
Inilah kisah tentang perjuangan seorang istri yang dikhianati oleh suami yang dinanti dan seorang Ibu yang berjuang demi masa depan anak semata wayangnya.
Tujuh tahun penantian Erina berakhir sia-sia. Tepat di hari saat suaminya kembali dari tanah rantau, detik itu juga dia diceraikan.
“Nanti, kalau Akang sudah dapat kerja dan tempat untuk tinggal disana, Akang akan jemput kalian.”
“Tidak mau! Erina tidak mau ditinggal disini! Kalau Akang pergi, aku dan Erlin ikut. Kemanapun itu. Walau harus tidur...
BAB 1
Erina tak bisa menyembunyikan senyum dari wajahnya yang mengkilat karena berkeringat. Ditengah langkah kaki yang semakin cepat, wanita berusia dua puluh enam tahun itu berusaha merapikan jilbab dan pakaian sebisanya. Ah … dia sedikit menyesal tadi tidak sempat bercermin untuk memakai bedak tipis dan mengganti daster rumahannya dengan pakaian yang lebih rapi.
"Dimana, Kang?" Erina menghentikan langkah sejenak saat berpapasan dengan Rizal, sahabat suaminya. Dada wanita itu naik turun dengan cepat seiring dengus napasnya yang memburu.
"Di rumah Mang Harja." Rizal menjawab singkat. Lelaki itu menatap prihatin pada Erina yang kembali meneruskan langkah.
"Kenapa Kang Lingga tidak langsung pulang ke rumah? Malah mampir ke rumah Abah dulu padahal rumah itu sudah lama kosong." Erina sedikit bergumam. Dia bahkan sudah setengah berlari kini.
Erina memicingkan mata. Cahaya matahari mulai beranjak meninggi hingga membuat pandangannya sedikit silau. Saat mengunci rumah tadi, dia masih sempat melirik jam dinding tua berbentuk masjid kuning yang catnya mulai terkelupas. Hampir jam sembilan, wajar kalau matahari mulai panas.
"Masya Allah, Alhamdulillah, Kang Lingga. Akang pulang. Masya Allah." Erina menghapus air matanya yang mulai keluar. Tujuh tahun penantian akhirnya berakhir.
Lingga, suaminya yang merantau tujuh tahun lalu akhirnya kembali. Lelaki itu hanya rutin berkirim kabar melalui surat dan menyisipkan uang setahun pertama sejak keberangkatannya saja. Enam tahun setelahnya, Erina terombang-ambing dalam penantian panjang tanpa kepastian.
Tujuh tahun lalu, belum ada yang punya ponsel di kampung mereka. Kalau mau menelepon keluarga jauh, biasanya penduduk akan ke wartel di kota kecamatan. Namun, bagaimanalah? Nomor mana yang akan dihubungi? Dalam surat-suratnya, Lingga tidak pernah memberikan informasi tentang nomor telepon. Jangankan itu, alamat saja tidak ada.
Erina berpikir mungkin suaminya tinggal berpindah-pindah sehingga tidak bisa memberikan alamat jelas. Wanita itu selalu berpikir positif dan mendoakan keselamatan serta kesehatan untuk belahan jiwa yang berada jauh disana.
Ketika Lingga akhirnya tak berkabar lagi, perasaan Erina campur aduk. Kekhawatirannya semakin bertambah saat tetangga menceritakan tentang tidak sedikit perantau yang mengalami kecelakaan kerja dan banyak kabar buruk lainnya. Namun, Erina tak bergeming. Dia berpegang teguh dengan keyakinannya sendiri bahwa suaminya masih hidup. Hanya karena suatu hal yang entah apa, hingga Lingga berhenti berkirim kabar.
Jauh di dalam sana, ada segumpal perasaan kuat yang membuat Erina yakin suaminya akan kembali suatu hari nanti. Hari ini, semua terbukti. Kepercayaannya pada komitmen pernikahan mereka terbayar lunas. Lingga, lelaki yang padanya dia titipkan separuh napas akhirnya pulang.
"Neng, Neng Erina!"
"Bi Yati." Erina mempercepat larinya. Dia langsung memeluk erat salah satu tetangga yang sangat dekat dengannya. Dia bahkan sudah menganggap wanita itu seperti saudaranya sendiri.
"Kang Lingga pulang, Bi, Kang Lingga pulang." Erina melompat-lompat dalam pelukan Yati. Wanita itu buncah oleh rasa bahagia sehingga dia bertingkah seperti anak kecil yang sedang kesenangan.
"Iya, Neng, iya." Yati menepuk punggung Erina pelan. Dia yang sedang berbelanja ikan-ikanan di pasar langsung menuju rumah Harja saat mendengar kabar tentang kedatangan Lingga. Tak dapat disangkal, penduduk kampung itu juga berharap Lingga pulang karena prihatin dengan Erina yang tak lelah menunggu suaminya kembali.
"Ada-ada saja Kang Lingga teh. Kenapa atuh nggak langsung pulang ke rumah? Padahal 'kan rumah Abah sudah lama kosong. Hampir rubuh malah." Erina menggeleng pelan. Dia tidak habis pikir kenapa suaminya justru berhenti di rumah mertuanya yang sudah meninggal bahkan sebelum mereka menikah.
Yati terdiam mendengar ucapan Erina. Lidahnya kelu. Dia bergegas pergi saat melihat keadaan Lingga tadi. Yati ingin menahan langkah Erina agar tidak kesana. Namun, bagaimanalah?
Wajah sumringah dan pancaran mata Erina yang bahagia membuat Yati kehabisan kata. Dia tak kuasa mematahkan semangat wanita muda itu untuk segera menemui suami yang bertahun-tahun dinanti kepulangannya.
"Bi Yati? Ih, Erina tanya malah ngelamun." Erina menggoyangkan bahu Yati. "Ya sudah, Bi, Erina langsung ke rumah Abah saja. Pengen tahu keadaan Kang Lingga. Sehat sempurna 'kan, Bi?"
"Sehat." Yati mengangguk pelan. Suaranya seperti tertahan di tenggorokan. Andai dia punya kekuatan, ingin rasanya Yati menarik Erina agar tidak menemui Lingga. Namun, badannya serasa tak bertenaga. Janda tanpa anak berusia empat puluh tahunan itu hanya menatap prihatin pada Erina yang sudah dianggapnya seperti saudara sendiri.
"Titip kunci buat Erlin, Bi. Assalamualaikum." Tanpa menunggu jawaban, Erina sudah melesat pergi melanjutkan perjalanan. Debar-debar bahagia di dada tidak bisa dia sembunyikan. Beruntung, Erina sempat menitipkan kunci untuk anaknya yang berusia tujuh tahun. Tadi, anak lelaki itu izin pergi memancing dengan teman-temannya.
"Kang Lingga." Erina tersenyum lebar diantara tangis saat melihat kerumunan warga di depan rumah mertuanya yang hampir rubuh. Sudah menjadi kebiasaan, warga sana akan berkumpul melihat orang yang baru pulang dari rantau.
"Neng Erina?" Beberapa warga yang menyadari kedatangan Erina langsung bergeser. Mereka berusaha membuat jarak agar Erina bisa menyibak kerumunan.
Erina terpaku menatap lelaki yang sedang bercakap-cakap dengan jajaran perangkat desa di tengah kerumunan. Lingga, suaminya pulang dengan penampilan yang sangat berbeda. Badannya yang dulu kurus dengan kulit sawo matang karena terbakar matahari, kini terlihat lebih tegap berisi dengan kulit bersih cerah.
"Akang." Erina berbisik pelan seolah tidak percaya bahwa yang di depan sana adalah suaminya. Lingga mengenakan kacamata dengan rambut dipotong rapi. Baju kemeja merah hati digulung hingga siku dan jam tangan besar melingkar di tangannya.
"Pa, Mama ikut Bu Lurah ya? Ini kasihan Delima mau rebahan sepertinya."
Mata Erina membulat sempurna mendengar suara lembut seorang wanita yang menepuk pelan bahu Lingga. Wanita dengan pakaian modis dan rambut panjang terurai itu menggandeng anak wanita yang Erina taksir berusia sekitar lima tahun.
"Iya, Ma. Sebentar lagi Papa menyusul."
Setelah wanita itu pergi mengiringi langkah Bu Lurah, perlahan kerumunan mulai bubar setelah salah satu perangkat desa meminta warga bubar agar Lingga bisa istirahat. Beberapa warga menatap prihatin pada Erina yang masih terpaku di tempatnya.
"Kang … Kang Lingga?" Erina akhirnya berhasil mengeluarkan suara walau tercekat.
Lingga yang akan masuk ke dalam mobil berbalik. Lelaki itu menahan napas melihat Erina. Dia tidak menyangka akan berjumpa secepat ini dengan istri pertamanya.
"Akang …, pulang?" Erina berjalan mendekat ke arah Lingga dengan air mata berlinang. Perasaannya mendadak basah seketika. Rindu, bahagia, bingung, tidak mengerti, semua perasaan itu campur aduk menjadi satu.
Angin berembus pelan menerbangkan daun mangga kering yang berguguran. Aroma buah mangga yang sudah setengah matang hinggap di penciuman. Kira-kira sekitar semingguan lagi lah, buah-buah ranum di atas sana sudah matang.
"Erina Nurhadi binti Muhammad Hadi, hari ini, kujatuhkan talak kepadamu. Mulai detik ini, kita sudah bukan suami istri lagi."
BAB 2
"Erina Nurhadi binti Muhammad Hadi, hari ini, kujatuhkan talak kepadamu. Mulai detik ini, kita sudah bukan suami istri lagi."
Bagai disambar petir Erina hampir terjatuh mendengar ucapan talak keluar dari mulut Lingga. Dia menatap nanar pada suami yang dia nanti kepulangannya selama tujuh tahun ini. Erina kehabisan kata melihat belahan jiwa yang padanya dia titipkan separuh napas kini membentangkan jarak sangat lebar diantara mereka.
"Anggap kita tidak pernah saling mengenal. Masa lalu sudah berlalu. Bagiku, kau bukan siapa-siapa saat ini. Namamu tidak ada dalam rencana masa depanku."
Angin berembus kembali. Kali ini sedikit lebih kencang hingga membuat jilbab dan daster yang dikenakan Erina bergerak-gerak. Wanita itu menunduk saat merasakan sehelai daun mangga kering yang terbang dibawa angin hinggap di kakinya. Matanya terasa semakin panas saat menyadari mereka benar-benar berbeda kini.
Kakinya beralaskan sandal jepit yang sudah tipis. Sementara Lingga mengenakan sepatu sport yang sering Erina lihat di iklan-iklan televisi. Ah … hatinya tercubit. Lelaki itu tidak seperti Lingga yang menikahinya delapan tahun lalu. Penampilannya jauh berubah. Hanya tatapan sendu dengan bola mata coklat itulah yang masih dikenali dengan baik oleh Erina.
Ternyata, tujuh tahun penantiannya berakhir sia-sia. Benarlah kata tetangga yang berbusa-busa memintanya untuk berhenti berharap. Selama ini, dia memeluk rindu sendirian. Jarak bukan hanya membuat raga mereka berjauhan, tapi juga membuat hati Lingga tak lagi tertaut pada Erina.
"Kita … selesai." Lingga berlalu begitu saja meninggalkan Erina yang masih berusaha menata perasaannya yang terserak. Lelaki itu bisa melihat luka teramat lebar telah dia torehkan di dasar terdalam wanita yang dulu sangat dia cinta.
"Talak?" Erina menekan dada. Debu dari roda mobil Lingga mengepul di depan Erina. Wanita itu tak menyangka, hari yang sangat dia nanti ternyata menjadi petaka. Saat dimana dia kira akan melepas rindu pada suami tercinta karena bertahun berpisah ternyata menjadi hari paling kelam dalam hidupnya.
"Mak?"
Erina tersentak mendengar teriakan yang sangat dia kenal. Wanita itu bergegas menghapus air mata saat melihat anaknya berlari-lari ke arahnya. Dia menggigit bibir saat derap kaki kecil Erlin sampai di dekatnya.
"Abah mana, Mak? Tadi Erlin langsung pulang dari sungai saat mendengar Uwa-uwa membicarakan tentang kepulangan Abah."
Erina menggeleng kencang. Dia langsung memeluk anaknya kencang. Wanita itu kembali terisak membayangkan malang benar nasib anaknya. Erlin bahkan belum sempat mengenal wajah sang Ayah secara langsung, tapi kini dia justru mendapati kenyataan diceraikan oleh lelaki yang sangat mereka rindukan.
"Abah kemana, Mak? Tadi di rumah tidak ada. Kata Uwa-uwa tadi, Abah berhenti di rumah Aki ini." Erlin menelisik sekitar. Dia sangat senang mendengar kabar abahnya pulang. Akhirnya, dia bisa menunjukkan pada teman-temannya kalau dia juga punya Abah seperti mereka.
"Abah benar pulangkan, Mak?" Erlin menoleh pada Erina yang membisu saat matanya hanya menangkap serakan daun mangga kering di halaman. Tidak ada abahnya disana. Kalau bukan di rumah Aki, lalu kemana lelaki yang sangat dia rindukan kehadirannya walau belum pernah berjumpa itu pergi?
"Mak? Mak!" Lingga memekik kencang saat melihat Erina sempoyongan. Dia dengan sigap menangkap tubuh emaknya hingga tidak jatuh membentur tanah. "Mak? Tolong! Tolong!"
Erina masih bisa mendengar teriakan Erlin sebelum telinganya berdenging kencang dan pandangannya berubah menjadi gelap. Sekejap, badannya terasa sangat lemas dan kesadarannya hilang.
"Alhamdulillah …."
Kalimah hamdalah langsung menyapa pendengaran Erina saat dia membuka mata. Aroma minyak angin dan balsem bercampur memenuhi penciuman. Setelah mengerjap beberapa kali karena silau, Erina akhirnya bisa melihat dengan jelas.
"Sudah, Lin, itu emakmu sudah bangun." Yati mengelus punggung Erlin yang sejak tadi tidak berhenti menangis.
"Emak tidak apa-apa, Lin. Tadi Emak lemas karena belum sarapan." Erina bangun dan mengusap kepala anaknya. Dia menoleh pada jam dinding. Hampir jam sebelas. Entah berapa lama dia tak sadarkan diri tadi.
"Neng? Bibi pulang dulu ya? Si Eneng sudah sehat." Yati menepuk tangan Erina pelan. "Sudah, jangan banyak pikiran. Beraktivitas saja seperti biasa. Cari rezeki dengan mengharap ridha Tuhan. In syaa Allah nanti ditunjukkan jalan keluar masalahnya."
"Iya, Bi, nuhun, maaf merepotkan."
"Ah, teu nanaon. Kayak sama siapa saja si Eneng mah." Yati mengibaskan tangan dan berlalu dari rumah Erina.
Hari terus beranjak meninggi. Perlahan tapi pasti, terang berubah menjadi gelap. Sejak habis isya' tadi, rumah yang ditempati Erina dan Erlin sepi. Erina langsung istirahat di kamar, sementara Erlin sibuk mengerjakan pekerjaan rumah sendirian.
Biasanya, emaknya akan menemani sambil memotong kubis atau sayuran untuk menyiapkan jualan besok pagi. Namun, sepertinya Erina masih belum sehat benar sehingga memilih tidur lebih cepat.
Sementara disini, Lingga tersenyum lebar saat duduk di kantor desa. Dadanya membusung tinggi dengan punggung tegak. Dulu, dia tidak dianggap di kampung ini. Banyak yang melihatnya dengan tatapan meremehkan.
Sekarang? Lihatlah, bahkan Darna, juragan desa yang dulu sering menghina dan merendahkannya pun ikut menunduk hormat padanya. Uang memang bisa membeli semua termasuk harga diri manusia.
"Pertemuan kita kali ini, akan membahas kira-kira berapa besar anggaran yang dibutuhkan untuk membangun jalan hingga ke tebing di bawah sana."
Lingga mengangguk-angguk mendengar Pak Lurah membuka pertemuan. Sebulan yang lalu, istrinya mendadak ingin melihat kampung kelahiran Lingga. Lingga yang melihat kesempatan untuk menunjukkan kesuksesan pada orang-orang yang dulu merendahkannya, langsung menyetujui keinginan istrinya.
Lingga langsung mencari informasi kontak pengurus desa yang bisa dihubungi. Kembali dengan kesuksesan dan membangun jalan yang merupakan nadi kehidupan di desa membuat pengurus desa langsung menyambut baik kedatangannya. Pak Lurah bahkan menawarkan rumahnya untuk tempat menginap selama di desa.
Setelah beberapa pembahasan, pertemuan diakhiri karena hari sudah cukup larut. Kesepakatan sudah diambil dan Lingga menyatakan siap memberikan dana sampai pembangunan jalan selesai.
"Zal." Lingga terkekeh pelan saat keluar dari kantor desa. Dia menepuk bahu sahabatnya pelan. Dia cukup terkejut saat mengetahui Rizal ternyata menjadi salah satu pengurus desa.
"Hidupmu sudah berubah jauh sepertinya?" Rizal tersenyum saat memeluk Lingga. Mereka bersahabat sejak lama. Dulu, sebelum menikah, Lingga sering menumpang makan di rumahnya. Begitupun sebaliknya.
"Alhamdulillah, berkat kerja keras di tanah rantau sana." Lingga berjalan bersisian dengan Rizal. Dia sengaja meminta Pak Lurah duluan saja karena ingin menikmati suasana malam.
"Sudah bertemu Erina?"
Pertanyaan Rizal membuat keheningan tercipta diantara mereka. Hanya terdengar suara binatang malam dan gesekan sandal setiap kali mereka melangkah.
"Bukankah dulu kau minta aku menjaganya sampai kau kembali?" Rizal kembali bertanya saat Lingga tak juga kunjung bersuara.
"Aku sudah menceraikan Erina tadi. Bagiku, dia bukan siapa-siapa kini."
"Gila kamu, Lingga!" Rizal mengembuskan napas kencang. "Kau tahu bagaimana wanita itu setia menunggumu? Saat orang-orang kampung mengatakan kau mungkin sudah mati, dia bergeming. Erina tetap berpegang pada keyakinan kau pasti pulang suatu hari nanti."
"Sudahlah, Rizal, kata talak sudah terucap. Cintaku pada Erina perlahan terkikis habis seiring bergulirnya waktu yang terus berlalu."
BAB 3
Tahun 2006, Tujuh tahun yang lalu.
"Sudah Akang bilang nggak usah diantar, Neng. Kasihan Akang melihat kamu. Hamil besar begitu melewati pematang sawah yang sempit begini." Lingga terburu-buru menyongsong Erina. Dia bergegas mengambil rantang nasi dan termos air minum dari tangan istrinya.
"Ya gimana atuh, kalau dibawakan bekal dari pagi makanannya nanti dingin. Nunggu Akang pulang makan siang, bisa-bisa Akang melewatkan makan siang gara-gara betah di sawah."
Lingga terkekeh mendengar ucapan istrinya. Betah? Sebenarnya bukan betah. Hanya saja, Lingga bekerja keras agar proses menanam padi bisa cepat selesai. Dengan begitu, dia bisa mengambil upah harian dengan membantu di sawah orang lain.
Sawah mereka hanya sepetak, peninggalan kedua orangtua Lingga. Hasil sawah cukup untuk makan selama menunggu masa panen musim berikutnya. Sementara untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Lingga akan mengambil upahan ikut membantu di sawah atau ladang orang lain. Kadang juga menjadi kuli panggul di pasar. Lebih sering kerja serabutan. Lingga melakukan apapun asalkan halal dan menghasilkan uang.
"Lagipula, Neng senang-senang saja melakukannya, Kang. Dekat ini rumah dengan sawah." Erina langsung menata makanan begitu sampai di dangau.
Nasi panas yang masih mengepul, tumis daun singkong yang Erina dapat dari memetik di kebun belakang rumah Yati, tempe goreng dan sambal tomat terasi menjadi menu makan siang mereka. Jangan tanya lauk lain. Telur merupakan menu mewah bagi Erina dan Lingga. Dalam seminggu, hanya sekali mereka menikmati telur dadar. Itupun kalau Lingga dapat uang dari hasil mengambil upah harian. Sementara, beberapa hari belakangan ini Lingga sibuk di sawah mereka sendiri.
"Kangen sama Akang ya?" Lingga mengedipkan mata sambil mencuci tangan dan kaki yang penuh licak sawah. Air pancuran yang sejuk dan dingin langsung membuat tangan Lingga bersih.
"Akang bisa saja." Erina tersipu. Mereka menikah belum genap setahun. Dua bulan resmi menjadi suami istri, Erina hamil. Jadilah saat ini dia sedang hamil tua, usia kandungannya hampir delapan bulan menurut perkiraan bidan desa.
Mereka menikah dalam usia yang masih sangat muda. Lingga dua puluh tahun, sementara Erina delapan belas tahun. Di desa mereka pada tahun itu sudah bukan hal yang aneh kalau banyak yang menikah muda. Setelah tamat SMA, biasanya para gadis akan langsung dinikahkan kalau sudah ada calonnya.
"Lingga, Uwa titip Erina. Uwa kenal kamu sejak kecil, Uwa yakin kamu bisa menjaga Erina dengan baik sepeninggal Uwa nanti." Ucapan Kulsum, Emak dari Erina masih sering terngiang di telinga Lingga.
Mereka masih sepupu jauh. Kulsum yang sakit-sakitan sejak lama, memanggil Lingga saat dia merasa sudah hampir mencapai batasnya. Walau hidup serba kekurangan dan seorang yatim piatu, tapi Kulsum kenal baik dengan pemuda itu. Lingga rajin bekerja dan tidak neko-neko. Dia juga terkenal ringan tangan membantu tetangga lain yang membutuhkan bantuan tenaga.
Lingga yang sejak lama menaruh hati pada Erina langsung setuju. Siapa pula yang tidak tertarik pada Erina? Dia termasuk dari beberapa gadis di desa itu yang menjadi incaran kaum pria karena kecantikan wajahnya. Itulah sebabnya, Kulsum ingin memastikan anak gadisnya sudah ada yang menjaga sebelum dia meninggalkan dunia.
Dugaan Kulsum terbukti, Erina dan Lingga hidup rukun walau serba kekurangan. Mereka yang terbiasa hidup susah sejak kecil, tidak kaget lagi saat mulai berumah tangga. Apalagi Lingga yang yatim piatu sejak lama, dia terbiasa mencari uang sendiri untuk melanjutkan hidup.
"Makan siang, Lingga." Danar, orang terpandang di desa yang disegani warga melambaikan tangan.
"Pak Danar, Kang." Erina refleks memegang tangan Lingga. Dulu, saat emaknya masih hidup, lebih dari tiga kali Danar meminta Erina pada Kulsum untuk dijadikan istri. Namun, Kulsum menolak halus dengan alasan usia Erina masih terlalu muda.
"Tenanglah, paling Pak Danar mau menawarkan pekerjaan mengangkut barang-barang petani lain."
Danar terkenal sebagai orang paling kaya di Desa mereka. Dia juga yang menjadi pengepul hasil pertanian di desa mereka. Lelaki berusia hampir kepala lima itu yang memiliki mobil bak satu-satunya. Sehingga hampir seluruh penduduk desa menjual hasil pertanian padanya untuk dijual lagi ke kota kecamatan.
"Mana mungkin." Erina memonyongkan bibir. Dia bergegas membereskan piring dan rantang bekas makan siang mereka. "Biasa juga Akang yang datang ke rumahnya. Dia tidak mungkin kekurangan pekerja sampai mau repot-repot menemui Akang ke sawah tengah hari begini."
"Ssst, itu orangnya datang. Sebentar lagi juga kita akan tahu tujuannya kemari. Semoga saja membawa rezeki."
"Aamiin." Erina menjawab sekenanya. Dia turun dari dangau dan membawa piring kotor ke pancuran. Sejujurnya, Erina masih segan bertemu dengan Danar sejak penolakannya beberapa kali pada lamaran lelaki itu dulu. Tatapan Danar membuatnya merasa kurang nyaman setiap kali tidak sengaja berpapasan di jalan.
"Lingga." Danar terkekeh saat sampai di depan dangau. Lelaki itu melepaskan topi lebar yang dia kenakan. Angin sepoi-sepoi menimbulkan rasa sejuk. Dia melirik sekilas pada dua orang yang berdiri di pematang sawah. Danar memang selalu mengajak "pengawal"nya kemanapun dia pergi dengan alasan keamanan.
"Pak Danar." Lingga menyambut uluran tangan Danar dan menciumnya dengan takzim. "Apa hal yang membawa Bapak kemari tengah hari begini?"
"Aku tahu kau sedang menabung untuk menyambut kelahiran anak pertamamu." Danar menepuk bahu Lingga pelan. "Aku sudah punya anak lima, jadi paham sekali kebutuhan menjelang kelahiran bayi." Danar terkekeh pelan.
"Begitulah, Pak." Lingga menggaruk belakang leher. Dia sebetulnya sedang kebingungan. Di usia kehamilan istrinya sekarang ini, mereka bahkan belum membeli satupun perlengkapan bayi karena ketiadaan uang. "Apa ada pekerjaan yang bisa saya lakukan, Pak? Tapi, ya menunggu selesai tanam dulu. Paling 2-3 hari lagi selesai."
Danar terkekeh mendengar ucapan Lingga. Dengan ujung mata, dia memperhatikan Erina yang sibuk mencuci bekas makan mereka. Lelaki itu menghela napas pelan. Dia bisa menebak lauk makan pasangan itu dari sisa-sisa yang tersisa. Andai dulu Erina menerima pinangannya, wanita berwajah ayu itu tak perlu merasakan hidup dalam kekurangan.
"Pekerjaan selalu ada, Lingga. Kau bisa datang kapan saja untuk membantu mengangkut hasil pertanian dengan upah harian." Danar tersenyum. Sekali lagi dia melirik Erina. Betis Erina yang sedikit tersingkap membuatnya menahan napas. Kaki jenjang itu terlihat mulus tanpa bulu-bulu halus.
"Iya, Pak, terima kasih sudah menerima saya bekerja selama ini." Lingga menangkupkan kedua tangan.
"Bukan masalah, tenagamu masih kuat sehingga aku tidak rugi mempekerjakanmu." Danar kembali tertawa. "Tetapi … aku punya penawaran istimewa kali ini, Lingga. Kalau kau setuju, bayarannya bahkan seratus kali lipat dari upah harianmu."
Lingga tersentak mendengar bisikan Danar. Lelaki muda itu menatap Danar dengan bola mata terbuka lebar. Seratus kali lipat katanya? Otaknya dengan cepat berhitung. Dalam sehari, paling tinggi di bisa dapat lima puluh ribu kalau sedang mujur. Seratus kali lipatnya berarti sekitar lima juta? Aduhai! Angka itu sungguh menggiurkan. Seumur hidupnya dia bahkan belum pernah memegang uang lebih dari dua juta.
"Pekerjaan apa itu, Pak?" Lingga bertanya tidak sabar. Andai benar yang dikatakan Danar, dia tidak perlu pusing-pusing lagi memikirkan persiapan persalinan dan kebutuhan calon anak mereka.
"Erina." Danar tersenyum lebar sambil menatap Erina yang kesusahan berdiri kembali karena terhalang perutnya.
"Erina?" Lingga menatap Danar tidak mengerti.
"Ya, Erina." Danar mengangguk mantap.
BAB 4
“Kang, Erina pulang dulu.” Biasanya Erina akan menemani Lingga hingga adzan Ashar. Wanita itu senang menghabiskan waktu menikmati angin sepoi-sepoi sambil rebahan di dangau tengah sawah. Namun, keberadaan Danar membuatnya merasa tidak nyaman hingga memilih pulang lebih cepat.
“Ah, iya, Neng. Sini, Akang bawakan.” Lingga langsung mengambil rantang. “Sebentar ya, Pak, saya mau antar Erina dulu.” Lingga mengangguk sopan.
“Silahkan, silahkan.” Danar mengangguk. Tatapan matanya tidak lepas dari Erina. Sikap Erina yang salah tingkah membuat lelaki itu semakin tertarik.
“Mari, Pak Danar.” Erina menyapa saat lewat di depan Danar. “Nanti jangan pulang terlalu sore ya, Kang? Panci untuk masak air bocor lagi.”
“Nanti kalau Akang sudah upahan lagi in syaa Allah Akang belikan yang baru. Seminggu ini sudah berapa kali bocor.” Lingga membantu Erina yang kesulitan naik ke pematang. Sebenarnya panci air itu sudah sering bocor. Biasanya, Erina menambal sendiri. Namun, sejak kehamilannya semakin besar, gerakan Erina sedikit terbatas karena terganjal perut.
“Iya, Kang.” Erina sebenarnya ingin menyangkal. Kalau ada uang, dia ingin membeli peralatan bayi karena belum ada persiapan sama sekali. Namun, dia enggan berdebat. Biarlah nanti kalau ada uangnya dibicarakan lagi. Toh panci air itu masih bisa digunakan. Yang lebih penting, uangnya juga masih dalam bayangan. Itu masalahnya.
Danar tersenyum tipis saat sayup-sayup percakapan suami istri itu mampir ke telinganya. Dari sini, dia bisa melihat lenggak-lenggok tubuh Erina dari belakang. Bahkan saat sedang hamil tua pun Erina masih terlihat menggoda.
Tidak seperti dua istrinya, Erina hamil hanya membesar di bagian perut dan dada. Pipinya saja yang bertambah tembam sedikit. Sementara bagian lain tidak membesar sama sekali. Entah karena kurang asupan makanan atau faktor lain, Danar tidak tahu. Yang pasti, dia suka melihat Erina yang tetap menawan walau perutnya semakin membuncit.
“Sikat saja, Bos.” Ujang, salah satu pengawal Danar mendekat. Sejak tadi dia bisa melihat mata bosnya itu tidak lepas dari Erina.
“Sulit. Posisiku bisa terancam kalau aku melakukan pemaksaan.” Danar berdehem. “Andai saja wanita tua itu mau menerima lamaranku, pasti anaknya tidak akan menderita seperti itu. Lihat? Itu pasti daun singkong di belakang rumah Yati.” Danar menunjuk sisa-sisa makanan di dekat pancur.
“Aku akan berusaha membujuk Lingga. Dia pasti tergiur dengan jumlah uang yang kutawarkan tadi. Apalagi saat ini dia sedang terdesak kebutuhan.” Danar meletakkan rokok dalam cerutu dan menyalakannya. Tidak lama, asap tebal mulai keluar dari mulutnya.
“Banyak gadis lain, Bos. Itu si Ella setiap bertemu di jalan selalu mesam-mesem. Baru delapan belas tahun, tidak kalah sama Erina. Malah lebih bohay Ella.”
Danar mengabaikan ucapan Ujang. Matanya menatap sawah yang baru ditanami setengah. Rumpun padi bergoyang mengikuti arah angin. Sebenarnya, dia terobsesi pada Erina. Penolakan yang dilakukan berkali-kali terhadap lamarannya menimbulkan dendam tersendiri di hati lelaki itu. Dia merasa direndahkan dan tidak dihormati. Padahal, dia termasuk orang yang disegani di desa mereka.
“Erina masih terlalu muda, Pak.” Danar mengembuskan asap rokok perlahan saat ingatannya melayang ke percakapannya setahun lalu ketika melamar Erina untuk ketiga kalinya. Beberapa bulan sebelum Kulsum meninggal dunia.
“Ah, yang penting ‘kan sudah halangan.” Danar terkekeh. Dari luar terdengar suara ramai anak-anak pulang mengaji. Lepas isya’ di masjid memang ada pengajian khusus anak-anak rutin setiap malam. “Lagi pula, memangnya mau menunggu apa lagi? Seumuran Erina sudah banyak yang menikah. Bahkan ada yang sudah menggendong anak.”
Kulsum hanya mengangguk pelan. Tangannya lincah memetik daun singkong untuk sayur besok pagi.
“Bibi tidak perlu khawatir.” Danar melambaikan tangan. “Kalau yang Bibi risaukan karena posisi Erina yang akan menjadi istri ketiga, itu tidak akan menjadi masalah. Toh dua istri saya hidup berkecukupan. Mereka juga sudah punya rumah masing-masing dan selalu rukun.”
“Erina masih terlalu muda, Pak Danar. Anaknya juga bilang masih mau menikmati masa gadis dulu.”
Danar menarik napas panjang mengingat penolakan Kulsum malam itu. Yang membuat dia sakit hati, beberapa bulan kemudian Kulsum menikahkan Erina dengan Lingga. Pemuda yatim piatu yang mengandalkan upahan dan sepetak sawah kecil untuk bertahan hidup.
Dia marah, tapi tidak bisa berbuat apapun. Harga dirinya tercoreng. Dia merasa dipermainkan dan tidak dihormati oleh Kulsum dan Erina. Padahal, dia banyak membantu kehidupan mereka. Di desa itu, tak ada yang tidak kenal Danar.
Dia ringan tangan membantu membangun fasilitas umum seperti masjid dan sekolahan. Dia juga tidak segan-segan membantu jika ada warga yang membutuhkan bantuan. Selain itu, dia satu-satunya pengepul untuk menjual hasil pertanian sehingga penduduk sering merasa berhutang budi. Kalau tidak ada Pak Danar, kemungkinan besar hasil pertanian mereka banyak yang busuk dan tidak bisa dijual karena ketiadaan kendaraan.
Namun, semua itu seakan tak ada harganya di mata Kulsum dan Erina. Danar sakit hati. Dia ingin membeli harga diri Erina. Dengan begitu, dia bisa menunjukkan pada wanita itu dan roh ibunya bahwa dia bisa melakukan apapun dengan kuasanya kalau dia mau.
“Maaf lama, Pak Danar. Tadi sekalian menambal panci dulu biar bisa masak air.” Lingga duduk sambil membuka baju. Dia mengibas-ngibaskan baju itu karena kepanasan saat di perjalanan tadi.
"Menambal panci." Danar berbisik pelan. Rokoknya telah habis sejak tadi. "Kau tahu, Lingga? Sebelum kau dan Erina menikah dulu, aku berkali-kali melamar Erina pada Bi Kulsum."
Gerakan tangan Lingga terhenti. Lelaki itu mengamati wajah Danar. Dia berusaha mencari kebenaran dari ucapannya barusan. Dia baru tahu tentang hal ini. Erina tidak pernah cerita apapun. Padahal, setahu Lingga banyak orangtua yang berharap bisa menikahkan anak mereka dengan lelaki kaya dan terhormat di sampingnya.
"Sombong sekali mereka, padahal aku melamar Erina untuk kunikahi secara sah."
Sudah menjadi rahasia umum, banyak gadis desa itu yang dinikahi secara siri oleh Danar. Setelah bosan, tinggal dia kembalikan ke orangtuanya. Para orangtua dan gadis-gadis itu tidak keberatan karena mahar dan nafkah bulanan yang diberikan Danar cukup besar.
"Aku menawarkanmu uang lima juta, Lingga. Tak harus melakukan apapun. Berikan saja waktu semalam bagiku untuk bersama dengan istrimu."
Dangau itu hening. Gemerisik dedaunan yang ditiup angin terdengar memenuhi sekitar.
"Tak usah terlalu banyak yang dipikirkan. Dengan uang itu, kau bisa langsung membeli sepuluh panci." Danar terkekeh sambil menepuk bahu Lingga.
Lingga menunduk. Bayangan persalinan Erina yang semakin dekat dan mereka belum membeli satupun perlengkapan bayi, biaya persalinan di bidan desa, belum lagi genteng dapur yang bocor melintas dalam pikiran Lingga.
"Ini uangnya, kalau kau setuju, malam ini aku bertandang ke rumahmu." Danar meletakkan segepok uang merah yang tersusun rapi dalam ikatan ke atas pangkuan Lingga.
BAB 5
"Ini uangnya, kalau kau setuju, malam ini aku bertandang ke rumahmu." Danar meletakkan segepok uang merah yang tersusun rapi dalam ikatan ke atas pangkuan Lingga.
Mulut Lingga tertutup rapat. Lelaki berusia dua puluh satu tahun itu menarik napas panjang. Dia berusaha menjernihkan pikiran walau perasaannya bergejolak. Meski terjepit kebutuhan, tapi Lingga tidak pernah terpikir sedikitpun untuk menjual Erina. Telah lama dia hidup dalam belenggu kemiskinan, satu kali pun dia tidak tergoda untuk mencari uang dengan jalan haram.
Sejak usia sepuluh tahun, Lingga sudah menjadi anak yatim. Dia ingat sekali, waktu itu dia sedang mengerjakan soal perkalian di papan tulis saat kabar meninggalnya Abah sampai ke telinganya. Menyakitkan. Kabar menyakitkan itu langsung membuat dunianya gelap seketika.
“Maaf ya, Lingga, Emak hanya bisa memberikan uang segini untuk jajanmu. Sawah kita masih beberapa bulan lagi panen.”
Lingga menggeleng pelan. Hari itu, dia menolak uang jajan pemberian emaknya dengan alasan masih ada sisa kemarin. Walau baru kelas empat SD, Lingga paham sekali keadaan mereka. Sejak Abah tiada, tidak ada lagi yang mencari upahan harian untuk uang belanja. Emaknya hanya mengandalkan sisa tabungan sambil merawat sawah.
Sejak saat itu, Lingga kecil mulai terbiasa dengan kerja keras. Setiap pulang sekolah, dia akan berangkat ke pasar mencari upahan. Dia mengerjakan apa saja asal menghasilkan uang dengan tangan kecilnya.
Setelah mendapat uang, dia akan membeli gula, garam, bawang dan lain sebagainya untuk membantu meringankan beban emaknya. Walau uang yang di dapat sehari hanya cukup untuk membeli sekilo gula, tapi itu sangat membantu meringankan kebutuhan dapur mereka.
Setiap libur sekolah, Lingga membantu emaknya di sawah. Hanya itulah satu-satunya sumber pendapatan yang mereka punya. Sekecil itu, Lingga sudah ditempa dengan kerja keras. Saat teman-temannya riuh rendah mengejar layangan putus, dia berjibaku mengangkat gabah untuk dibawa ke tempat penggilingan padi.
“Lingga! Emakmu terjatuh saat tadi membantu di hajatan Bi Cucum.”
Kabar menyakitkan empat tahun lalu itu bagai merenggut jantung Lingga hingga dia seakan tak bernapas lagi. Usianya baru saja memasuki angka tujuh belas tahun saat berita kematian emaknya sampai di telinga.
Tiga tandan besar pisang raja yang baru setengah matang terlepas begitu saja dari pikulan Lingga. Dia berlari kencang menuju rumah tanpa mempedulikan pisang-pisang yang berserakan terlepas dari tandan. Biarlah, nanti-nanti dia bisa bicara dengan Danar. Potong saja upahnya hari ini untuk mengganti pisang yang rusak itu.
Ada hal yang lebih penting. “Emak.” Lingga terus memanggil emaknya sepanjang jalan. Rona cemas terlihat jelas dari wajah lelaki itu. Ketakutan tak dapat dia sembunyikan lagi. Saat akhirnya sampai, dia terlambat. Emaknya telah berpulang.
Usia tujuh belas tahun, Lingga yatim piatu. Dia berusaha melanjutkan hidup walau awalnya tertatih. Namun, waktu adalah obat terbaik dari segalanya. Ribuan hari terlewati, perlahan luka itu mulai sembuh walau pelan.
Lingga tumbuh menjadi lelaki pekerja keras. Dia juga ringan tangan membantu yang lain karena merasa tak ada lagi keluarga hingga tetanggalah keluarga baginya. Itulah yang membuat Kulsum mantap menikahkan Erina dengan Lingga. Asal mau bekerja keras, selama hidup tidak akan pernah kelaparan. Asal mau bersyukur, berapapun rezeki yang didapat akan terasa cukup.
“Bagaimana, Lingga?”
Tepukan pelan di bahunya membuat Lingga tertarik dari kenangan masa lalu. Dia menatap tumpukan lembaran merah di pangkuannya dan beralih menatap Danar yang tersenyum lebar.
“Tidak usah terlalu dibawa berpikir berat lah. Perkara ini mudah saja bagi kita. Hanya semalam tidak akan merubah rasa Erina. Kau juga bisa memenuhi semua kebutuhan dengan mudah. Aku yakin sekali seumur hidup kau tak pernah memegang uang sebanyak itu.” Danar terkekeh melihat Lingga yang menatapnya tak berkedip.
Lingga menggeleng pelan. Dia kehabisan kata. Kalau bukan karena teringat umur Danar jauh di atasnya dan dia sering mencari upahan di tempat lelaki itu, bisa dipastikan pukulan Lingga sudah melayang saat ini. Bicara merendahkan Erina seperti itu sama saja dengan Danar merendahkan dirinya.
"Ayolah, Lingga." Danar berdecak pelan melihat penolakan dari lelaki muda itu. Dia menatap kejauhan, beberapa petani terlihat sibuk di sawah masing-masing. Mereka menggunakan baju panjang dan caping lebar untuk melindungi diri dari sengatan matahari.
"Aku kenal betul dengan Kang Harja, abahmu." Danar berdehem pelan. Dia melambaikan tangan saat salah satu petani di kejauhan melambaikan tangan pada mereka. "Usia kami hanya terpisah empat tahun. Kami teman sepermainan dulu. Jadi, aku paham sekali kondisinya sejak kecil."
Lingga mengangguk. Itulah alasan dia tetap berada disana dan diam mendengarkan walau hatinya sudah panas. Danar adalah teman baik abahnya. Saat dia masih kecil dulu, Harja cukup sering mengajaknya bertandang ke rumah Danar.
"Sejak dulu, keluarga kalian ya begini-begini saja. Hidup dari upahan dan mengandalkan sawah sepetak ini." Danar terkekeh. "Kalau kau menerima tawaranku, mungkin bisa kau gunakan untuk modal usaha. Berjualan apalah misalnya." Danar mengambil uang di pangkuan Lingga dan menepuk-nepukkannya pelan ke telapak tangan.
"Jangan terlalu dipikirkanlah. Tidak akan rusak sawahmu dicangkul orang semalam." Danar kembali terkekeh. "Aku berani bertaruh. Jangankan kau yang yatim piatu, bahkan abahmu pun sepertinya tidak pernah memegang uang sebanyak ini. Miskin —,"
"Jangan hina orangtuaku!" Danar berdiri dan sekonyong-konyong melayangkan pukulan kencang ke hidup dan mulut Danar. Dia masih bisa menahan diri tadi. Namun, saat mendengar orangtuanya dihina dan kehormatan Erina direndahkan berkali-kali, dia tak bisa berdiam diri lagi.
"Tutup mulutmu dan pergi dari sini. Aku tak butuh uangmu! Maaf, walau kami miskin, tidak setetespun darah dalam tubuh ini terbentuk dari nafkah yang haram."
"Sialan! Kau akan menyesal, Lingga!" Danar memegang hidungnya yang patah dan gigi depannya yang terlepas. Darah bercucuran hingga membuat tangan lelaki itu dipenuhi warna merah.
"Bos!" Dua pengawal Danar sigap meringkus Lingga. Namun, gerakan mereka terhenti melihat Danar menggeleng. Mereka menoleh ke belakang saat Lingga memberi kode lewat tatapan mata. Beberapa warga yang sawahnya berdekatan berlarian menuju tempat keributan.
"Lepaskan anak tak tahu diuntung ini. Puluhan tahun hidup dari menjadi kuli angkut di tempatku, bisa-bisanya bersikap seperti ini." Danar bicara dengan susah payah. Dia langsung mengelap darah dengan sampul yang diberikan oleh pengawalnya.
"Kita pulang!" Dia memberi perintah. Danar bergegas melangkah. Hidung dan mulutnya harus segera diobati. Bogem Lingga telak menghantam wajahnya tadi. Lelaki berusia dua puluh satu tahun itu sepertinya meninjunya dengan sekuat tenaga.
"Biarkan saja bocah ingusan ini." Danar meludah di samping Lingga. Air liur bercampur darah itu mengenai baju Lingga. "Kau lihat saja apa yang bisa kulakukan untuk membalas perbuatanmu hari ini, Lingga. Tunggu saja!"
BAB 6
“Kang?” Erina berlari menyongsong Lingga yang pulang dengan langkah gontai. Adzan maghrib berkumandang dari masjid ujung desa. Beberapa penduduk yang akan menuju masjid mengangguk dan membalas sapaan Erina.
“Masuk, Neng. Tidak baik wanita hamil keluar maghrib.” Lingga langsung menggandeng tangan Erina. Lelaki itu memilih diam saat melihat tatapan penuh tanya dari mata istrinya. Dia sudah menduga pasti Erina sudah mendengar tentang keributan di sawah tadi siang.
Desa mereka adalah desa kecil. Kabar matinya ayam Bi Yati saja langsung membuat heboh satu kampung, apalagi kejadian tadi siang. Danar yang masuk kampung dengan wajah berdarah dan hidung patah pasti menjadi pembicaraan besar.
Danar adalah orang terpandang di desa mereka. Dia terkenal baik lagi alim. Setiap shalat tidak pernah tinggal berjamaah. Kalau ada acara peringatan hari besar agama, Danar tidak segan merogoh kocek untuk mengundang ustad dari kota.
"Dapat sayur pakis dari mana, Neng?" Lingga menatap sayur pakis santan di hadapannya. Seingat Lingga, Erina sudah tidak ada pegangan uang lagi untuk membeli sayur atau lauk. Sisa uang sepuluh ribu sudah dibelikan minyak goreng setengah liter kemarin.
"Dikasih Bi Yati, Kang, sekalian sama santannya. Tadi dia minta aku menjaga Roni sebentar pas mau ke pasar. Waktu pulang aku dikasih sekalian.” Erina meletakkan seekor ikan asin goreng. Dia mulai menyendokkan nasi ke dalam piring. Seperti biasa, mereka makan sepiring berdua.
Sejak hamil, Erina memang maunya selalu makan sepiring berdua. Kalau tidak begitu, dia tidak bisa makan. Pernah sekali dia coba, alhasil dia tidak bisa makan dan muntah. Lingga sempat heran saat itu. Wanita hamil memang ada-ada saja, pikirnya.
“Ada kejadian apa tadi, Kang?” Erina duduk di samping Lingga yang sedang merenung di luar rumah. Selepas makan malam dan menunaikan shalat isya’, mereka memang sering menghabiskan waktu memandangi gelap malam.
Kalau bulan sedang terang, ramai anak-anak bermain di luar rumah. Biasanya Erina akan duduk di samping Lingga, tapi sejak hamil dia memilih menikmati malam melalui jendela. Kalau sedang ada rezeki entah membeli atau diberi tetangga yang panen, mereka akan bercerita banyak hal sambil menikmati ubi rebus.
“Pak Danar dibawa ke puskesmas di kecamatan. Kata Bi Yati, mulutnya berdarah dan hidungnya patah. Beberapa penduduk bilang, Akang berkelahi dengan Pak Danar di sawah tadi. Benar begitu?”
Lingga menarik napas panjang. Dia kelepasan tadi. Walau begitu, dia sedikitpun tidak menyesali telah memberi pelajaran pada orang yang telah merendahkan istri dan orangtuanya. Hanya saja, dia mulai bingung bagaimana ke depan. Kalau sedang tidak ada pekerjaan di tempat lain, dia selalu mengambil upahan menjadi kuli angkut di tempat Danar.
“Kang? Sebenarnya apa tujuan Pak Danar tadi siang? Kalau tahu ujungnya akan seperti ini, aku tidak akan pulang duluan tadi.” Erina mengelus perut. Janin di dalam sana bergerak-gerak. Sepertinya dia merasakan keresahan yang sedang dialami oleh ibunya. Tidak biasanya janin Erina bergerak sangat aktif seperti itu hingga dia merasa sedikit ngilu.
“Sudahlah, Neng, semua sudah terjadi.” Lingga menjawab pelan.
Erina terdiam. Perlahan, air matanya mengalir pelan. Dia tahu Lingga tidak mungkin sembarang memukul. Walau belum lama menikah, Erina tahu betul suaminya bukan orang yang mudah terpancing emosi. Entah apa yang terjadi sampai Lingga tidak mau menceritakan kejadian sebenarnya.
Satu yang pasti, Erina sedang kebingungan kini. Perkiraan persalinannya sebentar lagi. Mereka tidak memiliki simpanan sama sekali karena kemarin sudah dibelikan pupuk untuk padi dan racun untuk membasmi hama di sawah.
Awalnya, mereka berharap akan mendapat uang dari Lingga mengambil upah harian di tempat Danar setelah masa tanam selesai. Bisa dikatakan, upahan di tempat Danar sudah menjadi mata pencarian utama Lingga selain mengurus sawah.
“Tenanglah, in syaa Allah ada rezeki buat anak kita.” Lingga masuk dan mengelus perut Erina. Walau tidak bicara, dia tahu kegelisahan Erina. Dia pun sebenarnya tidak kalah resah memikirkan akan kemana mencari tempat upahan nanti.
“Iya, Kang.” Erina mengangguk pelan. Dia langsung menghentikan tangis. Walau masih muda, Erina sudah bisa berpikiran jauh. Kalau dia terus meratapi yang sudah terjadi justru akan membuat suaminya semakin pusing.
Malam beranjak meninggi. Rumah itu sudah lama dipeluk kegelapan. Walau sulit, Erina dan Lingga akhirnya terlelap juga bertemankan keresahan.
“Ada apa, Kang?” Erina yang baru saja selesai menjemur cucian berteriak kencang melihat Lingga yang digiring beberapa orang. Dia berjalan cepat walau kesusahan mengikuti langkah orang-orang yang menggiring suaminya.
“Kenapa kamu malah cari perkara dengan Bos Danar sih, Lingga? Ada-ada saja kamu itu.” Kurdi berdecak pelan.
Erina membulatkan mata mendengar nama Danar disebut. Pagi tadi seperti biasa Lingga berangkat ke sawah. Belum tinggi matahari, suaminya itu sudah digiring ke kantor desa menurut dugaan Erina. Benar saja, saat sampai disana beberapa penduduk dan jajaran petugas desa sudah berkumpul.
“Saya tidak mau memperpanjang masalah ini, Pak Lurah.” Danar bicara sedikit sengau. Wajahnya terlihat kebiruan di sekitar mulut. Perban menempel di hidungnya yang mancung. Sejujurnya, walau usia sudah tak lagi muda, sisa-sisa ketampanan Danar saat muda dulu masih terlihat jelas.
“Mungkin Lingga terjepit keadaan karena istrinya sudah mau lahiran. Dia sepertinya khilaf saat saya mampir ke dangaunya kemarin siang. Saya yang baru saja membayar uang ke para petani yang menjual hasil kebun menghitung sisa uang disaksikan Lingga.”
Lingga mengepalkan tangan mendengar penjelasan Danar. Pandai benar lelaki itu mengarang. Namun, dia bisa apa. Siapa lah dia di desa itu jika dibandingkan dengan Danar yang banyak berjasa dan orang terpandang?
“Salah saya menghitung uang disana. Saya hanya tidak menyangka ternyata Lingga gelap mata. Dia –”
“Fitnah!” Lingga berteriak kencang. Walau tahu pembelaannya sia-sia, dia tidak akan diam saja. Diam berarti membenarkan semua bualan yang Danar ucapkan.
“Kau seharusnya minta maaf, Lingga!” Pak Lurah menggeleng melihat Lingga yang memberontak dipegangi warga. “Sudahlah, sulit bicara dengan anak muda. Pak Danar mau bagaimana agar masalah ini selesai?”
“Saya mau dia mendapatkan hukuman sosial agar jera. Jangan ada yang mau memberikan upah harian padanya. Agar dia tahu bahwa mencelakai dan mengambil hak orang lain adalah perbuatan hina.” Danar berkata mantap. “Kita harus bersatu memberi pelajaran agar pelaku kejahatan jera. Kalau tidak begitu, tidak menutup kemungkinan ke depan akan ada yang mengikuti jejaknya.”
BAB 7
“Beras dua kilo, gula, kopi, garam, penyedap. Minyak goreng satu liter, mie instan tiga bungkus sama sarden satu kaleng. Seperti biasa kayak bulan-bulan sebelumnya.” Yati membongkar kresek sembako yang baru dibagikan oleh orang suruhan Danar.
Orang terkaya di desa itu setiap bulan memang rutin memberikan sembako setiap bulan untuk yang kurang mampu. Itulah sebabnya, warga langsung percaya dengan penuturannya waktu itu di balai desa. Apalagi saat ini kondisi Lingga memang sedang terjepit karena harus mengumpulkan biaya untuk persalinan Erina.
Jadi, wajar saja kalau lelaki muda itu gelap mata pikir mereka. Warga sepakat menyetujui usul Danar tempo hari untuk tidak memberikan pekerjaan dan bantuan apapun pada Lingga dan Erina sebagai bahan pelajaran ke depan agar yang ingin berbuat jahat bisa berpikir ulang.
“Kalian tidak dapat pembagian ya, Neng?” Yati memperhatikan Erina yang sibuk menumbuk daun singkong. Dia memang minta bantuan Erina untuk menumbuk daun singkong. Nanti dimasak tumis campur teri dengan bumbu darinya. Setelah matang, nanti dibagi dua. Masakan Erina cocok di lidah Yati dan keluarga. Dia juga pembersih sehingga Erina tak segan meminta Erina masak lalu hasilnya dibagi dua.
“Tidak, Bi.” Erina menggeleng pelan. Padahal, setiap bulan dia sangat mengharapkan bantuan itu. Sembako dari Danar sangat bermanfaat bagi mereka.
“Sabar ya, Neng. Bibi nggak yakin kalau Lingga seperti itu. Mana mungkin dia bisa menyerang Pak Danar begitu saja. Dia ‘kan kemana-mana dikawal sama Ujang dan Ripan. Cari mati namanya kalau nekat menyerang.”
“Entahlah, Bi, Kang Lingga tidak mau cerita. Akang cuma bilang masalahnya sudah selesai. Dia minta maaf kalau kami jadi bahan pembicaraan.” Erina memasukkan tumbukan terakhir ke dalam baskom. Setengah jam, akhirnya selesai juga dia menumbuk daun singkong itu.
“Kemana Lingga? Pagi-pagi sekali Bibi lihat sudah berangkat. Padahal ‘kan sudah selesai menanam padi?” Yati mengangguk-angguk melihat Erina yang cekatan membelah teri menjadi dua untuk dibersihkan kotorannya.
“Tadi Kang Lingga pamit mau cari rebung, Bi, lumayan nanti bisa dijual ke pasar atau ke desa sebelah. Kemarin-kemarin mencari ikan di sungai ujung hutan sana, alhamdulillah laku terjual.” Erina mulai menyalakan tungku untuk mulai masak. “Lumayan, Bi, buat tambah-tambah persiapan lahiran nanti.”
Yati mengangguk sambil menatap Erina prihatin. Wanita berusia sembilan belas tahun itu masih bisa bergerak lincah walau perutnya sudah membuncit. “Sebenarnya, warga banyak yang membutuhkan tenaga upahan, Neng.” Yati memberikan bawang dan bumbu lain yang tadi sudah ditumbuk halus pada Erina.
“Mereka juga suka pada pekerjaan Lingga yang cekatan dan rapi. Apalagi dia masih muda, tenaganya masih kuat. Tetapi, mau bagaimana lagi? Mereka segan pada Pak Danar.”
Erina mengangguk paham. Dia tahu, sebagian besar yang menyetujui usulan hukuman dari Danar kemarin karena segan pada lelaki itu. Namun, dia juga tidak bisa menyalahkan warga. Kalau dia ada di posisi mereka, mungkin Erina akan melakukan hal yang sama.
“Sudah, Bi.” Erina meletakkan semangkuk besar tumis daun singkong tumbuk campur teri di meja Yati. Dia menghapus keringat di pelipis karena cukup gerah berada di dekat api saat masak tadi.
“Sekalian buatkan sambal tomat terasi bakar, Er. Itu tomat sama terasinya disana. Nanti biar sekalian buat kamu juga.” Yati cekatan mengambil mangkuk yang lebih kecil untuk mengisikan sayur bagian Erina.
Lima belas menit berlalu, akhirnya Erina keluar dari rumah Yati. Wajahnya tersenyum cerah. Semangkuk tumis daun singkong dan sambal tomat cukup untuk makan malam mereka sampai nanti malam. Untuk lauknya dia tinggal memanaskan ikan goreng sisa dari yang Lingga jual kemarin.
Setelah memastikan makanan disimpan rapi, Erina merebahkan badan di kasur. Cukup lelah juga rasanya dia setelah masak dan mencuci peralatan masak di rumah Yati tadi. Hampir saja dia terlelap kalau tidak mendengar suara Lingga mengucap salam.
Erina gelagapan memakai kerudung. Dia melirik jam di dinding. Wajar suaminya sudah pulang, ini hampir tengah hari. Rupanya tadi dia bukan hampir terlelap lagi, tapi sudah benar-benar ketiduran.
“Pulang, Kang?” Erina membuka pintu. Melihat wajah suaminya yang kurang bersemangat, dia bisa menduga kalau tadi Lingga tidak mendapat rebung.
“Ini, minyak goreng dan garam. Tadi uangnya hanya cukup untuk membeli ini, Neng.”
Erina mengambil kantong kresek yang diserahkan Lingga. Senyumnya merekah hingga membuat Lingga merasa gemas tak bisa menahan diri mencubit pipi istrinya yang sedikit berisi. Begitulah, berapapun atau apapun yang dia bawa, Erina selalu menyambutnya dengan senyum.
“Alhamdulillah. Kebetulan minyak di dapur memang sudah habis, Kang.” Erina langsung menuju dapur. Sambil menunggu Lingga membersihkan diri, Erina menyiapkan makan siang. Beruntung mereka sudah punya cadangan padi siap giling sehingga tidak akan kelaparan. Kalau sedang benar-benar tidak ada teman makan, cabai dicampur dengan garam pun sudah cukup untuk menghabiskan sepiring nasi pengganjal perut.
“Neng? Boleh Akang pinjam mas kawin kita dulu?” Lingga mendekati Erina setelah makan siang. Wanita itu sedang menjahit beberapa kain yang sudah robek di beberapa bagian.
“Boleh, Kang.” Erina langsung berdiri dan menyerahkan cincin seberat dua gram. Itu cincin peninggalan Emak Lingga dulu yang dijadikan sebagai mas kawin untuk pernikahan mereka.
“Ini … Akang pinjam dulu.” Susah payah Lingga mengeluarkan suara. Lelaki itu mengatur napas karena air matanya mendesak keluar. Sekuat tenaga dia menahan diri agar tidak menangis di hadapan istrinya. Pantang bagi Lingga menangis di hadapan Erina yang menjadikan dirinya sebagai tumpuan.
“Nanti … Akang ganti.” Lingga mengambil tangan Erina setelah terdiam beberapa saat. “Boleh kita jual dulu untuk persiapan persalinan Utun?” Lingga mengelus perut Erina. Dia tersenyum saat merasakan gerakan dari dalam sana.
“Boleh, Kang.” Erina mengangguk mantap. Sebenarnya, sudah sejak beberapa bulan yang lalu dia ingin menjual cincin itu. Namun, dia sungkan pada Lingga karena itu cincin peninggalan mertuanya walau sudah menjadi haknya.
“Aduh, Kang!” Erina memegang perut. “Ini sakitnya makin-makin terasa. Tadi pagi masih jarang-jarang.” Erina meringis.
“Ayo kita ke bu bidan sekarang.” Lingga langsung membantu istrinya. Walau panik, dia berusaha tenang karena jarak rumah bidan tidak terlalu jauh.
Setelah dicek bidan desa, Masih pembukaan enam. Kata bidan masih menunggu lagi sampai pembukaan lengkap. Lingga bergegas menuju toko emas di desa sebelah untuk menjual cincin. Dia berlari ke rumah Rizal, teman baiknya untuk meminjam sepeda.
Saat akhirnya sampai kembali di rumah bidan, di tempat itu sudah terdengar tangisan bayi. Lingga menahan napas. Apa itu anaknya? Mendadak, kakinya terasa kaku untuk digerakkan. Apa anaknya sudah lahir? Apa Erina baik-baik saja? Berbagai pertanyaan melintas di pikiran.
“Lingga!” Yati berteriak dari dalam saat mengetahui kedatangan Lingga. “Anakmu sudah lahir. Emak dan anaknya selamat, sehat sempurna. Anakmu lelaki.”
“Masya Allah … alhamdulillah … alhamdulillah.” Tangis Lingga pecah.
BAB 8
“Biar Akang yang bikinkan.” Lingga menahan Erina yang akan berdiri. Dia mengelus pinggang istrinya dan memijat pundak Erina pelan sebelum berlalu ke dapur. Lingga membuat sebotol susu sesuai takaran.
ASI Erina belum lancar keluar sehingga anak mereka diberikan susu formula. Menurut keterangan bidan desa, kemungkinan karena asupan makanannya yang tidak mencukupi kebutuhan gizi dan kelelahan. Wajar saja, hampir setiap malam dia begadang karena bayinya sering terbangun.
“Besok ambil jantung pisang di kebun Wa Cani, Kang. Sore tadi Erina sudah minta.” Erina melirik ke arah Lingga yang bersandar di dinding. Sementara bayi laki-laki di dalam pelukannya sudah pulas kembali setelah menghabiskan setengah botol susu. “Kata Bi Yati, jantung pisang bagus buat melancarkan ASI. Itu rahasia ASI lancar turun temurun dari para orangtua.”
Hening. Tidak ada jawaban apapun dari Lingga hingga membuat Erina menoleh. Awalnya dia kira Lingga tertidur, ternyata suaminya itu sedang melamun. “Kang?”
“Ah, iya, Neng, besok Akang ambilkan.” Lingga tersenyum pada Erina. “Sini, Biar Akang yang gendong Erlin. Neng tidur dulu saja. Gantian.”
Erina mengangguk dan memberikan anak mereka. Erlin memang tidak bisa langsung diletakkan ke kasur kalau baru tidur. Harus menunggu sampai satu jam dalam gendongan dan diletakkan pelan-pelan baru akan nyenyak.
“Belum tidur?” Lingga mengelus belakang Erina. Sejak tadi, istrinya memang diam memperhatikan dia menggendong Erlin. Lingga menggigit bibir merasakan tulang belakang Erina yang menonjol.
Mereka memang sedang sangat kekurangan. Bahkan makan pun hanya nasi dan garam karena mendahulukan kebutuhan Erlin. Lingga belum juga mendapatkan pekerjaan. Sesekali dia menjadi kuli angkut di pasar, tapi hasilnya tidak menentu.
“Neng? Kalau Akang merantau saja bagaimana?”
“Merantau bagaimana?” Erina langsung menoleh pada suaminya.
Suara toa masjid mulai terdengar. Itu artinya sekarang sudah jam empat. Seperti kebiasaan selama ini, setiap jam empat pagi masjid akan memutar murottal untuk membangunkan warga melakukan persiapan shalat shubuh.
“Akang tidak punya harapan lagi disini, Neng. Di desa ini, tidak ada yang mau menerima Akang untuk mengambil Upahan. Akang kehabisan cara bagaimana harus mencari rezeki.” Lingga tercekat. Dia menoleh pada Erlin yang terlelap. Sesekali mulut mungil itu bergerak-gerak seperti sedang mimpi menyusu pada emaknya.
Lingga mencium kening anaknya pelan, khawatir Erlin terbangun lagi. Bayi berumur sepuluh hari itu tampak nyaman tidur di antara Emak dan abahnya. Erlin, diambil dari singkatan Erina dan Lingga. Sesederhana itulah Lingga memberi nama untuk anak mereka.
Dalam nama itu tersemat doa, semoga dengan hadirnya Erlin akan semakin mempererat cinta diantara mereka berdua. Doa dan harapan agar kelak Erlin mempunyai hidup yang jauh lenin baik tak pernah putus mereka bubungkan ke langit setiap kali sujud panjang saat menjalankan kewajiban memenuhi perintah Tuhan.
“Demi Erlin, demi Eneng, demi masa depan keluarga kita.” Lingga kembali berbicara setelah hening cukup lama. “Akang tidak bisa terus begini, Neng. Mengandalkan upah dari kuli angkut di pasar atau sesekali mencari ikan di sungai tidak bisa diharapkan. Kemarin saja Akang hanya mendapat uang sepuluh ribu.”
Erina terdiam. Wanita itu menarik napas panjang. Sesak tiba-tiba memenuhi rongga dada mendengar ucapan suaminya. Merantau? Walau hidup susah sejak kecil, tidak sekalipun Erina berpikir akan meninggalkan desa tempat nenek moyangnya dilahirkan.
“Akang merasa gagal menjadi kepala keluarga melihat anak dan istri hidup serba kekurangan.” Lingga menekan sesak di dada. Dia berusaha keras menahan air mata agar tidak menangis di depan Erina.
“Erina tidak pernah merasa kekurangan, Kang. Kita punya tempat tinggal, tidak kepanasan atau kedinginan. Kita juga bisa makan kenyang tiga kali sehari. Itu sudah cukup bagi Erina. Toh, Akang juga bukan berpangku tangan. Akang bahkan berangkat gelap pulang gelap untuk mencari nafkah.”
“Iya, tapi itu semua tidak cukup, Neng. Hasil yang Akang dapat tidak sebanding dengan usaha yang Akang keluarkan.” Lingga menggigit bibir menahan air mata. “Sakit rasanya melihat Neng makan dengan kuah air garam. Perih hati Akang, Neng. Apalagi kata Bu Bidan ASI Neng kurang lancar karena kurang gizi.”
Erlin bergerak-gerak pelan seperti mengerti kegelisahan kedua orangtuanya. Erina langsung menepuk-nepuk punggung anaknya pelan hingga Erlin tenang kembali.
“Belum lagi memikirkan susu untuk Erlin. Sesak rasanya dada Akang. Satu kotak saja sudah berapa harganya, itu juga Erlin habiskan hanya beberapa hari. Upah sepuluh ribu sehari tidak akan cukup untuk menutup kebutuhan dapur dan susu Erlin. Akang tidak mau anak kita kekurangan susu, Neng.”
Lingga mengeluh pelan saat isakan Erina akhirnya terdengar. Dia meremas ujung bantal yang spreinya sudah pudar. Diluar sana, kesibukan warga mulai terdengar.
“Di desa ini, jalan rezeki kita sepertinya sudah ditutup. Itu artinya, Akang tidak bisa berdiam diri begitu saja. Mungkin di luar sana, ada rezeki yang disiapkan untuk kita, Neng.”
Mereka terdiam lama. Hanya isakan Erina yang terdengar memenuhi kamar itu. Lingga mengeluh lagi. Kasur kapuk yang dia tiduri terasa semakin keras hingga membuat badannya sakit karena percakapan mereka di pagi buta ini.
Bukan tanpa alasan Lingga hendak merantau. Sudah dari sejak hari ketiga Erina lahiran dia sudah memikirkannya. Mengetahui ASI Erina hanya keluar sedikit karena kurang gizi, juga memikirkan susu formula untuk anaknya membuat Lingga menguatkan tekad dan memantapkan hati untuk mencari rezeki di tempat lain.
Sekarang mereka bisa membeli susu untuk Erlin memakai uang dari hasil penjualan cincin. Namun, lama-lama tentu akan habis juga. Sebagai kepala keluarga, dia bertanggung jawab memastikan anak dan istrinya tidak kekurangan.
“Kemana tujuan kita merantau, Kang? Di kota sana kita tidak ada keluarga. Jangankan keluarga, kenalan pun tidak ada. Kita juga hanya lulusan SMA desa, Kang. Jauh kalau dibandingkan dengan orang kota sana.”
“Kalau mau berusaha in syaa Allah ada jalannya, Neng.” Lingga menjawab pelan. Dia bangun karena sebentar lagi adzan subuh akan berkumandang. “Lagipula, bukan kita yang akan berangkat, tapi Akang.”
“Apa maksudnya, Kang?!” Erina bertanya dengan nada tinggi hingga mengejutkan Erlin. Bayi berumur sepuluh hari itu menangis kencang. Erina sigap menggendong Erlin dan menenangkannya. “Akang mau meninggalkan aku dan Erlin?” Susah payah Erina menghapus air mata.
“Bukan begitu, Neng. Akang belum ada tujuan disana. Akang tidak mau kita terlunta-lunta di jalanan. Kalau Akang sendiri, gampang membawa diri.” Lingga menyugar rambutnya kasar. “Nanti, kalau Akang sudah dapat kerja dan tempat untuk tinggal disana, Akang akan jemput kalian.”
“Tidak mau! Erina tidak mau ditinggal disini! Kalau Akang pergi, aku dan Erlin ikut. Kemanapun itu. Walau harus tidur beratap langit beralaskan tanah, aku tidak mau kita berjauhan.”
BAB 9
“Tidak mau! Erina tidak mau ditinggal disini! Kalau Akang pergi, aku dan Erlin ikut. Kemanapun itu. Walau harus tidur beratap langit beralaskan tanah, aku tidak mau kita berjauhan.” Tangis Erina semakin kencang.
“Akang tidak mungkin membawa Neng dan Erlin pergi tanpa tujuan yang pasti. Setidaknya, kalian aman disini. Banyak tetangga yang mengenal. Tempat berteduh ada. Padi pun masih banyak di gudang, Neng.”
Erina menggeleng kencang. Erlin di pelukannya pun menangis kencang sambil bergerak-gerak gelisah. Erina berusaha mengendalikan diri agar bisa menenangkan Erlin lagi.
“Di kota sana, kita belum tahu apa yang dituju. Kalau Akang sendirian, gampanglah. Akang itu lelaki, tidak akan mati kelaparan selama tangan dan kaki masih kuat untuk bekerja.” Lingga akhirnya mengambil Erlin dari gendongan Erina karen istrinya itu masih gemetar karena tangis. Dia merutuki diri karena sudah membuat Erina bersedih di pagi buta ini.
“Kalau nanti Akang sudah ada tempat untuk tinggal dan pekerjaan yang menjamin, Akang akan jemput kalian. Akang juga sulit Neng berpisah dari kalian.” Lingga keluar dari kamar dan bersenandung pelan untuk menidurkan Erlin kembali. Setengah botol susu tadi sudah dihabiskan oleh bayi merah itu.
“Sudah, jangan nangis terus. Nanti kita bicarakan lagi. Akang mau siap-siap subuhan dulu.” Lingga memberikan Erlin yang sudah terlelap lagi pada Erina.
Tangis Erina masih terdengar satu-satu saat Lingga keluar dari kamar lagi. Dia memandang wajah anaknya yang terlelap dalam gendongan. Sungguh, dia benar-benar takut kalau Lingga jadi pergi.
Di dunia ini, Erina sudah tak punya siapa-siapa lagi. Dia hanya punya anak dan suami. Berat benar rasanya kalau harus berjauhan. Kalau boleh memilih, dia tak keberatan hanya makan nasi tanpa sayur asalkan mereka tetap bersama-sama.
“Neng, ini jantung pisangnya. Tadi sekalian dikasih kelapa setengah butir sama Wak Cani. Katanya enak dimasak lodeh asal getahnya dibuang dulu.” Lingga memberikan jantung pisang pada Erina yang sedang mengangkat nasi. Aroma nasi yang baru matang menguar memenuhi dapur hingga membuat perut Lingga berbunyi.
“Hari ini Akang mau memasang bubu di sungai, Neng. Doakan semoga dapat banyak udang. Bisa buat dijual sekaligus lauk kita.” Lingga mengambil garam dan menuangkan air hangat. Dia lalu mengaduk nasi di piring dengan air garam tadi.
“Aamiin.” Erina menjawab singkat sambil menaburkan bawang goreng ke nasi Lingga. Dia menemukan dua butir bawang merah di bawah tungku saat menyalakan api tadi.
Lingga mengulum senyum melihat wajah mendung Erina. Walau suasana hati istrinya sedang buruk, tapi Erina tetap melayaninya dengan baik. “Semua demi kebaikan kita, Neng. Akang nggak sanggup lihat Neng kekurangan terus.”
“Iya, Kang.” Erina menjawab sekadarnya. Setelah berpikir lama dia akhirnya menerima keputusan Lingga walau terasa berat. Benar kata suaminya, rezeki harus didatangi dan diusahakan.
Erlin akan besar. Kebutuhannya pasti bertambah banyak. Dia juga tak akan tega melihat anaknya makan nasi berkuah garam seperti mereka sekarang. Desa itu sudah tidak menjanjikan lagi. Sejak kasus yang melibatkan perseteruan Lingga dan Danar waktu itu, mereka seperti dikucilkan dari kegiatan desa.
Menggantungkan hidup dari sepetak sawah warisan hanya membuat mereka bertahan dari musim panen ke musim panen selanjutnya. Sementara untuk menabung bagi masa depan, tidak mungkin bisa dilakukan. Jangankan menabung, kebutuhan dapur saja sering kekurangan.
Lima hari setelah pembicaraan di pagi buta itu, Lingga mantap memutuskan berangkat. Setelah sarapan dengan kangkung tumis dan tempe goreng, Lingga menikmati segelas kopi buatan Erina.
“Jangan menangis terus, Neng. Berat rasanya kaki Akang melangkah melihat wajah Neng seperti itu.” Lingga membawa Erina ke dalam pelukan. Dia mengalihkan pandangan ke arah tas kusam di dekat pintu. Bawaannya tidak banyak, hanya beberapa helai pakaian dan sedikit uang.
Hasil penjualan cincin waktu itu dia ambil sedikit. Itupun karena dipaksa Erina. Dia berkeras meminta Lingga membawanya karena khawatir Lingga akan kelaparan selama belum mendapat pekerjaan.
“Akang jangan lupa berkabar. Kirim surat. Biar Erina tenang disini.” Erina melepaskan pelukan Lingga. “Erina takut sekali kita tidak bisa berjumpa lagi, Kang.”
“Jangan bicara kitu atuh, Neng. Berdoa yang baik-baik. Doakan rezeki Akang mudah dan berkah. Doa Neng buat Akang itu mujarab.” Lingga mencubit hidung istrinya pelan.
“Memangnya obat bisa mujarab.” Erina akhirnya tertawa kecil setelah lima hari belakangan ini selalu bersedih hati. “Itu Neng siapkan air dua botol sama nasi bungkus buat Akang. Cuma terasi goreng sama bawang, Kang. Tumis kangkung tadi takut basi.”
“Alhamdulillah. Itu juga sudah cukup. Terima kasih ya, Neng.” Lingga mengecup kening Erina lama dan dalam.
Tepat jam tujuh pagi, Lingga memakai sepatu satu-satunya dan siap berangkat. Dia tersenyum lebar saat melihat Rizal datang. Mereka sudah bersahabat sejak kecil. Beberapa waktu lalu dia memang sudah mengabarkan akan merantau sekaligus menitipkan Erina dan Erlin.
“Jadi berangkat?” Rizal memberikan bungkusan. “Ikan pepes buat bekal di jalan. Kebetulan Tari masak banyak.” Rizal juga memberikan bungkusan lain untuk Erina.
“Sampaikan terima kasih untuk Teh Tari, Kang.”
“Iya, Er, nanti kusampaikan.”
“Titip istri dan anakku, Zal. Pastikan saja mereka tidak ada yang mengganggu.” Lingga berkata serak. Bukan dia tidak khawatir meninggalkan Erina di desa. Namun, akan lebih beresiko kalau dia memaksakan diri memboyong serta ke kota sementara dia pun belum tahu kemana tempat yang akan dituju.
“Kau tenang saja, Pak Danar tidak akan berani macam-macam.” Rizal menepuk bahu Lingga pelan. “Banyak yang tidak percaya dengan yang dia sampaikan waktu itu, tapi ya bisa apa? Sebagian besar warga menggantungkan hidup darinya. Mulai dari menjual hasil kebun sampai mengambil upah harian.”
Lingga mengangguk pelan. Kabar dia akan merantau memang sudah tersebar ke seluruh penjuru desa. Setidaknya, dia sedikit tenang Danar tidak akan berani mengganggu Erina karena mau tidak mau warga kini mengawasinya secara tidak langsung. Jika terjadi sesuatu, Danar pasti menjadi tersangka utama karena semua orang pun tahu perseteruannya dengan Lingga.
“Anakku.” Lingga tersengal saat Erina membawa Erlin keluar. Air mata lelaki itu akhirnya mengalir deras saat menggendong dan mencium pipi anak laki-lakinya yang baru berumur lima belas hari.
Setelah puas menciumi Erlin, dia memeluk Erina erat. Pagi itu, diantara kemilau cahaya matahari yang menyusup di sela-sela dedaunan, mereka bertangisan. Berat benar rasanya berjauhan dari separuh jiwa.
Lingga tersadar dari lamunan tujuh tahun lalu saat Rizal menepuk pundaknya pelan. Tidak terasa, malam semakin tinggi. Hampir dua jam mereka menghabiskan waktu dengan bercakap-cakap bertukar kabar.
“Iya, Ma? Iya, ini Papa mau pulang ke rumah Pak Lurah sebentar lagi. Papa masih di rumah kawan lama. Besoklah Papa ajak Mama kesini lagi biar kenalan dengan teman Papa.” Lingga mengantongi ponsel setelah mengangkat telepon dari istrinya.
“Ingat dulu bagaimana kau menangisi Erlin yang baru berumur lima belas hari sebelum berangkat merantau? Dia sudah besar, Lingga. Sudah masuk sekolah, kelas satu SD. Wajahnya persis benar dengan dirimu sewaktu kecil dulu. Kalian bak pinang dibelah dua.” Rizal menahan tangan Lingga saat temannya itu akan berpamitan.
“Pulanglah ke rumahmu yang lama. Setidaknya temui Erlin. Dia berhak kenal siapa abahnya. Bercerai dari Erina bukan berarti tanggung jawabmu sebagai orangtua jadi hilang. Kau masih tetap berkewajiban memenuhi semua kebutuhan anak kalian.”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
