
Cerita ini ditulis BASED ON TRUE STORY saya pribadi selaku penulis (Hanya pada bagian pekerjaan Kiran dan vonis rahim terbalik & PCOS sehingga sulit memiliki keturunan. Bagian lain hanyalah fiktif belaka.)
Selamat membaca, semoga ada hikmah yang bisa diambil. Peluk jauh dari saya untuk semua pasangan di luar sana yang sedang berjuang mendapatkan garis dua ♥️
Sinopsis : Tiga tahun berlalu, Kiran tak juga bisa melupakan Haidar, mantan suaminya. Tak semua hal bisa dibagi. Apalagi jika itu menyangkut...
BAB 1
"Mainlah ke rumah, Ran. Raya akan senang kalau kau mau sesekali berkunjung. Kehamilannya yang kedua ini lebih payah dari yang pertama. Mungkin kalau kau mau datang, dia akan sedikit lebih tenang."
Kiran tersenyum mendengar ucapan Haidar, mantan suaminya.
"In syaa Allah." Dia refleks meremas ujung baju. Rasa itu masih sama. Walau telah bercerai lama, Kiran masih merasakan sakit setiap kali Haidar menyebut nama Raya, wanita yang tiga tahun lalu menjadi alasannya memilih berpisah.
Ponsel Haidar berbunyi. Melalui ujung mata, Kiran bisa melihat layar ponsel itu menampilkan notifikasi pesan. Dia menarik napas dalam. Mantan suaminya itu belum berubah, ponselnya tidak pernah dikunci sehingga setiap ada pesan masuk langsung bisa terbaca dengan jelas di layar depan.
"Mas, pulang nanti tolong bawakan nasi goreng Pak Aji. Perutku kram lagi, aku tidak kuat masak."
Kiran menarik napas panjang. Dari sini, dia bisa membaca dengan jelas pesan di ponsel Haidar yang ada di atas meja. Lelaki itu mengambil ponselnya setelah menyeruput seteguk jus melon dingin.
Kiran Zarina bekerja sebagai Account Officer salah satu Bank Syariah. Bulan depan, dia genap berusia dua puluh delapan tahun. Karena tuntutan pekerjaan, Kiran selalu tampil modis. Hal itu terbawa hingga kehidupannya sehari-hari. Seperti hari ini, dia mengenakan blus coklat tua yang dipadukan dengan celana bahan dan hijab beige. Perpaduan warna yang terlihat sangat cocok dengan kulit putihnya.
Kiran memiliki mata hitam yang tajam, hidung mancung, wajah lonjong telur dengan bibir kecil dan tipis yang membuatnya terlihat sangat manis kalau sedang tersenyum. Riasan wajah natural membuat wajahnya selalu tampak segar. Sebagai karyawan Bank, Kiran selalu menjaga tubuh tetap langsing sehingga proporsional dengan tingginya, 173 sentimeter.
"Jadi, bagaimana?"
"Apanya yang bagaimana?" Kiran mengerutkan kening mendengar pertanyaan Haidar. Dia berdecak pelan saat lelaki itu memasukkan ponselnya ke celana dan seperti bersiap akan segera pergi.
"Apa Bank bisa memberiku pinjaman modal usaha seperti yang kuajukan di proposal? Kau urus saja masalah termin pencairannya, Kiran. Aku ikut skema yang kalian berikan."
"Data yang Bapak berikan …."
"Mas."
"Hah?"
"Panggil Mas saja."
"Maaf, saya bekerja secara profesional. Saya menemui Bapak sebagai nasabah kami." Kiran mengepalkan tangan di bawah meja. Dia berusaha mengendalikan hatinya yang kebat-kebit. Tak dapat dipungkiri jantungnya berdegup kencang melihat tatapan teduh dan senyum di wajah Haidar.
"Dokumen yang Bapak berikan masih ada kekurangan. Izin lokasi, peil banjir dan hasil tes air bersih masih belum dilengkapi. Saya bisa mengajukan ke pimpinan jika semua dokumen legal sudah terpenuhi."
"Gampang itu, Ran." Haidar terkekeh. "Semua sudah lengkap, aku lupa membawanya karena beda map. Kapan kita bisa bertemu lagi?"
Kiran mengeluh dalam hati. Setiap janji pertemuan, selalu ada saja kekurangan dokumen yang sepertinya sengaja Haidar tinggalkan. Ini pertemuan ketiga sejak awal lelaki itu mengajukan pembiayaan. Hal yang biasa sebenarnya bertemu beberapa kali dengan calon nasabah untuk melengkapi persyaratan. Namun, Haidar bukan nasabah biasa. Itu masalahnya.
"Nanti saya ambil saja ke kantor Bapak. Sekalian melihat lokasi perumahan dan progres pembangunan rumah contoh."
"Ok." Haidar mengangguk dan tersenyum. Dia menarik napas panjang. Kiran selalu menjadi candu baginya. Setiap pertemuan memberikan kebahagiaan tersendiri. Itulah sebabnya dia sengaja mengulur waktu untuk melengkapi dokumen pengajuan pinjaman agar bisa kembali berjumpa.
Ah … andai bisa memutar waktu, Haidar akan merengkuh Kiran sekuat tenaga. Dia tidak akan membiarkan wanita yang namanya masih terpatri di singgasana tertinggi perasaannya itu pergi. Bahkan, hingga tiga tahun berlalu, dia menyadari cintanya masih utuh untuk Kiran.
Kiran menarik napas lega saat ponsel Haidar berdering. Dia merasa sedikit kikuk karena mantan suaminya terus memandangi wajahnya dengan tatap memuja. Kiran tahu persis, cinta itu masih utuh untuknya.
"Raya pendarahan?"
Kiran tersentak mendengar suara panik Haidar. Dia menahan napas saat melihat wajah lelaki dengan rahang tegas itu memucat.
"Rumah sakit mana? Aku segera meluncur kesana."
Kiran menatap Haidar dengan mata bertanya, bibirnya tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun. Ketakutan mendadak memenuhi hati Kiran. Bayangan Raya yang bersimbah darah beberapa tahun lalu berkelebat di matanya.
"Boleh aku pergi sekarang, Ran?" Suara Haidar bergetar. Kekhawatiran jelas terpancar dari mata teduh itu.
"Pergilah, urusan pengajuan pinjaman bisa dibahas lain kali. Titip salam untuk Bapak dan Ibu. Semoga Raya dan kandungannya baik-baik saja."
"Terima kasih." Suara Haidar tercekat. "Dulu aku sangat panik, Ran." Haidar tersenyum tanggung.
Kiran menautkan alis. Dia tidak mengerti maksud ucapan Haidar.
"Andai dulu aku meminta izin untuk merawat Raya setelah keguguran yang pertama, mungkin saat ini kita masih bersama …."
"Pergilah, Mas."
"Ran …."
"Bagiku, kita hanya masa lalu. Pertemuan kita akhir-akhir ini murni karena pekerjaan."
"Maaf."
Haidar akhirnya bangkit saat Kiran tak menjawab ucapannya. Wanita itu dengan tegas telah menarik batasan yang jelas di antara mereka. "Berkunjunglah sesekali, itu akan membuat Raya tak terlalu merasa bersalah."
Kiran menatap kepergian Haidar dengan mata berkaca. Sungguh, jauh di dalam sana dia masih menyimpan cinta. Tiga tahun Kiran berjuang melupakan semua cerita tentang mereka. Namun, dia tahu pasti hatinya belum pergi. Getaran itu masih sama. Andai dia tidak sadar posisi, Kiran bahkan masih bisa tenggelam saat menatap mata teduh Haidar.
"Raya …." Kiran berbisik lirih. Bayangan mantan madunya yang sedang duduk di kursi roda melintas di ruang ingatan.
Raya Velisha, wanita itu biasa saja jika dibandingkan dengan dirinya. Ditambah kakinya yang tidak berfungsi sejak lahir, membuat Raya tak ada apa-apanya saat disandingkan dengan Kiran.
Raya memiliki wajah bulat dengan tubuh mungil. Jika bersebelahan, tinggi Raya hanya sebatas dada Kiran. Alisnya tebal dengan hidung yang tidak terlalu mancung. Bibir Raya kecil dan penuh dengan kulit sawo matang khas perempuan Indonesia.
Ah … andai kehidupan tak sekejam itu pada mereka. Pasti saat ini Raya dan Kiran masih menjadi sahabat dekat. Namun, tak semua hal bisa dibagi. Apalagi jika itu menyangkut hati. Kiran memilih pergi saat perasaannya tak bisa lagi memberikan toleransi. Bagi wanita dengan segala kesempurnaan yang dia punya itu, seumur hidup terlalu lama jika harus menderita karena berbagi cinta.
Berulang kali dia meneguhkan hati saat Haidar mati-matian mempertahankan pernikahan mereka. Lelaki itu bahkan bersimpuh di hadapannya saat di dalam ruang sidang perceraian. Membuat sahabat-sahabat dan keluarga yang datang terisak menahan sesak, hingga hakim memutuskan menjeda persidangan untuk memberikan kesempatan berpikir kembali.
Namun, tekad Kiran sudah bulat. Bahkan permohonan dari kedua mertuanya tak mampu meruntuhkan keinginannya untuk berpisah. Tepat di hari pembacaan ikrar talak dilakukan sebagai tanda sah mereka tak lagi terikat pernikahan, detik itu juga kabar Raya kembali dilarikan ke rumah sakit terdengar.
Haidar langsung berlari kencang. Lelaki yang tadi membacakan ikrar talak dengan suara bergetar hingga membuat yang hadir ikut merasakan sakit itu berlalu begitu saja di samping Kiran. Dia bahkan tak menoleh sedikitpun pada wanita yang sejak awal proses perceraian berusaha dia pertahankan mati-matian.
Kiran terluka. Semua pernyataan cinta Haidar seolah menguap jika itu berhubungan dengan Raya. Perasaan sakit itu dia resapi dan nikmati agar bisa melupakan cinta sang mantan suami.
Naas, tiga tahun berlalu. Dia belum juga bisa melepaskan belenggu masa lalu. Perasaan itu masih tersimpan rapi di dasar sanubari. Walau tak pernah Kiran ucapkan, tapi dia menyadari cinta itu masih utuh dia rasakan.
BAB 2
Dering ponsel di tas membawa Kiran kembali dari kenangan masa lalu. Mobil Haidar telah lama meninggalkan kafe tempat mereka bertemu. Kiran mendesah, dia tak dapat menolak permintaan Haidar yang ingin berjumpa disini. Wanita itu tahu persis dia sudah menyalahi SOP. Biasanya, setiap ada nasabah yang mengajukan pengajuan pembiayaan, Kiran akan menemui di tempat usaha atau tempat kerja yang bersangkutan. Namun, Haidar bukan hanya sekedar nasabah. Itu masalahnya.
"Halo, iya, Mas?" Alis Kiran bertaut saat mendengar serentetan tugas dari manajer marketing tempatnya bekerja. "Baik, Mas. Saya masih di luar, baru selesai prospect nasabah. Nanti sampai di kantor Kiran langsung buat ya." Kiran mematikan sambungan telepon saat atasannya itu selesai memberikan instruksi.
Wanita bertubuh semampai itu langsung mengambil tas dan beranjak dari kafe. Seperti biasa, Haidar sudah membayar makan siang mereka hari ini. Gratifikasi, hal yang sangat Kiran hindari. Dia selalu menjaga diri dari jamuan-jamuan kecil yang berusaha nasabah berikan karena dia mencintai pekerjaan ini.
"Halo? Mir? Bantuin aku bikin laporan progres pipeline bulan ini dong? Mau ya? Ini aku masih di luar." Kiran urung menyalakan motor saat teringat tak bisa langsung pulang ke kantor.
"Ah, kamu mah kebiasaan! Tau deh karyawan teladan. AO yang selalu achieve dan melebihi target setiap bulan."
Kiran terkekeh mendengar suara Mira di seberang sana. Kalau bukan karena ada janji kunjungan lagi, Kiran sudah meluncur ke kantor saat ini. Dia paling pantang meminta bantuan sesama AO karena dia paham sekali mereka sudah sibuk dengan target masing-masing.
Akan tetapi, mau bagaimana lagi? Dia juga tak mungkin membatalkan janji dengan nasabah begitu saja. Biasa, tengah bulan atasan minta laporan progres pekerjaan untuk memastikan anggota timnya mencapai target di akhir bulan.
Pekerjaan seorang AO sebenarnya bagaikan pisau bermata dua bagi Kiran. Dengan pekerjaan ini, dia bisa melupakan sejenak kesedihan karena karamnya mahligai rumah tangga dengan haidar beberapa tahun lalu.
Bertemu dengan orang-orang baru dan tenggelam dalam setumpuk dokumen yang menggunung membantu banyak bagi Kiran untuk melewati tahun demi tahun yang terasa menyesakkan karena berpisah dengan pujaan.
Bagaimana tidak? Sebelum jam setengah delapan pagi, dia sudah harus sampai di kantor untuk mengikuti apel pagi. Setelah maghrib, dia baru meninggalkan kantor. Kalau akhir bulan, dia bisa tetap di kantor sampai tengah malam untuk proses end of month.
Itu pula yang akhirnya membuat Kiran mantap keluar dari pekerjaan ini saat masih bersama Haidar. Faktor kelelahan fisik dan stress membuat hormonnya terganggu hingga mereka belum juga memiliki keturunan sampai tahun kedua berumah tangga.
“Boleh Kiran resign, Mas? Kiran sangat ingin mempersembahkan cucu untuk Bapak dan Ibu. banyak yang mengatakan ini salah satu faktor penyebab kita belum mempunyai keturunan.”
“Boleh. Gaji Mas lebih dari cukup untuk kita, Yang. Lagipula, Mas senang kalau kau bisa berada di rumah sepenuhnya. Tidak seperti saat ini, lebih banyak waktu di kantor daripada di sini.”
“Maaf.”
“Tidak apa-apa, Mas tahu itu mimpimu. Kau sudah lebih dulu bekerja di sana sebelum menikah denganku. Jadi, ketika Mas memutuskan menikahimu, Mas tahu Mas harus menerima semua yang telah melekat pada istriku.”
“Terima kasih.”
Kiran menarik menahan napas mengingat percakapannya dengan Haidar lima tahun yang lalu. Itu tahun kedua pernikahan mereka. Sebenarnya, Haidar maupun mertuanya tak pernah menyinggung masalah keturunan. Pun dengan kedua orangtua Kiran, mereka tak pernah bertanya apakah dia sudah berbadan dua atau belum.
Namun, Kiran sebagai anak tunggal sangat mengerti keinginan orangtuanya. Dia bisa melihat binar mata penuh harap di mata keduanya setiap kali mendengar saudara atau tetangga yang baru memiliki cucu.
“Mas Haidar ….” Kiran tanpa sadar mendesahkan nama Haidar. Setelah resmi bercerai, Kiran langsung mengajukan lamaran pekerjaan di tempat lama. Tanpa harus melewati serangkaian tes, dia langsung diterima karena memang prestasinya semasa bekerja luar biasa.
Lampu merah di depan sana membuat Kiran buru-buru menekan rem untuk berhenti sejenak. Terik matahari menusuk kulit. Beruntung, dia mengenakan jaket tebal dan kaos tangan untuk melindungi tubuh.
Kiran mendengus sebal saat truk besar di sebelahnya melenguh. Asap hitam langsung mengepul dari knalpotnya. Belum lagi bising suara klakson saling bersahutan. Wanita itu menggeleng pelan. Apa gunanya menyalakan klakson? Apa lampu merah akan langsung berubah hijau? Batin Kiran terus berkicau.
Tatapannya mendadak terpaku pada sepasang suami istri yang sedang berboncengan. Si istri berusaha menutupi bayi yang digendongnya dengan hijab yang dia pakai agar tidak kepanasan. Bayi? Ah … mendadak batin Kiran gerimis. Hingga tahun ke empat pernikahan, mereka belum juga dikaruniai keturunan.
“Ini sel telur Ibu Kiran banyak, tapi jumlahnya kecil-kecil.” Dokter kandungan menunjuk layar USG. “Kalau dari sini, saya bisa menganalisa belum ada sel telur yang matang. Nanti kita lihat dulu hasil tes laboratorium, tapi dugaan saya, besar kemungkinan PCOS karena tadi Ibu mengatakan ada riwayat menstruasi tidak teratur.”
Air mata Kiran menetes mengingat hari itu. Untuk pertama kalinya setelah dua tahun pernikahan, mereka memutuskan cek ke dokter kandungan. Mereka pergi dengan hati riang penuh sejuta harapan, saat mendengar hasil pemeriksaan justru mematahkan semua impian.
“Tidak ada masalah dengan analisa awal yang saya berikan. Banyak juga pasien saya yang PCOS memiliki keturunan. Asal mau mengubah pola hidup dan makan menjadi lebih sehat dan mengkonsumsi suplemen yang saya resepkan. Sementara ini, kita tunggu sampai hasil lab keluar agar lebih meyakinkan”
Kiran terisak mengingat semua. Dia bahkan bisa merasakan tangan hangat Haidar meremas bahunya untuk memberikan kekuatan. Kaca helm yang dia gunakan berembun. Telinganya berdenging. Membuat semua keributan di lampu merah itu menjadi tak terdengar lagi.
Mereka tak berhenti di satu dokter. Haidar mengajak Kiran mencari pendapat kedua. Berharap analisa dokter kandungan pertama salah, namun hasil pemeriksaan justru membuat hati Kiran semakin patah.
"Rahim terbalik atau dalam dunia medis biasa dikenal dengan rahim retro merupakan suatu kondisi yang biasa dialami oleh banyak wanita. Kalau rahim normal mulut rahim menghadap ke arah depan, maka pada rahim retro mulut rahim menghadap ke arah belakang."
Kiran membeku mendengar ucapan dokter yang sedang menunjuk-nunjuk layar USG. Di sana, Haidar seolah duduk terpaku saat dokter menjelaskan semua.
"Ini yang membuat s**rma kesulitan mencapai ovum. Jadi, untuk posisi rahim seperti ini, ada tips yang bisa dilakukan saat sedang ber …."
Kiran tersentak saat suara klakson di belakangnya menyalak kencang. Lampu merah telah berubah menjadi hijau sejak tadi rupanya. Sekejap, bayangan masa lalu pergi dari pikiran Kiran.
Ah … kadang Kiran iri dengan pasangan yang begitu mudah dikaruniai buah hati. Andai dia memiliki keturunan, mungkin saja ada alasannya tetap bertahan menjalani pernikahan.
Awalnya dia berusaha menerima kehadiran Raya karena pernikahan itu terjadi bukan atas kehendak mereka. Namun, Kiran mulai goyah saat di bulan kedua pernikahan kabar kehamilan Raya terdengar. Membuat keluarga Haidar dan Raya buncah oleh perasaan bahagia tanpa memikirkan Kiran yang sekian lama mendamba keturunan.
Wahai kehidupan, kenapa seolah engkau senang benar mempermainkan perasaan? Belum cukup Kiran terguncang karena harus berbagi cinta dan raga suami yang sangat dia kasihi, tak lama kemudian datang kabar yang semakin membuatnya terpuruk dalam sepi.
Kiran terluka. Dia hancur sehancur-hancurnya. Perasaan iri menguasai hati. Dia telah mengorbankan mimpinya menjadi wanita karir sukses agar bisa berbakti sepenuhnya pada suami. Dia melakukannya dengan penuh kerelaan agar semesta mau bermurah hati.
Namun, kenapa dunia seakan mengejeknya? Tak cukup harus berbagi suami, dia ditampar lagi dengan kenyataan begitu mudahnya benih Haidar tumbuh subur di rahim wanita keduanya.
Kiran menarik napas panjang saat tempat usaha nasabah yang akan dia kunjungi mulai terlihat. Mengenang Haidar bagaikan memakan buah simalakama. Satu sisi menyimpan begitu banyak keindahan. Sisi lainnya menyuguhkan luka tak berkesudahan. Bahkan, hingga tiga tahun berlalu sejak dia resmi bercerai dari Haidar, rasa sakit itu masih terus menghantui hingga titik terdalam sanubari.
BAB 3
"Ray?" Haidar memegang tangan Raya yang masih belum sadarkan diri. Dingin. Tangan istrinya terasa dingin. Haidar terisak. Walau pandangannya buram karena air mata, dia masih bisa melihat wajah Raya yang pucat.
“Bangunlah, Ray.” Haidar mencicit. Hatinya mendadak terasa sangat sakit mengingat perjuangan yang Raya lalui agar bisa mempersembahkan keturunan untuknya.
“Tak apa, Mas. Mungkin jika Raya bisa melahirkan anak Mas, Mas bisa sedikit mencintai Raya. Semoga saja anak ini nanti bisa menjadi pengobat luka yang terus menganga di hati Mas Haidar sejak bercerai dari Karin.” Haidar tergugu mengingat ucapan Raya beberapa bulan yang lalu. Dia terkejut setengah mati saat istrinya itu memberikan hasil pemeriksaan USG yang menunjukkan janin di rahimnya yang sudah berusia sepuluh minggu.
“Kamu hamil, Ray?” Suara Haidar bergetar. Tangan lelaki itu gemetar saat mengambil lembar hasil USG dari tangan Raya. Matanya berkaca, dia kehabisan kata. Antara khawatir dan bahagia, Haidar tak bisa mengekspresikan perasaannya.
Sejak Raya keguguran di kehamilan pertama lebih dari tiga tahun yang lalu, mereka memang tak pernah membahas tentang anak sekali pun. Dokter yang menangani proses operasi darurat waktu itu mengatakan kondisi Raya tidak stabil.
Preeklampsia berat yang sudah terdeteksi dari adanya kandungan protein saat tes urin menjadi salah satu penyebab wanita itu mengalami proses kehamilan yang berat. Selain itu, kondisi kandungannya yang lemah membuat Raya harus bedrest sepanjang kehamilan.
Banyak faktor lain yang bisa membahayakan bagi Raya jika wanita itu berkeras mempertahankan kandungan. Hal yang paling buruk bisa saja menyebabkannya kehilangan nyawa. Oleh karena itulah, seperti ada kesepakatan khusus di antara mereka jika tidak akan pernah membahas masalah anak lagi.
Walau Haidar sangat menginginkan keturunan, tapi dia tak ingin membahayakan hidup Raya. meskipun rasa cinta belum menyapa hati, tapi perasaan harus melindungi dan menjaga sebagai suami tumbuh dengan sendirinya di hati Haidar. Itulah sebabnya dia benar-benar kacau saat beberapa tahun lalu Raya hampir kehilangan nyawa saat keguguran.
Kekacauan yang membuatnya tak bisa berpikir jernih hingga hanya fokus pada Raya. Dia abai pada semua termasuk pada dirinya sendiri. Hal yang paling dia sesali, dia bahkan lupa mempedulikan Kiran yang masih tertatih membalut luka sendirian.
Sesuatu yang sangat dia sesali hingga detik ini. Kehilangan Kiran, istri sekaligus belahan hati yang melengkapi separuh jiwanya.
“Mas tidak senang?”
“Ray, kenapa tidak bicara dulu? Mas tak ingin kejadian waktu itu terulang kembali ….”
“Kalau kita bicara, memangnya Mas akan mengizinkan atau menolak?” Raya tersenyum lembut sambil mengambil kembali kertas USG dari tangan Haidar. Dia menggerakkan kursi rodanya menuju dapur untuk membuatkan teh hangat beraroma melati kesukaan suaminya.
Haidar menarik napas panjang. Setelah mandi dan berganti baju dia menyusul Raya untuk makan malam bersama. Lelaki itu tersenyum melihat hidangan yang tersaji. Raya sama seperti Kiran, dua wanita itu pandai menyenangkan lidah suami.
“Raya tahu Mas Haidar sangat menginginkan anak. Candaan-candaan di luar sana bukan tak pernah sampai di telinga Raya, Mas. Raya hanya berpura tuli agar tak tergerak bertanya dan membahasnya dengan Mas.”
Haidar tertegun. Gerakannya yang akan menyendok nasi terhenti. Telinganya mendadak berdengung saat candaan bernada ejekan di luar sana kembali terdengar. “Dua kali beristri, tapi belum juga dikaruniai buah hati. Kopong, Dar?” “Jangan terlalu lama menikmati masa bulan madu, Dar. Nanti terlanjur ketuaan.” “Programlah, kalau yang satu hamil kan masih ada satunya buat cadangan.”
Lelaki itu meletakkan sendok. Selera makannya hilang sudah. Ucapan teman-temannya berdengung memenuhi telinga. Enteng saja kalimat itu keluar dari mulut mereka. Tak tahukah teman-temannya jika hatinya tergores karena itu?
Sungguh, dia sebenarnya penat. Dua kali beristri dan keduanya tak juga memberi buah hati. Pandangan di luar sana seolah menghujam batin Haidar. Dia memang tidak mau membicarakan siapa yang bermasalah di antara mereka sehingga tak ada yang tahu jika Kiran memiliki masalah dengan hormon dan kondisi Raya yang sangat lemah jika sedang hamil.
“Mas ….”
“Kehamilan ini bisa membahayakanmu, Ray. Kenapa mendengarkan omongan orang kalau bisa membahayakan diri sendiri?”
“Karena ….”
Haidar mengangkat kepala. Dia tertegun melihat wajah Raya basah oleh air mata. Sepanjang pernikahan mereka yang hampir menginjak tahun keempat, ini pertama kalinya wanita itu menangis. Biasanya Raya hanya akan berdiam diri dan pergi menyendiri jika hatinya sedang tidak baik-baik saja.
“Kenapa, Ray?” Haidar memegang tangan Raya, sebelah tangannya mengusap air mata di pipi istrinya.
“Karena Raya ingin Mas Haidar memandang Raya sebagai wanita yang dicinta. Sekali saja. Raya ingin Mas Haidar menatap Raya seperti tatapan Mas pada Kiran.”
“Ray ….” Sesak. Dada Haidar terasa sesak mendengar suara bergetar Raya. Apakah begitu jelas terasa oleh Raya kalau hatinya masih belum bisa berpaling juga? Bukankah selama ini dia sudah bersikap sewajar mungkin sebagai seorang suami?
“Kiran telah pergi bertahun lalu, tapi bayangnya seolah masih terus berkelindan di antara kita. Raya tidak muluk-muluk berharap bisa menggantikan posisinya, Mas. Raya hanya ingin Mas Haidar bisa memandang Raya sebagai seorang istri. Sekali saja. Raya ingin Mas Haidar bisa menatap Raya dengn penuh cinta, sekali saja. Sekali ….”
“Ray ….”
“Mohon bantuan agar Raya bisa melewati masa kehamilan. Semoga dengan adanya buah hati, cinta Mas Haidar bisa hadir di dalam rumah tangga kita. Walau bukan untukku, setidaknya cinta itu ada untuk anakku ….”
“Raya ….” Haidar tergugu mengingat percakapan mereka kala itu. Betapa zalimnya dia sebagai seorang suami hingga istrinya harus berkorban sejauh ini hanya untuk menyentuh hatinya. Namun, rasa itu memang tak bisa dia hilangkan begitu saja. Nama Kiran sudah terpatri sempurna di relung jiwa hingga sulit menghapus setiap kenangan mereka.
Desing pendingin ruangan memenuhi kamar rawat Raya. Dengan tangan gemetar, Haidar menyentuh pipi Raya. Wajah itu pucat karena pendarahan hebat. Ah … Haidar sekali lagi mengeluh dalam hati. Dia bahkan sedang sibuk berusaha menyentuh hati Kiran lagi saat tadi Raya tak sadarkan diri. Dia kehilangan darah cukup banyak sehingga buah hati mereka tak bisa diselamatkan.
Bagaimana dia akan membalut luka Raya saat wanita itu bangun nanti? Seperti apa dia akan menjelaskan pada wanita yang bertahun mendamba cintanya itu kalau buah hati mereka telah pergi? Dua kali. Dua kali Raya hampir kehilangan nyawa karena ingin menyempurnakan Haidar sebagai seorang lelaki.
Ayah.
Panggilan yang selalu ingin Raya sematkan untuknya agar tak ada lagi cerca di luar sana yang menggores jiwa.
Tepat saat tangan Haidar menyentuh pipi dingin Raya, detik itu juga alat pendeteksi aktivitas jantung berbunyi kencang. Haidar tersentak, refleks dia menoleh pada layar yang menampilkan garis lurus. Haidar membeku.
Sedetik berlalu.
Lelaki itu langsung memencet bel untuk memanggil suster jaga.
“Ray? Raya?!” Haidar mencicit. Sekali lagi dia menoleh pada layar yang menampilkan rekam aktivitas jantung berharap dia salah lihat dan bunyi yang memenuhi ruangan ini hanya salah dengar saja. Nihil. Layar itu tetap menampilkan garis lurus.
Haidar terduduk. Kakinya lemas seketika. Matanya membelalak lebar melihat wajah Raya yang terpejam dengan damai. Matanya terasa panas. Pandangannya mendadak buram.
Tidak.
Tidak.
Dia tidak siap jika harus kehilangan Raya.
BAB 4
Haidar memeluk lutut. Mendadak tubuhnya menggigil kencang. Dia menggigit bibir hingga terasa asin. Pernikahannya dengan Kiran berakhir di tahun ke empat. Akankah dia kembali kehilangan istri? Apakah Raya benar-benar akan meninggalkannya juga di tahun keempat pernikahan mereka?
“Haidar! Astagfirullahaladzim, Naaaaak.” Ratna berlari ke dalam dan langsung menuntun anaknya Haidar. Dia sempat menoleh pada dokter dan perawat yang langsung menyiapkan tindakan untuk Raya.
Di luar, Haidar membisu. Tatapan matanya kosong. Dia tidak memperdulikan sedikitpun gerakan gelisah sang Ayah yang berjalan mondar-mandir ke sana kemari. Sementara ibunya sejak tadi terus mengelus punggungnya untuk memberikan ketenangan.
Haidar menyugar rambut dengan kasar. Perasaannya campur aduk. Baru saja dia mendengar kabar anak mereka telah tiada, kini dia harus menghadapi kenyataan Raya sedang bertarung dengan maut di dalam sana.
Gelap.
Mendadak pandangan Haidar menjadi hitam kelam. Telinganya berdenging seakan berada di ruang hampa suara. Sedetik berlalu, dia tenggelam dalam ruang pekat yang menyesakkan.
Jauh.
Di ujung sana, jauh dari jangkauannya, Haidar melihat setitik cahaya perlahan bersinar memenuhi sekitar. Lelaki itu tertatih berdiri. Dengan langkah diseret, dia memaksakan kaki agar bisa sampai di tempat terang bermandikan cahaya.
“Perampingan karyawan, Bu. Sudah dua tahun ini produktivitas perusahaan mengalami kemunduran.” Hakim duduk bersandar sambil memejamkan mata. Sementara Ratna merapikan sepatu kerja suaminya dan bergegas melangkah ke belakang. Dia kembali ke ruang tamu sambil membawa segelas teh hangat.
“Yang diambil hanya karyawan-karyawan muda yang semangat kerjanya masih menggebu, tapi bayarannya tidak terlalu besar karena masa kerja yang masih terhitung baru.” Hakim memijat kening. Lelaki itu melirik jam di dinding, sesiang ini dia sudah berada di rumah.
“Semua rekan yang seangkatan Ayah kena perampingan?” Ratna memijat bahu suaminya. Dia paham sekali bagaimana gundahnya perasaan lelaki yang sudah menemani lebih dari setengah hidupnya itu.
“Hampir, hanya beberapa orang yang dipertahankan karena memang posisinya cukup krusial di perusahaan.” Hakim menyesap teh hangat buatan istrinya. Manis dan pahit bersatu di dalam lidahnya. Rasa hangat mengalir dari mulut terus melewati tenggorokan. Sensasi yang memberikan ketenangan tersendiri bagi lelaki itu.
“Ini pesangon dari perusahaan, Bu. tiga bulan gaji.” Hakim memberikan amplop coklat yang cukup tebal pada istrinya. “Sementara, kita bisa gunakan uang itu untuk membayar cicilan pinjaman.”
Di sini, Haidar terpaku melihat wajah kedua orang yang sangat dia kasihi itu muram. Ratna bahkan setengah menangis saat mengambil amplop dari suaminya. Entah bagaimana, dia mendadak terlempar ke masa beberapa tahun lalu. Suatu waktu saat kedua orangtuanya berada di titik terendah hidup mereka.
“Doakan Ayah bisa segera mendapatkan pintu rezeki yang baru, Bu.” Hakim menarik napas panjang.
“Ibu tidak mau kita kehilangan rumah ini, Yah. Tempat ini saksi bisu perjuangan kita. Mulai dari hanya ruang sepetak dengan kamar mandi menumpang di toilet mushola, sampai akhirnya sekarang sudah lengkap dengan tiga kamar, dapur dan kamar mandi sendiri.” Bahu Ratna bergetar.
“Tidak akan, Bu. Ayah janji rumah kita tidak akan disita Bank.”
Haidar memejamkan mata melihat kepiluan dan ketakutan orangtuanya di depan sana. Dia tahu ayahnya meminjam uang di Bank dengan rumah mereka sebagai jaminan. Uang itu digunakan untuk biaya masuk kuliah adiknya. Sisanya, Ratna menggunakan uang itu untuk modal berjualan kecil-kecilan di depan rumah mereka.
“In syaa Allah semua akan ada jalannya, Bu. Simpan saja masalah ini untuk kita berdua. Jangan sampai anak-anak tahu. Ayah takut bisa mempengaruhi pelajaran Risti. Ayah juga tidak mau menyusahkan Haidar, tanggungannya pun saat ini sudah besar.”
Haidar menggigit bibir. Ayahnya benar. Kalaupun orangtuanya bercerita, dia tidak dapat membantu banyak. Saat itu dia juga masih mencicil KPR rumah yang dia tempati bersama Kiran.
Selain itu, dia dan Kiran juga sedang berikhtiar melakukan program kehamilan. Memasuki tiga setengah tahun pernikahan, mereka berharap bisa segera mendapatkan keturunan. Biaya yang dibutuhkan tidak sedikit. Entah berapa yang sudah mereka keluarkan untuk kontrol setiap bulannya, Haidar tak pernah menghitung. Bahkan, tabungan Kiran semasa bekerja dulupun habis terpakai.
Segala cara sudah mereka lakukan. Hanya program bayi tabung yang belum dilakukan. Besarnya biaya yang dibutuhkan membuat cara itu sulit untuk mereka tempuh. Perlahan kesadaran Haidar datang. Inilah awal kemelut dalam hidupnya.
Andai ayahnya tidak dipecat, mungkin dia tidak akan menikah dengan Raya. Mungkin saat ini dia masih hidup rukun bersama Kiran dan Raya tidak akan terbujur bertaruh nyawa karena memaksa mengandung anaknya.
Ah … Raya? Haidar tersentak. Seperti ada terowongan besar yang menyedot tubuhnya hingga dia tertarik dari sekitar Hakim dan Ratna. Haidar terus berputar hingga dia merasa dihempaskan dengan kencang kembali ke badannya yang sedang terduduk dengan kepala menunduk sambil memeluk lutut di depan ruang rawat istrinya.
Dia mengangkat kepala dan melihat ayahnya berdiri di depan pintu sambil meremas tangan. Kekhawatiran terlihat jelas dari wajah yang mulai keriput itu. Sementara ibunya masih mengelus punggungnya.
Tak ada yang berubah.
Semua masih sama seperti saat dia belum terlempar ke dalam dimensi ruang masa lalu tadi. Bahkan, sepertinya kondisi Raya pun masih sama. Tenaga kesehatan masih berjuang keras di dalam sana untuk memulihkan kondisi Raya yang tadi kritis.
“Keluarga Ibu Raya?”
Hakim yang berdiri tepat di depan pintu langsung mendekat. Sementara Haidar langsung berjalan dengan dada berdegup kencang. Pandangan matanya bertemu dengan mata ayahnya. Tatapan yang berisi berjuta harap dan kekhawatiran yang saling berkelindan.
“Bagaimana, Dok?” Ratna bertanya dengan suara bergetar.
“Mohon maaf, Pak, Bu, kami sudah berusaha sebaik mungkin. Namun, kondisi Ibu Raya memang sudah sangat lemah sejak awal. Dia kehilangan banyak darah dalam perjalanan kemari.”
“APA MAKSUD DOKTER?!”
“Haidar!” Hakim langsung merangkul anaknya. Untuk pertama kali dalam tiga puluh tahun dia melihat Haidar berbicara dengan nada tinggi.
“MASUK DAN BANGUNKAN RAYA! BUKANKAH ANDA SUDAH BERSUMPAH AKAN MEMBANTU SETIAP MANUSIA? KENAPA ANDA MEMBIARKAN ISTRIKU PERGI BEGITU SAJA?"
"Haidar …." Ratna memeluk pinggang anaknya. Baju bagian dada haidar basah terkena air mata ibunya.
"Dokter, tolong, tolong coba kembali. Tolong …." Haidar memohon. Tenaganya mendadak terasa habis. Badannya lemas. Sungguh, dia baru merasakan ternyata sesakit ini kehilangan seseorang yang selama ini tak pernah dia anggap ada.
"Tolong, Dok, tolong …." Ketakutan itu mengungkung Haidar. Pikirannya kalut. Akankah dia mampu melanjutkan hidup tanpa Raya? Kenapa dunia mendadak terasa hampa padahal selama ini di hatinya tak pernah ada cinta untuk Raya.
"Maaf …." Lelaki yang menggunakan jas putih dan kacamata itu menggeleng. Setelah berpamitan, dia melangkah pergi meninggalkan Haidar dan kedua orangtuanya yang tenggelam dalam lautan duka.
"Sabar … sabar …." Terbata Hakim berkata. Dia merengkuh Haidar dan memeluknya kencang. Berkali-kali lelaki itu menciumi kepala anaknya yang menangis tanpa suara.
Haidar terguncang.
Tepat di tahun keempat pernikahannya dengan Raya, sang istri pergi untuk selamanya. Raya pergi dengan membawa sebongkah hati yang layu dan mati karena tak pernah mendapat siraman cinta dari sang suami.
Haidar tergugu. Perasaan bersalah menyesaki rongga dadanya.
Sakit.
Perih.
Nyeri.
Campur aduk dia rasa saat membayangkan perasaan Raya. Istrinya tersiksa hingga embusan napas terakhir karena mendamba cinta yang tak pernah berpihak padanya.
Yang paling memilukan. Haidar bahkan tak diberi kesempatan untuk mengucapkan maaf pada istri yang tak pernah dicintainya.
BAB 5
“Mbak Kiran ya? Iiih benar, kan? Masya Allah tambah cantik aja.”
“Numpang parkir ya, Bu.” Kiran tersenyum sopan pada Desi. Wanita itu merapikan motor agar selaras dengan kendaraan lain yang juga sedang parkir di sana. Dia menarik napas panjang saat menoleh ke samping, rumah yang dulu pernah menjadi tempat ternyamannya untuk pulang.
Tempat itu terlihat ramai. Pakaian hitam menjadi penanda bahwa di sana sedang berdua. Bendera kuning berkibar tertiup angin sepoi-sepoi yang sedikit basah. Gerimis kecil membungkus kota itu sejak jam dua tadi.
Sebagian besar pelayat adalah tetangga sekitar sana. Beberapa tamu dikenali oleh Kiran sebagai rekan kerja Haidar kala masih bekerja di salah satu kantor BUMN dulu. Beberapa lagi dia tak tahu, mungkin dari kenalan keluarga Raya.
“Lama tak berjumpa, Mbak.” Desi menepuk pelan pundak Kiran yang sedang termangu menatap keramaian. Dalam balutan busana hitam, para pelayat terlihat muram. Tak ada canda tawa, hanya wajah kelam dan penuh duka yang menggelayut di setiap wajah.
Kiran menarik napas panjang saat merasakan tepukan pelan. “Iya, Bu.” Kiran tersenyum dan menoleh pada Desi. Dulu, mereka cukup dekat. Wanita itu bahkan sudah dia anggap seperti ibunya sendiri. Bahkan, saat dia dan Haidar bercerai tiga tahun lalu, Desi yang selalu menguatkan agar dia tegar menhadapi ujian yang sedang dijalani.
“Kondisi Mbak Raya memang sangat lemah. Setiap akan berangkat, Mas Haidar selalu kemari untuk menitipkan Mbak Raya. Dia minta tolong untuk menengok ke rumah kalian ….”
“Rumah Mas Haidar.” Kiran tersenyum saat memotong ucapan Desi. Rumah itu milik Haidar, mantan suaminya itu sudah mencicilnya sejak mereka belum menikah. Dulu, Kiran yang memproses pengajuan pinjaman Haidar. Dari sanalah mereka menjadi dekat hingga akhirnya cintapun melekat.
“Ah iya, maaf ya, Mbak Kiran. Ibu selalu ingat kalau itu rumah kalian.” Desi tersenyum tipis mendengar helaan napas Kiran. Wanita itu paham, berat bagi mantan tetangganya itu menginjakkan kaki kembali ke sini.
“Ibu pernah bertanya kenapa tidak mencari asisten rumah tangga saja? Bukan karena Ibu keberatan dititipi Raya, tapi Ibu paham kalau Mas Haidar mulai sungkan setiap hari menitipkan istrinya.” Desi melambaikan tangan pada Yuli, tetangga yang hanya berkelang tiga rumah. Wanita itu mendekat untuk mengajak berbarengan melayat.
“Seperti yang sudah Ibu duga, jawaban Mas Haidar adalah Mbak Raya tidak mau. Mbak Raya ingin mengerjakan semua pekerjaan rumah semampunya. Terlebih lagi, Mbak Raya paham sekali Mas Haidar tidak suka ada orang asing di rumah mereka. Yaa alasan yang sama seperti dulu Mbak Kiran ceritakan. Sepertinya Mbak Raya berusaha keras agar bisa mengisi kekosongan hati Mas Haidar setelah bercerai dari Mbak Kiran. Dari setiap obrolan kami, Ibu dapat menilai dia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi istri yang baik.”
Kiran tersenyum tipis mendengar cerita Desi. Dia tahu, Raya memang sebaik itu. Dulu, wanita itu bahkan tidak pernah menuntut apapun saat mereka masih menjadi madu. Bahkan, sebulan pertama pernikahannya dengan Haidar, Raya tidak sedikitpun merengek karena Haidar mengabaikannya.
Sebulan pertama Haidar tidak pernah mengindahkan Raya. Jangankan berbagi malam, bertemu di luar saja dia seakan tak pernah kenal. Ah … serumit itu kisah yang mereka jalani dulu.
“Loh? Mbak Kiran!” Yuli memekik tertahan. “Masya Allah, makin cantik iiih.”
Kiran tertawa kecil sambil menyambut pelukan Yuli. Dulu, dia memang cukup dekat dengan tetangga perumahan ini. Setelah keluar dari tempat kerja, Kiran mengisi hari dengan berbaur dan mengikuti kegiatan Ibu-ibu di sana agar tidak bosan selama menunggu Haidar pulang kerja.
“Ayo kita rumah duka, sepertinya sudah akan berangkat ke pemakaman.”
Kiran menggigit bibir menyadari Raya benar-benar telah tiada. Dari sini, dia bisa melihat dengan jelas keranda yang sudah disiapkan untuk membawa mantan madunya itu ke tempat peristirahatan terakhir.
Mata Kiran mengembun. Mendadak semua kenangan masa lalu memenuhi ruang pikirannya. Melihat rumah itu kembali, seakan membawanya tersesat ke ruang memori. Bahkan dari posisinya berdiri saat ini, Kiran bisa melihat bunga mawar merah yang sedang mekar di halaman rumah itu.
Ah … Raya benar-benar tak mengubah seditpun semua yang ada di sana. Bukan hanya mawar, tanaman hias lainnya pun tak berubah letaknya sejak dia pergi tiga tahun lalu. Kiran menyukai tanaman hias. Dia jugalah yang menata taman dan setiap detil yang ada di sana.
Sama.
Tak ada yang berbeda.
Mawar merah di pojok dekat pagar. Kembang anting-anting (Fuschia) tergantung di atap depan, berderet 3 pot dalam posisi sejajar, menjuntai manis memamerkan mahkota bunga yang berwarna putih berpadu dengan kelopak merah. Pohon cemara di … Ah … tak ada yang berubah. Raya sempurna merawat semua agar tetap seperti sedia kala.
“Mbak Kiran? Mau kesana?” Desi menoleh ke belakang saat menyadari wanita itu tak bergeming dari tempatnya.
“Duluan saja, Bu, ada yang harus saya selesaikan dulu.” Kiran menjawab pelan. Dia masih harus menguatkan hati untuk menginjak rumah itu kembali. Terlebih, di dalam sana ada Raya yang terbaring dalam damai. Kalau bukan atas permintaan Raya waktu itu, dia tidak akan pernah datang kemari.
“Assalamualaikum, Mbak Kiran sehat? Mbak, Raya hamil lagi. Alhamdulillah. Sesekali, mainlah kemari. Raya rindu sekali mengobrol dengan Mbak Kiran ….” Kiran menunduk. Dia tak sanggup mengingat pesan yang Raya kirim minggu lalu. Pesan yang sengaja dia abaikan.
Tak disangka, umur Raya ternyata tidak panjang. Andai mau peka, mungkin saja pesan itu bisa menjadi pertanda. Namun, Kiran masih sibuk membalut luka. Jangankan bertamu dan bertemu dengan Raya, mengingat nama wanita itupun masih menyisakan sebak di dada.
“Bareng saja, Mbak Kiran, justru akan terasa lebih berat kalau datang kalau sendiri.” Yuli tersenyum. Dia paham perasaan mantan tetangganya itu. Dulu, dia menjadi saksi betapa harmonisnya pernikahan Kiran dan Haidar walau belum dikaruniai buah hati. Bahkan, pasangan itu selalu menjadi simbol keindahan cinta di perumahan mereka.
Kiran yang tinggi semampai, berkulit putih dengan hidung mancung dan wajah sehalus porselen sangat serasi berdampingan dengan Haidar yang berbadan tegap dan gagah seperti anggota TNI. Kalau sedang bersama, setiap mata akan setuju simbol keindahan adalah mereka.
“Terima kasih, Bu.” Kiran akhirnya melangkah pelan mengiringi Desi dan Yuli.
“Bukan apa-apa.” Yuli mengelus punggung Kiran. Sungguh, dia yang bukan siapa-siapa pun miris dengan kisah cinta Kiran, Haidar dan Raya.
Bacaan surah yasin memenuhi pendengaran saat mereka mulai memasuki gerbang. Kiran mengepalkan tangan saat melihat satu sosok terbaring di dalam sana. Kain panjang dengan corak batik mega mendung menutupi jasad itu.
“Kiran?”
Kiran membeku saat satu suara yang sangat dia kenal menyapa. Dia tak menyangka Haidar duduk di dekat pintu depan sehingga mereka langsung berhadapan. Tadinya dia pikir lelaki itu akan duduk di dalam sana, ikut membacakan surah yasin di samping jasad Raya.
Semua mata sontak memandang ke arahnya. Dia sempurna menjadi pusat perhatian.
Sesak.
Kiran sesak menyadari semua yang ada di tempat ini tak berubah sedikitpun sejak dia pergi. Bahkan, sandal yang biasa dia gunakan untuk merawat taman masih tersimpan rapi di tempatnya.
“Kiran …. ”
Tangis pecah di rumah itu saat Ratna sambil menahan isak mendekati mantan istri anaknya. Dia menuntun Kiran untuk duduk di samping jasad Raya. Setetes air mata yang sejak tadi Kiran tahan akhirnya terjatuh saat kain penutup wajah mantan madunya dibuka.
“Raya,” ucapnya lirih.
Ruangan itu sempurna membisu saat tangan gemetar Kiran mengelus wajah Raya. lalu, sekejap kemudian isakan memenuhi ruangan. Seperti ada yang melecut hati setiap orang, mendadak rasa perih memenuhi rongga dada.
Mereka mengenal Kiran dengan baik. Mereka pun tahu banyak tentang Raya. Sungguh, kalau harus memilih siapa yang paling terluka di antara semua, mereka tak bisa menjawabnya. Kiran, Haidar dan Raya menyimpan luka dan duka dengan porsi mereka sendiri. Mereka terjebak dalam sakit hati yang tak satupun bisa mengobati.
BAB 6
Kiran melepas kacamata hitam yang dia gunakan. Titik-titik air hujan membuat buram penglihatannya. Gerimis terus membungkus bumi seakan enggan pergi. Andai ini hari-hari biasa, pastilah Kiran lebih memilih bergelung dengan selimut di atas kasur atau menepi sejenak dari kesibukan pekerjaan dengan menikmati semangkuk bakso hangat jualan Pakde Wiryo di samping kantor.
Sayangnya, ini bukan hari biasa.
Di tengah rinai hujan, kalimah tahlil mengiringi langkah sepanjang jalan menuju tempat pemakaman. Kiran mengusap wajah. Dia merapikan jilbabnya yang sedikit basah. Wanita itu menggigil. Bukan hanya karena bajunya yang lembab terkena rintik, tapi juga karena kenyataan bahwa kini dia sedang mengantar sahabat sekaligus mantan madunya ke tempat peristirahatan menuju keabadian.
“Astaghfirullahaladzim, hati-hati, jalannya licin.” Kiran menoleh ke belakang. Beberapa pelayat tampak sibuk membantu temannya yang terpeleset barusan.
“Sudah pulang kerja, Nak?”
Kiran menoleh ke samping. Dia tidak menyadari kalau sejak tadi Ratna menggandeng tangannya sepanjang perjalanan. Wanita itu sibuk bergelut dengan perasaan dan pikirannya sendiri sehingga tidak terlalu memperhatikan keadaan sekitar.
“Belum, Bu.” Kiran menjawab pelan. “Tadi Kiran langsung berangkat kemari setelah membawa pesan dari Ibu.” Pekerjaannya sebagai Account Officer yang hampir tujuh puluh persen waktunya dihabiskan di luar membuat Kiran dengan mudah hadir disini. Beruntung dia membawa baju dan jilbab hitam sebagai cadangan.
Mobilitasnya yang menggunakan kendaraan roda dua membuat Kiran tak jarang berkeringat dan menyisakan bau matahari. Kadang, dia juga kehujanan sehingga bajunya kebasahan. Oleh karena itulah dia selalu siap sedia membawa baju ganti agar selalu tampil modis dan wangi. Di pekerjaan yang dia geluti saat ini, tolak ukur yang pertama adalah penampilan.
“Sebelum Raya tak sadarkan diri dalam perjalanan menuju rumah sakit tadi, dia mengatakan sangat ingin bertemu dengan Kiran. Jadi, maaf kalau ibu menghubungi dan ….”
“Tidak apa-apa, Bu.” Kiran meremas tangan mantan ibu mertuanya. Dia tersenyum tipis untuk menenangkan. Kiran tahu sekali, andai Ratna terus melanjutkan ucapan pasti dia akan menangis lagi. Cukup. Kiran tak ingin kembali menjadi pusat perhatian.
Kiran menegakkan pandangan. Di depan sana, Haidar menjadi ujung tombak yang mengangkat keranda istrinya. Bibir lelaki itu komat kamit mengucapkan kalimah tahlil. Sesekali Kiran dapat melihat Haidar mengusap wajah. Entah menghapus air mata atau menghela air hujan yang jatuh disana, Kiran tak tahu.
Wanita itu memicingkan mata saat tak sengaja menatap jam tangan yang dikenakan mantan suaminya. Bukankah itu hadiah darinya empat tahun yang lalu?
"Waaah, bagus sekali, Yang, mahal ini ya?" Kiran menahan napas sejenak. Bayangan hari itu mendadak mampir dan terpampang nyata di ingatannya. Dia bahkan seolah bisa melihat dengan jelas wajah lucu Haidar. Lelaki itu terlihat menggelikan di mata Kiran. Antara senang mendapat hadiah bagus dan khawatir dengan nominal yang akan dia sebut.
“Buat Mas Haidar karena sudah bekerja keras selama ini. Mas jarang sekali membeli barang-barang sebagai reward untuk diri sendiri.” Kiran meletakkan sayur lodeh dan mendekat ke arah Haidar. Dia memeluk suaminya yang sedang duduk dari belakang. Jam tangan itu terlihat sangat serasi dengan kulit terang Haidar.
“Bukan begitu, Yang, ada banyak hal yang harus kita prioritaskan. Cicilan rumah ini, program hamil di dokter, belum lagi ….”
“Kalau Mas tidak suka, ya sudah sini kembalikan lagi.” Kiran duduk di samping Haidar sambil mengulurkan tangan. Dia tersenyum lebar saat melihat wajah suaminya sedikit berkerut melihatnya meminta kembali jam tangan itu. Dia tahu persis selera Haidar, dan jam tangan yang Kiran berikan tidak mungkin dia tolak.
“Bukan begitu maksud Mas ….”
“Kalau suka bilang terima kasih, Mas. Ini malah bahas harga dan merembet kemana-mana. Sampai cicilan rumah dibawa juga. Eeeh pas diminta berat hati mengembalikannya.” Kiran menahan senyum melihat Haidar salah tingkah.
“Kamu menyindir Mas?”
“Tidak, tapi kalau Mas merasa tersentil ya baguslah.”
“Kiran ….”
Dapur itu ramai oleh suara tawa. Kiran sengaja membelikan jam tangan untuk Haidar karena miliknya hilang. Entah ketinggalan saat sedang wudhu atau jatuh dimana, Haidar tidak ingat persis kapan hilangnya.
“Ah iya, jam berapa mau berangkat nanti malam, Mas?” Kiran mendadak teringat dengan pesan dari Ibu mertuanya kemarin malam. Mereka diminta datang untuk makan malam bersama. Ada teman lama yang hendak berkunjung.
“Nanti sepulang Mas dari kantor kita langsung berangkat. Biar shalat maghrib di sana saja. Takut macet di jalan kalau berangkat habis maghrib. Tidak enak sampai tamu Ayah dan Ibu menunggu.”
Kiran mengangguk setuju. Haidar memang selalu pulang setiap jam makan siang. Lokasi kantor yang hanya memakan waktu sepuluh menit perjalanan menggunakan sepeda motor membuatnya leluasa setiap jam istirahat tiba.
Sayang, harapan kadang tak seiring dengan rencana. Haidar mendapat cukup banyak pekerjaan yang harus diselesaikan hari itu juga. Posisi tutup bulan membuat pekerjaan tak bisa ditunda.
Lepas maghrib, mereka sampai di rumah orangtua Haidar. Pasangan itu saling berpandangan saat melihat Xpander silver terparkir di halaman rumah. Siapakah? Seingat Haidar dan Kiran, mereka belum pernah melihat kenalan orangtuanya menggunakan mobil itu.
“Assalamualaikum.” Haidar Kiran mengucap salam berbarengan.
“Waalaikumsalam.” kompak yang ada di ruang tamu menjawab salam bersamaan. “Ah, ini dia, akhirnya yang ditunggu datang juga. Sudah lapar ni perut ini.” Candaan Hakim membuat ruangan itu ramai oleh suara tawa.
“Ini Haidar? Wah sudah besar rupanya.”
Haidar menoleh pada Ratna dan Hakim. Melalui tatapan mata dia bertanya siapa yang sedang menepuk-nepuk pundaknya saat ini.
“Ini Om Fajar, Dar.”
“Oooh, Om Fajar yang dulu sering kesini?” Haidar langsung ingat. Dia bergegas menyalami lelaki yang mengenakan kemeja putih dengan merk ternama itu. “Sudah lama tidak kesini, Om?” Haidar menarik tangan Kiran pelan dan memintanya bersalaman.
“Om Fajar ini sudah lama keluar dari tempat kerja, Dar. Dia sekarang sudah menjadi pengusaha properti. Tahu PT. Tunggal Berjaya? Nah itu perusahaanya.” Hakim menjelaskan dengan cepat.
“Ooh yang sekarang sedang menggarap perumahan subsidi dengan target seribu rumah tahun ini ya, Pak Fajar?” Kiran tersenyum.
“Betul.” Fajar mengangguk cepat. “Mbak Kiran ini …?” Fajar menggantung ucapan yang bernada tanya.
“Dulu saya bekerja di bidang perbankan, Pak. Sampai saat ini masih sering mengikuti perkembangan progres developer yang cukup qualified untuk diprospect menjadi nasabah. Naluri.” Kiran terkekeh yang disambut anggukan paham dari Fajar.
“Bu Ratna? Boleh pinjam toilet? Ini Raya katanya kebelet.”
“Oh boleh, mari saya antar Bu Rika.” Ratna sigap melangkah lebih dulu.
Kiran menyipitkan mata saat melihat anak Fajar yang di dorong kursi roda. Sejak tadi, wanita itu memang lebih banyak diam dan sesekali ikut tertawa.
“Itu anak saya, anak tunggal, namanya Raya. Dia diberi keistimewaan sejak lahir. Allah sengaja menitipkan kaki yang tidak berfungsi padanya agar bisa sabar dan banyak belajar dalam menjalani kehidupan.”
Kiran menarik napas panjang. Hari itu, untuk pertama kalinya dia bertemu Raya. Gadis itu pendiam dan sepertinya sedikit kaku dengan orang baru. Wajahnya biasa-biasa saja. Jika dibandingkan Kiran, jelas orang akan bersepakat Raya tak ada apa-apanya.
Namun, siapa sangka justru gadis biasa saja itu mampu membuat karam bahtera rumah tangganya dengan Haidar? Ah … lebih tepatnya bukan Raya yang membuat bahtera mereka karam, tapi Kiran sendirilah yang memilih melompat dan berenang menuju dermaga yang tak lagi sama dengan tujuan semula.
Langkah kaki melambat saat memasuki area pekuburan. Jalanan yang becek dan sedikit berair membuat pelayat memelankan langkah karena khawatir tergelincir.
Kiran membeku saat keranda diturunkan. Di sana, lubang menganga telah siap menanti tubuh yang asalnya dari tanah kini akan kembali ke dalam perut bumi.
“Raya ….” Kiran berbisik lirih. Bahkan sampai detik mantan madunya itu akan dikuburkan, Kiran masih belum percaya sepenuhnya kalau wanita itu telah tiada untuk selamanya.
BAB 7
“Masya Allah, merdu sekali suara adzan Mas Haidar.”
Kiran menarik napas panjang saat mendengar beberapa pelayat memuji mantan suaminya. Dia mengakui Haidar memang memiliki suara yang bagus. Setiap kali mereka sedang shalat berjamaah di rumah, Kiran selalu terharu dan meneteskan air mata mendengar kalimah Allah dilantunkan.
Ah … itu pula yang dulu menjadi alasan bapaknya menerima lamaran Haidar. Mereka baru dekat tiga bulan dan Haidar langsung mengajaknya ke pelaminan. Haidar sempat panas dingin saat bertemu untuk pertama kalinya dengan kedua orangtua Kiran dengan maksud langsung mengajukan pinangan.
“Adzan isya’ baru selesai berkumandang, alangkah baiknya sebelum meneruskan pembicaraan ini kita menunaikan kewajiban terlebih dahulu.” Kiran ingat sekali, Haidar yang sudah panas dingin dengan cepat mengangguk saat itu.
“Mari silakan, Nak Haidar.” Kiran tersenyum tipis mengingat wajah Haidar yang tidak mengerti saat bapaknya mempersilakan menjadi imam shalat mereka.
“Saya, Pak?”
“Iya, Bapak sedang batuk. Khawatir mengganggu kekhusyuan kalau bacaan imam terjeda karena batuk.”
Jadilah hari itu Haidar yang bertamu untuk pertama kali langsung menjadi imam shalat mereka. Tak perlu berpanjang obrolan, setelah mendengar bacaan shalat dan tajwid Haidar sudah benar, Ahmad langsung menerima lamaran lelaki itu. Setelahnya, mereka melanjutkan dengan bermain catur untuk mendekatkan diri.
Ya, semudah itu Haidar diterima di keluarganya. Lelaki itu bahkan bisa langsung dekat dengan kedua orangtuanya bahkan di hari pertama mereka berjumpa. Mereka bukan orang berada. Bagi Ahmad, asal Kiran dapat suami yang bertanggung jawab untuk dunia dan akhirat, itu sudah merupakan berkah terbesar bagi mereka sebagai orangtua.
Mendadak, Kiran merasa sesak mengingat jawaban bapaknya kala dia bertanya tujuh tahun yang lalu, sehari sebelum akad nikah dilaksanakan. Ahmad merupakan orang yang paling terpukul saat dia memutuskan menggugat cerai Haidar. Lelaki itulah yang paling erat menggenggam tangannya agar dia tidak kehilangan pegangan.
“Sudah siap?”
Kiran tersadar dari lamunan ketika Hakim dan seorang lelaki yang tidak dia kenal ikut melompat ke dalam lubang kubur. Wanita itu terisak saat keranda dibuka. Kain kafan yang membungkus tubuh Raya langsung basah terkena gerimis yang masih enggan berhenti.
“Bismillahirrohmanirrohim, satu, dua, tiga, angkat ….”
Kain putih bersih yang membungkus tubuh Raya langsung terkena noda tanah saat tubuhnya berpindah. Kiran menahan napas menyaksikan Haidar membuka ikatan kepala Raya dan menghadapkan wajahnya mencium tanah ke arah kiblat. Setelah papan ditutupkan, pelan tapi pasti jasad Raya hilang tertimbun tanah merah yang basah.
“Assalamualaikum, Raya.”
“Waalaikumsalam, masuk Ran.”
Kiran terhuyung. Kelebatan masa lalu kembali menghantam pikirannya. Memori tentang kedekatan mereka dulu tumpah ruah memenuhi ruang ingatannya.
“Ini, katanya kamu pengen es durian di ujung gang.” Kiran meletakkan mangkuk plastik bening berukuran sedang di meja. Dia tersenyum melihat alat rajut dan perlengkapan sulam sudah tertata rapi. Sudah sebulan ke belakang dia dan Raya sibuk belajar menyulam dan merajut.
Raya fokus belajar sulam strimin. Dia membuat sulaman motif panorama alam, pegunungan yang dibawahnya terhampar sawah dengan sungai yang membelah di tengahnya. Sementara Kiran semangat belajar merajut. Dia ingin membuatkan baju hangat untuk Haidar dari hasil rajutannya sendiri.
“Besok aku tidak bisa kemari, Ray. Ada arisan di perumahan. Biasalah, kegiatan ibu-ibu.”
Raya terkekeh melihat mimik wajah Kiran. Sejak pertemuan pertama malam itu, Kiran dan Raya menjadi dekat. Kiran yang memiliki kepribadian riang dan mudah mengambil hati orang dengan mudah bisa mengakrabkan diri dengan Raya.
Di sinilah dia menghabiskan hari. Sedikitnya tiga kali seminggu Kiran berkunjung ke rumah Raya. Wanita itu senang karena mendapat kegiatan baru. Selama ini dia sering merasa jenuh dan bosan seharian di rumah semenjak keluar dari pekerjaan setahun yang lalu.
"Aku senang kamu sering kemari, Ran. Sejak kecil, aku jarang mempunyai teman dekat. Dulu ada satu orang, tapi dia pindah ke luar kota dan kami kehilangan kontak.”
Kiran menautkan alis. Dia menghentikan kegiatan merajut dan menatap Raya yang masih asyuk terus menyulam. “Kamu memang jarang keluar rumah ya, Ray?”
“Iya.” Raya mengangguk. “Aku takut kenapa-kenapa dan akan merepotkan banyak orang.”
Kiran tersenyum tipis. Ini pertama kalinya Raya berbicara panjang lebar sejak perkenalan mereka. Biasanya, Raya hanya akan tertawa dan sesekali menanggapi jika Kiran bercerita. Pembawaannya yang riang dapat menghidupkan suasana di antara mereka.
“Mbak Kiran? Pulang sekarang?”
Kiran tersentak saat ada yang mencolek bahunya. Wanita itu tersenyum saat mengetahui Desi yang tadi memanggil. Dia mengangguk dan menoleh pada Ratna, mantan ibu mertuanya. Wanita itu tak melepaskan tangannya sedikitpun sejak berangkat tadi hingga sampai proses pemakaman selesai.
“Bu, Kiran pamit.”
“Pamit? Bisakah Kiran menemani sebentar lagi disini?” Ratna menatap Kiran dengan mata berkaca.
Kiran menghembuskan napas pelan. Sulit baginya mengatakan tidak pada mantan ibu mertuanya itu. Dulu, Ratna memperlakukannya dengan sangat baik saat dia masih menjadi menantu. Ratna bahkan sudah menganggap Kiran seperti anaknya sendiri. Jadi, wajar saja kalau saat bertemu kembali dia seperti enggan membiarkan Kiran pergi karena rindu itu masih belum terobati.
“Tolong, sebentar saja ….”
Kiran terkesiap melihat wajah basah Ratna. Telinganya mendadak berdenging kencang. Wajah itu, tatapan itu, bahkan kalimat yang Ratna ucapkan sama persis dengan kejadian empat tahun lalu. Kiran menekan dada. Napasnya tersengal. Sesak memaksa melesak hingga membuatnya seperti kehabisan udara. Sungguh, hari itu adalah hari paling buruk dalam hidupnya.
“Tolong, sebentar saja ….”
Kiran yang hampir melangkah akhirnya duduk kembali saat Ratna menahan tangannya. Ibu mertuanya itu menggenggam tangannya erat seolah takut Kiran pergi begitu saja. Sesekali, Kiran dapat mendengar isak tangis tertahan dari wanita yang telah melahirkan suaminya itu.
“Om Fajar yang membantu mengurus dan melunasi semua hutang Ayah di Bank, Dar.” Kiran mengepalkan tangan saat suara ayah mertuanya kembali terdengar. “Kau sendiri tahu, sekian bulan berlalu Ayah masih belum menemukan mata pencaharian baru sementara angsuran pinjaman terus berjalan. Jadi, bagaimanalah ….”
“Kenapa tidak bicara pada Haidar, Yah?” Haidar bertanya frustasi. Lelaki itu mengacak rambutnya hingga membuat rambutnya yang biasa rapi menjadi berantakan.
“Kami tahu kalian juga banyak pengeluaran.” Hakim berkata pelan. “Awal perjanjian Ayah akan mencicil untuk melunasi hutang setelah mendapat mata pencaharian baru. Namun, ternyata tak semudah itu. Umur Ayah yang tak lagi muda menjadi salah satu faktor yang paling menyulitkan.”
“Biar Haidar yang menggantikan mencicil kalau begitu.”
“Bukan itu masalahnya, anakku. Mereka meminta semua ini dengan kerendahan hati. Kami tak bisa menolak karena terlanjur berhutang budi ….”
“Kenapa mengorbankan Haidar, Yah? Apa Ayah dan Ibu tidak memikirkan perasaan Kiran?” Haidar mengepalkan tangan. “Haidar tidak setuju! Haidar tidak mau menikahi Raya!”
“Ya sudah kalau begitu, kami duluan ya, Mbak Kiran. Mari, Bu Ratna.” Suara Desi yang berpamitan menarik kembali kesadaran Kiran.
“Nak ….” Ratna mengambil tangan Kiran yang terkepal di dada. “Maafkan kami, maafkan Ibu dan Ayah ….”
Kiran membisu. Dia mengalihkan pandangan ke arah gundukan tanah merah yang dibawahnya terkubur jasad Raya. Sahabat yang sangat dia sayangi seperti keluarga sendiri, sekaligus madu pahit yang hadir begitu saja, menyirami manisnya mahligai rumah tangganya dengan Haidar.
Bunga tabur memenuhi pusara Raya. Aroma mawar, sedap malam dan kenanga bercampur menjadi satu hingga menimbulkan wangi manis yang sangat khas. Kiran mengalihkan pandangan, di sana, di antara gerimis yang masih belum berhenti, berdiri terpaku sosok lelaki yang namanya masih terpatri di hati. Haidar menatapnya dengan pandangan yang sulit dia artikan.
Ah … mengapa hidup sesakit ini? Kenapa semesta seolah masih saja ingin terus bermain-main dengan mereka?
BAB 8
“Kiran duluan ya, Bu.” Wanita itu memalingkan wajah. Kiran sengaja memutus tatapan mata dengan Haidar. Napasnya tersengal, dia merasakan degup tak menentu di dalam sana saat pandangan mereka bertemu.
“Kenapa terburu-buru sekali, Kiran?” Ratna memindai wajah mantan menantunya. Dia menarik napas panjang menyaksikan wajah putih mulus itu terlihat sedikit kurang nyaman.
“Kiran harus kembali bekerja. Ibu ‘kan tahu sendiri bagaimana pekerjaan Kiran? Apalagi ini sudah masuk pertengahan bulan. Kiran masih belum tutup target.” Kiran melepaskan gandengan tangan Ratna. Dia mengelus pelan tangan mantan mertuanya sambil tersenyum tipis.
Satu persatu pelayat meninggalkan tempat itu. Beberapa di antara mereka melirik Kiran dengan tatapan bertanya dan penuh rasa ingin tahu. Bahkan, ada juga yang terang-terangan saling mencolek dan berbisik pelan.
Kiran tahu pasti apa yang mereka bicarakan. Apalagi? Sudah pasti kehadirannya di pemakaman Raya setelah pergi sekian lama akan menjadi bahan omongan. Itu salah satu alasan yang membuat Kiran ingin segera meninggalkan tempat itu. Alasan lainnya adalah dia tidak ingin terjebak di antara Haidar dan orangtuanya jika semua pelayat telah pulang.
“Yang sabar ya, Bu Ratna. In syaa Allah Raya tenang di sana. Saya kasihan sekali melihat mendiang yang sangat kepayahan di kehamilannya yang kedua ini.”
“Aamiin, terima kasih, Bu Lili.” Ratna mengangguk sopan pada salah satu tetangga yang pamit pulang.
“Mari, Mbak Kiran.” Lili menepuk bahu Kiran lembut sebelum akhirnya melangkah pulang setelah wanita itu membalas senyumannya.
Banyak di antara pelayat yang datang bersimpati pada kisah rumah tangga Kiran, Haidar dan Raya. Mereka hidup rukun selama berumah tangga walau Kiran dan Raya tak pernah lagi terlihat bersama sejak Haidar resmi menikah dengan Raya.
Kalau biasanya stigma istri kedua selalu buruk di mata masyarakat, maka lain halnya dengan Raya. Kehadiran wanita itu di tengah-tengah Kiran dan Haidar justru menarik banyak simpati. Dia yang datang dengan segala kekurangan diri, seperti terasing jika disandingkan dengan Kiran dan Haidar yang terlihat seperti Dewa-Dewi.
Ah … kisah yang sangat rumit. Sampai pada akhirnya saat Kiran menggugat cerai, perumahan itu gempar. Mereka akhirnya mengetahui, tak ada yang akan baik-baik saja jika sudah menyangkut masalah berbagi hati. Semua terlihat sempurna, karena pelakunya pintar menyembunyikan retak di dalam keluarganya.
“Hati-hati di jalan, salam buat Bapak sama Ibu.” Ratna akhirnya mengangguk saat untuk kesekian kalinya Kiran pamit.
“In syaa Allah nanti Kiran sampaikan, Bu.” Kiran mengusap wajah, gerimis masih terus turun. Di atas sana, awan hitam terlihat membentang sepanjang mata memandang. Sepertinya, rintik hujan akan terus turun hingga malam.
Saat akan melangkah pergi, pandangan mata Kiran terpaku pada dua batu nisan di samping Raya. Fajar Delopa Bin Tohari dan Rika Mayola Binti Riduan. Dia menarik napas panjang, orangtua Raya meninggal karena kecelakaan saat mendengar anak tunggalnya pendarahan dan kritis di rumah sakit tiga tahun yang lalu.
Mereka yang terlampau panik bergegas menuju rumah sakit. Jalanan yang sepi karena masih dini hari membuat Fajar mengemudikan mobil dengan kencang agar segera sampai. Naas, hanya berjarak seratus meter lagi tiba di tempat tujuan, mobil mereka terpelanting menghantam tiang pembatas jalan.
Tanpa disangka, seorang pemulung yang sedang mendorong gerobak berisi kardus hasil pulungannya mendadak menyeberang jalan. Fajar yang kaget langsung menginjak rem dan membanting setir. Mobil yang tadinya melaju dengan kecepatan kencang itu seperti melayang dan tak bisa dikendalikan.
Dini hari itu, saat Raya masih bertarung dengan maut di dalam ruang operasi, kedua orangtuanya berpulang menghadap Ilahi.
Kiran terisak. Hatinya ngilu mengingat setiap kepingan kenangan di antara mereka. Mengapa hanya kepedihan yang tersisa di sepanjang ingatannya? Bahkan, cuaca hari ini seolah menemani Kiran menapaktilasi kembali semua mendung yang masih juga enggan beranjak pergi hingga hari ini.
Tiga tahun berlalu. Ratusan minggu terlewati. ribuan hari sudah Kiran lalui. Namun, mengapa nyeri itu masih menancap kuat di hati?
"Kami dapat memahami kalau Nak Kiran berat hati merestui. Tapi, izinkan Om bicara sebentar, setelah itu kami akan menerima apapun keputusan yang Nak Kiran sampaikan." Seperti ada yang meremas hati Kiran saat kelebatan masa lalu kembali menghampiri.
Malam itu, orangtua Raya dan mertuanya datang berkunjung setelah penolakan keras dari Haidar beberapa waktu lalu. Kiran tersenyum menanggapi ucapan Fajar. Pandai sekali mereka mencari waktu. Mereka datang tepat di saat Haidar sedang ke luar kota karena tugas dinas.
“Kami mengenal Haidar sejak masih kecil. Dia anak lelaki yang baik. Bukan tanpa alasan kami meminta Haidar menikahi Raya, Nak Karin. Dalam pandangan kami sebagai orangtua, hanya Haidar yang bisa menjaga Raya sepeninggal kami nanti ….”
Kiran mengepalkan tangan mendengar setiap kalimat yang keluar dari mulut Fajar. Di sampingnya, Ratna berkali-kali mengelus punggung Kiran.
“Nak Kiran tahu sendiri bagaimana kondisi Raya. Dia cacat …." Fajar tercekat di ujung kalimat. Lelaki itu berhenti sejenak untuk menghapus air matanya yang mendadak keluar saat membicarakan kekurangan Raya, anak tunggalnya.
"Dia cacat. Selain itu, Nak Kiran juga tahu Raya sedikit kaku dengan orang baru." Fajar menarik napas panjang. "Bahkan, Bapak yang merupakan orangtua kandung Raya pun mengakui dia tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Nak Kiran.” Fajar menepuk pelan tangan Rika yang duduk di sampingnya. Dia tidak kuat menjabarkan kekurangan putrinya sendiri.
“Nak Kiran.” Rika menarik napas panjang. Wanita itu berdiri dan duduk di sebelah Kiran. “Sebagai sesama wanita, Ibu mengerti kita tak ingin berbagi.” Rika memegang tangan Kiran.
“Raya bukan apa-apa jika dibandingkan dengan Nak Kiran. Wajahnya biasa-biasa saja, standar, jauh dibandingkan dengan Nak Kiran yang jelita. Apalagi Haidar sangat mencintai Nak Kiran.” Rika menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan. “Kami hanya berharap ada yang akan melindungi Raya dan memperlakukannya dengan baik setelah kami tiada, walau itu dilakukan bukan atas dasar cinta.”
Malam itu, semesta mengaminkan ucapan Rika. Ucapan yang mungkin tak sengaja keluar dari bibir sang Ibunda. Sampai detik akhir Raya menghembuskan napas, Haidar memperlakukan istrinya itu dengan sangat baik. Haidar menghargai posisi Raya sebagai pendampingnya, walau semua itu dilakukan tanpa rasa cinta.
“Nak Kiran akan tetap menjadi yang pertama. Raya bukan siapa-siapa jika harus bersaing dengan Nak Kiran. Jadi ….”
“Bicaralah dengan Mas Haidar.”
“Haidar pasti mau mengerti kalau Nak Kiran ….”
“Aku bukan wanita shalehah yang akan dengan rela hati membujuk suamiku agar mau menikahi wanita lain. Jujur saja, aku berat menerima kenyataan ini. Bagaimanapun rupa wanita itu, mempunyai madu adalah mimpi buruk bagiku. Jadi, bicaralah sendiri.”
“Nak Kiran ….”
“Bicara saja langsung pada orang yang akan mempunyai tanggung jawab besar jika menyetujui ini. Tanyakan pada lelaki yang akan kalian minta agar mau memiliki dua orang istri, apakah dia sanggup menjalani poligami?”
“Kiran.”
Kiran tersentak saat suara Haidar terdengar. Saat menoleh, lelaki itu hanya berjarak dua langkah darinya. Dia tidak tahu sudah berapa lama terpaku menatap makam kedua orangtua Raya. Mengingat apa yang terjadi malam itu, batinnya kembali terkoyak.
Sungguh, dia belum bisa berdamai dengan masa lalu.
BAB 9
"Kiran." Haidar terpana saat wanita yang pernah menjadi istrinya menoleh. Wajah putih bersih itu bersemu merah. Jejak-jejak sisa air mata terlihat jelas di sana.
Haidar menarik napas panjang saat mata mereka bertemu. Hanya berjarak dua langkah, dia bisa melihat dengan jelas hati Kiran kembali berdarah dari pancaran matanya. Dia mengerti, semua yang ada di sini membangkitkan kenangan menyakitkan di dasar hati. Apa yang terjadi di antara mereka, tak selesai begitu saja. Walau ketuk palu hakim sudah memutuskan ikatan pernikahan, tapi tak ada yang bisa membendung perasaan.
Dia mengetahui dengan jelas sebesar apa cinta Kiran untuknya. Pun wanita itu mengetahui dengan pasti sedalam apa perasaannya. Pertemuan demi pertemuan beberapa waktu terakhir membangkitkan kembali getaran-getaran yang tak pernah mati.
Bagaimana akan mati jika setiap hari Haidar terus memupuk rasa hingga cinta itu justru tumbuh semakin subur? Dia bahkan sengaja mengajukan pinjaman ke tempat Kiran bekerja hanya untuk mencari tahu apakah wanita yang pernah menjadi miliknya itu masih memiliki perasaan yang sama.
Ah … andai dulu dia tidak melakukan kesalahan yang cukup fatal, pasti dia tidak akan kehilangan Kiran. Kekhilafan yang tidak dia sadari telah menancapkan luka di dasar terdalam perasaan istri pertamanya.
“Maaf ya, Yang? Mas lebih banyak di tempat sana dulu.” Haidar sesak mengingat malam itu. Dia bahkan seolah bisa menatap mata Kiran yang berkaca-kaca melihat kepulangannya.
Sudah hampir empat bulan ini Haidar lebih banyak menemani Raya. Memasuki usia kehamilan yang ke tiga puluh minggu, kondisi Raya semakin lemah. Istri keduanya itu memang sudah kepayahan sejak trimester pertama.
Puncaknya, saat kandungannya berusia tujuh belas minggu, Raya harus benar-benar bedrest agar kehamilannya baik-baik saja. Sejak saat itu, Haidar terfokus pada Raya dan calon akan mereka. Yang sebelumnya setiap tiga hari sekali bergiliran antara Kiran dan Raya, kini Haidar hanya pulang dua hari dalam dua minggu.
Bukan tanpa alasan Haidar melakukannya, dia khawatir ada apa-apa dengan Raya. Walau istrinya itu tinggal di rumah mertuanya sejak mengandung, tapi dia tidak enak hati jika harus mengandalkan mereka untuk mengurus keperluan Raya.
"Mas sudah makan?"
Haidar yang baru saja selesai mandi menoleh pada istrinya yang duduk di kasur. Dia tersenyum sambil menggeleng. Walau kerinduan membuncah di dada, tapi perut yang melilit minta jatah tidak dapat dia abaikan.
Pulang kantor tadi, Haidar langsung menuju rumah mertuanya. Setelah memastikan Raya baik-baik saja dan keperluan istrinya itu terpenuhi, dia langsung berangkat pulang. Itulah sebabnya Kiran sedikit heran saat tahu siapa yang datang. Haidar sampai di rumah hampir jam sembilan malam.
"Cuma ada mie instan dan telur di kulkas. Mas mau telur dadar atau mie rebus?"
Haidar menautkan alis mendengar pertanyaan Kiran. Biasanya, Kiran selalu siap sedia makanan di rumah. Jarang sekali ada makanan siap saji karena Kiran lebih suka mengolah masakan sendiri. Sejak program hamil, mereka mengubah gaya hidup menjadi lebih sehat.
PCOS yang dialami Kiran membuatnya harus mengurangi konsumsi gula dan karbohidrat berlebihan. Dua hal itu harus ditekan sebisa mungkin untuk tidak dikonsumsi. Seingat Haidar, sejak mereka menerapkan pola hidup sehat, menstruasi Kiran yang tadinya tidak datang setiap bulan kini mulai semakin teratur.
Secercah harapan baru muncul seiring dengan adanya kemajuan dari hasil program hamil yang mereka jalani.
Haidar terkesiap. Hatinya mendadak nyeri mengingat sejak kabar Raya hamil, dia bahkan tidak sedikitpun bertanya bagaimana progres pengobatan yang dijalani Kiran untuk menyembuhkan PCOSnya. Dia seakan lupa dengan impian-impian yang sudah mereka rajut sekian lama.
Haidar terbuai. Kehamilan Raya menjadi kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri baginya. Dia akhirnya bisa membungkam setiap tanya yang meragukan dirinya.
Namun, di tengah euforia itu, dia tersadar sudah meninggalkan Kiran berjuang sendirian sekian lama. Delapan bulan dia tak pernah menemani Kiran kontrol lagi.
Bahkan, hampir empat bulan ini perhatiannya tercurah sepenuhnya pada Raya yang harus berjuang karena proses kehamilannya sangat berat. Dengan langkah lebar, Haidar berjalan cepat menghampiri Kiran. Dia memegang kedua bahu istrinya yang sedang duduk di kasur. Dalam sekali sentakan, Kiran telah berada dalam pelukannya.
“Maaf.” Haidar dapat merasakan badan Kiran mematung. Lidahnya terasa kelu. Banyak yang ingin dia katakan, tapi suaranya seakan tersumbat dan tertahan di tenggorokan.
Hening mengungkung ruangan itu.
Pengap.
Udara mendadak terasa pengap.
Sedetik berlalu, tangis Kiran akhirnya pecah. Haidar mengeratkan pelukan saat bahu istrinya bergetar hebat. Batin Haidar menjerit. Tanpa dia sadari, dia telah berlaku zalim selama ini.
Lama mereka berpelukan. Tanpa berbicara, Haidar dan Kiran dapat merasakan hati mereka mulai baik-baik saja. Sebegitu kuatnya perasaan itu terhubung. Hati yang satu seakan saling terkait dengan hati yang lainnya. Saat yang satu terluka, yang lainnya menjadi obat bagi pasangannya.
Malam itu, dengan segenap jiwa Kiran menerima dan memaafkan Haidar kembali. Diapun bisa memahami tindakan suaminya selama ini. Seperti dirinya yang begitu merindukan rahimnya terisi, begitu juga dengan Haidar yang sangat mengharapkan hadirnya buah hati. Maka, dia memilih berdamai dan mengikhlaskan semua waktu untuknya yang selama ini Haidar lupakan.
Ruangan itu mendadak terasa hangat. Setelah sekian lama Kiran terkurung sendirian bertemankan malam-malam yang dingin, Haidar hadir mengobati semua kerinduan. Binar cinta dari keduanya berpadu. Tanpa kata, mereka saling memahami keinginan masing-masing melalui tatapan mata. Senyuman di wajah Kiran menandakan penerimaan dapat dibaca dengan jelas oleh Haidar.
“Sebentar, Yang, sebentar.” Haidar menahan tubuh Kiran hingga membuat mereka sedikit berjarak. Dering ponselnya mengganggu kesyahduan yang tercipta. “Sebentar ya?” Haidar mengelus kepala istrinya yang bersandar di dada.
Dia menjawil dagu Kiran saat melihat wajah itu tersenyum manis dengan tatapan menggoda. Lelaki itu mencium kepala Kiran sebelum akhirnya beranjak berdiri dan merogoh ponsel di kantong celana kerja yang tadi dia gantung ke tempatnya.
“Apa? Bagaimana keadaannya?”
Kiran yang tadinya tiduran langsung menegakkan badan melihat wajah panik suaminya.
“Haidar segera kesana, Pa.”
“Ada apa, Mas?” Kiran mendekati Haidar yang terlihat sangat panik. Lelaki itu berkali-kali mengusap wajahnya dengan kasar.
“Mas harus pergi, Yang. Kondisi Raya turun lagi. Pendarahan.” Haidar menatap Kiran memohon pengertian.
“Bisakah malam ini Mas tetap disini? Bukankah ini sudah terjadi untuk yang kesekian kali? Bisakah untuk malam ini saja, Kiran mohon, Mas Haidar memprioritaskan Kiran dibanding Raya?”
Haidar mendesah mendengar permintaan Kiran. Dia dapat memahami kekecewaan wanita itu saat untuk kesekian kalinya dia memilih Raya. Kiran benar, entah sudah berapa kali selama kehamilan ini Raya pendarahan.
“Yang? Mas harus pergi. Kehamilan Raya semakin besar. Mas khawatir terjadi apa-apa. Kau kan tahu bagaimana Mas sangat menginginkan anak ini? Sekian lama Mas menanti. Mas mohon, mengertilah.” Haidar membingkai wajah Kiran dengan kedua tangan.
“Lalu, Mas pikir aku tidak ingin?”
Haidar menarik napas panjang mengingat wajah basah Kiran malam itu saat dia tetap memutuskan pergi. Awalnya, Haidar tak habis pikir kenapa Kiran menuntut cerai justru saat Raya sedang parah-parahnya. Namun, akhirnya dia menyadari, Kiran bukan tak berempati, tapi wanita itu punya ketakutannya sendiri.
“Kiran duluan, Mas Haidar.”
Haidar tersadar dari lamunan saat suara Kiran terdengar. Dia mematung melihat Kiran yang mulai berjalan tanpa menunggu jawaban.
Gerimis terus turun membasahi bumi, sebasah hati Haidar saat ini. Dia terus memandangi Kiran hingga hilang dari penglihatan. Lelaki itu menarik napas panjang saat rasa sesak kembali terasa. Di bawah sana, kakinya basah terkena aliran air dari gerimis yang melewati kuburan Raya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
