
TERSEDIA VERSI CETAK
WA : 0858-1173-9832
Di KBM App SUDAH TAMAT
Hanin dihadapkan pada kenyataan pahit. Saat usia kehamilannya menginjak tujuh bulan, suaminya mengatakan akan kembali dengan mantan istrinya.
Yang jauh lebih menyakitkan, Dimas menerima syarat dari Sita untuk tidak menemui anaknya yang lahir dari Hanin jika ingin kembali berumah tangga.
Hanin hancur, terluka, merasa tak berharga. Jika dibandingkan dengan Sita, mantan istri suaminya, Hanin memang bukan apa-apa. Dia bukan tandingan Sita. Sudah...
BAB 1
"Nin, aku akan rujuk dengan Sita."
Hanin terpana. Ringan saja kalimat itu keluar dari mulut Dimas, suaminya.
"Rujuk?"
Dimas patah-patah mengangguk. Menyesap teh manis hangat buatan Hanin, untuk menetralisir kegugupannya. Teh beraroma melati itu terasa hangat di tubuhnya, membantunya menjadi lebih relaks.
"Aku memikirkan anak kami, Nin. Tahun depan Rindu masuk SD. Aku ingin mendampinginya dalam proses pertumbuhannya." Dimas menghindari tatapan Hanin dengan mencomot bolu gulung isian teh hijau di depannya.
"Lalu, bagaimana dengan anak kita? Kau tidak ingin mendampinginya?" Hanin mengelus perutnya yang membuncit, tujuh bulan usia kehamilannya.
Dimas menarik napas. Tarikan napas yang terdengar sangat berat.
"Kau masih mencintai Sita, Mas?" Mata Hanin mulai berkaca.
Dimas terdiam. Diletakkannya kembali bolu gulung yang belum sempat digigitnya itu.
"Iya, Mas? Kau masih mencintainya?" Hanin menggigit bibir.
Pelan Dimas mengangguk.
"Lalu, kenapa menikahiku?!" Air mata itu tumpah sudah. Sakit. Hati Hanin sangat sakit.
Sita. Mantan istri suaminya. Mereka bercerai lima tahun yang lalu. Mereka berpisah karena terhalang restu. Tiga tahun bersama, Dimas tetap tidak mampu meluluhkan hati Ayah Sita, mantan Mertuanya. Bahkan kehadiran Rindu, anak Sita dan Dimas, tetap tidak mampu meruntuhkan tingginya dinding restu yang dibangun oleh mantan mertuanya itu.
Tepat tiga tahun pernikahan mereka, sita menggugat cerai. Cinta mereka tak usai.
Bukan tanpa alasan Sita mengajukan cerai. Ayah Sita mengancam akan bunuh diri, jika Sita masih mempertahankan pernikahan mereka. Sita kehabisan langkah. Akhirnya memilih menyerah. Cintanya dan Dimas telah kalah. Mereka resmi berpisah.
Tahun ketiga setelah perceraian mereka, Dimas bertemu Hanin. Gadis sederhana yang selalu tampil bersahaja. Hanin adalah anak dari Mbok Ti, pembantu yang telah bekerja puluhan tahun di rumah Dimas.
Hati Dimas yang hampa seakan menemukan kembali pengisinya. Kesederhanaan Hanin telah memikat hatinya.
Gadis itu biasa saja. Jika dibandingkan dengan Sita, Hanin kalah dalam segalanya. Sita dilahirkan dari keluarga kaya, memiliki wajah yang cantik, berpendidikan tinggi dan mempunyai karir yang menjanjikan. Sementara Hanin mempunyai wajah yang biasa saja, dilahirkan dari keluarga yang sederhana, lulusan SMA dan hanya bekerja sebagai penjaga toko kue.
Pernikahan Dimas dan Hanin sempat ditentang orangtua Dimas. Walaupun selama ini mereka sudah menganggap Mbok Ti seperti keluarga sendiri, mana mungkin mereka akan menjadi besan? Apa kata keluarga yang lain? Bagaimana tanggapan rekan serta teman?
Lambat laun restu itu akhirnya diberikan. Mama Desibdan Papa Roy mulai membuka diri. Kesederhanaan Hanin mampu memikat hati mereka. Gadis dengan tatapan lembut itu bahkan sangat akrab dengan Mama Desi setelah mereka menikah. Mama Desi selalu mengajak Hanin setiap ada acara. Memperkenalkan dengan bangga menantunya. Gadis itu cerdas. Walaupun hanya tamatan SMA, Hanin sangat pintar menempatkan diri.
Saat resepsi pernikahan, Sita datang bersama Rindu, anak mereka. Denting air di mata yang menggunakan soft lens itu terlihat jelas. Sita tidak menyangka Dimas akhirnya menikah, sementara hatinya masih berdarah-darah.
Sita wanita yang pintar, dia mampu menguasai perasaannya. Dengan tegar dia naik ke atas panggung untuk bersalaman dengan pengantin. Mama Desi memeluk erat Sita saat wanita itu bersalaman dengannya, sementara Papa Roy langsung mengangkat Rindu tinggi-tinggi. Anak itu tertawa riang saat Papa Roy mengangkatnya.
Sita tampil memukau menggunakan kebaya brukat berwarna coklat. Rambut digelung ke atas, dengan jepit rambut model bunga melati kecil-kecil terselip di rambut Sita, melengkapinya penampilannya.
Berkali-kali Sita membenarkan selendang di bahunya untuk menetralisir dentum di dadanya.
"Ayah." Rindu berlari riang memeluk Dimas.
Dimas tersenyum, segera mengangkat Rindu yang saat itu baru berusia lima tahun. Sementara Sita berjalan anggun. Tanggannya gemetar saat bersalaman dengan Dimas. Mata itu berkaca-kaca. Cinta itu masih sangat nyata.
"Selamat, Mas. Semoga bahagia selalu mengiringi rumah tanggamu." Suara Sita bergetar menahan tangis.
Dimas menyambut tangan Sita. Menatap wanita di hadapannya. Mengangguk dalam diam. Hanin yang berdiri di samping Dimas menyimpan nyeri di hati. Dia bisa melihat pancaran cinta dari tatapan lelaki yang baru beberapa jam menjadi suaminya itu. Tatapan yang sangat dalam pada wanita bergelar mantan di hadapannya.
Sita berlalu setelah beberapa saat menunggu, Dimas tetap membisu. Dijabatnya tangan Hanin sekedarnya saja. Senyum tipis yang diberikannya hanya sebagai pemanis.
Hari itu, tiga hati teriris. Mata Sita menyimpan tangis, sementara hati Hanin menyimpan gerimis. Dua hati terluka karena masih saling mencinta, tetapi terpaksa tak bisa lagi bersama. Satu hati terluka karena mendamba cinta, dari lelaki yang hatinya masih tertaut pada cinta yang lainnya.
Hanin mengusap air matanya mengingat kejadian itu. Bahkan di awal pernikahannya dan Dimas, dia sangat mengetahui, cinta Dimas masih utuh untuk Sita. Di pelaminan dua tahun lalu dia bisa melihat dengan jelas, cinta mereka masih saling berbalas.
"Kenapa menikahiku, Mas?" Hanin mengulangi tanya, saat dilihatnya Dimas hanya membisu.
Sabtu kelabu.
Biasanya mereka akan menghabiskan waktu bersama. Setelah memakan cemilan kecil ba'da shubuh seperti ini, mereka akan berjalan santai di sekitar perumahan. Dilanjutkan dengan sarapan bubur ayam Mbok Yun dekat lapangan. Kesukaan mereka. Sepulang dari jalan santai, Hanin akan mengurus bunga-bunganya dan merawat tanaman di halaman, sementara Dimas mengurus kolam ikan Koi di pojok halaman.
Sabtu ini berbeda.
Kegiatan mereka tak lagi sama.
Dimas menunduk mendengar pertanyaan Hanin. Lidahnya kelu. Kenapa dia menikahi Hanin? Entahlah. Dia pun tak tahu.
"Jawab, Mas! Jangan diam saja serupa batu, padahal baru saja lisanmu mengiris hatiku." Hanin menghapus air matanya yang terus mengalir.
Bagaimana tidak, rumah tangga mereka baik-baik saja. Seharusnya ini masa-masa paling bahagia, karena mempersiapkan kehadiran buah hati mereka.
"Aku menyukai kesederhanaanmu, Nin. Dulu aku berharap cinta bisa datang seiring berjalannya waktu, tapi ternyata aku keliru. Maaf." Bibir Dimas bergetar.
Dia harus menyampaikan kenyataan itu pada Hanin. Berat baginya mengatakan kebenaran pada wanita yang hampir dua tahun menjadi istrinya.
"Maksudmu, selama pernikahan kita, kau tidak pernah mencintaiku?" Hanin menggigit bibirnya. Takut dengan jawaban yang akan dia dengar.
Dimas mengangguk. Kepalanya tertunduk, tidak mampu menatap mata teduh Hanin. Entah kenapa hatinya ikut merasa sakit melihat wanita di depannya itu berurai air mata.
"Sedikit pun tidak?" Hanin kembali bertanya.
Dimas menggeleng sambil mengusap muka. Matanya ikut terasa panas mendengar isak kecil Hanin.
Hanin tertawa miris.
"Tidak bisakah kau sedikit berbohong, Mas? Berbohong untuk menyenangkan istri itu diperbolehkan." Air mata Hanin tidak berhenti mengalir.
"Maafkan aku, Nin. Aku takut semakin aku membohongimu, nantinya akan semakin melukaimu." Dimas mengangkat kepala. Menatap mata basah Hanin.
"Memangnya sekarang kau tidak melukaiku?!" Hanin berkata masygul.
Hening.
Lama mereka terdiam.
"Kau menyukai kesederhanaanku, apa sekarang aku sudah berubah, Mas? sudah tidak sesederhana dulu?" Hanin kembali bersuara.
Dimas menggeleng.
"Dulu, aku berharap seiring berjalannya waktu kau bisa menghapus segala bayang Sita, Nin." Lemah suara Dimas menjawab tanya Sita.
"Jadi, maksudmu aku hanya pelarianmu?!" Hanin menggenggam erat ujung bajunya. Tangannya gemetar. Dia sangat takut dengan jawaban yang akan keluar dari mulut suaminya itu.
Dimas patah-patah mengangguk. Entah kenapa hatinya ikut terasa sakit, mengetahui jawabannya sendiri untuk setiap tanya Hanin.
Hanin menengadah. Sayapnya telah patah. Lelaki yang dilayaninya sepenuh jiwa raga, tempatnya melabuhkan perahu cinta, ternyata tidak pernah menganggapnya ada.
Jika dibandingkan dengan Sita, mantan istri suaminya, Hanin memang bukan apa-apa. Dia bukan tandingan Sita. Sudah jelas wanita rupawan itu lebih unggul dalam segalanya. Tetapi tidak bolehkah dia dicinta walau parasnya tak secantik Sita?
Hanin tergugu. Sungguh, dalam mimpi terburuk sekalipun, dia tidak pernah membayangkan akan mendapati kenyataan ini, saat tujuh bulan benih Dimas tumbuh menempati rahimnya, lelaki itu dengan tega menyayatkan luka.
BAB 2
"Jadi, maksudmu aku hanya pelarianmu?!" Hanin menggenggam erat ujung bajunya. Tangannya gemetar. Dia sangat takut dengan jawaban yang akan keluar dari mulut suaminya itu.
Dimas patah-patah mengangguk. Entah kenapa hatinya ikut terasa sakit, mengetahui jawabannya sendiri untuk setiap tanya Hanin.
Hanin menengadah. Sayapnya telah patah. Lelaki yang dilayaninya sepenuh jiwa raga, tempatnya melabuhkan perahu cinta, ternyata tidak pernah menganggapnya ada.
Jika dibandingkan dengan Sita, mantan istri suaminya, Hanin memang bukan apa-apa. Dia bukan tandingan Sita. Sudah jelas wanita rupawan itu lebih unggul dalam segalanya. Tetapi tidak bolehkah dia dicinta walau parasnya tak secantik Sita?
Hanin tergugu. Sungguh, dalam mimpi terburuk sekalipun, dia tidak pernah membayangkan akan mendapati kenyataan ini, saat tujuh bulan benih Dimas tumbuh menempati rahimnya, lelaki itu dengan tega menyayatkan luka.
"Sejak kapan pembicaraan rujuk itu kalian mulai, Mas?" Hanin mengelap air mata dengan ujung jilbabnya. Tidak mungkin dalam waktu singkat mereka memutuskan rujuk, pasti ini sudah dibicarakan cukup lama.
Dimas memejamkan mata. Sekejap ingatannya terlempar kembali pada pertemuannya dengan Sita empat bulan lalu.
"Nanti gantian saja mengantar Rindu ke sekolah, Ta. Aku bisa sekalian berangkat kantor menjemput Rindu dari sini. Sekolah Rindu searah kan dengan kantorku." Dimas mengusap kepala Rindu.
Hari itu tanggal kunjungan rutinnya menemui Rindu. Setiap seminggu sekali, Dimas akan menghabiskan waktu dengan anak gadisnya itu. Sabtu bersama Hanin, maka hari minggu bersama Rindu. Hampir setiap kunjungan Hanin ikut bersama Dimas, mereka akan mengajak Rindu bermain keluar atau hanya sekedar makan bersama di rumah Sita.
Hanin dan Sita cukup dekat, walau tidak bisa dikatakan akrab. Ada jarak yang masih saja tercipta antara mereka. Sekuat hati Hanin mendekatkan diri, tapi Sita seolah memang sengaja menjaga batasan yang tercipta. Ada luka di sana. Jauh di dalam hatinya, Sita menangis melihat kebahagiaan rumah tangga mereka.
"Gampanglah itu, Pak. Masih tahun depan ini." Sita tertawa sambil menepuk pelan bahu Dimas.
Dimas ikut tertawa, ada yang berdesir di dada saat tangan Sita menyentuh bahunya.
"Hanin sehat?" Sita membuka suara setelah mereka terdiam cukup lama.
"Sehat." Dimas menjawab singkat. Agak kurang nyaman baginya membicarakan Hanin di depan Sita.
"Tadi dia tidak ikut, hamil muda membuat tubuhnya mudah sekali lelah." Dimas menambahkan, setelah melihat wajah penasaran Sita.
"Sama seperti aku hamil Rindu dulu, kan. Hampir setiap waktu shalat maghrib dan shubuh Mas selalu memijat kepalaku." Sita mengulum senyum.
Dimas tertawa lebar menanggapi omongan Sita. Dulu kehamilan mantan istrinya itu sedikit unik. Setiap menjelang maghrib dan shubuh, Sita selalu merasa sakit kepala dan tidak bisa makan apa-apa. Tapi ketika siang hari, Sita baik-baik saja seperti tidak sedang hamil.
"Nanti adiknya Rindu akan seperti itu juga tidak ya kira-kira?" Sita tertawa kecil.
Dimas terdiam sejenak. Lidahnya kelu. Hatinya mendadak sakit membayangkan Sita akan hidup dengan lelaki lain di masa depan. Egois. Mungkin itu kata yang tepat untuknya.
"Sudah ada yang dekat?" Dimas bertanya serius, menatap Sita.
"Banyak." Sita tertawa, menanggapi sambil bercanda pertanyaan Dimas.
Dimas tersenyum tanggung mendengar jawaban Sita. Mengalihkan pandangannya pada Rindu, yang sedang asik menyusun mainan puzzle berbentuk Princess Elsa.
"Wanita biasanya sulit menerima orang baru, Mas. Kalau sudah nyaman, mereka biasanya lebih memilih memaafkan yang lama, daripada harus penyesuaian lagi dengan yang baru." Sita membenarkan rambutnya yang tergerai.
Dimas terdiam. Mencerna kalimat Sita barusan.
"Apalagi sudah ada anak, banyak pertimbangan yang harus diambil sebelum melangkah ke jenjang selanjutnya." Dimas menatap Sita.
Dia benar-benar tahu Sita seperti apa. Sebelum mengambil keputusan, mantan istrinya itu pasti sudah memikirkan secara matang konsekuensi atas pilihannya.
"Apakah nanti pasangan baru itu akan sebaik pasangan sebelumnya? Bisakah dia menyayangi dan menganggap anakku seperti anaknya? Ya pokoknya banyaklah pertimbangan." Sita mengulum senyum menatap Dimas yang seperti sedang berpikir.
"Entah bagaimana single mom di luar sana. Kalau aku, andai kau masih sendiri, aku lebih memilih rujuk daripada harus mencari yang baru. Apalagi kita berpisah bukan karena keinginan kita." Sita menunduk.
Dimas terkejut mendengar ucapan Sita. Hatinya basah. Lamat-lamat dia memperhatikan wanita yang pernah mengarungi rumah tangga selama tiga tahun dengannya itu.
"Andai kau masih sendiri." Sita mengangkat kepala. Menatap Dimas dengan mata berkaca.
Dimas terkesiap. Akankah kesempatan hidup bersama dengan orang yang sangat dia cinta itu masih ada?
"Kau tahu sendiri, sebelum Papa meninggal. Beliau sudah meminta maaf pada kita. Berarti beliau memberikan restu, Mas. Ya, andai kau masih sendiri." Sita terisak.
Dimas kembali meneguk teh beraroma melati yang tinggal separuh. Dadanya sesak mengingat kembali pembicaraannya dengan Sita empat bulan lalu.
"Jadi, kalian mulai berencana rujuk saat aku tidak ikut menemanimu kesana empat bulan yang lalu, Mas?" Hanin meremas tangannya.
"Belum ada pembicaraan serius ke arah sana, Nin." Dimas mengambil tangan Hanin. Menggenggamnya dengan kedua tangan.
"Lalu?" Wajah Hanin buncah oleh kesedihan. Air matanya mengalir tak dapat dihentikan.
"Aku baru menyinggung masalah itu melalui WA tadi malam." Dimas tak kuasa menatap mata Hanin.
"Kau yang mengajak rujuk, Mas?" Cepat saja Hanin menyambar omongan Dimas.
"Aku masih sangat mencintai Sita, Nin." Entah kenapa Dimas merasa janggal dengan kalimatnya sendiri.
Hanin menarik tangannya dari genggaman Dimas. Wanita berkerudung coklat muda itu menutup wajah dengan kedua tangan. Bahunya terguncang, hatinya sangat sakit mendengar perkataan suaminya.
"Apa jawaban Sita?" tanya Hanin kembali terdengar. Dia berusaha mengatasi kesedihannya.
"Dia bersedia, dengan syarat aku sudah tidak terikat dengan siapa-siapa." Suara Dimas terdengar serak.
Jauh di dalam hatinya, dia sungguh tidak ingin menyakiti Hanin, wanita bersahaja yang selama hampir dua tahun mendampingi dan melayaninya sepenuh hati.
"Maksudnya?" Alis Hanin bertaut. Kedua tangannya terkepal di atas paha.
Dimas memejamkan mata. Hatinya ikut sakit mendengar isak tertahan wanita yang masih sah menjadi istrinya.
"Kau minta aku mundur, Mas?"
"Maafkan aku, Nin. Aku masih sangat mencintai Sita." Dimas menjawab lirih. Entah kenapa dia tidak terlalu yakin dengan jawabannya sendiri.
Hanin terisak kencang. Tangis itu sudah tidak bisa lagi dia tahan. Dadanya sesak. Entah sudah berapa kali sepagi ini suaminya itu mengatakan sangat mencintai Sita. Sementara di lain sisi, lelaki itu mengatakan sedikit pun tidak ada rasa cinta untuknya.
"Bagaimana dengan anak di dalam rahimku ini, Mas? Tegakah kau membiarkannya tumbuh tanpa sosok seorang Ayah?" Hanin mengelus perutnya. Sesuatu di dalam sana bergerak pelan. Seolah tahu, bundanya sedang tidak baik-baik saja.
"Aku akan bertanggung jawab sepenuhnya, Nin. Nafkah kalian akan selalu kutepati." Dimas menunduk, tidak mampu menatap mata Hanin yang terluka.
"Lalu, bagaimana dengan kehadiranmu?" Hanin menggigit bibirnya kuat-kuat. Terasa asin menyapa lidahnya. Sakit. Bibirnya berdarah. Tapi jauh lebih sakit lagi hatinya.
"Rindu sudah sangat dekat denganku, Nin. Sementara dedek belum tahu bagaimana ak …."
"Jadi maksudmu, kau tidak mau mengenal anak kita, Mas?" Cepat Hanin memotong kalimat Dimas. Wanita itu menatap tak percaya wajah tampan suaminya yang masih menunduk.
"Rindu sempat merasakan kehadiranku sebelum aku dan Sita bercerai, Nin. Akan lebih mudah bagi dedek menjalaninya, jika dia tidak sempat mengenalku." Suara Dimas tercekat di ujung kalimatnya. Sungguh. Hatinya kini sangat bimbang.
Hanin terpana. Tidak menyangka lelaki yang selama dua tahun ini menjadi imamnya, ternyata mampu setega itu pada keturunannya.
Apakah suaminya itu tidak ada rasa sayang sedikit pun pada buah cinta mereka?
Cinta? Ah…
Bukankah sudah sangat jelas Dimas mengatakan tidak ada cinta untuknya?
Hanin tertawa miris. Menertawakan dirinya sendiri. Menertawakan suratan takdir, yang digariskan untuknya.
BAB 3
"Jadi maksudmu, kau tidak mau mengenal anak kita, Mas?" Cepat Hanin memotong kalimat Dimas. Wanita itu menatap tak percaya wajah tampan suaminya yang masih menunduk.
"Rindu sempat merasakan kehadiranku sebelum aku dan Sita bercerai, Nin. Akan lebih mudah bagi dedek menjalaninya, jika dia tidak sempat mengenalku." Suara Dimas tercekat di ujung kalimatnya. Sungguh. Hatinya kini sangat bimbang.
Hanin terpana. Tidak menyangka lelaki yang selama dua tahun ini menjadi imamnya, ternyata mampu setega itu pada keturunannya.
Apakah suaminya itu tidak ada rasa sayang sedikit pun pada buah cinta mereka?
Cinta? Ah…
Bukankah sudah sangat jelas Dimas mengatakan tidak ada cinta untuknya?
Hanin tertawa miris. Menertawakan dirinya sendiri. Menertawakan suratan takdir, yang digariskan untuknya.
"Maafkan aku, Nin. Sita tidak ingin berbagi." Dimas mengangkat kepalanya. Menatap Hanin yang bersimbah air mata. Duh. Entah kenapa perasaanya tidak rela melihat wanitanya itu dibalut luka.
"Aku akan segera mengurus perceraian kita, Nin. Maafkan aku. Kita buat ini menjadi cepat saja. Aku takut kau menjadi semakin terluka jika terlalu lama." Dimas memejamkan mata. Tidak sanggup menatap mata sendu yang menatapnya tak percaya.
"Tidak inginkah kau melafazhkan adzan di telinga anak kita saat hari kelahirannya nanti, Mas? Menjadi orang pertama yang suaranya dia dengar saat anak kita perdana menyapa dunia?" Hanin memegang tangan lelaki di depannya.
"Akan sulit bagiku pergi, jika sempat melihat dedek, Nin." Dimas mengusap ujung matanya yang mendadak basah.
"Apa salah anakku sehingga kau sampai tidak ingin mengenalnya? Haruskah kutulis Batu sebagai nama Ayah di akta kelahirannya?" Wanita berkerudung coklat muda itu menatap putus asa suaminya.
"Tidak perlu kau tulis namaku di sana, Nin." Dimas menggeleng.
"Maksudmu?" Hanin menatap tak mengerti pada lelaki di depannya.
"Berdasarkan hasil pemeriksaan, dedek in syaa Allah berjenis kelamin laki-laki. Dia tidak butuh wali untuk pernikahannya nanti. Itulah alasan kenapa aku merasa sedikit lebih mudah memilih Rindu daripada dia." Dimas semakin menunduk dalam. Tak mampu menatap Hanin yang semakin terluka.
"Anak bukan pilihan, Mas. Laki-laki atau perempuan sama saja. Mereka mempunyai hak atas kasih sayang dari Ayah dan Ibunya." Hanin menatap Dimas nanar. Tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.
Dimas menggeleng lemah.
"Istighfar, Mas. Anak ini tidak bisa memilih dari orangtua mana dia akan dilahirkan. Kita yang meminta agar dia dititipkan dalam setiap sujud yang kita lakukan." Isak Hanin kembali mengeras.
"Kita mempunyai kewajiban untuk membesarkannya. Memberikan kecukupan nafkah, lahir dan bathinnya. Memastikan dia mendapatkan pendidikan yang baik, bagi dunia dan akhiratnya. Tak takutkah kau dituntut anakmu di Padang Mahsyar nanti saat hari pembalasan karena kelalaian yang sengaja kau lakukan, Mas?"
"Maafkan aku, Nin. Aku masih sangat mencintai Sita." Entah berapa kali kalimat itu Dimas ucapkan sepagi ini. Menghancurkan relung terdalam perasaan wanita yang selama hampir dua tahun ini menjadi istrinya.
Hanin memukul dadanya yang sesak. Tangis itu tumpah sudah. Sangat menyakitkan mendengar suara tangis penuh luka dari wanita yang tengah hamil tujuh bulan itu.
Tidak pantaskah dia dicinta? Bahkan untuk sekedar berbagi rasa pun dia tidak diberi kesempatan untuk mencobanya.
Hanin memejamkan mata. Ingatannya melayang ke masa dua tahun lalu. Saat dia dan Dimas pertama kali bertemu.
"Silahkan, Den."
Dimas mengerutkan kening mendengar suara halus yang menyapanya. Lelaki itu menoleh pada sosok wanita yang sedang sibuk menyiapkan sarapan di meja makan. Siapa perempuan muda yang menggunakan jilbab biru ini?
"Ck!" Dimas berdecak sebal. Apa ini perbuatan Mama Desi lagi? Entah sudah berapa wanita yang Mamanya itu kenalkan sejak perceraiannya dengan Sita tiga tahun lalu.
Satu pun belum ada dari para wanita yang Mama Desi kenalkan itu mampu membuka hati Dimas. Kunci hatinya terlanjur disimpan oleh Sita. Akan tetapi Mama Desi tidak pernah putus asa. Gagal yang satu dia datang lagi dengan yang lainnya. Belum berhasil dengan yang itu dia kembali lagi membawa kenalan berikutnya.
"Kau disuruh Mama?" Dimas menatap kurang suka pada wanita yang tampak sibuk menata piring di atas meja. Lelaki itu mulai lelah dengan semua wanita yang Mama Desi kenalkan. Hanya karena dia menyayangi dan menghormati Ibunya, walau dengan berat hati dia tetap melakukannya.
"Ya?" Wanita itu mengerutkan kening. Tidak mengerti dengan pertanyaan Dimas barusan.
Dimas tanpa sengaja memperhatikan gadis yang tengah sibuk mengangkat berbagai macam lauk dari dapur ke meja makan itu. Perempuan ini berbeda dari mereka yang sebelum-sebelumnya Mama Desi kenalkan.
Para wanita itu biasanya selalu tampil modis, khas perempuan kota metropolitan. Akan tetapi perempuan yang sedang sibuk menyiapkan makan pagi ini terlihat berbeda.
Tampilannya sederhana, menggunakan gamis Dan kerudung biru muda, membutanya terlihat sangat bersahaja. Wajahnya biasa saja, seperti gadis kebanyakan. Tidak cantik, tetapi tidak jelek pula, sedang saja. Berbeda dengan para wanita yang selama ini Mama Desi kenalkan, mereka terlihat cantik dan berkelas. Seperti Sita, mantan istrinya.
Ah! Dimas mendesah, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Merutuki diri, kenapa pula sepagi ini dia sudah teringat Sita.
"Ini siapa, Ma?" Dimas langsung menodong Mama Desi dengan pertanyaan saat Ibunya itu tiba di meja makan.
"Ooh, ini Hanin. Anaknya Mbok Ti." Mama Desi tersenyum, segera membantu Sita menuangkan air teh hangat ke dalam gelas-gelas yang telah disiapkan.
"Anak Mbok Ti? Mbok Ti kemana memangnya?" Dimas tersenyum pada Papa Roy yang baru bergabung untuk sarapan.
"Ada tetangga dekat rumahnya di Kampung yang akan menikahkan anaknya. Mnok Ti pulang untuk bantu-bantu. Tidak enak kalau tidak ikut membantu, tetangga dekat katanya."
Dimas mengangguk sambil mulai mengambil nasi serta lauk pauknya.
"Sementara Hanin yang akan menggantikan tugas Mbok Ti selama dia masih di kampung. Kebetulan Hanin bekerja sebagai salah satu penjaga toko kue di dekat sini. Jadi gampang." Mama Desi memberi penjelasan sambil mengambilkan lauk untuk Papa Roy yang hanya menjadi pendengar dalam percakapan mereka.
Kehadiran Hanin membawa suasana yang berbeda di rumah mereka. Gadis itu pintar membawa diri. Walau hanya lulus SMA, Hanin cukup mampu mengimbangi setiap percakapan dengan Mama Desi dan yang lainnya.
Perlahan hati Dimas terketuk. Kesederhanaan Hanin mampu mencairkan hatinya yang beku. Perasaannya yang selama ini hampa, mulai bergetar saat mereka tidak sengaja bertatap muka. Walau perasaannya masih sangat dalam pada Sita, Dimas yakin, seiring berjalannya waktu, Hanin mampu menggantikan posisinya.
Tepat dua bulan perkenalan mereka, Dimas memberanikan diri melamar Hanin. Setelah sedikit berjuang meyakinkan keluarga. Mereka akhirnya resmi membina rumah tangga.
Hanin membuka mata. Gerakan halus dari janin di perutnya membuat dia tersadar dari kenangan masa lalu.
Wanita itu akhirnya mengangguk. Dengan suara bergetar Hanin kembali bersuara.
"Baiklah. Aku terima jika kau tetap memaksa untuk berpisah, Mas. Maafkan segala kekuranganku selama mendampingimu. Maafkan aku, jika aku tak secantik mantan istrimu." Suara Hanin mengambang di antara mereka.
Dimas terpana. Seperti ada yang hilang dari jiwanya, saat Hanin akhirnya menerima.
BAB 4
"Hanin?" Sita terkejut saat membuka pintu. Tidak menyangka orang yang baru saja mengetuk pintu rumahnya adalah Hanin. Tergesa Sita menutup keluar dan menutup pintu.
"Mas Dimas dan Rindu baru saja berangkat. Tadi kata Mas Dimas kau tidak ikut karena kurang enak badan, ternyata kau menyusul. Kenapa tidak mengabari Mas Dimas dulu?" Sita tersenyum ramah. Mempersilahkan Hanin duduk di kursi teras depan rumah.
"Aku memang menunggu mereka berangkat, Ta." Hanin tersenyum menatap wanita cantik di hadapannya.
Kening Sita berkerut mendengar jawaban Hanin. Ada perlu apa istri mantan suaminya ini kemari?
"Boleh kita bicara di dalam? Seingatku, setiap hari minggu aku dan Mas Dimas kemari selama hampir dua tahun ini, kau tidak pernah mempersilakan aku masuk." Senyum Hanin masih menghiasi wajah teduh itu.
"Ada perlu apa kemari, Nin?" Sita mengabaikan perkataan Hanin. Dia mulai tidak nyaman dengan kehadiran wanita berjilbab merah jambu itu.
"Kalian ada rencana rujuk?" Hanin menangkap rona tidak nyaman pada wajah Sita saat dia melempar pertanyaan.
"Mas Dimas yang memulai pembicaraan." Sita menarik napas. Berusaha mengendalikan kegugupannya. Entah kenapa, berhadapan dengan Sita yang hanya lulusan SMA dan pengalaman kerjanya hanya sebatas penjaga toko kue bisa membuat dia merasa sedikit terintimidasi.
"Bukannya kau yang memancing duluan?" Hanin tertawa kecil. Membenarkan jilbabnya yang diterpa hembusan angin.
Kening Sita berkerut.
"Mas Dimas menceritakan semua. Pembicaraan kalian empat bulan yang lalu." Hanin tersenyum. Menatap wajah Sita yang memerah.
"Hanin, aku …."
"Jawab saja pertanyaanku, Ta. Kalian berencana rujuk?" Hanin mengelus perlahan perutnya yang membuncit. Ada gerakan halus yang terasa di dalam sana.
"Kami tidak berencana rujuk. Tepatnya belum. Mas Dimas kemarin malam hanya bertanya apakah masih ada kesempatan untuk kami kembali bersama? Hanya itu." Sita menganggap sedikit dagunya. Detak jantungnya mulai beraturan. Dia sudah bisa menguasai keadaan.
"Lalu, apa jawabanmu?" Hanin mengamati dengan seksama wajah Sita. Cantik. Perempuan di sampingnya ini sungguh sedap dipandang mata.
Sita tertawa kecil mendengar pertanyaan Hanin. Membuat perempuan berwajah teduh itu menatapnya heran. Bagian sebelah mana dari pertanyaannya yang lucu?
"Kau datang kemari, tentu Mas Dimas sudah menceritakan semuanya, Nin. Termasuk jawabanku. Bukan begitu?" Sita mengulum senyum.
"Aku ingin mendengar langsung darimu." Hanin mengalihkan pandangan. Semakin lama dia menatap perempuan rupawan itu, semakin dia merasa rendah diri. Sita. Dilihat dari sisi sebelah manapun, wanita itu sempurna. Wajar jika Dimas tak bisa berpaling darinya.
"Apa yang ingin kau dengar, Nin?" Sita menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi.
"Apa jawabanmu kemarin malam?" Hanin menggigit bibir, bersiap menahan sakit yang entah untuk ke berapa kalinya.
"Aku mau, asalkan dia tidak terikat dalam status pernikahan dengan siapapun." Ringan saja kalimat itu meluncur dari mulut Sita.
"Kau mensyaratkan aku mundur?" Hanin kembali menatap wanita dengan wajah putih mulus bak porselen di sampingnya.
"Aku tidak terbiasa berbagi, Nin. Apalagi jika harus berbagi suami dengan wanita biasa saja sepertimu." Sita tersenyum menatap Hanin, mata wanita yang tengah mengandung tujuh bulan itu berkaca-kaca.
"Maksudmu?" Suara Hanin bergetar.
"Jangan naif, Nin. Bahkan aku yakin kau pun sepenuhnya menyadari kalau aku lebih segalanya darimu. Aku cantik sementara kau biasa saja, aku berpendidikan tinggi sementara kau hanya tamatan SMA, dan aku mempunyai karir yang bagus hingga saat ini, sementara karir tertinggimu hanya sebagai penjaga toko kue."
"Fisik dan jalan nasibku memang tak sebaik dirimu, Ta. Tapi aku bukan wanita murahan." Hanin menegakkan badannya.
"Jaga mulutmu, Hanin! Aku bisa melaporkanmu dengan pasal pencemaran nama baik karena memfitnahku yang tidak-tidak!" Merah padam wajah Sita mendengar Hanin menyebutnya wanita murahan.
"Lalu apa namanya seorang wanita yang menginginkan suami orang lain kalau bukan murahan?" Hanin berkata tenang, setenang hembusan angin yang menggoyangkan jilbabnya.
"Aku yang lebih dulu mengenal dan memilikinya, Nin. Dia mantan suamiku, dia ayah dari anakku!" Sita memajukan badannya, menunjuk dada Hanin saat setiap kata Keluar dari bibir ranumnya.
"Hanya mantan, kan? Katamu kau wanita berpendidikan, tapi anehnya kau justru tidak paham pengertian mantan. Perlu lulusan SMA ini ajari apa artinya?" Hanin menarik napas panjang. Berusaha meredakan emosinya yang terasa akan bergejolak. Perlahan Hanin mendekat ke arah Sita.
"Mantan berarti orang lain, Sita. Itu maksudnya kau sudah bukan siapa-siapa." Bisikan Hanin menghujam tepat di hati Sita. Membuatnya terdiam sekian lama.
"Perlu kau tahu, Nin. Aku tidak pernah merayu Mas Dimas untuk rujuk denganku. Aku hanya menjawab pertanyaannya apakah ada yang dekat denganku. Ya andai dia masih sendiri, tentu aku akan memilih untuk kembali. Bukan salahku kalau dia menafsirkan berbeda maksud perkataanku." Sita menjauh dari Hanin. Merapikan rambut panjang yang sedikit berantakan.
"Kau kira aku tidak tahu, di ruang tamumu ini masih terpajang dengan jelas foto pernikahan kalian?" Hanin tersenyum kecil melihat wajah pias Sita. Hanya sesaat. Sedetik kemudian Sita sudah berhasil kembali menguasai keadaan.
"Dia ayah dari anakku, wajar kalau fotonya masih terpampang di rumahku." Sita berdehem. Berusaha mengendalikan degup jantungnya. Ternyata selama ini Hanin tahu.
"Aku tahu dia ayah Rindu. Memangnya kalian tidak punya foto keluarga sampai harus foto pernikahan yang kau pajang?"
"Sudah lah, Nin. Aku malas berdebat. Kau pasti sangat menyadari, Mas Dimas masih sangat mencintaiku, begitu pun aku. Kami berpisah karena terpaksa, bukan karena kami sudah tidak saling cinta." Sita menerawang jauh.
"Untuk apa bertahan dengan lelaki yang sama sekali tidak mencintaimu, Nin? Maaf, sebelumnya aku tidak ingin mengatakan ini. Tetapi sepertinya harus kuucapkan agar kau sadar diri. Kau tidak pantas bersanding dengan Mas Dimas. Kau hanya anak pembantu yang kebetulan sempat mencicipi hidup enak dengan anak majikan."
"Sita. Pantas atau tidak pantas bukan ditentukan oleh harta atau pun jabatan seseorang. Dinilai dari sisi sebelah manapun, apakah bisa dibenarkan dirimu yang menginginkan suamiku? Bukan berarti kau mulia karena dilahirkan dari keluarga kaya, dan tidak juga aku menjadi hina karena dilahirkan dari rahim seorang pembantu." Hanin menatap Sita yang terlihat semakin salah tingkah di hadapannya.
"Tadinya aku ke sini hanya ingin meminta agar kau mengizinkan Mas Dimas tetap membersamai proses pengasuhan anak yang sedang kukandung ini. Sama seperti selama ini aku mengizinkan Mas Dimas menemui Rindu, wa …."
"Jangan terlalu berbangga diri, Hanin. Tidak kau izinkan pun Mas Dimas tetap akan menemui Rindu." Cepat saja Sita memotong ucapan Hanin.
Hanin tersenyum. Sungguh, kecantikan rupa wanita di depannya, tidak sebanding dengan kecantikan hatinya.
"Aku tidak akan menyerah, Ta. Kini aku tahu siapa dirimu. Kau tidak sesempurna yang ku bayangkan selama ini. Kau tidak lebih dari seorang pencuri yang berusaha mengambil hak orang lain!"
"Apapun itu, aku tidak peduli, Nin. Maaf aku sibuk." Sita berdiri meninggalkan Hanin. Namun langkahnya tertahan karena Hanin entah kapan tiba-tiba sudah berdiri menghalangi langkahnya.
"Akan kutunjukan padamu, Ta. Wanita biasa saja ini akan membuat Mas Dimas melupakanmu. Perempuan yang kau anggap kalah segalanya dari dirimu ini, akan membuatmu menyadari tak harus sempurna untuk menjadi pemenangnya." Hanin berkata lembut sambil membenarkan rambut Sita yang berantakan tertiup angin.
"Omong kosong, Hanin. Kau bermimpi? Selama ini kau tidak bisa membuat Mas Dimas berpaling, lalu dalam hitungan bulan kau berharap semua berubah? Sadarlah, jangan berkhayal terlalu tinggi!" Sita mendesis di depan wajah Hanin.
"Kita lihat saja nanti, Ta. Aku tidak sedang bermimpi. Mas Dimas masih suamiku dan kupastikan akan terus begitu! Kau yang harusnya sadar, jangan mengharapkan suami orang. Aku pamit, maaf membuat harimu menjadi buruk. Assalamualaikum."
Sita tertegun menatap punggung Hanin yang perlahan menjauh. Sementara di sana, Hanin perlahan mengusap air mata. Sungguh, dia tidak menyangka, wanita itu tega menyakitinya. Dia yang selama ini sudah Hanin anggap sebagai saudara, ternyata tidak menganggap sebaliknya. Sita bahkan tidak memandang sama sekali dirinya yang sedang berbadan dua.
"Allah, mampukan aku melangkah. Mampukan aku berdiri di atas kakiku. Jika memang takdir ini yang kau gariskan untukku, semoga aku kuat dan ikhlas menerimanya."
Setetes lagi air mata Hanin terjatuh. Wajah teduh itu terlihat mendung, sama seperti cuaca yang tiba-tiba mulai gerimis. Semesta sepertinya menyadari. Hari ini, ada satu hati yang tersakiti.
BAB 5
Aroma tumisan bumbu halus ditambah dengan daun salam, lengkuas dan serai memenuhi seisi dapur. Beberapa saat kemudian Elya memasukkan ayam dan santan. Setelah itu menambahkan garam dan gula pasir, terakhir mencemplungkan nanas ke dalam kuah yang sedang mendidih.
Hanin tersenyum setelah mencicipi rasa masakannya. Sempurna. Wanita bercelemek hijau itu memindahkan opor ke dalam mangkok, kemudian menaburkan bawang goreng di atasnya. Opor ayam nanas, kesukaan Dimas. Hanin sengaja masak istimewa. Hari ini tepat dua tahun usia pernikahan mereka.
Jika semua memang harus berakhir, biarlah kelak Dimas mengenang semua tentangnya dengan indah. Andai bisa dipertahankan, Hanin akan berjuang semampunya.
Pernikahan adalah hal yang sakral baginya. Menikah bukan hanya sekedar perjanjian dua anak manusia. Saat ijab kabul terucap, langitlah yang menjadi saksinya.
Karena Perjanjian paling mengikat adalah Akad. Perjanjian tentang pertaruhan kehidupan Akhirat. Bukan hanya antara dua hati, tapi perjanjian dengan Illahi.
Mata Hanin memanas, setetes air mata perlahan mengalir mengingat percakapannya dengan Dimas selepas shalat shubuh tadi pagi.
"Nin …." Dimas tersenyum menyapa Hanin yang mencium tangannya. Pelan Dimas mengusap kepala wanita yang menggunakan mukena putih gading dengan renda-renda di bawahnya itu.
Hanin tersenyum, segera beranjak berdiri untuk menyiapkan sarapan. Namun dia urung melakukannya, karena Dimas menahan tangannya.
"Ya?" Hanin bersuara setelah sekian lama mereka terdiam. Lelaki di hadapannya itu tampak ragu untuk menyampaikan maksud di hatinya.
"Minggu lalu kau ke tempat Sita?" Hanin menggigit bibir. Rupanya wanita itu mengadu pada Dimas?
"Iya." Hanin menjawab singkat sambil melipat mukena yang baru saja dia gunakan.
"Kenapa?" Dimas lamat-lamat memperhatikan wanita berwajah teduh di hadapannya.
"Apanya yang kenapa?" Hanin tersenyum melihat suaminya itu sepertinya sedikit bingung memulai pembicaraan di antara mereka.
"Kenapa main ke rumah Sita?"
"Tidak boleh aku main ke sana?" Hanin mengulum senyum.
"Ya boleh-boleh saja, tetapi untuk apa?" Dimas meraih tangan Hanin, tangan yang selama dua tahun ini dengan rela mengurus segala keperluannya.
"Kalau kujawab untuk menyambung silaturahmi, Mas percaya?" Dimas mendesah mendengar jawaban Hanin.
"Kenapa harus sampai menyinggung foto kami yang masih dia pajang, Nin?"
"Kenapa tidak?" Hanin menatap Dimas lembut. Lelaki itu kembali menarik napas.
"Tidak pantas menyinggung tentang isi rumah orang lain."
"Lalu menurutmu pantas bercerita dan mengadu pada suami orang lain? Aku yang jelas-jelas istrimu saja tidak bercerita apapun." Hanin tertawa kecil. Pelan menarik tangannya dari genggaman Dimas.
"Mengadu apa lagi mantan cantikmu itu, Mas? Sebenarnya, kalau dia menyinggung masalah pantas atau tidak pantas. Menurutmu pantas menginginkan suami orang lain?" Hanin terkekeh. Sementara Dimas mengusap tengkuknya.
"Sudah ya? Aku harus menyiapkan sarapan, kan?" Hanin beranjak berdiri. Meletakkan mukena pada tempatnya. Meninggalkan Dimas yang masih duduk di posisinya semula.
"Boleh kuminta buku nikah dan kartu keluarga kita, Nin?" Langkah Hanin terhenti, hatinya tercubit. Secepat ini?
Dalam diam Hanin berjalan menuju lemari di sudut kamar, mengambil dokumen-dokumen surat penting yang tersimpan rapi.
Dimas berdiri, melipat sajadah dan mendekat pada Hanin.
Tanpa bersuara Hanin menyerahkan buku nikah dan kartu keluarga pada lelaki berbaju koko putih yang telah berdiri di sampingnya.
Sedikit gemetar tangan Dimas menerimanya. Sementara Hanin langsung memalingkan wajah saat dokumen itu berpindah tangan.
"Aku akan mengajukan gugatan siang ini, Nin." Suara Dimas terdengar serak.
Wanita berwajah teduh itu hanya mengangguk. Bergegas melangkah keluar kamar dan menutup pintu.
Haruskah berakhir? Air mata Hanin mengalir begitu saja.
Pun saat ini.
Entah untuk yang ke berapa kali Hanin mengusap air matanya. Suara mobil Dimas memasuki halaman terdengar. Menarik kesadaran Hanin dari ingatan tentang peristiwa shubuh tadi.
Cepat Hanin melangkah ke kamar. Membersihkan wajahnya yang sedikit sembab. Menaburkan bedak tipis dan memakai perona bibir berwarna peach. Membuat wajahnya terlihat lebih segar.
"Assalamualaikum." Suara Dimas terdengar.
"Waalaikumussalam, Mas." Hanin tersenyum menyambut kepulangan suaminya. Mengambil tangan Dimas dan menciumnya. Hal yang biasa dia lakukan saat suaminya berangkat dan pulang kerja.
"Mandi dulu? Air hangat sudah kusiapkan." Dimas mengangguk, mengusap lembut perut istrinya yang membuncit.
Air mata Hanin hampir meleleh. Ini pertama kalinya Dimas mengelus perutnya dengan suka rela. Biasanya Hanin yang akan mengambil tangan Dimas, meletakkannya ke atas perutnya. Dulu suaminya itu hanya menanggapi dengan senyum saat mendengar dia berceloteh. Mengajak janin dalam rahimnya berbicara.
"Nakal dedek hari ini, Nin?" Dimas membalikkan tubuh Hanin. Merangkulnya dari belakang, tangan Dimas pelan mengusap perut istrinya itu. Janin di rahim Hanin bergerak. Menendang tepat di posisi tangan Dimas berada.
"Wowww," seru Dimas lumayan kencang. Hanin tertawa mendengar teriakan antusias suaminya.
"Anak Abi lagi main bola ni ceritanya?" Dimas tertawa, membalik tubuh Hanin, berlutut dan mencium perutnya.
'Abi?' Hanin membathin, benarkah barusan Dimas mengatakan Abi? Mata Hanin berkaca. Hatinya hangat. Sehangat dekapan Dimas yang kembali memeluknya.
Entah kenapa. Hari ini Dimas begitu merindukan Hanin. Istri biasa-biasa sajanya itu. Selepas memasukkan dokumen gugatan ke Pengadilan Agama siang tadi, pikiran Dimas terus tertuju pada Hanin.
"Mas jadi mau mandi? Nanti keburu kemalaman." Suara lembut Hanin menyadarkan Dimas.
"Oh iya, Abi mandi dulu ya, Jagoan." Dimas melepaskan pelukan mereka. Menoel perut Hanin. Mereka kemudian tertawa bersama.
Hanin merapikan baju kotor Dimas. Meletakkannya pada keranjang pakaian kotor. Mengambil tas kerja dan menaruhnya di meja samping tempat tidur.
Tidak sengaja mata Hanin menangkap layar gawai Dimas yang menyala. Tidak ada nada dering, juga tidak ada getar. Mungkin suaminya itu sengaja mengaktifkan mode senyap.
"Sita," bisik Hanin lirih.
Hatinya mendadak sakit. Semua kehangatan yang baru dia rasakan tadi mendadak menguap.
Bergegas wanita itu keluar dari kamar. Lebih baik menyiarkan makan malam pikirnya.
'Untuk apa Sita menelepon suaminya? Seringkah mereka saling telepon? Seringkah mereka berbalas pesan? Atau Dimas sering mampir ke sana saat pulang kerja?' Pikiran Hanin terus berputar.
Dadanya mendadak sesak. Dimas bahkan tidak pernah membalas pesannya kalau itu tidak penting. Selama ini selalu dia yang mengirimkan pesan pada suaminya itu.
"Jangan lupa makan siang, Mas."
"Jangan lupa shalat dzuhur, Lelaki tampanku ❤️."
"Rapat dimana hari ini, Yang?"
"Jadi bertemu dengan rekanan bisnis dari luar kota? Jangan pulang malam-malam yaaa, aku masak enak 😉."
Pesan-pesan itu tidak pernah berbalas.
Hanin menarik napas. Mengatur perasaannya agar tidak kembali buncah oleh air mata. Tidak-tidak. Dia tidak boleh menangis lagi di depan Dimas. Cukup.
"Masak apa hari ini?" Dimas tiba-tiba muncul. Memeluk Hanin dari belakang sambil melongok ke meja makan.
"Waaaah, masak istimewa ini." Wajah Dimas sumringah. Air liurnya bahkan hampir menetes melihat opor ayam nanas buatan Hanin. Istrinya itu memang pandai sekali memasak.
Hanin tertawa melihat wajah suaminya yang begitu antusias. Menarik napas sekali lagi. Berusaha menetralisir perasaannya.
"Ada angin apa ini masak segini banyak?" Dimas menatap Hanin saat melihat meja makan dipenuhi lauk pauk lengkap dan cemilan.
"Hari ini tepat dua tahun pernikahan kita, Mas. Aku cuma ingin membuat hari ini berbeda. Terima kasih selama dua tahun ini kau sudah menjadi suami yang baik bagiku. Kalau seandainya nanti jodoh kita berakhir. Setidaknya ada kenangan indah tentang hari ini yang bisa kita ingat." Suara Hanin lembut terdengar. Wajah teduh itu tersenyum manis menatap Dimas
Dimas terpaku. Hatinya basah.
Saat Hanin mempersembahkan semua yang terbaik di dua tahun pernikahan mereka, dia justru memberikan hadiah gugatan cerai yang pasti menimbulkan luka.
Sudah benarkah keputusan yang dia ambil hari ini? Ragu itu kembali menyelimuti hati Dimas.
BAB 6
"Ayaaaaaah." Rindu berteriak riang saat melihat Dimas turun dari mobil. Berlari kencang menyongsong kedatangan ayahnya.
Dimas tertawa. Lelaki itu segera berjongkok dan merentangkan tangan. Menyambut putrinya ke dalam pelukan.
"Tante Hanin." Rindu tersenyum menyadari ada Hanin di dekat mereka. Gadis manis berbando merah itu melepaskan pelukan Dimas, bergegas meraih tangan Hanin. Salim.
Hanin tertawa kecil melihat Rindu menggerak-gerakkan kepalanya. Gadis kecil itu terlihat sangat lucu dan menggemaskan.
Hanin dekat dengan Rindu, malah pernah mereka sangat dekat, melebihi kedekatan Rindu dan Sita. Beberapa kali Sita sempat menitipkan Rindu pada Hanin saat dia bekerja. Namun semenjak Sita merasa kedekatan mereka semakin intens, Sita membatasinya.
Sebagai sesama wanita Hanin menyadari Sita merasa sedikit tidak nyaman Sejak saat itu Hanin sedikit menjaga jarak. Berinteraksi seadanya dengan anak sambungnya itu. Padahal bagi Hanin, anak Dimas adalah anaknya juga. Tetapi karena Sita kurang berkenan, Hanin menghormati perasaan wanita itu.
"Rindu sama siapa ke sini?" Dimas menggandeng anaknya berjalan masuk ke dalam rumah.
"Ibu." Gadis kecil itu tersenyum menampakkan gigi kelincinya. Dimas tertawa melihat ekspresi Rindu. Mencubit pipi gembul dan menggemaskan itu.
Sementara Hanin yang berjalan di belakang mereka mengernyitkan kening. Sita ada di sini? Kenapa?
Wanita berjilbab kuning gading itu berusaha mengingat-ingat percakapannya dengan Mama Desi di telepon tadi malam.
"Besok pagi ke rumah ya, Nin. Ajak Dimas juga. Sudah lama kita tidak kumpul-kumpul makan bersama." Suara Mama Desi terdengar riang di ujung telepon sana.
"Siap, Ma. Dalam rangka apa, nih?"
"Ah, cuma kumpul-kumpul biasa. Memangnya kamu tidak kangen masakan enak Mama?" Mertua Hanin terkekeh.
"Kangen doooong. Ini si dedek juga kangen katanya." Hanin ikut tertawa.
"Ya sudah, besok ke sini sama Dimas ya. Kamu istirahat yang cukup, Nin. Jangan terlalu kecapekan. Kalau tidak kuat masak, minta Dimas beli saja." Hanin mengangguk, padahal dia tahu mertuanya itu tidak akan bisa melihat anggukannya.
Hanin menggeleng. Tidak ada yang aneh dengan percakapannya dan Mama Desi di telepon tadi malam. Lalu, kenapa ada Sita di sini?
Perasaan Hanin mendadak basah. Mata bening itu berkabut. Bukankah dulu Sita menantu kebanggaan keluarga ini? Mbok Ti, ibunya, sering bercerita betapa serasi anak majikan dan istrinya itu. Yang satu tampan, sementara yang satu cantik. Karir keduanya bagus. Mereka juga baik. Pasangan ideal, andai keduanya tidak terpaksa berpisah.
Wanita yang menggunakan gamis panjang senada dengan warna jilbabnya itu menarik napas panjang. Tidak. Dia tidak boleh menangis lagi.
"Assalamualaikum." Dimas dan Hanin mengucap salam bersamaan.
"Waalaikumussalam, ayo ayo masuk." Papa Roy tersenyum lebar menyambut anak dan menantunya itu.
"Sehat, Nin?" Papa Roy bertanya saat Hanin salim.
"Alhamdulillah sehat, Pa." Hanin mengangguk.
"Itu Mama lagi di dapur menyiapkan makanan, kalau kamu capek, istirahat saja. Kasihan itu calon cucu Papa di perut." Lelaki yang rambutnya mulai sedikit beruban itu tertawa lebar.
Hanin ikut tertawa. Dia sangat bersyukur keluarga ini menerimanya dengan tangan terbuka walau status sosial mereka sangat jauh.
Wanita yang tengah berbadan dua itu segera berjalan ke dapur setelah sedikit berbasa-basi.
"Haniiiiin," seru Mama Desi begitu melihat menantunya itu memasuki dapur.
"Ma." Hanin tersenyum, menyambut pelukan Mama Desi.
"Bawa apa ini?" Mama Desi melihat kantong yang dibawa Hanin.
"Ayam masak rica-rica, Ma."
"Waaah, enak tuh. Tata di atas meja, ya. Mama ada perlu sebentar keluar." Mama Desi berlalu setelah sebelumnya mengelus perut Hanin yang membuncit.
"Ta," sapa Hanin pada perempuan yang tengah sibuk menata sesuatu di meja makan.
"Buat apa bawa-bawa lauk segala, Nin? Mau pamer kamu pintar masak?" Sita melihat tidak suka pada kantong yang dibawa Hanin.
Hanin tersenyum. Mengambil wadah dan segera memindahkan lauk ayam yang dibawanya.
"Ya wajar sih, kalau kamu pintar masak. Ibumu dulu kan pembantu di sini, pasti bakatnya menurun. Ups." Sita pura-pura menutup mulutnya.
Hanin tidak menanggapi omongan Sita. Malas saja dia berdebat dengan mantan istri suaminya itu.
"Hanin, cobain. Ini kue Sita bawa tadi waktu ke sini." Mama Desi masuk lagi ke dapur sambil mencomot kue di piring.
"Iya, Ma. Sita tidak pandai masak seperti Hanin. Jadi tadi di jalan beli." Nada suara Sita dibuat sedemikian rupa. Terdengar manja dan renyah di telinga.
Mama Desi tertawa. Bergegas pergi lagi, tadi ada barang yang hendak diambilnya.
"Setiap wanita itu istimewa, Ta. Allah itu Maha Adil. Kau cantik dan mempunyai karir yang sukses, tapi tidak bisa memasak. Aku yang bisa memasak tapi biasa-biasa saja." Cepat Hanin menanggapi perkataan Sita.
"Kita sudah diberikan oleh Allah kekurangan dan kelebihan masing-masing. Tergantung bagaimana cara kita mensyukuri apa yang kita punya," sambungnya.
"Bersyukur untuk setiap hal yang kita miliki, tanpa iri dengan milik orang lain, itulah yang membuat kita istimewa." Hanin mengelus perutnya. Janin di dalam sana mulai bergerak pelan.
"Tetap saja tidak bisa disamakan, Nin. Aku wanita bermartabat, sementara kau hanya anak seorang pembantu yang kebetulan mendapat kesempat …."
"Martabat seorang wanita tidak dilihat dari apakah dia pintar memasak, seberapa cantik wajahnya atau pun sebagus apa karirnya. Tidak, tidak dilihat dari semua itu. Martabat seorang wanita dilihat dari seberapa pandai dia menjaga kehormatannya." Cepat saja Hanin memotong ucapan Sita.
"Sayangnya. Dengan segala kesempurnaan yang kau miliki. Kau bukan perempuan terhormat, Ta. Kau tidak pantas mendapat sebutan wanita bermartabat." Merah padam wajah Sita mendengar setiap kalimat Hanin.
"Apakah pantas seorang wanita yang katanya bermartabat menginginkan suami orang?" Hanin maju mendekati Sita.
"Kau tidak lebih dari seorang pencuri, Ta. Pencuri hina yang penuh dosa, karena menginginkan yang bukan haknya!"
"HANIN! Jaga ucapanmu!" Suara bentakan Dimas terdengar. Mengejutkan Hanin dan Sita.
Sita tersenyum tipis menatap Hanin.
"Apa yang salah dari ucapanku, Mas?" Mata Hanin berkaca.
"Wanita yang kau katakan pencuri itu ibu dari anakku!" Dimas menekan suaranya agar tidak terdengar sampai ke ruang tamu.
"Lalu aku? Apa aku bukan ibu dari anakmu?" Hanin menggigit bibir. Susah payah dia menahan air matanya agar tidak terjatuh.
Dimas mengusap wajahnya kasar.
"Nin, tolong, mengertilah. Jangan buat aku mengatakan hal yang sebenarnya tidak ingin kukatakan." Dimas memegang pundak Hanin.
"Apa yang harus kumengerti, Mas? Seharusnya wanita itu yang kau beri pengertian! Apakah sesuatu hal yang dapat dibanggakan bisa menghancurkan rumah tangga orang lain? Dia tidak lebih dari seorang wanita Mu-ra-han!"
"HANIN!"
"Dimas!" Mama Desi berteriak. Tadi dia bergegas kembali saat mendengar ada keributan.
"Kau! Berhenti berbangga diri masih menyandang status seorang istri! Andai kuucapkan talak saat ini juga, kau sudah kehilangan status yang kau banggakan itu!"
"Astaghfirullahaladziim, Dimas!" Papa Roy memegang bahu Dimas. Menariknya ke ruang tamu. Berbicara empat mata.
Sementara Hanin terpaku menatap Sita yang tersenyum lebar. Wanita itu, sungguh bukan tandingannya. Bahkan dengan tanpa bersuara pun, dia bisa memenangkan hati Dimas.
Hanin menunduk. Berusaha menata perasaannya. Menyesapi kekalahannya.
Inilah batasnya. Inilah akhirnya. Lelah itu bermuara. Hanin memutuskan menyerah.
BAB 7
"Assalamualaikum." Dimas membuka pintu kamar.
"Waalaikumussalam, Mas." Hanin yang tengah melipat mukena setelah shalat maghrib menjawab salam Dimas. Keningnya berkerut. Menatap heran lelaki yang sedang berjalan ke arahnya itu.
"Mas tidak jadi menginap di tempat Mama?" Hanin melempar tanya.
Dimas menggeleng. Ikut duduk di sajadah tempat Hanin duduk. Perlahan lelaki itu merebahkan tubuhnya. Tidur dipangkuan Hanin dengan tubuh meringkuk. Sebelah tangannya mengelus perut Hanin.
"Maaf." Suara Dimas gemetar saat kata itu keluar dari mulutnya. Hanin dapat merasakan air mata suaminya itu membasahi bajunya.
Wanita itu menengadah. Menahan agar air matanya tidak ikut tumpah. Kejadian siang tadi di rumah Papa Roy dan Mama Desi kembali berputar di kepalanya.
"Kau! Berhenti berbangga diri masih menyandang status seorang istri! Andai kuucapkan talak saat ini juga, kau sudah kehilangan status yang kau banggakan itu!"
"Astaghfirullahaladziim, Dimas!" Papa Roy memegang bahu Dimas. Menariknya ke ruang tamu. Berbicara empat mata.
Sementara di dapur, hening menyelimuti Hanin dan Sita. Mama Desi mendekati Hanin. Mengelus pundak menantunya itu. Mengajaknya duduk.
"Minum, Nin." Mama Desi memberikan segelas air putih.
"Terima kasih, Ma." Hanin mengambil gelas dari tangan mertuanya itu. Pelan wanita berwajah teduh itu mengelus perutnya.
Pikiran Hanin melayang entah kemana.
"Nin, kita ke depan." Tiba-tiba suara Mama Sita mengagetkan Hanin.
Hanin duduk di samping Dimas yang terlihat kacau. Sementara Sita duduk di samping Mama Desi, berhadapan dengan Dimas. Mereka duduk membentuk huruf U, sehingga Papa Roy berada di tengah-tengah mereka.
"Maksud Papa dan Mama mengumpulkan kalian kemari, karena ada suatu hal yang ingin kami konfirmasi kebenarannya." Papa Roy membuka pembicaraan. Lelaki yang rambutnya mulai beruban itu terlihat sangat berwibawa. Sisa-sisa kegagahan masa mudanya masih sangat kentara.
"Benar kau sudah mengajukan gugatan cerai terhadap istrimu, Dim?" Papa Roy tajam menatap Dimas.
"Kau mengadu pada Papa dan Mama, Nin?!" Mata Dimas bengis menatap Hanin yang terlihat berkaca.
Hanin menggeleng. Lidahnya kelu. Ini kali ketiga Dimas berbicara dengan suara tinggi padanya selama dua tahun pernikahan mereka. Pertama dan ke dua saat di dapur tadi, dan yang ke tiga baru saja terjadi.
"Jaga bicaramu, Dimas! Hanin sedang mengandung calon cucuku!" Wajah Papa Roy mengeras.
"Sita yang menelepon Mama, Dim." Mama Desi akhirnya bersuara.
Dimas menautkan kedua alisnya. Menatap Sita bingung. Dimas menggeleng. Masih tidak mengerti mengapa Sita melakukannya. Padahal jauh-jauh hari dia sudah mewanti-wanti wanita pujaannya itu agar permasalahan ini tidak bocor. Dimas sedang mempersiapkan diri menghadapi setiap tanya dari orangtuanya.
"Kalian sudah dewasa. Sudah tua lebih tepatnya. Ini permasalahan kalian, karena yang menjalaninya adalah kalian. Tetapi kalau menyangkut pernikahan dan perceraian, kau tidak bisa sembarangan, Dimas!" Papa Roy menatap anak laki-lakinya itu garang.
"Pernikahan ini bukan hanya antara kau dan Hanin! Tapi juga penyatuan antara dua keluarga." Papa Roy menarik napas panjang.
"Kau lupa bagaimana gigihnya dulu dirimu berjuang agar kami menerima Hanin, hah?!"
Dimas membisu. Membuat Papa Roy sangat gemas dengan putra semata wayangnya itu.
"Bicara, Dim. Kau laki-laki. Pantang bagi seorang laki-laki dalam keluarga kita menjadi pengecut! Jelaskan setiap tindakanmu!" Ingin rasanya Papa Roy menggebrak meja karena kesal dengan Dimas yang membatu. Namun mengingat Hanin yang tengah hamil besar. Dia mengurungkannya.
"Betul, Dimas sudah mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama, Pa." Pelan suara Dimas terdengar.
"Kenapa?"
"Dimas dan Sita bermaksud rujuk."
"Dim, kamu ta …."
"Keputusan Dimas sudah bulat, Ma, Pa." Dimas memotong ucapan Mama Desi.
"Sita, sebagai sesama perempuan, kamu tega pada Hanin?" Mama Vania memegang bahu Sita.
"Kamu memang pernah menjadi bagian keluarga kami, Ta, dan selamanya akan begitu karena ada Rindu sebagai benang merah di antara kamu dan Dimas." Lembut suara Mama Desi terdengar.
"Setidak setuju apapun dulu Mama dengan pernikahan Dimas dan Hanin, nyatanya kini Hanin adalah satu-satunya menantu keluarga ini. Saat ini dia sedang mengandung calon cucu kami. Gunakan perasaanmu, Ta." Mama Desi menatap Sita yang membisu.
"Kalau menggunakan perasaan, Dimas dan Sita masih sangat saling mencintai, Ma. Mama tahu sendiri kami berpisah bukan karena keinginan kami." Dimas menoleh pada Hanin di sampingnya.
Perempuan itu membisu. Menatap kosong ke arah meja. Tangannya pelan mengelus kandungannya. Tidak ada isak tangis sedikitpun dari wanitanya itu. Hanin hanya diam. Entah mendengarkan atau tidak semua pembicaraan ini.
Dimas menghela napas. Entah kenapa hatinya tiba-tiba merasa perih. Ingin rasanya dia berlutut dan meninta maaf pada wanita di sampingnya itu. Wanita baik yang telah melayaninya dengan penuh kelembutan selama dua tahun ini.
"Nin." Dimas memegang tangan Hanin. Dingin. Tangan itu terasa sangat dingin.
"Kamu sakit?" Suara Dimas terdengar khawatir.
"Hanin izin pulang duluan, Ma, Pa." Hanin berdiri tanpa menunggu jawaban.
"Nin," Bergegas Dimas mengejar Hanin.
"Nin, biar kuantar." Dimas berhasil memegang tangan Hanin ketika sampai di halaman.
Wanita berjilbab kuning gading itu mengangguk pelan. Tubuhnya terasa lemas. Sekuat tenaga dia berusaha tetap berdiri tegak agar tidak terjatuh.
Dimas membuka pintu penumpang dan menuntun Hanin memasuki mobil.
"Mas." Sita memegang tangan Dimas yang akan menutup pintu.
"Sebentar, Ta. Nanti kita selesaikan." Dimas melepaskan tangan Sita yang memegang sikunya. Entah mengapa dia tidak nyaman bersentuhan dengan Sita.
"Aku butuh bukti keseriusanmu, Mas." Sita menatap Dimas tajam. Dia menangkap ada tanda keraguan di mata itu.
"Kita selesaikan semua hari ini. Bahkan kau minta akad hari ini pun aku siap, Ta. Izinkan aku mengantar Hanin sebentar. Dia masih tanggung jawabku." Dimas berusaha meyakinkan Sita.
"Baiklah, kuizinkan kau mengantar dia. Tapi kau harus berjanji malam ini tidur di sini, di rumah Mama dan Papa." Sita menatap Dimas. Dia harus memastikan hati Dimas tidak goyah.
Dari cara Dimas memperlambat Hanin, Sita bisa melihat ada cinta di sana. Dia harus membuat Dimas abai dengan rasa itu. Jangan sampai lelaki yang masih sangat dicintainya itu menyadari perasaannya pada Hanin.
Hanin menahan napas di dalam mobil mendengar suaminya meminta izin pada wanita lain untuk mengantar dia pulang.
Hanin menggigit bibirnya kencang-kencang. Asin. Biarlah. Biarlah bibirnya terluka. Luka di hatinya jauh lebih pedih.
Wanita itu menengadah. Menahan agar air matanya tidak tumpah.
Pun di sini.
Saat Dimas menangis di pangkuannya. Hanin menengadah. Dia sudah berjanji tidak akan meneteskan air mata lagi. Cukup baginya menangisi semua ini. Jika memang harus berakhir. Maka dia berserah pada suratan takdir.
"Kenapa tidak jadi menginap, Mas?" Hanin membelai kepala Dimas pelan. Bagaimana pun, dia masih sangat mencintai suaminya.
Dimas menggeleng.
"Biarkan seperti ini sebentar saja, Nin." Dimas memejamkan mata di pangkuan Hanin.
Sungguh hatinya bimbang. Dia mencintai Sita, namun dia juga menginginkan Hanin.
Sita dengan kecantikan dan kesuksesannya, sementara Hanin dengan kelembutan dan kepintarannya dalam mengatur urusan rumah tangga.
Dua perempuan ini, sungguh sangat ingin dia rengkuh dalam satu rangkulan.
Salah kah jika dia menginginkan keduanya?
BAB 8
Dimas menghempaskan badannya ke kasur. Sepi. Tidak ada lagi celoteh Hanin yang biasa menyambutnya saat pulang kerja. Bertanya apa saja, kadang bercerita apa saja. Sering dia hanya menanggapi tanya dan cerita Hanin dengan senyuman. Wanita itu tidak ambil pusing. Tetap melanjutkan ceritanya.
Hening.
Rumah itu terasa sangat hampa tanpa kehadiran Hanin.
Lepas shubuh tadi Hanin pamit. Dimas memejamkan mata. Mengingat wajah Hanin yang menunduk, saat meminta izin pagi tadi.
"Mas …." Hanin membuka suara setelah kegiatan rutin mereka tadarus setelah shalat shubuh.
Dimas mengelus kepala Hanin, kemudian pindah ke perutnya yang semakin membuncit.
"Aku izin pamit, pulang ke rumah Ibu pagi ini." Hanin menunduk.
Dimas tertegun. Gerakan tangannya di perut Hanin terhenti. Pelan di angkatnya wajah Hanin dengan kedua tangan. Mata mereka bertatapan.
Aduh! Dimas menggigit bibir. Mata istrinya basah. Wajah teduh itu menyiratkan luka yang teramat sangat.
"Kenapa?" Serak suara Dimas bertanya.
"Aku menunggu panggilan sidang dari rumah Ibu saja, Mas." Hanin memegang kedua tangan Dimas yang membingkai wajahnya. Pelan meletakkan tangan itu kembali ke pangkuan Dimas.
"Kau tidak usah khawatir. Aku tidak akan mempersulit jalannya persidangan." Hanin beringsut mundur. Memberi jarak yang sedikit lebar di antara mereka.
"Nin …." Lidah Dimas kelu.
"Aku akan belajar menerima semua hal yang sudah menjadi suratan takdir bagiku, Mas. Mungkin sudah jalanku harus melalui semua ini." Pelan Hanin menghapus air matanya.
"Saat ini, jika kau bertanya apakah aku sudah ikhlas? Jawabannya belum. Masih sangat jauh dari kata ikhlas. Namun aku sudah menerima semua. Seiring berjalannya waktu, mungkin ikhlas bisa menyapa hatiku." Hanin terisak pelan.
"Kenapa harus kembali ke rumah Ibu sekarang, Nin?" Dimas mengusap wajahnya. Hatinya ikut sakit melihat Hanin bersimbah air mata.
"Apa bedanya, Mas? Sekarang atau nanti sama saja. Aku tetap akan keluar dari rumah ini." Hanin menggigit bibir.
Dimas beringsut mendekat. Mengambil tangan Hanin dan menggenggamnya.
"Kau di sini saja, Nin. Biar aku yang keluar."
"Rumah ini milikmu, Mas. Biar aku pulang saja ke rumah Ibu. Lagi pula, tidak ada yang bisa ku lakukan di sini." Hanin menarik tangannya dari tangan Dimas.
Dimas menarik napas panjang. Dia sungguh belum siap kehilangan Hanin. Tetapi dia juga tidak kuasa menahan Hanin agar lebih lama di sini. Gugatan cerai sudah dalam proses. Dimas kembali bimbang. Sudah benarkah keputusan yang dia ambil?
"Jam berapa kau akan berangkat, Nin?" Dimas menghela napas.
"Nanti sekitar jam delapan atau sembil …."
"Sore saja, biar kuantar. Aku tidak bisa mengambil cuti mendadak kalau ingin mengantarmu pagi ini, Nin," potong Dimas.
Hanin menggeleng.
"Biar aku pulang sendiri saja, Mas. Tidak perlu kau antar. Akan sangat sulit bagiku terbiasa tanpamu jika masih tetap mengandalkanmu untuk mengantarku." Hanin menunduk.
"Baju-bajumu sudah kurapikan, Mas. Baju kemeja kantor ada di bagian paling atas, celana di sampingnya. Sementara perintilan lain seperti dasi, bolpoint dan macam-macamnya ku letakkan dalam kotak khusus, baju dan celana dalam sudah kupisahkan agar kau tidak kesulitan mencarinya. Sepatu dan kaos kaki ku letakkan di rak depan." Hanin mendikte semua.
Dimas tersenyum miris. Hanin. Dalam kekalutannya, istrinya itu masih sempat memikirkan semua kebutuhannya. Sementara dia, entah sudah berapa banyak luka yang dia goreskan pada wanitanya itu.
"Kau sedang mengandung anakku, Nin. Biarkan aku mengantarmu."
"Akhirnya kau mengakui ini anakmu, Mas?" Hanin tertawa kecil.
"Sudahlah, aku bisa pulang sendiri." Hanin beranjak, meletakkan mukena dan bergegas keluar dari kamar untuk menyiapkan sarapan.
Dimas termenung mengingat kejadian itu. Pagi tadi adalah terakhir kalinya dia bisa menikmati masakan Hanin.
Lelaki itu menarik bantal yang biasa Hanin gunakan saat tidur. Memeluknya erat. Menghirup dalam-dalam aroma Hanin yang masih tertinggal di sana.
Ponsel Dimas bergetar. Bergegas lelaki itu merogoh kantong celananya. Berharap Hanin yang menelpon atau sekedar mengirimkan pesan.
"Sita," desisnya saat membaca nama yang tertera di layar ponsel.
Dimas meremas ponsel itu, kemudian melemparkannya sembarangan ke kasur. Entah kenapa dia kecewa saat mengetahui Sita yang menelpon.
Sungguh, dia sangat berharap Hanin menghubunginya. Lelaki itu mendadak rindu pesan-pesan Hanin yang selama ini sering dia abaikan.
Diambilnya ponsel yang tadi dilempar sembarangan. Dimas membuka kontak Hanin. Mengetik pesan. Hapus. Ketik lagi. Hapus lagi.
"Ah … Hanin," bisik Dimas lirih.
Akhirnya dikuatkannya hati. Dia sungguh sangat merindukan Hanin.
"Assalamualaikum, Nin." Pesan itu terkirim. Centang dua.
Dimas melemparkan ponselnya jauh-jauh. Cemas Hanin tidak membalas pesannya. Sesaat kemudian diambilnya lagi. Mengintip sedikit layarnya. Belum ada balasan. Dimas mendesah kecewa.
Sepuluh menit berlalu ponsel itu tetap hening.
"Aduh. Bahkan membalas pesanku pun kau sudah tak sudi, Nin?" Dimas menggigit bibirnya kencang.
Bunyi ponsel membuat Dimas refleks meraih ponsel. Ada pesan masuk.
"Waalaikumussalam, Mas," balas Hanin.
Ingin rasanya Dimas melompat kegirangan. Dipeluknya ponsel itu erat-erat. Seolah Hanin yang ada dipelukannya.
"Jam berapa tadi kau sampai di rumah Ibu, Nin?" Cepat saja Dimas membalas pesan Hanin.
Lima belas menit berlalu, ponsel Dimas tetap diam. Lelaki itu mendesah, memutuskan mandi dan berganti pakaian.
Setelah mandi wajah tampan Dimas terlihat segar. Bergegas dia meraih ponselnya. Dua pesan dari Hanin. Dadanya berdegup kencang. Sumringah wajah Dimas saat membuka pesan itu.
"Jam setengah tiga, Mas."
"Mas, kau tak perlu khawatir. Aku tidak akan mempersulit persidangan. Kuusahakan bisa hadir jika tidak ada halangan."
Dimas tercekat membaca pesan kedua Hanin. Lelaki itu kembali mendesah.
Dimas melangkah ke dapur, memutuskan mencari bahan makanan yang bisa dimakan. Perutnya sudah sangat keroncongan. Biasanya setiap dia pulang kerja, akan disambut dengan masakan Hanin yang sangat memanjakan lidah.
Satu persatu lemari penyimpanan dibukanya. Tidak ada bahan makanan. Mi instan pun tidak ada. Dimas beringsut menuju lemari pendingin. Hanya tersisa satu butir telur.
Ah! Dimas menepuk kepalanya. Kenapa dia bisa lupa. Hari ini tanggal belanja bulanan Hanin. Nasiiib nasiiiiib, alamat hanya makan dengan telur ceplok.
Dimas duduk sejenak di meja makan. Menatap kursi kosong tempat Hanin biasa duduk. Lelaki itu mengernyitkan dahi, ada kertas kecil berisi tulisan. Itu tulisan Hanin. Dia hafal sekali.
Bergegas diambilnya, dengan tak sabar Dimas membaca setiap kata di catatan kecil itu satu persatu.
"Mas, ini capcay seafood untuk makan malam. Panaskan saja sebentar di panci, pasti rasanya masih enak. Aku baru ingat kau hari ini ada rapat hingga sore, pasti kau kelelahan. Jangan lupa istirahat. Selamat makan. :)"
Jantung Dimas berdebar lebih cepat setelah membaca catatan dari Hanin.
"Hanin," bisiknya.
Mendadak hati Dimas gerimis. Ada yang hampa saat wanita yang sempat dia sia-siakan itu pergi dari sisinya.
BAB 9
"Assalamualaikum, Bu …." Lembut suara Hanin mengucap salam.
"Waalaikumussalam, Nak." Mbok Ti langsung memeluk Hanin erat saat membuka pintu rumah.
Mbok Ti melepaskan pelukannya. Mengelus perut Hanin, kemudian kembali memeluk anaknya. Wanita setengah baya itu tergugu.
Hanin mengusap punggung Mbok Ti pelan. Satu bulir air mata Hanin akhirnya terjatuh. Isak tertahan dari keduanya, terdengar sangat menyakitkan.
"Malangnya nasibmu, Nak." Mbok Ti terisak kencang. Bahunya berguncang.
"Maafkan Ibu, maafkan Ibu, Anakku. Ini semua salah Ibu." Mbok Ti melepaskan pelukan mereka. Memukul dadanya yang terasa sangat sesak.
Hanin menggeleng. Lidahnya kelu. Wajahnya bersimbah air mata.
Mbok Ti terjatuh di lantai, kakinya terasa lemas, tidak sanggup menopang badannya. Hanin berteriak, terkejut saat melihat Ibunya yang tiba-tiba terjatuh.
"Bu, Ibu." Hanin ikut duduk, susah payah dia mencapai lantai. Perut yang membuncit membatasi gerakkannya.
"Ini bukan salah siapa-siapa, Bu. Sudah jalan takdir Hanin seperti ini." Wanita berhijab lebar itu menyenderkan kepalanya pada perempuan yang dia panggil Ibu.
"Andai dua tahun lalu Ibu tidak memintamu menggantikan Ibu di sana, semua tidak akan menjadi seperti ini, Nin." Isak Mbok Ti semakin kencang. Wanita setengah baya itu benar-benar terpukul dengan apa yang menimpa anak sulungnya itu.
"Malangnya nasibmu, anakku." Mbok Ti mengguncang bahu Hanin.
"Dari mana Ibu tahu?" Hanin menyeka air mata di pipinya. Dia memang belum bercerita apapun. Tidak ingin menjadi beban pikiran. Hanin bermaksud akan memberitahukan semua saat dia sudah pulang.
"Ibu Desi menelpon Ibu beberapa hari yang lalu. Menjelaskan kalau suamimu, Den Bram akan rujuk dengan Non Sita. Ibu ingin bertanya. Tapi tidak tahu harus memulai dari mana. Ternyata hari ini kamu pulang …." Tangis Mbok Ti kembali pecah.
"Bu, Hanin belum shalat dzuhur."
"Astaghfirullah, maafkan Ibu abai kalau kau baru saja sampai. Ayo, ayo, masuk. Mana pakaianmu biar Ibu yang bawa."
Selepas shalat dzuhur Hanin menemui Mbok Ti di dapur. Makanan sudah tersedia di meja. Wajah Hanin terlihat lebih segar, tadi dia sekalian mandi.
"Ini seadanya, kamu tidak bilang mau pulang. Ibu tidak masak banyak." Mbok Ti mengambilkan piring untuk Hanin.
Hanin tersenyum, mengambil piring. Hidangan di meja membuat air liurnya terbit. Nafsu makannya memang sedang sangat meningkat, hamil besar dia bisa sampai lima kali makan dalam sehari. Tapi anehnya, berat badan Hanin masih tetap begitu-begitu saja.
"Saldi mana, Bu?"
"Ah! Adikmu itu mana pernah betah di rumah lagi. Sepulang dari sekolah dia langsung pergi lagi, baru pulang nanti menjelang maghrib."
"Ya tidak apa-apa, Bu. Sudah SMP ini pasti temannya makin banyak. Biarkan dia bermain sepuasnya, sebelum mengarungi pahitnya kehidupan orang dewasa." Hanin terkekeh.
"Kamu itu." Mbok Ti ikut tersenyum mendengar omongan Hanin.
"Istirahatlah dulu, Nin. Kasihan calon cucu ibu habis perjalanan jauh." Mbok Ti mengelus perut anaknya pelan.
Hanin mengangguk. Bergegas masuk ke kamar untuk merebahkan badan.
Kesendirian membuat Hanin kembali terbawa pikiran. Ingatannya tentang Dimas kembali hadir. Ini kamar tempat mereka pertama kali melakukan ibadah pertama sebagai sepasang suami istri.
Ah … Hanin mendesah. Pipinya kembali basah. Cintanya pada Dimas terlalu dalam. Hingga saat lelaki itu ternyata tak memiliki rasa yang sama. Dia hancur sehancur-hancurnya.
Dimas bukan lelaki pertama yang menempati hatinya. Dulu dia pernah menyimpan rasa pada seorang pria. Sebagai wanita yang pandai menjaga kehormatannya, rasa itu hanya dia yang tahu. Sampai akhirnya dia bertemu Dimas. Lelaki mapan, tampan dan mampu membuatnya nyaman. Hanin perlahan melupakan pria itu. Dimaslah satu-satunya.
Tapi ternyata tidak begitu bagi suaminya. Jika Hanin berusaha menyelesaikan semua rasa pada yang lain sebelum mereka menikah, Dimas justru tetap memupuk subur rasa itu.
Hingga akhirnya masa itu tiba. Kesempatan kembali akhirnya ada. Dimas mudah saja melepaskan genggamannya. Bergegas menyambut tangan wanita pujaannya.
Sementara Hanin yang melangkah tanpa pegangan. Harus tertatih merayap penuh pengorbanan. Luka itu menusuk relung terdalam perasaannya. Membuat benda kecil bernama hati di dalam sana rusak tak ada lagi rupa.
Hanin tergugu. Ikhlas sangat sukar menyentuh hati. Sulit baginya merelakan lelaki yang selama dua tahun ini memenuhi hari-hari. Tetapi apa mau dikata. Dimas sudah tidak menginginkannya. Dia harus menerima walau perasaannya masih menyimpan cinta.
Lepas maghrib Hanin memilih langsung masuk kamar. Hatinya sedang tidak baik-baik saja. Mbok Ti memberi kode pada Saldi agar tidak bertanya macam-macam pada kakaknya. Saldi hanya mengangguk.
Ponsel Hanin bergetar. Malas Hanin mengambilnya di dalam tas. Dari berangkat jam sembilan tadi sampai lepas maghrib ini belum sekalipun Hanin membuka ponselnya. Enggan. Hanin sedang enggan melakukan apapun.
Patah hati benar-benar membuat wanita itu hancur. Kalau tidak mengingat janin di dalam perutnya, malas rasanya dia makan.
"Mas Dimas." Perasaan Hanin mendadak tidak enak. Jangan-jangan suaminya itu mengabarkan tanggal sidang.
Hanin meletakkan kembali ponselnya. Takut membuka pesan itu.
Sepuluh menit berlalu. Setelah bertarung dengan perasaannya, Hanin meneguhkan hati untuk membuka pesan itu.
"Assalamualaikum, Nin." Pesan dari Dimas.
Hanin sempat terbengong beberapa saat. Hanya salam?
"Waalaikumussalam, Mas." Balas Hanin.
Beberapa detik berjalan, ponsel Hanin kembali bergetar. Wanita itu menggigit bibir. Apa gerangan yang sangat penting hingga suaminya itu membalas pesan dengan sangan cepat?
Hanin mendesah. Ketakutan itu kembali datang. Jangan-jangan benar panggilan itu sudah sampai. Secepat itukah? Bukankah gugatan baru dimasukkan beberapa hari yang lalu?
Lima belas menit berlalu. Hanin hanya menatap ponselnya yang tergeletak di atas kasur. Enggan menyentuhnya.
Lima menit kemudian, Hanin memutuskan membaca pesan dari Dimas.
"Jam berapa tadi kau sampai di rumah Ibu, Nin?"
Hah? Mata Hanin terbelalak. Wanita itu tersenyum miris. Pasti lelaki itu sedang kebingungan bagaimana menyampaikan tentang panggilan sidang. Baiklah. Biar dia saja yang menegaskan.
"Jam setengah tiga, Mas."
"Mas, kau tak perlu khawatir. Aku tidak akan mempersulit persidangan. Kuusahakan bisa hadir jika tidak ada halangan."
Dua pesan itu terkirim.
Hanin termenung. Masih tidak menyangka, kini dia tengah bersiap menjadi janda. Beberapa saat lalu dia masih berharap hidup menua bersama Dimas. Kini semua tinggal harapan. Angan itu hanya sebatas impian. Andai ada kesempatan kembali, entahlah apakah dia bisa menerima Dimas lagi.
Pengalaman disakiti saat ini. Membuat dia trauma untuk memulai lagi.
Hanin terluka. Jiwanya hampa. Andai bisa digambarkan dengan kata-kata. Kini dia seumpama raga tanpa jiwa.
BAB 10
Hanin duduk di bangku depan ruang sidang. Tangannya mengelus lembut perutnya yang membuncit. Hari ini tepat tiga puluh lima minggu usia kehamilannya.
Sidang mediasi berjalan lancar. Kedua pihak dianggap sepakat untuk bercerai. Hanin memang lebih banyak diam saat di dalam, sementara Dimas menjelaskan alasan-alasan gugatan diajukan.
"Kak." Saldi menyapa Hanin.
"Sal." Lemah suara Hanin terdengar.
"Ini, minum dulu." Adik laki-laki Hanin menyerahkan sebotol air mineral. Dia sengaja izin sekolah hari ini untuk mendamaikan kakaknya di pengadilan. Mbok Ti tidak bisa ikut karena harus menjaga warung makan kecil-kecilan miliknya.
Saldi ikut duduk di samping Hanin. Anak laki-laki berusia lima belas tahun itu mengedarkan pandangan. Matanya menyipit saat menangkap sosok Dimas, kakak iparnya seperti berjalan ke arah mereka.
"Sal." Hanin memegang bahu Saldi.
"Eh, iya, Kak?" Saldi menoleh ke arah Hanin, khawatir kakaknya itu butuh sesuatu.
"Kau sudah kelas tiga SMP, sebentar lagi ujian. Tidak baik sering izin."
"Hmmm." Saldi hanya berdehem menanggapi omongan Hanin.
"Besok-besok kalau ada sidang lagi, kakak berangkat sendiri saja."
"Hmmm." Saldi kembali berdehem.
"Kau dengar tidak, heh?!" Hanin menjitak kepala Saldi. Adik laki-lakinya itu kebiasaan tidak mendengarkan omongan orang.
"Iya, Kak." Pandangan Saldi sudah mengarah pada Dimas lagi. Sepertinya benar kakak iparnya itu menuju ke arah mereka.
"Kau lihat apa sih?" Hanin menoleh. Mengikuti arah pandangan Saldi.
"Mas Dimas," bisik Hanin lirih. Mendadak dadanya berdenyut sakit, saat melihat wanita yang berjalan di belakangnya.
Sita. Wanita cantik itu terlihat anggun dengan dress biru langitnya. Tangannya menuntun Rindu yang sibuk bertanya banyak hal.
Ah … Hanin rindu celoteh riang Rindu. Terakhir mereka bertemu saat ada kumpul keluarga di rumah Papa Roy dan Mama Desi. Sekitar sebulan yang lalu. Itu pun dia tidak sempat bercanda barang sejenak dengan anak sambungnya itu.
Dimas dan Sita terlihat sangat cocok. Yang satu berjalan dengan gagah. Yang satu berjalan dengan anggun sambil menebar senyum ramah.
Hanin menghembuskan napasnya perlahan. Ada yang terluka di dalam sana, saat melihat mereka tampak serasi bersama.
Tidak bisakah mereka sedikit saja menjaga perasaannya? Setidaknya tunggulah sampai sidang selesai untuk tampil bersama.
Hanin menunduk. Menahan gejolak di dadanya. Di sana, di sudut terdalam perasaannya, Hanin berusaha sekuat tenaga menata hatinya yang porak poranda. Sebisa mungkin dia mengabaikan lukanya, agar terlihat baik-baik saja.
Pantang baginya terlihat kalah. Beberapa waktu kemarin dia hanya terlalu terkejut. Tanpa angin tanpa hujan, suaminya mengatakan ingin rujuk dan dia akan diceraikan. Itulah yang membuatnya sangat lemah. Hingga air mata selalu mengalir tak tertahankan.
"Nin." Suara Dimas terdengar.
Hanin mengangkat wajahnya. Mata mereka bertemu. Dua tatapan itu sama-sama menyimpan rindu.
Sita dengan segera menggamit tangan Dimas. Seolah menunjukkan pada Hanin, sekarang dia lah pendampingnya.
"Bisa bicara sebentar?"
"Boleh." Hanin menjawab singkat.
"Kita mencari tempat yang enak untuk bicara. Ada hal penting yang …"
"Bicara di sini saja." Saldi memotong ucapan Dimas.
"Anak kecil jangan ikut campur. Inilah bedanya dibesarkan dalam keluarga berpendidikan atau tidak." Sita memberikan tatapan tajam pada Saldi.
"Hanin, ajari adikmu sopan santun!"
"Lalu, apakah menurut Mbak sopan menggandeng tangan suami orang di depan istrinya?" Saldi membalas tatapan Sita.
"Heh! Berani kamu ya, bocah masih bau kencur. Tahu apa kamu tentang urusan orang dewasa?!" Sita menatap Saldi kesal.
"Saya memang belum terlalu paham dengan permasalahan orang dewasa. Tapi setahu saya, mencuri itu perbuatan buruk, dan itu berdosa. Termasuk mencuri suami orang!"
Hanin memegang bahu Saldi. Memintanya berhenti. Dia mulai menyadari, adik kecilnya itu sudah beranjak besar. Saldi sudah mengerti dengan permasalahan yang menimpanya.
"Mau bicara apa, Mas? Disini saja." Hanin mengaminkan ucapan Saldi yang meminta bicara di sini saja.
"Bisa bicara di antara kita bertiga saja, Nin? Biar Saldi di sini dulu." Dimas menatap Hanin. Entah mengapa dadanya berdenyut kencang. Ingin rasanya di membawa wanita itu ke dalam pelukannya.
"Bicara denganku, Mas. Dulu aku yang menikahkan Mas Dimas dan Kakakku. Aku yang menjadi wali Kak Hanin. Begitu pun hari ini. Ketika Mas berencana mengakhiri semua, aku masih bertindak sebagai walinya." Saldi berkata mantap. Menatap Dimas tepat di matanya.
Hanin menahan napas. Tidak menyangka, adik laki-laki yang dulu sering diganggunya itu kini sudah mulai dewasa. Atau Saldi dewasa sebelum waktunya? Sering terjadi, karena keadaan, anak menjadi lebih cepat dewasa dari pada usianya.
Dimas terpana. Tidak menyangka adik iparnya yang masih berusia lima belas tahun itu mempunyai pikiran sedemikian matangnya.
"Saldi, Mas minta maaf. Tetapi Mas masih suami kakakmu. Jadi …."
"Apakah pantas seorang suami menceraikan istrinya yang sedang hamil besar?" Saldi menatap Dimas tajam. Nalurinya sebagai anak laki-laki satu-satunya di rumah muncul begitu saja saat melihat kakaknya dizhalimi sedemikian beratnya.
Dimas terdiam. Saldi benar. Pantaskah perbuatannya ini? Ragu itu kembali menggayuti. Namun melihat Sita dan Rindu di sampingnya, dia berusaha meyakinkan diri. Hidup bersama dengan Sita kembali, adalah prioritasnya kini.
"Langsung saja ke intinya, Mas." Sita malas berlama-lama berdebat dengan anak kecil.
"Nin. Aku tegaskan sekali lagi. Setelah kalian bercerai, Mas Dimas tidak akan ada jadwal untuk mengunjungi anakmu. Itu salah satu syarat yang kuberikan padanya, kalau dia ingin rujuk denganku. Dan Mas Dimas sudah menyetujuinya."
Saldi sudah akan bersuara lagi, andai Hanin tidak mencegahnya dengan menggeleng ke arah anak laki-laki berusia lima belas tahun itu.
Siswa kelas tiga SMP itu mendesah. Sakit hatinya melihat Kakaknya diperlakukan sedemikian rupa.
"Kenapa, Ta? Apa salah anak ini sehingga kau harus memberikan syarat itu?" Lembut Hanin berbicara. Wajah teduhnya terlihat lelah.
"Aku tidak mau kau menggoda Mas Dimas."
"Maksudmu?"
"Walaupun kemungkinannya sangat kecil, aku khawatir Mas Dimas akan termakan rayuanmu untuk rujuk kembali."
Wajah Dimas memerah. Jadi Sita tidak mempercayainya?
"Jadi selama ini kau menggoda Mas Dimas untuk rujuk?" Hanin tertawa kecil sambil menggelengkan kepala menatap Sita.
"Terserahlah apa anggapanmu, Nin. Intinya aku tidak mengizinkan dia menemui anakmu."
"Kau dengar, Kakakku bukan perempuan murahan sepertimu! Dia wanita yang sangat menjaga kehormatan dirinya. Suatu hal yang sangat mustahil, jika dia akan menggoda suami orang!" Saldi berkata sambil menunjuk wajah Sita yang memerah. Suaranya yang agak keras, memancing orang-orang sekitar sedikit menoleh pada mereka.
"Kita pulang, Kak!" Pelan Saldi menggandeng tangan Hanin untuk pergi.
Hanin mengucap syukur dalam hati. Andai tidak ada Saldi di sampingnya, bisa dipastikan dia akan kembali bersimbah air mata.
Sungguh. Semesta sangat amat baik kepadanya. Saat satu lelakinya pergi menorehkan luka, lelakinya yang lain datang membela sepenuh jiwa.
Sementara di satu sudut parkiran. Dimas pelan melepaskan gandengan Sita.
"Jadi, itu alasanmu melarangku, Ta?" Dimas menatap wanita cantik itu dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Aku hanya mencegah, Mas." Sita menunduk.
"Kau tahu hatiku hanya padamu, kan? Dengan begini kau melukai perasaanku. Kalau tidak bisa percaya, bagaimana caranya kita bisa membangun rumah tangga lagi, Ta?"
Dimas mendesah kecewa. Gontai langkahnya menuju mobil.
Sita terisak pelan.
'Kau bilang hatimu hanya padaku, Mas? Kau salah! Dari pancaran matamu aku bisa melihat ada cinta disana. Tatapanmu tadi, adalah tatapan rindu pada kekasih hati.' Pelan Sita berjalan. Wanita itu memaksakan senyum pada Rindu yang dengan riang melambai dari dalam mobil.
'Maaf, Mas. Aku hanya tidak ingin terluka untuk kedua kalinya. Cukup bagiku kehilangan dirimu satu kali. Itu sudah membuatku seperti tak mempunyai semangat hidup lagi. Kini saat aku bisa menggapaimu lagi, aku tidak akan melepaskanmu walau apa yang terjadi."
Hembusan angin menerbangkan rambut Sita. Membuat mahkotanya itu menjadi sedikit berantakan.
Sita tertawa saat melihat Rindu menggoyang-goyangkan kepala memanggilnya agar bergegas.
'Tidak peduli bagaimanapun itu. Aku dan anakku berhak bahagia. Kau bukan siapa-siapa di antara kami, Nin. Kau hanya kebetulan lewat sebentar, dalam kisah yang kami lakoni.'
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
