Helm Milik Bapak!

1
0
Deskripsi

Ini kisah singkat seorang bapak-bapak yang sangat menghargai helm miliknya. Sepertinya membutuhkan tisu untuk membaca cerita ini.

Helm Milik Bapak!

Oleh Askamaa95

 

***


Namaku Aslan. Aku seorang pekerja buruh pabrik, tepatnya bagian menjahit keahlianku. Ya, pihak pabrik untungnya masih bersedia menerimaku padahal usiaku sudah hampir menginjak kepala lima. Entah itu karena kasihan atau apa, tapi aku sangat bersyukur. Dengan hasil dari kerja kerasku, dapurku masih bisa mengepulkan asap.
Kata orang, usiaku sudah tak muda lagi. Tentu saja mereka benar, bahkan punggungku saja sudah merunduk seakan hendak menyentuh tanah. Di sisa hidupku, aku hidup hanya berdua bersama istriku saja sebab kedua anakku sudah memiliki keluarga masing-masing.
“Pak, jangan nyimpen helm sembarangan dong!” kata istriku, Ijah namanya. Dia tampak terganggu dengan helm yang kusimpan di bibir pintu. Lantas dia pun memindahkannya ke atas meja.
Wanita yang hanya selisih lima tahun saja di bawah usiaku itu tampak kesal. Wanita itu adalah wanita yang paling indah di mataku sebab dirinya mau menemaniku hingga sampai saat ini. Dirinya mau melewati asam garam, pahit manisnya kehidupan bersamaku.
“Iya, Bu. Maaf, tadi Bapak lupa,” sahutku.
Aku baru saja pulang bekerja. Memang jarak pabrik itu tidak terlalu jauh dari rumah, tapi aku memang sering memakai helm itu.
Helm yang berwarna hitam, dengan kacanya yang mulai longgar. Helm itu adalah hadiah dari anak tertuaku dari gaji yang pertama kali diterimanya. Maka dari itu, aku sangat tak ingin membuang helm tersebut. Bukan sebuah kenang-kenangan, tapi entah kenapa aku merasa harus menjaga barang itu.
“Lagian helm butut gitu mending dibuang aja, Pak!” kata istriku.
Hobinya memang mengomel saja, tapi aku yakin jika setiap wanita atau lebih tepatnya ibu-ibu pasti akan melakukan hal yang sama. Sepertinya mereka akan mengomel dari pagi sampai pagi lagi.
Tetapi itu tak masalah bagiku karena itu tandanya dia sehat dan baik-baik saja. Aku lebih khawatir dan cemas saat dia hanya berdiam diri saja, melamun apalagi sampai menangis.
“Bapak belum punya duit buat beli helm baru, Bu.”
Boro-boro untuk membeli helm, uang gajiku yang tak seberapa itu hanya cukup untuk makan sehari-hari saja.
“Lagian, pabrik dekat kan, Pak?! Hanya menyeberangi jalan raya. Kenapa harus pakai helm segala? Malu, jelek! Buang saja, ya?!” tanya istriku. Dia sudah bersiap untuk mengambil helm yang bertengger di atas meja.
Hari ini aku tidak mengerti, kenapa istriku mempermasalahkan helm itu. Memang helmnya sudah jelek, tapi bagiku masih bisa dimanfaatkan.
“Jangan, Bu! Bukan Ibu ini yang pakai. Biar Bapak saja yang malu.”
“Bapak ini, susah sekali dibilangin! Telepon saja Alif atau Arif, bilang minta dibelikan helm yang baru!” saran istriku.
Dia mengurungkan niatnya untuk membuang helm milikku tadi. Istriku Ijah malah merogoh saku daster yang dipakainya. Mengambil ponsel tepatnya.
“Ah, jangan, Bu! Malu minta sama anak. Nanti enggak enak sama istrinya,” kataku.
Pantang bagiku untuk meminta sesuatu kepada anak-anakku. Aku pikir, mereka maksudku anak-anakku sudah cukup kewalahan untuk mengurus keluarganya sendiri. Aku tidak mau menjadi beban bagi mereka.
Namun, istriku yang kesal malah menghubungi mereka. Tanpa seizinku dia menelepon Alif dan meminta dikirim helm yang baru.
“Nanti, ya, Bu ... Alif lagi sibuk,” jawab anakku. Aku bisa mendengarnya karena pengaturan loud speaker ponsel itu diaktifkan.
“Oh, iya, Nak. Maaf Ibu mengganggu,” kata istriku. Wajahnya tampak murung. Dia lalu mematikan ponselnya sesaat setelah mengucapkan salam.
“Kita coba telepon Arif!” Istriku sudah mencari-cari nomor anak keduaku.
Entah rindu atau apa. Istriku selalu berusaha untuk menelepon kedua anakku. Tetapi, mereka hanya menjawab seadanya. Hanya beberapa penggal kalimat yang bernada tak enak. Ya, mereka sibuk. Setelah menikah mereka sudah sangat jarang menemui kami.
“Enggak usah, Bu.”
Mendengar larangan itu, istriku terdiam untuk sesaat. Mungkin dia pun sadar jika kedua anaknya sangat sulit meluangkan waktu untuk menemui orang tuanya. Lalu dia menyimpan ponselnya di atas meja di samping helm itu. Tampak kekecewaan terlukis jelas di wajahnya.
“Mereka sudah berubah, Pak. Mereka lupa sama orang tuanya.”
“Ya enggak gitu dong, Bu! Masa mereka lupa siapa yang udah besarin mereka,” kataku.
“Udahlah, Pak. Ibu mau tidur saja.”
Percakapan kami malam ini ditutup dengan perbincangan yang tak mengenakkan. Aku hanya bisa menghela napas, mencoba bersabar.

***

Keesokan harinya, aku kembali bersiap untuk pergi bekerja. Sebelumnya kusempatkan diri untuk sarapan walau hanya dengan telur ceplok saja. Tetapi, bagiku sudah terasa nikmat.
Tak lupa kupakai helm kesayangan itu. Lalu aku pun berpamitan pada istriku yang hendak menyapu halaman. Dengan mengucapkan basmalah, aku pun melangkahkan kaki menaiki motor tuaku.
Motorku melaju dengan kecepatan sedang, melewati tanjakan dengan susah payah. Hal yang paling kusukai adalah saat menemui turunan, motorku pun pasti menyetujuinya.
Tampak jalan raya di depan. Itulah jalanan yang harus kuseberangi, tapi saat kucoba untuk berhenti tiba-tiba rem motorku tak berfungsi. Motorku sudah tak terkendali lagi. Melaju begitu cepat hingga ....
Bruk!
Dalam sisa-sisa kesadaranku, kulihat motor tuaku sudah berada di kolong sebuah truk besar. Sedang diriku? Sepertinya tubuhku terhempas cukup jauh. Mataku kini hanya bisa melihat kabut putih yang perlahan berubah menjadi hitam. Gelap.
Saat kubuka mata ini, aku hanya melihat ruangan putih. Tirai-tirainya pun berwarna senada. Aku terkejut, saat merasakan ada sesuatu yang mengganggu, tepatnya di hidungku. Ada selang di sana.
“Di mana aku? Apa aku sudah berada di surga?” pikirku.
Kulihat ternyata ruangan ini seperti ruangan sebuah rumah sakit. Sekilas aku pernah melihat benda-benda medis itu saat terakhir kali mengantar istriku melahirkan Arif.
“Aku ... di rumah sakit?” batinku.
“Bapak? Bapak sudah sadar? Ini aku Pak, Alif!”
Seseorang membuatku sadar,  tampak wajah pria muda itu begitu tampan. Ya, mataku menangkap sosok yang amat sangat jarang kutemui. Dia anakku yang pertama.
“Arif di sini, Pak!” kata seseorang lagi.
Kini aku bisa melihat kedua putraku yang gagah itu. Namun, wajah mereka tampak murung. Aku tidak tahu kenapa. Selain itu, aku juga melihat seorang wanita yang sedang menangis. Mengelap air mata dengan jilbabnya yang berwarna coklat.
“Ibu, Bapak sudah sadar, Bu!” teriak Alif dan wanita itu pun berbalik.
“Bapak ... Bapak ...!” Wanita itu berteriak-teriak histeris sambil terus menangis.
Ternyata, wanita itu adalah istriku. Hari ini dia memakai jilbab dengan warna kesukaanku. Dia tampak sangat cantik.
“Bapak di mana, Bu?” tanyaku yang ingin memastikan. Entah kenapa rasanya suaraku terdengar serak.
“Bapak di rumah sakit. Bapak mengalami kecelakaan. Untungnya Bapak tidak terluka parah,” tutur istriku menjelaskan. “Untung saja Bapak pakai helm, kalau tidak ... Ibu tidak tahu lagi apa yang akan terjadi,” lanjutnya. Tangisnya tak mau hilang.
Sekilas bayangan saat aku terjatuh dari motor mengisi kepalaku. Benar, aku ingat jika motorku yang hilang kendali telah bertabrakan dengan sebuah truk.
Kulihat jemari, tubuh sampai kaki, tak ada satu pun yang kurang. Hanya lutut kananku saja yang dibalut perban.
“Bapak, maaf Alif terlambat,” kata Alif sambil memberikan bungkusan besar.
Dia buka dengan tergesa-gesa, ingin segera menunjukkan isinya padaku. Persis seperti yang dilakukannya dulu. Ternyata di dalamnya ada sebuah helm baru dengan merek ternama.
Mataku berkaca-kaca. Begitu pun dengan mata kedua anakku. Kemudian aku menunduk dan mencoba mengubah ekspresi wajahku. Kupasang senyum agar mereka tak bersedih lagi.
“Tidak, Bapak tidak bisa menerimanya. Bapak lebih menyukai helm Bapak yang dulu,” kataku. Kutolak helm baru itu.
“Kenapa, Pak?” tanya Arif.
“Jika hanya helm itu yang bisa menyatukan keluarga kita, Bapak tidak keberatan memakai helm itu sampai akhir hayat. Bapak tidak peduli dengan perkataan orang lain yang menjelek-jelekkan helm milik Bapak jika dengan benda itu Bapak bisa melihat kalian berdua seperti ini,” kataku.
Kedua anakku terdiam. Mereka seakan berpikir. Keduanya pun menitikkan air matanya dan langsung berhamburan memelukku. Pelukan hangat itu begitu erat. Tangis istriku malah semakin menjadi.
Setelah kejadian itu, kedua anakku jadi sering berkunjung ke rumah. Rumahku juga jadi tidak sepi lagi karena cucu-cucuku juga ikut. Setelah kejadian itu, hubungan keluargaku jadi lebih erat. Anak-anak juga meminta agar aku segera berhenti bekerja, tapi aku menolak. Aku bosan jika hanya berdiam diri saja di rumah.
Dan, helm hitam itu kini berada di rak TV. Sebenarnya aku ingin sekali memakai helm itu kembali, tapi kini bukan hanya istriku yang cerewet, melainkan anak, menantu dan cucuku juga selalu mengingatkan untuk memakai helm yang baru. Tentunya dengan sepeda motor yang baru juga.

-Tamat-

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Cerpen
Selanjutnya Sample Turun Ranjang
0
0
Buat yang penasaran, ini nih samplenya. Yuk baca! Dijamin penasaran. Nah, kalau penasaran, cus aja langsung beli full part-nya!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan