
Seorang pemuda berjalan malam hari di perut hutan, sementara itu sesuatu mengamatinya dari kegelapan.
Di Perut Hutan
Malam itu, udara lumayan panas. Kabut tipis menyelimuti setiap sela hutan, membuat suasana semakin gerah. Aku duduk sambil memasang wajah serius, sambil menyelesaikan tugas kuliah di sebuah meja kecil. Meja itu adalah tempat para jagawana taman nasional biasa mengakses internet.
Hari-hari mahasiswa tingkat akhir adalah siang dan malam penuh begadang. Aku telah menjalani keseharian semacam itu sejak awal semester, dua bulan yang lalu. Untuk tugas akhir, aku memilih untuk ditempatkan di taman nasional Baluran yang jauh berada di ujung timur pulau Jawa; teramat jauh dari kampus tempatku kuliah. Sebagaimana kebanyakan mahasiswa pariwisata yang menunaikan tugasnya di taman nasional, aku menjalani hari-hari yang diisi oleh patroli masuk hutan dan menulis.
Di sela dua kegiatan itu, banyak sekali waktu luang bagiku. Aku mengisinya dengan memanfaatkan layanan internet gratis dari taman nasional. Di depanku laptop redup menyala, meteran download sudah menghilang, jurnal ilmiah yang kuinginkan sudah berhasil diunduh.
Ingatanku kembali ke waktu menjelang berangkat ke Baluran. Bintang, pacarku, ngambek begitu tahu aku akan pergi untuk waktu yang lama. Bintang tidak habis pikir, kenapa pula aku tidak ambil tugas akhir di hotel, di kota yang dekat saja, supaya kami masih bisa tetap saling bertemu. Lagipula, kalau sudah lulus, masa iya aku mau melanjutkan pekerjaan jadi jagawana, yang hidup terpencil dari peradaban, protes Bintang.
Aku berusaha meyakinkan Bintang kalau menjadi jagawana sudah menjadi cita-citaku sejak dahulu. Di masa sekarang ini, kondisi kelestarian alam semakin memburuk. Aku berpikir, harus ada orang-orang yang mau terjun langsung dan aktif menjadi jagawana. Merekalah yang secara langsung menjaga dan merawat kelestarian taman nasional.
Kecintaanku kepada Bintang membuatku mau bersusah-susah merangkai sejumlah alasan supaya pacarku itu merelakanku berangkat. Namun, hal terpenting yang kusampaikan kepada Bintang adalah aku yakin kalau alam adalah sebuah jejaring kehidupan maha besar yang saling bertaut. Aku menggambarkan kalau Bintang, serta seluruh kehidupan dan alam semesta ini, saling terikat satu sama lain, dan aku memilih untuk mengambil peran aktif menjaga keharmonisannya. Bintang tetap tidak bisa menerima alasan itu, dan memintaku untuk putus saja dengannya. "Hhhh…", Aku menghela napas panjang. Pada akhirnya aku memilih berpisah dengan kekasihku yang tampan itu.
Malam itu, kantuk datang menangkap lebih cepat dari biasanya. Jam di sudut laptop menunjukkan waktu pukul sembilan tiga puluh malam; setengah jam lagi generator listrik akan dipadamkan. Aku bersiap untuk beranjak dari kantor jagawana dan memasukkan ke dalam ransel semua barang bawaan milikku yang berserak di atas meja. Hujan sudah reda, menyisakan malam gelap berkabut.
Aku menghampiri Pak Yatno, satu-satunya petugas piket malam itu, niatnya hendak minta diantar pulang. Apes bagiku, malam itu sepeda motor Pak Yatno pecah ban dan tidak bisa dipakai untuk mengantarnya ke asrama. Sang petugas piket paruh baya itu malah titip pesan padaku, supaya mengabari penjaga hutan lain untuk datang menjemput di pagi hari, karena ponselnya baru saja kecurian, dan telepon di kantor ini masih belum juga diperbaiki. Aku kembali menghela napas.
Langkahku memecah hening lorong kantor penjaga hutan, bertepakan teratur dalam interval yang santai. Tanpa sepeda motor, perjalanan menuju kamar asramaku adalah lima setengah jam berjalan kaki melalui jalan setapak, menjelajahi luasnya hutan taman nasional. Di ujung luas hutan evergreen, setelah menapaki padang sabana Bekol yang luas, akan sampailah aku di pondok kayu berkerangkeng baja yang jadi asrama tempat tinggalku; kerangkeng itu dipasang untuk melindungi asrama dari serbuan monyet sabana yang kerap masuk dan membuat onar.
Malam itu, galaksi Bima Sakti beserta bintang-bintangnya terlelap malas di balik awan. Aku berjalan sambil melamun, sampai ia tiba di ujung jalan setapak; di hadapanku sudah menganga mulut hutan di bawah sinar lampu terakhir. Jalan setapak menjulur seperti lidah yang pangkalnya jauh berada di dalam pekat payung dedaunan.
“Hhh...” Aku kembali menghela napas panjang. Kabut dan pekatnya kegelapan sebetulnya sangat membuatku enggan berangkat, tapi mau tak mau aku memang harus melangkahkan kaki melewati luasnya hutan ini demi sampai ke asrama. Aku tidak mau mengakhiri hari di kantor taman nasional yang pengap, berdebu dan penuh dengan segala bangkai hewan yang diawetkan. Lagipula besok bagian aku libur. Aku bisa menghabiskan waktu seharian di kamar; bersantai dan menonton film-film yang sudah kuunduh bersama jurnal-jurnal bahan kuliah tadi.
Omong-omong soal film, aku sama sekali tidak ingin membayangkan adegan-adegan dari film horor. Apa daya, di waktu yang demikian, benakku seakan iseng memilah dan menayangkan kembali bagian paling menakutkan dari film yang pernah aku lihat. Hal itu membuatku mulai menggerutu sendiri, mengutuki segala iseng pikiran, sampai aku betul-betul ditelan mulut hutan. Telepon seluler murah yang aku miliki tidak mampu memberikan penerangan yang kubutuhkan untuk menembus gelap hutan malam itu. Aku menyalakannya, namun yang muncul hanya pendar redup dari layar telepon butut ini. Aku mengembalikan benda itu ke kantung celana dan kembali berjalan pelan, menyusuri jalan setapak yang dihiasi akar pohon di kiri dan kanan. Aku terpaksa menembus hutan tanpa penerangan sedikitpun.
Pikiranku kembali tertuju kepada Bintang, dan satu demi satu kenangan indah yang kini tinggal kenangan. Satu demi satu pertautan rasa, dan kini aku tak lagi menggenggam tanganmu. Langkah demi langkah kuayun pelan di gelap pekat malam, berselimut kabut, diiringi ramai suara hewan malam. Cocok sekali suasana ini dengan hatiku sekarang, gaduh, namun gelap tanpa Bintang.
Setelah dua jam berjalan, sampailah aku di dekat sumur tua keramat. Malam ini sepi, tidak ada peziarah yang begadang; tidak ada cahaya lampu minyak yang biasanya menerangi tempat mereka khusyuk bertafakur. Malam itu, di tempat keramat itu, kegelapan mendekap, menekan hingga ke ulu hati. Aku memutuskan untuk duduk sejenak di tempat orang biasa duduk bersemedi. Aku bersandar pada tempat duduk kayu yang sudah sangat tua dan liat; pandanganku tertuju kepada sumur tua itu. Entah sejak kapan orang mengkeramatkan tempat itu; sesekali aku memperhatikan peziarah membawa pulang botol penuh air yang mereka timba dari tempat itu; kabarnya air sumur itu suci berkhasiat. Mataku telah terbiasa dengan gelap; setelah dua jam lebih berjalan, aku mulai bisa melihat bentuk-bentuk yang ada di sekitarku. Kegelapan hadir dalam berbagai lapis. Mulanya aku mulai mengenali garis-garis yang membedakan batang pohon dengan latar kanopi dedaunan yang ada di atasnya, kemudian aku mulai bisa melihat rerumputan dan garis-garis ranting di kejauhan, juga sosok yang berdiri tak jauh di sebelah kiriku.
Ada sosok kurus melayang di pekat gelap.
Sosok kurus kering dan penuh darah, seperti mayat korban pembunuhan yang terlambat ditemukan, ia mengering hingga sisa tulang dibalut kulit. Lehernya menganga hampir putus, darah mengucur keluar dari sekeliling pipa saluran nafas yang terputus, membasahi tubuhnya. Ia memakai kemeja berlumur darah yang sobek besar di bagian perut. Aku bisa melihat usus yang terburai menggantung dari sayatan di perutnya yang kerempeng, darah juga merembes dari luka itu sampai ke ujung celana panjangnya.
Seketika jantungku menghentak-hentak seperti hendak melompat keluar dari dada. Mataku terbelalak ketika sosok itu melayang pelan mendekatiku dan menyodorkan wajahnya yang busuk ke wajahku. Aku ingin berteriak namun suara tercekat tak mau keluar. Di dalam hati, aku heran pada reaksiku terhadap situasi ini. Di film maupun cerita orang-orang, perjumpaan dengan setan selalu dapat disudahi dalam sekejap; gelap, lalu suasana cepat berganti. Di situasi yang aku alami, kepanikan tidak hadir sebagaimana di film, ketika sang tokoh berteriak kemudian lari tunggang-langgang. Aku tidak dapat mencerna bermacam perasaan yang teraduk dan bercampur dalam diriku.
Sosok itu melayang seperti sebuah benda yang keberadaannya tidak diinginkan oleh tempat itu. Pohon dan semak senyap tanpa suara serangga, kabut menebal dan udara menyesak setiap kali dihirup. Seisi tempat ini menjadi tak ramah menyikapi kehadirannya. Aku mencoba mengalahkan perasaan tak bernama yang mengaduk perutku, tapi hal itu cuma membuatku semakin mual. Jantungku menghentak hebat, mengakibatkan seluruh tubuhku gemetar sampai hampir kejang, membuatku kesulitan bergerak. Kakiku bagai terpasak ke tanah, namun tak menyerah, aku mencoba melangkah berjalan.
Langkah kecil berhasil kulakukan, namun hal yang kemudian berlangsung membuat jantungku hampir copot. Setan itu mengikuti, melayang ringan tepat di sebelahku. Setiap kali aku melangkah, setan itu turut bergeser segaris dengan bahu kiriku, dengan leher dan perut menganga penuh darah.
“Heey! aku, memutuskan untuk berbicara setan itu. “Apa maumu, hah?”
Hantu itu bergeming. Kami berdua seperti dipisahkan oleh realitas yang berbeda. Ia ada di tempat itu seperti hologram, atau imaji yang dipancarkan dari camera obscura, melayang diam di udara, sebagai pantulan yang diproyeksikan dari sisi dunia lain yang tak dapat kukenali.
Aku memperhatikan kalau mata setan itu tertuju ke kejauhan. Aku berjalan ke arah setan itu menatap. Tak lama, Aku menemukan diriku di hadapan pagar semak belukar. Kusibak belukar lebat itu dan masuklah aku ke sana. Semakin aku berjalan, semak di sekelilingku semakin tinggi; langkah semakin jauh dan aku menyibak semak yang lebih tinggi lagi. Sementara si setan terbang di atas semak-semak tinggi, terus mengikutiku dengan ekspresinya yang kosong. Aku terus memperhatikan tatap mata kosong itu mengarah. Sampai di satu titik, setan itu menatap tepat ke bawah; tangannya menunjuk pada suatu titik di kegelapan.
Aku berasumsi bahwa tentu kawan barunya ini hendak menyampaikan sesuatu, dan hal janggal ini kebetulan adalah cara yang dipilih oleh setan itu untuk menyampaikan maksudnya. Aku berasumsi bahwa tentu ada benda peninggalan si setan penasaran yang ingin ditemukan oleh orang sepertiku, yang kebetulan apes bertemu dengan setan tersebut dan harus melalui ini semua. Aku memutuskan untuk menggali tempat yang terus ditatap oleh si setan; pisau lipat kuambil dari ransel dan mulai aku menggali.
Tak begitu dalam, mata pisauku membentur sebuah benda kecil. Kukeruk tanah itu hingga tanganku menemukan sebuah kalung; sebuah kalung anyaman katun, dengan bandul batu Keladen merah kini ada di genggamanku.
Aku berdiri menggenggam kalung itu; seketika diriku dikejutkan oleh suara mendengung yang datang dari segala arah, seperti ada pasukan lebah mengitariku, beribu banyaknya. Suara-suara tanpa wujud datang mengepungku dalam kresendo. Gaduh dan semakin gaduh dan semakin gaduh.
Sebanyaknya suara menari di frekuensinya sendiri-sendiri, gelombang laju dari segala penjuru, mengantar desis, decit, letup dan dengung ke telingaku. Aku dipaksa menutup telinga rapat-rapat, wajahku tertekuk dan memerah, mata terpejam menahan suara yang datang buru-memburu, tumpang tindih, merengsek masuk ke kepala.
Dalam pejam mata, cahaya menerobos masuk berkilatan, berkejapan dan epileptik.
Suara itu sontak senyap seperti ia datangnya, dan aku cuma bisa melongo sementara burung-burung pagi berkicau ramai di pepohonan. Mendadak sudah terang hari, seakan ada yang memangkas malam.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
