DERMAGA YANG TERBELAH

4
0
Deskripsi

Padma tak pernah menyangka pusaran takdir akan membawanya pada pernikahan tanpa cinta. Gadis berwajah ayu khas perempuan desa dari pedalaman Sumatera itu menikah sebagai bayaran atas utang kedua orangtuanya.

Sepenggal kisah dari masa lalu antara abahnya dan konglomerat kaya yang tak hanya melibatkan utang budi, tapi juga utang nyawa membuat Padma mau tak mau harus menerima semua.

"Bapak takut di akhirat nanti terhalang mencium wangi surganya, Nak. Bukan tidak berusaha, bukan juga Bapak tega. Namun,...

BAB 1


"ABAH!" Padma menjerit melihat makin banyak darah yang keluar bersama dahak. Sementara Sobari terus terbatuk dengan satu tangan menekan dada dan tangan lainnya memegang baskom untuk menampung dahak dan darah.

"Minum dulu." Tangan Padma gemetar menyerahkan gelas berisi air putih hangat pada abahnya.

Sobari meneguk air putih yang diberikan Padma. Di antara keremangan cahaya lampu teplok, anak dan Abah itu saling bertatapan. Wajah keduanya sama pucat, yang satu karena sakit semakin parah, yang satu karena terlampau khawatir dengan keadaan orang terkasihnya.

“Abah baik-baik saja, Pad.”

Padma bungkam, tidak menanggapi ucapan abahnya. Dia menghapus air mata yang mengalir di pipi dengan kasar. Apanya yang baik-baik saja? Padma membatin.

Hening.

Angin malam yang masuk melalui celah dinding rumah yang terbuat dari papan terasa dingin menusuk kulit. Padma menarik selimut dan menutupi tubuh Sobari sampai ke dada. Lelaki yang tubuhnya hanya tersisa kulit dan tulang itu mengerang pelan. Dadanya terasa sakit setiap kali dia menggerakkan badan. Jangankan bergerak, menarik napas pun terasa perih.

“Pad ….”

Padma memegang tangan Sobari yang terasa sangat dingin. Sejak tadi dia tidak melepaskan pandangan dari wajah abahnya yang terus-terusan meringis menahan sakit. Ujung matanya menoleh pada meja kecil di samping kasur. Dia dapat melihat plastik obat sudah kosong. Ah … kapan pula terakhir mereka ke Pak Mantri? Ketiadaan biaya lah yang membuat kondisi Sobari semakin parah.

“Maafkan Abah yang tidak bisa menjadi orangtua yang baik. Selama dua puluh tahun kau hidup, rasanya belum sekalipun Abah membelikan baju baru atau memberi makan enak.”

Hidup mereka pas-pasan. Sawah sepetak peninggalan orangtua Sobari itulah yang menjadi sumber mata pencarian. Kadang, Sobari memetik kangkung di sawah untuk teman makan nasi. Sering dia memetik daun singkong liar saat pulang dari sawah. Atau, dia akan meminta daun pepaya muda untuk ditumis.

Dulu, Padma sering mendapat lungsuran baju dari tetangga. Makan ayam pun hanya sekali setahun saat hari lebaran. Ayam peliharaan akan dipotong sebagai bentuk syukur karena telah melalui ramadhan dengan baik. Makan daging? Jangan ditanya. Seingat Padma, seumur hidup hanya sekali dia makan daging. Itu juga dia dapat dari nasi kotak pejabat yang sedang kampanye untuk pemilihan kepala daerah.

Pembagian hewan kurban? Ah … kampung mereka adalah desa kecil. Jangankan hewan kurban, untuk makan sehari-hari saja penduduk di sana kesulitan.

“Pad, rasa-rasanya, waktu Abah sudah semakin dekat ….”

“Abah jangan bicara yang aneh-aneh. Dua hari lagi Padma gajian, kita langsung ke Pak Mantri biar Abah dapat obat lagi ya?” Padma menggigit bibir. Gadis itu terlihat semakin pucat, rasa takut memenuhi rongga dadanya.

Padma gadis yang cerdas. Dia selalu ranking satu di kelas setiap tahunnya. Karena itu pula, Padma mendapat beasiswa dari kabupaten sehingga bisa melanjutkan sekolah ke jenjang SMP dan SMK. Setelah lulus dari SMK, Padma bekerja di salah satu usahha jahit di desa sebelah. Dari sanalah selama dua tahun ini dia bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya pengobatan Sobari.

“Abah minta maaf karena belum bisa membahagiakanmu, Nak. Maaf …”

“Abah bicara apa? Padma tidak sekalipun merasa tidak bahagia.” Suara Padma tercekat.

“Maafkan Abah karena kau lahir menjadi anakku. Maafkan Abah selalu memberi kesulitan padahal di kehidupan sebelumnya kau berada di surga-Nya yang penuh kesenangan.”

Dua anak manusia itu terisak bersamaan. Tangisan mereka terdengar sangat pilu membelah malam. Bahkan, suara jangkrik yang tadi ramai menjadi hening saat tangis Sobari dan Padma pecah.

“Abah sudah tidak kuat, Pad. Rasanya untuk bernapas pun sulit.” Sobari menekan-nekan dadanya yang terasa perih.

Padma berlari ke dapur hingga membuat lantai yang terbuat dari papan menimbulkan bunyi berderak-derak. Gadis itu mengambil botol gelas bekas sirup yang entah sejak kapan ada di rumah mereka. Dia mengisinya dengan air panas dari termos dan menambahkan air dingin hingga menjadi hangat.

Padma bergegas kembali dan menyerahkannya pada Sobari. Lelaki itu menekan dada dengan botol yang berisi air hangat, berharap bisa mengurangi sedikit saja rasa sakit di dalam sana.

"Padma, Abah sebenarnya ada utang yang sangat besar. Walau menjual rumah ini dan sawah kita pun, tetap tidak akan cukup untuk membayar utang itu." Sobari memejamkan mata. Air mata mengalir pelan dari ujung matanya, menetes membasahi pelipis dan terus mengalir hingga jatuh ke bantal di bawah kepalanya.

Lelaki itu benar-benar merasa gagal menjadi orangtua. Dia tidak bisa memberikan kehidupan yang layak pada anak semata wayangnya. Bahkan, di penghujung hidupnya dia malah semakin membebani Padma dengan memberikan warisan utang.

“Utang?” Padma bertanya pelan. Bagi orang kecil seperti mereka, utang adalah mimpi buruk. Jangankan membayar utang, untuk makan sehari-hari pun asal perut kenyang tanpa memikirkan nilai gizi.

Sobari menarik napas panjang. Dengan mata berkaca-kaca, dia menatap wajah Padma di antara remang-remang cahaya lampu teplok. Angin malam yang menerobos masuk membuat cahaya lampu meliuk-liuk seperti akan padam hingga gelap sempat menyergap beberapa saat. Bersamaan dengan api lampu yang kembali membesar karena angin tak bertiup lagi, ruangan itu menjadi terang seperti sebelumnya.

Saat itulah, bayangan masa lalu menyergap Sobari.

Berputar.

Berpusar.

Melemparkannya pada masa itu, dua puluh tahun yang lalu.

“Saya butuh uang untuk biaya operasi istri saya di kampung, Tuan. Kabar yang baru saja saya dengar mengatakan istri saya sudah tidak sadarkan diri.” Sobari menautkan kedua tangan di atas paha. Lelaki itu gemetar dalam keadaan berlutut di depan majikannya.

“Bangunlah, Sobari. Duduk di sini.” Lelaki yang rambutnya mulai memutih itu menepuk kursi di sampingnya.

Sobari bangkit dalam keadaan limbung. Hampir saja dia terjatuh kalau Ranu tidak segera menahannya. Sobari yakin sekali Ranu dapat merasakan sekujur tubuhnya gemetar. Sejujurnya, dia malu dan sungkan meminta bantuan pada lelaki yang sudah hampir sepuluh tahun menjadi majikannya. Walau dia bekerja hanya sebagai supir pribadi, namun Ranu sangat baik padanya. Pada satu kesempatan, Ranu bahkan pernah mengatakan dia sudah menganggap Sobari anak sendiri.

“Bagaimana keadaan istrimu?” Ranu mengusap punggung Sobari.

Sobari menarik napas panjang, berusaha menghilangkan sedikit sesak di dada. Dia menggigit bibir sebelum menjawab pertanyaan Ranu. Pikiran Sobari melayang pada istrinya di kampung yang sedang hamil tua. Menurut cerita istrinya, bulan-bulan ini sudah waktunya anak mereka lahir.

Selama kehamilan, istrinya memang kurang sehat. Bahkan beberapa kali dia pingsan karena tekanan darah yang melonjak tinggi. Sobari tidak bisa sering pulang karena bekerja di kota yang jaraknya menempuh waktu sekitar dua belas jam perjalanan menggunakan mobil. Beruntung, tetangga di desa berbaik hati menemani dan membantu istrinya melewati kesulitan selama kehamilan. Sehingga, mereka yang sudah tidak memiliki sanak keluarga merasa sangat terbantu.

“Barusan tetangga menelepon, katanya istri saya tidak sadarkan diri. Pendarahan cukup parah, sehingga harus segera dilakukan tindakan. Saya butuh uang.” Sobari menjelaskan seringkas mungkin. Dia tidak punya banyak waktu. Setiap detik yang berlalu menjadi penentu keberlangsungan hidup istrinya yang sedang bergelut dengan maut.

“Ayo, mari kuantar kau pulang. Biar aku yang menyetir, kau tidak mungkin bisa membawa mobil dalam keadaan kacau seperti ini. Tidak usah pikirkan biaya. Biar aku yang mengurus semua.”

“Tuan, terima kasih, Tuan. Saya berutang budi dan juga materi pada Tuan.” Sobari langsung duduk bersimpuh dan memeluk kaki Ranu. Bahunya terguncang-guncang, air mata mengalir deras hingga membasahi celana kain yang dikenakan majikannya. Dia bahkan tidak menolak tawaran Ranu untuk mengantar, otaknya seolah berhenti berpikir. Sobari hanya berharap agar saat ini bisa segera memeluk istrinya.

“Saya akan membayar lunas semua utang ini, Tuan.”

“Sudahlah, Sobari. Engkau sudah kuanggap anakku sendiri.”

“Utang tetaplah utang, Tuan. Saya pasti akan membayarnya lunas, bahkan jika harus menyerahkan anak semata wayang yang akan dilahirkan oleh istri saya.” Dia tidak mungkin menerima kebaikan hati Ranu lagi. Sudah terlalu banyak utang budi.

“Kau bisa membayarnya nanti, dipotong dari gajimu setiap bulan.”

Sobari mengangkat kepala saat merasa tangan Ranu mengelus bahunya. Pun di sini, dua puluh tahun setelah hari itu, Sobari merasakan Padma mengelus bahunya pelan.

“Mamakmu meninggal malam itu, Pad.” Sobari menghela napas panjang.

“Sepeninggal mamakmu, Abah memutuskan berhenti bekerja dan memilih bertani di desa agar bisa mengurus dan membesarkanmu ….”

“ABAH!” Padma kembali berteriak saat Sobari terbatuk lagi. Darah meleleh dari bibir yang pucat dan bergetar itu. Padma mengusapnya dengan menahan isak.

“Abah, Abah takut di akhirat nanti terhalang mencium wangi surganya, Nak.” Sobari kembali berbicara walau suaranya semakin lemah.

“Selama ini, bukan Abah tidak berusaha. Sedikit demi sedikit Abah mengumpulkan uang untuk membayar utang. Namun, puluhan tahun setelah kematian mamakmu, uang Abah tak pernah cukup untuk membayar utang pada keluarga Tuan Ranu. ada-ada saja kebutuhan mendesak sehingga tabungan selalu terpakai.” Sobari menatap langit-langit rumah mereka yang tidak berplafon. Di salah satu tiang penyangga, dua ekor cicak berkejaran. Dalam keremangan, Sobari dapat melihat dengan samar hewan-hewan itu merayap kesana kemari menangkap serangga yang berterbangan.

“Boleh Abah minta tolong, Nak?”

Padma mengangguk cepat. Apapun, apapun akan dia lakukan untuk Abahnya.

“Setiap tahun Abah selalu menyempatkan menelepon dengan telepon umum di kecamatan, mengabarkan pada Tuan Ranu uang untuk membayar utang belum ada. Beliau selalu ingin agar Abah kembali bekerja. Namun, Abah malu. Sudah terlalu banyak utang budi Abah pada keluarga itu.” Sobari menatap Padma. Hati lelaki itu mencelos melihat wajah putrinya yang bersimbah air mata.

“Nak … menikahlah dengan cucu Tuan Ranu. Beliau mengatakan semua utang Abah akan dianggap lunas jika kamu menikah dengan cucunya. Tuan Ranu selalu berharap kita menjadi bagian dari keluarga mereka.”

Padma menarik napas panjang. Fahri, satu nama yang langsung muncul dalam pikirannya. Apakah ini jawaban atas pertanyaan mereka selama ini? Benarkah mereka ternyata tidak berjodoh setelah saling menunggu sekian lama?

“Abah mohon, Pad. Hidupmu akan terjamin sepeninggal Abah dan Abah serta Mamak bisa tenang beristirahat tanpa beban utang di alam sana."

Padma mengangguk pelan saat melihat mata Sobari yang sangat berharap.

“Alhamdulillah, terima kasih, Pad, terima kasih.” Sobari mencium tangan Padma. Ruangan itu kembali dipenuhi oleh isak tangis.

“Nomor telepon Tuan Ranu ada di lemari paling bawah. Di lipatan kain sarung warna hijau. Kertas itu Abah bungkus dalam plastik bening. Kalau umur Abah tidak panjang, segera hubungi nomor itu. Abah sangat takut berpulang dengan membawa utang.” Sobari menunjuk satu-satunya lemari yang mereka punya.

Padma melangkah menuju lemari dalam keadaan diam. Dia tidak membantah sedikitpun. Biarlah, biarlah abahnya mengatakan apapun agar hatinya lega. Toh, besok-besok mereka bisa bicara lagi bagaimana cara melunasi hutang itu kalau kondisinya sudah lebih baik.

“Ini, Bah?” Padma bertanya sambil mengangkat untuk memperlihatkan kertas yang dibungkus plastik pada Sobari.

“Bah ….” Padma bergegas mendekat dan menggoyang pelan tangan Sobari saat tak mendapat jawaban.

“Bah?” Padma mulai panik karena Sobari tak bergeming.

Gadis itu mengarahkan tangannya pada hidung Sobari. Kakinya terasa melayang saat dia tidak merasakan hembusan udara di sana.

“ABAAAAAAAAH.”

Raungan Padma membelah malam. Keheningan langit mendadak terkoyak saat gadis yang kini yatim piatu itu berteriak serak.

 

BAB 2


“Saya terima nikah dan kawinnya Padma Binti Sobari dengan mas kawin gelang emas dua puluh empat karat seberat tiga suku dibayar tunai.”

“SAH!”

“Alhamdulillah ….”

Padma menarik napas panjang mendengar ucapan hamdalah memenuhi area pekuburan. Wanita itu kembali terisak pelan melihat gundukan tanah merah yang masih basah. Di atas pusara Abahnya, akad nikah dilaksanakan. Kedua tangan saling berjabat mantap dengan kuburan Sobari di bawahnya.

Sagara Bimasena. Lelaki yang kini menjadi suaminya. Padma bahkan baru tahu nama itu saat tadi ijab kabul dilaksanakan. Ekor matanya melirik wajah Sagara yang terlihat datar. Rahang tegas, hidung mancung dan tatapan mata tajam membuat kesan dingin yang sangat jelas terlihat.

Tadi malam, dengan bantuan tetangga Padma langsung menelepon Ranu. Dia takut jika ditunda-tunda justru akan membuatnya lupa karena larut dalam kesedihan. Begitu kabar itu melesat ke kota, secepat kilat Ranu memerintahkan anak dan cucunya untuk bersiap. Mereka yang tidak tahu apa-apa hanya menurut saat Ranu menggiring mereka naik ke helikopter di pagi buta. Apa hal yang sangat mendesak hingga terburu-buru seperti ini? Tanya itu terus memenuhi kepala mereka.

Sagara hanya menarik napas panjang saat Kakeknya menjelaskan secara singkat begitu mereka duduk di samping jasad Sobari yang terbujur kaku.

Padma Binti Sobari.

Beruntung nama calon istrinya itu hanya satu kata, sehingga tidak sulit baginya menghafal dan mengingat nama itu. Sagara tidak dapat mengelak. Keputusan Ranu adalah mutlak. Tidak ada gunanya menolak.

Padma.

Ya, nama Padma hanya terdiri dari satu kata. Seingat Padma, dulu Sobari pernah bercerita kalau mamaknya sangat menyukai bunga teratai. Wanita itulah yang memberinya nama itu bahkan sejak dia masih dalam kandungan. Dari cerita Sobari, Padma mengetahui bahwa Padma adalah bunga yang menjadi lambang kesucian. Kedua orangtuanya berharap agar hidup Padma kelak akan selalu terjaga dan terhindar dari perbuatan buruk seperti doa yang tersemat dalam namanya.

“Pad, salim sama suamimu.”

Padma yang sedang melamun sedikit tersentak saat tangan Wak Retena menyentuh pundaknya. Dia bergegas mengikuti Sagara yang sudah berdiri lebih dulu. Untuk pertama kalinya, tangan mereka bersentuhan.

Sagara menarik napas panjang merasakan tangan Padma yang dingin dan sedikit gemetar. Lelaki itu mencium puncak kepala Padma yang tertutup jilbab setelah diberikan kode oleh Ranu. Bertepatan dengan itu, ekor mata Padma menangkap satu sosok yang berdiri di antara pelayat lain.

Dalam sekejap, pandangan mereka bertaut. Aduh, Padma dapat melihat dengan jelas Fahri terluka. Mata yang biasanya cemerlang itu kini redup dan memerah. Walau begitu, Fahri tetap berusaha memberikan senyum pada Padma.

Padma menggigit bibirnya kencang hingga terasa asin. Baru saja tadi malam dia ditinggalkan Abah, pagi ini dia kembali kehilangan orang terkasihnya.

Fahri. Padma mendesahkan nama lelaki yang sangat dekat dengannya itu dalam hati. Mereka sudah berteman sejak kecil. Rumah yang bersebelahan, membuat mereka sudah seperti kakak dan adik. Lelaki itu pulalah yang tadi malam pertama datang ke rumah dan mendobrak pintu agar bisa masuk saat mendengar teriakan Padma.

Mereka tidak pacaran. Namun, siapapun tahu kedekatan Padma dan Fahri lebih dari sekedar teman. Kedua anak manusia itu pun menyadari, ada rasa lain yang terpatri di hati walau tak pernah mereka ucapkan.

Menunggu, itulah yang mereka lakukan selama beberapa tahun ini.

Fahri bekerja keras di sawah dan ladang, kadang juga ikut membantu petani lain dengan menerima imbalan. Dia berusaha mengumpulkan banyak tabungan agar cukup untuk modal mereka berumah tangga.

Sementara Padma menyadari, Fahri masih harus membantu ibunya membiayai kedua adiknya yang masih sekolah. Keadaan Fahri dan adik-adiknya yang yatim sejak kecil membuat kehidupan mereka pas-pasan. Fahri merasa kasihan jika harus menyeret Padma dalam kehidupan sulit yang dia jalani. Sehingga, Padma yang mengerti memilih menanti dan bersabar dalam diam. Berharap semesta segera merestui hubungan mereka.

Retena mengusap belakang Padma. Ibunda Fahri itu tahu jika mata anaknya dan Padma terus bertatapan sejak tadi. Sebelum yang lain menyadari, dia segera menyadarkan Padma. Bisa kacau urusan jika mereka harus berhadapan dengan keluarga Ranu Bimasena, orang yang didaulat sebagai konglomerat dengan kekayaan nomor satu di negeri ini.

“Uwak pulang duluan ya, Pad? Menyiapkan acara yasinan abahmu nanti malam, sekalian syukuran pernikahanmu hari ini.” Retena pamit pada Padma yang sepertinya masih betah duduk di dekat pusara Sobari. Beberapa tetangga yang ikut melayat pun sudah mulai meninggalkan tempat itu, hanya tersisa Fahri, Retena dan keluarga Ranu Bimasena.

Padma langsung memeluk Padma, tangisnya tumpah di bahu wanita itu. Retena sudah dia anggap Ibu sendiri. Besar harapannya bisa benar-benar memanggil wanita itu Ibu saat kelak menjadi istri Fahri.

“Sabar …,” bisik Retena di telinga Padma.

“Padma, ayo kita pulang, Nak.” Ranu tersenyum pada Padma. Lelaki itu menarik napas panjang, wajah cucu menantunya itu benar-benar sempurna mengukir wajah Sobari. Seseorang yang sudah dia anggap anak walau di tubuh Sobari tidak mengalir darahnya.

Hutang nyawa membuat Ranu sangat berterima kasih pada lelaki yang dua puluh tahun lalu sempat menjadi supir pribadinya selama sepuluh tahun. Kalau bukan karena Abah Padma, mungkin saat ini dia sudah tidak di dunia lagi.

“Mari pulang. Abahmu sudah berada dalam rumah abadi. Tugasnya di dunia sudah selesai, saatnya kita mendoakan agar perjalanannya di akhirat sana disertai dengan kemudahan.”

Padma mengangguk mendengar ucapan Ranu. Wanita itu benar-benar bingung harus bersikap seperti apa. Bagaimanalah? Dulu, dia hanya menyaksikan orang-orang ini di dalam televisi setiap kali menumpang menonton televisi milik desa di kantor kelurahan. Kini, dalam sekejap dia berubah menjadi menantu dari keluarga terpandang itu.

Padma bahkan mendengarkan bisik-bisik tetangga yang bertanya, sebenarnya apa rahasia dibalik semua sehingga orang terkaya itu melangsungkan pernikahan antara cucunya dan Padma tepat di hari Sobari dikuburkan? Bukankah selama ini semua juga tahu kalau Padma dan Fahri saling menunggu?

“Sobari, tenanglah di alam sana, Nak. Hutang dan kewajiban yang harus kau bayar padaku sudah lunas. Kini, anakmu menjadi cucu menantuku. Aku akan memastikan dia hidup dalam keadaan yang jauh lebih baik dari dua puluh tahun yang pernah dilaluinya selama ini.” Ranu mengusap air matanya yang mengalir. Wajah Sobari muda saat menyelamatkannya dari maut puluhan tahun lalu kembali berkelebat. Percikan darah membuat lelaki itu bergidik ngeri.

Padma menoleh sekali lagi ke gundukan tanah merah yang masih basah sebelum melangkahkan kaki menuju rumah. Andai menurutkan hati, dia ingin duduk di sana saja, menemani jasad abahnya di bawah sana. Namun, rasa segan dan sungkan pada keluarga Ranu Bimasena membuatnya menurut saat sekali lagi Ranu, lelaki dengan rambut sudah memutih semua dan wajah yang terlihat menyenangkan itu kembali mengajaknya meninggalkan tempat itu.

“Ada banyak hal yang bisa membuatmu perlahan melupakan kesedihan, Nak. Mengenal Sagara, suamimu dan bertemu banyak orang baru di kota sana akan menjadi obat yang paling baik untuk menyembuhkan luka karena kehilangan.”

Padma mengangguk sambil mengedarkan pandangan. Dia baru menyadari, sejak tadi hanya Ranu yang sering berbicara. Sementara Sagara dan kedua orangtuanya lebih memilih menjadi pendengar. Soka, Ayahanda Sagara bahkan sibuk dengan ponselnya. Lelaki itu membatalkan banyak janji dengan klien karena kepergian mereka yang mendadak.

Malam itu, Padma menatap kosong pada Fahri yang membantu mengisikan teh hangat ke gelas-gelas tetangga yang datang untuk membacakan yasin dan memberi selamat atas pernikahannya. Sementara di sampingnya, Sagara membisu. Entahlah, Padma bahkan tidak berani membayangkan akan seperti apa pernikahan yang mereka jalani nanti.

Ah … kenapa kehidupan tega benar padanya? Sedih karena kehilangan Abah juga sakit karena tidak berjodoh dengan orang yang dia suka membuat Padma seperti kehilangan jiwa. Bahkan, di keluarga konglomerat itu hanya Ranu yang menerimanya dengan tangan terbuka. Sementara Sagara dan kedua orangtuanya terlihat acuh dan tidak nyaman berada di tempat yang sangat sederhana ini.

Padma mengalihkan pandangan keluar saat mendengar suara hujan yang semakin kencang. Ah … semesta tahu benar perasaannya. Langit seakan ikut menangis menyaksikan yatim piatu itu dikungkung kesedihan dan kebingungan.

Menikah sebagai bentuk pelunasan utang orangtua? Padma merasa tak berharga di mata keluarga Ranu Bimasena. Dia merasa hanyalah benda, bukan manusia yang punya rasa. Mulai siang tadi, hidupnya sudah tak lagi menjadi miliknya.  Saat kata sah terucap, kemerdekaan yang menjadi haknya sudah dirampas sedemikian rupa.


BAB 3

 

“Boleh kita disini dulu sampai tujuh hari Abah … Kak?” Padma ragu-ragu memanggil “Kak” pada Sagara.

Mereka tinggal berdua di rumah ini, setelah acara yasinan sekaligus selamatan pernikahan tadi malam, Ranu dan kedua orangtua Sagara langsung pulang. Banyak pekerjaan menunggu di kota. Kemarin mereka terpaksa membatalkan semua agenda penting karena berangkat mendadak, apalagi Soka ada jadwal terbang ke Ibukota siang ini.

Rencana pertemuan untuk membicarakan pembukaan lahan yang baru hari ini seharusnya dilakukan oleh Sagara. Namun, Ranu berkeras agar Sagara tetap di sana menemani Padma. Akhirnya, mau tidak mau Soka yang menggantikan anaknya berangkat.

“Tinggal lah dulu di sini beberapa waktu, Gara. Temani istrimu melewati kesedihannya. Kalian bisa mulai saling mengenal satu sama lain, dengan hanya hidup berdua, akan membuat kedekatan itu terjalin secara alami,” ucap Ranu sebelum naik ke helikopter yang sudah menunggu di lapangan tadi pagi.

“Kak?” Padma kembali menyapa Sagara saat dilihatnya lelaki itu terus saja termenung dengan pandangan mata lurus ke arah ujung jalan sana.

“Boleh kita di sini dulu sampai tujuh hari Abah?” Padma mengulangi bertanya saat Sagara menoleh.

Sagara menarik napas panjang dan mengangguk pelan. Pikirannya sudah tidak di sini lagi sehingga tidak fokus. Ada banyak hal yang terus berputar di otaknya. Apa yang terjadi terasa seperti mimpi. Dalam sekejap, dia telah menjadi seorang lelaki bergelar suami. Parahnya, Sagara bahkan tidak mengenal wanita yang kini menjadi istrinya. Namanya pun baru dia ketahui sesaat sebelum akad.

“Ini tehnya, Kak.” Padma meletakkan segelas teh hangat dengan setangkai bunga melati di atasnya.

Ujung bibir Sagara sedikit terangkat melihat teh hangat yang diletakkan Padma di depannya. Minuman itu terlihat cantik. Bunga melati yang mengambang di air terlihat putih bersih diantara asap teh yang masih mengepul sedikit. Lelaki itu menyesapnya pelan. Ah … rasa manis gula dan pahit dari teh berpadu dengan wangi melati membuat pikirannya menjadi sedikit lebih segar.

Sagara menyipitkan mata. Dia baru menyadari pagar rumah yang terbuat dari bambu di bawah sana dipenuhi oleh tanaman melati. Dari jendela rumah kayu tempatnya duduk, Sagara dapat melihat bunga putih dengan kelopak kecil-kecil itu sedang mekar sehingga sangat sedap dipandang.

Sebetulnya, suasana desa ini sangat menyenangkan baginya. Sagara yang terbiasa melihat kemacetan, bangunan dan bertemu banyak orang setiap harinya merasakan ketenangan di desa terpencil ini. Tempat itu masih sangat alami, listrik pun hanya menyala dua kali seminggu.

Pohon bambu yang tumbuh lebat di belakang rumah penduduk seolah memagari desa itu dari dunia luar. Suara daunnya yang saling bergesekan ditiup angin menimbulkan suara khas yang sangat menyenangkan bagi Sagara.

Cahaya matahari pagi yang menyusup perlahan dari sela-sela bambu menambah keindahan pagi. Lelaki itu bahkan mengangkat alis dan membuka mata selebar mungkin saat melihat embun perlahan menguap karena matahari mulai meninggi. Dari rumah panggung setinggi hampir dua meter ini, Sagara dapat memperhatikan sekitar dengan jelas.

Sementara di sini, Padma menatap Sagara yang sedang menyesap teh. Pandangan mata wanita itu tidak lepas dari wajah datar suaminya. Belum ada obrolan sama sekali di antara mereka, lebih tepatnya mereka bingung apa yang harus dibicarakan.  Padma taurus menduga-duga, Sagara memang pendiam atau masih sungkan?

Kalau melihat penampilannya di televisi, lelaki itu sangat ramah dan rendah hati. Namun, saat berhadapan langsung Sagara hanya mengangguk dan menggeleng setiap kali Padma bertanya. Bagaimanalah dia akan membuka obrolan jika lawan bicaranya seolah enggan menanggapi?

Padma menarik napas panjang untuk ke sekian kali. Wanita itu sering kali mengeluh. Sebenarnya kehidupan seperti apa yang sedang dia jalani ini?

“Kak? Padma izin ke tetangga samping sebentar ya, ke rumah Wak Retena?” Padma langsung berdiri tanpa menunggu jawaban Sagara.

Padma sudah bisa menduga lelaki itu hanya akan mengangguk tipis sebagai jawaban. Walau begitu, Padma paham untuk keluar rumah dia harus izin pada suami. Itulah yang selalu Wak Bekar katakan saat mengisi pengajian di masjid setiap malam jum’at.

“Waalaikumsalam, Padma? Sini, sini masuk.” Retena yang sedang menganyam daun pandan untuk dijadikan tikar langsung meletakkan pekerjaannya saat melihat Padma datang.

“Mana suamimu?” Retena menepuk lantai kayu di sebelahnya, mengajak Padma duduk di sana.

“Ada di rumah, Wak. Sedang minum teh sambil menikmati matahari pagi sepertinya. Maklum orang kota. Padma perhatikan kok ya seperti sering keheranan melihat lingkungan di sini.” Padma langsung duduk di samping Retena dan ikut membantu menganyam daun pandan.

Dua wanita berbeda generasi itu tersenyum berbarengan. Retena merasa sedikit lega melihat senyum di wajah Padma. Sungguh, kemarin dia sangat sedih melihat wanita yang biasanya riang dan ceria itu mendadak menjadi sangat pendiam dan terus-terusan menangis.

“Iya, malah kata Fahri pagi tadi suamimu itu asyik berlama-lama di sungai melihat anak-anak berenang kesana kemari.” Retena sedikit tertegun karena kelepasan membawa nama anaknya dalam obrolan mereka. Dia melirik Padma dengan ekor mata. Retina menarik napas lega melihat wajah wanita itu terlihat datar saja.

Sementara Padma menahan napas saat nama Fahri terucap. Hampir saja dia bertanya dimana sahabatnya itu berada. Namun, Padma urung melakukannya. Entahlah, dia merasa hal itu tidak patut ditanyakan.

“Wak ….”

“Iya, Pad?” Retena menoleh pada Padma. Mata sembab dan kelopak mata yang bengkak menandakan kesedihan itu masih pekat mengungkung hati Padma.

“Wak, Padma titip sawah dan rumah ya? Kemungkinan selepas acara tujuh hari Abah kami akan berangkat ke kota. Kakek Ranu meminta Padma ikut ke sana karena pekerjaan Kak Sagara tidak bisa ditinggalkan.”

Retena menarik napas panjang mendengar suara Padma yang sangat perlahan. Dia tahu, pasti berat bagi wanita berusia dua puluh tahun itu meninggalkan tempat ini. Pun dengan Retena, ada yang menggelitik jauh di dalam dadanya saat mengetahui Padma akan diboyong ke tempat yang jauh. Walau hidup serba dalam kekurangan, hubungan mereka sebagai tetangga terjalin dengan baik. Dia bahkan sudah menganggap Padma sebagai anaknya sendiri.

“Ah … kamu sudah besar, Pad. Rasanya baru kemarin Uwak mengambilkan mangga muda di ujung kampung saat mamakmu ngidam.” Retena terkekeh, bayangan masa lalu melintas dalam ingatannya. Dia bahkan seakan bisa mendengar Sobari yang berseru-seru panik saat pertama kali memandikan Padma yang masih berusia tiga hari.

“Untuk pembagian hasil sawah bagaimana, Pad? Uwak berikan kemana maksudnya, kalau ditabung dan menunggu kamu kembali, Uwak takut uangnya terpakai.”

“Tidak usah, Wak. hasilnya biar buat Uwak semua. Padma cuma berharap agar rumah dan sawah peninggalan Abah ada yang mengurus.” Padma menjawab dengan cepat pertanyaan Retena.

“Apa mau dijual? Biar nanti Uwak bantu rawat sambil dicarikan pembeli kalau mau dijual.”

“Tidak usah, Wak. padma tidak ada niat menjualnya. Padma tidak tahu ke depan akan seperti apa. Bisa saja suratan takdir membawa Padma kembali ke sini lagi. Kehidupan kita sangat jauh dengan mereka, Wak. Kalau kata Wak Bekar saat pengajian, kami tidak sekufu. Lagipula, Padma kan cuma sebagai pembayar hutang, Wak.”

“Jangan begitu, Pad. Berdoalah yang baik-baik. Semua sudah diatur Allah. Walau bagaimanapun, pernikahan ini terjadi atas izin-Nya. Kalian sudah terikat, dan ikatan itu dicatat sebagai perjanjian tertinggi di langit-Nya.”

Padma menutup wajah mendengar ucapan Retena. Ya, dia paham sekali maksud uwaknya itu. Perjanjian paling mengikat adalah akad. Perjanjian tentang pertaruhan kehidupan akhirat. Bukan hanya antara dua hati, tapi perjanjian mereka dengan Ilahi.

Tangis Padma akhirnya pecah saat Retena memeluknya. Sungguh, dia belum siap menghadapi semua ini.

Sementara di sini, dibalik dinding papan yang memisahkan mereka, Fahri menarik napas panjang. Dia sengaja berdiam diri saat tahu Padma datang. Biasanya, lelaki itu yang paling bersemangat menyambut Padma setiap kali temannya itu datang karena ada keperluan.

“Bagaimana ini, Wak? Padma harus bagaimana? Kenapa Abah pergi sekarang? Padma belum siap kehilangan Abah.”

Fahri menggigit bibirnya kencang mendengar suara tangisan Padma. Dia bahkan tidak sanggup membayangkan wajah Padma yang bersimbah air mata. Lelaki itu menekan dadanya yang terasa sesak. Isakan Padma yang semakin kencang membuat hatinya terasa sangat sakit.

“Dalam sekejap kehidupan Padma berubah, Wak. Abah, satu-satunya orang yang Padma punya kini sudah tiada. Tambahan pula kini Padma menikah dengan orang yang bahkan dalam mimpi pun tidak pernah Padma bayangkan akan bertemu.” Padma memeluk erat Retena seolah mencari tempat berpegang, bahunya berguncang kencang.

“Akan seperti apa kehidupan Padma ke depan, Wak? Bagaimana Padma menempatkan diri di antara keluarga konglomerat itu? Tolong Padma, Wak, tolong ….”


BAB 4


“Tapi tidak harus menikahkan Sagara dengan gadis kampung itu, Pa! Papa tidak memahami bagaimana perasaannya. Dia itu calon penerus pimpinan perusahaan kita. Sudah sepantasnya berdampingan dengan seorang wanita yang sejajar. Ya setidaknya dari segi pendidikan dan penampilan. Apa Papa bisa membayangkan akan bicara apa gadis kampung itu kalau mendampingi Sagara saat ada acara dengan rekan-rekan bisnisnya?”

“Gadis kampung itu punya nama.”

Soka berdecak sebal mendengar ucapan Ranu. Pimpinan perusahaan Bimasena Abadi Group itu menghembuskan napas kencang. Di sampingnya, Danisa mengelus tangan Soka. Wanita yang masih terlihat cantik walau sudah berusia lanjut itu berusaha menenangkan suaminya.

“Kenapa harus menikahkannya dengan Sagara, Pa?”

“Lalu, harus kunikahkan dengan siapa Padma? Bukankah Sagara cucuku yang paling siap menikah dan usianya sudah matang? Atau sebenarnya kau yang mau menikah dengannya?” Ranu terkekeh mendengar ucapannya sendiri. Dia melirik pada Soka yang kembali mendengus kencang. Sementara Menantunya, Danisa, terlihat berusaha keras mengulum senyum.

“Maksudku, kenapa harus menikahkan mereka?” Soka bertanya dengan nada putus asa sambil menatap Ranu yang sibuk membolak-balik surat kabar. Dia merasa gemas sekali dengan orangtuanya itu.

“Aku berhutang nyawa pada Sobari.” Ranu memejamkan mata saat membawa nama Sobari pada percakapan mereka. Sungguh, hatinya masih sakit mengingat lelaki desa yang baik itu telah tiada.

Soka mengepalkan tangan dan memukul pahanya cepat. Dia benar-benar merasa semua yang terjadi dalam keluarga mereka adalah lelucon. Halaman samping yang sejuk dan dipenuhi oleh tanaman hias itu mendadak terasa gerah baginya. Bahkan, suara gemericik air yang berasal dari air terjun buatan untuk mengairi kolam ikan hias terdengar sangat menyebalkan bagi Soka.

“Hutang nyawa tidak harus dibayar dengan menikahkan Sagara dan Padma, Pa. Kita bisa berikan gadis kampung itu modal sehingga membuka usaha. Atau bisa saja kita berikan biaya bulanan sehingga hidupnya akan terjamin.” Soka menjawab sambil berusaha menekan emosi. Papanya itu memang seringkali menguji kesabarannya.

Dia bahkan bingung bagaimana caranya Ranu bisa membuat perusahaan Bimasena menjadi sebesar sekarang. Padahal, Ranu terlihat jarang sekali serius. Pendiri perusahaan Bimasena itu memang senang bercanda. Dia terkenal sebagai pengusaha yang ramah dengan wajah menyenangkan.

“Masalahnya, Sobari juga punya hutang padaku.” Ranu kebali terkekeh.

“Hutang apa? Astaga!” Soka memukul meja karena merasa sangat gemas dengan Ranu. hutang apa pula maksud papanya, bukankah bisa langsung dianggap lunas saja maksudnya. Ikhlaskan. Sehingga tidak harus mengorbankan Sagara.

“Pa.” Danisa kembali mengelus tangan Soka.

“Aku sudah mengatakan pada Sobari dia tidak perlu membayar hutang itu. Namun, dia tetap menganggap itu hutang dan berkeras berjanji untuk melunasinya.”

“Ah! Itu hanya akal-akalan mantan supir Papa saja.” Soka mendengus. “Dia sengaja melakukan itu agar keturunannya bisa hidup enak dan menjadi bagian dari keluarga Bimasena,” sambungnya.

“Jaga ucapanmu, Soka!”

Soka mengatupkan mulut rapat mendengar bentakan dari papanya. Ranu terlihat sangat marah. Napasnya terdengar cepat. Otot-otot di pelipisnya terlihat menyembul.

“Dia menyelamatkan nyawaku, Soka. Lelaki yang baru saja kau hina itulah yang dulu tanpa berpikir dua kali ikut bertarung menantang maut saat pintu kematian sudah terbuka untukku.” Ranu mengepalkan tangan. Dia sudah cukup bersabar dengan sikap angkuh dan arogan anak sulungnya itu selama ini. Biasanya, Ranu tidak pernah menanggapi serius setiap ucapan Soka. Namun, dia tidak bisa membendung emosi saat mendengar berkali-kali Soka menghina Sobari.

“Aku bahkan tidak tahu sedang apa kau di bagian bumi yang lain saat aku bergelut dengan maut. Kalau bukan karena Sobari, aku tidak akan duduk di sini hari ini!”

Hening. Soka dan Danisa membisu mendengar kemarahan Ranu.

Ranu menarik napas panjang. Dia berusaha mengendalikan diri. Bunyi gemericik air terdengar sangat jelas diantara keheningan mereka. Mendadak bayangan masa lalu menyergap Ranu. pikirannya berkelana ke saat itu, tiga puluh tahun yang lalu. Kala itu, persis seperti saat ini, bunyi gemericik air terjun terdengar sangat jelas.

“Bukankah ini sudah kali ketiga kita melewati tempat ini?” ucapan Bahar sontak membuat langkah terhenti. Kelima orang yang sudah terlihat sangat kepayahan itu saling berpandangan.

“Apa maksudmu, Bahar?” Ranu memutuskan duduk di salah satu batu yang menyembul sedikit lebih tinggi dari sungai. “Daerah ini memang banyak air terjun, wajar saja kalau berkali-kali kita temui sebelum sampai ke tempat tujuan.”

“Tidak, Kak. Lihat itu! Itu botol air mineral yang tadi kubuang saat pertama kali kita kemari. Di sampingnya bahkan masih terletak bungkus snack yang kubuang begitu kita melewati tempat ini untuk kedua kali.” Bahar menunjuk semak di pinggir sungai.

Kelima orang itu mendadak mematung. Mereka saling berpandangan dengan tatapan bingung. Ranu menarik napas panjang. Dia mendongak berusaha melihat ujung tertinggi air terjun yang mengalir deras di dekat mereka. Hatinya mendadak cemas, kalau cerita yang pernah dia dengar dulu benar adanya, maka celakalah mereka.

“Air terjun yang ujung tertingginya tidak bisa kau lihat dari bawah walau menggunakan alat paling canggih sekalipun. Di sekelilingnya, pohon bambu tumbuh rapat seolah melindungi keperawanan wilayah itu dari dunia luar. Batu-batu sungai yang berasal dari aliran air terjun tersusun rapi di kedua sisi. Beberapa menyembul tidak terlalu tinggi, beberapa tenggelam ke dalam air. Batu-batu itu terlihat mengkilap walau tidak ada cahaya matahari.”

Ranu menahan napas saat memperhatikan sekitar. Tempat mereka berpijak saat ini, sama persis dengan cerita yang pernah dia dengar dari tetua kampung yang dia temui bertahun lalu.

“Dengarlah pesanku, Tuan Ranu. Walau kau mempunyai banyak harta untuk membeli semua, ada satu tempat di tanah Sumatera ini yang tidak akan bisa kau jadikan perkebunan untuk memperkaya diri. Berhati-hatilah, mungkin kini kau bisa mengusir kami dari tanah nenek moyang kami untuk dijadikan perkebunan cengkeh ataupun tembakau. Namun, saat kau tidak bisa berhenti, tanah ini akan mengambil haknya lagi dengan cara yang tidak pernah kita ketahui.”

“Kak?” Bahar mengguncang bahu Ranu yang terlihat pucat.

“Air terjun perawan, kita berada tepat di jantung hutan tanah Sumatera.”

Keempat orang yang mendengar ucapan Ranu menahan napas. Apakah legenda itu benar-benar ada?

Awalnya, mereka nekat mengunjungi daerah ini tanpa pengawalan dari penduduk setempat. Pembicaraan yang bertele-tele dan memakan waktu lama membuat mereka tidak sabar lagi. Ranu bersama Bahar, adiknya, nekat menyusuri daerah yang rencananya akan dijadikan tempat untuk perkebunan baru. Bersama ketiga orang ahli, mereka berangkat untuk melihat apakah benar kabar yang mereka dengar kalau daerah itu cocok untuk rencana usaha mereka.

Dengan modal peta seadanya dari lurah yang berhasil Ranu suap, berangkatlah mereka berlima menuju hutan yang mereka inginkan. Ranu ingin memastikan sendiri wilayah ekspansinya karena tidak mudah percaya dengan orang lain. Zaman itu, usaha Ranu sudah cukup maju. Nama Bimasena Abadi Group mulai ramai menjadi perbincangan karena berhasil menembus urutan lima puluhan lini atas perusahaan ternama.

“Kita coba susuri daerah ini sekali lagi, setiap sepuluh meter berikan tanda bahwa kita sudah melewati jalan itu agar kita tidak kembali lagi. Perhatikan dengan benar arah jarum kompas yang kita gunakan.”

Pucat.

Wajah kelima orang itu terlihat semakin pucat saat setengah jam kemudian mereka kembali lagi berdiri di depan air terjun yang menjulang tinggi. Selama dua jam ini, mereka sempurna hanya berputar-putar di sekitar sana. Ketakutan itu semakin membesar saat hari mulai gelap. Mereka tidak membawa persiapan untuk bermalam karena menurut peta dari lurah, tidak sampai dua jam perjalanan bolak-balik antara tempat tujuan mereka dan desa.

Lapar, dingin, lelah membuat kelima orang itu kehilangan selera untuk bercakap-cakap. Mereka memilih duduk melingkar saling beradu punggung dalam kegelapan. Beruntung, bulan purnama bersinar terang di atas sana.  Biarlah, malam ini mereka lalui di sini. Besok saat sudah ada sinar matahari, mereka bisa mulai memikirkan jalan agar bisa kembali.

Malam beranjak meninggi saat tempat itu mendadak menjadi sangat hening. Suara jangkrik yang tadi ramai tak terdengar lagi. Bahkan, bunyi air terjun yang tadinya terdengar sangat kencang mendadak berhenti.

“Pak Ranu?” Salah satu tim ahli Ranu bersuara.

“Ssssttt.” Ranu memberi kode agar tetap diam.

Di tengah hutan, bukan suara ranting patah atau sejenisnya yang membuat ngeri. Namun, saat suara yang tadinya ramai mendadak hening seketika. Berdasarkan insting dan pengalaman Ranu, itu semua menandakan ada kekuatan besar yang sangat mengendalikan sehingga tempat itu tunduk pada penguasanya.

Lima menit setelah tombol suara seakan dimatikan dari tempat itu, suara ranting patah ramai terdengar. Kelima orang yang dikuasai rasa takut itu semakin menciut. Mereka tahu pasti apa yang mendekat saat mendengar suara dan dengusan napas hewan itu.

Harimau Sumatera. Penguasa jantung hutan tanah Sumatera yang telah dengan lancang mereka masuki.

Mereka seakan kaku tak bisa bergerak saat lima ekor harimau yang panjangnya hampir mencapai 2,5 meter itu mengelilingi mereka. Cahaya bulan purnama membuat mereka dapat melihat dengan jelas seringai dari mulut hewan yang terus mengeluarkan air liur itu.

Saat kelima harimau itu siap menerkam, saat mulutnya terbuka lebar menampakkan susunan gigi runcing dengan dua kaki depan terangkat tinggi, saat kelima orang itu pasrah dengan nasib mereka menjadi santapan sang Raja Hutan, saat itulah, satu cahaya obor terlihat mendekat hingga membuat konsentrasi hewan-hewan itu terpecah.

“PUYANG!” Teriakan dari pemuda kampung itu membuat kelima harimau mengalihkan perhatian.

“Jengen, Puyang. Rumbungen itu adou keluargou. Maafkan diou yang masuk sini ekdew permisi agi. (Jangan, Puyang. Mereka ada keluarga. Maafkan dia yang masuk ke daerah ini tanpa permisi.)”

Ranu dapat melihat dengan jelas tatapan mata pemuda itu yang berkilatan ditimpa cahaya obor yang dia bawa. Dia menautkan alis saat melihat kode dari tangan si pemuda. Setelah menguasai diri, Ranu mengangguk dan mulai mengarahkan timnya.

Saat kelima harimau itu mulai teralih perhatiannya pada si pemuda. Kelima orang itu bergerak pelan dan menjauh. Mereka berlari tunggang langgang saat dirasa sudah cukup jauh.

“AAAAAAAA.” Langkah Ranu terhenti saat mendengar teriakan. Lelaki itu, menoleh dan melihat pemuda desa tadi tersungkur. Setelah pergulatan batin, Ranu memutuskan kembali.

“Adou biniku di humeh, kami katiak keluargou agi. Anak pun belum adou. Siapou kan jedi kancou nou amun aku jedi makanan, Puyang? (ada istriku di rumah, kami sudah tidak ada keluarga lain lagi. Anak pun belum punya. Siapa yang akan jadi temannya kalau aku jadi makanan, Puyang?)”

Ranu gemetar hebat saat melihat darah membasahi baju bagian belakang si Pemuda yang robek. Kakinya mendadak lemas melihat tatapan marah dari kelima harimau yang mengelilingi si pemuda yang dia yakin sekali seumuran dengan anak tertuanya, Soka. Sesekali dia mengibarkan obor saat salah satu harimau bergerak maju hingga membuat hewan itu mundur kembali melihat cahaya api.

Entah apa yang terjadi, mendadak kelima penguasa hutan itu merunduk dan berbalik pergi. Secepat kilat Ranu mendekati si pemuda dan membantunya berjalan. Andai saja dia membawa senapan, tentu tidak akan seperti ini. Namun, mereka pergi tanpa persiapan sama sekali siang tadi karena terlalu menggampangkan semua.

“Sobari, nama saya Sobari.” ucap pemuda itu sebelum akhirnya jatuh pingsan dipelukan Ranu.

“Sobari.” Ranu mendesiskan nama pemuda yang telah menyelamatkan nyawanya tiga puluh tahun lalu.

“Berhentilah membahas hal yang tidak penting Soka! Aku berhutang nyawa pada Abah Padma.”

Soka mengusap wajah sambil menghembuskan napas kencang. Mau ditaruh dimana wajahnya di hadapan Hendratama? Baru seminggu yang lalu Soka menyambut hangat tawaran Hendratama untuk mendekatkan anak mereka. Anak semata wayang calon investornya itu ternyata sudah lama ada hati pada Sagara. Apa jadinya proyek bernilai ratusan miliar yang akan mereka garap kalau sampai Hendratama tahu Sagara sudah menikah?

 

BAB 5


“Sagara punya hati, Pa!”

“Omong kosong!” Ranu memukul meja hingga minuman di atasnya tumpah membasahi taplak berwarna hijau lembut itu. “Kau ingin menikahkan Sagara dengan anak rekan bisnismu, kan? Jangan kira aku tidak tahu perihal rencana perjodohan dengan anak Hendratama!"

Soka mengatupkan mulut rapat-rapat mendengar ucapan papanya. Lelaki itu memilih bungkam karena setiap ucapannya selalu dimentahkan oleh Ranu.

"Soka … Soka … jauh sebelum kau memimpin perusahaan hari ini, Aku sudah malang melintang di dunia itu. Berapa kali harus kukatakan? Tunjukkan saja kualitas kita. Saat mereka melihat hasil kerja yang baik, tanpa dimintapun investor-investor itu akan datang dengan sendirinya." Ranu kembali terkekeh saat mendengar anaknya mendengus.

Sementara soka semakin menutup rapat mulutnya. Dia benar-benar pusing dengan papanya. Memangnya dunia bisnis saat ini masih sama dengan puluhan tahun lalu? rutuknya dalam hati.

"Bisnis itu selalu sama dari waktu ke waktu, anakku. Tidak dulu, tidak juga sekarang, polanya tetap sama. Semua hanya berkisar antara untung dan rugi." Ranu menoleh pada Soka. Lelaki itu dapat mengetahui apa yang sedang dipikirkan anaknya itu saat ini. Soka, putra pertamanya itu benar-benar mewarisi seratus persen setiap tetes watak dan cara berpikirnya di masa muda.
“Sagara punya kekasih, Pa.” Danisa berkata lembut. Dia segera membantu asisten rumah tangga yang baru datang untuk mengganti taplak meja baru. Wanita itu langsung memanggil ART saat melihat minuman tumpah tadi.

“Apa suamimu akan merestui mereka, Nis? Kudengar gadis itu tidak berasal dari keluarga kaya” Ranu terkekeh. Dia melirik pada Soka yang masih membisu. Ranu tahu persis kriteria menantu bagi anaknya itu.

“Walau bukan dari keluarga kaya, setidaknya pacar Sagara itu berpendidikan dan cantik.” Soka menjawab sekenanya.

“Padma cantik.” Ranu tertawa kencang saat melihat wajah Soka yang memerah. “Kalau kau mau menantu yang berpendidikan, aku bisa menguliahkan dia sampai menjadi profesor, Soka,” sambungnya.

“Sudahlah, Soka, keputusanku sudah bulat. Lagipula, mereka sudah menikah. Biarkan Sagara dan Padma saling mengenal tanpa ada tekanan dari kita. Toh, Papa dan Mama dulu juga dijodohkan. Hasilnya? Ya kau dan adik-adikmu lah ha ha ha.”

“Tapi, Pa ….”

“Tidak ada tapi-tapian! Mereka sudah menikah, artinya Padma dan Sagara memang sudah digariskan Tuhan untuk bersama. Titik!”

Danisa langsung menahan tangan suaminya saat lelaki itu terlihat akan kembali membantah. Wanita itu menggeleng. Dia memberikan kode pada suaminya, percuma terus berdebat. Tidak akan ada hasilnya. Dengan berat hati, Soka akhirnya permisi.

Ranu menarik napas panjang melihat kepergian anak dan menantunya. Mata lelaki itu terus menatap mobil yang membawa Soka dan Danisa hingga pintu gerbang ditutup lagi oleh petugas keamanan.

“Sobari.” Ranu kembali mendesiskan satu nama yang sangat berarti baginya.

Dia tidak hanya berhutang nyawa pada lelaki desa itu. Sobari juga banyak memberinya pemahaman tentang hidup. Lelaki itu bahkan tidak mau menerima imbalan apapun darinya walau dia tahu Ranu adalah orang kaya di kota sana. Sobari hanya minta Ranu membayar biaya pengobatan karena dia tidak mempunyai tabungan. Uang yang sedang ada di tangan istrinya saat itu dia perkirakan hanya cukup untuk biaya makan mereka sampai Sobari bisa beraktivitas kembali.

Sebelum menjadi sopir pribadinya, Sobari bekerja sebagai petani. Setiap hari dia ke sawah, lalu malam harinya Sobari akan pergi ke air terjun untuk menangkap ikan dengan seser. Menurut cerita Sobari, banyak ikan di lubuk dekat air terjun. Malam itu dia baru saja akan pulang saat mendengar auman Harimau yang begitu menakutkan. Nalurinya langsung menuntun ke tempat itu. Bukan tanpa alasan dia meneguhkan hati untuk melihat sendiri sang Raja Hutan itu, hewan itulah yang menyebabkan dia menjadi yatim piatu di usia yang masih sangat muda.

Saat melihat hewan itu mengepung lima orang lelaki, tanpa pikir panjang dia maju ke tengah. Dalam bayangannya saat itu hanya satu, andai lima orang itu meninggal, maka akan banyak anak yang menjadi yatim. Sungguh, Sobari tahu sekali bagaimana sakitnya ditinggalkan oleh orang yang dicintai apalagi jika orang itu adalah tulang punggung keluarga.

“Aku pasti akan menjaga Padma sebagai bentuk terima kasihku karena tidak membiarkan anak-anakku menjadi yatim dan kehilangan arah.” Ranu memejamkan mata. Sungguh, baginya, Sobari lebih dari keluarga.

Genap setahun Ranu mengunjungi Sobari setiap bulan sejak kejadian malam itu saat akhirnya dia mau bekerja padanya. Berkali-kali Sobari menolak karena tidak mau meninggalkan istrinya, tapi keinginan untuk mendapatkan keturunan dan bujukan dari Ranu yang mengatakan Sobari boleh pulang seminggu dalam sebulan membuat lelaki itu luluh.

Dua tahun bekerja, Ranu memasukkan Sobari ke kursus mengemudi. Dia ingin lelaki itu mengalami banyak kemajuan. Namun, sangat sulit dilakukan karena Sobari enggan menerima jika bukan dari kerja kerasnya sendiri.

“Ah … andai kau masih bekerja di sini, mungkin sakitmu bisa segera diobati, Nak.” Ranu menghapus air mata. Baginya, Sobari sudah seperti anak sendiri. Dia selalu menunggu telpon dari lelaki itu setiap tahun untuk menyapa. Awalnya, Ranu sering mengunjungi Sobari. Namun, sejak anak-anaknya menunjukkan ketidaksukaan karena Ranu memperlakukan Sobari begitu istimewa, dia memutuskan tidak lagi berkunjung ke sana.

“Padma, aku yakin Padma pasti menuruni sifat baik Sobari. Aku yakin gadis desa itu bisa mengarahkan Sagara menjadi lebih baik seperti yang dulu yang terjadi padaku.” Ranu kembali bergumam pelan.

Sejak kejadian di Air Terjun tiga puluh tahun yang lalu, Ranu memutuskan mengubah cara bisnisnya. Dia belajar banyak dari kesederhanaan hidup yang Sobari dan istrinya jalani. Walau kekurangan, keluarga kecil itu selalu hidupnya selalu lurus-lurus saja. Kalau dulu dia menghalalkan segala cara untuk memuluskan langkah dan memajukan bisnisnya, saat itu Ranu mulai belajar lebih telaten mengelola dan memaksimalkan sumberdaya yang sudah ada.

Ranu juga mulai melakukan negosiasi dengan cara halus untuk mendekati penduduk kampung jika hendak membeli dan membuka lahan baru. Kalau sebelumnya dia menggunakan kekerasan dan teror bahkan pembakaran pada kampung tujuan, saat itu dia tidak lagi melakukannya. Jika penduduk kampung enggan menjual lahan, dia tidak akan memaksa walau tanah di sana sangat strategis untuk meningkatkan produksi cengkeh dan tembakau.

Namun, sejak saat itu usahanya justru berkembang pesat. Setiap kali ada urusan, semua seolah dipermudah. Hingga akhirnya dia menjadi orang yang sangat disegani. Cabang perusahaannya tersebar di seluruh negeri. Jumlah karyawan perusahaan Bimasena Abadi Group puluhan ribu hingga dinobatkan sebagai orang dengan kekayaan nomor satu di negeri ini. Ranu Bimasena akhirnya dikenal sebagai konglomerat kaya yang rendah hati dan senang tertawa.

Ranu sangat yakin, masa lalu selalu berkelindan dengan masa kini. Apa yang terjadi puluhan tahun lalu, akan mempengaruhi bagaimana kehidupan seseorang puluhan tahun ke depan. Lelaki itu meneguhkan hati, keputusannya menikahkan Sagara dengan Padma bukan sebuah kekeliruan.

Ranu butuh seseorang yang bisa mengarahkan Sagara. Dia berharap semoga seiring berjalannya waktu, Padma bisa meluluhkan hati cucunya itu. Sagara yang dari kecil selalu dituntut berhasil dalam prestasi dan materi, membuat cucu pertamanya itu tidak mengenal kehidupan agama. Ranu sangat berharap istri Sagara adalah seseorang yang mengerti agama. Hal itu dia dapatkan pada Padma. Ranu tahu persis bagaimana kehidupan Sobari. Dia yakin lelaki itu mendidik anak semata wayangnya dengan sangat baik.

Sementara di sini, Soka memegang kemudi dengan sangat kencang. Matanya menatap lurus ke depan.

“Katakan pada Sagara agar menunda mendaftarkan pernikahan mereka ke KUA, Ma.”

Danisa mengangguk mendengar ucapan Soka. Sebenarnya, Danisa juga keberatan dengan keputusan Ranu menikahkan Sagara dengan Padma. Dia terlanjur dekat dengan pacar anaknya yang sudah terjalin bertahun-tahun belakangan ini. Namun, keinginan Ranu tak dapat mereka bantah. Mertuanya itu masih belum menentukan pembagian harta warisan untuk anak-anaknya.

"Cobalah untuk datang sendiri ke rumah Papa, bujuk Papa agar menunda rencana mengadakan resepsi pernikahan Sagara dan Padma. Bila perlu, tidak usah dilaksanakan saja."

Danisa menarik napas panjang. Dia hanya bergumam tak jelas menanggapi permintaan suaminya. Selama ini, Danisa memang sangat akrab dengan Ranu. Dia sering membawakan makanan dan sesekali berkunjung menemani mertuanya itu makan siang. Selain untuk mengisi waktu luang, Danisa terkadang merasa kesepian karena anak bungsunya, adik dari Sagara mulai sibuk dengan kegiatan kuliah. Apalagi sejak Sagara memutuskan membeli rumah beberapa tahun yang lalu. Rumah itu terasa semakin sepi karen Soka seringkali pulang malam.

"Mau ditaruh dimana wajahku di hadapan Pak Hendratama. Belum lagi rencana proyek yang akan kami garap bisa dipastikan batal kalau sampai dia tahu aku mengingkari ucapanku." Soka memukul kemudi kencang, membuat suara klakson terdengar nyaring.

Danisa memilih diam tak menanggapi ucapan suaminya. Dalam sekejap, semua urusan mereka menjadi kacau balau karena seseorang yang bahkan tak memiliki hubungan darah sedikitpun dengan keluarga Bimasena.

 

BAB 6

“Sudah siap?”

Pertanyaan Sagara membuat Padma sedikit gelagapan. Ini kali kedua dia mendengar suara lelaki dengan rahang tegas itu setelah ijab kabul seminggu yang lalu. Padma menarik napas panjang dan mengangguk pelan.

“Biar kubantu.” Sagara langsung mengambil tas saat Padma hendak membawanya.

Padma mengedarkan pandangan ke seluruh isi rumah. Matanya kembali berkaca-kaca saat melihat dipan dengan kasur kapuk yang sudah tipis tempat abahnya biasa tidur. Sambil menahan sesak karena isak, Padma melangkah dan menutupkan kain panjang agar dipan itu tidak berdebu. Dia belum tahu kapan bisa mengunjungi rumah ini kembali.

Wanita itu mengambil satu-satunya figura foto yang menempel di dinding. Dia tersenyum tipis sambil menghapus air mata melihat foto hitam putih di tangannya. Abah dan mamaknya tersenyum lebar menatap kamera dengan latar masjid di kampung mereka. Menurut cerita Sobari, foto itu diambil sesaat setelah akad nikah menggunakan kamera pendatang yang kebetulan sedang berkunjung ke daerah itu.

Padma menutup jendela dan mengunci pintu rumah. Bersamaan dengan itu, jiwanya seolah ikut terkunci di dalam sana.

Terkurung.

Terpenjara.

Menikah sebagai bentuk pelunasan hutang? Abah. Padma menekan dadanya yang terasa sesak kembali. Isaknya mulai lolos satu persatu.

Padma turun dari tangga kayu rumahnya dengan kaki gemetar. Dia menatap mobil mewah yang sudah menunggunya dengan pintu terbuka lebar. Entah dimana Sagara meletakkan tasnya yang berisi beberapa helai baju tadi. Tidak banyak barang yang Padma bawa. Apa pula memangnya yang bisa dia bawa? Bahkan perabotan di rumah mereka bisa dihitung dengan sepuluh jari.

Padma mengalihkan pandangan ke rumah samping. Retena berjalan pelan sambil tersenyum ke arahnya. Sementara Fahri memilih duduk di balai-balai bambu sambil terus menatapnya.

Kampung itu sepi, mungkin penduduknya sudah mulai berangkat ke sawah. Sementara anak-anak sekolah seusia adik-adik Fahri sedang ulangan semester. Sehingga, saat siang hari kampung ini seperti mati.

“Semoga selamat sampai kota, anakku.” Retena merentangkan tangan yang langsung disambut Padma dengan pelukan erat.

Isak tangis terdengar kencang diantara keheningan kampung. Sagara memilih menunggu di samping mobil. Lelaki itu membiarkan Padma menikmati momen-momen yang dia punya. Sekilas ekor matanya melirik pada Fahri yang berkali-kali menghela napas panjang. Sebagai seorang lelaki yang berusia cukup matang, dia mengerti hubungan Padma dan lelaki itu lebih dari sekedar tetangga.

“Titip rumah dan sawah ya, Wak.” Padma melonggarkan pelukan mereka.

“Tidak usah risaukan yang ada di sini. Tanpa kau minta pun Uwak pasti akan merawatnya, Pad.” Retena menghapus air mata Padma dengan kedua tangan.

“Fahri, Sini! Padma mau berangkat sebentar lagi.” Retena sengaja memanggil anaknya. Dia tahu, banyak yang belum selesai di antara Padma dan anak sulungnya itu. Namun, berkali-kali Retena memberi nasehat, saat ijab kabul sah terucap maka semua hal yang ada di belakangnya sudah usai dengan sendirinya.

“Jaga diri baik-baik di kota sana, Pad.” Fahri memaksakan senyum. Dia memberikan botol kaca berisi air rendaman jahe dan sekantong kecil buah jeruk. “Biar tidak mabuk di perjalanan,” sambungnya.

“Terima kasih.” Padma menerima pemberian Fahri sambil menunduk. Dia masih belum ada keberanian menatap teman sepermainannya sejak kecil secara langsung. Hatinya belum bisa berdamai dengan semua hal yang terjadi belakangan ini.

“Sudah?” Sagara melangkah mendekati Padma sambil tersenyum hangat. Lelaki itu melingkarkan tangan ke bahu istrinya sambil mengambil pemberian Fahri tadi.

“Aku boleh minta juga kan, Fahri?” tanyanya sambil mengangkat botol air jahe dan sekantong buah jeruk.

“Tentu, sengaja saya bawakan banyak agar Kak Sagara bisa mencobanya juga. Air jahe dan buah jeruk itu bagus sekali untuk mengurangi mabuk kendaraan. Padma ini gampang sekali mabuk.” Fahri terkekeh. Lelaki itu mendadak teringat pengalaman mereka menumpang mobil Wak Leha saat masih di bangku SD. Baru lima menit mobil berjalan, Padma sudah mengeluarkan isi perutnya.

“Fahri sepertinya paham betul bagaimana Padma.” Sagara tersenyum lebar sambil meremas bahu Padma yang terus menunduk.

“Wajarlah, Nak Sagara. Bisa dibilang, mereka sudah berteman bahkan sejak dari belum bisa bicara.” Retena segera masuk dalam pembicaraan. Dia bisa merasakan ada sedikit ketegangan antara putra orang terkaya di seluruh negeri itu dengan anaknya.

“Padma pamit dulu, Wak, Kak Fahri.” Padma mencium tangan Padma kemudian mengangguk pada Fahri.

Sagara mengangguk sopan sambil menggandeng tangan Padma. Walau dia belum bisa menerima apa yang terjadi antara mereka, tapi Sagara tidak suka apa yang telah menjadi miliknya diganggu oleh orang lain. Dia terbiasa dihormati di kota sana. Berani-beraninya pemuda dari desa yang umurnya pun jauh di bawah dirinya itu memperlihatkan sikap  menentangnya.

Sementara di sini, Padma sibuk menata hati. Sejak tadi, dadanya terus berdegup kencang. Untuk pertama kali, ada lelaki selain Abah yang merangkul dan menggandeng tangannya.

Padma menoleh ke rumah sebelum masuk ke dalam mobil. Rumah panggung yang tingginya hampir dua meter dari tanah itu terlihat seakan mengucapkan selamat tinggal. Padma menarik napas panjang. Sepanjang ingatan Padma, belum sekalipun rumah itu diperbaiki. Dinding rumah yang terbuat dari papan terlihat ada bolongan yang ditambal dengan seng di sana sini. Atap rumah hanya bagian depan yang terbuat dari genteng, bagian belakang menggunakan daun kelapa.

Pandangan mata Padma beralih ke arah pagar rumah. Bunga melati yang ditanam sejajar dengan pagar tampak rimbun dan sedang mekar. Sementara di pojok dekat tangga, buah tomat dan cabe nya sedang berbuah, mungkin kurang dari seminggu lagi sudah matang.

Padma tersenyum tipis. Biasanya, dia akan masak pindang ikan hasil tangkapan Sobari yang bumbunya diambil dari taman depan rumah mereka itu. Ah … Padma seakan bisa menghirup aroma sedap kuah pindang ikan baung yang sedang mengepul dari dalam panci di atas tungku kayu.

Ah … tidak sedikitpun pernah terbesit di hatinya kalau dia akan meninggalkan rumah ini dan entah kapan kembali lagi. Dengan berat hati, Padma melangkah masuk ke dalam mobil yang pintunya langsung ditutup oleh sopir. Ranu memang menginginkan mereka melewati jalur darat.

“Biar kalian bisa menikmati waktu bersama lebih lama, Saga. Kau nikmatilah permainya hutan di sepanjang jalan ditemani oleh gadis desa yang sangat menawan.” Sagara berdecak sebal mengingat ucapan kakeknya pagi kemarin. Awalnya, Sagara mengira Ranu hanya bercanda.. Dia akhirnya harus pasrah menerima saat mobil jemputan yang datang, bukan helikopter pribadi milik perusahaan mereka.

“Eeeeh, apa kaca jendela mobil ini bisa dibuka?” Padma bertanya takut-takut pada Sagara yang mulai memasangkan headset di telinganya.

“Bisa, Non.” Sopir yang berusia hampir sama dengan Sobari itu mengangguk sopan. Dia berinisiatif menjawab saat dirasa Sagara tidak akan merespon pertanyaan Nona Mudanya. Sopir itu menekan tombol di sampingnya untuk membuka kaca jendela di dekat Padma.

“Terima kasih.” Padma tersenyum.

“Wak, Kak Fahri, Padma berangkat.” Padma melambaikan tangan pada Retena dan Fahri yang membalas lambaianya.

Begitu mobil sudah hilang dari jalan di ujung desa, Fahri langsung berlari ke arah tebing di samping kampung mereka. Dari sana, dia bisa melihat mobil yang membawa Padma pergi lebih lama. Sementara Retena hanya menarik napas panjang melihat Fahri yang berlari seperti dikejar serigala. Dia membiarkan anak bujangnya itu melakukan apa saja untuk menyembuhkan luka di hatinya.

“Ah … Sobari, andai engkau tak memiliki hutang, mungkin saat ini kita sudah menjadi besan. Namun, aku tahu benar bagaimana dirimu. Kau selalu ingin anak gadismu itu keluar dari kampung ini dan memiliki kehidupan layak yang jauh lebih baik dari di sini.” Retena mengusap matanya yang basah.

“Semoga engkau bahagia di kota sana, Padma.” Sebaris doa terucap dari bibir wanita yang sudah menganggap Padma keluarganya.

Di dalam mobil, Padma menoleh pada Sagara yang memejamkan mata. Dada lelaki itu naik turun dengan teratur. Sagara terlihat sedang tidur dengan tenang.

Kakak benar tidur? Atau hanya berpura-pura? Salma terus bertanya-tanya dalam hati. Seminggu menikah, belum sekalipun mereka terlibat obrolan. Hari-hari mereka diisi dengan keheningan. Sagara sibuk menjelajahi sekitar kampung sedangkan Padma masih tenggelam dalam kesedihan karena kehilangan Sobari.

Padma tiba-tiba tersentak saat melihat sosok Fahri berdiri di atas tebing. Dia menutup mulut dengan tangan. Dulu, mereka sering duduk di sana berdua. Melihat konvoi mobil yang membawa hasil panen dari desa ke kota kecamatan.

Wanita itu kembali terisak pelan. Dia akhirnya memilih memejamkan mata saat mobil semakin jauh. Perasaannya campur aduk. Bahkan, di kepalanya masih terekam dengan jelas tanah merah yang menimbun tubuh Abah.


BAB 7

“Dik, kamarmu di belakang. Nanti ada Bik Sur yang menunjukkan.” Sagara berkata pelan sambil meletakkan tas yang berisi pakaian Padma di sofa ruang tamu. Lelaki itu meregangkan badan. Dia berusaha melemaskan otot-otot karena merasa pegal baru saja melewati dua belas jam perjalanan.

“Sebenarnya ada kamar tamu, tapi khawatir Kakek tiba-tiba datang. Beliau kadang menginap di sini. Kita tidak mungkin bisa membereskan kamar dengan cepat.” sambung Sagara yang mulai melangkah ke lantai atas.

Padma menautkan alis. Dia masih belum terlalu memahami maksud ucapan suaminya yang baru saja berlalu. Dia akhirnya mengambil tas yang warnanya sudah memudar dari sofa. Warna tas itu dulu sepertinya biru langit. Namun, saat ini sudah hampir berubah menjadi putih walau masih terlihat sisa-sisa warna biru di beberapa tempat. Entahlah, itu hanya asumsi Padma saja. Sepanjang ingatannya, warna tas itu memang sudah begitu sejak pertama kali dia lihat. Tas itu cukup ringan karena isinya memang tidak banyak.

“Padma, ya?” Perempuan yang rambutnya mulai sedikit memutih itu berjalan mendekati Padma sambil tersenyum.

“Iya, ini Bik Sur?” Padma ikut tersenyum dan menyambut tangan Bik Sur yang terulur.

“Ayo, Bibik tunjukkan kamarmu. Kemarin Bu Danisa sudah telepon kalau Padma mau datang.”

Padma mengangguk sambil mengikuti Bik Sur. Wanita berusia dua puluh tahun itu berdecak kagum melihat tatanan rumah yang sangat rapi dan enak dipandang. Rumah mewah dua lantai itu didominasi oleh warna hijau yang sangat lembut. Perabotannya pun senada dengan warna dinding rumah.

Mereka melewati ruang tengah. Di sana ada sofa panjang berbentuk huruf C yang bisa dijadikan kasur jika bagian bawahnya ditarik. Di depannya ada televisi yang sangat besar. Entahlah, Padma tidak tahu pasti berapa ukurannya. Yang jelas, kalau Padma berdiri di sebelahnya, tinggi televisi itu hampir setengah dari tinggi Padma.

Padma kembali dibuat tercengang saat melewati ruang makan dan dapur. Dia bahkan mulai bertanya-tanya bagaimana cara masak di sana? Seperti apa menghidupkan kompor yang terlihat rata dengan meja? Maklumlah, selama ini Padma biasa masak dengan menggunakan kayu bakar.

Mereka terus berjalan melewati dapur dan akhirnya keluar dari bangunan utama. Di depan mereka, terbentang kolam renang dengan beberapa kursi dan payung lebar sebagai pelindung. Di samping kolam yang airnya terlihat biru itu ada jalan yang sepertinya mengarah ke halaman samping rumah.

“Ini kamarmu, Pad. Kamar Bibik di sana.” Bik Sur membuka kunci kamar dan mengajak Padma masuk.

“Istirahat dulu, kata Bu Danisa jauh ya perjalanannya? Dua belas jam. Ya ampun, kalau Bibik harus menempuh perjalanan sejauh itu, bisa-bisa patah ini pinggang.” Bik Sur terkekeh. “Nanti kita bagi tugas saja ya, Pad. Pembantu di sini baru resign jadi tinggal Bibik sendirian. Tenang saja, kerja kita tidak berat. Di sini kan cuma Den Sagara saja. Kalau Ibu Danisa dan Pak Soka tinggal di rumah berbeda,” sambungnya.

Padma duduk di kasur berukuran single setelah Bik Sur pergi. Wanita itu memperhatikan kamar berukuran tiga kali tiga meter yang kini ditempatinya. Kamar itu sangat nyaman jika dibandingkan dengan kamarnya di kampung sana. Kasurnya lembut, spreinya pun halus dan wangi. Di pojok ruangan ada meja dan kaca kecil yang tergantung di dinding.

Padma melangkah ke arah lemari baju. Dia mulai menyusun satu persatu baju yang dia bawa. Lemari itu menyisakan banyak ruang kosong karena memang bajunya hanya beberapa helai saja. Padma mendadak terisak saat tangannya memegang sehelai baju koko putih yang sudah mulai menguning.

“Abah ….”

Padma memeluk baju itu erat. Dia mencium baju di tangannya. Air mata Padma semakin deras mengalir saat mencium aroma minyak kayu putih dan balsem dari baju itu. Dia sengaja membawa baju terakhir yang dipakai Sobari tanpa mencucinya lebih dulu. Bahkan, bercak-bercak darah Sobari masih menempel jelas di sana.

Sungguh, sepanjang hidupnya Padma sangat menyayangi Sobari. Abahnya itu lebih dari sekedar Bapak. Namun, Sobari juga bagaikan Mamak, Kakak sekaligus sahabat baginya. Dalam kesederhanaan mereka, cinta Sobari tertumpah utuh dan tak berbatas pada Padma. Indahnya, ketulusan itu dirasakan dan dinikmati Padma sehingga mereka saling memiliki sebagai anak dan orangtua tunggal.

Padma menghapus air matanya. Wanita itu meletakkan baju Sobari di lipatan paling atas. Setelah menggantung pigura foto di samping cermin, Padma merebahkan badan di kasur empuk yang baru kali ini dia nikmati. Namun, entah kenapa dia justru merindukan kasur kapuknya yang sudah sangat tipis dan keras di kampung sana.

Ba’da Shubuh, Padma langsung menuju dapur. Tadi malam dia langsung ketiduran karena kelelahan. Padma tersenyum tipis melihat Bik Sur. Wanita yang usianya hampir seusia Sobari itu terlihat sudah sibuk dengan wajan di depannya.

“Padma bantu apa, Bik?”

“Eh? Sudah istirahat dulu saja. Nanti siangan baru bantu-bantu. Kasihan kamu, baru sampai tadi malam pasti masih pegal-pegal. Mau Bibik panggilkan tukang urut?” Bik Sur menoleh sekilas pada Padma.

“Kamu itu dari kampung mana, Pad?” Bik Sur menoleh pada Padma saat wanita itu hanya diam saja tidak menanggapi ucapannya. Dia tersenyum melihat Padma yang mulai memotong-motong bawang bombay dan sayuran yang tadi akan dia potong setelah selesai menggoreng dada ayam fillet tepung krispi.

“Daerah Talang, Bik,” jawab Padma. Tangannya bergerak lincah memotong bawang dan merajang cabai.

“Kenapa tidak cari kerja dekat sana saja?” Bik Sur meletakkan lauk yang sudah matang di meja. Dia mengangguk-angguk melihat Padma yang cekatan. Terlihat sekali kalau wanita itu sudah terbiasa di dapur.

Padma hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Bik Sur. “Pak Soka dan Bu Danisa tidak tinggal di sini ya, Bik?” Padma mengalihkan pembicaraan.

“Sudah beberapa tahun ini Den Sagara tinggal sendiri. Dia sengaja membeli rumah ini untuk persiapan menikah. Dulu Bibik ikut kerja di rumah Bapak dan Ibu, tapi Ibu minta Bibik ke sini waktu Den Sagara memutuskan pindah.”

Persiapan menikah? Padma membatin. Keningnya sedikit berkerut mendengar kalimat itu.

“Den Sagara biasanya cuma sarapan dan makan malam di rumah. Siang dia di kantor, baru pulang jam tujuh atau jam delapan malam. Nanti Padma saja yang siapkan buat malam ya? Bibik sering ketiduran. Untung Den Sagara maklum karena Bibik sudah bekerja sejak dia masih kecil.”

Padma mengangguk-angguk. “Ini mau dimasak apa?” tanyanya.

“Sini, mau dibikin capcay sama Bibik. Bikinkan teh buat Den Sagara. Dia suka minum teh kalau pagi-pagi.”

Padma mengangguk. Dia sudah tahu itu dari Ranu. Padma bergegas menyiapkan minuman saat ekor matanya menangkap bayangan Sagara memasuki ruang makan. Padma melirik jam di dinding.

“Den Sagara memang biasa berangkat pagi-pagi untuk menghindari macet. Sudah sana berikan tehnya.” Bik Sur berbisik pada Padma. Dia seolah mengetahui apa yang ada di pikiran wanita muda di sampingnya.

“Ini tehnya, Den.” Padma meletakkan teh di samping Sagara. Setelah mengangguk sopan, Padma berlalu ke dapur lagi.

Sagara menarik napas panjang. Dia memperhatikan Padma yang sedang mengobrol dengan Bik Sur. Lelaki itu merasa sedikit lega karena tanpa harus dijelaskan Padma sudah paham posisinya di rumah ini.

"Suruh saja tidur di kamar pembantu, Ga. Risna 'kan baru mengundurkan diri minggu lalu. Jangan gegabah. Pikirkan semua dengan kepala dingin.

Mama sebenarnya sangat menyukai Naina. Kalian sudah berpacaran lama dan cocok menurut Mama, tapi ya mau bagaimana lagi? Walau dilakukan secara mendadak, pernikahanmu dengan Padma sah dalam agama kita. Ada tanggung jawab besar di dalamnya. Jadi, pikirkan semua matang-matang sebelum mengambil keputusan.

Semoga Padma mengerti dengan kondisi ini. Katakan padanya jangan bicara apapun pada Kakek Ranu. Ada banyak pihak yang harus kita jaga perasaannya. Ini bukan hanya masalah pribadi, tapi menyangkut bisnis perusahaan keluarga ke depan. Kau tahu kan bagaimana Papa?

Sementara ini, berita tentang pernikahan kalian harus dirahasiakan dulu. Usahakan seminimal mungkin orang yang tahu. Katakan pada Pak Parlan agar tutup mulut. Cukup supirmu itu saja yang tahu hubungan kalian. Bik Sur dan yang lain biarlah menganggap Padma bekerja pada kita."

Sagara menarik napas panjang mengingat pembicaraannya dengan Danisa malam kemarin. Sagara seperti orang linglung. Dia tidak mengerti harus bagaimana dan seperti apa. Marah, cemas, bingung, kesal, khawatir, semua perasaan itu menumpuk di hati dan pikiran Sagara.

Mamanya betul, untuk sementara biarlah Padma di kamar belakang dulu. Dia harus memikirkan dan menyelesaikan banyak hal karena ini berkaitan dengan perasaan dan masa depan.

Sementara di sini, Padma menggigit bibirnya kencang. Dia berusaha keras agar isakannya tidak keluar. Jadi, dia dinikahi untuk menjadi pembantu? Ah … entah apa sebutannya. Pembantu jelas digaji. Kalau dirinya? Entahlah, toh dia sudah diserahkan pada keluarga ini sebagai bentuk pelunasan hutang.

Abah …. Padma terus memanggil Sobari dalam hati. Padma kangen sekali sama Abah. Padma tak ada harganya di sini. Apa Padma sama seperti budak wanita zaman dulu di negara Arab sana seperti cerita Wak Bekar? Abah … Padma rindu Abah ….


BAB 8


“Saya rasa cukup sekian. Mengenai hal-hal lain yang lebih detail silahkan didiskusikan di divisi masing-masing. Saya juga mengucapkan terima kasih selama delapan hari ke belakang selama saya tidak di tempat koordinasi tetap berjalan dengan baik. Bahkan, pekerjaan yang saya tinggalkan bisa selesai dengan sangat memuaskan. Good job untuk semua." Sagara mengangkat dua jempol yang langsung disambut dengan tepuk tangan meriah dari yang lain.

Pemuda berumur tiga puluh tahun itu tersenyum tipis dan mengangguk sebelum akhirnya pamit dan melangkah keluar dari ruangan. Beberapa karyawan langsung ikut keluar karena ada pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Sementara yang lain masih diam disana. Beberapa meregangkan badan karena pegal setelah rapat selama tiga jam. Beberapa lagi membahas hasil rapat barusan.

“Pak Sagara ada jadwal kosong kapan, Bu Nai?” Ehan langsung mendekati Naina, sekretaris pribadi Sagara.

“Iya, Pak?” Naina tersenyum pada manajer operasional yang kini duduk di sebelahnya. Ruangan yang ramai membuat wanita berusia dua puluh lima tahun itu tidak dapat mendengar dengan jelas pertanyaan Ehan.

“Besok Pak Sagara ada waktu kosong?”

Naina membuka tab di tangannya sebelum menjawab. "Besok Pak Sagara ada rencana kunjungan ke luar kota. Beliau ingin memastikan kualitas dari hulu berjalan dengan baik. Selain itu, beliau ingin melihat langsung kondisi perkebunan cengkeh dan tembakau yang hasil panennya mengalami penurunan tahun lalu."

"Tolong jadwalkan agar saya bisa bertemu dengan Pak Sagara. Kalau bisa secepatnya ya, Bu Nai? Tim ingin membicarakan mengenai proses secondary perusahaan kita." Ehan mengangguk pada beberapa anggota divisinya yang pamit kembali duluan ke ruangan.

"Proses secondary? Bukannya itu sudah masuk pembahasan tiga bulanan, Pak Ehan?" Naina menautkan alis. Dia segera membuka catatan karena khawatir salah ingat.

"Iya memang sudah dibahas, Bu. Kemarin ada laporan dari divisi pemasaran, katanya ada perusahaan asing yang tertarik untuk berinvestasi di perusahaan kita. Saya tahu persis kinerja perusahaan asing ini, mereka SOP mereka benar-benar ketat. Jadi, ada beberapa hal yang harus saya bicarakan dengan Pak Sagara," ucap Ehan sambil melambaikan tangan. Lelaki itu menjelaskan dengan cepat saat Naina masih sibuk mencari file hasil rapat tiga bulanan waktu itu.

"Oh baik kalau begitu. Setelah agenda kunjungan ke perkebunan selesai saya akan segera jadwalkan." Naina segera menambahkan catatan jadwal di tab nya.

Wanita itu segera pamit dari ruang rapat setelah dirasa semua urusan sudah selesai.  Dia berjalan pelan menuju ruang Sagara. Naina mematut diri sebentar sebelum mengetuk pintu ruangan atasan sekaligus pacarnya itu. Naina terlihat sangat anggun mengenakan setelan formal blazer dan celana span warna abu-abu dengan garis navy vertikal. Riasan wajah yang dia gunakan membuat wajahnya terlihat cantik dan segar. Senyum langsung mengembang di wajahnya saat mendapat izin memasuki ruangan Sagara.

Sementara di sini, Sagara menghembuskan napas pelan melihat Naina yang berjalan semakin dekat dengan senyum mengembang sempurna. Wanita itu terlihat sangat cantik dengan kedua lesung pipi. Dengan tab di tangan, Naina berjalan anggun. Langkah kakinya yang teratur membuat rambut panjangnya yang tergerai seakan melambai-lambai.

Dalam sekejap pikiran Sagara berkelana ke masa lalu. Dia seakan melihat dengan jelas wajah Naina yang buncah oleh air mata, enam tahun yang lalu. Sagara masih berusia dua puluh empat tahun saat itu. Sementara Naina baru saja memasuki usia sembilan belas tahun.

Sagara merasakan dadanya berdegup kencang saat menatap gadis yang berbicara dengan suara sangat lantang di depan sana. Gadis yang rambutnya dibiarkan tergerai itu berbicara dengan semangat berapi-api saat memberikan semangat pada mahasiswa lain.

"Semangat, Teman-teman. Kita bisa jika kita mau berusaha dan terus belajar dengan tekun." Tepuk tangan memenuhi gedung saat mahasiswi berprestasi itu mengakhiri ucapan terima kasihnya.

Sagara yang diundang sebagai salah satu alumni yang menjadi pengusaha sukses langsung berdiri saat namanya dipanggil MC. Dia menyerahkan beasiswa dari perusahaan Bimasena untuk beberapa mahasiswa berprestasi di kampusnya dulu.

"Terima kasih, Kak."

Aduh! Sagara dapat merasakan dadanya berdegup semakin kencang saat menatap wajah putih bersih itu dari dekat. Mata cemerlang Naina terlihat sangat indah walau wajahnya bersimbah air mata haru.

Bagi gadis yang ekonomi keluarganya tidak terlalu bagus itu, beasiswa berupa uang tunai yang diberikan sangatlah berarti. Dia memang selalu belajar dengan tekun agar bisa menjadi mahasiswa berprestasi dan mendapatkan banyak apresiasi seperti saat ini. Dengan uang yang didapat, Naina  bisa membantu keuangan keluarganya.

Tepat setahun sejak pertemuan pertama itu, Sagara dan Naina resmi berpacaran. Kecantikan dan kecerdasan Naina begitu mempesona di mata Sagara. Sementara di sisi Naina, siapa yang akan menolak lelaki tampan dan mapan itu? Sagara, calon pewaris seorang pengusaha dengan kekayaan nomor satu di negeri ini?

"Liburan kemana seminggu ke belakang? Mas bahkan tidak membalas pesan dan mengangkat telepon dari Nai."

Sapaan Naira menarik kembali kesadaran Sagara. Lelaki itu menarik napas panjang saat Naira meletakkan tab di meja kemudian duduk di kursi sambil menyilangkan kaki.

"Bagaimana rencana kunjungan besok?" Sagara mengabaikan pertanyaan Naina. Bagaimanalah dia akan menjelaskan pada wanita yang dia lamar dua minggu yang lalu itu? Sagara bahkan dapat melihat dengan jelas cincin berlian yang dia berikan melingkar sangat cantik di jari manis gadis yang sudah dia pacari selama lima tahun ini.

"Sudah aman, Pak. Tiket keberangkatan dan akomodasi selama di sana sudah diatur dengan baik." Naina tersenyum. Dia tahu telah membuat kesalahan karena membahas masalah pribadi di jam kerja.

Biasanya, Naina selalu bersikap profesional. Namun, seminggu tak ada kabar sama sekali dari Sagara membuat kerinduannya pada lelaki yang selalu berpenampilan rapi  itu membuncah. Seiring berjalannya waktu, perasaan Naina pada Sagara tumbuh dengan subur. Dia yang awalnya menerima Sagara karena alasan harta, kini justru benar-benar mencintai lelaki itu sepenuh jiwa. Perhatian dan kedewasaan sikap Sagara mampu menyentuh relung terdalam perasaan Naina.

"Pulang nanti bareng ya? Kita makan dulu." Sagara tersenyum setelah memastikan perjalanan besok tidak ada kendala. Dia sengaja berbicara seperti itu agar Naina segera keluar dan tidak melanjutkan pertanyaannya yang tadi dia abaikan.

"Nai yang tentukan dimana boleh?" Naina tersenyum riang sebelum berdiri. Dia meletakan kedua siku di meja dan menopang wajah dengan kedua tangan.

"Dengan senang hati, My Queen."  Sagara tertawa kecil melihat Naina mengerjap-ngerjapkan mata sehingga tampak sangat menggemaskan.

Tawa renyah Naina memenuhi seisi ruangan. Wanita itu langsung bergegas keluar karena tahu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan oleh Sagara.

Sepeninggal Naina, Sagara bersandar ke kursi. Sagara benar-benar merasa bingung. Bagaimana mungkin dia bisa menyakiti Naina jika jujur tentang pernikahannya dengan Padma? Di sisi lain, dia merasa kasihan pada Padma. Wanita itu juga tentu tidak ingin berada di situasi ini. Mereka hanya terjebak pada masa lalu Ranu dan Sobari. Sagara tak pernah menyangka. Apa yang terjadi puluhan lalu, bisa menentukan arah hidupnya saat ini.

Sagara mengusap wajahnya kasar saat mengingat kalau umur Padma ternyata masih sangat muda. Dia baru mengetahui umur istrinya itu dua puluh tahun, sepuluh tahun di bawah dirinya. Usia yang masih sangat muda untuk menghadapi semua cobaan yang mendera. Kakek Ranu berkeras minta dikirimkan foto KTP Padma tadi malam. Entah untuk apa. Sagara juga tidak terlalu peduli sebenarnya. Namun, mau tidak mau hati lelaki itu sedikit tercubit saat membaca tahun kelahiran Padma yang tertera di dokumen penting itu.

Sagara menghembuskan napas kencang. Dia melonggarkan dasi di lehernya karena merasa sesak. Lelaki itu mendadak merasa gerah padahal pendingin ruangan bekerja maksimal.

Bagaimana dia akan menjelaskan semua pada Naina? Untuk sementara, dia bisa mengikuti saran mamanya dengan mengkamuflase kehadiran Padma di rumah itu sebagai pembantu baru. Namun, dia tahu pasti itu tidak akan bertahan lama. Apalagi Ranu mulai menyinggung masalah resepsi pernikahan.

Sagara benar-benar pusing. Satu sisi dia tidak ingin menyakiti Naina, wanita yang sangat dicintainya. Di sisi lain dia juga merasa kasihan dengan Padma.

Sagara memejamkan mata dan memukul-mukul kepalanya pelan. Kenapa kehidupan bisa serumit ini?


BAB 9


"Pad, bisa tolong antar minuman ke kamar Den  Sagara?"

Padma yang baru saja selesai membereskan makan malam yang tidak dimakan Sagara mengangguk pada Bik Sur. Dia sekilas mendengar Sagara minta dibuatkan air jeruk hangat saat pulang tadi.

Padma menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu kamar Sagara. "Den? Ini minumnya.” Padma menempelkan telinga ke pintu. Dia berusaha mendengarkan jawaban Sagara dari dalam.

“Masuk saja, Bik.”

Padma membuka pintu pelan. Pasti Kak Sagara menduga yang mengantar minuman adalah Bik Sur, pikirnya. Wanita itu menautkan alis melihat Sagara yang tidur terlentang dengan satu tangan diletakkan di atas kening. Lelaki itu masih mengenakan baju kantor saat dia pulang tadi, lengkap dengan jas dan dasi. Sepatu pun masih belum dilepas. Tidak seperti biasa, Sagara langsung mandi dan berganti pakaian setelah pulang dari kantor.

“Ini minumnya, Kak.” Padma meletakkan air jeruk di atas nakas.

Wanita itu menuangkan minyak beraroma jeruk nipis dan jahe lalu menyalakan diffuser. Wangi dari cairan yang berubah menjadi uap langsung memenuhi ruangan, membuat perasaan menjadi tenang saat menghirup udara.

Padma langsung mendekati ranjang tempat Sagara berbaring. Suaminya itu tidak menjawab apa-apa saat dia meletakkan minuman tadi. Dia berinisiatif melepaskan sepatu dan kaos kaki Sagara. Padma menduga pasti Sagara kelelahan karena baru pulang dari perjalanan dinas kantor selama dua hari. Setelah meletakkan sepatu di tempatnya, Padma langsung menuju pintu keluar.

“Dik Padma.”

Wanita itu menarik tangannya dari pegangan pintu saat mendengar suara Sagara.

“Duduklah sebentara di sini. Kita butuh bicara.”

Padma mengangguk dan mendekat. Dia duduk di samping Sagara yang sudah bangun dan dalam posisi duduk.

“Maaf.”

Padma menautkan alis mendengar permintaan maaf dari Sagara. Dia menoleh dan mendapati mata bening dan tajam milik cucu sulung Bimasena itu sedang memandangnya dengan tatapan hangat. Maaf untuk apa? Padma bertanya dalam hati.

“Maaf, aku memperlakukanmu seperti pembantu di rumah ini. Seperti yang kita berdua ketahui, kita tidak saling kenal sebelumnya. Aku dan Dik Padma adalah orang asing yang dipaksa keadaan menjadi satu. Semua terjadi begitu cepat hingga menyebabkan kebingungan di hati dan pikiranku. Sejujurnya, aku belum siap dan belum bisa menerima apa yang terjadi pada kita.” Sagara berkata pelan. Dia berusaha membaca raut wajah Padma saat mendengar setiap kata yang diucapkannya.

“Padma pun merasa seperti sedang bermimpi. Semua yang terjadi seakan terasa lebih cepat dari kedipan mata.” Padma mengalihkan pandangan. Pikirannya menerawang jauh menembus jarak. Bayangan rumah panggung dari kayu di pedalaman Sumatera sana memenuhi pelupuk matanya.

“Aku tidak bisa berkata banyak, Dik Padma. Untuk sementara mungkin posisi kita akan tetap seperti ini. Jauh sebelum pernikahan kita terjadi, ada seseorang yang telah mengisi hatiku. Pun dengan dirimu, kalau aku tidak salah menduga, sepertinya sikap dan perlakuan Fahri lebih dari seorang teman masa kecil.” Sagara menoleh pada Padma yang tersenyum tipis.

Padma mencengkram sprei kasur sedikit kencang saat nama Fahri disebut Sagara. Tak dapat dia pungkiri, ada kerinduan di hati pada lelaki yang dulu selalu mengisi hari-harinya. Namun, Padma berusaha berdamai dengan takdir. Dia mulai menerima dan mengikhlaskan setiap hal yang terjadi dalam hidupnya agar langkahnya lebih ringan.

Fahri, bagi Padma itu adalah satu nama yang masih menancap kuat di hati hingga detik ini. Namun, wanita berwajah ayu itu sangat paham dengan baik setiap kajian yang disampaikan oleh Wak Bekar setiap malam jum’at. “Setelah menikah, istri itu sudah menjadi milik suaminya. Maka, sudah sepatutnya istri mengabdi dan berbakti pada suami. Setiap perkataan suami wajib dituruti oleh istri selama tidak melanggar syariat agama. Melayani kebutuhan dan memuliakan suami adalah tugas yang wajib dijalankan ….”

Pesan itulah yang membuat perasaannya menjadi lebih tenang. Walau saat ini mereka tidak menjalankan peran berumah tangga seperti yang lain, tapi Padma berusaha melakukan kewajibannya sebagai istri. Dia mengikuti apa yang diinginkan oleh Sagara dan berusaha melayani lelaki itu sebaik mungkin.

“Pernikahan kita belum didaftarkan ke KUA sehingga belum tercatat secara hukum negara. Dik Padma, sementara waktu ini, biarlah semua mengalir apa adanya. Semoga kita bisa saling mengenal dengan lebih baik seiring berlalunya hari-hari yang kita lewati.” Sagara menyentuh bahu Padma pelan saat melihat istrinya itu sedikit termenung.

“Jika memang garis takdir menentukan kita berjodoh, semoga Tuhan segera menuntun dan menumbuhkan rasa di hati kita. Semeentara ini, biarlah tetap seperti ini. Aku mohon pengertian Dik Padma. Tidak mudah bagiku melewati semua ini, apalagi bagi Dik Padma yang masih dalam suasana berduka,” sambung Sagara.

“Padma paham, Kak. Kakak tidak perlu khawatir. Padma tahu diri dan mengerti posisi Padma di sini. Tidak usah khawatir Padma akan berbicara pada Kakek Ranu.” Padma tersenyum simpul melihat Sagara yang salah tingkah saat dia berhasil menyentil maksud dari ucapan Sagara tadi.

“Tidak usah minta maaf. Anggap saja saya sama seperti Bik Sur. Padma cukup tahu diri posisi Padma di sini sebagai pekerja yang gajinya digunakan untuk membayar hutang.” Padma langsung menarik napas panjang saat mendengar suaranya sendiri yang sedikit tercekat di ujung kalimat.

“Kalau sudah tidak ada yang harus kita bicarakan, Padma pamit keluar ya, Kak? Tidak enak sama Bik Sur kalau terlalu lama di dalam sini.”

Sagara menarik napas panjang dan kembali merebahkan badan saat Padma sudah keluar dan menutup pintu kamar. Dia merasa sedikit lega saat Padma paham posisinya dalam pernikahan ini. Namun, ada sesuatu yang sedikit mengganjal di hati Sagara. Satu hal yang entah apa dia pun tidak mengerti. Yang pasti, perasaan itu menimbulkan ketidaknyamanan di hatinya saat ini.

Mendadak bayangan wajah Padma yang terus menunduk saat mereka berbicara tadi melintas di pikirannya. Entah apa, tapi ada sesuatu dalam diri wanita itu yang menarik perhatiannya. Baru tadi mereka berbicara sedekat itu. Hal itu pula lah yang membuat Sagara menyadari wanita dari pedalaman Sumatera itu sangat manis.

Kecantikan Padma sangat alami. Wajahnya terlihat putih bersih dengan alis lebat hitam pekat dan bibir yang sudah merah dari sananya. Kecantikan khas yang masih terjaga dari krim racikan tangan dokter, seperti hutan di kampung mereka yang masih terjaga dari jamahan tangan-tangan manusia tidak bertanggung jawab.

Dia juga baru menyadari kecerdasan istrinya itu. Umur mereka terpaut jauh, sepuluh tahun. Begitupun dengan tingkat pendidikan, seingat Sagara Ranu pernah cerita Padma hanya menyelesaikan pendidikan hingga jenjang SMK sementara dirinya lulusan S2 dari universitas ternama di tanah Eropa sana.

Namun, perbedaan yang sangat jauh itu tidak terlihat saat mereka sedang berbicara tadi. Padma bisa mengimbangi bahkan membaca pesan tersirat yang dia sampaikan dengan sangat baik. Wanita itu juga bersikap sangat dewasa dalam menghadapi permasalahan yang sedang dia hadapi saat ini. Sagara mulai penasaran, apakah Padma seseorang yang berprestasi selama di sekolah dulu?

Dering telepon mengagetkan Sagara. Lelaki itu menepuk kepalanya pelan, kenapa dia jadi memikirkan tentang Padma? Dia mengambil air jeruk hangat dan meminumnya beberapa teguk sebelum mengangkat telepon. Sagara tersenyum lebar melihat wajah cantik Naina memenuhi layar ponselnya.

“Mas kemana? Biasanya sampai rumah langsung telepon.”

Sagara terkekeh mendengar suara manja Naina yang sedikit merajuk di seberang sana. Dia selalu suka saat pacarnya itu memanggilnya dengan sebutan “Mas”. Naina berasal dari suku Jawa yang ikut orangtuanya transmigrasi ke tanah Sumatera. Walau banyak juga rekan bisnis lain yang memanggil dengan sebutan itu, tapi berbeda saja saat orang terdekat yang melakukannya. Ketika yang lain memanggil dengan sebutan Kakak, Sagara seperti menemukan hal berbeda.

Ah … sebenarnya, apapun yang dilakukan Naina selalu membuat Sagara merasa istimewa. Wanita itu pandai benar membuatnya merasa senang dan bahagia. Naina adalah tempat terbaik untuk beristirahat saat dia lelah dengan pekerjaan yang tidak ada habisnya.

“Mas sudah makan?” Suara riang Naina di seberang sana membuat Sagara merasa lebih segar. Segera, bayangan tentang Padma menguap dari pikirannya.

Sementara di sini, Padma memeluk guling yang diberi sarung dari baju Sobari. Wanita itu masih belum bisa bangkit dari rasa sedih karena kehilangan abahnya. Dua minggu berlalu, wajah Sobari masih terus membayang di pelupuk mata.

“Abah … Padma kangen sekali. Apa kuburan Abah dan Mamak bersih di sana? Siapa yang akan mencabut rumput dan membersihkan daun kering?” Padma memeluk erat guling sambil berusaha mencari sisa-sisa aroma badan Sobari yang tertinggal.

“Semoga Abah dan Mamak bahagia di sana. In syaa Allah Padma ikhlas dengan semua takdir yang kini Padma jalani. Padma akan menjadi istri yang melayani suaminya dengan baik. Padma berusaha ikhlas menerima semua ini agar Abah dan Mamak tenang di alam sana. Semoga bakti Padma bisa memberatkan timbangan pahala Abah dan Mamak.” Padma mengusap air matanya.

Sungguh, tidak ada yang bisa dia lakukan untuk berterima kasih pada Abah yang telah mengurusnya dengan baik dan memberikan kasih sayang tak berbatas selama dua puluh tahun ini. Pun dengan Mamak, walau tidak sempat menatap wajahnya secara langsung dan tidak pernah merasakan manisnya air susu ibu, tapi rasa sayang Padma sama besarnya seperti pada Abah. bagaimana pula dia akan membalas jasa wanita yang rela menukar nyawanya agar bisa memberikan kehidupan bagi putri tercintanya?

Ah … walau Padma masih sering merasa sakit karena takdir yang kini dia jalani. Namun, doanya tak pernah terputus, berharap agar kelak mereka bisa bertemu dan menjadi keluarga yang utuh di jannah-Nya.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya DERMAGA YANG TERBELAH BAB 10-14
2
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan