DUSTA LELAKI BERGELAR SUAMI BAB 1-10

0
0
Deskripsi

[TERSEDIA VERSI CETAK]
WA : 0858-1173-9832

Cerita ini tentang perebutan harta dan tahta dalam imperium bisnis keluarga dengan melibatkan orang terkaya nomor lima dalam negeri.

Sinopsis :

Elya, seorang wanita yg sangat dipuja oleh suaminya, harus menerima kenyataan pahit. Di usia pernikahan mereka yang ke sepuluh tahun, dia mengetahui kebohongan yang selama tujuh tahun ini disimpan dengan rapi oleh suaminya. Bangkai itu tersingkap, menguarkan bau anyir yang sangat amis.

Cinta Elya terlalu dalam. Hingga...

BAB 1

Brakk!

Pintu kamar dibanting dengan keras. Elya yang sedang duduk di meja rias menggunakan skincare malam melihat sekilas ke arah Bram, suaminya.

Lelaki itu terlihat kacau. Dia berjalan ke arah kasur, lalu membanting badannya hingga tidur terlentang dengan kedua tangan menutup wajah.

"Berapa harga skincare itu, El?" Bram menoleh dan menatap tajam pada Elya yang masih sibuk di meja rias. wanita itu mengoleskan entah krim apalah di wajahnya yang mulus terawat.

"Kenapa, Mas? Mau pesan? Paket gold atau platinum?" Elya tertawa sinis menanggapi pertanyaan suaminya.

Elya memperhatikan Bram dari pantulan di dalam cermin. Lelaki itu duduk kemudian melonggarkan dasi yang dipakainya. Sementara Elya tetap diam, meneruskan memakai serum dan dilanjutkan dengan krim malam.

"Kamu berubah, El!" Bram beranjak berdiri, berjalan menuju meja rias, kemudian memegang bahu Elya.

"Maksudnya?" Wanita cantik berusia tiga puluh tiga tahun itu mengangkat alis sambil menatap suaminya dari pantulan cermin.

"Kamu berubah! Mana Elya yang kukenal dulu? Yang lemah lembut? Elya yang penurut? Elya yang selalu menyambut suaminya saat pulang kerja?" Bram mengguncang pelan bahu Elya.

Elya melepaskan tangan Bram di bahunya. Dia berdiri dan membalikkan badan. elya menatap Bram tepat di matanya. Mata cemerlang itu berkedip dengan anggun. Siapapun yang menatap mata itu, akan terpesona karena keberanian dan ketegasan yang terlihat jelas dari cahaya matanya. Cahaya mata yang mengendalikan. Cahaya mata milik Elya.

"Sayang ..." Elya mendesah. dia membasahi bibirnya dengan lidah sambil tersenyum manis, kemudian memegang pipi Bram dengan kedua tangannya.

Elya berjinjit. Keningnya dan kening Bram beradu. Sebegitu dekatnya mereka, sampai Bram bahkan bisa merasakan hangat napas Elya di wajahnya.

Elya berbisik pelan. Sangat pelan. Bahkan desau angin pun kalah dengan pelannya suara Elya.

"Setelah semua kebohongan dan luka yang sengaja kau tuliskan dalam kisah rumah tangga kita, kamu masih berharap aku menjadi orang yang sama?" Elya tersenyum tipis.

"Tujuh tahun kau simpan rapi semuanya, Mas. Sayangnya, istrimu ini masih belum terlalu bodoh untuk terus larut dalam sandiwara yang kau ciptakan." Elya berkata lembut sambil menjauhkan wajahnya dari wajah Bram. Senyum manis itu tetap tersungging di wajah cantiknya.

Elya mengembuskan napas perlahan. Tangannya bergerak, berpindah dari wajah Bram menuju dada. Elya kemudian mengelus pelan dada itu. Dada yang selama sepuluh tahun pernikahan mereka, dia kira merupakan tempatnya bersandar. Dada bidang yang selalu menjadi pelabuhan, saat hatinya tengah di ombang-ambing lautan kesedihan.

Elya tertawa kecil. Ternyata semua hanya kebohongan belaka. Lelaki yang sangat dicintainya itu menyimpan rahasia yang membuat cintanya terkikis begitu saja. Bahkan melihat lelaki di hadapannya saat ini pun, sebenarnya dia sudah sangat jijik.

"Aku benar-benar minta maaf, El," ucap Bram sambil menggenggam tangan Elya di dadanya.

Elya tersenyum manis sambil melepaskan tangannya dari genggaman Bram.

"El … " Bram berusaha menangkap tangan Elya yang berjalan menjauhinya.

Elya melangkah anggun menuju kasur mereka. Kasur busa kualitas ekspor itu terlihat sangat mewah berpadu dengan seprai satin merah hati.

"Tadi kamu tanya harga skincareku, Mas? Tujuh belas juta satu paketnya. Kenapa?" Elya duduk di pinggir kasur, kakinya menyilang dengan kedua tangan ke belakang badan sebagai penopang.

Elya tersenyum manis. Senyuman itu tidak pernah hilang dari wajah cantiknya.

Bram mengacak rambut. Dia menghela napas kasar. Lelaki itu akhirnya mengikuti Elya duduk di samping kasur.

"El, harus berapa kali lagi Mas minta maaf? Mas benar-benar menyesal, El."  Bram menopang kepalan dengan kedua tangan yang bertumpu di paha.

"Kalau tidak ketahuan, Mas masih menyesal juga tidak?" Elya tertawa renyah sambil mengelus paha Bram lembut.

Bram memejamkan mata dengan tangan terkepal. Giginya bergemeletuk menahan amarah, sesal, kesal, sedih semua perasaan itu menjadi satu. Campur aduk. Sulit diterjemahkan. Yang pasti Bram hanya mengerti satu hal, dia sangat takut kehilangan Elya.

"Mulai bulan depan, kuhentikan semua jatah bulananmu! Kebutuhan dapur biar aku yang menyiapkan, tagihan-tagihan aku semua yang akan membayarkannya!" Bram akhirnya berbicara setelah terdiam agak lama.

Elya menautkan alis dan menarik napas panjang. Dia berusaha mengatur dentum di dadanya. wanita itu memejamkan mata. Dia harus tetap bisa mengendalikan diri. Dia harus bisa mengontrol emosi yang sebenarnya sudah di ubun-ubun. Ingin rasanya dia menampar dan meludahi laki-laki di hadapannya.

"Terus uang skincare, biaya ke salon, ke gym, sama uang arisan Mas juga yang atur?" Elya mengedipkan sebelah mata ke Bram. Centil.

Dulu Bram sangat menyukai jika Elya bersikap centil dan menggoda. Tapi kini, dia tahu Elya melakukan semua itu untuk mengejeknya.

Bram menghela napas. Ingin sekali rasanya dia mengecup kening wanita di sampingnya. Membawanya ke dalam pelukan. Melabuhkan semua rindu yang selama berbulan-bulan ini terabaikan.

Elya berubah seratus delapan puluh derajat setelah mengetahui semua. Wanita berwajah cantik, dengan kulit halus bak porselen itu tiba-tiba menjadi orang yang benar-benar berbeda dari yang selama ini dikenalnya.

"Tidak ada jatah untuk itu!" Bram berkata tegas. Dia menatap Elya tepat di matanya untuk mengetahui bagaimana tanggapan istrinya dengan keputusan itu.

Tadi sebelum pulang dari kantor, lama dia termenung. memikirkan bagaimana cara agar istrinya kembali seperti dulu. Bagaimana agar rumah tangga mereka kembali penuh kesenangan, kebahagiaan dan gairah.

"Kenapa?" Elya menautkan kedua alis. Bibirnya manyun menggemaskan. Rambut hitam bergelombang, dengan sedikit warna blonde di ujungnya menambah kecantikan Elya.

Bram terengah. Ingin rasanya dia menerkam wanita di sampingnya itu. Tapi dia harus menahan diri. Entah kejutan apa lagi yang akan dilakukan Elya jika dia memaksa.

"Kini kau sadar kan kau menggantungkan hidupmu padaku, El?" Bram meremas pahanya.

"Kau tetap bisa terlihat cantik dengan biaya perawatan yang tidak sedikit, tetap bisa tampil modis dengan biaya yang fantastis, tetap bisa berkumpul haha-hihi dengan teman-teman sosialitamu, karena siapa? Karena aku!" Bram menggertakkan gigi. Rahangnya mengeras.

"Itu sudah kewajibanmu sebagai suami." Elya berkata datar sambil memperhatikan kuku tangan. Sudah waktunya berganti warna dan corak. Dia mulai bosan dengan motif bunga anggrek bulan di kukunya.

"Sudah kupenuhi semua kebutuhanmu selama ini, El. Nafkah lahir kau kucukupkan, nafkah bathin kau tidak pernah kekurangan. Apalagi kurangku sebagai suami?!" Wajah tampan Bram memerah melihat istrinya yang bersikap jauh dari yang diharapkan.

Tadinya dia berpikir Elya akan memohon, berusaha merayunya, lalu Bram akan memberikan beberapa syarat agar tidak jadi melakukan aturan tersebut. Jauh panggang daripada api. Elya bukan berusaha melembutkan hatinya, wanita itu dengan enteng mengatakan itu semua sudah kewajibannya.

"Apa kurangmu sebagai suami?" Elya mengulangi pertanyaan Bram dengan lembut. Suaranya yang halus membuat siapa saja yang mendengarnya menjadi betah berlama-lama berbincang dengan Elya.

"Kau hanya kurang jujur, Mas…." Bibir basah Elya menyunggingkan senyum yang sangat manis.


BAB 2

Malam beranjak meninggi. Bulan purnama tanggal enam belas cemerlang di langit. Cahayanya hangat membasuh bumi.

Di luar mulai sepi, sudah tidak terdengar suara anak-anak yang ramai bermain. Hanya sesekali terdengar suara nyaring khas penjual kue putu, atau suara tukang nasi goreng berteriak sambil memukul piring dengan sendok yang menimbulkan suara berdenting.

Bram keluar dari kamar mandi. Lelaki itu segera mengenakan piyama tidur yang sudah disiapkan Elya, kemudian mengibaskan rambut, berusaha mengeringkannya.

Dulu, Elya akan langsung protes jika Bram melakukan itu. Bikin basah lantai, dinding, airnya bercipratan kemana-mana. Tapi sekarang, Elya hanya melirik sekilas, kemudian kembali sibuk dengan ponselnya.

Bram menarik napas. Tadi dia sengaja melakukan itu, memancing Elya. Tapi istrinya itu tidak bergeming. Entah kesibukan apa yang dia lakukan dengan ponselnya itu.

Bram berjalan cepat ke arah Elya. Dia merampas benda segi empat itu dan menyimpannya dalam saku piyama.

"Kembalikan!" Elya yang terkejut langsung berteriak.

Bram bergeming. Dia memilih berjalan keluar kamar menuju dapur. Dulu, Elya akan dengan senang hati menemaninya makan malam. Bertanya aktivitasnya di kantor hari ini. Menuangkan air minum, menyeka nasi yang menempel di ujung bibirnya, sesekali ikut makan dari piringnya. Ah … dia sangat merindukan masa itu.

Bram mengeluarkan ponsel Elya dari saku piyama. Berusaha membuka kunci ponsel Elya. Gagal. Sialan! Bram memaki dalam hati. Elya mengganti kuncinya.

Capcay di atas meja makan menggoda. Mengobati rasa dongkol Bram. Lelaki itu tersenyum, Elya memang pintar masak. Isterinya itu paket lengkap. Selain pandai menjaga penampilan, pandai melayani semua kebutuhannya, pandai juga memasak. Sempurna.

"Astaga!" Bram yang sedang memasukkan sesendok capcay ke dalam mulut tersedak. Wajahnya memerah. Dia segera meraih gelas air minum dan meneguknya cepat. Bram terbatuk, memukul-mukul dadanya. Beberapa saat kemudian dia bisa bernapas lega.

Elya yang berdiri di samping kursi menatap Bram tidak bersalah. Tadi dia langsung mengambil ponselnya yang tergeletak di dekat tangan Bram. Secepat kilat. Takut ditahan Bram lagi kalau dia telat mengambilnya.

"ELYA!" Bram berteriak saat Elya melenggang begitu saja menuju kamar tidur mereka.

Bram membanting sendok di tangannya. Isi piring berhamburan terkena hantaman sendok. Hilang sudah nafsu makannya. Perut yang tadi keroncongan mendadak kenyang.

Bram bergegas berdiri dan membuka pintu kamar kemudian langsung membantingnya dengan keras.

"APA MAUMU, EL?!" Bram menarik tangan Elya dan memaksanya menghadap ke arah dirinya.

Elya terjajar. Sejenak wajahnya pias. Bram tidak pernah kasar padanya. Ini pertama kali Bram berlaku kasar selama sepuluh tahun pernikahan mereka.

Hanya sejenak. Sedetik kemudian Elya sudah bisa menguasai keadaan. Wajahnya kembali tenang. Elya tahu, dia harus tenang jika ingin menang.

Mungkin tadi dia sudah keterlaluan, sehingga emosi Bram tersulut.

"Kenapa, Mas?" Elya berkata lembut sambil membenarkan posisinya berdiri.

"Sssttt … Jangan teriak-teriak ah. Malu, nanti ada tetangga yang dengar." Elya tersenyum manis sambil membenarkan posisi rambutnya yang agak sedikit berantakan karena tadi hampir jatuh ditarik Bram.

"Kenapa kamu seperti ini, El?" Bram menatap Elya frustasi. Dia benar-benar pusing dengan tingkah isterinya.

"Seperti ini bagaimana?" Elya pura-pura bodoh. Dalam hati dia bersorak gembira melihat sinar kelelahan di mata suaminya.

“Kau kira aku sudi menjadi tamengmu seumur hidup? Nikmatilah! Nikmati semua sakit yang sengaja kau goreskan di relung terdalam perasaanku, Mas.” Batin Elya bergejolak. Ingin rasanya dia mencakar muka laki-laki bergelar suami di hadapannya.

Lelaki yang telah mencabut habis semua perasaannya. Lelaki pengecut, yang rela menggadaikan perasan isterinya, agar terhindar dari setiap cerca. Lelaki kerdil, yang rela membuat istrinya menderita, agar mendapatkan tameng untuk menghindari setiap kotoran yang dilemparkan ke wajahnya.

"El … aku minta maaf." Bram memegang kedua tangan Elya.

Dia lelah dengan semua sikap Elya. Wanita itu memang masih melayaninya dengan baik. Menyiapkan semua keperluannya, mencuci, memasak, merapikan rumah. Elya memang tidak ingin dibantu asisten rumah tangga. Dia lebih suka mengerjakan semua sendiri. Elya bahkan masih melayani kebutuhan batinnya. Istrinya itu tidak pernah menolak saat dia meminta.

Tapi semua itu hanya kepalsuan. Elya tidak tulus melayaninya, dan wanita itu benar-benar menunjukkan dia melakukan itu hanya karena kewajibannya sebagai seorang isteri. Dibalik sikap manisnya, Elya sengaja menunjukkan pada Bram, dia melakukan semua itu dengan terpaksa.

Elya melepaskan genggaman tangan Bram. Dia melingkarkan tangan Bram di pinggangnya. Elya membenamkan kepalanya dalam dada bidang Bram. Mendongak, menatap mata Bram.

"Apa kau juga akan meminta maaf, andai aku tidak menemukan rahasia terbesarmu itu, Mas?" Elya menggerakkan jari telunjuk kanannya. Melukis lambang tanda cinta di dada sebelah kanan Bram, sambil kepalanya tetap bersandar di dada suaminya itu.

"Aku benar-benar menyesal, El." Bram mengelus rambut Elya perlahan. Wangi rambut itu masih sama. Aroma yang sangat disukainya.

Elya tertawa kecil, membuat Bram sedikit melonggarkan pelukannya. dia menatap mata Elya. Mata yang membuatnya jatuh hati, karena keindahannya. Ah … apa yang tidak indah dari seorang Elya? Isterinya itu nyaris sempurna sebagai seorang wanita.

"Menyesal untuk apa?" Elya tersenyum sambil memegang pipi suaminya. dia mengelusnya perlahan, merasakan bulu-bulu tajam yang baru tumbuh di sekitarnya.

"Aku menyesal menyembunyikan semua itu, El." Suara Bram tercekat.

Elya menggeleng. Senyum itu semakin lebar.

"El …."

"Ssssssttt, kau bukan menyesal, Mas. Kau hanya ketahuan." Elya memotong ucapan Bram. Senyum itu masih menghiasi wajah cantiknya.

"Andai aku tidak tahu, aku yakin seratus persen, sampai saat ini pun kamu akan tetap mengubur semua kebenaran itu kan, Sayang?" Elya menatap Bram yang terlihat kikuk. Dia melepaskan pelukan mereka perlahan.

"Aku ngantuk, Mas, tidur yuk?" Elya mengecup pipi Bram dan menggandeng tangan suaminya itu menuju kasur tempat peraduan mereka. Hal yang dulu biasa dia lakukan. Tapi entah kenapa, kini saat Elya melakukannya, Bram merasa tersiksa. Dia tahu, Elya melakukan itu semua untuk menghukumnya.

Elya sengaja bersikap seperti itu, untuk menyiksa perasaan Bram. Tidak ada gunanya marah dan mengamuk membabi buta, hanya akan membuat lelaki itu senang karena telah berhasil membohonginya. Berhasil membuatnya terlihat bodoh selama tujuh tahun pernikahan mereka.

Dia ingin lelaki itu mati perlahan karena telah membohonginya selama bertahun-tahun. Dia ingin lelaki itu mati tersiksa perasaannya sendiri karena telah menyiksanya selama ini. Dia ingin lelaki itu tenggelam, dalam lubang yang telah dia gali dengan kedua tangannya sendiri.

"Apa maumu, El?" Bram duduk di pinggir ranjang. Dia menatap Elya menghiba. Suaranya terdengar putus asa.

Elya menarik selimut bulu tebal yang berwarna senada dengan sprei kasur. Merah hati. Membuat kulitnya yang putih terlihat sangat kontras.

"Ceraikan aku, Mas!" Elya menatap Bram tajam.

Bram menggertakkan giginya. Lelaki itu menggeleng tegas. Dia tidak ingin kehilangan Elya sampai kapan pun.

Elya tersenyum. Dia tahu Bram tidak akan melepaskannya. Tidak akan semudah itu.

“Baiklah, maka nikmatilah rasanya tersiksa karena manisnya cinta yang kusuguhkan. Kau akan mati perlahan karena mabuk kepayang, seperti semut yang mati, karena tenggelam dalam manisnya lautan gula.” Batin Elya terus berbisik.

Elya mengecup pipi Bram sekali lagi. Dia merebahkan diri dengan nyaman, kemudian dengan anggun menarik selimut bulu merah hati, menutupi semua tubuhnya.

Elya tersenyum manis pada Bram yang menatapnya dengan tatapan yang entahlah.

"Selamat malam, Mas …."


BAB 3

"Ck!" Elya berdecak sebal saat mengecek notifikasi di ponselnya. Nihil.

"Awas kau, Mas! Dasar lelaki sialan!" Maki Elya sambil membanting tubuhnya ke atas sofa mewah di ruang tengah.

Bram benar-benar melakukan apa yang dikatakannya beberapa minggu lalu. Tidak ada lagi jatah bulanan untuk Elya. Biasanya, jam sepuluh pagi sudah ada notifikasi transfer masuk dengan jumlah yang cukup fantastis dari Bram. Tapi ini sudah jam tiga sore belum juga ada notifikasi. Belum ada atau tidak akan ada?

Elya mendengus sebal.

“Kau kira aku akan bersimpuh mengemis harta padamu, Mas? Tidak akan!”

“Baiklah. Kuikuti permainanmu. Kita lihat, seberapa kuat kau bertahan mengikatku, Mas. Akan kubuat kau berada dalam dua pilihan, melepaskan atau tersiksa selamanya.”

Elya beranjak berdiri dan berjalan menuju dapur. Jadwalnya memasak. Dia memang selalu memasak untuk makan malam sekitar jam tiga sore agar masih punya banyak waktu untuk mandi dan merapikan diri sebelum suaminya pulang.

Air mata Elya tiba-tiba mengalir begitu saja. Wanita itu terisak. Kakinya lemas. Dia terduduk di lantai. Pisau yang digunakannya untuk memotong bawang terjatuh.

Kelebatan bayangan itu kembali menari. Dihina, dicaci, direndahkan oleh saudara suaminya. Selama ini dia masih bisa bertahan karena ada Bram yang selalu menguatkannya. Ada Bram yang menerima semua kekurangannya. Ada Bram yang selalu berbisik, dia sangat mencintainya. Ada Bram yang selalu mengatakan, dia tidak akan pernah meninggalkannya.

Ternyata semua itu dusta. Tangisan Elya bertambah keras. Terdengar sangat menusuk jiwa. Dia memukul-mukul dada untuk mengurangi rasa sakit di hatinya.

Sekuat apapun dia berusaha mengacuhkan Bram. Setegar apapun dia berusaha terlihat. Dia tetap wanita biasa. Seorang istri yang sangat mencintai suaminya. Seorang istri yang berharap bisa menua bersama.

Perasaannya pada Bram terlalu dalam, sehingga saat lelaki itu ternyata menyimpan dusta, dia jatuh sesakit-sakitnya.

Perasaan cinta itu berubah menjadi benci, perasaan sayang itu berubah menjadi murka. Cintanya tercabut. Nuraninya terluka. Tiada sehari pun hatinya berhenti berdarah, sejak detik dia mengetahui Bram adalah seorang pendusta.

Dua minggu Elya menghilang. Dia butuh berpikir jernih sebelum memutuskan. Bram kelabakan, seperti orang gila dia mencari Elya. Saat Bram sudah putus asa, Elya akhirnya pulang. Hanya raganya, tidak dengan hatinya.

Bram bersimpuh memeluk kaki Elya saat wanita itu menatapnya dingin. Mulutnya terkunci. Tidak ada celah baginya memberikan pembelaan apapun atas semua perkataan Elya.

Elya tahu Bram tidak akan melepaskannya. Tidak masalah. Dia akan membuat lelaki itu tersiksa dengan caranya.

Elya menghapus air mata saat kenangan itu kembali berputar. Sempurna dibentangkan di depan matanya.

Hatinya telah mati, tapi perasaan kecewa itu tak bisa hilang begitu saja.

Wanita itu mengambil pisau yang terjatuh dan melanjutkan mengiris daun bawang. Sesekali dia menyeka air mata yang masih enggan berhenti mengalir.

Sungguh, ada masa di masa lalu, dia berharap bisa menua bersama Bram.

***

"Mau kemana, El?" Bram menyapa Elya yang sedang sibuk memakai make up di meja rias.

Dia meletakkan tas kerja dan sepatu pada tempatnya. Dulu, Elya dengan senang hati menyambutnya di depan pintu. Mengambil tas yang dibawa Bram, melepaskan sepatu, kemudian menggandeng tangan Bram menuju kamar untuk beristirahat sejenak, sebelum mandi dengan air hangat yang telah disiapkannya.

Ah... Bram benar-benar merindukan masa itu.

"El?" Bram bertanya lagi saat Elya bergeming.

"Keluar sebentar." Elya menjawab singkat. Tangannya sibuk mengoleskan lipstik berwarna peach di bibirnya.

Cantik. Siapapun yang melihat penampilan Elya pasti langsung setuju dengan kata itu. Tidak ada deskripsi lain yang bisa menggambarkan penampilan seorang Elya Khanza Haryadi, kecuali cantik.

Atasan semi formal hijau tua, dipadukan dengan celana span berwarna senada membuat penampilan Elya terlihat anggun. Ikat pinggang kecil dengan merk ternama melengkapi penampilannya. Manis, dan terlihat sangat berkelas.

Selera fashion yang tidak perlu diragukan lagi. Menggambarkan level si empunya.

"Kemana?" Rahang Bram mengeras. Dia berusaha meredam emosi yang tiba-tiba terasa bergejolak.

Elya tidak menanggapi pertanyaan Bram. Dia sibuk memasukkan benda-benda ke dalam tasnya, kemudian mengambil map yang entah berisi dokumen apa.

"Aku tidak mengizinkanmu pergi, El!" Bram berdiri. Menahan pintu saat Elya berusaha membukanya.

"Aku tidak membutuhkan izinmu untuk pergi, Mas." Elya tersenyum tenang menghadapi emosi Bram yang berkobar.

"Kau masih istriku, Elya!" Wajah Bram memerah.

"Kapan kau akan menceraikanku agar aku bukan lagi istrimu?" Elya bertanya lembut. Tangannya anggun menyibak rambutnya yang tergerai.

Bram mendengus.

"Kemana?!" Bram kembali bertanya.

"Apanya?" Elya mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Sejenak mengecek notifikasi.

"Kamu mau keluar kemana, El?" Bram akhirnya melembut. Dia lelah.

"Ketemu salah seorang teman, masalah kerjaan." Elya bersorak dalam hati melihat wajah lelah Bram.

“Menyerahlah, Mas! Lepaskan aku.” Batin Elya berbisik. Dia tersenyum menatap Bram yang masih menghalangi pintu.

"Kerjaan?" Mata Bram memicing.

Elya mengangguk. Matanya berkedip-kedip menggemaskan. Bram mendesah. Dulu, Elya sering melakukan itu untuk membujuknya kalau sedang menginginkan sesuatu. Namun, kini Elya jelas sedang mengejeknya.

"Sejak kapan kamu kerja?" Bram berusaha menahan diri. Dia tahu, semakin dia marah semakin Elya menjadi.

"Belum, baru mau, Mas. Sayang kan ijazah S2 ku ini dianggurin saja. Berdebu di sudut lemari. Lama-lama dimakan rayap nanti." Elya tertawa kecil sambil mengangkat map yang dipegangnya. Dia menggoyang-goyangkan map itu di depan Bram.

Sebelum menikah Elya bekerja di salah satu perusahaan minyak milik asing. Dia dan Bram sering bertemu sebagai mediator antara perusahaan tempatnya bekerja dan perusahaan Bram.

Hati Bram terpanah. Elya, bintang terang di perusahaan minyak itu mencuri hatinya.

Seiring waktu rasa itu mulai berkecambah, makin lama makin subur. Seperti pohon yang dirawat dengan baik, disiram, dipupuk. Pohon itu akhirnya berbuah. Mereka memutuskan menikah.

Bram meminta Elya resign, agar fokus pada keluarga kecil mereka. Elya menyanggupi, dengan syarat Bram harus memberi jatah bulanan sebesar gaji yang diterimanya, diluar kebutuhan rumah tangga. Tidak masalah. Bram, anak sulung sekaligus cucu pertama di keluarga Harimurti, adalah penerus estafet perusahaan keluarga. Uang bukan halangan.

Sayang, sampai tahun kesepuluh pernikahan mereka, belum ada buah hati yang meramaikan hari-hari yang mereka lalui. Membuat kesempurnaan Elya sebagai seorang istri dan sebagai seorang wanita tercoreng. Tak ada gading yang tak retak, ucapan yang selalu digaungkan keluarga Bram.

Sampai akhirnya beberapa bulan lalu, Elya menemukan rahasia besar suaminya. Kebenaran yang selama ini ditutupi Bram. Dusta besar yang disimpannya dengan rapi. Dusta dari seorang lelaki yang bergelar suami.

Elya meradang. Hatinya terkoyak. Rasa cinta itu dalam sekejap berubah menjadi murka. Elya memutuskan bangkit, memutuskan membalas Bram dengan cara yang paling menyakitkan.

"Aku butuh uang, Mas. Untuk membeli skincare, perawatan ke salon, berkumpul haha-hihi dengan teman-teman sosialitaku." Elya mengedikkan bahu, mengembalikan ucapan Bram beberapa waktu lalu.

Elya maju beberapa langkah, membuat dia dan Bram hanya berjarak beberapa senti saja. Dekat. Sangat dekat.

"Kau tidak mau memberi, aku bisa mencari uang sendiri. Walaupun itu kewajibanmu, tak masalah, Mas, aku mampu menghidupi diriku sendiri." Elya berkata lembut sambil menatap mata Bram.

Tangan Elya bergerak mengelus dada suaminya itu. Elya maju selangkah lagi, membuat mereka tidak berjarak.

"Minggirlah, Mas. Biarkan aku pergi, jika kau sudah tak mampu menafkahiku lagi." Elya berbisik tepat di telinga Bram, meruntuhkan harga dirinya sebagai seorang suami.

Bram mematung. Elya dengan anggun membuka pintu. Dia memberikan senyum termanis pada Bram, sebelum akhirnya berbalik sambil melambaikan tangan.

"ELYAAAAAA…" Bram berteriak. Tinjunya berdebam mengenai dinding. Berdarah. Tangan itu berdarah.

Bram terduduk. Tangannya berdenyut, tetapi dia tahu, sakit yang dirasakannya, tidak sebanding dengan sakit di hati Elya.

Dia benar-benar bodoh. Dia lupa siapa istrinya karena terbuai dengan sikap lembutnya selama ini. Istri yang penurut, istri yang selalu melayani suami dengan baik.

Elya. Wanita dengan segala kesempurnaannya itu, kini bagai macan tidur yang dibangunkan.

Bram mendesah. Bahkan jika harus menukarnya dengan nyawa, Bram lebih memilih mati dari pada kehilangan seorang Elya. Dia tidak akan melepaskannya sampai kapanpun!


BAB 4

Hujan gerimis mengiringi langkah Elya. Dia masuk ke kafe dengan sedikit berlari-lari kecil. wanita itu ada janji temu dengan seorang kawan lama.

[El, aku terjebak macet. Mungkin sekitar setengah jam lagi aku sampai disana.]

Elya mengangguk membaca chat dari temannya. Tidak masalah. Dia juga tidak terburu-buru. Cukup sudah selama ini dia menjadi burung di dalam sangkar emas Bram. Kepak sayapnya harus kembali dilatih agar bisa terbang dengan sempurna lagi.

dia memilih duduk di kursi paling pojok. dari sana, Elya bisa dengan jelas melihat tetes air di dinding kaca. Bulir-bulir air yang menempel perlahan jatuh, membentuk aliran garis lurus. Hingga akhirnya berkumpul menjadi satu, membentuk genangan di bawah dinding kaca.

Dingin.

Hujan menderas. Seperti waktu itu. Hatinya hancur saat Ranti, adik iparnya, menghancurkan harga dirinya sebagai seorang istri.

Elya termenung. Kilatan masa lalu datang menghampiri. Maka biarlah. Biarlah kenangan itu kembali. Biarlah dia dengan suka rela mengingat lagi semua memori, bersama hujan sore ini.

"Kakak sudah coba cek ke dokter kandungan?"

Elya hampir tersedak mendapat pertanyaan tiba-tiba dari Ranti, adik iparnya. Dia segera mengambil gelas air minum untuk menetralisir dentum di dadanya.

Hari itu acara rutinan keluarga Harimurti. Makan malam bersama setiap satu bulan sekali. Bram anak sulung dari tiga bersaudara. Semuanya terpaut umur yang tidak terlalu jauh, hanya berjarak dua tahun. Untuk membuat keluarga tetap intens berhubungan, Papa Lin dan Mama Vania —orang tua Bram– membuat acara rutinan itu.

Kedua saudara Bram sudah menikah. Ranti, adik Bram yang nomor dua, menikah dengan pengusaha kilang minyak dari Malaysia. Dia tinggal ikut suaminya di sana. Setiap bulan dia dan suaminya akan kembali ke Indonesia. Dua anak kembarnya dibawa serta, menambah ramai suasana.

Adik bungsu Bram, Lira, baru saja menikah tiga bulan lalu, saat ini sedang mengandung dua bulan.

"Belum, Ran. Masmu setiap Kakak ajak selalu ada saja alasannya. Ya capek lah, ya sibuk lah …."

"Kakak periksa saja dulu sendiri." Ranti memotong ucapan Elya.

"Sudah hampir tiga tahun kan?" sambungnya.

Elya mengangguk sambil tersenyum tipis. Diletakkannya sendok dan garpu perlahan. Selera makannya hilang sudah. Ranti melirik piring Elya sekilas, kemudian kembali sibuk dengan piringnya.

"Keluarga kami itu keluarga subur, Kak. Buktinya aku setelah menikah langsung hamil, kembar pula. Lira juga baru menikah tiga bulan lalu langsung hamil …."

"Ran, makanlah!" Bram menatap adiknya.

"Ya wajar saja Mas Bram tidak mau periksa, buat apa? Toh yang bermasalah pasti Kak Elya. Makanya aku bilang, coba Kakak periksa saja sendiri dulu. Biar ketahuan yang bikin mandulnya dimana …."

"Ranti!" Mama Vania menatap anaknya tajam.

"Loh kenapa, Ma? Memangnya Mama tidak malu setiap acara kumpul keluarga selalu ditanyain cucu dari Mas Bram mana?"

"Honey, enough! Ayo makan saja." Frans, suami Ranti memegang tangan Ranti.

"Kak Ranti benar, Ma. Mas Bram itu cucu pertama, wajar kalau Tante dan Om selalu bertanya. Tentu mereka berharap Mas Bram segera dikaruniai keturunan, agar bisa menerima estafet perusahaan keluarga." Lira menyahut omongan Ranti, kakaknya.

"Sudah, sudah." Mama Vania menatap tajam dua anak perempuannya.

"Elya, tambah lagi makannya. Ini Mama sengaja masakin menu kesukaan Elya loh." Mama Vania tersenyum sambil meletakkan sepotong ayam rica-rica ke dalam piring Elya.

"Terima kasih, Ma." Elya tersenyum santai makan tanpa mempedulikan tatapan dari kedua adik iparnya.

Ranti dan Lira memang selalu iri dengan Elya. Mereka selalu menghasut keluarga lain agar membenci Elya. Beberapa mulai sering menyindir secara halus, beberapa lagi tidak ambil pusing.

Siapa pula yang tidak menyukai Elya? Cantik dan berpendidikan, mempunyai attitude yang baik, pandai mengambil hati orang, hampir sempurna andai dia mempunyai keturunan. Hal yang selalu menjadi senjata bagi Ranti dan Lira untuk mengganggu Elya.

Elya mempunyai pribadi yang periang, sehingga membuat siapa saja yang berada didekatnya akan merasa senang. Prinsipnya, selama Bram masih memberinya limpahan cinta tanpa henti, selama mertuanya masih memperlakukan dia dengan baik seperti anak sendiri, masa bodoh dengan mulut-mulut busuk dan suara sumbang di luar sana.

"Periksa ke dokter, Kak, sebelum semakin tua. Keburu menopause nanti." Lira dan Ranti terkikik.

"Lira! Kamu ini, lagi hamil jangan ngomong yang aneh-aneh." Papa Lin  menegur Lira.

Elya sudah menulikan telinga. Walaupun Ranti dan Lira sering menyindirnya, namun setiap kali terjadi Elya tetap tidak bisa berdamai dengan hatinya. Benda kecil itu terus saja terasa seperti sedang di iris-iris dan ditaburi garam. Sakit. Perih.

Di luar dia terlihat acuh dan masa bodoh, tapi hatinya menangis. Siapa yang tidak menginginkan keturunan? Bukankah salah satu tujuan menikah adalah mempunyai keturunan?

