KETIKA CINTA TAK LAGI KITA BAB 1-8

2
0
Deskripsi

Aruna dan Tibra, pasangan pebisnis yang sangat disegani baik oleh kawan maupun lawan. Mereka berjuang dari nol saat makan masih sepiring berdua hingga kini mempunyai lima cabang usaha yang tersebar di beberapa kota.

Naas, saat usia pernikahan mereka menginjak angka sepuluh tahun, ujian kedua menghampiri. Keluarga yang terkenal harmonis dan ideal bagi banyak orang itu dikabarkan goyah.

Akankah mereka berhasil melewati ujian rumah tangga ditengah gelimang harta seperti dulu saat makan masih sepiring...

BAB 1


"Ya, Tuhan. Aku tahu semua ini milikMu. Kurelakan hari ini semua Kau ambil dariku, walau ikhlas belum mampu kuhadirkan dalam hatiku. Aku yakin suatu saat nanti, semua akan Kau kembalikan lagi. Entah kapan, bagaimana dan dalam bentuk apa."

Petir menggelegar saat Aruna selesai mengucapkan kalimat itu. Hujan yang sore tadi hanya gerimis, semakin malam semakin deras. Wanita berusia dua puluh delapan tahun itu merapatkan kardigan yang dia kenakan.

Aruna melangkah pelan meninggalkan rumah yang selama sepuluh tahun ini ditempatinya. Dia keluar hanya membawa baju yang melekat pada badan. Dua anaknya yang masih kecil, satu berusia delapan tahun dan satunya lagi berusia enam tahun pun dia tinggalkan.

Jutaan bilur air hujan langsung menyergap tubuh saat kakinya menjejak halaman luar yang sudah tidak berkanopi. Dia menoleh sekali lagi pada bangunan yang dulu selalu menjadi tempat terbaiknya untuk bernaung, sebelum akhirnya dia menutup pagar dan melangkah pergi.

Dingin air hujan terasa sampai ke tulang. Aruna menggigil dan memilih berteduh di pos satpam yang kosong, sepertinya petugas keamanan sedang keliling. Pengamanan di perumahan ini memang terkenal ketat. Sehingga, walau sedang hujan deras, jika sudah waktunya keliling, satpam akan menjalankan tugasnya.

Aruna mengusap bagian depan jilbabnya yang meleyot karena basah terkena air hujan. Bajunya yang lembab semakin membuat tubuhnya menggigil. Bunyi air hujan yang mengenai  genteng di atasnya terdengar cukup kencang, menandakan hujan masih sangat deras.

Tatapan mata Aruna kosong. Hatinya terasa sesak seperti terhimpit batu yang sangat besar. Menarik napas pun sangat sulit,  seperti udara seakan hilang dari bumi ini. Menangis? Tidak, Aruna tidak  menangis. Air matanya sudah kering sejak beberapa bulan yang lalu saat dia menemukan fakta suaminya telah mendua.

Aruna mengambil kursi plastik bulat yang terletak di dekat pintu. Wanita itu duduk sambil memeluk tubuhnya sendiri untuk mengurangi dingin walau itu sia-sia. Bajunya yang lembab dan angin yang masuk dari sela-sela ventilasi udara sukses membuat bibir birunya gemetar kedinginan.

Aruna menyandarkan tubuh pada dinding. Pandangan matanya kosong. Bunyi hujan yang semakin kencang seakan menjadi musik pengantar yang tepat bagi ingatan masa lalu untuk menyerang ingatan. Aruna menghela napas panjang. Sedetik berlalu, bayangan kejadian lepas maghrib tadi sempurna terbentang di pikirannya.

“Mana Zahir dan Zafar?” Tibra menerobos masuk begitu saja ke dalam kamar utama. Bunyi pintu yang berdebam karena dibanting memenuhi gendang telinga.

“Astaghfirullahaladzim.” Aruna yang baru saja selesai melaksanakan shalat maghrib mengusap dada.  Wanita itu meneruskan melipat mukena walau tangannya sedikit gemetar.

Sore tadi dia memang menjemput Zahir dan Zafar dari rumah belakang. Rumah mereka terdiri dari dua bangunan. Rumah utama adalah yang dia tempati saat ini, rumah belakang adalah sebutan untuk tempat mereka menghabiskan waktu  santai. Terpisah  oleh kolam ikan koi kesukaan Tibra yang tepi kolamnya berjejer tanaman  anggrek bulan kesukaan Aruna.

Di rumah belakang ada beberapa kasur dan televisi berukuran 90 inch. Tibra sengaja membeli televisi berukuran besar itu karena mereka sangat suka menghabiskan waktu dengan menonton film di salah satu layanan streaming berbasis langganan. Lebih baik menghabiskan waktu intim bersama daripada pergi menonton bioskop keluar. Aruna hanya mengangguk tanda setuju waktu itu.

Selama dua hari ini dia ke luar kota untuk mengurus cabang usaha mereka yang ada di sana. Kunjungan rutin setiap satu bulan sekali. Usaha mereka memiliki lima cabang di lima kota berbeda. Cabang utama dan satu anak cabang dikelola oleh Aruna. Sementara tiga anak cabang lain dikelola oleh Tibra, suaminya.

Malam kemarin dia mendapat telepon dari wali kelas Zahir, ibu guru anaknya itu mengatakan Zahir sudah dua hari tidak masuk sekolah tanpa kabar. Aruna yang kaget langsung menghubungi Tibra. Sialnya, ponsel lelaki itu tidak aktif, begitu pun dengan ponsel kedua anaknya.

Setelah menimbang beberapa hal, Aruna akhirnya memutuskan pulang. Biasanya dia akan disana selama empat hari, namun karena khawatir ada sesuatu yang tidak baik terjadi, dia memilih pulang lebih cepat pagi tadi.

“MANA ZAHIR DAN ZAFAR?” Suara Tibra meninggi saat Aruna hanya membisu, tidak menjawab pertanyaannya.

“Mereka ada di kamarnya,” jawab Aruna tenang. Dia berdiri dan meletakkan alat shalatnya ke atas meja.

Wanita itu menuju meja rias dan mulai merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Ketenangan sikap Aruna semakin membuat emosi Tibra meninggi. Lelaki itu melangkah cepat dan menarik sisir yang sedang Aruna gunakan dengan kasar.

“Aw!” Aruna memekik kencang karena rambutnya ikut tertarik bersamaan dengan sisir yang dirampas Tibra.

“Apa maumu?” Aruna menegakkan tubuhnya yang sempoyongan. Matanya tajam menatap Tibra.

“Aku ayah mereka. Setidaknya izinlah padaku jika ingin membawanya!”

“Ayah? Kau sebut dirimu ayah, hah?!” napas Aruna memburu.

“Ayah macam apa yang membiarkan anaknya membolos selama dua hari dari sekolah tanpa alasan yang jelas!”

Tibra menghembuskan napas kencang. Jadi Zahir membolos? Dia bahkan baru tahu anaknya itu tidak berangkat sekolah.

“Kau terlalu sibuk dengan wanita penggoda itu, Mas. Sehingga alfa dengan kewajibanmu.” Aruna tersenyum sinis. Sebelah ujung bibirnya terangkat.

“Dia istriku,” desis Tibra.

Aruna terkekeh mendengar ucapan Tibra.

“Ya apapun itu sebutanmu untuknya. Bagiku, wanita itu tidak lebih dari seonggok sampah yang menguarkan bau busuk. Saking busuknya aku bahkan merasa mual walau hanya sekedar mengingat wajahnya.”

PLAK!

Satu tamparan keras mendarat di pipi Aruna. Tubuh wanita itu limbung. Dia bergegas menyeimbangkan kembali badannya agar tidak terjatuh. Aruna mengusap ujung bibir, cairan kental berwarna merah memenuhi punggung tangannya.

“Kau! Pengecut!” Aruna meraung dan menerjang Tibra. Lelaki itu terjatuh dengan Aruna berada di atas tubuhnya.

Sekuat tenaga Aruna mencekik Tibra. Lelaki itu memberontak, urat di pelipisnya menyembul. Dia mulai kesulitan bernapas. Di sisa tenaganya, Tibra berusaha berguling sehingga membuat Aruna terjatuh dari tubuhnya.

Tibra berdiri dan menghirup udara sebanyak mungkin. Setelah merasakan dadanya kembali lega, cepat dia menoleh pada Aruna yang berusaha bangkit. Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, dia menendang Aruna berkali-kali, membuat wanita itu memelas memohon ampun.

“Cukup, Mas! Cukup. Kumohon! Ada anak-anak di pintu. Ada anak-anak.” Aruna memeluk kaki Tibra agar berhenti menendangnya.

Kilatan cahaya menerangi sekitar diikuti dengan suara petir yang menggelegar. Aruna tersadar dari ingatan tentang kejadian tadi sore.

Wanita itu memejamkan mata. Dia menggigit bibir untuk mengurangi rasa sakit di hatinya. Batinnya benar-benar tersiksa saat mengingat dua pasang mata anaknya menatap  ketakutan pada ayah dan ibunya yang sedang saling memiting.

Aruna memijat keningnya pelan. Kepalanya mendadak terasa pusing karena banyak pikiran dan juga karena terkena air hujan.

Klakson mobil membuat Aruna mengangkat kepala. Biasanya satpam yang bertugas akan membukakan pintu gerbang perumahan saat ada yang datang.

Wanita itu menajamkan pandangan. Siapa orang yang datang malam-malam begini di tengah deras hujan? Menurut akal sehatnya, sebagian besar orang pasti akan memilih bergelung dalam selimut dan menikmati teh melati hangat untuk merilekskan badan.

Sekali lagi Aruna menajamkan pandangan. Mendadak emosinya kembali naik saat mengetahui siapa yang ada di belakang kemudi. Kedua tangannya terkepal di atas paha, sementara dadanya naik turun dengan sangat cepat.

“Andhira,” desisnya.

BAB 2

Klakson mobil membuat Aruna mengangkat kepala. Biasanya satpam yang bertugas akan membukakan pintu gerbang perumahan saat ada yang datang.

Wanita itu menajamkan pandangan. Siapa orang yang datang malam-malam begini di tengah deras hujan? Menurut akal sehatnya, sebagian besar orang pasti akan memilih bergelung dalam selimut dan menikmati teh melati hangat untuk merilekskan badan.

Sekali lagi Aruna menajamkan pandangan. Mendadak emosinya kembali naik saat mengetahui siapa yang ada di belakang kemudi. Kedua tangannya terkepal di atas paha, sementara dadanya naik turun dengan sangat cepat.

“Andhira,” desisnya.

Untuk apa perempuan j*lang itu malam-malam di saat hujan deras begini datang ke area perumahan ini? Seingat Aruna, wanita itu tidak punya kenalan di sini, kecuali dia dan Tibra. Aruna tertawa kecil, merasa lucu dengan pikirannya sendiri. Sudah jelas tujuan wanita penggoda itu adalah rumah yang dulu menjadi istananya.

Apakah memang sudah biasa baginya datang ke rumah saat dia sedang kunjungan rutin ke cabang di luar kota? Atau jangan-jangan malah lebih dari itu, jangan-jangan Andhira bahkan sering tidur di kamarnya menemani Tibra? Aruna memukul pahanya pelan. Dia merutuki kebodohannya selama ini.

Apa tadi kata Tibra? Istrinya? Ah! Ternyata mereka telah menikah, fakta yang membuatnya semakin yakin ini adalah keputusan yang tepat baginya.

Aruna kembali memijat kepalanya yang terasa pusing. Bayangan kedua pasang mata Zahir dan Zafar yang menatap penuh ketakutan tadi sore kembali memenuhi ingatannya. Wanita itu menggigit bibir. Badannya menggigil  kedinginan. Dia menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya berharap bisa memberi kehangatan pada ujung jarinya yang mengkerut.

Lamat-lamat dia memperhatikan punggung tangannya, beberapa tanda biru tercetak jelas di sana. Ah, dia bahkan tidak merasa sakit sama sekali karena tendangan lelaki yang dulu meminangnya dengan sepenuh jiwa. Hatinya jauh lebih sakit melihat ketakutan di mata kedua anaknya.

Aruna memejamkan mata. Ingatan itu kembali mendesak masuk walau dia berusaha mengenyahkannya. Semakin dia abaikan, semakin kuat memori itu memeluknya. Dia akhirnya pasrah membiarkan ingatan itu kembali dipertontonkan dengan jelas dalam pikirannya.

“Cukup, Mas! Cukup. Kumohon! Ada anak-anak di pintu. Ada anak-anak.” Aruna memeluk kaki Tibra agar berhenti menendangnya.

Lelaki itu tidak mempedulikan ucapan Aruna. Dia menarik rambut Aruna kencang dan menginjak tangan Aruna yang sedari memegang kakinya.

“Ah!” Aruna berteriak kesakitan. Sekilas dia melihat punggung tangannya membiru di bawah kaki Tibra.

“Ibu!” Zahir menerobos masuk. Anak lelaki berusia delapan tahun itu mendorong Ayahnya hingga terjatuh. Sigap dia membantu ibunya bangkit karena rambut Aruna ikut terseret dalam  cengkeraman tangan Tibra.

“Zahir.” Bibir Aruna yang pecah bergetar. Anak lelaki itu memeluknya dengan sangat kencang. Aruna menoleh ke pintu, Zafar terduduk sambil menangis ketakutan.

Tibra bangkit dan kembali menendang belakang tubuh Aruna yang sedang berpelukan dengan Zahir.

“Cukup, Mas. Cukup!” Aruna memeluk Zahir erat. Melindungi anak  lelakinya agar tidak ikut terkena tendangan Tibra.

“Sini!” Tibra menarik Zahir dari pelukan Aruna, sementara kakinya kembali menendang Aruna sehingga membuat wanita itu terjengkang.

“Ibu!” Zahir berteriak. Anak lelaki berusia delapan tahun itu memberontak, berusaha melepaskan diri dari tangan ayahnya.

“Cukup, Mas! Jangan di depan anak-anak.” Aruna bergerak menjauh. Dia tidak ingin meninggalkan trauma masa kecil pada kedua anak lelakinya. Yang paling penting, dia tidak ingin Zahir dan Zafar mencontoh tindakan ayahnya, itu akan mempengaruhi cara mereka memperlakukan istri nantinya.

“Aku pergi!” Aruna mengambil tas tangannya.

“Pergilah jika itu menurutmu yang terbaik, tetapi jangan bawa apapun dari rumah ini  termasuk Zahir dan Zafar!” Tibra melepaskan Zahir dan berjalan cepat ke arah Aruna. Sekuat tenaga dia menarik tas yang sedang dipegang Aruna.

“Keluarlah, tetapi tinggalkan semua yang ada di sini. Kau tidak ada hak sedikitpun untuk membawanya!”

Aruna memilih diam. Bukan karena takut, dia hanya enggan menjawab semua ucapan Tibra. Dia hafal mati watak lelaki yang sudah sepuluh tahun membina rumah tangga dengannya itu, lelaki itu sangat tidak suka ucapannya dibantah. Sekali dia menjawab, maka perkelahian akan kembali terjadi walau di depan anak-anak.

Aruna berjalan keluar. Dia masih sempat memeluk Zafar yang menangis. Berbisik semua akan baik-baik saja. Ibu akan segera menjemput kalian berdua.

“Ibu!” Zahir berteriak, anak lelaki itu meronta-ronta dalam cengkeraman ayahnya.

Aruna hanya menoleh sekilas pada Zahir. Dia segera berlalu. Aruna tahu persis, semakin dia berlama-lama di sini, semakin Tibra menyakiti Zahir untuk membuat perasaannya tersiksa.

Klakson mobil kembali terdengar di antara deru hujan. Aruna membuka matanya, dia masih melihat mobil Andhira di sana, menunggu pintu gerbang dibuka.

Aruna melirik jam di dinding. Pukul 20.35 waktu setempat. Itu artinya hampir sejam dia di sini, dan hujan sepertinya masih enggan berhenti.

Kilatan cahaya kembali menerangi sekitar, membuat mobil merah menyala Andhira di luar gerbang terlihat lebih  jelas. Sepersekian detik kemudian petir kembali menggelegar, suaranya beruntun seperti saling bersahutan.

Aruna menutup telinganya saat dentuman petir paling keras seakan ada di atas atap bangunan tempatnya berteduh, seolah awan itu bertabrakan di atas genteng, sehingga suaranya sangat kencang memekakkan telinga.

Aruna keluar tanpa membawa apapun bukan berarti dia mengalah. Wanita itu hanya tidak ingin anak-anak semakin terluka melihat ayah dan ibunya terus bertengkar dan saling cakar.

Dia akan mempertahankan haknya. Empat anak cabang usaha dan satu cabang utama, belum lagi rumah, usaha kos-kosan empat puluh lima pintu di dekat kampus hijau di Kota Hujan dan tiga puluh pintu di dekat kampus almamater kuning dengan embel-embel nama negeri ini di belakangnya, dua buah villa di puncak, deretan mobil, deposito, giro, tabungan. Semua itu akan dia ambil lagi walau kini pergi dengan hanya membawa baju yang melekat di badan.

Ekor mata Aruna menangkap pergerakan dari mobil Andhira. J*lang itu sepertinya memutuskan urung berkunjung karena pintu gerbang tidak kunjung dibuka. Aruna tersenyum sinis.

“Andhira, jangan harap kau bisa menikmati harta yang kukumpulkan dengan susah payah!” desis Aruna.

Wanita itu menunggu hujan reda. Tujuannya malam ini adalah kantor polisi untuk melaporkan KDRT yang dilakukan Tibra. Setelah itu dia akan melakukan visum untuk menguatkan bukti laporannya. Otaknya yang cerdas berpikir cepat. Dia harus segera bertindak agar tidak kalah langkah.

“Tibra, bukan kau yang membuangku, tetapi aku yang meninggalkanmu.”

BAB 3

“Andhira, jangan harap kau bisa menikmati harta yang kukumpulkan dengan susah payah!” desis Aruna.

Wanita itu menunggu hujan reda. Tujuannya malam ini adalah kantor polisi untuk melaporkan KDRT yang dilakukan Tibra. Setelah itu dia akan melakukan visum untuk menguatkan bukti laporannya. Otaknya yang cerdas berpikir cepat. Dia harus segera bertindak agar tidak kalah langkah.

“Tibra, bukan kau yang membuangku, tetapi aku yang meninggalkanmu,” desis Aruna.

Suara berisik seperti kain dikibaskan dan percikan air yang mengenai wajah mengagetkan Aruna. Wanita itu menoleh ke arah pintu masuk. Pak Arpin, satpam komplek yang dikenal Aruna sedang mengibas-ngibaskan payung biru yang tadi dipakainya. Aruna menarik napas pelan, rupanya percikan air yang tadi mengenai wajahnya berasal dari sana.

“Pak Arpin,” sapa Aruna.

“Astagfirullahaladzim!” Pak Arpin melompat kaget. Lelaki itu mundur selangkah dari tempatnya berdiri. Payung yang tadi dia pegang terlepas dari tangannya.

“Eh?” Aruna berdiri melihat Pak Arpin yang sangat terkejut.

Sejenak mereka berpandangan, sedetik kemudian keduanya tertawa berbarengan. Aruna menunduk hendak mengambil payung Pak Arpin yang tadi terjatuh.

“Biar, biar saya saja, Bu.” Lelaki berusia empat puluh delapan tahun itu bergegas memungut payungnya yang terjatuh dan meletakkan di belakang pintu.

“Sendirian saja, Bu?” Pak Arpin memperhatikan sekitar. Biasanya wanita yang sedang di hadapannya ini selalu berpenampilan rapi. Lelaki itu mengernyitkan kening melihat pakaian Aruna yang basah. Dia bahkan bisa melihat dengan jelas darah yang mengering di sudut bibirnya. Ada apakah?

“Ibu dirampok?” Pak Arpin kembali bertanya. Dia menoleh keluar, tidak ada mobil hijau tua yang biasa dikendarai Aruna.

“Saya pergi dari rumah.”

“Hah?!”

“Tibra melakukan KDRT. Bapak lihat?” Aruna menunjukkan kedua tangannya yang membiru.

“Lelaki itu menginjak tanganku dengan  kencang sehingga menimbulkan bekas yang sangat menyakitkan.”

Pak Arpin terdiam mendengar cerita Aruna. Kalau saja hal ini dia ketahui dari orang lain, bisa dipastikan dia akan langsung menyangkal kabar itu. Bagaimana mungkin keluarga pengusaha sukses yang cabang usahanya dimana-mana, kehidupan berumah tangga yang romantis dilengkapi dengan kehadiran dua jagoan  itu bisa goyah? Mereka tidak kekurangan apapun. Materi maupun kasih sayang. Namun, cerita ini disampaikan oleh Aruna sendiri. Masihkah dia bisa menyangkalnya?

Tibra dan Aruna merupakan pasangan yang sangat serasi dimata kenalan dan kolega bisnisnya. Tibra yang tampan dan gagah, serta Aruna yang cantik dan anggun merupakan definisi pasangan yang sangat ideal. Mereka berpacaran bahkan sejak masih SMP. Tamat SMA, Tibra memberanikan diri melamar Aruna yang ditentang habis-habisan oleh kedua orangtua Aruna. Namun, cinta telah membutakan Aruna. Dia nekat menikah dengan Tibra.

Awal pernikahan adalah tahun-tahun perjuangan bagi mereka berdua. Namun, mereka tetap saling menggenggam walau kadang makan sepiring berdua, itupun sehari sekali.

Tahun kedua menikah, Aruna hamil. Dari sana pintu rezeki mulai terbuka untuk mereka. Tibra yang sangat menyukai ayam goreng krispi mendapat ide untuk berjualan. Berhari-hari dia dan Aruna melakukan percobaan untuk mendapatkan cita rasa dan krispi yang pas sesuai keinginan mereka.

Setelah mendapatkan formula yang membuat rasa ayam goreng krispi itu berbeda dari yang selama ini mereka beli, Aruna dan Tibra mulai mencari formula saus. Mereka ingin mempunyai ciri khas tersendiri, tidak mau memakai saus yang selama ini beredar di pasaran. Kedua suami istri yang masih muda itu bertekad, nama mereka harus terpasang sebagai merek dagang usahanya.

Arapi (Arti Ayam Krispi), nama yang mereka pilih untuk melambangkan usaha mereka. Arti Ayam Krispi, Arti diambil dari singkatan nama Aruna dan Tibra.

Tepat empat bulan usia kehamilan Aruna, tempat usaha mereka resmi  dibuka untuk pertama kalinya. Tempat usaha? Lebih tepatnya gerobak dorong yang mereka beri tempelan nama Arapi. Untuk memodali usaha ini, Aruna bahkan harus rela menjual cincin yang menjadi mas kawin saat pernikahan mereka.

Hari pertama berjualan, Arpin pulang dengan keadaan kaki bengkak karena berjalan jauh. Aruna menangis tersedu saat merendam kaki suaminya dengan air hangat. Namun, secercah harapan terbit di hati mereka, dua potong ayam yang dijual hari itu habis. Bahkan mereka langsung mendapat pesanan sebanyak dua puluh porsi untuk acara pengajian di masjid yang tadi dilewati Tibra.

Kedua suami istri itu menangis berpelukan saat mengetahui usaha mereka meracik formula untuk ayam dan sausnya selama berbulan-bulan tidak sia-sia. Pelan tapi pasti, usaha mereka mulai dikenal orang. Cita rasanya yang khas, menjadi daya tarik tersendiri bagi pelanggan yang selama ini mengetahui rasa ayam krispi hanya begitu-begitu saja.

Dari yang awalnya hanya berjualan menggunakan gerobak dorong, usaha mereka mulai naik dengan menyewa salah satu ruko yang dijadikan sekalian dengan tempat tinggal. Dari ruko kecil, mereka mulai berpindah ke ruko yang lebih besar. Hingga akhirnya saat Aruna hamil anak kedua, Tibra memberi kejutan dengan membawa sertifikat ruko atas nama mereka berdua.

Aruna menangis haru saat itu. Dia memeluk Tibra kencang. Perasaan Tibra buncah oleh perasaan bahagia. Dia mengucapkan terima kasih pada Aruna karena telah bersabar mendampinginya selama ini. Aruna hanya mengangguk, wanita yang sedang hamil lima bulan itu mengambil tangan suaminya dan meletakkannya pada perutnya yang bergerak. Mata Tibra basah, seolah di dalam sana anak kedua  mereka ikut merasakan suka cita.

Pelan tapi pasti usaha mereka semakin maju. Hingga saat ini sudah ada empat anak cabang yang tersebar di berbagai kota. Mereka tidak pernah kekurangan lagi. Dikaruniai kedua putra dan harta yang berlimpah, suami yang tampan bagi Aruna dan istri yang cantik bagi Tibra, sungguh, mereka adalah gambaran keluarga ideal bagi setiap orang.

Wajah Tibra dan Aruna menjadi langganan menghiasi sampul majalah bisnis. Keduanya adalah pasangan suami istri yang tidak hanya elok rupa namun juga sangat pandai mengatur dan menjalankan usaha, membuat keduanya menjadi orang yang disegani oleh rekan maupun lawan bisnisnya. Sedari awal usaha dimulai, Aruna memang melibatkan diri dan terjun langsung bersama Tibra mengelola usaha mereka. Pasangan itu saling bergandengan tangan dan melangkah beriringan dalam menjalani semua lini kehidupan.

Itulah sebabnya, kalau bukan karena mendengar kabar KDRT itu dari mulut Aruna sendiri, rasanya sulit bagi Pak Arpin  untuk mempercayai kabar keretakan rumah tangga mereka.

“Ini, Bu.” Pak Arpin memberikan kotak P3K yang selalu tersedia di pos kepada Aruna.

“Terima kasih.” Aruna mengambil kotak P3K dari Pak Arpin dengan tangan gemetar. Wanita itu kedinginan dan juga mulai merasakan sakit di setiap badan karena tendangan Tibra tadi.

“Ibu mau kemana malam-malam begini?” Pak Arpin bertanya pelan sambil memperhatikan Aruna meneteskan alkohol pada kapas.

“Kantor polisi. Saya harus segera bergerak cepat, Pak. Sebelum Tibra menyadari rencana yang akan saya lakukan dan menyumpal para oknum itu menggunakan orang-orangnya.” Aruna meringis saat membersihkan beberapa luka di bagian tubuhnya.

“Mari saya antar.”

“Ya?” Aruna mengangkat kepalanya.

“Mari saya antar. Kantor polisi lumayan jauh dari sini.”

Aruna menarik napas lega. Akhirnya ada yang mau membantunya. Wanita itu memang terkenal baik selama ini, dia sering membawakan para satpam makanan dan minuman saat pulang dari mengontrol tempat usaha. Sesekali dia juga memberikan tips pada mereka. Sehingga, dia mempunyai hubungan yang cukup baik dengan Pak Arpin dan teman-temannya.

Aruna tersenyum.

“Tunggulah kehancuranmu sebentar lagi, Mas.”


BAB 4

“Ibu mau kemana malam-malam begini?” Pak Arpin bertanya pelan sambil memperhatikan Aruna meneteskan alkohol pada kapas.

“Kantor polisi. Saya harus segera bergerak cepat, Pak. Sebelum Tibra menyadari rencana yang akan saya lakukan dan menyumpal para oknum itu menggunakan orang-orangnya.” Aruna meringis saat membersihkan beberapa luka di bagian tubuhnya.

“Mari saya antar.”

“Ya?” Aruna mengangkat kepalanya.

“Mari saya antar. Kantor polisi lumayan jauh dari sini.”

Aruna menarik napas lega. Akhirnya ada yang mau membantunya. Wanita itu memang terkenal baik selama ini, dia sering membawakan para satpam makanan dan minuman saat pulang dari mengontrol tempat usaha. Sesekali dia juga memberikan tips pada mereka. Sehingga, dia mempunyai hubungan yang cukup baik dengan Pak Arpin dan teman-temannya.

Aruna tersenyum.

“Tunggulah kehancuranmu sebentar lagi, Mas,” desis Aruna.

“Pak Arpin tahu mobil warna merah menyala yang sering ke sini? Kalau tidak salah plat mobilnya berakhiran ADR.” Aruna melirik Pak Arpin sekilas, dia menginformasikan detail plat karena sistem perumahan ini selalu mencatat plat mobil tamu yang keluar masuk untuk mengantisipasi hal-hal buruk yang mungkin terjadi.

“Oh, mobil Bu Andhira bukan maksudnya, Bu”

Ujung bibir Aruna terangkat. Bahkan satpam komplek pun sampai hafal, itu artinya tidak sekali dua kali wanita itu datang.

Sejak kapan wanita j*alang itu mulai sering bertandang ke rumahnya? Seingat Aruna, dia hanya sekali mengajak wanita itu ke rumah. Dulu, saat dia menemukan wanita itu dalam keadaan menyedihkan di jalanan.

“Ah!” Aruna memekik kecil saat betadine menyentuh kulitnya yang terluka. Perih terasa saat obat berwarna merah itu mulai menyerap ke dalam kulitnya yang terkelupas. Setelah menutup luka dengan kain kasa, Aruna membereskan kotak P3K dan menyerahkannya kembali pada Pak Arpin.

“Terima kasih.”

Pak Arpin mengangguk dan menyimpan kembali kotak putih berlambang PMI itu di tempatnya semula.

“Bu Andhira rutin kemari setiap satu bulan sekali, katanya diminta ibu menjaga anak-anak selagi Bu Aruna ke luar kota.”

Aruna menggigit bibirnya untuk mengalihkan perih yang tiba-tiba menyayat hatinya. Wanita itu meremas kencang ujung bajunya yang lembab. Betapa bodohnya dia selama ini sampai tidak menyadari pengkhianatan Tibra.

Bagaimana dia bisa sadar? Lelaki itu masih bersikap sangat manis padanya walau dengan cara yang cukup sederhana. Sesederhana ucapan “jangan lupa makan siang, bidadariku.” yang selalu mampir tanpa pernah terlewat sehari pun di ponselnya. Atau sarapan yang selalu sudah tersedia setiap pagi saat dia membuka mata. Tibra memang seromantis itu bahkan sejak mereka masih memakai seragam putih biru. Perhatiannya tidak berubah sedikitpun sejak lima belas tahun yang lalu.

“Bu, hujannya sudah mulai reda. Mau tunggu sampai benar-benar berhenti atau berangkat sekarang saja?” Pak Arpin memecah lamunan Aruna.

Wanita itu menoleh ke luar, hujan tinggal gerimis kecil. Ujung mata Aruna melirik jam dinding, pukul 21.00. Dia menarik napas panjang, sepertinya kalau menunggu hujan benar-benar reda sudah sangat kemalaman. Angin kencang sesekali masih berhembus, membuat Aruna sedikit menggigil karena bajunya yang lembab.

“Saya boleh pinjam motor Pak Arpin saja? Tidak perlu diantar, nanti pos kosong.” Aruna tersenyum, membuat lelaki berusia empat puluh delapan tahun itu sedikit salah tingkah. Wanita dengan kulit seputih pualam dan wajah sehalus porselen itu memang mempunyai pesona yang sangat kuat.

“Boleh saja sih, Bu. Tetapi, memangnya Bu Aruna bisa mengendarai motor?”

Aruna tertawa kecil mendengar pertanyaan Pak Arpin. Lelaki itu tidak tahu saja, bertahun lalu dia terbiasa mengendarai motor membawa puluhan kilo tepung dan ayam potong sendirian. Bagaimanalah, dia harus berbagi tugas dengan Tibra jika ingin pekerjaan cepat selesai.

Di awal usaha mereka dulu, dia dan Tibra mengerjakan semuanya hanya berdua. Sejak pagi Tibra berkeliling menjajakan jualan dengan gerobak, sementara Aruna berangkat ke tempat pengepul ayam potong dan tempat kulakan tepung.

Sepulang dari sana dia langsung mengungkep ayam, mempersiapkan tepung, dan meracik bahan untuk saus. Malam harinya dia dan Tibra mengemas saus racikan sendiri ke dalam plastik kecil yang sudah diberi label nama usaha mereka.

Lepas subuh, Aruna mempersiapkan ayam yang sudah di ungkep, saus, dan tepung yang sudah diadon ke dalam wadah untuk dibawa Tibra berjualan menggunakan gerobak.

Kenangan bertahun lalu mendadak melintas di pikiran Aruna. Dia tersenyum kecil mengingat perjuangan mereka dulu sebelum sampai di titik ini. Sayang, Tibra terlena dan tergoda. Merasa memiliki kuasa dan harta, mudah saja lelaki itu melupakan setiap tetes keringat dan air mata Aruna selama jatuh bangun mendampingi dirinya.

“Saya pandai mengendarai motor loh Pak Arpin.” Aruna tertawa menampakkan giginya yang putih dan rata.

“Hehehe, saya kira Ibu tidak bisa. Maklum, selama ini Bu Aruna tidak pernah terlihat mengendarai motor. Kemana-mana selalu mengendarai mobil.” Pak Arpin terkekeh.

“Ini kuncinya, Bu.”

Aruna menerima kunci motor dengan gantungan miniatur ka’bah dari Pak Arpin. Sejenak dia memperhatikan gantungan kunci itu.

“Buat penyemangat, Bu. Siapa tahu suatu saat kelak saya bisa menyentuh ka’bah yang asli, bukan miniaturnya saja.” Pak Arpin tertawa kecil melihat Aruna memperhatikan gantungan kuncinya.

“Aamiin,” sahut Aruna.

“Ibu tidak takut keluar sendirian malam-malam?” Pak Arpin kembali bertanya saat Aruna mulai beranjak keluar.

Aruna menggeleng. Dia tahu jalanan masih ramai, perumahan itu terletak di tengah kota sehingga tidak akan melewati jalan yang sepi. Lagi pula, Aruna mempunyai kemampuan bela diri yang cukup mumpuni. Semasa SMA dia mengikuti ekstrakulikuler bela diri. Itulah sebabnya tadi dia  dapat menerjang Tibra dengan mudah karena Aruna tahu persis titik lemah tubuh seseorang.

“Saya pinjam dulu motornya ya, Pak.” Aruna sudah menarik gas motor saat mengatakan kalimat itu.

“Hati-hati, Bu.” Dia masih sempat mendengar seruan Pak Arpin. Wanita itu melambaikan tangan ke atas sebagai ucapan terima kasih.

Pak Arpin menutup kembali pintu gerbang setelah motor yang dikendarai Aruna hilang dari pandangan. Lelaki itu menarik napas panjang. Tidak lama lagi, pasti gerbang perumahan yang selalu sepi ini akan ramai oleh awak media. Bagaimana tidak? Bahtera pasangan pebisnis yang namanya cukup dikenal karena keharmonisan keluarga itu tiba-tiba saja oleng. Bukan hanya sekedar oleng, kapal itu bahkan hampir karam.

Aruna memacu motor dengan kecepatan sedang. Sesekali dia mengusap butiran air hujan yang memenuhi kaca helm yang dipakainya. Tujuan pertamanya adalah cabang utama usaha mereka. Dia meninggalkan ponsel bisnis dan beberapa kartu debit ATM di brankas dalam ruangannya. Dia tidak bisa bergerak jika tidak memegang ponsel dan tanpa uang di tangan.

Beruntung dia menyimpan kontak dalam akun gmailnya, nanti dia tinggal masuk saja ke akun itu, sehingga nomor-nomor penting yang dia butuhkan akan langsung muncul di kontak ponsel.

Terpaan angin malam selama perjalanan membuat Aruna harus menahan dingin. Tangannya bahkan mati rasa, susah payah dia mengendalikan diri agar tetap bisa mengendarai motor. Sekuat tenaga dia meneguhkan hati agar bisa sampai ke cabang utama yang berjarak sekitar lima belas kilometer dari perumahan.

“Dulu, aku matian-matian berjuang mendampingimu untuk mendapatkan semua ini, Mas. Maka kini aku tidak keberatan sedikitpun untuk berjuang sekali lagi mempertahankan milikku dan hak anak-anakku.”


BAB 5


Terpaan angin malam selama perjalanan membuat Aruna harus menahan dingin. Tangannya bahkan mati rasa, susah payah dia mengendalikan diri agar tetap bisa mengendarai motor. Sekuat tenaga dia meneguhkan hati agar bisa sampai ke cabang utama yang berjarak sekitar lima belas kilometer dari perumahan.

“Dulu, aku matian-matian berjuang mendampingimu untuk mendapatkan semua ini, Mas. Maka kini aku tidak keberatan sedikitpun untuk berjuang sekali lagi mempertahankan milikku dan hak anak-anakku.”

Empat puluh menit berlalu saat akhirnya motor yang dikendarai Aruna memasuki halaman cabang utama usaha mereka. Resto yang menyajikan makanan cepat saji itu terlihat ramai oleh pengunjung. Resto itu buka dua puluh empat jam dengan sistem shifting bagi karyawannya. Shift pertama pukul 06.00-14.00, shift kedua pukul 14.00-22.00, shift terakhir pukul 22.00-06.00.

Aruna berlalu cepat menuju pintu belakang. Dia bahkan mengabaikan petugas keamanan yang sedang membicarakan entah apalah di salah satu sudut halaman. Aruna yakin mereka tidak mengenali dirinya. Bagaimanalah? Dia yang biasanya selalu tampil rapi dan modis, malam ini datang dengan keadaan baju yang basah kuyup dan jilbab yang sedikitpun tidak matching dengan warna bajunya. Tadi sebelum pergi, dia asal ambil saja jilbab di keranjang baju yang baru diantar pihak laundry.

“Pak Rifal sudah pulang?” Aruna bertanya pada salah satu karyawan yang sedang memasang sepatu, sepertinya sedang bersiap untuk pulang. Aruna melirik jam di dinding, Sudah jam sepuluh lewat, waktu pergantian shift sudah berlalu.

“Eh?” Lelaki berusia hampir dua puluh tahun itu mengernyitkan kening ketika menatap Aruna. Sesaat kemudian matanya melebar dan dengan sedikit keheranan dia bangkit dari duduknya yang menghalangi jalan saat menyadari wanita kuyup dengan wajah babak belur di hadapannya ini adalah bosnya.

“Baru saja pulang, Bu.” Lelaki itu memindai penampilan Aruna dengan ujung matanya.

Aruna mengangguk. Biasanya Pak Rifal, Food and Beverage Manager Arapi, pulang saat pergantian shift kedua. Wajar saja jika dia sudah tidak di kantor.

“Bisa tolong sampaikan dulu ke Riwa untuk membuka kembali ruangan saya sebelum kamu pulang, Di?”

“Baik, Bu.” Redi melepas kembali sepatunya dan berlalu ke dalam. Sementara Aruna memilih berbelok ke toilet staff, dia sudah tidak kuat untuk mengeluarkan sesuatu yang sedari tadi ditahannya karena dingin.

Aruna bergegas menuju ruangannya setelah selesai. Beruntung dia menyimpan beberapa stel baju di sana. Tadinya baju-baju itu biasa dia gunakan jika ada kegiatan mendadak yang membutuhkan setelan khusus, itu akan lebih memudahkan dan menghemat waktu tidak harus pulang ke rumah dulu.

Aruna duduk  di kursi kerjanya setelah rapi. Dia mengambil ponsel di brankas dan mulai melakukan sinkronisasi kontak. Sambil menunggu proses selesai, wanita itu mempersiapkan beberapa kartu ATMnya.

“Masuk.” Aruna sedikit berteriak saat mendengar ketukan di pintu.

“Minum, Bu.” Riwa masuk sambil membawa teh melati hangat kesukaannya dan sepiring banana nugget, menu terbaru mereka yang launching seminggu lalu.

“Terima kasih ya, Wa.” Aruna tersenyum. Dia sangat bersyukur mempunyai karyawan yang loyal dan pengertian. Dia bahkan belum meminta dibuatkan apapun. Namun, sepertinya tadi Redi menceritakan kondisinya yang memprihatinkan saat datang. Sehingga Riwa inisiatif menyediakan minuman hangat dan sepiring makanan ringan.

“Wa, jangan cerita pada siapa-siapa kondisi saya saat ini. Hanya kamu dan Redi yang tahu keadaan saya saat datang kemari. Lampu di luar matikan saja biar tidak ada yang tahu saya sedang di dalam. Saya sedang ada masalah keluarga. Jadi tolong, mohon kerjasamanya.”

Riwa mengangguk dan pamit mundur. Aruna memutuskan menjelaskan secara singkat pada karyawannya itu. Pipinya membiru dan bibirnya yang pecah. Serta tubuhnya yang terlihat jelas gemetar karena kedinginan dan menahan sakit pasti akan menimbulkan pertanyaan. Dia tidak mau justru timbul spekulasi aneh di luar sana. Dengan memberi keterangan, Riwa pasti merasa dia diberi kepercayaan sehingga akan tutup mulut tentang keberadaanya.

Seteguk teh wangi beraroma melati menghangatkan tubuh Aruna. Wanita itu tersenyum lega. Setidaknya dia harus merasa nyaman lebih dulu agar bisa berpikir jernih dan tidak gegabah dalam mengambil keputusan.

Bercerai itu sudah pasti langkah yang akan dia ambil. Bukan dia tidak memikirkan anak-anak, tetapi Tibra sudah melanggar dua prinsip yang dia pegang teguh selama ini. Selama suami tidak melakukan kekerasan dan tidak berselingkuh, dia bisa menerima apapun kesalahannya. Karena dua hal itu dilakukan lelaki dalam keadaan sadar dan sengaja, dan Tibra melakukan dua hal itu sekaligus. Lelaki itu bahkan dengan entengnya mengatakan mereka telah menikah.

“Clar? Ini aku, Aruna.” Aruna langsung menelepon kenalannya saat proses sinkronisasi selesai.

“Iya, Run? Ganti nomor kamu?” Clara, sahabat kental Aruna yang tahu persis kisah perjalanan cinta dan perjuangan hidupnya dengan Tibra adalah orang pertama yang dia percaya dapat membantunya. Dia juga satu-satunya orang yang memanggilnya dengan nama kecilnya, Runa.

“Tidak. Ini ponsel urusan bisnisku. Aku butuh bantuanmu, Clar.” Aruna langsung ke pokok permasalahan. Dia tidak ada waktu untuk berbasa basi.

“Ada apa, Run?” Nada khawatir terdengar dari suara Clara. Jelas wanita itu khawatir, tidak biasanya Runa menelepon semalam ini.

Sahabatnya itu bahkan hampir tidak pernah memegang ponsel lagi saat sudah di rumah, dia fokus pada keluarga setelah seharian sibuk di luar.  Apalagi kali ini Aruna menelepon menggunakan ponsel keperluan bisnisnya. Ada apakah?

“Kamu pernah cerita ada kenalan Om Zafran yang pengacara kan, Clar?” Aruna dapat memastikan kening Clara mengernyit mendengar pertanyaannya. Zafran, adik dari ibunya Clara yang sudah menganggap Aruna sebagai anaknya sendiri karena sangat dekat dengan keponakannya.

“Iya, kenapa?”

“Boleh hubungkan aku dengan beliau? Aku ingin menuntut cerai Tibra.”

“Baik, tunggu sebentar.” Panggilan itu langsung ditutup oleh Clara.

Aruna menarik napas lega. Clara memang pengertian, sedikitpun dia tidak bertanya. Sahabatnya itu tau dia butuh bantuan, nanti juga dia pasti akan bercerita jika sudah siap. Satu yang pasti, Clara tahu Aruna sedang menghadapi situasi genting.

Aruna menyandarkan tubuhnya pada kursi. Dia memejamkan, namun sepersekian detik kemudian mata itu kembali terbuka. Ujung matanya sempat menangkap siluet foto yang terletak hampir di ujung meja saat akan menutup tadi.

Aruna meraih foto itu. Foto keluarga mereka tiga tahun yang lalu. Aruna menggandeng Zahir yang saat itu berusia lima tahun, sementara Tibra menggendong Zafar. Tangan Aruna dan Tibra bertaut, keduanya saling menggenggam erat.

Aruna ingat sekali, itu foto saat peresmian cabang keempat usaha mereka di sebuah daerah di Kota Kembang. Mereka tertawa bahagia di depan resto yang baru, zafar bahkan masih memegang pita merah yang baru saja dipotong saat peresmian tadi.

Dering telepon menarik kembali kesadaran Aruna. Bergegas dia menegakkan punggung dan meletakkan foto. Sesaat sebelum mengangkat panggilan dia baru menyadari, bibirnya bahkan masih tersenyum hingga kini saat mengingat kebahagiaan mereka kala itu.

“Dengan Aruna, Arapi Cabang Utama.”

“Selamat malam, Bu Aruna. Saya Lendra. Saya mendapat kontak anda dari Pak Zafran.”

Aruna menarik napas panjang. Inilah akhir kisah cintanya dengan Tibra. Orang yang untuk bisa hidup bersamanya, dia rela menentang kedua orang tuanya. Aruna bahkan menghabiskan masa mudanya berjuang mendampingi Tibra agar bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Namun, saat kehidupan yang layak sudah mereka rasakan, seperti kacang lupa kulitnya lelaki itu tega mendua dan berlaku kasar padanya. Dua hal yang sangat tidak bisa ditolerir oleh Aruna.

“Baik. Malam ini saya langsung membuat surat kuasa sebagai pengacara Bu Aruna. Besok pagi ibu tinggal  menandatangani sebagai bukti sudah menyetujui saya bertindak sebagai kuasa hukum ibu. Kirim alamat ibu, besok jam tujuh pagi saya jemput untuk membuat aduan ke kantor polisi sambil kita diskusikan lagi secara rinci mengenai apa saja gugatan yang akan diajukan.”

Aruna menarik napas lega. Setidaknya satu permasalahannya sudah berada di tangan orang yang tepat dan mengerti betul ranah kasus yang akan dia ajukan.

“Bu.”

Aruna langsung menoleh. Dia cukup terkejut saat Riwa menerobos masuk tanpa mengetuk pintu.

“Ada Pak Tibra di depan”

Wajah Aruna menegang. Apa Tibra tahu dia ada di sini?


BAB 6

"S*ialan!" Tibra menghembuskan napas kencang seraya tangannya bergerak meninju udara.

Lelaki itu menggeleng tidak percaya. Dia melangkah masuk dan menutup pintu ruang kerja Aruna. Tibra berjalan menuju meja kerja Aruna dan meletakkan kunci mobil beserta ponselnya.

“Ck!” Decakan kesal keluar dari mulutnya. Tibra akhirnya duduk di kursi Aruna setelah beberapa saat memperhatikan ruang kerja ibu dari kedua anaknya. Lelaki itu menopang kepala dengan tangan yang kedua sikunya dia gunakan sebagai tumpuan.

Tibra tiba-tiba tertawa kecil. Dia seolah merasakan hangat tubuh Aruna pada kursi yang didudukinya saat ini. Apakah sebegitu kuatnya pengaruh wanita itu sehingga saat dia tidak adapun dia seolah masih meninggalkan jejak dirinya di sana?

Tibra mengangkat kepala, pandangan pertamanya jatuh pada pigura foto di sudut meja kerja Aruna. Dia meraih foto itu dan tersenyum tipis. Mereka terlihat kompak menggunakan baju seragam di sana. Setelan batik dengan motif Megamendung khas Kota Udang.

Wajah Zahir dan Zafar yang tertawa lebar, serta wajah Aruna yang tersenyum manis menampakkan gigi menjadi potret sempurna betapa bahagianya keluarga mereka di mata orang-orang. Di mata orang? Ya, kebahagiaan yang hanya bisa dirasakan dan dilihat orang lain tetapi tidak dihatinya.

Jauh di dalam sana, Tibra tidak bahagia. Menikahi seorang perempuan yang sangat cerdas, mandiri, dan berani membuatnya seolah menjadi lelaki yang merasa tidak benar-benar dibutuhkan kehadirannya. Aruna bahkan sepertinya dapat hidup baik-baik saja walau tanpa ada dia di sampingnya.

Tibra meletakkan kembali pigura foto. Lelaki itu menyandarkan punggungnya. Dia memejamkan mata saat kelebatan bayangan Aruna kembali melintas. Bukan sekali ini mereka saling menyakiti dalam beberapa bulan terakhir. Pertengkaran-pertengkaran kecil sering terjadi sejak Aruna memergoki dia dan Andhira sedang berpelukan di ruang kerja istri sirinya itu.

Ah… Andhira, Outlet Manager di cabang yang dia kelola. Dia mengenal Andhira dari Aruna. Sore itu, saat hujan membungkus hari sejak pagi, Aruna membawa Andhira ke rumah mereka dalam keadaan kuyup dan menyedihkan. Luka di sudut bibir Aruna yang bergetar dan beberapa lebam di tubuhnya membuat hatinya luluh seketika saat mata mereka bertemu.

Perasaannya menghangat saat tangan mereka berjabat. Hatinya berbisik, wanita di hadapannya ini butuh perlindungan. Seiring berjalannya waktu, pekerjaan membuat mereka sering bertemu.

Dari Andhira, Tibra merasakan dirinya menjadi lelaki seutuhnya. Wanita itu rapuh dan sangat bergantung padanya. Tibra merasa kehadirannya sangat dihargai oleh Andhira.

Bantuan-bantuan kecil  yang dia berikan, sering membuat wanita itu berkaca-kaca karena terharu. Ucapan terima kasih yang tulus dari bibir mungil Andhira seolah menjadi candu bagi Tibra. Hal yang tidak pernah dia dapatkan dari Aruna. Wanita yang telah sepuluh tahun mendampinginya itu terlalu mandiri, membuat harga dirinya sebagai lelaki terusik. Dia sering merasa tidak dihargai.

Ah … Aruna. Wanita yang telah memberinya dua orang putera. Tidak ada yang salah dengan wanita itu. Dia istri dan ibu yang baik bagi dirinya dan anak-anak. Aruna bahkan masih menyempatkan memasak makan malam untuk mereka ditengah kesibukannya mengelola cabang utama dan satu anak cabang di kota lain.

Aruna bahkan sering menanyakan apakah dia pegal-pegal, jika dia menjawab iya, maka dengan senang hati wanita itu akan memijatnya dengan telaten. Aruna juga selalu menemani Zahir dan Zafar bercerita sampai waktu mereka beristirahat.

Kesetiaan Aruna jangan ditanya, mereka pernah melewati masa sulit makan sepiring berdua sehari. Wanita itu juga gigih berjuang bersamanya, berusaha memajukan usaha kecil mereka agar bisa hidup dengan nyaman dan tidak kekurangan. Ya, tidak ada yang salah dengan Aruna. Kecuali satu hal, wanita itu terlalu sempurna baginya. Kesempurnaan yang kadang membuat harga dirinya terluka.

Dering ponsel mengagetkan Tibra. Dengan sedikit malas lelaki itu meraihnya.

“Mas, aku baru sampai di rumah.” Suara Andhira terdengar khas. Sedikit serak-serak sehingga membuatnya terdengar sangat seksi di telinga Tibra.

“Istirahatlah.” Tibra mengusap wajah.

“Kenapa lesu begitu, Mas? Mas marah aku tidak jadi ke sana?”

Hening. Tibra memilih diam, takut salah bicara. Andhira sangat lembut perasaannya, berbanding terbalik dengan Aruna yang tegas. Wanita itu akan langsung berkaca-kaca jika dia sedikit saja meninggikan suara. Membuatnya selalu ingin berbuat lembut dan melindungi wanita itu agar tidak pernah menitikkan air mata.

“Ya maaf, Mas. Sepertinya satpam perumahan sedang tidak di pos waktu aku datang tadi. Mas juga ku telepon tidak menjawab.”

Tibra memejamkan mata. Bagaimana dia bisa mengangkat telepon? Tadi dia sibuk menenangkan Zahir dan Zafar yang menangis dan mengamuk karena ditinggal pergi oleh ibu mereka.

“Besok sepulang dari resto aku ke sana langsung saja, Mas. Biar sekalian nebeng, kalo baju ganti kan ada punya Mbak Aruna.”

“Eh?” Tibra tiba-tiba menegakkan badan, matanya terbuka lebar mendengar ucapan Andhira barusan.

“Kenapa, Mas? Kok kaget begitu? Mbak Aruna pulang masih lusa, kan?’

Tibra menarik napas panjang. Sejak mereka menikah beberapa bulan yang lalu, dia memang sengaja meminta Andhira tidur di rumah. Selain dia bisa tetap menjaga Zahir dan Zafar, dia juga bisa menjaga Andhira. Perasaannya sering tidak tenang meninggalkan wanita itu, berbeda dengan Aruna. Dia tidak perlu takut wanita itu akan kenapa-kenapa. Aruna pandai menjaga diri dan bisa berpikir cepat.

Bisa berpikir cepat, inilah yang sedikit dikhawatirkan Tibra. Sepuluh tahun berumah tangga, dia masih kesulitan menyelami pikiran Aruna. Dia tidak bisa menebak tindakan apa yang akan diambil Aruna. Satu yang pasti, dia harus menemukan Aruna malam ini. Bukan karena dia khawatir, tetapi agar dia bisa memastikan wanita itu tidak pergi jauh dan tetap dalam pengawasannya.

“Mas?” suara di seberang sana kembali terdengar.

“Ah iya, Dhir. sudah dulu ya? Mas sudah mengantuk ini.”

“Mas tidak marah, kan?” Suara Andhira terdengar khawatir.

“Tidak, Sayang. Mas cuma kelelahan saja.”

“Ok, deh. Oh iya, jangan lupa janjinya ya? Mas Tibra janji mau membelikan aku kalung seperti yang dipakai Mbak Aruna minggu lalu.”

“Iya, nanti kita ke tokonya saja langsung.”

“Yeai, selamat istirahat, Sayang.”

Tibra tersenyum mendengar suara serak-serak basah Andhira.

Lelaki itu akhirnya berdiri setelah sepuluh menit sambungan telepon ditutup. Dia memutuskan menyisir kota untuk menemukan Aruna. Wanita itu tidak mungkin pergi jauh. Dia tidak membawa kendaraan, ATM bahkan ponselnya.

Sejenak dia merutuki kebodohannya sendiri kenapa mencari Aruna sampai kemari. Bagaimana caranya wanita itu berjalan kaki sejauh ini? Aruna juga tidak mungkin pulang ke rumah mertuanya. Walau masih dalam satu kota, jaraknya lebih jauh dari resto, sekitar satu jam perjalanan.

Tibra bergegas menyambar kunci mobil dan melangkah keluar. Dia harus bisa mengajak Aruna bicara. Bisa kacau urusan kalau sampai wanita mengadukannya ke kantor polisi karena tindak kekerasan.

Tibra mengangguk saat beberapa karyawan menyapa.

Namun, dia menjadi sedikit lebih tenang saat menyadari Aruna tidak mungkin melaporkannya. Itu bisa menjadi konsumsi publik dan merusak nama baik keluarga dan usaha mereka. Mana mungkin wanita itu mau menghancurkan begitu saja usaha yang sudah susah payah mereka bangun bersama.

Akan tetapi, dia harus tetap menemukan Aruna malam ini agar bisa mengontrol pergerakan wanita itu. Dia tidak mau nama baiknya hancur kalau sampai Aruna melakukan hal diluar dugaannya.

“Kemana kamu Aruna?” Tibra memukul kemudinya kencang karena buta arah kemana yang akan dituju.


BAB 7


“Saya sudah di depan, Bu.”

Aruna yang baru saja kembali ke kamar setelah sarapan bergegas mengambil paper bag yang dia bawa. Wanita itu kemudian berjalan anggun menuju lobby depan hotel tempat mobil mewah warna biru tua sedang parkir.

Sebelum niat Aruna mengetuk kaca mobil terlaksana. Pintu mobil terbuka, lelaki berusia kurang dari empat puluh tahun berpenampilan perlente tersenyum lebar pada Aruna.

“Saya Lendra.”

Aruna tertawa  kecil menatap Lendra. Siapa yang tidak tahu pengacara yang sedang naik daun ini? Penampilannya yang selalu modis dan rapi namun terkesan santai justru membuat wibawanya sebagai pengacara semakin keluar.

“Ini perjanjian kerjasama penunjukan sebagai kuasa hukum, silahkan dipelajari dulu, Bu.” Lendra menyerahkan map yang berisi dokumen pada Aruna sesaat setelah mobil berjalan.

“Terima kasih.” Aruna mengambil map hijau tua itu dan langsung membukanya. Sekitar sepuluh menit dia mempelajari poin-poin penting terkait hak dan kewajiban sebagai klien. Setelah dirasa cukup, dengan yakin Aruna menandatanganinya.

“Saya pikir ibu menginap di resto, beruntung sebelum berangkat kemari saya mengecek dulu pesan dari ibu.” Lendra menerima map dari Aruna dan memberikannya pada asistennya.

Aruna tersenyum mendengar ucapan Lendra. Tadi malam dia memang memutuskan keluar dari pintu belakang saat Riwa memberitahu ada Tibra di depan. Dia kabur bukan karena takut, tetapi, khawatir jika terjadi keributan kembali di resto, ada yang akan memanfaatkan momen tersebut. Salah-salah malah bisa saja dia yang dibalik menjadi pihak yang salah.

Aruna sangat paham watak Tibra. Lelaki itu bisa melakukan apa saja saat merasa posisinya terjepit dan  tidak menguntungkan. Itulah sebabnya Aruna memilih keluar dari rumah, karena jika dia bertahan di sana, anak-anak akan menjadi korban. Tibra akan terus melakukan kekerasan karena Aruna membawa anak-anak tanpa izin. Dia takut hal itu akan meninggalkan trauma pada Zahir dan Zafar.

Lagipula, dia tahu Tibra sangat menyayangi kedua anak mereka. Itulah sebabnya dia sangat marah saat mengetahui Zahir dan Zafar sudah tidak di tempat. Hal itu pula yang membuat Aruna tidak ragu meninggalkan mereka dengan ayahnya tadi malam, karena dia tahu Tibra akan menjaga mereka dengan baik.

“Suami saya menyusul ke resto tadi malam. Saya tidak mau ada keributan lagi karena bisa menyebabkan kehebohan yang tidak penting.”

Lendra mengangguk. Dia paham sekali siapa kliennya kali ini. Itulah sebabnya dia turun langsung, bukan mengutus salah satu asistennya untuk menangani. Selain itu, sekali dia bisa memenangkan kasus, namanya pasti akan menjadi buah bibir di kalangan pengusaha karena circle  Aruna dan Tibra adalah orang-orang berpengaruh dan penting.

“Sekali laporan masuk, semua selesai. Anda paham maksud saya, kan?”

Lendra menatap wanita disampingnya lamat-lamat. Lipstik warna merah maroon yang Aruna gunakan tidak dapat menutupi jejak kekerasan yang dia dapatkan tadi malam. Bengkak dan sedikit pecah karena sobek, menjadi bukti kuat ucapan wanita di sampingnya ini bukan sekedar omong kosong belaka.

“Saya sengaja tidak mengobatinya.” Aruna tiba-tiba berbicara sambil menoleh pada Lendra yang sedang mengamati wajahnya. Lendra tersenyum sambil mengangkat kedua alisnya, sedikit salah tingkah karena Aruna bisa membaca pikirannya.

“Saya paham maksud pernyataan anda.” Aruna mengangguk pada asisten Lendra yang menawarinya permen. Dia mengambil satu untuk menyegarkan mulut. Mint, adalah rasa yang sangat disukainya.

“Thank you.” Aruna tersenyum pada gadis yang memperkenalkan diri dengan nama Viana.

“Kita masih punya waktu hingga sampai di kantor polisi, Bu Aruna.”

“Untuk?” Aruna menautkan kedua alisnya.

“Untuk berpikir ulang.”

“Saya paham dengan semua konsekuensinya.”

“Anda bulat memutuskan bercerai?”

“Ya.”

“Baik. Kita maju kalau sudah bulat. Karena, begitu laporan masuk dan gugatan dilayangkan, semua takkan pernah lagi sama.”

Aruna mengangguk sambil menarik napas panjang. Lendra benar, sedetik laporan mereka masuk, semua sudah tidak lagi sama. Gambaran pengusaha sukses dengan keluarga yang harmonis dan pasangan yang ideal bagi banyak orang akan hancur. Walau seandainya nanti mereka memutuskan kembali, maka citra baik yang telah mereka bangun selama ini tidak akan seperti dulu lagi.

Hari ini, adalah penentuan bagi setiap langkah yang akan mereka jalani ke depan. Tekad Aruna sudah bulat. Dia pantang diduakan. Kemiskinan masih bisa dia terima, tetapi berbagi hati suatu hal yang selamanya tidak akan pernah bisa dia jalani.

“Kemungkinan kita akan sibuk hari ini, Bu Aruna. Setelah masuk laporan, biasanya pihak kepolisian akan langsung memberikan surat perintah untuk melakukan visum. Setelah visum kita akan langsung menuju Pengadilan Agama untuk memasukkan berkas gugatan cerai. Anda sudah bawa?”

Aruna mengangguk. Dia sudah mempersiapkan berkas pengajuan gugatan sehari setelah memergoki perselingkuhan suaminya. Sengaja dia letakkan di brankas kantor untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.

Untuk visum, dia memang berharap visum bisa segera dilakukan. Tanda-tanda penganiayaan masih terlihat jelas di tubuhnya. Lebam bekas tendangan Tibra, telapak tangannya yang membiru dan terluka karena diinjak, bibirnya yang bengkak dan pecah, bahkan kulit kepalanya terasa perih karena Tibra menarik sisir dengan kasar sehingga rambutnya ikut terseret kencang.

Namun di atas semua itu, hatinya jauh lebih sakit karena pengakuan Tibra tentang pernikahannya dengan Andhira, wanita yang sudah dia anggap saudara sendiri. Seseorang yang tidak tahu cara berterima kasih pada orang yang telah mengangkat derajat hidup  dan menolongnya dari kesulitan dan kesengsaraan.

Bukan dia egois hanya memikirkan perasaannya sendiri. Jauh sebelum ini dia telah berpikir matang. Dia bahkan masih bertahan di rumah, bersikap seolah semua baik-baik saja di depan anak-anak setelah memergoki suaminya dan sang wanita penggoda tengah bermesraan.

Namun, kejadian tadi malam benar-benar mengikis habis kebesaran hati Aruna. Tindakan Tibra sudah tidak bisa dia tolelir. Jika dia terus bertahan, itu akan berdampak buruk pada perkembangan kedua anaknya. Mereka laki-laki, hal yang sangat Aruna takutkan adalah mereka membenarkan perbuatan kasar pada pasangan karena terbiasa melihat ayahnya memperlakukan ibu mereka demikian. Aruna tidak ingin Zahir dan Zafar menjadikan sikap ayahnya yang salah sebagai panutan.

Aruna tersadar dari lamunan saat mobil berhenti. Wanita itu mengepalkan kedua tangannya di atas paha. Dia berusaha menguatkan hati dan memantapkan tekad.

“Ini keputusan yang benar, Aruna. Ini jalan keluar yang paling tepat. Semua akan baik-baik saja. Semua akan baik-baik saja.” aruna berkali-kali menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan pelan untuk menetralisir dentum di dadanya.

Lendra tersenyum di samping Aruna. Lelaki itu menggelengkan kepala. Dia tidak menyangka, keluarga yang terlihat sangat luar biasa itu ternyata tidak sesempurna apa yang selama ini orang-orang pikirkan. Bahkan, akan sangat banyak orang yang kecewa karena telah menjadikan mereka panutan. Termasuk dirinya.

Ya, Aruna dan Tibra tidak hanya terkenal di kalangan pengusaha. Mereka juga memiliki citra yang sangat baik di mata masyarakat luas karena cerita hidup yang sangat inspiratif. Romantisme cerita cinta mereka, mengundang decak kagum dan tatapan haru bagi yang mengetahuinya.

Menikah di usia yang sangat muda, kemudian berjuang dari nol hanya berdua karena pernikahan mereka tidak direstui keluarga. Hingga akhirnya sebesar saat ini, restu itu mereka dapatkan karena mampu membuktikan keputusan mereka tepat dan bisa mempertanggungjawabkan jalan yang telah dipilih.

Lendra tidak menyangka, justru hari ini dia sendiri yang akan menangani kasus yang pasti akan menjadi pemberitaan yang sangat ramai saat dirilis nanti.

Aruna menoleh pada Lendra. Lelaki itu mengangguk dan mempersilakan Aruna membuka pintu mobil. Bahkan sampai di detik terakhir pun, Lendra tetap membiarkan Aruna mengambil keputusan. Kalau memang sudah bulat, maka dia ingin wanita itu sendiri yang pertama menjejakkan kaki di tempat yang akan menjadi awal berakhirnya pernikahan indahnya dengan Tibra selama sepuluh tahun ini.

Aruna menarik napas panjang dan mengangguk mantap.

Cklek!

Pintu mobil terbuka. Dengan langkah mantap Aruna berjalan anggun menuju kantor polres yang sepagi ini sudah ramai entah karena apa.

BAB 8


“Mas!”

Andhira menerobos masuk ke ruangan Tibra.

“Maaf, Pak Tibra, ada masalah genting di luar.” Andhira sedikit salah tingkah karena ternyata Tibra sedang ada tamu.

Tibra mengangguk pada Andhira dan memberi kode pada wanita itu untuk meninggalkan ruangannya dengan pandangan mata.

“Maaf, boleh Saya izin sebentar?” Tibra menunjuk arah pintu dengan jempol tangannya. Wajahnya menampilkan senyum lebar pada beberapa tamunya. Mereka memang sedang ada pertemuan khusus.

Jauh sebelum pertengkarannya dengan Aruna. Mereka memang berencana membuka usaha baru di luar pulau jawa. Menurut pengamatan Aruna, prospek usaha ini cukup menjanjikan. Wanita itu ingin melakukan pengolahan dari hulu hingga hilir. Dia ingin bahan baku utama yang mereka gunakan dapat dihasilkan sendiri.

Selain itu, Aruna juga ingin membuka usaha baru dengan konsep family style agar bisa menjangkau semua lapisan, bukan hanya berkonsep makanan cepat saji yang pasarannya lebih dominan ke anak-anak muda seperti yang sudah mereka kembangkan selama ini.

“Silahkan , Pak Tibra.” Affan, lulusan Akuakultur dari salah satu universitas tinggi ternama dalam negeri mempersilakan. Toh pembicaraan ini tinggal presentasi tentang analisis usaha, biaya-biaya, dan prospek ke depan. Kalau deal, kemungkinan besar proyek hatchery dan pembesaran udang di salah satu pantai di kota yang dikenal dengan sebutan slogannya Tapis Berseri akan mulai berjalan bulan depan dengan dia sebagai kepala pelaksana.

Tibra mengangguk sopan dan berjalan meninggalkan ruangan. Ada masalah apa sebenarnya? Kenapa Andhira terlihat begitu panik? Bukankah wanita itu sudah biasa berhadapan dengan konsumen yang komplain karena ada hal yang tidak sesuai dengan pesanannya?

Sebenarnya dia malas diganggu jika sedang ada pembicaraan serius seperti tadi. Ini terkait dengan keberlanjutan usaha mereka ke depan. Memang ide awalnya dari Aruna, namun jika sudah masuk ke proses eksekusi awal, selalu Tibra yang maju ke depan. Aruna  kemudian akan terjun lagi saat usaha sudah berjalan.

“Ada apa?” Tibra masuk ke ruangan Andhira.

“Menurut kuasa hukum Aruna, Lendra Bayanaka, kasus kekerasan yang menimpa Aruna terjadi tadi malam. Untuk lebih jelasnya mari bersama-sama kita dengarkan penjelasan dari Lendra Bayanaka langsung dari kantor Polres.”

Sontak perhatian Tibra langsung terpusat pada ponsel Andhira yang sedang menayangkan siaran sekelompok awak media mengerumuni seseorang di depan kantor Polres. Lelaki itu berjalan cepat menghampiri  Andhira yang sedang duduk di kursinya sambil memegang ponsel. sedikit tidak sabar Tibra mengambil alat komunikasi itu dari Andhira.

“Bu Aruna sudah menunjuk saya sebagai kuasa hukumnya yang sah, sehingga di sini saya berbicara untuk dan atas nama beliau. Bu Aruna mengalami KDRT yang dilakukan oleh suaminya sendiri tadi malam. Beliau langsung menghubungi saya untuk menyelesaikan masalah ini melalui jalur hukum karena sudah tidak bisa diselesaikan dengan jalan kekeluargaan lagi.”

“Apa penyebab tindak kekerasan itu bisa terjadi? Bukankah selama ini keluarga Aruna dan Tibra adalah definisi keluarga yang harmonis dan ideal?”

“Untuk sementara kami belum bisa memberitahukan motif suami klien kami  melakukannya.”

“Lendra Bayanaka,” desis Tibra. Dia tahu persis siapa kuasa hukum istrinya. Pengacara yang sedang naik  daun karena rate keberhasilannya memenangkan kasus hukum yang ditangani sangat tinggi.

“Apakah ada kemungkinan masuknya pihak ketiga?”

Tibra melihat Lendra tersenyum menanggapi pertanyaan dari salah satu awak media.

“Tadi anda mengatakan masalah ini sudah tidak bisa diselesaikan melalui jalan kekeluargaan. Apakah itu berarti akan ada perceraian antara Aruna dan Tibra?”

“Betul. Setelah dari sini kami akan melakukan visum terlebih dahulu sesuai dengan surat perintah yang dikeluarkan kepolisian pada saat laporan ini dibuat. Begitu proses visum selesai, kami akan langsung menuju kantor pengadilan agama untuk memasukkan berkas pengajuan gugatan cerai.”

Tibra menarik napas panjang mendengar ucapan Lendra. benar-benar diluar dugaannya ternyata Aruna sudah mempersiapkan semua dengan sangat matang. Bagaimana tidak? Wanita itu keluar tanpa membawa apapun tadi malam. Namun, pagi ini dia sudah akan mengajukan gugatan.  Itu berarti Aruna sudah mempersiapkan berkas-berkas dan semua keperluan dalam waktu cukup lama.

Tibra meremas ponsel Andhira yang ada di tangannya. Apalagi rencana Aruna ke depan yang tidak diketahuinya?

“Apa saja bukti-bukti yang dijadikan penguat dalam laporan ini?”

“Kami tidak bisa menjelaskan secara rinci di sini. Namun, bukti-bukti sudah pasti ada. Yang paling jelas adalah memar-memar di tubuh Aruna masih sangat membekas karena kejadiannya baru tadi malam.”

Tibra memicingkan mata agar bisa melihat dengan lebih jelas foto-foto yang ditunjukkan oleh Lendra. Terlihat beberapa bagian tubuh yang membiru dan bibir Aruna yang robek dan bengkak.

“Selain itu, visum ini juga bertujuan untuk membuktikan apakah benar yang terjadi pada klien saya memenuhi unsur penganiayaan atau tidak. Visum dapat digunakan sebagai alat bukti surat sesuai dengan pasal 184 ayat (1) KUHAP dan Pasal 187 huruf c KUHAP dan memiliki kekuatan pembuktian yang cukup kuat karena mampu membuktikan unsur penganiayaan. Selain itu, kami juga mempunyai beberapa saksi yang dapat menguatkan laporan. Sementara cukup dulu ya?”

Tibra mengerutkan kening. Saksi? Siapa saksi yang dimaksud Aruna? Apakah wanita itu akan menggunakan Zahir dan Zafar sebagai saksi langsung kejadian semalam?

Tibra mematikan video yang diputar. Lelaki itu meletakkan ponsel Andhira di meja.

“Apakah mereka sengaja memberitahu wartawan akan memasukkan laporan pagi ini?” Tibra mengurut keningnya.

“Sepertinya tidak, Mas. Para awak media berkumpul karena kabarnya dalam waktu dekat pihak polres akan melakukan penangkapan terhadap salah satu gembong obat-obatan terlarang di tempat persembunyiannya. Pasti mereka sudah menunggu di sana sejak berhari-hari ke belakang.” Andhira mengambil ponselnya. Wanita itu takut-takut melirik wajah Tibra yang mengeras.

“Mereka mendapatkan berita yang sangat hangat dan pasti meledak saat melihat kehadiran Aruna yang babak belur.” Ujung bibir Tibra terangkat.

“Kemana Mbak Aruna? Kenapa hanya kuasa hukumnya yang terlihat?”

Tibra mendengus. Aruna pasti menatap semua kejadian dari balik kaca mobil. Dia sangat paham, wanita itu enggan berurusan dengan hal-hal seperti ini.

“Apa yang akan mas lakukan? Aku tidak mau ikut terseret. Pasti sebentar lagi Mbak Aruna akan membuka tentang hubungan kita, Mas.”

Tibra menggeleng. Tidak akan! Kalau Aruna sudah membuka semua kepada publik seperti ini, maka dia harus bertindak cepat sebelum nama baiknya rusak. Kalaupun harus hancur, dia tidak akan hancur sendirian. Aruna harus ikut merasakan nama baiknya juga tercoreng.

Bukankah tidak hanya dia yang bersalah dalam hal ini? Dia menikah lagi karena dia butuh dihormati dan kehadirannya dihargai sebagai seorang suami. Lagi pula, lelaki diperbolehkan menikah lagi walau tanpa sepengetahuan sang istri. Salahnya dimana jika itu yang dipermasalahkan Aruna?

Kalau masalah kekerasan, tadi malam dia hanya membalas apa yang dilakukan Aruna. Wanita itu mencekiknya sampai dia kesulitan bernapas. Bekas tangan Aruna pun masih tercetak jelas di lehernya.

Tibra mengepalkan tangan. Mereka pernah berjuang dan bangkit bersama. Haruskah kini saling menjatuhkan? Dimana otak wanita itu sehingga bisa bertindak gegabah seperti ini?!

Inilah yang membuat Tibra kadang merasa kehadirannya tidak terlalu berarti bagi Aruna. Wanita itu pola pikirnya sama seperti lelaki. Dia mengedepankan logika daripada hati. Bukankah daya tarik wanita justru terletak pada kelembutan dan sikap manjanya? Kalau seperti ini, sama saja baginya menikah dengan seorang lelaki!

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya KETIKA CINTA TAK LAGI KITA BAB 9-10
3
0
“Assalamualaikum.” Aruna memencet bel sekali lagi setelah menunggu beberapa lama belum ada jawaban dari dalam.“Waalaikum Salam.” Aruna menarik nafas lega saat mendengar suara yang sangat dia rindukan.“Bu.” Paper bag yang dibawa Aruna terlepas begitu saja begitu melihat sesosok wanita berusia enam puluh tahun itu keluar masih menggunakan mukena.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan