berkutat dengan teori, apalagi terlahir di keluarga yang berprofesi pengajar. Dia seperti melihat dunia yang berbeda saat bertemu dengan...
Bab 1
Awal Ndesitman
-------------------
"Selamat pagi, Pak? Saya Larasati, ada yang bisa saya bantu?" Kata-kata yang aku ucapkan setiap ada yang memasuki ruangan ini.
Aku magang di konsultan bisnis, mengaplikasikan ilmu yang selama ini aku pelajari. Dengan mengantong ijasah Sarjana Ekonomi, jurusan Managemen Bisnis di universitas ternama negara ini, membuatku mudah mendapatkan pekerjaan. Apalagi, aku lulus dengan predikat cumlaude. Berbekal percaya diri, akhirnya aku terdampar di kota ini.
Semua senior sudah menangani pelanggan, tinggal aku saja yang belum. Biasanya, yang datang orang-orang yang sudah mempunyai usaha, dan menginginkan saran untuk mengefisienkan operasional.
Kali ini yang datang seorang laki-laki, bisa dibilang masih muda. Dilihat penampilan, dia masih pemula. Orangnya tinggi, berambut ikal agak panjang, kaos pendek, dan celana cargo. Tampilan bukan bisnisman, malah cenderung seperti orang main dan sekadar mampir.
"Selamat pagi. Kauleh nyarek, eh ... saya mencari alamat kantor konsultan bisnis Santosa. Apakah di sini tempatnya?" ucapnya, menggunakan bahasa daerah dan mengulang dengan bahasa Indonesia. Dia memberikan kartu nama yang dipegang sedari tadi, sambil tetap mengedarkan pandangan mata ke segala penjuru.
Sekilas aku menatap, setelah mendengar suaranya. Perkataan dengan logat Madura yang kental, terdengar menggelitik di telingaku yang berasal dari Solo. Biasanya, kalau kita bicara dengan logat kampung halaman disebut wong ndesit--orang dari desa. Jadi kalau laki-laki namanya ndesitman, ya biar terdengar keren. Keminggris sedikit, bolehlah.
"Iya, Pak. Betul! Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku setelah menerima kartu nama itu.
Memang, kantor ini terletak di gedung bersama dan kantor perusahaan ini di lantai tiga. Karena itulah sebelum menangani client, kami berkumpul di ruangan ini. Ruang tamu bersama. Lumayan, sambil nunggu ngobrol dan ngopi-ngopi dulu.
Beruntung ada lift, jadi kaki tidak pegal karena naik turun. Apalagi sepatu hak tinggi yang seakan mencengkeramku. Kalau tidak, bisa jadi kakiku cenut-cenut semalaman.
"Kauleh mendapatkan kartu nama ini dari Mr. Andrew, Classy Furniture. Dia menyarankan untuk konsultasi bisnis di sini."
Aku mengernyitkan dahi, mendengar nama Mr Andrew yang sudah tidak asing lagi. Dia pengusaha furniture terkenal di kota ini. Siapa laki-laki ini? Kenapa bisa begitu dekat dengan Mr Andrew.
"Itu dia noles di belakang kartu."
Aku balik kartu nama, ada tulisan tangan dan paraf atas nama Mr. Andrew. Bertuliskan: Tolong bantu teman saya, namanya Jaz.
"Bapak, bernama Jaz?" tanyaku dengan mendongakkan kepalaku. Orang ini tinggi sekali. Aku yang tinggi seratus enam puluh lima, hanya setelinganya saja.
"Enggih. Kenalkan, nama kauleh Jazil Ehsan. Panggil saja. Jaz atau Jazil," ucapnya, dengan tetap menggunakan kata dan logat Madura yang kental.
Enggih pasti maksudnya, iya. Hampir sama dengan bahasa Jawa yang biasa kugunakan. Kauleh, kalau dari kalimatnya, mungkin artinya saya. Aku menerka apa yang dimaksud.
Namanya bagus, senada dengan sosoknya.
Dia mengulurkan tangan dan tersenyum.
"Saya Dewi Larasati, biasa dipanggil Larasati atau Laras saja," ucapku menyambut tangannya.
Tangan begitu kokoh dan terasa kasar di telapak tanganku, bisa menjadi petunjukku menerka siapa dia dan apa bisnisnya.
Bisnis apa ya?
Sejenak aku terpana melihat senyuman, ternyata dia manis juga. Beberapa saat kami saling pandang, rasa hangat menjalar dari tangannya, dan ada geleyar aneh di hati ini.
"Ma-maaf. Kita ke kantor sekarang."
Aku menarik tangan ini dari genggamannya. Kemudian mempersilahkan mengikutiku ke kantor lewat lift.
"Kita naik lift?" tanyanya menoleh ke arahku.
"Iya, Pak. Kantornya ada di lantai tiga," jelasku dan segera mengalihkan pandangan.
Wajah yang bengong dengan bibir sedikit terbuka, terlihat menggemaskan. Apalagi, rambut ikal dan beberapa helai menutupi sebagian wajah. Kulit coklat hangat, mirip foto model asal Latin. Asal, dia tidak bersuara yang menunjukkan logatnya. Bisa ambyar.
"Mbak Larasati. 'Ka-kauleh' tidak bisa naik lift."
Aduh!
Orang ini dari mana, to?
'"Dasar, Ndesitman," gumanku lirih.
BERSAMBUNG
******
catatan:
Kosakata Bahasa Madura:
- Kauleh : saya (halus)
- Nyarek : mencari
- Enggih : iya (halus)
- Noles : menulia
Bab 2
Tugas Pertama
-------------------
"Mbak Larasati. 'Ka-kauleh' tidak bisa naik lift."
Aduh!
Orang ini dari mana, to?!
Dasar, Ndesitman!
******
Kalau tidak demi pengalaman kerja, mana mau berlelah-lelah ke lantai tiga melalui tangga. Lembaran kertas sertifikat bertulis pengalaman kerja, yang aku dapatkan nanti sangat penting. Ini sebagai bahan pertimbangan saat melamar pekerjaan nanti.
Tuntutan administrasi, mencari pekerja yang sudah berpengalaman. Semakin berpengalaman, semakin besar peluang diterima di sebuah perusahaan.
Fenomena, nasib sarjana tergantung dari selembar kertas.
Terdengar aneh memang, mencari pekerjaan diminta pengalaman kerja. Bagaimana nasib fresh graduate seperti aku ini? Akhirnya pasrah menjadi karyawan magang dulu.
"Capek, Mbak?"
Aku melirik tajam dan mendengus, menata napas terengah setelah melewati dua lantai. Bibir kupaksa tersenyum. Bagaimanapun, aku harus bersikap manis walaupun kaki meringis.
"Maaf, ya," ucapnya lagi dengan menyuguhkan senyum termanis. Mungkin dengan begitu, dia berharap mengurangi lelahku, ternyata berhasil. Aku merasa segar kembali.
"Tidak apa-apa."
Badan kutegakkan, kemudian memaksa kaki melangkah anggun ke meja kerjaku.
Didampingi Pak Lartomo seniorku, kami menggali apa yang dia butuhkan. Dari data yang kami dapatkan, akan dirumuskan langkah apa yang akan diambil.
Jazil mempunyai usaha pengolahan kayu. Dia mengolah menjadi furnitur dan rumah pondok kecil. Pelanggan dari dalam dan luar negeri. Supplay ke beberapa toko, dan Classy Furniture satu dari sekian banyak pelanggan.
"Di gudang ada beberapa tukang, termasuk saya. Saya tukang kayu."
Penjelasan ini menjawab penasaranku, kenapa telapak tangannya terasa kasar saat berjabat tangan tadi.
Dia menjawab dan menjelaskan semua pertanyaan kami. Pembawaannya santai, sesekali melempar guyonan membuat kami tertawa bersama. Jujur, tertawaku bukan karena lucu, namun karena aku tidak mengerti benar bahasa yang dia gunakan.
Yang aku tangkap mereka saling memberitahu kampung asal mereka. Jazil dari Sumenep dan Pak Lartomo dari Situbondo, namun nenek moyangnya juga berasal dari Sumenep.
Mereka menjelaskan kepadaku bahwa
orang luar Madura mengenal Sumenep sebagai 'Solonya" Madura. Bahasa yang digunakan disana bahasa halus dengan tingkatan disesuaikan berdasar lawan bicara.
Mereka saling melempar pertanyaan menggunakan bahasa Madura. Bahkan, Pak Lartomo yang lebih tua usianya memanggil tanpa embel-embel pak. .
Tertinggal, aku yang menoleh bergantian ke arah mereka tanpa tahu apa yang dimaksud. Beruntunglah, mereka asik berbicara. Jadi ada kesempatan memijit betisku yang mulai berdenyut.
"Kita merantau juga nyarek taretan, jangan mengejar uang saja! Kamu mengerti, Laras?" tanya Pak Lartomo menoleh ke arahku.
"Mengerti sedikit. Tapi, banyak tidak mengertinya," ucapku tersenyum kecut.
"Nyarek taretan itu artinya mencari saudara. Orang seperti kami ini, berusaha mencari saudara saat diperantauan. Makanya, saat mengetahui kami berasal dari kota yang sama, kami langsung merasa seperti saudara," jelasnya.
"Kamu harus banyak bertemu dengan Jazil, supaya mengerti kosa kata kami. Ya, kan!" seloroh Pak Lartomo.
Setelah selesai menggali informasi, Pak Lartomo memberiku tugas untuk survey lapangan. Ke tempat usaha Jazil.
"Survey lapangan bersama Bapak, kan?" tanyaku kepada seniorku ini.
"Tidak, kamu sendiri bisa, kan. Kalau hari ini, saya ada meeting setelah makan siang."
Aku mengangguk.
Ini kali pertama pengalaman tanpa didampingi senior. Walaupun sudah terbiasa bertemu dengan client, namun tanpa senior, rasa percaya diriku berkurang.
"Larasati ke tempatmu sendiri, apakah tidak keberatan, Jaz? Hari ini setelah istirahat siang. 'Bekna' informasi alamat lengkap," kata Pak Lartomo.
"Iya, Pak Jazil. Sekalian peta ke arah sana. Saya kurang mengerti jalan di sini," tambahku.
Aku belum hafal jalan di sini. Bagiku semua kelihatan sama. Maklumlah, baru lima bulan di kota ini dan setiap hari pulang dalam keadaan lelah. Sudah tidak ada tenaga untuk keluar rumah apalagi keliling untuk menghafal jalan.
Nasib karyawan.
Berangkat pagi, pulang sore dan sudah tertinggal ingin tidur saja.
"Bareng kaule saja. Nanti dia bisa kesasar," ucapnya ke Pak Lartomo terjeda sebentar, "sekalian makan siang."
Aku menatapnya kemudian beralih menatap Pak Lartomo meminta pertimbangan.
"Ok, sip. Kau siap-siap, Laras!" katanya, kemudian berpaling ke arah Jazil. "Laras ini orang Solo. Dia tidak mengerti bahasa Madura," jelas Pak Lartomo.
Memang Bapak dan Ibu oranv asli Solo, namun tuntutan pekerjaan yang memaksa kami berpindah tempat. Itulah yang membuatku lebih menguasai kurang menguasai bahasa Jawa.
Setelah menyiapkan form survey yang nantinya harus aku ini, kamipun berangkat.
***
Aku terdiam di tempat parkir, melihat dirinya yang mengeluarkan motor dari deretan kendaraan beroda dua.
"Tidak apa-apa naik motor?" tanyanya tadi, saat akan berangkat.
Aku menjawab, tidak apa-apa. Toh, pulang pergi ke kantor juga menggunakan sepeda motor. Karenanya, kubawa helm yang aku punya. Khusus untuk hal ini, aku tidak suka berbagi dengan orang lain. Bisa jadi, berbagi ketombe bahkan kutu.
Namun, ini sangat jauh berbeda dengan bayanganku. Sepeda motor yang tidak pernah terlintas dipikiranku.
Beneran, aku harus naik motor seperti ini dengannya?
Duh!
BERSAMBUNG
********
catatan:
Kosakata Bahasa Madura:
- Kauleh : saya (halus)
- Nyarek : mencari
- Enggih : iya (halus)
- Bekna : kamu
- Taretan : saudara
- Bareng : bersama-sama
Bab 3
Bos Aneh
-------------------
Beneran, aku harus naik motor seperti ini dengannya?
Duh!
Di depanku, motor tinggi dengan roda bergerigi, kelihatan mencolok di tempat ini. Ada tulisan Ducati Scrambler di tangki motor. Nama merk sepeda motor yang tidak biasa, namun pernah aku mendengar sebagai motor trail berharga tinggi.
Bagaimana bisa aku berboncengan dengan motor seperti itu, sedangkan aku menggunakan baju kerja. Walaupun aku menggunakan stelan celana panjang, tetapi kelihatan salah kostum.
"Ayo, naik!" teriaknya dari balik helm full face yang dia kenakan. Mau tidak mau, aku menaiki motor yang mengerikan ini.
"Pegangan, Mbak. Nanti jatuh," ucapnya sebelum melajukan kendaraan ini.
Terasa jengah.
Berboncengan membuat jarak kami begitu dekat, aroma parfum maskulin menguar dipenciuman. Pelan kupegang ujung jaketnya.
Semakin lama, kecepatan bertambah seiring tangan ini mengerat di pinggangnya.
Kupejamkan mata, ngeri rasanya. Kami
berselip diantara mobil-mobil yang berjalan. Yang bisa aku lakukan hanya diam dan berpegangan erat, memasrahkan hidup matiku kepadanya.
"Sudah sampai!" ucapnya setelah sepeda motor berhenti.
Aku membuka mata.
Tubuhku masih bergetar dan kaku, perlahan kulepaskan tangan dari pinggangnya. Jengah, namun bagaimana lagi.
Kami tiba di rumah makan yang bangunannya terbuat dari bambu dengan atap jerami. Angin semilir menerpa wajahku. Sejuk, berasal dari pohon rindang yang menaungi kami.
"Mbak Laras takut naik motor?" tanyanya dengan tertawa terkekeh.
Huuft!
Ingin aku bungkam mulutnya. Mentertawakan wajah pucat dan tanganku yang masih gemetar berkeringat. Aku tidak pernah mempertaruhkan nyawa dengan mengebut di jalanan.
"Tadi kenapa ngebut? Kelapa saya jadi pusing!"
Gara-gara tadi selip sana-sini, seperti diputar-putar. Aku mendengus kesal, menatapnya. Tadi membuat betisku berdenyut, sekarang menyebabkan kepalaku pusing. Mimpi apa aku semalam, bertemu orang seperti dia.
"Ayuk ke dalam. Saya pesankan jahe panas, meredakan pusing," ucapnya melangkah masuk, aku mengikutinya.
Kami duduk di samping kolam. Sambil menunggu pesanan, aku mengeluarkan form yang harus kuisi tentangnya.
"Pak Jazil, kita mulai wawancara, ya. Dimulai data pribadi. Bisa pinjam KTP nya?" ucapku bersiap dengan bolpoin di tanganku.
Jazil Ehsan. Dia lahir di Sumenep, lima tahun di atasku, dan masih lajang.
"Belum berkeluarga?" tanyaku memastikan yang aku baca. Masih muda dan matang, penampilan yang lumayan, dan sudah mapan. Hanya perlu polesan untuk lebih bersinar. Sulit dipercaya masih ada stok, dijaman seperti sekarang.
"Kalau saya sudah berkeluarga, tidak mungkin membonceng perempuan, apalagi dia juga sudah berkeluarga. Mbak Laras, kan masih lajang." Penjelasannya membuatku mengingat, apakah aku pernah memberi tahu statusku? Aku pikir tidak.
"Pak Lartomo yang memberitahuku," tambahnya seolah menjawab yang aku pikirkan. Aku menatapnya kesal, ternyata dibincangan dengan bahasa yang tidak kumengerti, mereka juga membicarakanku.
"Tidak usah marah. Kita makan dulu," ucapnya mengambil bolpoin di tanganku dan menutup map di depanku. Aku melotot kesal ke arahnya dan bersiap menyemprotnya, mengurai kesal yang mulai menyesakkan.
Namun, bau harum masakan dan sapaan selamat siang membuatku menghentikan niat. Udang bakar madu berukuran besar, sukses meredakan kesalku. Mungkin karena perut kosong, menyebabkan emosi tidak stabil.
Sambil makan, kami berbincang banyak. Tentang bisnis, cita-cita bahkan tentang masa lalunya. Pembicaraan yang terlalu pribadi untuk ukuran seseorang yang baru kenal.
Dia juga menjelaskan, lebih suka menaiki motor daripada mobil. Apalagi mobil ber-AC, dipastikan dia akan mabuk.
"Badan saya dingin dan perut mual saat naik mobil ber-AC!" jelasnya.
Dia seorang bos yang aneh.
"Ndesitman," gumanku.
Bos kok tidak bisa naik mobil ber-AC. Ini berarti ... selama kami bekerja sama, kami naik motor terus? Sial.
Perut kenyang, pusing pun hilang.
Entah pusingku karena lapar, atau karena ngebut naik motor. Kami melanjutkan perjalanan, dengan catatan tidak boleh mengebut.
"Tenang saja, saya tidak akan mengebut. Perutku bisa biru-biru!" teriakkan setelah kami bersiap di atas motor.
"Kenapa?"
"Kamu meremas perutku berkali-kali. Kalau tidak percaya, kau periksa dah!" ucapnya sembari akan menyingkap bajunya.
"Stop, Jaz!" teriakku memegang tangannya mencegah niatnya. Di terkekeh lagi.
"Maaf. Pak Jazil," ucapku setelah sadar, hanya memanggilnya nama saja. Bahkan memegang tangan dia. Pipiku menghangat, malu sekaligus ada desiran aneh di hatiku.
"It's OK. Aku tidak ngebut, tapi tetap pegangan!" teriaknya sebelum melajukan motor.
Dasar modus!
Walaupun kesal, kenapa aku seperti menikmatinya bahkan merasa nyaman bersamanya. Rasa canggung mulai menghilang, atau mungkin, ini karena aku belum mempunyai teman di kota ini?
Dia memang terkesan ndesit, namun saat berbincang tadi, dia berbeda. Kelihatan sekali, bahwa dia seorang yang mempunyai pemikiran global.
Aku tertarik dengan pemikiran yang tidak biasa.
***
Kami sudah tiba di tempatnya. Memasuki gerbang, ada seseorang yang tergopoh menghampiri kami. Mengambil alih sepeda motor trail yang mengerikan itu, untuk dibawa masuk.
"Itu, tempat kerja sampai ke belakang!" jelasnya menunjuk bangunan besar panjang ke belakang. Suara mesin pemotong kayu dan beberapa suara alat kayu seakan berlomba. Menunjukkan seberapa besar volume produksi.
Dari sela-sela tanaman di pintu bangunan itu, menyembul beberapa kepala dan suara berisik. Begitu juga dari sisi lainnya.
"Kita ke kantor saja, jangan ke sana," ucapnya seraya memalingkan tubuhku dan menarik ke bangunan depan. Menutup tubuhku dengan badan besarnya dari pandangan mereka.
"Ada apa?"
"Kamu mengganggu anak-anak."
"Anak kamu?" tanyaku menarik tubuh menjauh darinya. Dia malah tersenyum dan menarik tanganku kembali menaiki tangga di bangunan yang lebih tinggi ini.
"Aku menyebut karyawan, anak-anak. Bukankan tadi sudah aku bilang, aku ini masih lajang. Mereka penasaran saat tahu aku membawa wanita pulang," terangnya.
"Kenapa?"
"Karena mereka pikir aku membawa calon bine'."
"Apa itu binik?"
"Sudahlah, kita ke kantor saja. Kamu duduk dulu. Bukankan kakimu sakit karena naik tangga? Tadi saya melihatmu berkali-kali memijit betis," ucapnya menghindar pertanyaanku. Dia menyodorkan sandal selop berukuran besar.
"Jangan menyiksa diri menggunakan sepatu seperti itu. Ini pakai sandalku dulu. Bawa saja pulang, aku punya banyak."
Aku menatapnya, dia yang aneh ternyata juga perhatian. Senyuman diwajahku tercetak dengan sendirinya. Aku merasa tersanjung.
"Ini kantornya? Dimana karyawan admin dan akunting?" tanyaku mengedarkan pandangan. Bangunan dari kayu, mirip joglo tanpa dinding. Hanya satu dinding di bagian belakang saja. Berhias ukiran dengan warna mencolok, in bedanya dengan joglo di solo, tempatku berasal.
Ada meja di sudut ruangan dengan komputer dan printer di sana. Kelihatan jarang tersentuh, debu tebal di atasnya yang menandakan hal ini. Di tengah ruangan, satu set meja kursi kayu dengan warna senada.
"Di kantor tidak ada karyawan. Ini hanya tempatku menerima tamu dan pembeli," jawabnya di belakangku. Aku menoleh ke arahnya, heran. Bagaimana mungkin, usaha sebesar ini tanpa ada karyawan admin. Pantas saja, komputer sampai berdebu.
"Manejemennya bagaimana? Catatan atau arsip?" tanyaku sambil berkeliling.
Melihat beberapa folder file yang berantakan. Bahkan ada beberapa paku tusukan untuk nota sementara, penuh dengan tumpukan kertas.
Aku menatap ke arahnya lagi. Meminta jawaban dari pertanyaanku tadi.
"Ya seperti ini saja. Tidak ada catetan atau manajemen. Aku menjalankan apa adanya. Saya juga heran, kenapa orang sibuk dengan catetan. Akhirnya mereka bangkrut, tanpa sempat berbuat apa. Lebih baik saya, jalan terus dan mendapatkan hasil."
Aku mengernyitkan dahi. Mungkin karena inilah, Mr Andrew memaksanya untuk mendatangi konsultan bisnis.
Namun, bagaimana bisa dia sampai tahap sekarang ini tanpa manajemen? Terus, kalau dia tidak butuh manajemen karena sudah merasa cukup, kenapa datang ke tempat kami. Atau hanya memenuhi permintaan Mr, Andrew tanpa dia merasa membutuhkan jasa kami.
Sepertinya, aku salah mendapat client.
Sekarang tambah lagi label buat dia. Ndesitman si bos aneh.
Ngeselin tapi perhatian.
Eh!
BERSAMBUNG
*********
Bab 4
Kamu Cantik!
-------------------
Semalaman aku tidak bisa tidur.
Apalagi kalau bukan karena Jazil Ehsan. Dia seperti hantu yang muncul saat mencoba memejamkan mata.
Banyak hal yang menggelitik hatiku. Dia seperti sosok dari habitat yang berbeda denganku. Aku berasal dari keluarga pengajar. Bapak, Ibu, Tante, Om bahkan Nenek, Kakek, semuanya pengajar. Kami terbiasa hidup teratur, berpegangan dengan teori dan menekankan untuk berpendidikan tinggi.
Sedangkan Jaz, dia berbeda sama sekali.
Dia lebih suka jalan terlebih dahulu daripada disibukkan dengan rencana yang rumit. Bahkan, menurutnya sekolah tidak penting hanya membuang waktu saja. Wah, kalau bilang seperti itu di keluargaku, bisa jadi dijewer ramai-ramai.
Lo, kok pikiranku terlalu jauh. Membayangkan dia ada di tengah-tengah keluargaku.
Duh!
Dia itu unik, lucu, aneh, ngeselin dan pastinya, sekarang membuat mataku terjaga. Perhatian juga.
Aku melirik sandal besar yang kuletakkan di rak sepatu. Berjajar bersama alas kakiku yang lain. Model untuk laki-laki dan ukuran yang besar kelihatan menonjol seperti mengatakan, "Hei! Jazil Ehsan di sini. Menemanimu di sini."
Aku tersenyum dengan sendirinya, rasa hangat menjalar di hatiku.
Sekarang, hidungku seakan masih mencium aromanya, bahkan telapak tanganku masih merasa kasar tangan saat kami bersalaman. Juga masih lekat di ingatanku ketika aku berpegangan ketika berboncengan.
Tak sadar, aku meremas tanganku sendiri. Mengingatnya kembali.
Duh!
"Aku seperti orang gila!" gumamku kesal, sambil menggelengkan kepala mengusir senyum laki-laki itu yang terlintas.
Pikiranku berhenti, malah mulai berselancar dengan liar. Tak berhenti sekedar mengingat yang sudah terjadi. Namun membentuk bayangan dengan berbagai awalan kata: seandainya, suatu saat, dan aku akan.
.
.
.
.
***
Huuuft ....
Gara-gara memikirkan sesuatu yang tidak jelas, sekarang aku kesiangan.
Mataku bisa kupejamkan setelah salat Subuh. Akibatnya, sekarang hanya ada waktu satu jam untuk bersiap ke kantor. Persiapan kilat tanpa ada waktu untuk makan pagi, walaupun sekedar minum sereal.
Hari Jum'at, jam kerja setengah hari. Aku bisa melanjutkan tidurku sepulang kerja nanti.
Baju atasan bluse berwarna putih dan bawahan rok lebar di bawah lutut polkadot hitam dengan dasar warna putih. Aku ikat rambutku dengan polesan make up tipis.
Sip!
Persiapan kilat sudah selesai. Sekarang aku berangkat kerja.
Duh!
Aku lupa, motor masih berada di kantor. Hari kemarin, Jazil langsung mengantarku pulang. Coba tanya Ibu Kost, dia bisa menyewakan motor harian.
"Mbak Laras!"
Aku kaget mendengar suara yang menghantuiku dari semalam. Spontan aku menoleh ke arah suara itu. Dia sudah di sini, penampilannya lebih rapi dibandingkan kemarin. Menggunakan hem lengan pendek dan celana kain. Lumayan.
"Pak Jazil! Kenapa kamu di sini?"
Dia sudah duduk manis di kursi yang ada di teras kamarku. Seperti hantu saja, tadi malam mengganggu pikiran, sekarang mengusik mata. Sejak kapan dia duduk di sini?
"Saya menjemputmu untuk menyelesaikan yang kita bicarakan kemarin."
"Tapi, saya harus ke kantor untuk laporan. Untuk kunjungan berikutnya belum di jadwalkan. Bukankan kemarin sudah saya jelaskan?" ucapku sembari mengunci pintu kamar.
"Saya sudah hubungi Pak Lartomo. Saya ke sini pun, setelah di menyetuinya. Coba cek hand phone, katanya dia sudah kasih info Mbak Laras."
Aduh iya. Pagi ini tidak sempat mengecek ponsel, karena waktunya mepet. Gara-gara hantu di depanku ini.
[Laras, langsung ke Jazil saja. Tidak usah ke kantor, hari ini hari pendek. Keburu waktunya habis]
"Jadi, saya harus ke sana sekarang?"
"Iya!" jawabnya. Dia tersenyum lebar setelah aku mengangguk. Beginilah, nasib karyawan magang. Harus menurut apa kata senior.
"E ... Saya ganti baju dulu," ucapku dengan menunjuk rok yang kupakai. Tidak lucu kalau naik motor trail menggunakan rok seperti ini.
"Tidak usah. Saya bawa mobil. Kasihan kemarin naik motor, kamu kelihatan tersiksa."
Syukurlah, orang ini mengerti jeritan hatiku kemarin. Naik motor bersamanya harus mempunyai nyawa ganda.
"Bisa naik, kan?" tanyanya setelah membukakan pintu untukku.
Mobil jeep dengan roda besar, membuat aku diam sejenak sebelum masuk. Aku harus berpegangan karena mobil tinggi ini.
"Bisa."
Huuft, orang satu ini apakah tidak bisa seperti orang kebanyakan saja, ya.
Kemarin sepeda motor dengan bentuk seperti itu. Walaupun harganya selangit, tapi mengerikan. Tadi malam, aku iseng mencari informasi di internet. Motor trail bergaya retro itu bernama Ducati Scramber, tipe Desert Sles yang diciptakan secara khusus agar memiliki kemampuan offroad lebih baik.
Harganya sekitar tiga ratus jutaan.
Gila!
Sekarang di depanku, mobil jeep yang kelihatan lumayan harganya, tetapi untuk masuk susah karena terlalu tinggi.
"Katanya tidak bisa pakai AC?" tanyaku saat aku merasa dingin di dalam mobil.
"Buat Mbak Laras, tidak apa-apa. Saya pakai jaket," jawabnya mengambil jaket dari bangku belakang.
Aku tersenyum melihatnya. Jaket yang dikenakan begitu tebal, ada penutup kepala dengan bulu-bulu mencuat. Naik mobil ber AC saja, seperti naik gunung di Kutub seperti orang Eskimo.
"Dasar, Ndesitmen," gumanku dengan berpaling ke jendela menahan tawa.
Bagaimana kalau tidur, aku suka dengan dingin sedangkan dia tidak kuat dingin? Bisa bertengkar terus berebut remot AC.
'Ops!'
***
Kami sudah tiba di tempatnya.
Memulai kerja dengan membenahi alur yang seharusnya. Pertama dari pengeluaran, yang ternyata lumayan besar. Tumpukan nota ada di depanku. Aku pun bingung, harus memulai dari mana.
"Pak Jazil, saya coba susun dari tiga bulan terakhir, ya."
"Terserah, saya tidak mengerti. Atur sajalah. Tapi, istirahat dulu saja. Kita makan kue dulu," ucapnya.
Dia berdiri menyambut seseorang datang membawa nampan berisi minuman dan makanan. Wanita itu tersenyum kepadaku dan aku membalas dengan anggukan hormat.
"Kenalkan, ini Kakakku. Kak Nur, namanya," ucap Jazil mengenalkan kami.
"Paserah asmanah?"
Aku menatap Jazil, tidak tahu yang dimaksud Kakaknya.
"Kak Nur bertanya, namanya siapa?" jelasnya.
"Nama saya, Laras," jawabku menerima uluran tangannya.
Dia mengangguk tersenyum.
"Raddhin, Cong," ucapnya yang aku tangkap sebelum dia meninggalkan kami.
"Apa yang dibilang Kak Nur?" tanyaku penasaran. Kawatir diomongin seperti kemarin.
"Kak Nur bilang," ucapnya berhenti, kemudian menatapku lekat, "kamu cantik."
Spontan pipiku menghangat. Serasa dia sendiri yang mengucapkan, walaupun itu sekedar ulangan.
'Semoga helmku masih cukup, karena kepalaku sekarang membesar'
BERSAMBUNG
******
Bab 5
Ehem
-------------------
Kemarin, aku dipulangkan sebelum waktu Jum'atan.
Sempat aku menolak, dengan alasan bisa menyelesaikan sendiri tanpa dia temani. Targetku, ini harus selesai akhir minggu ini untuk merapikan administrasi saja. Karena masih banyak yang harus dibenahi.
Jazil menolak tawaranku. Katanya, dia tidak tega apabila aku bekerja sendirian. Padahal, selama ini dia tidak mengerjakan apapun. Hanya menemani ngobrol sesekali, selebihnya diam duduk dan sesekali tertangkap sedang menatapku.
Karenanya, hari Sabtu yang seharusnya hari libur, aku harus datang kembali.
Seperti kemarin, dia menjemputku pagi-pagi. Aku sudah menolaknya, karena motorku sudah diantar Pak Satpam hari kemarin.
"Ini sudah kewajibanku untuk menjemputmu. Saya tidak mau ada apa-apa di jalan. Kamu begitu penting untukku."
Sempat kaget mendengar yang dia katakan.
"Maksudnya?"
"Iya, penting. Penting untuk pekerjaan. Kalau kamu sakit atau berhalangan, terus ganti orang. Saya belum tentu cocok. Makanya kamu penting untukku," jelasnya dengan mengusap-usap tengkuk.
"Oh, kirain," ucapku dengan tersenyum, yakin dia pasti berbohong.
*
Aku menyelesaikan sisa pekerjaan kemarin tentang pengeluaran. Sekarang berganti tentang pemasukan. Ini data yang sensitif. Tidak semua client menunjukkan data yang sebenarnya.
Biasanya untuk yang keberatan, kami hanya memberikan form untuk diisi sendiri.
"Pak Jazil, untuk pemasukan bisa diisi sendiri," ucapku menunjuk layar komputer.
"Sekalian saja. Apa saja yang dibutuhkan. Saya adanya nota manual. Itu ada di laci sebelah kanan," ucapnya.
"Boleh?"
"Bolehlah!" jawabnya sambil berdiri dan berjalan kearah almari di belakangku. Ada brankas berukuran sedang di sana. Diambilnya beberapa buku kecil.
"Ini buku tabungan. Mungkin kamu membutuhkan untuk data," ucapnya dengan meletakkan beberapa buku tabungan dari beberapa bank.
"Ini rekening dollar. Pembeli luar negeri saya kasih nomor rekening ini," terangnya lagi, memberiku setumpuk rekening koran.
"Boleh saya membacanya?"
"Bolehlah."
"Atau catatan rekapan saja, Pak," pintaku. Tidak enak rasanya, melihat data yang sensitif ini.
"Tidak ada catatan."
"Terus selama ini bagaimana cara mengecek? Lewat internet banking?" tanyaku dengan tatapan menyelidik.
"Tidak. Saya tidak mempunyai internet bangking. Saya hanya mendapat kabar kalau sudah ditransfer, ada bukti. Ya sudah." Keningku berkerut saat mendengar keterangannya, segitu sederhana.
"Terus kalau ada yang menipu bagaimana? Memberikan bukti transfer palsu dan uang tidak masuk rekening?"
"Saya menggunakan manajemen Tuhan. Kalau ada yang menipu, kita iklaskan saja. Kita pasti mendapatkan gantinya," jawabnya santai.
Huuft!
Tidak ada yang bisa ucapkan atau tanya lagi. Mungkin kalau ada tembok di sampingku, aku akan membenturkan kepala.
"Ndesitman. Benar-benar dari alam SM," gumanku sambil berdesis mengurai kesal.
*
Aku panjangkan kakiku. Meregangkan pegal yang menyengkeram tubuh belakangku.
Mumpung si Ndesitman tidak di sini. Dia memang begitu, sesekali pergi ke gudang belakang. Katanya mengecek kerjaan tukang.
Aku beristirahat sejenak, melonggarkan otak dengan berselancar di internet. Kabar di beranda dipenuhi gosip artis dan isu penggelapan uang. Membosankan!
Aku membutuhkan makanan pelepas rasa penat. Ayam goreng dan burger di Mc Donald menghentikan jariku. Siang ini, enak menikmati menu ini dengan minuman soda dingin.
"Mau makan itu?" ucapnya tiba-tiba. Aku mendongakkan kepala, dia berdiri di belakang sandaran kursi tempat aku duduk.
"Beli saja, nanti di kirim biar saya yang bayar di sini."
"Baiklah!" ucapku senang, "Bapak pilih yang mana?"
"Tidak. Saya tidak suka ayam seperti itu. Enakan ayam penyet. Pesan sana," perintahnya.
Setelah transaksi OK, sekarang tinggal menunggu kurir datang.
"Saya merasa, ayam seperti itu kurang matang. Makannya juga dengan saos, enakkan dengan sambal pedas. Makanan seperti itu cocok untuk anak-anak. Kenapa kamu menyukainya?"
"Dasar ndesitman!" ucapku keceplosan. Langsung aku menutup mulutku karena kaget.
Dia yang sebelumnya berdiri, menarik kursi dan diletakkan di sebelahku.
'Mati aku, jangan-jangan dia marah. Alamat nanti Pak Lartomo murka kepadaku dan berakhir dengan surat peringatan.'
Aku membuka mataku yang terpejam ngeri, bersiap menerima amarahnya.
Hlo, dia kok malah tersenyum?
Senyum yang paling manis yang aku terima.
Dia duduk di sebelahku. Bahkan tangannya diletakkan di meja, dekat tanganku yang saling menangkup.
"Terserah kamu memberi julukan apa kepadaku. Superman, Batman, Ultraman atau Kingsman. Dengan memberiku julukan spesial, itu artinya aku sudah ada di hatimu," ucapannya membuatku kaget. Aku menoleh ke arahnya, dia menatapku tajam dengan raut wajah mulai serius.
Ternyata dia bisa ngegombal. Sok tahu hati orang, padahal iya sih. Ungkapannya kurang tepat. Dia tidak hanya di hati, tetapi juga di pikiran. Bahkan di mata, di hidung, di telinga dan di telapak tanganku. Semuanya, ada namanya.
"Me-memang mengerti artinya ndesitman?"
"Orang desa, kan? Desa adalah rumah untuk setiap orang. Begitu juga aku. Aku akan menjadi rumah untukmu."
Duh!
Apakah yang aku sangka ini benar. Dia mulai menyerang dengan rayuan gombal. Berniat untuk tidak sekedar menjadi rekan kerja?
Sukses!
Dia berhasil membuat hati berbunga-bunga dan jantung ini berdetak lebih kencang.
Aku beranikan diri untuk menatapnya balik. Hati ini menghangat dan membuatku tersenyum membalasnya. Sesaat kami saling pandang tanpa bicara.
Dan,
"Pesanan makanan datang ...!"
Duh!
BERSAMBUNG
********
Kosa kata:
SM : sebelum masehi
Bab 6
Panggil Aku Kak Jaz
-------------------
Pertemuan kami untuk pekerjaan, rutin dilaksanakan. Sudah ada jadwal hari dan jam berapa untuk Jazil ke kantor, sesuai kontrak yang sudah disepakati
Bedanya, kami tidak melakukan pertemuan di kantor yang terletak di lantai tiga. Tempat di cafetaria lantai dasar. Ini permintaan dari Jazil sendiri. Apalagi alasannya, kalau bukan karena takut naik lift.
Pak Lartomo, seniorku terpaksa menyetujui. Bagaimanapun nilai kontrak lebih diutamakan, daripada batal. Jazil mengambil kontrak eksklusive. Selain jadwal yang ditentukan, dia juga mempunyai fasilitas konsultasi kapanpun.
Dimanapun, uang bisa merubah aturan.
Seperti saat ini, kami berdua di kafetaria. Sejak saat itu, hubungan kami mulai dekat walaupun sekedar rekan kerja. Pembicaraan juga sudah mulai santai dan kecanggungan mulai tiada.
Kata saya pun, sudah tergantikan dengan kata aku. Ini kami sepakati, hanya digunakan saat berdua saja.
Bahan pembicaraan sekarang tentang karyawan. Bagaimana menentukan gaji sampai pembagian hari libur. Faktor ini berpengaruh tiga puluh persen terhadap efisiensi kerja.
"Tidak ada aturan khusus untuk karyawan. Hubungan kami seperti keluarga. Mayoritas berasal dari Sumenep. Biasanya mereka membawa saudara atau temannya dari kampung," jelas Jazil dengan menatapku.
"Jadi tidak pernah ada seleksi karyawan?" Aku mengajukan pertanyaan sesuai panduan form dari kantor.
Pandangan aku alihkan pada strawbery smootie dan sepotong kue spiku di depanku
. Lebih baik begini, dari pada jantungku berdegup lebih kencang karena sorot mata itu.
"Tidak ada. Yang penting ada niat kerja dan masih bernapas," selorohnya sambil tertawa. Aku yang awalnya kikuk, menjadi terkejut.
"Jangan bercanda. Aku harus melengkapi form ini. Waktunya tinggal satu jam, kita fokus kerja," protesku dengan melototkan mata dan berdesis ke arahnya.
Tidak membuatnya diam, sebaliknya malah tertawa terkekeh.
"Kamu lupa, waktu kita bersambung dengan makan siang? Itu artinya, masih ada dua jam!"
Dia mengemukakan sanggahan setelah tawa berhenti. Benar juga, sih. Dasar orang Madura, hitungannya jeli.
"Siapa bilang, akan makan siang dengan Pak Jazil? Aku sudah ada janji," ucapku menggertak.
Seenaknya saja mengatur jadwal orang, disuruh fokus kerja malah bercanda. Memang makan siang dengannya, dia yang bayar. Namun, aku merasa waktuku semakin dia kuasi.
Dia meletakkan cangkir kopi yang baru saja di sesap. Menatapku tajam seperti tadi, tanpa mengeluarkan kata dan itu membuat diri ini kikuk.
"Bagaimana mereka bisa jadi tukang kayu, kalau tidak ada ketrampilan?" tanyaku mengalihkan kejengahan yang baru tercipta.
"Apa ini tidak merugikan?" tanyaku lagi setelah dia tidak menjawab.
"Pak! Pak Jazil!" teriakku berusaha membuat dia berkedip.
"Iya, aku dengar. Saya akan jawab semua yang ada di kertas kamu sekarang. Asal, kita makan siang bersama. Sekarang kau batalkan janji makan siangmu!"
Aku tertawa mendengar permintaaannya. Ada-ada saja, harus bersyarat. Padahal ini kepentingannya dia sendiri.
"Janji makan siang bersama orang yang kapan hari kirim pesan. Ini pesannya," ucapku menunjukkan layar ponsel. "Ini dibatalkan, ya?" tanyaku dengan tertawa.
Yang aku tunjukkan, percakapan kami beberapa hari lalu. Menentukan jam berapa pertemuan di hari ini. Mungkin dia lupa, kalau dia yang menawariku mentraktir makan siang pada hari ini.
"Kamu mulai berani meledekku, ya?!"
"Ma-maaf ... maaf. Habisnya, Pak Jazil tidak serius!" ucapku sambil menutup mulut, menahan tawa.
"Baiklah. Aku jawab pertanyaanmu. Yang saya butuhkan dari calon karyawan hanya niat untuk bekerja. Ketrampilan bisa dipelajari, tapi niat harus ada dari awal. Saya lebih suka menerima orang bodoh daripada orang pintar tetapi tidak punya niat."
Penjelasannya berhenti, dia mengambil pisang goreng yang dia pesan.
"Mau?" Dia menyodorkan camilannya. Aku menjawabnya dengan menunjuk kue yang aku nikmati.
Dilihat dari selera camilan dan minuman, kami sangat berbeda. Yah, kami memang bertolak belakang. Seperti warna hitam dan putih.
"Hampir semuanya dari nol. Mereka bisa karena aku latih," jelasnya setelah menelan kunyahan terakhir.
"Bagaimana setelah sudah pintar, mereka keluar dari pekerjaan. Dan gabung ke kompetitor atau mendirikan usaha sendiri? Apa tidak rugi?" tanyaku mencari jawaban yang membuat penasaran.
"Aku tidak rugi, anggap saja kita beramal dengan memberikan mereka alat untuk hidup. Sebenarnya yang merugi mereka sendiri. Karena dia sudah kehilangan kesempatan kembali," ucapnya berhenti untuk mengambil napas, "masih banyak pertanyaannya?"
"Tinggal sedikit, Pak. Yah sekitar lima pertanyaan saja."
"Bisakah kita makan dulu? Aku lapar."
Segera kumasukkan kertas form ke map batik. Berganti dengan buku menu makanan yang sudah diberikan di awal kami datang.
Dia memesan soto madura dan aku memesan nasi gudeg lengkap. Pesanan sesuai selera asal. Hanya satu yang sama, pesan minum air mineral dingin dengan kemasan botol.
"Pak Jazil, kenapa menjadi tukang kayu? Bukankan orang Madura banyak yang jadi penjual sate Madura atau soto Madura?" tanyaku setelah membaca pilihan menunya.
"Ada lagunya lagi," tambahku. Seorang pelayan sudah mengambil daftar pesanan.
"Memang tahu lagunya?" tanyanya sambil tersenyum. Mungkin menganggap perkataanku lucu.
"Tahu, lah! Dulu pas SMP pernah dipaksa nyanyi lagu daerah. Lagunya gini,
Bula panika
Oreng Madureh
Ka tana Jebeh
Toron Sorbejeh
Ajuwelen Soto Madureh
Ajuwelen Sate Madureh
Soto Madureh
Sate Madureh
Aku menyanyikan lagu dengan menambah kata sate Madura, supaya lengkap. Jazil tertawa terbahak-bahak mendengar lagu Madura dengan logat Solo.
Terdengar aneh.
"Iya! Nanti aku akan sesuaikan dengan nyanyianmu itu. Jualan Soto Madura dan Sate Madura, tapi bantu mengelolanya, ya," ucapnya dengan menatapku dan tersenyum.
"Okeylah! Jadi kasirnya, Pak Jazil? Siap, lumayan mendapat gaji tambahan!" ucapku dengan tertawa kecil.
Tawa ini meredup saat dia menatapku tajam dengan raut wajah serius.
"Mulai saat ini, jangan panggil aku pak. Panggil aku Kak Jaz, dan aku memanggilmu Dek Ras!"
"Kenapa?"
Terdengar aneh di telingaku karena tidak pernah dipanggil seperti itu. Orang lain memanggilku Laras atau Larasati. Ada juga yang memanggilku Dewi, nama depanku.
"Biar kita mirip, Jaz dan Ras. Itu menandakan mulai saat ini kita berjodoh. Iya, kan?"
Kata terakhirnya menandakan kita jadian, kah?
Atau, sekedar nyaris?
Ucapannya sukses melenyapkan rasa lapar, tergantikan dengan geleyar indah di hatiku. Ada rasa bahagia dan berbunga di sana. Jantungku seakan mau lepas dari tempatnya.
Duh!
Mbak dan mas pelayan, kenapa tidak segera datang?!
Cepetan, sebelum aku pingsan!
BERSAMBUNG
********
Catatan:
Bula panika (saya adalah)
Oreng Madureh (orang Madura)
Ka tana Jebeh (ke tanah Jawa)
Toron Sorbejeh (turun Surabaya)
Ajuwelen Soto Madureh (jualan Soto Madura)
Ajuwelen Sate Madureh (jualan Sate Madura)-modif
Soto Madureh (Soto Madura)
Sate Madureh (Sate Madura)-modif
Bab 7
Candle Light Dinner
-------------------
"Aku ingin mengenalmu lebih dari sekedar teman dekat. Ijinkan aku memperkenalkan diri ke bapak dan ibu."
Ucapan Kak Jazil kemarin malam sebelum mengantarku pulang. Mengejutkan bahkan membuatku tidak bisa tidur semalaman.
Setelah pertemuan kemarin yang membahas tentang karyawan, kami pun berpisah setelah makan siang usai.
Entah, hari kemarin adalah hari jadi kita atau tak ubah seperti hari sebelumnya. Yang kita sepakati hanya berubah panggilan saja. Dia memanggilku Dek Ras dan aku memanggilanya Kak Jaz. Panggilan saat di luar kepentingan kerja.
"Di tempatku, ini panggilan spesial untuk orang terdekat. Bukankah kita sudah menjadi teman dekat?" tandasnya, mengukuhkan kemajuan hubungan kami.
Siang memang kami berpisah, tidak ada kabar lagi darinya. Dia disibukkan dengan janji buyer yang datang dari Singapure, itu yang dikatakan saat bilang ingin menjemputku kembali saat sore harinya, tetapi tidak bisa karena kendala ini.
Memang, di sore hari tidak bisa menemuiku. Namun setelah waktu Isya' berkumandang, dia sudah ada di depan pintu. Dengan alasan tidak bisa makan kalau tidak ada yang menemani, akhirnya kami bersama lagi.
Tidak ada yang tingkah aneh saat itu. Dia hanya fokus makan dan sesekali mendiskusikan tentang pekerjaan. Terutama yang berkaitan dengan buyer Singapure tadi.
Dan, saat kami selesai makan, ucapan itu yang dilontarkan. Dia meminta ijin untuk di kenalkan kepada kedua orang tuaku.
Ini yang membuatku kawatir.
***
[Dek Ras. Hari ini aku sibuk. Ada cargo ambil barang]
[Maaf, ya. Tidak bisa menemanimu makan siang. Walaupun sebenarnya aku yang tidak enak makan karena tidak ada kamu]
Begitu rajinnya Kak Jaz memberiku pesan, tentang pekerjaan atau sekedar menggombal. Setiap kegiatan, pasti dia mengirim kabar. Dari bangun tidur, kerja, bahkan saat ada masalah pekerjaan.
Pernah aku mempertanyakan kenapa dia seperti itu.
"Dulu aku seperti biasa, Dek Ras. Aku mengerjakan sesuatu sesuka hati. Waktu pun juga tidak teratur. Tapi setelah ada kamu, aku seperti ada pegangan. Ada teman dan ada tujuan. Itu, kamu."
Ucapan yang membuatku meleleh dan hanya mampu tersenyum tanda tersanjung.
Saat makan siang, dia menyerobot waktu istirahatku dengan video call. Padahal inginku, makan siang sambil membaca cerbung baru. Semuanya ambyar gara-gara dia. Jadinya, aku makan nasi kotak dengan posisi ponsel menyala.
Video call dengan Kak Jaz.
Penutup percakapan, dia akan datang menjemputku nanti malam. Dia juga menanyakan ijin untuk memperkenalkan diri kepada orang tuaku.
"Kemarin, aku menghubungi rumah. Tetapi bapak dan ibu masih kondangan. Nanti aku coba lagi," ucapku berbohong.
*
Sebenarnya, ada kekawatiran di hatiku untuk melangkah di tahapan berikutnya.
Bukannya aku meragukan kualitas Kak Jaz apalagi menolak niatnya. Atau, menaruh perbedaan kami sebagai penghalang.
Menurutku, dia seorang yang luar biasa. Diusianya sekarang, sudah mencapai di kesuksesan seperti sekarang. Secara kepribadian dia orang yang baik, perhatian dan tidak pernah bersikap tidak semestinya kepadaku.
Penilaian yang paling akhir inilah yang membuatku nyaman di dekatnya. Dia seperti pelindung dan menaruh diri ini sebagai sesuatu yang berharga.
Kekawatiran akan penolakan dari bapak ibu lah, yang menghantuiku.
Semakin sering kami berbincang dan bersama, semakin tahu seberapa besar berbedaan kami. Aku pribadi, melihat ini sebagai pelengkap. Banyak sekali yang aku tidak tahu, tetapi dia menguasai sepenuhnya. Tak jarang, dia melihat sesuatu dari sudut pandang yang aku tidak terpikirkan.
Bagiku, dia adalah penyempurnaku.
Apakah keluargaku bisa menerima? Apalagi keluarga besar? Terbayang ada orang selain suku Jawa masuk di keluarga pun, tak pernah. Apalagi suku Madura.
Hampir semua anggota keluarga besar adalah pengajar atau pegawai. Tidak ada seorangpun yang bekerja di bidang kreatif, apalagi menjadi pedagang bahkan tukang kayu seperti Kak Jaz.
Keberhasian kami lebih berdasarkan setinggi apa kau sekolah, dan setinggi apa jabatan yang di capai.
Ini berbeda sekali dengan pandangan Kak Jazil. Dia yang menganggap sekolah hanya sekedar membuang kesempatan. Atau, bekerja di instansi hanya sebuah belenggu keberhasilan.
Perbedaan inilah yang aku takutkan.
*
Malam ini, aku berdandan lebih rapi. Kak Jas bilang, kami akan makan malam di tempat spesial. Baju terusan panjang berwarna putih, terlihat santai namun tetap feminim. Aku pun memintanya untuk menggunakan baju putih. Biar serasi denganku.
"Aku ingin candle light dinner, seperti yang pernah kamu tunjukkan," ucapnya tadi.
Memang pernah, aku menunjukkan foto saat berselancar di dunia maya. Saat tanganku berhenti di sebuah foto romantis, dia ikut berkomentar.
"Apa enaknya makan gelap-gelapan. Lebih baik di tempat terang, kelihatan makanannya," celetuknya dengan mendekatkan wajah seperti memastikan sesuatu.
"Memang tahu ini apa?"
"Tahu. Candle light dinner, kan? Bule suka banget makan seperti itu," ucapnya berhenti saat melihatku cemberut, "kamu ingin makan model seperti ini?"
"Tidak!" jawabku kesal.
Dia suka mengomentari orang lain yang kesukaannya berbeda dengannya. Padahal, aku menginginkan hal ini.
Dasar, ndesitmen! Tidak mengerti benar hal romantis. Itu yang aku pikirkan saat itu. Ternyata, dia mengingat apa yang aku inginkan.
*
Ini seperti impianku. Makan malam di alam terbuka di tepi pantai. Meja bundar dengan rangkaian bunga yang indah, disela-selanya ada tiga lilin dengan tinggi yang berbeda. Sekeliling kami, dihiasi lilin yang bertaburan.
Indah sekali.
Tapi, sebentar. Aku seperti dejavu, pernah melihat keadaan seperti ini.
Astaga!
Aku menoleh ke Kak Jaz yang tersenyum melihat kebingunganku. Dia pasti mengerti, aku akan bereaksi seperti ini.
Kaget, heran dan pertanyaan, kok bisa?
"Kak Jaz?!"
"Iya! Apa sih, yang tidak untuk kamu?" ucapnya dengan senyum memgembang. Berbalut baju stelan kain berwarna putih, dia bertambah tampan. Apalagi di temaram sinar lilin ini. Wajahnya yang kokoh terlihat lebih maskulin.
Huft!
Manatapnya lebih lama, membuatku sesak napas.
"Aku memesan tempat, dekorasi dan menu yang sama dengan yang kamu tunjukkan. Aku mengingat tulisan yang di bawah foto. Itu nama tempat ini," jelasnya, menarik tanganku menuju meja indah itu.
Hatiku berbunga-bunga, dimanjakan sang pujaan hati. Aku merasa dijadikan ratu olehnya
*
Sekarang kami menikmati makanan penutup, ice cream yang dibalut dengan coklat tebal. Rasanya lain, enak dan ada sensasi unik.
Makan malam yang indah, diiringi deburan ombak dan alunan musik lembut. Aku menelisik deburan ombak yang berkejaran, seiring dengan rasa di hati ini.
"Dewi Larasati."
Kak Jazil memanggil nama lengkapku. Aku mengalihkan pandangan ke arahnya, kaget. Seingatku, hanya satu kali aku mengucap nama lengkap. Saat berkenalan dulu.
"Kak Jaz hafal nama lengkapku?"
Dia tersenyum menatapku sayu. Rambut ikal dimainkan angin menutupi sedikit wajahnya.
Huuuft, kenapa dadaku terasa sesak? Tatapan sayu membuatku kelu. Aku diam dan terpaku.
"Namamu ada di sini, mulai pertama kau sebut," ucapnya menunjuk ke dada. "Hatiku penuh dengan namamu, bahkan sudah tidak ada celah. Aku tahu itu salah."
"Salah?"
"Ya. Sebelum aku mengucapkan ikrar dan dijawab sah," ucapnya.
Dia mengambil sesuatu di saku celananya. Sebuah kotak kecil dari kayu. Tanganku diambil dan kotak itu diletakkan di telapak tangan ini.
"Dewi Larasati? Maukah kamu menyimpan ini sampai hari itu tiba?"
Hati, jantung semua berdenyut di luar kendaliku. Badanku pun sudah hilang entah kemana. Aku merasa melayang tanpa raga. Tertinggal dengan rasa cinta merasuk sukma.
Tanpa kuasa, aku mengangguk.
Disambut deburan ombak yang menggema, dan senyum bersama mengembang sempurna.
Angin pun ikut berirama.
Menyanyikan lagu cinta, bersama untuk selamanya.
BERSAMBUNG
********
Author: "Aduh! Tepar gua!"
Teman: "Kenapa?"
Author: "Tak tahan jantungku berdetaknya terlalu kenceng! Ini bisa serangan jantung kagak?"
Temen: "Apaan aih, Lu! Sono tidur! Lanjutnya besuk lagi!"
Bab 8
Mencari Restu
-------------------
"Dewi Larasati? Maukah kamu menyimpan ini sampai hari itu tiba?"
Kata-katanya terngiang terus di telingaku. Sampai bangun tidurpun, masih terasa suasana tadi malam. Suara deburan ombak, bau pantai, bahkan wajahku masih merasakan tiupan angin.
Senyumku mengembang tiada henti, begitu juga hati ini. Mungkin berubah menjadi merah muda, warna cinta.
Ngaco!
Orang seperti kami, bebas mengekspresikan cinta. Tidak bisa terbantahkan oleh teori atau ketetapan apapun.
Aku ambil kotak kecil pemberian Kak Jazil. Sengaja aku letakkan bawah lampu tidur, semalaman mataku tidak terlepas dari benda itu. Entah berapa kali kubuka untuk memastikan benda yang tersimpan di dalamnya adalah nyata. Sebuah cincin polos terbuat dari emas. Di dalamnya diukir indah inisial kami.
~DL & JE~
Kepanjangan dari Dewi Larasati dan Jazil Ehsan. Ini yang menyempurnakan senyumku.
Tadi malam, Kak Jazil juga menunjukkan kotak yang sama. Bedanya, cincinnya terbuat dari perak. "Ini aku simpan. Aku menunggu waktu itu, saat kau sematkan ke jariku."
Hari ini sudah aku mantapkan hati. Aku harus berani melangkahkan kaki untuk hubungan ini, memberitahu bapak dan ibu. Apapun kemungkinan yang akan timbul, harus siap dihadapi.
[Sugeng Enjing, Pak Buk. Laras wonten mriki, alhamdulillah sehat. Bapak Buk, sehat?]
[Laras ingin cerita. Laras sekarang dekat dengan orang Sumenep, namanya Jazil Ehsan]
[Dia minta ijin untuk memperkenalkan diri kepada Bapak Ibuk.]
Aku kirim pesan ke ponsel bapak. Hatiku mulai lega, memulai pada tahap selanjutnya. Sekarang, tergantikan dengan resah menunggu reaksi dari rumah.
Pesan masih contreng dua dan belum berubah warna, tanda pesan masuk tetapi belum dibaca. Kebiasaan bapak, ponsel tidak dibawa, diletakkan di buffet atas televisi.
Biasanya di hari minggu, orang rumah sibuk berkebun. Kata bapak, ini untuk refresing dan olah raga. Tanah di belakang rumah penuh dengan tanaman sayur dan beberapa pohon buah. Kacang panjang, terong, tomat, cabai, bahkan singkong. Biasanya bapak dibantu Lek Tarno, tetangga sebelah rumah yang sering diminta kerja sesekali waktu. Kadang kala Airlangga, adikku ikut membantu.
Sedangkan ibuk, pasti sibuk memasak makanan spesial. Maklumlah, keduanya dihari aktif sibuk bekerja. Bapak menjabat kepala dinas di Departemen Pendidikan di kabupaten, sedangkan ibu kepala sekolah di SMP Negeri.
Keluarga kami, keluarga guru. Tidak hanya bapak dan ibu, saudara mereka pun guru. Bahkan almarhum eyang kakung di kampung halaman terkenal sebagai guru senior. Beliau melahirkan beberapa pejabat, satu muridnya pernah menjabat menjadi penguasa negara.
Keadaan inilah yang membuatku resah. Keluarga kami lebih menitikberatkan pada pendidikan formal. Apakah mereka bisa menerima Kak Jazil? Dia yang banyak belajar dari pengalaman dan kehidupan, tetapi tidak menyukai belajar formal.
Huuuff!
***
Layar ponselku menyala dan bergetar.
Panggilan masuk yang aku tunggu-tunggu. Video call dari rumah.
"Assalamualaikum, Bapak, Ibuk," Wajah kedua orang tuaku di layar ponsel.
"Waalaikumsalam, Nduk. Alhamdulillah semua di rumah sehat. Bapak sudah baca pesenmu. Jadi sekarang sudah ada yang serius? Ternyata kamu sudah dewasa ya, Nduk," ucap Bapak sambil tersenyum. Aku menghela napas lega. Ada senyum, berarti ada kabar baik.
"Tapi, Nduk. Laki-laki itu orang Madura, yo!" celetuk Ibu dengan mendekatkan wajah.
Spontan jantung mulai berdetak lebih kencang. Setitik harapan tadi, langsung musnah. Bapak memang lebih kalem di bandingkan Ibu yang berwatak keras dan blak-blakan.
"Inggih, Bu. Kak Jazil orang Madura, tapi dari daerah Sumenep."
"Sama saja!" sahut Ibu, "Nduk, apa di sana tidak ada orang Jawa? Kok kamu bisa berhubungan dekat dengan orang Madura? Mereka itu terkenal tukang kawin. Istrinya lebih dari satu. Ibuk tidak mau anak ibuk digitukan!"
"Kak Jazil tidak seperti itu, Buk. Dia orangnya ...."
"Halah! Orang kalau sudah jatuh cinta, tai kucing rasa coklat!" sahut Ibu memotong ucapanku.
"Bu, jangan begitu. Semua tergantung orangnya," ucap Bapak menengahi kami.
"Itu sudah budaya, Pak. Pokoknya, Ibuk tidak mau! Tidak usah dilanjutkan! Seperti tidak ada laki-laki Jawa saja!" ucap Ibu dengan nada keras.
"Bu, dengar dulu yang diucapkan Laras."
Aku menatap layar ponsel dengan gundah, Bapak dan Ibu mulai beradu mulut. Suara mereka terdengar, namun aku tidak mempunyai nyali untuk mendengarkan.
Jelas, Ibu menentang. Sedangkan Bapak tidak menentang, tetapi belum tentu juga mendukung hubungan kami. Ini kabar buruk.
Apa yang harus aku lakukan?
Dadaku semakin sesak. Rasanya ingin menangis, mengetahui restu yang terganjal. Bayangan akan berpisah dengan Kak Jazil sudah di pelupuk mata. Kehidupanku akan kembali sepi seperti awalnya.
Duh!
"Laras! Ibuk dan Bapak sudah mengambil keputusan. Laras!" teriak Ibu mengagetkanku. Segera aku hapus air mata yang sempat merebak.
"Inggih, Bu."
"Minggu depan, Bapak dan Ibuk terbang ke Bali. Kami akan memastikan seperti apa dia," kata Bapak.
"Kalau dia tidak layak, kalian harus putus! Kalau kamu ngeyel, kamu harus ikut kembali ke Solo!" ucap Ibuk dengan keras.
"Tapi, Buk?!"
"Wes, tidak usah mbantah! Kamu jadi perempuan harus jaga diri. Ingat pesan Ibuk saat akan berangkat dulu!"
"Inggih, Buk."
"Jaga diri ya, Nduk. Bapak dan Ibuk seperti ini karena sayang." Pesan Bapak sebelum menutup pembicaraan kami.
Layar ponsel menggelap seiring dengan gelapnya pandanganku. Mataku sudah penuh dengan air mata yang aku tahan sedari tadi. Hati yang berbunga-bunga lenyap, tergantikan bayangan hitam.
Rasanya, hati ini patah. Kecil kemungkinan untuk terus melangkah.
Ini baru satu berbedaan saja, bagaimana dengan perbedaan lainnya?
Sepertinya aku harus bersiap untuk menyerah.
***
"Dek Ras. Tidak usah menangis. Jalan akan tertutup saat hati kita tidak tenang," ucap Kak Jazil.
Beberapa saat setelah percakapanku dengan bapak ibu, dia menghubungiku. Mendengar tangisanku, dia langsung datang menjemput. Di sinilah kami, pondok privat tepi pantai di sebuah restoran. Setelah memesan minuman dan makanan, kami melanjutkan pembicaraan yang tertunda tadi.
Aku menceritakan tentang pembicaran tadi. Menjelaskan keadaan keluargaku. Profesi, pandangan hidup dan kebiasaan lainnya. Hati ini penuh dengan rasa kawatir dan pesimis.
"Kekawatiran bapak dan ibu itu wajar. Itu tanda sayang mereka. Aku pun akan bersikap sama kepada anak kita nanti," jelasnya, sama dengan yang diucapkan bapak. Hanya kata paling akhir, menandakan dia yakin akan niat ini.
"Tapi, Kak?!"
"Serahkan semua kepadaku. Kamu tahu kan, orang Madura pantang mundur. Tidak ada masalah yang tidak bisa dipecahkan. Yang penting, Dek Ras yakin," ucapnya dengan penuh keyakinan. Matanya menatapku dan tersenyum meneduhkan.
"Iya, Kak Jaz. Laras yakin. Kak Jaz yang sabar ya, menghadapi orang tua Laras."
"Dengan kedatangan bapak dan ibu ke sini, berarti masih banyak kesempatan untuk kita. Mereka masih bersedia menilaiku. Itu sudah sangat berharga untukku."
Aku mengangguk dan yakinku mulai timbul.
"Kamu sangat berharga untukku dan wajib diperjuangkan. Apapun aku akan usahakan. Tenang, ya," tambahnya lagi.
Resahku hilang. Hatiku mulai tenang. Tertinggal mata sembab akibat lama menangis tadi.
Mataku mulai terang, hidung ini pun tidak tersumbat lagi. Semua indra berfungsi kembali. Mampu menatap apa yang di depanku dan membaui aroma sedap yang menggoda.
Keranjang Nelayan Bakar, nama menunya. Ayaman bambu berbentuk piring besar, berisi ikan kakap merah, lobster, udang jumbo dan kerang. Semua dibakar dengan bumbu berwarna merah. Aneka sambal pun melengkapi, sambal tomat, sambal matah dan sambal kecombrang.
Aku lapar.
BERSAMBUNG
********
Bab 9
Mantan Anak Pantai
-------------------
#NDESITMAN
Hari ini, aku ada jadwal untuk pendampingan di perusahaan Kak Jazil. Jaz Gallery, itu nama yang dia pakai dan Mr. Jaz, para tamu menyebutnya.
Tertulis di kantor memang pendampingan kerja, namun sekarang aku terdampar di pantai bersamanya.
"Pagi-pagi tidak ada yang datang. Mereka datang setelah makan siang. Jadi kita jalan-jalan dulu. Bukankan aku tidak pernah mengajakmu keluar selain sekedar makan?" ucapnya saat aku menolak diajak pergi.
Aku memang malas aktifitas di alam seperti sekarang. Jalan kaki dan berkotor-kotor dan basah. Pukul enam pagi, Kak Jazil menjemputku. Perjalanan membutuhkan waktu satu jam, ditambah harus berjalan menuruni tebing.
Sepanjang jalan menyusuri jalan kecil, aku menguap disela gerutuku. Rasa kantuk dan malas menguasaiku. Hanya genggaman tangan Kak Jazil yang sesekali membantu, yang membuatku tersenyum. Di ujung jalan, kami disambut hamparan pasir putih dengan deburan ombak yang indah. Tidak banyak orang di sini, ada beberapa turis asing yang berselancar surfing dan berjemur. Kami seperti di pantai pribadi.
Pantai Padang-Padang, namanya. Berada di ujung paling barat Semenanjung Uluwatu. Sangat dikenal di kalangan peselancar terutama turis asing. Kata Kak Jazil, di sini pernah menjadi lokasi lokasi pengambilan gambar untuk film Eat, Love, Pray yang dibintangi oleh Julia Robert.
"Aku baru tahu ada pantai seindah ini? Haah ... segarnya!" teriakku dengan kedua tangan membentang. Menikmati angin pagi menerpa wajah dan memainkan anak-anak rambutku.
"Memang, pantai di sini tidak ada di daftar kunjungan wisatawan orang kita. Makanya banyak yang tidak tahu. Masih banyak tempat yang bagus. Saat ada kesempatan kita berkeliling," terang Kak Jazil.
Memang, pantai yang kami tahu hanya Pantai Kuta, Pantai Sanur, Tanah Lot dan Ulu Watu. Ternyata ada hidden paradise di sini.
"Cak Jazil! Dek remmah kabarnah?" tanya seseorang yang menghampiri kami.
Laki-laki berkulit legam dan bertelanjang dada. Badannya basah semua. Ditangannya ada papan surfing. Dia peselancar rupanya, pantas kulitnya hitam terbakar sinar matahari.
"Hei, Cong!" Sehat-sehat beih!"
Mereka bersalaman. Berbincang dengan bahasa yang tidak aku mengerti.
"Dek Ras! Sini!"
Aku menghampiri mereka dan diperkenalkan ke laki-laki itu. Namanya Sholeh, berasal satu kampung dengan Kak Jazil. Walaupun penampilannya seperti itu, ternyata dia sangat sopan dan baik. Kelihatan sekali dia menaruh hormat kepada Kak Jazil.
Kami duduk di atas pasir bersandar batu karang. Menikmati deburan ombak yang berkejaran.
"Dek Ras, mengajakmu ke sini untuk memulai menceritakan siapa aku seutuhnya. Ini supaya kamu mengerti tentang aku, bukan sebagai bahan alasan untuk menambah daftar perbedaan kita."
Dia mengubah posisi duduknya menjadi menghadap ke arahku.
"Aku dulu seperti Slamet."
"Kak Jaz pemain surfing?! Anak pantai?!" teriakku kaget.
"Mantan anak pantai, tepatnya."
Tidak bisa membayangkan dia bertelanjang dada dalam kondisi basah. Ditangannya membawa papan surfing. Apalagi rambut ikal basah menutupi sebagian wajah.
Tak terasa, aku menelan ludah. Duh!
"Ya. Dia satu dari muridku dulu. Di atas, ada jasa belajar surfing. Kebanyakan dari wisatawan luar yang menggunakan jasa kami."
Deg!
Penjelasan yang terakhir ini membuatku kaget. Mataku membulat menatapnya tak percaya. Membayangkan Kak Jazil surfing dan mengajari bule, apalagi yang perempuan dan berbaju bikini minimalis.
Sering aku mendengar mereka bisa diajak makan malam dan berlanjut menghabiskan waktu bersama. Apakah Kak Jazil juga seperti itu?
Hhuuuft!
Aku mendengus kesal. Seketika senyum di wajah ini menghilang. Alisku mulai bertaut, membayangkan Kak Jazil yang dulu.
"Kak Jazil bersama bule-bule itu seperti anak pantai yang ...." Ucapku berhenti bingung mencari kata-kata yang tepat.
"Tuh, kan. Belum apa-apa sudah marah?" ucapnya dengan tersenyum. "Aku bukan seperti yang kau bayangkan. Maksud kamu, anak pantai yang bisa diajak tidur gitu?"
Aku mengangguk dengan rasa kawatir menunggu jawaban. Dia tertawa terbahak-bahak, mungkin melihat raut wajahku yang aneh ini.
"Aku ini anak pondok. Tidak mungkin seperti yang kamu pikirkan. Dosa! " Ucapnya setelah tawa mereda.
"Disinilah aku belajar bahasa Inggris. Dengan surving, aku bertemu banyak orang dari berbagai negara dengan budaya dan bahasa berbeda. Bahkan dari macam-macam profesi dan tingkat ekonomi. Dan, dari sini juga, aku memulai bisnis yang ada sekarang."
Aku menatapnya dengan takjub. Dia ternyata mempunyai pengalaman yang luar biasa. Aku tidak ada seujung kukunya. Memang titelku sarjana, kursus bahasa Inggris sudah level mahir. Namun untuk berkomunikasi dan bernegosiasi dengan mereka, aku merasa ngeri. Belum memulai bicara, lidah sudah kelu.
"Aku juga mendapatkan sahabat dan akhirnya mereka menjadi pelanggan tetap sampai sekarang."
"Mereka surfing juga?" tanyaku heran.
"Dek Ras. Mereka itu melakukan perjalanan bisnis sambil berwisata. Biasanya mereka di sini beberapa bulan, dan mengambil saat di sana musim dingin."
"O, begitu ya. Jadi daripada mereka tidak bisa kerja karena salju, larinya ke sini? Liburan sambil bekerja. Pinter juga, ya!"
Mereka memanfaatkan waktu semaksimal mungkin. Membuang uang untuk mendapatkan uang lebih banyak lagi. Liburan gratis dan menghasilkan. Pantas saja mereka baru berkeliaraan setelah makan siang, ternyata pagi hari masih tertahan di pantai.
Kami melanjutkan pembicaraan sambil berjalan menyusuri pantai. Merendam kaki di air laut dan sesekali menemukan omang-omang yang malu saat menjulurkan kaki. Sinar matahari pagi mulai menyelusup diantara tebing, sorot hangat memeluk kulit ini.
Indah.
Disempurnakan dengan embusan napasnya yang sesekali tak sengaja menerpa wajah ini.
"Kak Jaz."
"Apa?"
Aku menatap gulungan ombak jauh di sana. Seperti melihatnya meliuk-liuk diantara ombak di atas papan surfing. Aku langsung mengalihkan pandangan ke tebing untuk menepis hayalan berikutnya.
"Ada apa, Dek Ras?" tanyanya lagi setelah aku disibukan dengan bayangannya.
"Kak Jaz masih bisa surfing?"
Aku menatap dengan pipi sudah menghangat. Baju basah yang melekat di tubuh terbayang jelas.
Kak Jaz menghentikan langkah dan menatapku dengan tersenyum. Rambut ikal dan panjang dimainkan angin laut yang nakal. Seandainya aku angin laut, aku akan bertindak lebih.
Eh!
"Bisalah. Sesekali aku masih melakukan surfing. Tapi tidak lama, bisa menghitam seperti Sholeh. Nanti kamu tidak suka sama aku lagi," ucapnya dengan tertawa.
"Dek Ras, aku akan surfing di depanmu. Bahkan nanti kita di atas papan surfing bersama seperti mereka," ucapnya menunjuk sepasang bule yang duduk di papan surfing, diayun ombak di tengah laut. Mereka berpelukan dan saling mendekatkan wajah. Romantis sekali.
"Tapi tidak sekarang. Aku tidak ingin, rasa kita tercampur dengan rasa yang belum waktunya. Kamu begitu berharga buatku. Aku takut tidak mampu menahan diri, dan tak sengaja berbuat lebih."
Geleyar indah di hati ini. Rasa tersanjung sebagai wanita yang dihargai dan dicintai. Kak Jazil meletakkanku di tempat yang semestinya. Menjaga sampai waktunya tiba.
"Atau ...." ucapnya menghentikan langkahku, "kamu sudah siap melihatku seperti Sholeh, basah tanpa baju?"
Kak Jazil menatapku dengan senyum jahil. Sukses membuatku malu, ketahuan otakku berselancar liar tak terkendali.
Duh!
BERSAMBUNG
********
Catatan:
- Dek remmah kabarnah? = bagaimana kabarnya
- Cak = kakak untuk laki-laki
- Cong = sebutan untuk laki-laki lebih muda
- Sehat-sehat beih = sehat-sehat saja
Bab 10. Sibuk Berdua
-------------------
#NDESITMAN
Tidak hanya Slamet yang menghampiri kami. Beberapa laki-laki yang sudah menepi dari laut, langsung mengerubungi Kak Jazil. Aku disuruhnya menunggu di pondok kecil yang beratapkan jerami kering.
Dari kejauhan mereka tertawa bersama. Kelihatan sekali mereka melepas rasa kangen. Tidak nyaman rasanya melihat gerombolan laki-laki dalam kondisi seperti itu. Basah selepas bermain surving. Terlebih ada Kak Jazil yang tajam mengawasiku
Mereka berbincang, sesekali menepuk pundak Kak Jazil dan menunjuk diriku yang pura-pura tidak melihatnya. Mungkin, dia memperkenalkanku. Entah sebagai teman atau calon teman hidupnya, tepatnya calon istri.
Ehem!
Hatiku terasa hangat karena asumsi paling akhir ini.
*
Setelah matahari mulai naik, kami kembali dari pantai dan singgah di pinggir jalan. Ada payung besar warna pelangi menaungi penjual bubur yang menggunakan sepeda motor. Bubur ketan hitam dan bubur kacang hijau.
"Kamu mau makan di sini?" tanyanya sambil menunjuk emper toko.
Berderet ruko yang masuh tutup menunggu waktu. Kami duduk tak jauh dari tukang bubur yang sibuk melayani pembeli yang mayoritas, karyawan restoran atau hotel yang berangkat kerja. Maklumlah, ini memang di mulut jalan Legian. Jalan yang menjadi surga pejalan kaki untuk belanja atau sekedar menikmati keramaian wisata.
"Dulu sering aku duduk di sini, mencari nasi bungkus untuk sarapan. Sekalian mencari inspirasi. Lihat kendaraan yang lewat," ucapnya dengan menunjuk jalan.
"Jalan ini dua arah, namun yang ramai hanya di satu sisi. Kenapa?" tanya Kak Jazil, menutup ucapannya dengan menyuap bubur kacang hijau kental.
"Itu ramai di satu sisi, karena waktunya berangkat kerja," jawabku sembari menikmati bubur campur. Aku lebih suka bubur kacang hijau yang ditambahkan bubur ketan hitam di atasnya. Kami selalu begitu, berbeda di selera makan.
"Iyak, betul! Dan sore harinya, berganti sisi satunya yang padat. Karena itu waktu mereka pulang. Aku tidak mau seperti mereka."
Aku menoleh ke arahnya, menunggu penjelasan berikutnya. Dia menatap jauh ke jalan yang penuhi dengan kendaraan yang jalan tergesa. Mungkin waktu masuk kerja sudah begitu dekat.
"Aku ingin menjadi tempat yang mereka tuju. Merubah arah mereka ke tempatku berada."
"Maksudnya?"
"Seperti sekarang, aku di posisi memberi kesempatan mereka bekerja. Dan, ini baru awal," jawabnya dengan yakin. Dia kembali menikmati bubur kacang hijau sembari menatap jalan yang semakin ramai, begitu juga bapak tukang bubur.
Aku memandangnya, dia mempunyai impian untuk menjadi orang besar dari awal. Mematrikan keinginannya, jauh sebelum langkahnya di mulai. Aku semakin penasaran dengan kisahnya sampai seberhasil sekarang. Apakah dia mendapatkan warisan atau bagaimana?
*
"Aku harus ganti baju dulu?"
"Tidak usah. Bersihkan tangan dan kaki dari pasir saja. Everyday is holiday di sini. Kita kerja sambil liburan. Baju gitu saja sudah lebih dari cukup, jangan disamakan seperti kerja di kantor," ucapnya sambil tertawa.
Kami sudah sampai di tempat Kak Jazil. Dia menyuruhku menggunakan satu bangunan joglo kecil di samping kantor. Katanya, ini biasa dipakai untuk tamu yang singgah berhari-hari di sini. Ini baru pertama kalinya aku memasuki tempat lain, selain kantor.
"Masih ada waktu. Kamu bisa gunakan istirahat, setengah jam lagi saya baru ke kantor," tambahnya.
Joglo kecil untuk satu kamar saja. Di teras ada dua kursi dan meja. Masuk ruangan, langsung ada tempat tidur dengan kelambu putih menjuntai dan meja kerja di sudut ruangan. Ada lincak menghadap kiblat dan mukena disiapkan di keranjang bambu di sampingnya. Aku akan menggunakannya setelah bersih nanti.
Disebelah, ada ruangan kamar mandi yang berbeda pada umumnya.
Kamar mandi dengan lantai batu koral berwarna putih. Di ujung ada bath tub oval putih dan closet di sampingnya. Wastafel dari batu diletakkan di atas meja kayu berbentuk kayu utuh. Gulungan handuk putih disediakan rapi di atas nampan kayu.
Ingin sekali, aku berendam di bath tub dengan taburan bunga mawar dan dikelilingi lilin aroma terapi.
Hhhmmm ....
Sebentar!
Kalau tempat untuk tamu seperti ini, bagaimana yang Kak Jazil tinggali? Aku belum pernah tahu dan melihat dia tinggal dimana. Yang aku tahu, dia di areal ini juga.
Setelah membersihkan diri dan merapikan riasan, dan istirahat sebentar, aku keluar menuju kantor. Dia sudah siap di meja, sibuk memilah beberapa kertas di depannya. Wajahnya kelihatan segar, rambutnya yang basah sebagian disunggar ke belakang.
Aku duduk di sampingnya, berniat membantu apa yang dikerjakan. Seketika mataku melebar saat melihat penampilannya. Baju hitam lengan pendek dan bawahannya yang tak biasa.
"Kak Jazil! Kenapa tidak ganti pakaian dulu?"
Bagaimana tidak kaget, dia masih menggunakan sarung berwarna hitam. Bukankan itu penampilan tak biasa saat menyambut tamu?
"Tidak keburu, Dek. Mr. Andrew sudah dekat, aku harus siapkan berkasnya. Aku baru pulang dari mushola, eh dia telpon. Padahal seharusnya, dia datang satu jam lagi. Tolong pisahkan invoice atas nama dia, ya." Aku mengambil tumpukan nota yang disebutnya invoice tadi.
"Mr. Andrew Classy Funiture?"
Dia mengangguk. Iya, Mr Andrew yang memberikan kartu nama perusahaan tempatku bekerja. Yang mengantarkan Kak Jazil datang ke tempatku.
"Sekalian aku akan mengucapkan terima kasih ke dia!" ucapnya sambil menghentikan sejenak yang dia kerjakan.
"Kenapa?"
"Karena dia, aku bertemu kamu," ucapnya dengan tersenyum, "ini berkah buatku."
Ucapan yang membuatku tersanjung.
Tak seberapa lama, Mr Andrew datang. Dia menggunakan mobil sport berwarna putih. Kami berkenalan sejenak dan kemudian kembali bekerja. Mereka kelihatan sekali akrab, bahkan aku mendengar Mr Andrew juga menimpali jawaban dengan bahasa Madura. Baru tahu aku, Bule bisa bahasa daerah.
Dia memberikan beberapa pesanan lagi untuk pengiriman barang berikutnya. Ternyata, Mr. Andrew selain mempunyai pelanggan yang datang ke tokonya, dia juga menjual untuk pelanggan besar.
Istilah bisnisnya B2B, Business to Business jadi pelanggannya adalah pemilik toko yang akan dijual kembali di sana. Khusus yang ini, satu pesanan minimal satu kontainer 20ft.
"Bagaimana Jaz? Apakah dia bandel dan tidak bisa di atur?" tanya Mr Andrew kepadaku saat kami berdua saja.
"Begitulah. Tapi lumayan, sedikit demi sedikit," jawabku sambil memberikan rekap daftar nota sebelumnya. Total tagihan dikurangi jumlah deposit yang masuk, dan sekarang sisa pembayaran.
"Nah, begini enak ya. Jazil itu paling berantakan hal beginian. By the way, tumben dia mau kerja bareng perempuan. Sudah berkali-kali saya kirim calon karyawan ke sini, tapi selalu ditolaknya. Malah saya sempat berpikir, dia itu laki-laki tidak suka perempuan," ucapnya dengan nada pelan di kalimat terakhir.
"What are you doing? Jangan ganggu Laras, calonku," teriak Kak Jazil yang baru datang dari belakang. Dia baru selesai mengecek barang apa saja yang akan di kirim.
"Oh, I am sorry. Saya hanya bicara biasa dengan dia," ucap Mr Andrew dengan menaikkan kedua telapak tangannya.
"But, wait .... What do you say? She is your calon?" Dia menunjuk kami bergantian, seakan kaget dengan yang dia dengar. Senyumnya mengembang seakan lega.
"Iya, Laras calon istriku," ucapnya dengan merangkul pundakku.
Perlakuan pertama yang dia lakukan, dan itupun dengan menyebutku sebagai calon istri di depan orang lain. Seakan aku ingin lompat tinggi, meneriakkan betapa senang hati ini.
"Alhamdulillah, Jaz. Akhirnya kamu mendapatkan jodoh! Congratulation!" ucapnya senang dan menjabat tangan kami bergantian.
"Laras! Jaz orang baik, jangan disia-siakan. Tapi kalau dia nakal, kau pukul saja pakai palu. Di belakang banyak!" seloroh Mr Andrew dengan tawa.
Kami melanjutkan perbincangan tentang pekerjaan, walaupun sesekali kami digoda olehnya.
*
"Dek Ras, udah malunya," ucap Kak Jazil lirih, setelah mobil putih itu menjauh. Kami berdua berdiri di halaman mengantar Mr. Andrew pulang.
"Memang kelihatan?" Aku menangkup kedua pipiku yang ternyata terasa hangat
"Itu, pipimu memerah. Mr. Andrew itu memang suka bercanda. Kita kapan-kapan ke rumahnya. Istrinya orang Madura, nanti kamu bisa berbincang dengannya. Dia mualaf."
Oh, ternyata terjawab sudah. Kenapa dia yang orang luar mengucapkan alhamdulillah dan bisa bicara bahasa Madura.
"Terima kasih, Kak Jaz."
"Apa?" Dia menoleh ke arahku dengan mengernyitkan dahi.
"Kamu sudah memperkenalkan aku."
"Sebagai calon istriku?"
Dia tersenyum lagi dan yang sekarang lebih kelihatan jahil daripada manis.
"Sudah, jangan memerah lagi," ucapnya seraya menarik tanganku untuk mengikutinya.
Aku menatap punggung tegap di depanku. Calon imamku dan tempat melabuhkan cinta ini. Teman hidup melangkah menghadapi dunia.
Kak Jazil Ehsan.
*
Sekarang, kami tinggal menunggu satu lagi pelanggan. Dia orang Itali, namanya Vallentina.
Kalau Valentino Rossi aku tahu, dia laki-laki. Namun ini nama perempuan. Cantikkah dia?
Duh!
BERSAMBUNG
********
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