Tapi pantang baginya bercucuran air mata di depan orang yang menyakitinya. Cukuplah dia menangis di pelukan Bram setiap malamnya.

Seminggu setelah acara rutinan keluarga, Elya dan Bram memutuskan mendatangi dokter kandungan untuk memeriksakan diri. lelaki itu akhirnya menuruti perkataan istrinya.

"Bagaimana hasilnya, Mas?" Elya langsung bertanya begitu menyambut Bram di pintu depan.

Bram menatap mata Elya. Dia membawa wanita itu ke dalam pelukannya. Bram memeluk Elya sangat erat. Setelah itu menciumi kepala istrinya bertubi-tubi.

Lelaki itu menangis.

Bram menangis.

Elya terkejut. Dia segera mengurai keintiman di antara mereka.

"Ada apa, Mas?" Elya memegang pipi Bram dengan kedua tangannya.

"El …." Bram kembali tergugu.

Ada apa? Bram tidak pernah menangis. Selama tiga tahun pernikahan mereka, Elya hanya melihat Bram menangis sekali, yaitu saat akad nikah mereka.

"Elya dengar, bagaimanapun keadaanmu, aku akan selalu mencintai dan mempertahankan rumah tangga kita." Bram menatap Elya dalam-dalam.

Elya tergugu. Hancur harapannya segera memiliki keturunan. Ada apa dengan rahimnya? Ada apa?

Selama ini dia merasa semua baik-baik saja. Tamu bulanannya selalu hadir tepat waktu. Dia juga tidak merasa sakit  atau nyeri yang berlebihan saat datang bulan. Apa yang salah?

Mereka tidak pernah membahas apapun lagi tentang hasil pemeriksaan setelah malam itu. Ada sesekali terbersit di hati Elya ingin melihat langsung hasil pemeriksaan, namun Bram selalu menjawab hasilnya di kirim ke email kantor, dan email kantor tidak bisa dibuka di luar area kantor.

Elya menulikan telinga dari semua sindiran keluarga Bram, baik secara langsung maupun tidak langsung. Baik sindiran secara halus, maupun sindiran secara kasar.

Elya membatukan hati.

Dia cantik, berpendidikan, dan dari keluarga terhormat. Bukan salahnya jika Yang Di Atas belum berkenan menitipkan janin di rahimnya.

Bram selalu menguatkannya saat hatinya sudah mulai rapuh. Suaminya itu selalu menjadi pembela saat dirinya disindir untuk kesekian kalinya. Lelaki itu menjadi sosok suami yang benar-benar sempurna di hadapan keluarga besar Harimurti.

Bram suami yang sempurna. Tampan, mapan dan mempunyai cinta tiada bandingan. Dia menghujani Elya dengan limpahan materi dan kasih sayang.

Hidup Elya sempurna sebagai seorang istri yang sangat dipuja suami.

Sampai suatu hari, tepat tujuh tahun hari ini.

Tabir itu tersingkap.

Bangkai busuk yang selama ini disembunyikan dengan rapi oleh suaminya, menguarkan bau anyir yang membuat Elya mual semual-mualnya.

Dalam sedetik, cinta itu berubah menjadi murka.

Kesadaran itu tiba-tiba datang, betapa selama ini Bram telah membodohinya. Mungkin saja lelaki itu sering tertawa, melihat dirinya semakin tenggelam dalam buaian cinta palsu.

Cinta itu tidak nyata. Cinta Bram hanya sebagai pemanis saja. Bram menipunya, dan bodohnya, dia percaya. Dia terlanjur percaya pada lelaki yang terlihat begitu memujanya.

"Bramantyo Harimurti. Akan ku pastikan kau menyesal hidup, karena pernah mengenalku!"

BAB 5

Suara hujan yang semakin deras menarik kesadaran Elya dari kenangan masa lalu. Wanita itu menghela napas untuk yang kesekian kalinya.

Pramusaji datang mengantarkan teh melati hangat kesukaannya. Elya tersenyum dan mengangguk sopan, berterima kasih pada pramusaji.

Dingin. Hujan membuat suasana menjadi dingin. Sama seperti sore itu. Sore hari beberapa bulan lalu.

Elya yang bosan di rumah, akhirnya memutuskan mengunjungi Bram ke kantornya. Sayang, suaminya itu sedang ada meeting di luar. Elya akhirnya memutuskan menunggu Bram di ruangannya, malas juga dia nyetir hujan-hujan.

"Sudah lama Pak Bram keluar, Rim?" Elya bertanya pada sekretaris Bram yang mengantarkan minuman untuknya.

"Sudah dari makan siang tadi, Bu." Rima menjawab sopan sambil meletakkan minuman di depan Elya, di meja tamu ruang kerja Bram.

"Ibu Elya tambah cantik saja." Rima mengedipkan mata.

"Loh? Ya harus tambah cantik dong, Rim. Kalo tambah muda kan tidak mungkin toh." Elya dan Rima tertawa renyah.

Elya lumayan sering berkunjung, sehingga cukup akrab dengan karyawan di kantor Bram.

"Saya tinggal ya, Bu." Rima pamit. Elya mengangguk sambil menyesap minumannya.

Elya yang bosan akhirnya memutuskan menatap hujan. Dia berjalan ke arah jendela kaca besar di belakang meja kerja Bram.

Kota itu terlihat indah dibungkus hujan. Gedung-gedung pencakar langit terlihat menjulang gagah.

Lampu mobil berpendar, membentuk tarian cahaya.

Erya membalikkan badan. Bosan menatap hujan.

Saat itulah. Entah lupa atau memang sudah ditakdirkan oleh Sang Pencipta. Mata Elya langsung tertuju pada layar monitor laptop Bram.

Pelan Elya melangkah. Seperti ada yang menuntunnya, untuk membuka bagian arsip dari email yang terpampang. Ada dua file. File pertama atas nama dirinya dan file kedua atas nama Bram. Tertanggal tujuh tahun lalu, tepat tiga tahun umur pernikahan mereka. Itu saat mereka akhirnya memutuskan untuk konsultasi ke dokter kandungan.

HASIL PEMERIKSAAN NY. ELYA KHANZA HARYADI.

HASIL PEMERIKSAAN TN. BRAMANTYO HARIMURTI.

Gemetar Elya mengklik hasil pemeriksaan atas nama dirinya. Dengan hati berdebar dia membaca satu persatu hasil yang tertulis. Keningnya bertaut. Napasnya tertahan. Semua hasil pemeriksaan sesuai dengan nilai kontrol. Artinya dirinya normal, rahimnya baik-baik saja. Lalu? Apa maksud Bram?

Lelaki itu memang tidak pernah secara gamblang mengatakan Elya yang bermasalah. Namun, secara tersirat, dia seakan mengatakan ada yang salah dengan kesuburannya. Pun dengan keluarga besar Harimurti. Bram secara terang-terangan menunjukkan seakan ada yang salah dengan rahimnya.

Berkali Bram mengatakan menerima segala kelebihan dan kekurangan Elya setiap ada yang menyinggung masalah keturunan. Awalnya Elya merasa tenang, karena Bram sangat memujanya.

Namun, ini apa? Apa maksudnya? Bukankah dari hasil ini diketahui dia baik-baik saja?

Elya menarik napas panjang untuk menetralisir dentum di dada. Perlahan dia duduk di kursi kerja Bram. Elya menutup wajah dengan kedua tangannya. Lama dia terpekur. Kepalanya pusing. Semua praduga berlarian di otaknya. Elya bukan sembarang wanita. Dia lulusan S2 dari perguruan tinggi ternama dengan predikat cumlaude.

Setelah cukup lama berdiam diri, tenggelam dalam pikiran dan praduganya sendiri, Elya dengan tangan yang semakin gemetar dan berkeringat mengklik hasil pemeriksaan Bram.

AZOOSPERMIA NON-OBSTRUKTIF.

Kepala Elya pening. Napasnya naik turun dengan cepat. Bergegas dia berlari menuju kursi tamu. Tas kulit ekspor berwarna navy itu diraihnya. Tergesa dia mencari ponsel. Elya segera memencet tombol panggil pada nomor telepon dokter Lucky.

Masih sangat jelas di ingatan Elya, sore itu dia hancur sehancur-hancurnya. Suami yang sangat dia cintai ternyata pendusta.

Bram, lelaki yang selalu membelanya, yang dia kira lelaki sempurna. Ternyata hanya lelaki berjiwa kerdil. Lelaki pengecut yang tega menjadikannya tameng, agar terlihat tanpa cela.

"Azoospermia adalah kondisi air mani pria tidak mengandung sperma sama sekali. Atau dikenal dengan kondisi kandungan sperma nol.

Ada dua jenis azoospermia, yaitu obstruktif dan non-obstruktif. Tipe obstruktif artinya testis sebenarnya memproduksi sperma, tetapi tersumbat dan tidak dapat dikeluarkan. Sementara, pada tipe non-obstruktif, testis memang tidak memproduksi sperma sama sekali."

Penjelasan dokter Lucky terngiang-ngiang di telinga Elya. Hasil pemeriksaan Bram Azoospermia non-obstruktif, atau kata lainnya mandul.

Elya terisak. Dadanya sesak. Terbayang semua sikap manis Bram selama ini. Ternyata semua hanya dusta.

Bram bukan takut kehilangan Elya karena terlalu cinta, tapi dia takut jika Elya akhirnya menikah lagi, Elya akan memiliki keturunan, semua tudingan dan hinaan itu akan beralih kepadanya.

Bram benar-benar telah membodohinya selama bertahun-tahun, dia memperalat Elya untuk menutupi aibnya sendiri. Dia tega menyiksa batin Elya, agar terhindar dari segala cerca.

Elya tergugu. Akhirnya dia mengerti mengapa Bram selalu menolak saat dia mengajak untuk mengikuti program hamil, mengajak untuk mencoba bayi tabung, uang bukan masalah, mereka dikaruniai materi berlimpah.

Bram selalu beralasan dia menerima Elya apa adanya. Dia tidak ingin jika program gagal, maka Elya akan semakin dicela keluarganya. Elya terbujuk, tenggelam dalam lautan cinta Bram yang ternyata hanya tipuan semata.

Bram tidak ingin ketahuan dia yang bermasalah. Jika sampai berita dia mandul diketahui keluarga besar Harimurti, maka tonggak estafet perusahaan akan diambil darinya. Itulah yang ditakutinya. Bukan karena akan kehilangan Elya, tapi akan kehilangan sumber kekayaannya.

Tujuh tahun tersimpan rapi. Tapi semua selesai kini. Tepat sepuluh tahun pernikahan mereka, dusta itu terbuka.

Elya memilih pergi, untuk menenangkan diri.

Bram yang menyadari Elya telah mengetahui semua rahasia, kalang kabut mencari Elya seperti orang gila.

Dering ponsel menyadarkan Elya dari lamunan. Elya melambaikan tangan pada wanita berwajah keturunan yang sedang berdiri memperhatikan sekitar. Saat melihat Elya, wajahnya langsung menampilkan senyum yang sangat lebar.

"Eliiiiin…" Elya berseru sambil merentangkan tangan.

"Elyaaaa…" Elin, nama wanita itu.dia berlari kecil menyambut pelukan Elya.

"Tambah cantik saja, Bu." Elin menoel pipi Elya.

Elya tertawa renyah.

"Bagaimana?" Elin bertanya setelah basa-basi singkat denga Elya.

"Kau selalu to the point, Lin." Elya tertawa kecil.

"Hei, Bu. Saya bekerja, beda dengan Anda." Elin menyikut pelan siku Elya yang duduk disampingnya.

"Ini, semua sudah kusiapkan di dalam map ini." Elya menyerahkan map yang tadi dibawanya.

"El … Bram sudah tahu?" Elin bertanya ragu.

Elya menggeleng. Elin mengangguk maklum.

Dia sengaja melakukan semuanya tanpa sepengetahuan Bram. Sakit yang dia rasa selama ini akan dia balas dengan lunas. Tunggu saja, Bram. Nikmatilah, nikmati cerita cinta yang sudah kau coreng sekian lama.

Batin Elya bergejolak. Benci itu menggebu. Hitam berjelaga, memenuhi seluruh ruang hatinya.

"Ikatan suci pernikahan, kau jadikan permainan. Bukan sehidup semati tujuanmu, tapi harta benda yang membuatmu menahanku.

Kau salah Bram, sepuluh tahun hidup bersama, kau ternyata tidak mengenali seorang Elya.

Maka, biar ku tunjukkan. Aku dengan senang hati akan memperkenalkan padamu, siapa istrimu ini. Siapa itu Elya Khanza Haryadi."


BAB 6

Dress casual panjang berbahan sifon warna peach itu melekat sempurna membalut tubuh Elya. Dilengkapi dengan sepatu berhak tinggi tujuh senti, menambah anggun penampilannya.

Cantik.

Semua sepakat dengan kata itu, saat memandang Elya.

Rambutnya yang panjang terurai, meliuk-liuk mengikuti derap langkahnya.

"Elya … " Elya tersenyum, menghampiri Mama Vania yang memanggilnya.

"Kok acaranya mendadak sih, Ma?" Elya mengambil tempat duduk di samping Mama Vania. Berbisik sambil memperhatikan sekitar.

"Kenny ketahuan sudah hamil tiga bulan, Om Ridho mengamuk tadi siang, memaksa Alfin bertanggungjawab." Mama Vania berbisik.

"Ini juga tadinya mau langsung akad saja, tapi Om Ridho berkeras mau lamaran dulu sekalian rembuk tanggal. Maunya ada pernikahan yang wajar, jadi tidak malu di depan kolega bisnis."

Elya mengangguk. Dia dan Kenny cukup dekat.  Om Ridho –Ayah Kenny– merupakan adik Papa Lin.

"Mana Bram?"

"Tadi di luar ketemu Papa. Biasa …." Elya mengangkat kedua tangannya.

Mama Vania tertawa. Dia sudah hafal betul maksud Elya, anak dan suaminya itu pasti tidak jauh-jauh membicarakan tentang perusahaan.

"Ranti tidak sempat terbang kesini, tiket pesawat sudah habis. Sementara Lira kurang enak badan, hamil muda anak itu ringkih sekali." Mama Vania menggeleng.

Elya tersenyum tipis dan mengangguk. Baguslah, jadi dia tidak pusing dengan tingkah kedua adik iparnya yang menyebalkan itu.

Entah kenapa dua orang itu sangat tidak suka dengan Elya. Mungkin iri karena Elya diperlakukan sepertu ratu oleh Kakak mereka? Entahlah. Elya tidak ambil pusing dengan itu.

Acara akan segera dimulai. Bram dan Papa Lin mendekat, duduk di kursi yang sudah disediakan.

"Kak, Elya belum isi juga?" Tante Adisti, adik Papa Lin yang nomor tiga menjawil tangan Mama.

Serentak mereka menoleh ke belakang, karena suara Tante Adisti lumayan keras.

"Sudahlah, jangan pikirkan masalah keturunan. Fokus kerja saja, Bram. Tenang, Randy sebentar lagi pulang dari Amerika. Kuliahnya hampir selesai. Dia bisa belajar banyak darimu, untuk meneruskan perusahaan keluarga." Om Miko, suami Tante Adisti ikut bersuara.

Papa Lin dan Mama Vania terdiam. Tidak menyangka adik mereka lancang berbicara demikian.

"Mending Kenny dong ya, sudah isi duluan. Dari pada sudah menikah lama tapi belum isi-isi juga." Tante Adisti tertawa kecil sambil menutup mulut.

Keluarga dekat yang mendengar omongan Tante Adisti ikut tertawa kecil. Sebagian lagi menggelengkan kepala. Mencemooh.

Mulut Elya dan Bram terkunci rapat. Serasa ada godam besar yang menghantam dada. Sesak. Bahkan rasanya untuk bernapas pun sulit.

Benda kecil bernama hati yang tersembunyi dalam di relung dada, kembali tersayat. Luka lama itu dibuka kembali, kemudian ditaburi air garam. Perih. Sakit.

"Menikah lagi saja, Bram. Keburu menopause Elya-nya. Buat apa cantik kalau tidak sempurna sebagai seorang wanita." Tante Adisti memandang rendah pada Elya.

Wajah Elya terasa panas. Lidahnya kelu. Bram mengatupkan rahangnya. Giginya gemerutuk. Tangannya terkepal.

Elya memejamkan mata. Dia menarik napas panjang. Dia merasakan udara masuk melalui hidungnya, terus mengalir menuju paru-paru. Rongga dadanya mengembang. Ditahannya sebentar. Sesaat kemudian secara perlahan udara itu kembali diembuskan melalui mulutnya.

Elya membuka mata. Bibir berwarna merah hati itu perlahan membentuk segaris senyum. Manis. Senyum yang sangat manis

Mata cemerlang Elya menatap tajam Tante Adisti.

"Tante, saya memang belum dipercaya untuk memiliki keturunan. Namun, sungguh, kalaupun saya bisa memilih, saya memilih tetap seperti ini, dari pada saya mempunyai keturunan, tapi didapat dengan cara yang hina." Suara Elya lembut terdengar. Intonasinya terkontrol. Khas wanita berpendidikan.

"Apa yang bisa dibanggakan dari seorang pezina? Mu-ra-han!" Elya berdecih.

"Tidak heran kenapa Mella, anak Tante kemarin melahirkan di usia kandungan enam bulan. Prematur katanya. Tapi aneh ya, bayinya sehat, tidak masuk inkubator satu jam pun. Tidak juga suntik pematangan paru-paru." Elya menautkan alis seolah heran.

Tante Adisti dan Om Miko terdiam.

"Kehormatan seorang wanita terletak pada harga dirinya, bukan pada takdir yang Tuhan gariskan untuknya." Elya tersenyum.

Wajah cantik itu bercahaya. Cahaya yang hanya dimiliki oleh wanita terhormat. Wanita-wanita pilihan, yang mempersembahkan kehormatannya hanya untuk pria yang sudah sah secara hukum maupun agama.

"Siapa yang tahu rahasia Tuhan? Di dunia ini tidak ada yang pasti kecuali mati. Roda berputar. Jangan terlalu angkuh dengan apa yang kita punya kini.

Jodoh, maut, keturunan. Itu mutlak kuasa Tuhan. Bisa apa kami kalau Tuhan belum berkenan untuk memberi? Bertanya kapan aku hamil, itu sama saja dengan jika aku bertanya kapan Tante meninggal? Kita …."

"Alah! Sudahlah Elya, kamu terlalu banyak bicara. Faktanya hingga sepuluh tahun pernikahan kalian, belum juga ada tanda-tanda kamu hamil. Dasar mandul! Kau wanita mandul!" Tante Adisti menunjuk wajah Elya

"Menikah lagi saja, Bram. Kau tidak ingin melepaskan perusahaan keluarga bukan? Cari wanita sehat, cari wanita yang rahimnya subur. Untuk apa cantik kalau rahimnya tidak berfungsi?!" Tante Adisti menatap remeh Elya.

"Adisti! Cukup. Jangan lewati batas yang telah digariskan dengan jelas. Kau tidak punya hak ikut campur dalam urusan keluarga kami." Papa Lin akhirnya bersuara.

"Apa sih yang Kakak banggakan dari menantu mandul ini? Cantik? Berpendidikan? Di luar sana banyak yang jauh lebih segalanya dari dia, Kak!"

"Tante berkata seolah Tante tahu segalanya. Apa sudah pasti saya yang mandul? Bukankah masalah keturunan ini bukan hanya wanita yang berperan? Coba tanya Mas Bram." Elya mengangkat dagunya sambil menyilangkan tangan.

"Apa maksudmu, Elya?" Mama Vania memegang bahu Elya. Dia bertanya heran. Bukankah selama ini Bram selalu membela Elya? Kenapa justru sekarang Elya seperti memojokkan Bram?

"Sudahlah, Ma. Acaranya sudah mau dimulai." Papa Lin mengingatkan.

Bram menatap lurus ke depan. Tangannya terkepal. Wajah tampan itu terlihat sangat dingin.

Acara berakhir tepat jam sepuluh malam. Elya dan Bram bergegas meninggalkan tempat itu.

Mobil pajero sport silver metalik memasuki rumah dengan gaya modern minimalis. Rumah itu tidak terlalu besar, tapi memiliki taman yang luas. Elya menyukai tanaman, sehingga rumah itu terlihat sangat asri karena pepohonan dan bunga-bunga yang dirawat Elya dengan baik.

"El …." Bram menahan tangan Elya.

Elya menoleh pada Bram. Dia mengurungkan niatnya membuka pintu mobil.

"Kenapa?" Bram menarik napas panjang.

Elya mengangkat bahu, kedua tangannya ikut terangkat.

"Apanya?" Elya bertanya heran.

"Kenapa berbicara seperti itu?" Bram menatap Elya tajam. Rahangnya mengeras.

"Hah?!" Elya menautkan kedua alisnya. Dia bingung dengan maksud pertanyaan Bram.

"Tadi di acara lamaran Kenny, kenapa berbicara seperti itu ke Tante Adisti?" Bram meremas paha, gemas sekali dia dengan Elya.

"Aduh, sayang. Bicara yang mana siiiiih? Tadi ada banyak yang ku bicarakan dengan tantemu yang menyebalkan itu."  Elya memonyongkan bibirnya.

Bram mengembuskan napas. Dulu dia sangat menyukai jika Elya sedang manyun seperti itu. Lucu. Menggemaskan.

Bram memukul setir mobil dan mendengus kasar. Dia kesal dengan Elya yang pura-pura tidak tahu.

"Kenapa berbicara seolah aku yang bermasalah?"

"Bukannya memang kau yang bermasalah?" Elya langsung menyambar pertanyaan itu, mengangkat alis dan tersenyum menatap Bram.


BAB 7

"El, tolonglah, bersikap baiklah di depan keluarga." Bram memohon.

"Bagian mana sikapku yang tidak baik di depan keluargamu, Mas?" Elya balik bertanya. Dia menyilangkan tangan di depan dada.

Bram mengusap wajahnya kasar. Dia akhirnya mengambil sebotol air mineral yang selalu disediakan di mobilnya. Lelaki itu membuka tutupnya dengan kasar, kemudian menghabiskan isinya dalam sekali tarikan napas.

Bram meremas botol air mineral kosong hingga menimbulkan bunyi berisik yang khas. Dia kehabisan kata-kata untuk berdebat dengan Elya. Dia benar-benar lupa siapa Elya dulu sebelum menjadi istrinya. Dia terlalu terlena oleh kelembutan sikap Elya selama sepuluh tahun menjadi istrinya.

Elya melayaninya dengan baik dan memperlakukannya dengan lembut hingga membuat Bram terbuai. Membuat Bram lupa, bagaimana bengisnya Elya menyingkirkan lawan bisnisnya belasan tahun lalu, saat mereka masih sering bertemu sebagai rekanan bisnis. Dengan posisi sebagai mediator dan pemilik perusahaan.

Elya, bintang terang di perusahaan asing ternama. Mediator yang disegani karena keberaniannya, serta dikagumi karena kecerdasan dan kecantikannya.

"Tante Adisti yang memulai semua, Mas. Kau tahu sendiri itu. Aku hanya membeli apa yang mereka jual." Elya mengikuti mengambil sebotol air mineral. Tenggorokannya terasa kering.

Terasa sejuk menyentuh bibir Elya saat botol air mineral itu menyentuh bibirnya. Dingin terasa di lidahnya. Mengalir ke tenggorokan, untuk kemudian sampai di tempat yang Elya tidak lagi bisa merasakan dingin itu.

"Kenapa harus kau ladeni dia?" Bram menoleh, menatap Elya.

"Lalu aku harus diam saja dikatakan mandul? Aku harus diam saja saat harga diriku sebagai wanita dan sebagai seorang istri diinjak-injak?" Suara Elya meninggi. Dadanya naik turun, napasnya terdengar menderu.

Bram membisu.

"Jawab, Mas!" Bram terpana. Untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun pernikahan mereka, Elya membentaknya.

"El …." Bram menurunkan suaranya. Dia mengambil tangan Elya dan menggenggamnya.

"Aku sadar aku melakukan kesalahan yang sangat fatal, aku …."

"Ya! Syukurlah kalau akhirnya kau sadar, Mas!" Elya memotong ucapan Bram. Dia tersenyum sinis. Membiarkan tangannya berada dalam genggaman Bram.

"Elya, mungkin kini kau sangat membenciku. Tapi tolong El, tolong. Aku mohon, dalam setiap acara keluarga, kita harus saling mendukung." Bram menatap Elya dengan sendu.

"Kapan aku tidak mendukungmu, Mas? Selama ini, setiap acara keluarga aku selalu datang mendampingimu, walaupun sebenarnya itu hal yang paling malas untukku lakukan." Elya akhirnya memutuskan mengeluarkan semua bebannya selama ini. Cukup. Cukup dia menahannya selama sepuluh tahun pernikahan mereka.

"Aku lelah selalu disindir wanita mandul, terutama oleh kedua adikmu! Apa jadinya kalau mereka tahu yang sebenarnya mandul justru Mas mereka yang maha sempurna ini?" Elya tertawa mengejek.

"Aku juga selalu berdandan yang cantik, agar bisa tampil memukau di depan keluargamu, untuk siapa? Bukan untukku. Tapi untukmu! Agar kau terlihat pantas menjadi penerus estafet perusahaan keluarga. Agar Papa dan Mama bangga mempunyai menantu yang bisa menjaga penampilan dan attitude nya!" Suara Elya melengking memenuhi seisi mobil.

Udara tiba-tiba terasa pengap. Hening. Suara Elya seakan masih mengambang di udara. Masih mengambang di sekitar mereka.

"El … bisakah sedikit saja kau ingat kebaikan yang telah kulakukan selama ini?" Bram akhirnya bersuara, setelah sekian lama mereka terdiam.

"Kebaikan yang mana?" Elya menarik napas panjang. Dia berusaha mengontrol emosinya.

"Kau memberiku semua fasilitas maksudmu? Itu sudah kewajibanmu sebagai suami! Aku juga sudah menunaikan kewajibanku sebagai istri. Coba kau sebutkan kurangku dimana?" Emosi Elya kembali menggelegak.

Bram menggeleng.

"Dapur, sumur, kasur. Semua kulakukan dengan sepenuh hati. Semua kukerjakan dengan tanganku sendiri agar kau mendapatkan yang terbaik, Mas." Elya menarik kasar tangannya dari genggaman Bram.

"Jangan ungkit semua fasilitas yang kau berikan, Mas. Kau yang menyanggupi semua itu, saat dulu kau ajukan syarat resign padaku sebelum kita menikah!" Elya mengambil ikat rambut kecil berwarna hijau tua di tasnya.

Gerah. Padahal AC mobil menyala maksimal.

"Elya, aku lelah." Bram menengadah. Matanya tertutup rapat.

Elya tersenyum.

"Menyerahlah, Bram. Lepaskan aku." Elya membatin.

"Bisakah kau bersikap biasa saja saat menghadiri acara keluarga, El?" Bram menatap Elya. Mata itu terlihat lelah.

"Biasa saja bagaimana maksudnya, Mas?" Suara Elya melemah. Dia Pun sama, lelah dengan semua.

Andai bisa memilih, dia lebih baik tidak mengetahui fakta menyakitkan itu. Tapi takdir berkata lain, fakta itu terbuka, tanpa dia memaksa untuk membukanya.

Sungguh, Elya tidak dapat hidup bersama lagi dengan lelaki pengecut di sampingnya. Dia merasa hidup dalam dunia penuh tipuan. Luka yang Bram goreskan sudah terlalu dalam, sehingga tidak mungkin lagi bisa disembuhkan.

"Tidak perlu kau ladeni semua omongan orang, El. Bersikaplah biasa saja seperti selama ini. Ada aku yang selalu membelamu, ada aku yang selalu melindungi nama baikmu."

Elya menggeleng. Entah kenapa lelaki di hadapannya terlihat sangat bodoh.

"Kau membelaku? Melindungi nama baikku? Bulshit! Kau melakukan itu semua untuk menutupi aibmu, Mas!" Elya berteriak. Suaranya serak.

"Pantas saja selama ini kau selalu menolak setiap usaha program hamil, bahkan ku tawarkan kau menikah lagi pun kau menolak." Elya tertawa kecil.

"Rupanya bukan karena aku, tapi masalahnya di dirimu, Mas." Elya memijat kening. Kepalanya mendadak pusing.

"Aku merindukan kamu yang dulu, El …."

"Merindukan Elya yang dengan mudahnya kau bodohi itu?" Elya tertawa.

"Tolonglah, El. Aku lelah …."

"Lepaskan aku, maka kita bisa bahagia dengan jalan kita masing." Elya menatap Bram.

Bram menggeleng.

Elya mengembuskan napas. Dia membuka pintu mobil dan membantingnya dengan kasar hingga menimbulkan suara berdebam yang cukup keras.

Bisa saja Elya menuntut cerai. Tapi dia tahu semua akan sia-sia. Keluarga Bram orang yang mempunyai pengaruh besar, mereka memiliki akses istimewa kemana saja. Termasuk ke pengadilan agama.

Satu-satunya cara agar dia bisa terbebas dari Bram, adalah membuat lelaki itu melepasnya dengan suka rela.

"Baiklah, Bram. Jika cara halus yang selama ini kulakukan tak bisa membuatmu goyah. Saatnya aku memainkan kartu AS pertama yang kupunya."

Jangan anggap enteng seorang wanita yang hatinya tersakiti. Bertahun-tahun dibohongi, bertahun-tahun di lukai, akhirnya borok itu disiram air garam. Perih. Luka itu semakin menjadi, menimbulkan dendam kesumat yang menuntut balas pada yang menyakiti.

"Ini belum seberapa, Mas. Saat ini kau hanya lelah bathin. Kupastikan dalam waktu dekat, kau akan kelelahan lahir dan bathin." Elya menyeringai dari balik hordeng jendela kamar mereka, menatap Bram yang masih terpejam di tempatnya semula.

"Andai kau jujur, mungkin cerita kita tidak akan seperti ini. Namun kini semua terlanjur, aku akan mengembalikan semua omongan keluarga besarmu, Mas. Aku akan melempar balik semua kotoran, yang selama ini mereka lemparkan padaku."

BAB 8

Bram termenung di dalam mobil. Dia Menghela napas berat. Wangi Elya masih tertinggal, kursi penumpang yang tadi didudukinya bahkan masih terasa hangat.  Dia benar-benar lelah dengan semua. Lelah dengan sikap Elya, lelah dengan keluarga besarnya.

Dia sepenuhnya menyadari, hanya soal waktu Elya akan membuka rahasia terbesarnya itu. Hanya soal waktu juga, posisinya akan digantikan di perusahaan.

Bram tidak rela, perusahaan yang jatuh bangun dibesarkan Papa Lin jatuh ke tangan keluarga lain. Dulu, saat perusahaan itu ada di bawah, Papa Lin dan Kakek Harimurti yang jatuh bangun membesarkannya kembali. Keluarga lain hanya menonton, bahkan mengusulkan agar aset perusahaan dijual saja. Perusahaan itu sudah tidak ada harapan.

Bram baru berumur tujuh tahun saat itu, tapi memorinya masih mengingat dengan jelas. Bagaimana saat perusahaan itu berhasil bangkit, berhasil menanam tajinya dengan kuat, menjadi bisnis yang menggurita, saat itulah anak-anak Kakek Harimurti menuntut bagian.

Salahnya. Dulu Papa Lin tidak mengubah legalitas perusahaan. Padahal semua modal usaha sepenuhnya dari uang Papa Lin dan Kakek Harimurti.

Akhirnya dicapai kesepakatan, adik-adik Papa Lin akan mendapat pembagian juga dari keuntungan perusahaan.

"Kalian akan mendapatkan bagian dari keuntungan perusahaan, tapi aku secara sepihak memutuskan, penerus estafet perusahaan akan selalu dari keluarga Lin." Kakek Harimurti menatap dingin kedua anaknya, Om Ridho dan Tante Adisti.

"Tidak bisa begitu, Pa!" Tante Adisti cepat memotong ucapan Kakek Harimurti.

"Kenapa tidak?! Kau lupa Adisti? Kakakmu jungkir balik berjuang membangkitkan kembali perusahaan, kau dan Ridho hanya sibuk mengurusi urusan perut kalian masing-masing! Ada satu atau dua rupiah kalian sumbangkan untuk modal perusahaan, hah?! Ada?" Kakek Harimurti meradang.

Papa Lin hanya menarik napas kasar. Urusan harta, bahkan keluarga pun bisa menjadi gelap mata.

"Saat aku dan Lin hanya makan dengan lauk garam, kau dengan entengnya berkata jual saja aset perusahaan agar bisa makan. Kau ingat itu, Ridho?!"

"Tapi, Pa…."

"Cukup, Adisti! Kalau bukan karena nama kalian sah secara hukum tertera sebagai pemilik perusahaan juga, aku tidak akan bernegosiasi apapun dengan kalian." Kakek Harimurti mengatupkan rahangnya.

Bram kecil gemetar. Baru kali ini dia menyaksikan Om, Tante dan Kakeknya saling adu mulut. Saling tunjuk. Dimana norma sopan santun yang selalu mereka ajarkan?

Dia melepaskan mainan mobil-mobilannya yang baru minggu lalu dibelikan Papa Lin. Mainan mobil-mobilan yang sekian lama dia inginkan. Akhirnya Papa Lin bisa membelikannya.

"Baik, Pa. Kami menerima syarat itu." Om Ridho bersuara setelah sekian lama hening.

"Mas!" Tante Adisti menoleh cepat ke arah Om Ridho, menyatakan keberatannya.

Om Ridho mengangkat tangan, meminta Tante Adisti diam.

"Tapi kami juga mengajukan syarat, hanya keturunan lelaki yang bisa menjadi tampuk pimpinan perusahaan."

Kakek Harimurti terkekeh. Mengangguk mantap.

"Kau lihat itu, Ridho!" tunjuk Kakek Harimurti kepada Bram yang sedang asik main mobil-mobilan di samping tangga.

"Itu cucu lelakiku. Anak yang tampan dan cerdas. Dia akan tumbuh menjadi anak yang sukses dan membanggakan keluarga. Dia juga akan menghasilkan keturunan-keturunan gagah penerus jalan darah keluarga Harimurti!" Kakek terkekeh lagi. Bahunya berguncang.

Sementara Papa Lin menarik napas panjang. Mengusap pelipisnya yang mendadak berkeringat dingin.

"Kami minta perjanjian hitam di atas putih." Om Ridho menegaskan.

Kakek Harimurti menyanggupi, segera notaris keluarga dipanggil hari itu juga. Perjanjian itu dibuat. Perjanjian yang mengikat.

Bram menyandarkan kepalanya pada kemudi mobil. Napasnya terasa sesak. Dia menyaksikan dengan mata dan kepalanya sendiri ketika perjanjian itu ditandatangani dan disahkan secara hukum.

Kini, tiga puluh tiga tahun sejak perjanjian itu dibuat, Bram seakan bisa merasakan lagi suasana ganjil yang tiba-tiba memenuhi ruangan itu. Senyum puas dari wajah Om Ridho, dan wajah Papa Lin yang berkeringat. Semua bayangan itu berkelebat. Menari dengan jelas di kepalanya.

Bram meremas kemudi. Ingin rasanya dia berteriak. Dia tidak ingin kerja keras Papa Lin dan Kakek Harimurti sia-sia. Dia tidak ingin tampuk pimpinan perusahaan berpindah ke Randy, anak Tante Adisti.

Bram mengembuskan napas kasar. Dia melirik ke jam mewah di tangan kanannya, hampir tengah malam. Lelaki itu menarik kunci mobil, kemudian membuka pintu dan membantingnya dengan kasar.

Bram memasuki kamar yang temaram. Elya telah mematikan lampu utama. Wanita itu tertidur dengan selimut menutupi seluruh tubuhnya. Dari ujung kepala sampai ujung kaki. Bram tersenyum. Dia sudah sangat hafal kebiasaan Elya. Bahkan di cuaca panas pun, Elya tetap tidur seperti itu.

Bram memutuskan untuk mandi. Badannya lengket, gerah. Seharian meeting menemui rekanan bisnis, kemudian dilanjut dengan acara lamaran Kenny –anak Om Ridho–. Badannya belum tersentuh air sama sekali.

Saat membuka pintu kamar mandi, Bram disambut dengan wangi aromatherapy yang sangat disukainya.

Dua buah lilin berukuran besar menyala, satu di dekat kaca dan satu lagi di dekat bathtub. Bathtub sudah terisi air dengan beberapa kuntum mawar merah. Hangat. Airnya terasa hangat saat Bram menyentuhnya.

Bram tersenyum. Elya memang istri yang baik. Dia tahu persis apa yang dibutuhkan suaminya untuk menenangkan diri. Bahkan dalam keadaan marah pun, dia tetap melayaninya dengan baik.

Perlahan Bram memasukkan kakinya ke dalam bathtub. Nyaman. Bram menyenderkan kepalanya, memejamkan mata, menikmati aromatherapy dan hangatnya air. Berendam membuat badannya menjadi relaks.

Antara sadar dan mimpi, kenangan bersama Elya memenuhi pikiran Bram.

Dia jatuh hati pada wanita itu setelah pertemuan mereka yang ke sekian kali. Wanita itu bukan hanya cantik, namun juga pintar dan pemberani.

Mata Elya, dia sangat mengagumi mata milik Elya. Mata itu bercahaya. Menampilkan ketegasan dan rasa percaya diri yang tinggi dari pemiliknya. Mata yang mampu membuat rekanan bisnisnya tertunduk. Mata yang mengendalikan.

Dia tidak benar-benar mencintai Elya saat menikahinya. Hatinya sudah terlanjur mati karena tempaan keras dari Papa Lin. Tidak ada ruang untuk cinta, yang dia tahu hanya kerja keras.

Maka saat melihat wanita cantik dan berpendidikan itu, dia jatuh hati. Ketegasan dan kebengisannya menyingkirkan lawan bisnis membuat Bram yakin, wanita itu mampu mendampinginya membuat perusahaan menjadi lebih maju.

Akan tetapi, tak dinyana. Saat Bram menguji, memberikan syarat Elya resign. Wanita itu menyanggupi, tanpa argumen, tanpa perlawanan sedikitpun. Padahal Bram berharap Elya akan mempertahankan pendapatnya, mempertahankan karirnya sehingga dia akan menawarkan bergabung dengan bisnis keluarga. Tapi ternyata wanita tetaplah wanita. Hilang sudah ketegasannya, hilang sudah harga dirinya di mata Bram.

M A T E R I A L I S T I S.

Satu kata itu membuat Bram memandang rendah Elya.

Satu kata itu juga yang membuat Bram melupakan siapa sebenarnya Elya.

Sepuluh tahun pernikahan mereka, Bram berakting dengan sangat baik. Elya tenggelam dalam pusaran cinta dan limpahan materi. Bahkan dia tidak sedikitpun peduli dengan cemoohan dari keluarga besar Harimurti. Dia terlanjur terhanyut dengan perlakuan Bram yang seakan memujanya.

Akan tetapi, Bram lupa, singa tetaplah singa walau dipakaikan mantel dari kulit domba.

Elya mengaum saat menyadari semua kepalsuan Bram. Dia terbangun dari tidur panjangnya, dan menjadi sebenarnya Elya.

Bram terlambat menyadari, bahwa hatinya sebenarnya luluh dengan kelembutan sikap Elya selama ini. Dia terlambat mengetahui, bahwa kata cinta, akhirnya datang menyapa nurani.

Kini, saat dia meyakini hatinya sangat mencintai Elya, wanita itu mati-matian berusaha melepaskan diri darinya.

Maka Bram mengencangkan ikatannya. Dia lebih baik mati, dari pada kehilangan seorang Elya.


BAB 9

Aroma wangi duo bawang berpadu dengan gurihnya aroma mentega, semerbak memenuhi dapur.

Bram tersenyum. Dia meletakkan tas kerjanya di meja makan, lalu menghampiri Elya yang sedang sibuk berkutat dengan wajan dan printilan lainnya.

Bram meraih pinggang Elya. Wanita menoleh, merasakan pipinya bertemu dengan pipi Bram.

"Iiih … cukuran sana! Gatel tau." Elya meringis terkena bulu-bulu halus di sekitar jambang Bram.

Bram tertawa. Biasanya tiap hari dia mencukur bulu halus di sekitar jambangnya, tapi ini sudah tiga hari dia  tidak bercukur. Terlanjur pusing dengan banyak hal, sehingga sedikit melupakan penampilan. Tapi sebenarnya, Bram terlihat lebih jantan dengan tampilan bulu halus menghiasi wajahnya.

"Masih lama, Nyonya Elya?" Bram mengintip ke wajan.

Elya mendorong Bram agar duduk di kursi.

"Stay!" Elya mengacungkan sutil ke dada Bram.

Bram tertawa. Dia mengambil segelas jus buah jambu biji merah yang telah disiapkan Elya. Segar. Minuman favoritnya di pagi hari.

Tak lama sepiring nasi goreng seafood dengan tiga butir telur mata sapi setengah matang mendarat dengan mulus di depan Bram. Aromanya sangat menggoda.

Bram urung memasukkan sendok ke dalam mulutnya saat melihat Elya melenggang pergi begitu saja. Nafsu makannya hilang sudah.

Biasanya mereka akan makan bersama sambil bercanda. Sesekali Bram akan menyuapi Elya, begitupun sebaliknya.

Hal yang dulu dilakukan Bram hanya agar Elya merasa dipuja, nyatanya kini dia merindukannya. Merindukan setiap momen yang dulu dia anggap permainan semata.

Bram meraih tas kerjanya. Urung sarapan. Dia menuju kamar, ingin tahu apa yang dilakukan Elya di sana.

"Mau kemana?" Bram berusaha mengontrol intonasi suaranya.

Elya terlihat sedang mematut diri di depan cermin. Atasan semi formal berwarna mustard, dipadu dengan celana panjang berwarna senada. Cantik. Elya terlihat sangat cocok dengan baju yang dikenakannya.

"Kerja." Elya menjawab singkat. Tangannya sibuk memoles lipstik cair berwarna merah muda.

"Kerja?" Bram memicingkan mata. Mengulangi jawaban Elya.

Elya menatap Bram sekilas. Mengangguk. Sibuk mengecek isi tas, memastikan tidak ada barang yang tertinggal.

"Kenapa, El?" Bram berjalan mendekati Elya.

"Kenapa? Kok kenapa sih, Mas?" Elya menatap Bram. Pura-pura bingung.

"Aku butuh uang untuk memenuhi semua kebutuhanku, Mas. Jatah bulananku kan sudah tidak ada lagi." Elya melipat tangannya di depan dada. Bibirnya manyun seperti anak kecil yang sedang ngambek karena keinginannya tidak dituruti.

Bram mendesah.

"Elya tolonglah, apa kata orang sampai mereka tahu kamu bekerja?"

Elya tersenyum. Dia meraih dasi yang dikenakan Bram dan merapikannya.

"Apa peduliku dengan omongan orang, Mas?" Elya tersenyum.

"Kau tidak boleh bekerja, El!" Bram mencengkram tangan Elya yang masih merapikan dasinya.

Elya tersenyum melihat Bram terengah menahan emosi. Perlahan dia mendekat ke arah Bram. Mata mereka bertatapan. Bram bahkan bisa merasakan napas Elya hangat menyentuh wajahnya.

"Kau tidak punya hak untuk melarangku, Mas." Elya berbisik pelan. Hidungnya menggesek hidung Bram. Tangannya melingkar di leher Bram.

"Dulu, kau memintaku berhenti bekerja dan berjanji akan memenuhi semua kebutuhanku. Namun kini kau ingkar. Maka perjanjian itu gugur." Elya mengelus pelan tengkuk Bram.

"Aku akan memberikan hakmu lagi, El." Bram berusaha mendorong Elya. Menjauhkan diri, mengurai keintiman di antara mereka.

Elya tertawa. Santai mendekat lagi ke arah Bram. Dulu Bram sangat menyukai jika Elya bertindak agresif seperti ini. Tapi tidak sekarang, Elya mengejeknya. Dia tahu Elya melakukan ini untuk mengejeknya.

"Sayangnya, aku tidak mau menerimanya." Elya tersenyum. Santai mengelus dada Bram.

"Elya, tolonglah. Jangan buat rumit masalah ini." Suara Bram terdengar frustasi.

"Mas kira aku suka dikatakan meng-gan-tung-kan hi-dup padamu?" Elya tertawa kecil. Dia nemberikan penekanan pada beberapa kata. Mengembalikan ucapa Bram beberapa waktu lalu kepadanya.

"Sudahlah, Mas. Aku malas berdebat. Nanti kita terlambat." Elya mengambil tasnya di meja rias dan bergegas menuju pintu.

Bram mendahului langkah Elya. Dia membuka pintu dan menutupnya kembali dengan cepat. Bunyi kunci berputar terdengar.

Elya menendang pintu kamar sekeras-kerasnya saat mendengar bunyi mobil Bram menjauh.

Elya terduduk, menghapus air matanya yang mengalir begitu saja. Bagaimana bisa selama ini dia tertipu oleh lelaki seperti Bram? Lelaki egois yang hanya memikirkan pandangan orang lain padanya. Lelaki pengecut yang selalu ingin terlihat sempurna, dengan mengorbankan perasaan Elya.

Elya tergugu. Sungguh dia lelah dengan semua. Sempat terlintas untuk kabur, tapi kemudian dia urung melakukannya. Dia tidak bersalah lalu kenapa dia yang harus mengalah?

Dia bukan pecundang yang terbiasa lari dari masalah. Jika pun harus pergi, maka dia akan pergi dengan cara terhormat. Dia akan pergi dengan membawa nama baiknya.

ponsel Elya bergetar. Ada pesan masuk dari Mama Vania.

[El, jam sepuluh Mama ke sana ya.]

[Oke, Ma. Mau Elya masakin apa?] Elya membalas pesan Mama Vania. Mama Vania memang rutin berkunjung. Minimal dua minggu sekali dia datang. Rindu masakan Elya katanya.

[Tidak usah. Ini Mama sama Ranti.]

[Loh? Ranti di Indonesia, Ma? Kapan pulangnya?]

Kepala Elya berdenyut pening. Mau apa Ranti ikut segala. Pikirannya yang kusut bertambah kusut membayangkan mulut pedas Ranti.

[Tadi malam.]

Elya mengerutkan kening. Sejak kapan Mama Vania sedikit cuek kepadanya? Biasanya pesan dari Mama Vania selalu panjang dan terlihat sangat antusias.

[Oke, Ma. Elya tunggu ya :-)]

Elya bergegas mencari nomor telepon Bram.

"Jam sepuluh Mama kesini."

Bram yang sudah seperempat jalan menuju kantor, memukul kemudi dengan kesal. Ada-ada saja. Dia bergegas memutar balik mobilnya. Mau tidak mau dia harus kembali, Elya terkunci di kamar.

Sementara di ujung telpon Elya tersenyum mendengar umpatan Bram. Rasakan! Siapa suruh mengunciku disini.

***

"Rapi banget, El?" Mama Vania memeluk Elya, Elya menyambut pelukannya, kemudian mencium tangan Mama Vania.

"Iya, Ma. Tadi rencananya Elya mau keluar sebentar." Elya memang belum sempat berganti pakaian tadi. Lebih tepatnya, dia malas berganti pakaian.

"Sudahlah, Ma. Tidak usah terlalu lama berbasa-basi." Ranti memotong pembicaraan.

Elya menatap Mama Vania dan Ranti bergantian. Bingung. Ada apa lagi ini rutuknya. Tadi pagi masnya, sekarang Adik dan mamanya. Elya membatin, menahan kesal yang muncul begitu saja.

"Ayo masuk dulu, tidak enak dilihat tetangga." Elya mempersilahkan. Elya menarik napas. Mengatur detak jantungnya. Tenang. Dia harus tenang.

"Jadi ini yang membuat keributan di acara lamaran Kenny kemarin, Ma?" Ranti langsung menunjuk Elya begitu masuk ke dalam rumah.

"Keributan apa?" Elya bertanya. Bingung.

"Menantu yang Mama sayangi ini, tidak bisa menjaga sikap! Katanya berpendidikan, tapi tidak tahu bagaimana cara berperilaku di depan orang yang lebih tua!"

Elya mengangkat dagunya. Dia paham kini masalahnya.

"Lalu, apa yang sedang kamu lakukan sekarang, Ran? Bukankah aku lebih tua darimu?" Elya tersenyum.

"Beda urusan! Kau membuat malu keluarga! Aku harus mengajarimu bagaimana bersikap. Karena kau, Mas Bram sekarang menjadi gunjingan!" Muka Ranti memerah. Suaranya terdengar serak.

"Lalu, aku harus diam saja saat harga diriku diinjak-injak?" Elya mengangkat kedua tangannya sambil mengedikkan bahu.

"Itu fakta! Kau perempuan mandul!"

"Kau yakin aku yang mandul, Ran? Bukan masmu?" Mati-matian Elya menahan diri agar tidak terpancing emosi.

"Apa maksudmu, Elya?" Mama Vania memegang bahu Elya.

"Mas Bram yang bermasalah, Ma." Lima kata itu ringan saja meluncur dari mulut Elya.

Sementara di pintu, Bram yang kembali lagi karena flashdisknya tertinggal, mematung. Kaku. Jantungnya seakan berhenti. Mulutnya kelu mendengar kalimat Elya.

Elya menatap Bram. "Sampai kapan semua kebenaran ini bisa kau simpan, Mas? Bantahlah, patahkan kata-kataku kali ini.

Tunjukkan padaku, bagaimana caranya kau menyimpan semua dengan rapi, selama bertahun-tahun yang telah kita lewati."

Elya tersenyum. Sementara ketiga orang di depannya mematung. Kaku. Muka-muka pucat. Bibir yang bergetar.

Elya bersorak dalam hati. Senyum itu semakin mengembang.

"Ayo, Mas. Patahkan kalimatku …."


BAB 10

"Gila!" Ranti menyandarkan badannya ke sandaran kursi. Dia Memijat kening. Kepalanya mendadak pusing.

"El?" Mama Vania menggoyang bahu Elya pelan.

Elya memejamkan mata. Andai dia tidak mengingat kebaikan Papa Lin dan Mama Vania selama ini, dia sudah berteriak kencang di depan keluarga besar Harimurti yang selama ini selalu merongrongnya masalah keturunan.

"Ada perlu apa Mama dan Ranti kesini?" Bram duduk di dekat Elya.

Elya tersenyum. Dia menuangkan teh melati ke dalam gelas memudian menyerahkannya pada Bram.

"Terima kasih, Sayang." Bram mengangguk. Mengusap lembut kepala Elya.

"Tante Adisti heboh di grup WA keluarga, Mas. Sibuk bertanya tentang ucapan wanita ini kemarin." Ranti menunjuk Elya dengan dagu.

Elya menggeleng. Dia tersenyum. Berusaha meredam emosinya melihat Ranti seperti itu.

"Jaga ucapanmu, Ran!" Bram menatap Ranti tajam.

"Hormati Elya seperti kau menghormatiku!"

"Apa sih yang Mas lihat dari dia? Cantik? Banyak yang lebih cantik! Pintar? Banyak yang lebih pintar!" Suara Ranti melengking, memenuhi ruang tamu berukuran minimalis itu.

Elya menyandar pada sandaran kursi. Dia memperhatikan kukunya, motif baru, bunga tulip berbagai warna.

"Selama ini aku diam, Mas. Mas Bram terlalu bucin! Jadi budak cinta, terlalu memuja, seperti orang bodoh. Tapi lihat, lihat apa yang dia lakukan? Berbicara yang tidak-tidak!"

Elya tertawa dalam hati. "Andai kau tahu kenyataan yang sebenarnya, Ran. Bucin? Budak cinta? Bulshit!"

"Selama ini Mas Bram selalu membela dia dalam setiap acara keluarga, tapi dia tidak tahu diri, NGELUNJAK, karena merasa sering dibela, jadi sekarang malah menggiring opini agar keluarga menuduh Mas yang bermasalah!"

Bram mengusap wajahnya kasar.

Sementara Elya hanya memperhatikan Ranti berbicara. "Suatu saat, ada hari kamu akan menyesal telah menemuiku hari ini, Ran. Kupastikan itu." Elya membatin.

"Mas tanya apa keperluanku kesini? Karena perempuan ini!" Tangan Ranti teracung menunjukan Elya.

"Ran .…" Mama Vania menurunkan tangan Ranti.

"Aku memaksa Mama menemaniku kesini. Aku ingin bicara langsung dengan MENANTU CANTIK keluarga Harimurti." Ranti berdecih, tertawa mengejek sambil menatap Elya.

Yang ditatap diam saja. Santai merapikan poninya dengan tangan. Membuat Ranti semakin meradang. Sementara Elya hanya tertawa dalam hati.

"Bram, apa maksud Elya kau yang bermasalah? Bukannya selama ini kau selalu bilang kau sehat-sehat saja?" Mama Vania akhirnya membuka suara.

"Elya, apa maksudmu, Nak?" Mama Vania memegang bahu Elya yang duduk disampingnya.

Elya menoleh pada Bram. Dia memegang paha Bram seolah memberikan kode. "Bicaralah, Mas. Bicara. Aku ingin lihat bagaimana pintarnya kau memutar kata selama ini. Tunjukkan padaku, bagaimana Bramantyo Harimurti menyimpan bangkai dengan rapi."

"Kenapa memusingkan Tante Adisti? Bukankah selama ini dia memang selalu heboh dengan apapun? Bahkan hal sekecil daun bunganya rontok saja dia akan ribut berhari-hari." Bram terkekeh.

"Kakekmu mengundang semua anggota keluarga malam ini. Ranti pulang karena itu." Mama Vania berbicara sambil menghela napas.

"Malam ini? Kau tahu, El?" Bram menoleh cepat. Elya menggeleng.

"Di grup whatsapp keluarga." Mama menambahkan.

"Ooooooo." Bram dan Elya ber-O panjang.

Mereka memang tidak pernah menyimak grup itu. Bram yang melarang Elya aktif di sana. Tidak berfaedah. Hanya obrolan tidak penting yang terkadang berujung saling pamer.

"Ada agenda apa, Ma?" Elya akhirnya bersuara lagi, setelah sekian lama diam, hanya menjadi pendengar.

"Kamu akan didepak dari keluarga Harimurti, El." Ranti tersenyum sinis.

"Maksudnya?" Elya menautkan alis. Begitu juga dengan Bram.

"Tadi Mas bertanya tujuanku datang kesini, kan? Tujuanku untuk memberi tahu secara langsung pada wanita ini, agar bersiap-siap dengan kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Didepak dari keluarga Harimurti."

Elya menegakkan badan.

"Habislah hidupmu, Elya! Perempuan mandul yang dicampakkan suami." Suara Ranti melengking.

"Jaga mulutmu, Ran!" Muka Bram memerah.

"Dia Kakakmu. Kau hina dia, sama saja dengan kau menghinaku!" Suara Bram terdengar serak

Elya terbahak dalam hati. "Dia memang menghinamu, Mas. Lelaki mandul yang dicampakkan istri."

"Kenapa kau sangat membenciku, Ran? Apa salahku?" Elya bertanya lembut. Suaranya terjaga, tenang seperti biasa.

"Kau ingin tahu, El?" Ranti menatap Elya.

"Karena kau, Mas Bram belum mempunyai keturunan sampai hari ini. Karena kau, Mama dan Papa harus menanggung malu di depan keluarga besar." Mama Vania bergeser, duduk di samping Ranti. Dia mengusap punggung Ranti perlahan. Berusaha menenangkannya.

"Betapa memalukannya, pimpinan tertinggi perusahaan tidak memiliki keturunan." Dada Ranti naik turun dengan cepat. Wajah cantiknya memerah.

"Karena kau juga, Papa Lin pusing bukan main, estafet perusahaan terancam diambil! Padahal Papa Lin yang bersusah payah membangunnya!" Ranti berteriak.

"Aku menjadi saksi hidup, Elya. Bagaimana susahnya kehidupan kami dulu, saat masa-masa perjuangan itu." Air mata Ranti mengalir. Dia menghapusnya dengan kasar.

"Kini, saat semua tinggal memanen hasil, semua akan diambil! Itu karena kau!" Mama Vania merangkul bahu Ranti.

"Karena aku?" Elya menoleh pada Bram.

"Bicaralah, Mas. Sampai kapan kau akan membuat aku selalu disalahkan, sampai kapan kau akan terus menyiksa batinku, sampai kapan kau akan terus menjadikanku tameng, melukai perasaanku. Pengecut!" Eya berbicara melalui tatapan matanya pada Bram.

"Karena kau mandul! Karena Mas Bram terlalu mencintaimu, sehingga selalu menolak berpisah!"

"Andai kau bisa sedikit menurunkan egomu, El. Mungkin selama ini kau bisa membujuk Bram agar menikah lagi, sehingga saat ini Mas Bram sudah mempunyai keturunan." Ranti semakin terisak.

Hening. Hanya isak Ranti yang terdengar.

"Nanti jam tujuh malam di rumah Kakek Harimurti, Bram, El. Jangan terlambat." Mama tersenyum.

"Kemungkinan terburuk apa maksud Ranti tadi, Ma?" Bram mengacak rambut. Melonggarkan dasi yang terasa mencekiknya.

Mama Vania menarik napas panjang. Tarikan napas yang terdengar sangat berat.

"Selentingan kabar yang Mama dengar dari Tante Adisti, Kakek Harimurti beberapa waktu yang lalu bertemu teman lamanya. Kau ingat Rossa?"

"Rossa?" Bram menatap Mama Vania bingung.

"Rossa tetangga kita dulu, anak keluarga Wiratama." Mama Vania mengingatkan.

"Ooh, Rossa Velisha? Kenapa dia?"

"Kalian akan dijodohkan. Harus ada penerus darah keluarga Harimurti dari anak laki-laki Papa Lin. Itu sudah keputusan bulat dari Kakek Harimurti."

Elya dan Bram menegang.

Bram terdiam. Rahangnya mengeras.

Sementara Elya menarik napas panjang. Ini bisa jadi satu-satunya kesempatan baginya bisa melepaskan diri dari Bram.

Mata Bram dan Elya bertemu.

"Bramantyo Harimurti. Kita lihat, bagaimana kau akan menghindar kali ini."

Elya tersenyum samar sambil menatap Bram. Ternyata semesta mempermudah semuanya.

"Menyerahlah, Mas. Mungkin ini cara semesta menghukummu. Menghukum suami, yang tega memperalat istri. Menghukum suami, yang menjadikan pernikahan sebagai mainan, hanya karena kekuasaan."

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya DUSTA LELAKI BERGELAR SUAMI BAB 11-15
0
0
.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan