
Vira dibesarkan oleh ayahnya. Sang Ibunda meninggal saat dia dilahirkan. Saat usianya menginjak remaja, ayahnya menikah kembali dengan seorang janda yang memiliki anak seusia Vira.
Karena suatu kesalahan adik tirinya, Vira terpaksa menikahi lelaki yang tak pernah dia kenal. Dia akhirnya bertekad untuk membuat lelaki itu mencintainya agar ibu dan adik tirinya menyesal melihatnya bahagia.
Namun, harapan tak sesuai keinginan. Sang suami ternyata sangat membenci Vira. Kehadiran wanita itu telah membuatnya terpisah dari belahan jiwa.
BAB 1
"Kau dengar ini!" Vira mengacungkan telunjuk tepat di depan mata wanita kedua suaminya itu.
Kedua? Vira mendecih dalam hati. Bisa saja wanita di hadapannya ini adalah wanita ke tiga, ke empat bahkan mungkin wanita ke lima suaminya.
"Gaji Mas Hendra sebagai seorang General Manajer di salah satu perusahaan ternama dalam negeri memang cukup besar. Tiga puluh lima juta perbulan." Mata wanita di hadapan Vira membesar. Vira tersenyum sinis melihat wajah mata duitan itu.
"Namun besar gajinya itu, berbanding lurus juga dengan besar pengeluarannya." Wanita di hadapan Vira mendengus. Seolah mengatakan aku tidak peduli dengan pengeluaran kalian.
"Kau dengar ini, heh! Kau dengar baik-baik biar kau paham!" Sekali lagi Vira menunjuk wajah wanita cantik di hadapannya.
"Untuk bayar angsuran rumah sepuluh juta rupiah, baru lunas sekitar tujuh tahun lagi. Angsuran mobil lima juta rupiah, baru lunas tiga tahun lagi. Gaji pembantu dan supir enam juta rupiah, jatah bulanan orangtua dan mertua enam juta rupiah, uang makan sehari-hari empat juta rupiah, SPP dan jajan anak tiga juta rupiah." Vira menarik napas dalam setelah mendaftar semua pengeluaran.
"Sisa uang satu juta rupiah. Kau mau sisa uang satu juta itu kita bagi dua? Sebulan kita hanya dijatah masing-masing lima ratus ribu. Mau?" Vira menatap tajam wanita di depannya.
Wanita berbaju merah ketat membentuk badan itu terlihat salah tingkah. Jadi Mas Hendra sebenarnya tidak punya sisa gaji yang banyak lagi? Wanita itu membatin.
Sementara Vira tertawa puas dalam hati. Pasti wanita ini akan berpikir belasan kali lagi untuk terus maju mendekati suaminya. Wanita ini benar-benar payah. Dia bahkan tidak tahu apa jabatan Hendra di kantor. Yang dia tahu hanya uangnya saja. Vira berkali-kali menggelengkan kepala.
"Saya permisi dulu ke toilet, Mbak." Wanita itu bergegas berdiri.
"Hei! Ini, bawa sekalian tas tanganmu. Pergilah. Aku tahu kau sebenarnya ingin kabur. Biar aku yang membayar minuman ini untukmu." Vira menyerahkan tas tangan wanita itu.
Wanita berbaju merah itu segera menyambar tas tangannya, kemudian berjalan cepat keluar dari restoran khas Italia tempat mereka janji bertemu.
Bukan, bukan janji bertemu dengan Vira. Tetapi janji bertemu dengan Hendra, lelaki yang dikenalnya tiga bulan yang lalu. Namun entah bagaimana ceritanya, justru istri lelaki itu yang datang menemuinya.
Vira menarik napas panjang. Wanita berwajah manis dengan dua lesung pipi itu bernapas lega. Perlahan dia menyender pada sandaran kursi cafe. Dua puluh satu. Nomor meja yang dipesan suaminya untuk makan malam romantis, bersama dengan wanita simpanannya.
Ya, wanita simpanan yang baru saja diusirnya.
Vira memperhatikan keadaan restoran. Ini pertama kalinya dia datang kemari.
"Romantis juga Mas Hendra mengajak wanita m*rahan seperti itu makan malam ke tempat ini." Bisiknya pelan.
"Atau wanita itu yang memilihnya agar bisa merasakan makan malam mewah, kemudian berfoto dan memamerkannya di sosial media agar terlihat seperti sosialita?" Vira tertawa kecil dengan pemikirannya sendiri.
Tempat itu cukup luas, dengan dekorasi yang didominasi warna merah membuatnya memiliki kesan hangat dan elegan. Selain itu, view lampu-lampu dari gedung-gedung tinggi diiringi alunan musik Italia membuat suasana malam itu terasa sangat menyenangkan.
"Selamat malam, Sayang." Satu suara lelaki yang sangat Vira kenal menyapa dari belakang.
Tidak lama kemudian, terasa bibir lelaki itu menyentuh pipi sebelah kanannya. Sebuket bunga mawar merah dengan kesan mewah diletakkannya di meja sebelah kiri Vira.
Lelaki itu kemudian berjalan menuju kursi di seberang kursi Vira. Dengan senyum yang sangat lebar lelaki itu kemudian duduk dengan bahasa tubuh yang sangat menawan. Gagah dan tampan. Kesan pertama yang dilihat orang, saat memandang sosok pria itu.
Senyum lelaki berwajah tampan itu mendadak hilang saat melihat siapa wanita yang duduk di depannya. Keningnya mengkerut. Sesaat kemudian pria itu menarik napas panjang dan menghembuskannya kencang-kencang.
"Selamat malam, suamiku." Vira menyapa lebih dulu sambil tersenyum manis pada lelaki berwajah masam yang duduk di hadapannya. Kedua lesung pipi Vira tercetak sempurna. Sedap dipandang mata.
"Apa yang kau katakan pada Livia?" Hendra menatap Vira dengan tatapan mematikan.
"Hei! Santai. Bahkan makanan pembuka pun belum disajikan oleh pelayan." Vira tertawa kecil menatap suaminya yang seperti singa kehilangan anak.
Hendra mengatupkan rahangnya rapat-rapat saat pelayan menyajikan makanan pembuka.
"Selamat menikmati makanan pembuka, Tuan dan Nyonya Hendra." Pelayan mempersilahkan.
"Terima kasih." Vira mengangguk sopan pada pelayan yang menjawabnya dengan sedikit membungkukkan badan.
"Bruschetta." Vira mengangguk sambil menyebutkan nama makanan itu.
Bruschetta, hidangan tradisional Italia yang terbuat dari potongan roti panggang dengan topping potongan sayur dan daging cincang, yang diolesi bawang putih, minyak zaitun, dan bumbu lainnya. Sangat menggugah selera.
Vira dengan santai mulai menyantap makanan di hadapannya. Wanita itu terlihat sangat anggun. Dari cara makannya, dapat dipastikan dia berasal dari keluarga kaya yang terhormat. Berkelas. Kesan pertama yang ditangkap, saat melihat penampilan dan gerak-gerik Vira.
"Apa yang kau katakan pada Livia?" Suara Hendra kembali terdengar setelah mereka terdiam cukup lama. Tidak sedikitpun lelaki itu menyentuh makanannya.
Vira terkekeh mendengar pertanyaan yang kembali diulang oleh suaminya itu.
"Makanlah. Ini sangat sedap. Restoran Italia ini memang pilihan yang tepat untuk menghabiskan waktu bersama." Vira tersenyum manis sambil menunjuk piring di hadapan Hendra dengan garpu yang dipegangnya.
"Vira!"
"Jadi nama jal*ngmu itu Livia?" Vira tertawa kecil melihat wajah tampan Hendra yang memerah.
"Aku tidak mengatakan apa-apa. Dia tiba-tiba menawarkan padaku untuk duduk di kursi yang ditempatinya. Setelah itu wanita jal*ngmu pergi dengan sendirinya." Vira berkata lembut diakhiri dengan kedipan mata di ujung kalimatnya.
Hendra menghembuskan napas dengan kencang. Lelaki itu paham, semakin dia emosi menghadapi Vira, semakin istrinya itu merasa senang mempermainkan amarahnya.
Hendra melonggarkan dasi yang dia kenakan. Lehernya seperti tercekik. Entah ini sudah yang ke berapa kalinya Vira melakukan hal seperti ini selama pernikahan mereka.
"Berhenti mengganggu kesenanganku, Vir!" Hendra menatap tajam pada Vira yang sedang membersihkan mulut. Wanita itu telah menyelesaikan hidangan pembukanya.
Instrumen lagu Ti amo d’Umberto Tozzi mulai dimainkan. Live music itu terdengar memenuhi ruangan. Membuat suasana menjadi lebih nyaman. Andai tidak sedang berdebat dengan Hendra, mungkin saja Vira akan menggerakkan badannya pelan ke kiri dan ke kanan, mengikuti irama musik. Restoran khas Italia yang dipilih Hendra ini memang terkenal sangat bagus.
"Berhenti mengganggu kesenanganmu?" Vira mengulangi kalimat Hendra.
"Bagaimana aku bisa berhenti jika melakukan itu adalah kesenanganku?" Vira tertawa kecil menatap Hendra yang terlihat sangat frustasi.
Percakapan mereka terhenti saat pelayan kembali datang menghidangkan makanan utama. Spaghetti ala bolognese. Vira mengangguk melihat pilihan menu yang dipesan Hendra. Spaghetti yang dihidangkan dengan saus daging cincang dan ditaburi keju parmesan parut itu terlihat sangat menggugah selera.
"Berhenti mengganggu wanitaku, Vir. Atau …."
"Atau apa?" Cepat saja Vira memotong ucapan Hendra, suaminya.
"Atau aku akan menendangmu jauh-jauh dari kehidupanku!"
"Lakukan kalau kau bisa." Vira tersenyum manis menampakkan kedua lesung pipinya.
Istrinya dengan santai mulai menyantap hidangan utama. Sementara Hendra menatapnya dengan wajah membatu. Wanita yang menggunakan dress semi formal berwarna hijau toska itu terlihat sangat rileks menikmati makan malam mereka.
"Makanlah, Yang." Vira dengan nada manja menunjuk piring di hadapan Hendra dengan garpu ditangannya.
Lelaki berwajah tampan itu mendengus sebal.
Sementara Vira tertawa dalam hati melihat tampang gusar suaminya.
BAB 2
"Berhenti mengganggu wanitaku, Vir. Atau …."
"Atau apa?" Cepat saja Vira memotong ucapan Hendra, suaminya.
"Atau aku akan menendangmu jauh-jauh dari kehidupanku!"
"Lakukan kalau kau bisa." Vira tersenyum manis menampakkan kedua lesung pipinya.
Istrinya dengan santai mulai menyantap hidangan utama. Sementara Hendra menatapnya dengan wajah membatu. Wanita yang menggunakan dress semi formal berwarna hijau toska itu terlihat sangat rileks menikmati makan malam mereka.
"Makanlah, Yang." Vira dengan nada manja menunjuk piring di hadapan Hendra dengan garpu ditangannya.
Lelaki berwajah tampan itu mendengus sebal.
Sementara Vira tertawa dalam hati melihat tampang gusar suaminya.
Savira Vishaka Yozita. Wanita berwajah manis dengan lesung pipi di wajahnya. Dia biasa dipanggil dengan nama Vira.
Vira terjebak dalam pernikahan tanpa cinta. Tiga tahun bersama, dia tak kunjung bisa meruntuhkan dinginnya hati seorang Hendra. Bukan inginnya menjalani pernikahan tak berdasar rasa. Apa mau dikata, garis takdir mengharuskannya melewati itu semua.
"Apa yang kau harapkan dari pernikahan ini, Vir?" Suara hendra melemah. Dia sangat hafal watak wanita cantik di depannya, Vira pantang mengalah.
Dibesarkan hanya oleh seorang ayah. Vira tumbuh menjadi gadis yang pantang menyerah. Pantang baginya menjadi seorang yang hanya bisa berpasrah.
"Tentu saja kebahagiaan, Mas. Bukankah bahagia adalah tujuan setiap keluarga?" Vira tersenyum lembut sambil meletakkan garpunya. Wanita itu telah menyelesaikan hidangan utamanya.
"Aku tidak mencintaimu, begitu pun dengan dirimu. Kau tidak mencintaiku. Apa kita bisa bahagia dengan itu?"
Vira mengangkat bahu. Tangannya terangkat memanggil pelayan. Saatnya hidangan penutup.
Pelayan wanita itu datang sambil membawa makanan penutup mereka. Panna Cotta. Vira tersenyum lebar melihat makanan yang hampir mirip dengan puding itu. Bentuknya yang menarik dilengkapi siraman saus karamel dengan buah strawberry di atasnya membuat makanan itu terlihat sangat menggoda.
"Per favore." Pelayan wanita mempersilakan.
"Grazie mille." Vira menjawab sopan. Terima kasih banyak.
Wanita berlesung pipi itu langsung menyendok panna cotta di depannya. Vira memejamkan mata sambil menggelengkan kepala pelan saat merasakan teksturnya yang lumer di mulut dengan cita rasa manis. Hidangan yang disajikan dalam keadaan dingin itu terasa sangat lezat. Makanan penutup yang sempurna untuk malam ini.
"Vir."
"Mas."
"Ayo kita saling melepaskan."
"Tidak semudah itu."
"Maksudmu?"
"Kau selalu bicara ingin melepaskanku bahkan sejak hari pertama kita menikah. Nyatanya? Hingga tiga tahun pernikahan ini kita jalani, takdir tetap membuat kita bersama."
"Aku memikirkan ibuku!"
"Juga mengikuti gengsimu, kan?" Vira tertawa kecil.
"Maksudmu?"
"Akui saja! Setiap ada acara kantor, kau dengan bangga membawaku sebagai gandengan. Kau tentu menyadari, banyak diantara kolega bisnismu yang diam-diam memperhatikanku, kan?" Sita tersenyum manis pada suaminya.
"Kau terlalu percaya diri!" Hendra membuang muka. Tersenyum mengejek.
"Aku sebenarnya memang menarik, Mas. Dasar kau saja yang sepertinya buta, hingga lebih memilih kerikil di jalanan dibandingkan dengan permata di etalase toko."
"Apa kau setidak seberharga itu, Vir? Sampai-sampai dijadikan pembayar hutang oleh keluargamu sendiri?" Hendra tersenyum sinis menatap istrinya.
Vira terdiam mendengar omongan Hendra.
"Ah! Aku lupa, wajar saja kau tidak ada harganya. Kau malah sebenarnya seperti tidak punya keluarga, kan? Ayah yang kau sayangi tiba-tiba berubah sejak menikah lagi? Lelaki b*jingan itu lebih memilih menyelamatkan anak tirinya dibandingkan dirimu anak kandungnya." Hendra akhirnya mengeluarkan unek-uneknya setelah sekian lama.
Lelaki itu sungguh muak dengan pernikahan mereka. Karena menikahi Vira, dia harus berpisah dengan kekasih hatinya. Padahal hubungan mereka sudah sangat dekat, bahkan hampir sampai pada tahap lamaran.
Hanya karena menghormati wanita yang selama ini berjuang sendirian membesarkannya. Hendra menuruti keinginan ibunya untuk menikahi Vira.
Karena hal itu pula lah, Hendra melampiaskan kekesalannya pada Vira dengan menjalin hubungan dengan banyak wanita. Entah sudah berapa belas wanita yang menjadi simpanannya selama tiga tahun pernikahan mereka.
"Seharusnya kau prihatin, Mas." Vira mengambil gelas air minum di atas meja. Menyesapnya beberapa tegukan untuk menetralisir dentum di dadanya.
Dingin air terasa menyentuh bibirnya. Mengalir ke lidah, merambat ke kerongkongan, untuk kemudian sampai di tempat yang Vira tidak bisa lagi merasakan dingin air itu.
Tidak. Dia tidak boleh terlihat lemah di depan suaminya.
"Prihatin?" Hendra mengerutkan kening. Bingung dengan respon Vira yang terlihat biasa-biasa saja. Bahkan istrinya itu terlihat santai menyesap minumannya.
Bukankah seharusnya wanita itu terlihat sedikit terpukul dengan ucapannya? Hendra malah berharap istrinya itu tersinggung dengan apa yang tadi dikatakannya.
"He'em." Vira membuat gerakan yang menggemaskan. Pelan dia meletakkan kembali gelas air minum ke atas meja.
"Bukankah seharusnya kau kasihan melihat seorang gadis teraniaya? Gadis muda yang seharusnya mempunyai masa depan cerah, terpaksa harus menikah karena menanggung kesalahan adik tirinya." Vira menggeleng.
"Gadis itu bahkan semakin teraniaya, karena setelah menikah suaminya tetap tidak bisa mencintainya. Bahkan cenderung bersikap dingin dan sering merendahkannya. Oi alangkah malang nian nasib gadis itu." Vira kembali menggelengkan kepalanya pelan.
"Mengingat semua hal itu, bukankah seharusnya kau prihatin dengan nasib gadis itu, Mas? Ya, itu juga kalau kau punya hati. Tetapi sepertinya kau tidak punya, sih, makanya gampang saja bagimu berbuat sesukanya." Vira tertawa kecil sambil menutup mulutnya.
Ck! Hendra berdecak sebal.
"Kau sungguh tidak punya harga diri sampai harus mengemis agar dikasihani, Vir? Dasar wanita tidak tahu malu!"
"Hei! Kenapa aku harus malu dengan suamiku sendiri?" Vira mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum manis. Wajah itu terlibat sangat ayu dengan kedua lesung pipi yang menghiasinya.
"Dasar perempuan g*la!" Hendra mendengus sebal. Niatnya ingin membuat Vira kesal dan menangis, malah senjata makan tuan. Jadi dia yang semakin kesal sendiri.
"Kau tidak mau panna cotta itu, Mas? Sini, biar kuhabiskan!" Vira menjulurkan tangannya, hendak mengambil makanan Hendra. Tetapi lelaki itu bergerak cepat mengamankannya.
"Yeeeee, kirain mas tidak mau." Vira memonyongkan bibirnya.
Wanita itu menarik napas pelan. Dadanya terasa sesak mengingat semua ucapan Hendra. Suaminya itu benar. Dia sungguh tidak ada harganya di mata keluarga.
Vira dibesarkan tanpa kasih sayang seorang ibu. Sang bunda mengucapkan selamat tinggal, dihari kelahiran putrinya itu. Malangnya nasib bayi mungil itu. Jangankan merasakan hangat pelukan dari sang ibu, bahkan mencicip setetes air susu ibu pun dia tak diberi waktu.
Sejak saat itu Vira dibesarkan oleh Ayahnya. Hari-harinya bahagia walau tanpa kehadiran sang bunda. Ayah menjadi gambaran sempurna, sosok cinta pertama yang dia rasa.
Namun semua berubah saat usianya menginjak sepuluh tahun. Ayahnya memilih menikah kembali dengan seorang janda. Wanita itu juga membawa anak yang usianya hanya berbeda tiga tahun dibawah Vira. Sejak saat itu semua berubah. Vira merasa tersisihkan, dari kehidupan bahagia yang terpampang di depan matanya.
Puncaknya tiga tahun yang lalu, Vira dikorbankan karena kesalahan adik tirinya itu. Dia dipaksa menikah dengan lelaki yang belum pernah ditemuinya sama sekali. Tanpa kata. Tanpa aba-aba. Mimpinya direnggut. Harapannya tercerabut. Dia tidak diberi kesempatan bahkan untuk bertanya. Dalam diam, Vira terpaksa menjalani semua.
Karena itulah, kini wanita itu mati-matian mempertahankan rumah tangganya. Berpura pernikahannya bahagia, walau sebenarnya bagaikan menggenggam bara. Dia ingin membuat keluarganya tahu, mereka salah membuangnya dulu. Vira ingin membuat ibu dan saudara tirinya menyesal karena telah mengorbankannya.
"Jangan ganggu wanita-wanitaku, Vir! Ini peringatan terakhirku untukmu." Hendra menatap tajam wanita yang duduk di hadapannya.
"Kalau tetap kugangggu?"
"Aku akan membuatmu menyesal karena telah mengganggu Kesenanganku." Hendra berkata dingin. Kesabarannya hampir habis menghadapi Vira.
"Hei! Asal kau tahu, bahkan sejak hari pertama pernikahan kita pun aku sudah menyesal. Jadi jangan ancam aku dengan kata penyesalan." Vira terkekeh menatap wajah tampan suaminya yang membatu.
BAB 3
"Dasar wanita g*la!” Hendra terus menggerutu sepanjang perjalanan menuju kantor. Sejak kemarin, dia benar-benar sudah putus komunikasi dengan Livia. Wanita itu memblokir semua akses untuk berhubungan dengannya. Mulai dari telepon, aplikasi mengirim pesan sampai ke akun media sosial.
Rasa kesalnya sudah diubun-ubun. Livia menghilang seperti ditelan bumi karena Vira. Entah apa yang terjadi di antara wanita simpanan dan istrinya itu tadi malam hingga Livia seakan enggan kenal lagi dengannya.
"Argh!" Hendra memukul kemudi mobil. Lelaki itu benar-benar dibuat sakit kepala oleh tingkah istrinya. Dia bergegas menginjak rem saat lampu lalu lintas berganti menjadi merah.
Hendra sangat membenci Vira. Dalam pandangannya, Vira hanyalah wanita yang tidak punya harga diri karena dijadikan pembayar hutang oleh orangtuanya.
Malangnya, karena itu dia ikut kecipratan sial. Hubungannya dengan Arlin yang sudah terjalin cukup lama harus kandas. Kisah cinta dengan wanita pujaan hatinya itu berakhir begitu saja saat Mama Lily mengatakan dia akan menikah lusa.
Tanpa pemberitahuan sebelumnya, tiba-tiba Hendra telah terikat pernikahan yang sah secara hukum dan agama. Arlin terluka. Perjalanan cinta mereka selama empat tahun mendadak berhenti begitu saja.
Wanita yang patah hati itu memilih pergi. Dia memilih menepi dari setiap kenangan yang mereka lewati. Membuang jauh semua angan tentang hidup bersama sang kekasih hati. Arlin pergi dengan memeluk luka yang sangat menyakiti.
Tinggalah Hendra merindu sendiri. Berharap bisa mengetahui sedikit saja bagaimana kabar wanita yang sempat memenuhi hari-hari. Nihil. Arlin menghilang bak ditelan bumi.
Karena itu pula lah, lelaki itu akhirnya melampiaskan semua kekesalannya pada Vira dengan cara memiliki banyak wanita simpanan. Tujuannya agar istrinya itu tidak tahan dan menggugat cerai.
Namun sialnya, wanita itu justru gigih bertahan. Entah bagaimana caranya Vira selalu bisa menemukan dan mengusir setiap wanita yang sedang dekat dengannya.
"Tiiiiiiiiiiin!"
Lamunan Hendra terhenti saat mendengar klakson mobil di belakang. Rupanya lampu hijau telah menyala sejak tadi.
Lelaki itu bergegas melajukan mobilnya kembali.
Mobil mewah berwarna hitam itu memasuki gedung area perkantoran tiga puluh menit kemudian. Hendra memarkirkan mobilnya di depan lobby. Petugas keamanan sigap mengambil kunci yang diberikan Hendra untuk diparkirkan.
Gedung perkantoran setinggi empat puluh lima lantai itu menjulang megah. Dengan langkah gagah Hendra memasuki lobby dengan penuh percaya diri.
Senyum Hendra terkembang sempurna saat ada karyawan yang menyapa. Sebagai pimpin perusahaan, dia memang terkenal sangat ramah.
"Selamat pagi, Pak." Sapa Lani, sekretaris pribadi Hendra.
"Pagi, Lan." Hendra tersenyum lebar.
Mereka berjalan beriringan. Dari jauh kedua orang itu terlihat sangat serasi. Lani memang cantik. Ditambah dengan pakaiannya yang selalu modis, membuat siapa saja betah berlama-lama memandangnya.
Selera Hendra memang tidak perlu diragukan dalam memilih wanita.
"Sudah kau pesankan tempat untuk nanti malam?" Hendra melambatkan langkahnya yang lebar. Kepalanya menoleh sedikit ke arah Lani yang berjalan di belakangnya.
"Sudah, Pak." Lani tersipu.
Hendra tersenyum samar melihat rona merah di wajah sekretarisnya itu.
Sesaat sebelum memasuki lift, ponsel di saku jas Hendra bergetar. Lelaki itu menghentikan langkah. Bergegas diambilnya ponsel yang terus bergetar dari tadi.
Pusing.
Nama yang tertera di layar ponsel. Hendra menarik napas. Vira. Untuk apa pula wanita itu meneleponnya sepagi ini? Ck! Hendra berdecak sebal. Memilih mematikan panggilan tanpa mengangkatnya.
"Ting!" Bunyi pintu lift terbuka.
Hendra masuk ke dalam lift diikuti Lani. Tangan lentik sekretaris pribadi Hendra menekan angka empat puluh lima. Tempat tertinggi di gedung ini, ruangan tempat Hendra menjalankan bisnis yang sangat disegani.
Sepersekian detik, mereka telah berpindah tempat.
"Ting!" Pintu lift terbuka. Lantai empat puluh lima.
Ponsel di saku Hendra kembali bergetar. Lelaki itu memilih mengabaikannya. Pasti itu Vira. Dia malas mendengar suara perempuan itu. Paling menanyakan kenapa tidak ikut sarapan.
"Jam sepuluh nanti ada rapat dengan rekanan bisnis, Pak."
Lani menyampaikan sambil berjalan menuju ruangan. Hendra mengangguk mendengar ucapan sekretarisnya.
Dia masih memikirkan Livia yang memutuskan semua akses komunikasi mereka. Apa yang sebenarnya Vira katakan pada Livia sehingga wanita itu seolah sangat jijik padanya? Bahkan, menurut informasi dari orangnya, Livia sudah pindah apartemen untuk menghindarinya. Duh!
Tidak terlalu masalah sebenernya buat Hendra. Dengan kondisi finansial yang mapan serta wajah yang tampan, mudah saja baginya menjerat para perempuan. Namun, dia masih cukup penasaran dengan gadis muda bermata sipit itu.
Hendra menarik napas panjang. Dia menoleh kebelakang. Sebenarnya, dia dan Lani tidak hanya terikat pekerjaan. Lebih dari itu, mereka cukup sering menghabiskan waktu bersama. Hendra tersenyum tipis, pasti Vira tidak akan mengira mereka ada affair karena dia dan Lani terikat hubungan profesionalisme kerja.
"Panggil Mas saja kalau hanya berdua, Lan." Hendra mensejajari langkah Lani.
Perempuan berwajah cantik dan bertubuh sintal itu sedikit salah tingkah. Lantai empat puluh lima ini memang ruangan khusus Hendra. Sehingga selalu ada dirinya di meja kerja luar, menerima kalau ada tamu. Sedangkan Hendra dalam ruangan khusus. Secara otomatis hanya mereka berdua yang ada di lantai itu.
"Ini di kantor, Pak." Lani menunduk. Wajahnya merona merah.
"Justru karena di kantor jadi seru. Lebih ada tantangan. Lagi pula, tidak ada orang ini." Hendra mengedipkan mata.
"Iya, Pak."
"Kok bapak lagi."
"Eh, iya, Mas." Lani tambah salah tingkah.
Hendra tertawa kecil sambil melangkah masuk ke ruangannya. Meninggalkan Lani yang berbunga-bunga di meja kerja.
Atasannya itu memang romantis dan sedikit genit. Tetapi walau begitu, belum sekalipun lelaki itu berusaha memegang tubuhnya, bahkan berpura menyenggol pun tidak pernah. Dia hanya romantis dan genit di omongan. Sementara untuk sentuhan, lelaki itu seperti menghindarinya.
"Bapak ada, Lan?" Satu suara mengejutkan Lani yang sedang senyum-senyum karena pikirannya.
"Eh, ada, Bu." Lani bergegas berdiri. Tidak menyangka istri atasannya itu datang sepagi ini.
"Ikut saya ke ruangan bapak."
"Hah?!"
Vira menggerakkan dagunya. Memberi kode pada Lani agar mengikutinya masuk menemui Hendra.
Sekretaris pribadi Hendra mengangguk pelan. Sedikit bingung kenapa dia diminta ikut juga.
Vira berjalan dengan langkah yang penuh percaya diri. Penampilannya sangat simpel namun terlihat elegan. Selera wanita itu memang sangat bagus dalam memadu padankan pakaian. Membuatnya selalu terlihat sedap dipandang mata.
"Pagi, Yang." Suara Vira terdengar empuk di telinga.
Hendra yang sedang minum air putih hangat yang telah disiapkan oleh petugas tersedak.
"Ini aku bawakan sarapannya."
Sarapan? Hendra menatap Vira bingung. Sementara Lani gantian menatap Hendra heran.
"Tolong siapkan di meja ya, Lan." Vira menyerahkan tas yang berisi makanan.
"Oh iya, Bu." Dengan kening berkerut Lani menata semua di meja tempat menerima tamu.
"Kau lihat, Lan? Bahkan untuk sarapan saja Mas Hendra minta dibawakan." Vira tertawa kecil.
Sementara Hendra yang bingung hanya terpaku menatap Vira. Apa lagi yang kini dilakukan oleh istri yang tidak diinginkannya itu?
"Walau pemilik perusahaan, tetapi Mas Hendra sangat irit. Kau tahulah, dia terlalu memikirkan karyawan. Takut gaji tidak terbayar. Selain itu, Mas Hendra juga memikirkan angsuran rumah dan mobil." Vira menggeleng kecil seolah prihatin.
"Kau tahu, kan mobil mewah yang sering dipakainya itu? Masih kredit. Tiga tahun lagi baru lunas." Vira berjalan pelan mendekati Lani yang membeku.
Pelan dia menepuk bahu sekretaris pribadi sekaligus kandidat wanita simpanan suaminya.
"Jadi, kusarankan kau berpikir banyak sebelum memutuskan menjadi wanita simpanan Mas Hendra. Dia itu kere." Vira menutup mulut menahan tawa.
"Saya, saya tidak ada hubungan dengan Bapak, Bu." Lani menggigit bibir.
"Ada juga tidak apa-apa. Aku hanya memberitahumu, kalau Mas Hendra itu tidak sekaya kelihatannya."
Tawa renyah Vira memenuhi ruangan.
Wajah Hendra memerah. Jangankan membeli satu rumah dan satu mobil mewah. Bahkan membeli showroom mobil dan perusahaan developer yang membangun rumah itu pun dia sanggup!
Vira benar-benar membuatnya mendidih.
Mulut lelaki itu tertutup rapat. Matanya tajam menatap Vira yang berjalan mendekatinya.
Wanita itu mendekatkan wajah mereka. Sangat dekat. Bahkan mereka bisa merasakan hembusan napas masing-masing.
Vira berbisik pelan. Sangat pelan. Bahkan bunyi desing pendingin ruangan masih kalah pelan oleh suaranya.
"Jangan marah, Mas. Aku hanya mencoba menyelamatkanmu dari wanita-wanita matre yang hanya menginginkan hartamu saja."
Hendra mendengus sebal. Sementara Vira tersenyum penuh kemenangan.
BAB 4
"Waaaaaah, masak apa ini menantu kesayangan mama?" Mama Lily tersenyum lebar melihat meja makan penuh dengan masakan.
"Eh, Mama? Sudah bangun?" Vira menyapa riang mertuanya yang baru saja masuk ke dapur. Sepagi ini wanita itu sudah memasak berbagai macam makanan.
"Sudah dong. Tadinya mama mau masak, kangen dapur. Eh lagi-lagi sudah keduluan sama menantu mama yang rajin ini." Mama Lily tertawa sambil duduk di salah satu kursi.
"Loh? Mama tidak bilang mau masak, tahu begitu kan Vira bisa bangun agak siangan." Vira dan Mama Lily tertawa bersama mendengar jawaban Vira.
"Kamu persis ibumu, Vir. Beruntung sekali Hendra bisa menikah denganmu." Mama Lily memperhatikan Vira yang dengan cekatannya memindahkan dan menata masakan di meja makan.
Vira tersenyum. Wanita itu tidak tahu mana yang dikatakan mertuanya itu persis dengan ibunya. Dia bahkan tidak sempat merasakan pelukan bundanya walau hanya sedetik saja.
"Ibumu dulu pintar sekali memasak. Bahkan setiap ada kegiatan yang berhubungan dengan makan-makan, Zita selalu menawarkan diri dengan senang hati memasak buat semua." Zita. Yozita. Nama ibu kandung Vira. Nama yang sengaja disematkan di belakang namanya, untuk mengenang jasa sang bunda.
"Mama dan ibu dulu berteman dekat?" Vira meletakkan capcay, sayur terakhir yang dia siapkan.
"Sangat." Mama Lily tersenyum.
Wanita yang masih terlihat cantik di usia senja itu menatap menantunya lamat-lamat. Mata tuanya tiba-tiba mengembun. Kelebatan ingatan masa lalu menyergap pikirannya.
Pagi hari, pukul 06.30 WIB. Dua puluh sembilan tahun yang lalu.
"Zita." Tangan Lily muda gemetar. Wajahnya terlihat sangat kalut saat menatap wajah pucat sahabatnya yang terbaring di ranjang rumah sakit.
"Zi." Sekali lagi Lily mencoba membangunkan sahabatnya.
Suara pintu kamar rumah sakit dibuka lalu ditutup kembali terdengar. Bunyi sepatu yang beradu dengan lantai nyaring memenuhi ruangan. Langkah demi langkah kian mendekat.
"Ly." Suara berat dan serak terdengar. Suara yang sangat dikenali Lily.
"Aksa." Lily menatap lelaki yang tadi menyapanya. Aksara, biasa dipanggil Aksa. Lelaki itu terlihat sangat kacau.
"Kapan kau tiba?" Aksa berjalan mendekati ranjang Zita, istrinya.
Lelaki itu duduk disampingnya, sejenak menatap wajah pucat itu. Dia lalu menggenggam tangan Zita yang terasa dingin.
"Baru saja," jawab Lily.
Wanita yang membawa tas berwarna hijau tua itu mendesah. Tadi dia bergegas kemari saat menerima telepon dari Aksa. Lelaki itu belepotan menjelaskan dengan cepat keadaan sahabatnya itu. Pendarahan. Tidak sadarkan diri. Dalam perjalanan ke rumah sakit.
Lily dan Zita bersahabat dekat. Mereka satu perjuangan saat dulu kulihat. Sama-sama mahasiswi rantau, sama-sama dari keluarga yang tidak berada, mereka mati-matian berjuang saling menguatkan agar bisa meraih gelar sarjana. Dengan semua pengalaman yang mereka lalui bersama. Maka tidak perlu ikatan darah untuk menjadi saudara.
Persahabatan mereka semakin dekat, saat nenek Zita meninggal. Habis sudah keluarganya. Dia anak tunggal yang lahir dari ayah dan ibu yang juga anak satu-satunya.
Keluarga mereka kecil. Saat kedua orangtuanya meninggal dalam kecelakaan, Zita hanya mempunyai seorang nenek. Saat neneknya juga berpulang, maka habislah keluarga Zita.
Beruntung ada Lily yang menguatkan. Maka mereka akhirnya sudah menjadi seperti saudara kandung. Saat libur kuliah, Zita sering pulang ke rumah Lily yang diterima dengan baik oleh kedua orangtuanya.
"Apa kata dokter, Sa?" Lily kembali bertanya setelah hening sekian lama di antara mereka.
"Harus dioperasi. Ketubannya hampir habis. Mereka sedang mempersiapkan ruang operasi." Aksa memijat kepala.
"Bagaimana ini, Ly?" Lelaki itu menatap Lily. Matanya basah. Tadi dia kalut, tidak tahu harus menghubungi siapa. Yang terpikir dikepalanya hanya Lily. Sahabat kental Istrinya.
"Apa yang bagaimana?" Lily ikut mengusap ujung matanya yang mendadak basah.
"Dokter mengatakan kemungkinan terburuk, hanya satu dari mereka yang bisa diselamatkan." Tangis Aksa pecah.
Lily terpana. Hidungnya terasa kedat. Seserius itukah keadaannya?
"Bagaimana ini, Ly? Aku ingin istri dan anakku selamat semuanya." Pedih. Sangat pedih mendengar tangisan lelaki itu. Tangisan yang penuh ketakutan akan ditinggalkan oleh orang-orang yang sangat dicintainya.
"Tenanglah, Sa. Dokter mengatakan itu kemungkinan terburuk. Kita berdoa saja semoga hasil terbaik yang bisa mereka lakukan. Semoga semuanya selamat." Lily mengelus pundak Aksa. Dia mencoba menenangkan suami sahabatnya itu. Walau dalam hati dia pun sebenarnya merasa sangat ketakutan.
"Mas."
"Zi!" Aksa langsung mengelus kepala Zita lembut.
"Aku …."
Suara pintu dibuka membuat ucapan Zita terhenti.
"Bantu kami memindahkan Ibu Yozita ke brankar ya, Pak. Harus dioperasi sekarang. Kondisi gawat." Perawat menjelaskan secepat mungkin.
Bergegas Aksa mengangkat istrinya. Sementara Lily membantu membawakan infuse. Mereka berlarian sepanjang lorong rumah sakit menuju ruang operasi.
"Ly." Zita memegang tangan Lily, sesaat sebelum masuk ke ruang operasi.
"Tolong. Tolong jaga anakku seperti kau menjaga anakmu." Mata Zita menatap Lily penuh permohonan.
"Zi!" Napas Lily tersengal karena tadi ikut berlarian mendorong brankar Zita.
"Jangan berpikiran macam-macam. Masuk dan melahirkanlah. Aku dan Aksa menunggumu dan anakmu di sini."
"Berjanjilah, Ly! Berjanjilah kau akan menjaga anakku dengan nyawamu." Mata Zita berkaca-kaca. Wanita itu seolah telah memiliki firasat waktunya tak lagi lama.
"Bu. Kita harus segera masuk." Suster menyela.
"Aku berjanji." Janji itu akhirnya terucap dari mulut Lily. Janji yang dipeluknya dengan erat hingga kini.
Lily muda menghapus air mata saat ruang operasi ditutup.
Pun di sini.
Pagi hari. Pukul 06.30 WIB. Dua puluh sembilan tahun setelah kejadian itu.
Mama Lily menghapus air matanya yang mengalir.
"Mama menangis?" Vira bergegas memeluk mertuanya itu dari belakang.
"Ada apa, Ma?" Vira menghapus air mata di kedua pipi mertuanya.
Mama Lily menggeleng.
Dia benar-benar menepati janjinya pada Zita, sahabatnya.
Setelah pemakaman Zita waktu itu, Aksa memilih kembali ke kota kelahirannya. Mereka hilang kontak sejak saat itu.
Sampai suatu hari. Tiga tahun yang lalu. Janji yang dia ucapkan dua puluh sembilan tahun yang lalu memanggil.
Aksa meneleponnya dengan suara bergetar. Lelaki itu terdengar menahan tangis. Dia memohon agar Lily mau menyelamatkan Vira, menyelamatkan masa depan anaknya.
Lily menangguk mantap saat Aksa mengakhiri semua penjelasan. Tanpa banyak kata, sekejap mata pernikahan Hendra dan Vira dilaksanakan.
Rahasia kecil yang tidak Vira ketahui, ayahnya melakukan itu semua justru untuk melindunginya. Melindungi putri semata wayangnya.
"Mama tidak apa-apa, Vir. Mama hanya kangen dengan ibumu." Mama Lily berdiri. Memeluk Vira dengan erat.
Sementara sepasang mata mengawasi mereka dari pintu dapur. Tatapan mata setajam mata elang itu nyalang menatap Vira dan Mama Lily yang sedang berpelukan. Itulah yang membuat Hendra kesulitan menceraikan Vira. Mama dan istrinya itu terlalu dekat dan saling menyayangi. Hendra dapat merasakan itu.
Hendra mendengus sebal. Dia masih kesal dengan Vira. Kurang dari seminggu, dua wanita yang dekat dengannya menjauh pergi. Livia yang raib bak ditelan bumi dan Lani yang mulai menjaga jarak sehingga mereka tidak sedekat dulu lagi.
Lelaki itu benar-benar pusing dengan tingkah Vira yang terus-terusan mengganggu kesenangannya.
BAB 5
"Vir."
Vira yang sedang serius merapikan tanaman hias menoleh pada Mama Lily. selepas sarapan tadi, mereka langsung ke depan. Seperti biasa, setiap akhir pekan Mama Lily dah Vira akan asyik mengurus tanaman hias. Sementara Hendra memilih membaca surat kabar di teras sambil mendengarkan percakapan mereka.
"Iya, Ma?" tanya Vira sambil tangannya kembali sibuk memotong daun-daun bunga yang mulai menguning.
"Kamu sudah halangan belum bulan ini?"
Vira mengerutkan kening mendengar pertanyaan Mama Lily. Tumben mertuanya itu bertanya tentang hal yang sangat pribadi.
"Baru saja selesai dua hari yang lalu. Kenapa, Ma?"
"Nah! Pas itu, Hen!" Mama Lily memukul kaki Hendra yang duduk di kursi belakangnya dengan menggunakan gunting untuk merapikan taman hias.
"Aduh! Apa sih, Ma?" Hendra mengelus kakinya yang tadi dipukul Mama Lily. Lelaki itu meletakkan koran yang sedari tadi dibacanya.
"Itu Vira baru selesai halangan." Mama Lily menoleh ke belakang. Mengedipkan sebelah mata pada anak laki-laki semata wayangnya itu.
"Hah?! Terus?" Hendra bertanya dengan wajah bingung.
"Waktu yang tepat untuk merencanakan kehamilan. Vira sedang subur-suburnya itu."
"Uhuk!!" Hendra yang sedang minum teh tersedak mendengar ucapan Mama Lily.
"Kapan dong kalian serius merencanakan kehamilan? Iya kamu dan Vira masih muda. Lah mama ini sudah tua loh, Hen. Sudah ingin sekali menggendong cucu." Mama Lily menatap anak laki-lakinya itu dengan sedikit sebal karena Hendra terlihat tidak terlalu serius menanggapi.
"Belum rezekinya, Ma." Hendra melirik pada Vira yang terlihat santai memotong daun bunga.
"Cobalah periksa, semenjak menikah, belum sekalipun kalian ke dokter, kan?"
Vira pura-pura sibuk dengan kegiatannya, sementara Hendra menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Kau dengar tidak, Hen?" Mama Lily melotot melihat anak laki-lakinya seperti ridak mendengarkan omongannya.
"Iya, Ma, iya." Hendra menjawab malas.
"Udah anak tunggal, malas-malasan pula. Vira, suamimu ini gagah kan kalo di ranjang?" Mama Lily menoleh pada Vira.
"Kok mama menyalahkan Hendra terus sih, Ma? Di cerita-cerita lain, mertua biasanya menyalahkan menantu wanitanya." Hendra berdiri sambil mengangkat kedua tangan.
"Kamu itu!" Mama Lily ikut bediri, bermaksud menoyor kepala hendra.
Gagal.
Lelaki itu lebih dulu berlari masuk ke dalam sambil tertawa-tawa.
"Aduh! Aduh! Punya anak laki-laki satu kok ya begitu bange. Ck!" Mama Lily berdecak sebal.
"Kamu yang sabar jadi istrinya Hendra ya, Vir." Mama Lily duduk di samping Vira lagi.
Vira mengangguk sambil tersenyum saat Mama Lily mengelus punggungnya lembut.
Wanita berlesung pipi itu menarik napas pelan. Bagaimana pula akan memberikan mertuanya cucu? Sementara selama tiga tahun pernikahan mereka, belum sekalipun Hendra menyentuhnya.
Vira menggigit bibir. Bagaimana cara meruntuhkan keangkuhan suaminya itu? Hendra lebih memilih bermain gila di luar sana dari pada melakukan dengannya. Vira tahu betul kenapa Hendra melakukannya. Lelaki itu sengaja berbuat demikian agar dia menyerah pada pernikahan mereka.
Tetapi Hendra salah. Vira bertahan bukan karena keinginannya, tetapi dia bertahan karena dia harus melakukannya. Mau tidak mau, suka tidak suka.
Ck! Vira berdecak sebal. Cara apa lagi yang harus dia lakukan agar Hendra tergoda? Bukan sekali dua dia mencoba mengundang Hendra untuk melakukan hal menyenangkan itu, Vira bahkan pernah menaruh obat p*rangs*ng pada minuman Hendra. Gagal. Lelaki itu memilih pergi keluar saat obat itu mulai bereaksi.
"Kau tidak kasihan dengan mama, Mas?" Vira langsung duduk di paha Hendra saat lelaki itu sedang duduk santai di balkon kamar mereka.
Hendra yang sedang melamun sontak terkejut. Tidak menyangka Vira semakin berani. Bergegas dia menolak tubuh wanita yang menempel lengket padanya.
"Apa kau sudah tidak ada harga diri?"
"Hei! Kau suamiku! Melayanimu adalah ibadah bagiku." Vira tertawa kecil, semakin mengeratkan tangannya pada leher Hendra.
"Setidaknya kau harus punya sedikit rasa malu sebagai seorang wanita!" Hendra akhirnya menyerah. Membiarkan Vira menempel padanya. Pelukan wanita itu terlalu erat, membuatnya kesulitan melepaskan diri. Atau, sebenarnya dia suka? Sehingga tidak bersungguh-sungguh melepaskannya.
"Sayang." Vira membasahi bibirnya dengan lidah. Tangan kanannya mengelus pipi Hendra pelan, sementara tangan kirinya masih melingkar manis di leher Hendra.
"Tiga tahun aku menjadi istrimu, Mas. Kenapa aku harus malu dengan suamiku sendiri?" Vira tersenyum manis, sambil meniup lembut wajah Hendra.
Hendra menggelengkan kepala sambil menghembuskan napas kencang. Lelaki itu memaksa berdiri sehingga membuat Vira dengan berat hati ikut berdiri juga. Hendra sedikit menjauh dari Vira. Lelaki itu terlihat memindai penampilan Vira yang terlihat segar dan … seksi.
Hendra kembali menghembuskan napas kencang. Dia segera memalingkan muka dari pemandangan yang sebenarnya sangat ingin dia lihat. Nalurinya sebagai lelaki normal tidak berbohong, Vira sangat menggoda.
Sementara Vira yang mengetahui Hendra mati-matian mengendalikan diri tersenyum penuh kemenangan. Wanita cantik itu sengaja Bergerak-gerak membuat pose menantang untuk semakin mengganggu Hendra.
"Berhenti!" Hendra memegang bahu Vira agar wanita itu berhenti menggodanya.
Vira hanya menanggapi tatapan tajam Hendra dengan kedipan mata genit.
"Apa kau sudah biasa seperti ini pada laki-laki lain sehingga tidak ada rasa malu sedikitpun dalam dirimu?" Hendra menatap Vira dengan pandangan yang entahlah.
Sementara Vira hanya mengangkat bahu. Malas berdebat. Tujuannya berpakaian dan berbuat demikian memang untuk mencari tahu apakah Hendra tertarik atau tidak padanya. Dari sikap lelaki itu, Vira menyadari masih ada harapan baginya untuk bisa meruntuhkan dinding tinggi yang sengaja dibangun Hendra dalam rumah tangga mereka.
"Jangan-jangan kau sudah sering melakukannya, Vir? Apa kau sudah tidak pera*an lagi?" Hendra berdecih, menatap Vira dari bawah sampai ke atas dengan tatapan merendahkan.
"Kenapa tidak kau coba sendiri saja, Mas? Apakah aku masih orisinil atau sudah barang bekasan?" Vira berkata dengan sedikit mendesah sambil mengangkat sebelah pahanya.
"Dasar wanita sableng!" Hendra berbalik badan, pergi meninggalkan Vira.
Dia harus menenangkan diri. Kalau tidak, wanita gila itu bisa berhasil menggodanya. Itu tidak boleh terjadi! Dia harus bisa menyingkirkan Vira dari hidupnya. Hendra tidak mau ada ikatan apapun dengan Vira, apalagi sampai menghasilkan keturunan. Hal itu akan mempersulitnya saat nanti waktu perpisahan mereka tiba.
Sementara di balkon Vira tertawa terbahak-bahak melihat Hendra yang pergi begitu saja. Lelaki itu terlihat seperti ketakutan menatap tubuh seksinya.
"Kupastikan kau akan kalah tidak lama lagi, Mas!" Senyum Vira mengembang sempurna. Membuat kedua lesung pipinya terlihat dengan jelas.
BAB 6
Dering ponsel Vira terdengar dari dalam kamar. Wanita cantik nan manis itu bergegas masuk ke dalam. Berjalan cepat menuju kasur, tempat dia meletakkan ponselnya tadi sebelum menggoda Hendra.
"Ck!" Vira berdecak sebal saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya.
Lama dia menimbang akan diangkat atau tidak sampai dering ponselnya berhenti sendiri. Namun, tidak lama kemudian ponselnya kembali berdering. Membuat Vira menarik napas panjang.
"Halo." Singkat saja Vira menyapa.
"Dari mana saja, Vir? Jangan sok sibuk deh. Susah sekali setiap mau dihubungi!" Suara di seberang sana terdengar.
"Heh! Memangnya aku tidak ada kerjaan? Asal kau tahu, kegiatanku banyak! Tidak setiap detik ponsel ini kupegang!" Vira menggertakkan gigi menahan kesal.
"Alah! Kegiatan apa? Sok-sokan saja kamu itu. Jangan mentang-mentang sudah jadi istri orang berduit dan hidup enak kamu lupa keluargamu sendiri!"
"Keluarga? Sejak kapan kita menjadi keluarga?" Vira tertawa sinis mendengar ucapan Zahra, istri ayahnya.
"Jangan lupakan ini, Vir! Kau bisa menyandang gelar sebagai Nyonya Hendra karena aku. Kalau bukan karena terdesak, sangat tidak mungkin wanita sepertimu bisa dipersunting oleh keluarga konglomerat itu! Jadi, sedikit berterima kasihlah padaku."
"Terima kasih." Enteng saja kata itu keluar dari mulut Vira.
"S*alan!" Terdengar makian Zahra saat mendengar Vira enteng saja mengucapkan terima kasih. Dia tahu persis anak tirinya melakukan itu untuk melawannya.
Sementara di sini Vira tersenyum karena berhasil membuat Zahra kesal. Vira sungguh tidak habis pikir dengan sikap istri ayahnya itu. Bisa-bisanya dia merasa berjasa karena telah membuatnya menikah dengan Hendra. Berjasa apa? Dia dikorbankan untuk menutupi kesalahan Silmi, saudara tirinya.
"Ada perlu apa? Aku sibuk, tidak punya banyak waktu untuk meladeni omonganmu yang tidak penting ini."
"Apa sih kesibukanmu? Seolah kau orang penting saja sampai punya kesibukan segitunya." Suara tawa Zahra terdengar meremehkan.
"Yaaaaaa sibuk ke salon, menemani mama mertua ke acara arisan teman-teman kayanya, mendampingi suami makan dengan kolega bisnis yang punya usaha banyak. Begitu-begitu saja kesibukanku."
"G*la!"
Vira mati-matian menahan tawa karena berhasil membuat Zahra semakin kesal. Pasti setelah ini istri ayahnya itu akan terus uring-uringan sampai malam karena memikirkan kehidupannya yang penuh kesenangan dan bergelimang harta.
"Kututup telponnya kalau tidak ada lagi yang ingin kau bicarakan." Vira mengancam. Muak harus berbicara lama dengan wanita yang dia benci sepanjang usianya.
"Tungu, Vir! Memangnya kau pikir aku menelpon hanya untuk mendengarkan ocehan tentang kesenanganmu saja, hah?!"
"Hei. Kau yang bertanya, kan? Aku hanya menjawab." Vira tertawa kecil.
"Ada perlu apa? Cepatlah!" Wanita berlesung pipi itu kembali bertanya malas.
"Uang bulanan yang kau kirim kurang. Tambah lagi. Kebutuhan semakin banyak. Harga-harga naik semua."
"Uang bulanan maksudmu?" Suara Vira meninggi.
"Oh? Eh, itu, maksudku, emmmm. Kata ayah, uang yang Vira kirim kurang karena ada kebutuhan mendadak. Jadi dia minta aku menyampaikan padamu." Suara Zahra terdengar sedikit gagap.
"Kenapa bukan ayah sendiri yang menghubungiku?!"
"Oh, itu, eeeee, jadi begini, Vir …."
"Biar nanti aku yang menghubungi ayah." Vira cepat memotong omongan Zahra. Dia kasihan karena pasti istri ayahnya itu kebingungan mencari alasan.
"Vir! Vira! Ja …."
Vira langsung memutus sambungan telepon tanpa mempedulikan Zahra yang masih berteriak memanggil namanya.
Ponsel Vira kembali berdering. Wanita itu berdecak sebal saat melihat nama di layar. Istri ayahnya itu benar-benar menyebalkan! Dia akhirnya mematikan ponsel dan membanting alat komunikasi itu ke kasur.
Wanita itu terlihat kesal. Jadi, uang kebutuhan untuk pengobatan ayahnya yang selama ini dia kirim dipergunakan oleh ibu dan saudara tirinya? Sebegitu sayang ayahnya pada mereka. Lelaki itu bahkan rela memangkas pengobatan hanya agar istri dan anak tirinya bisa hidup enak.
Vira menutup wajah dengan kedua tangan. Bahunya tiba-tiba bergetar. Vira menangis. Menyesali kenapa nasib buruk ini harus menimpa dirinya. Apa gunanya hidup bergelimang harta tetapi tidak pernah dianggap ada oleh suami sendiri?
Beruntung Mama Lily baik, itulah sumber kekuatan Vira. Berada di dekat mertuanya itu, membuat Vira bisa merasakan kasih sayang seorang ibu. Rasa yang tidak pernah dia dapatkan selama ini, sebelum dia (terpaksa) menikah dengan Hendra.
Wanita itu sungguh membenci Zahra dan Silmi. Karena kehadiran mereka, dia harus kehilangan masa kecilnya yang menyenangkan. Kehadiran mereka bukan hanya merebut hampir seluruh perhatian ayah, namun juga berhasil membuat ayah menjadi membencinya.
Bagaimanapun caranya, dia harus membuat ibu dan adik tirinya itu merasakan setiap detik waktu yang dilaluinya dalam kesakitan.
Dulu mereka menyiksanya dengan merebut seluruh perhatian ayah, kini kedua orang itu menyakitinya dengan membuatnya harus menjalani pernikahan tanpa cinta.
Vira mendesah. Kadang dia merasa lelah dan ingin menyerah. Di satu sisi dia mulai jengah dengan sikap Hendra padanya, namun di sisi lain, andai dia menyerah pasti kedua wanita itu akan menari kesenangan melihat dirinya kembali hancur.
"Vir?"
Vira terlonjak mendengar suara Hendra. Lelaki itu kembali ke kamar karena ada sesuatu yang harus dia ambil. Tak disangka ternyata dia justru menemui Vira yang sedang menangis.
Apa Vira menangis karena tadi dia menolaknya? Rasanya tidak mungkin karena itu. Pasti ada hal lain.
Selama pernikahan mereka, hampir tidak pernah Hendra melihat wanita agresif itu menangis. Wanita itu selalu terlihat kuat dan percaya diri. Lalu, apa hal yang kini membuatnya terlihat sangat terluka?
"Ada apa?" Hendra berjalan mendekat. Sedikit khawatir dengan Vira. Bukannya kenapa-kenapa, nanti dia pula yang disalahkan Mama Lily kalau ada apa-apa.
Sementara Vira langsung berdiri saat melihat Hendra mendekat. Tanpa menjawab tanya Hendra, Vira membuang muka dan berlalu cepat ke kamar mandi.
Hendra mematung di tempatnya. Bingung dengan sikap Vira. Sebenarnya ada apa dengan istri yang tidak diinginkannya itu?
"Dasar perempuan s*bleng! Tadi menggoda, sekarang menangis sedih. Ditanya baik-baik, malah kabur ke kamar mandi. Edan! Bisa stres aku lama-lama begini." Hendra menepuk keningnya dengan tangan.
BAB 7
"Bagaimana, Ma?" Gadis berbando coklat itu menatap mamanya dengan tatapan antusias.
"Ck!" Rahma berdecak sebal.
"Tambah belagu saja itu si Vira." Wanita dengan lipstick merah menyala itu menghentakkan sebelah kakinya.
"Duh! Kenapa lagi dia, Ma?" Silmi menghempaskan badannya bersandar pada sandaran sofa. Wajahnya terlihat sangat kesal.
"Ya biasa, pamer kehidupan mewahnya." Rahma ikut menyandarkan tubuhnya seperti Silmi.
"Ck! Kapan dia transfer?" Silmi menoleh, melihat ibunya yang seperti sedang termenung memikirkan sesuatu.
"Entah. Katanya mau memastikan ke papamu dulu."
"Ih! Nyebelin banget sih. Mentang-mentang sudah jadi istri orang kaya. Dia begitu kan karena aku juga!" Silmi melipat kedua tangannya di depan dada.
"Aduh!" Silmi memegang kepalanya yang terasa sakit karena digetok oleh Rahma.
"Jangan bicara seperti itu. Habis kamu sampai papa mendengar omonganmu." Rahma melotot ke arah Silmi.
"Ya, kan memang karena Silmi, Ma." Gadis berambut panjang itu menjawab pelan.
"Diamlah! Ibu heran, bisa-bisanya kamu terlilit hutang begitu besar. Silmi, Silmi. Kemana saja uangnya? Kamu kan masih kuliah! Apa sih memangnya kebutuhan anak kuliah?"
"Lah? Kok, mama malah menyalahkan Silmi? Kan uangnya sebagian besar mama yang menikmati." Silmi tidak terima disalahkan oleh ibunya.
"Maksudmu?" Rahma menegakkan punggungnya.
"Lah? Arisan logam mulia, kumpul-kumpul dengan teman sosialita, ongkos jalan-jalan ke luar negeri setiap bulan. Memangnya mama tidak sadar uangnya dari mana?" Silmi ikut menegakkan punggung.
Rahma mendesah. Wanita berusia setengah baya itu kembali menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Dia memejamkan mata. Ingatannya berputar ke peristiwa tiga tahun yang lalu.
Pukul 21.30 WIB. Tiga tahun yang lalu.
Petir menyambar-nyambar bagaikan lidah api yang terjulur di langit. Hujan deras beserta angin kencang meningkahi malam yang baru saja akan meninggi.
"Saya tidak mau tahu! Silmi berjanji akan melunasi hutang-hutangnya malam ini, Pak Aksa. Saya sudah sangat sabar, menunggu selama tiga bulan ke belakang janji-janji bohong dari putri bapak." Lelaki berambut klimis itu berbicara dengan suara tegas dan lantang. Bersahutan dengan suara petir di luar.
"Tunggu sebentar, Pak Heru. Maksudnya bagaimana?" Lelaki yang biasa dipanggil ayah oleh Vira bertanya bingung dengan kening berkerut.
"Putri bapak meninjam uang pada saya. Dia mengatakan untuk modal merintis usaha yang akan dikembangkan bersama dengan teman-temannya dikampus. Silmi berjanji akan memberikan bagi keuntungan sebesar tiga puluh persen setiap tiga bulan, sekaligus akan melakukan pembayaran angsuran pinjaman. Namun, sudah setahun lebih saya tunggu. Jangankan bagi keuntungan, bahkan cicilan modal pun tidak ada!" Merah padam wajah Pak Heru. Matanya menatap tajam ke arah Silmi yang terus menunduk.
Ayah Aksa menarik napas panjang. Masalah apa lagi yang sekarang dilakukan oleh Silmi? Anak sambungnya itu benar-benar membuatnya sakit kepala.
"Saya tidak tahu apa-apa mengenai uang yang dipinjam Silmi." Ayah Aksa menjawab dingin.
"Tidak bisa begitu, Pak Aksa. Sebagai orangtuanya, anda harus ikut bertanggung jawab!" Pak Heru memukul meja. Emosinya terpancing mendengar jawaban Ayah Aksa tidak sesuai dengan keinginannya.
"Bagaimanapun, salah anda sendiri kenapa mau meminjamkan uang dalam jumlah besar kepada anak kuliahan. Berapa uang yang dipinjam Silmi?"
"Empat ratus lima puluh juta. Hanya pokoknya saja!"
"G*la! Anda sehat meminjamkan uang sebesar itu pada anak kuliahan yang baru akan merintis usaha?" Ayah Aksa tertawa heran.
"Silmi meminjam dengan persetujuan anda, Pak Aksa. Bahkan saat tanda tangan surat perjanjian, Bu Rahma, istri anda, ikut mendampingi."
Ayah Aksa langsung menoleh pada Silmi dan Rahma. Anak dan ibu itu kompak menunduk. Mengunci bibir serapat mungkin. Sementara Vira duduk di sofa paling ujung. Menyandarkan badannya pada sandaran sofa sambil menyilangkan kaki dan tangan. Menjadi penonton setia untuk setiap masalah yang diciptakan adik tiri tersayangnya.
"Saya tidak merasa menyetujui apapun, Pak Heru." Ayah Aksa menggeleng tegas.
"Loh? Maksudnya? Yang benar saja Pak Aksa. Jangan bercanda." Pak Heru tertawa bingung.
"Bukankah anda sudah setuju untuk menggadaikan rumah ini sebagai jaminan hutang?" Pak Heru bertanya dengan ekspresi yang tidak dapat dijelaskan. Campur aduk. Sedikit bingung, sedikit ingin tertawa, sedikit bertanya heran.
"Hah?!" Pak Aksa bahkan menunjukkan ekspresi yang susah dijelaskan mendengar perkataan Pak Heru.
"Begini saja, Pak Aksa." Pak Heru akhirnya menarik napas panjang.
"Saya tunggu i'tikad baik dari Silmi dan bapak sampai bulan depan untuk melunasi hutang. Kembalikan saja uang pokoknya, saya ikhlaskan uang bagi keuntungan itu. Kurang baik apa saya kepada kalia? Kalau sampai saya kemari lagi bulan depan, dan uangnya belum ada, terpaksa rumah ini saya ambil alih secara paksa." Pak heru mengangkat tas nya yang tembus pandang, sehingga tas yang berisi surat tanah itu terlihat jelas.
"Permisi." Pak Heru mengajak kedua pengawal berbadan kekar yang sedari tadi berdiri di belakangnya.
"Saya masih berbaik hati karena memandang Vira, Pak Aksa. Atau saya punya penawaran bagus, biarkan Vira menjadi istri ketiga saya, maka semuanya saya anggap selesai." Pak Heru tersenyum lebar sambil mengedipkan sebelah mata pada Vira.
Vira hanya tersenyum lebar menanggapi kedipan Pak Heru, membuat kedua lesung pipinya terlihat jelas.
"Dah, Vira." Pak Heru mencium jari telunjuk dan jari tengahnya, kemudian melambaikannya pada Vira. Wanita berlesung pipi itu hanya mengangguk sedikit pada Pak Heru.
Hening. Lima menit berlalu dalam keadaan bisu di ruang tamu itu. Silmi menggigit bibir, sementara Rahma berkali-kali menghela napas.
"Kau kemanakan uang sebesar itu, Sil?" Suara berat Ayah Aksa akhirnya terdengar.
"Pa." Rahma bersuara.
Ayah Aksa bergegas mengangkat tangan saat melihat Rahma akan meneruskan ucapannya.
"KAU KEMANAKAN?!"
Silmi langsung terisak mendengar bentakan dari Ayah Aksa.
"Pa! Jangan bentak Silmi!"
"Diam kau! Apa kau bersekongkol dengan Silmi untuk memalsukan tanda tanganku dan mencuri sertifikat tanah di berangkas?"
Rahma menggeleng. Wanita itu mati langkah. Satu sisi dia ingin melindungi Silmi, namun di sisi lainnya dia tidak ingin dianggap terlibat oleh suaminya.
"Jangan diam saja, Sil! Dengan apa kau akan mengembalikan uang itu?" Ayah Aksa memukul meja.
"Pa, jangan berteriak terus ke Silmi. Aku tahu dia bukan darah dagingmu, tetapi sayangilah dia seperti kau menginginkanku. Dia bagian dari diriku. Dia lahir dari dalam tubuhku." Rahma memeluk tubuh Silmi yang gemetar.
"Silmi sudah kuanggap anakku sendiri sejak hari pertama aku memutuskan menjadikanmu istri, Ma. Tetapi ini sudah keterlaluan! Empat ratus lima puluh juta? G*la! Kemana saja uang itu?"
Ayah Aksa menatap Silmi putus asa. Gadis itu hanya menunduk dengan tubuh menggigil tanpa mengeluarkan satu kata pun.
"Bagaimana kita akan mengembalikan uang itu, Ma? Rumah ini bisa diambil paksa! Kau tahu sendirilah siapa Pak Heru." Ayah Aksa memijat kening. Kepalanya mendadak sakit.
"Biarkan Vira menikah dengan Pak Heru, Pa." Rahma tersenyum penuh arti.
"Idih, siapa yang membuat masalah siapa yang kena susahnya. Ogah! Urus saja urusan kalian sendiri." Vira langsung berdiri.
"Vir. Sebagai keluarga, kita harus saling membantu. Pak Heru menginginkan dirimu. Ini jalan keluar terbaik untuk masalah kita semua. Iya kan, Pa?" Rahma berusaha membujuk Ayah Aksa.
"Keluarga? Sejak kapan aku akhirnya dianggap keluarga? Bukankah selama ini bagi kalian aku hanya benalu yang menumpang hidup? Yaaah, walaupun aku sebenarnya hidup dari uangku sendiri sih, karena gaji bulananku kan kuserahkan pada kamu." Vira menunjuk Rahma. Dia sungguh muak dengan istri ayahnya itu.
"Vira! Hormati dia sebagai ibumu!" Ayah Aksa menatap Vira yang berdiri dengan tangan teracung ke arah Rahma.
"Hoaaam. Aku ngantuk. Selesaikan urusan kalian sendir. Daaah." Vira melenggang santai menuju kamarnya sambil melambaikan tangan. Membuat Rahma dan Silmi menatap sebal pada gadi manis berlesung pipi itu.
"Ma! Mama! Ih, kok malah ngelamun, sih!"
Rahma tersadar dari ingatan tiga tahun yang lalu saat mendengar suara Silmi memanggilnya.
"Aku bingung. Sebenarnya siapa suami Vira itu, Ma? Kenapa dalam waktu singkat mereka langsung menikah begitu saja? Kalau tahu suaminya konglomerat, lebih baik aku saja yang menikah dengan Mas Hendra." Silmi terlihat berpikir keras.
"Kita harus cari tahu tentang keluarga Hendra dan hubungan masa lalu mereka dengan Papamu, Sil. Selama ini Papa tidak pernah bercerita apapun tentang kenalannya yang kaya raya. Sangat aneh sekali, tiga tahun lalu ada yang secara tiba-tiba bersedia melunasi semua hutang." Rahma menatap Silmi.
"Silmi setuju, Ma. Silmi tidak rela melihat Vira hidup dengan tenang dan nyaman di sana."
"Kamu betul, Sil. Enak saja dia hidup mewah. Dia tidak pantas bahagia!"
BAB 8
"Arlin."
Samar telinga Vira mendengar suara orang mengucapkan satu nama.
"Arlin."
Antara sadar dan tidak, Vira terbangun dari tidurnya. Dia mengucek mata, kemudian menggeliat sambil menyibakkan selimut tebal yang menutupi tubuhnya. Wanita itu kemudian duduk diantara keremangan kamar.
"Arlin. Maaf." Kali ini suara itu diiringi dengan isakan kecil.
Vira bergerak pelan mengambil air minum dalam gelas yang terletak di atas nakas samping tempat tidurnya. Dia meneguk air dengan nikmat, sejuk terasa membasahi tenggorokannya yang kering karena pendingin ruangan menyala maksimal.
"Ini bukan inginku." Suara yang terdengar semakin tersedu-sedu.
Wanita berwajah manis itu menarik napas panjang. Ini bukan pertama kalinya dia terbangun di tengah malam karena igauan Hendra, suaminya.
Selama tiga tahun pernikahan mereka, hampir setiap malam Vira terjaga karena mendengar suara Hendra yang sesenggukan menahan tangis.
Arlin.
Satu nama yang selalu Hendra sebut dalam setiap mimpinya yang diiringi isakan tangis. Sedalam itukah perasaan suaminya itu pada perempuan bernama Arlin?
Hebat sekali wanita itu. Dia bahkan bisa membuat seorang Hendra, pemegang tampuk pimpinan perusahaan yang terkenal lihai menaklukkan hati wanita, menangisinya selama bertahun-tahun.
Vira melirik jam di dinding. Pukul 01.30 dini hari.
Selalu.
Setiap jam ini, saat lelap sudah mencapai titik terdalamnya. Hendra akan memanggil dan menangisi Arlin. Sementara Vira yang terjaga dan mendengar semua, menjadi tidak bisa tidur hingga dua jam ke depan.
Wanita berwajah manis itu memilih berjalan ke balkon kamar. Menghabiskan malam dengan memandang langit, seperti hari-hari kemarin. Pela dia membuka pintu agar Hendra yang tidur di sofa dekat pintu tidak terbangun.
Ya. Tiga tahun pernikahan mereka. Hendra bahkan enggan walau hanya sekedar berbagi tempat tidur dengannya.
Sungguh. Vira tidak risau sama sekali dengan belasan atau mungkin puluhan wanita Hendra di luar sana. Dia bisa dengan mudahnya mengusir dan membuat para wanita itu menjauh dari suaminya. Yang dia resahkan hanyalah wanita yang selalu Hendra sebut dalam setiap tidurnya.
Sulit.
Sangat susah baginya bersaing dengan bayangan.
"Arlin." Vira mengulangi nama itu.
Tiga tahun ke belakang dia menahan diri untuk tidak mencampuri masa lalu Hendra. Dia bahkan tidak sekalipun mencoba mencari tahu tentang wanita itu di sosial media. Baginya, cukup fokus agar bisa membuat Hendra mencintainya. Minimal bisa menjalani kehidupan berkeluarga seperti normalnya, walau hati itu tidak utuh untuknya.
Vira termenung. Dingin angin malam memeluk tubuhnya. Langit terlihat cerah dengan beberapa taburan bintang menghiasinya. Ingatan Vira tiba-tiba berkelana. Berputar dan berpusar ke suatu waktu di masa lalu.
Pukul 11.30 siang, hari minggu. Lima belas tahun yang lalu.
"Assalamualaikum, Vira."
"Waalaikumussalam, ayaaaaaah." Vira kecil berusia sepuluh tahun yang sedang sibuk mengerjakan tugas sekolah langung menghambur ke pintu, menyambut kedatangan ayahnya.
"Ayah, kok lama?" Vira kecil tersenyum manis saat mencium tangan ayahnya.
"Tadi ayah menemui teman dulu, maaf ya lama?" Ayah Aksa mengusap kepala Vira.
Vira kecil mengangguk sambil tersenyum. Dua lesung pipinya tercetak jelas.
"Itu siapa, Yah?"
"Oh, ini." Ayah Aksa mengajak masuk seorang wanita dan anak kecil yang tadi hanya tersenyum di depan pintu.
"Vira. Ini Tante Rahma dan ini Silmi."
Vira mencium tangan Rahma dan berjabat tangan dengan Silmi.
Itu hari pertama Vira bertemu dengan ibu dan saudara tirinya. Beberapa bulan setelah itu, Ayah Aksa dan Rahma resmi menjadi suami istri. Rumah yang tadinya sepi karena hanya ditinggali oleh dua orang, kini ramai karena ada penghuni baru.
Rumah itu selalu ramai dan dipenuhi canda tawa. Sayangnya, Vira hanya bisa menjadi penonton dalam setiap adegan bahagia yang terpampang di depan mata.
"Vir. Cobalah hormati Mama Rahma, seperti Silmi menerima kehadiran Ayah."
"Wajar saja Silmi menerima ayah. Karena ayah memperlakukan dia dengan baik!"
"Maksudmu, Mama Rahma memperlakukanmu tidak baik?!"
"Tanya saja dengan istri tersayang ayah!"
"Sopanlah sedikit, Vir!"
"Pa, cukup!" Rahma menahan Ayah Aksa yang terlihat sedikit emosi karena sikap Vira.
"Tidak ada uang jajan sampai kau bisa menghormati Mama Rahma dan menerima kehadiran adikmu, Silmi!"
Vira terdiam. Ini pertama kali dalam seumur hidupnya, Ayah Aksa berbicara kasar padanya.
Sakit. Hatinya berdarah.
Lelaki yang selama ini menjadi cinta pertamanya, dalam sekejap berubah karena kehadiran orang lain dalam keluarga mereka.
Ayah Aksa berdiri, berjalan cepat meninggalkan mereka. Sementara Vira menghapus air matanya yang mengalir begitu saja.
"Sudah jangan menangis terus! Sana kerjakan PR Silmi." Rahma berbisik pelan saat lewat di samping Vira.
Vira menoleh dan melihat senyum mengejek di wajah Rahma.
"Suruh saja anak malasmu itu yang mengerjakan sendiri!" Vira mendorong Rahma kuat, membuat perempuan itu memekik dan terjajar ke belakang.
"VIRA!" Ayah Aksa berbalik dan menghampiri Vira cepat.
Sementara Vira bukannya menghindar, di berdiri menantang sambil memberikan pipinya.
Satu tamparan keras melayang. Suaranya bahkan terdengar sangat jelas saat kulit dengan kulit beradu.
Pipi Vira memerah. Rasanya panas dan sakit. Namun jauh lebih sakit di hatinya. Anak kecil berusia sepuluh tahun itu terisak pelan memegangi pipinya.
"Vira! Hormati Mama Rahma sebagai ibumu!" Ayah Aksa bergegas pergi setelah mengatakan itu, dia takut semakin emosi dan kelepasan menyakiti Vira lagi.
"Jangan terlalu belagu, Vir. Kau harus terima, seumur hidupmu kau akan menjadi penonton dalam kebahagiaan kami." Rahma berbisik penuh penekanan.
"Jangan mengusikku! Aku akan pergi dan menemukan kebahagiaanku sendiri, seumur hidup terlalu lama bagiku untuk menjadi kacungmu! Cih!" Vira meludahi wajah Rahma.
"KAU!" Rahma langsung menurunkan intonasi suaranya saat mengingat di rumah sedang ada Ayah Aksa. Wanita itu mengelap ludah Vira dengan tangan.
Rahma pergi meninggalkan Vira sendirian. Langkah pertamanya membuat hubungan Ayah Aksa dan Vira memburuk berhasil. Dia harus bisa membuat Vira keluar dari rumah itu. Dengan begitu dia bisa menikmati kekayaan Ayah Aksa dengan bebas.
Vira kecil mengusap air matanya. Hari itu, hatinya terluka.
Pun malam ini. Lima belas tahun setelah kejadian itu.
Vira mengusap air matanya yang mengalir begitu saja. Bahkan sampai detik ini, dia sangat merindukan kedekatan dengan ayahnya, sebelum Rahma dan Silmi masuk ke dalam hidup mereka.
"Ayah." Vira kembali menghapus air matanya yang terus mengalir.
"Arlin! Jangan pergi."
Vira memejamkan mata mendengar nama itu kembali disebut Hendra.
Tidak! Dia tidak boleh menyerah pada pernikahan ini. Dia harus bisa membuat Rahma dan Silmi membayar semua luka di masa lalunya.
BAB 9
"Sudah berapa kali kukatakan, Vir? Kau tidak usah menyiapkan keperluanku! Aku bisa melakukannya sendiri." Hendra berdiri sambil berkacak pinggang di samping tempat tidur.
Setelan jas biru navy senada dengan warna dasi, baju singlet, kemeja lengan panjang berwarna biru langit, lengkap dengan kaos kaki dan sepatu terletak rapi di atas tempat tidur.
Setiap pagi Vira menyiapkan semua keperluan suaminya saat lelaki itu sedang mandi. Mulai dari pakaian sampai tas kerja yang isinya telah dia rapikan. Sehingga Hendra terima beres. Tinggal memakai baju dan langsung menenteng tas.
Cus, sarapan.
Kemudian tinggal berangkat ke kantor dengan tenang.
"Kita cukup melakukan sandiwara seperti suami istri kalau sedang di depan Mama."
"Dan … di depan keluargaku." Vira tersenyum manis sambil mengedipkan sebelah mata.
Hendra berdecak sebal melihat Vira sibuk menata isi tasnya. Memasukkan laptop, buku catatan, pulpen, dan banyak printilan lainnya.
"Aku bingung, deh, sama kamu, Mas." Vira berjalan mendekati Hendra setelah selesai menyiapkan tas kerja suaminya.
"Sebenarnya apa sih yang kau permasalahkan? Pakaian sudah kusiapkan, tas kerja tinggal tenteng, sarapan juga sudah kubuatkan. Kau tidak perlu repot memikirkan akan memakai baju apa. Selesai mandi semua sudah siap. Kau juga bisa berangkat kantor dengan tenang karena perut kenyang."
Hendra diam saja tidak menanggapi omongan Vira. Lelaki itu mulai sibuk memasang baju.
"Lalu, dengan semua kemudahan yang telah kusediakan, hal apa yang membuatmu merasa keberatan aku melakukannya? Toh, itu keinginanku sendiri." Vira berdiri tepat di samping Hendra yang sibuk memasang dasi.
"Biar kubantu." Vira menarik dasi Hendra. Wanita itu cekatan memasang dasi suaminya.
Aroma shampoo beraroma mint menguar dari rambut setengah basah milik Vira, memenuhi indra penciuman Hendra. Lelaki itu menahan napas saat wajahnya dan Vira sangat dekat. Dari jarak seintim ini, Hendra bisa menyaksikan betapa sehatnya kulit Vira. Pipinya yang bersemu merah alami, kulit wajah yang halus dan terlihat kenyal. Istrinya memang manis, walau tanpa riasan wajah sekalipun.
Ah, bayangan Arlin tiba-tiba melintas. Hendra menggigit bibir. Rasa bersalahnya pada Arlin sangat besar.
Bagaimana tidak? Dia melukai wanita itu saat hubungan mereka sedang sangat baik-baik saja. Hati siapa yang tidak hancur, kekasih yang kemarin berjanji akan segera melamar, tiba-tiba hari ini sudah sah menjadi suami orang lain?
Bagaimana lah? Hendra tidak bisa membayangkan seperti apa malam-malam menyesakkan yang harus dilalui wanita lemah lembut itu. Melihat kucing jalanan terluka saja dia bisa menangis, apa lagi ini? Perasaan Arlin terlalu lembut dan … rapuh.
Karena itulah, bahkan hingga tiga tahun pernikahannya dengan Vira, Hendra tidak mampu menyentuh Vira. Bukan tidak ingin. Namun setiap ada niatnya melakukan hal itu, wajah Arlin yang bersimbah air mata selalu memenuhi pikirannya. Membuatnya sangat membenci Vira. Wanita ini, wanita yang sedang memasangkan dasinya inilah, penyebab dari segala kekacauan dalam kisah cintanya dengan Arlin.
"Jangan terlalu serius menatap wajahku, Mas. Nanti jatuh cinta." Vira mengedipkan sebelah mata sambil berlalu keluar kamar, menunggu Hendra di meja makan.
"Pagi, Ma." Vira menyapa mertuanya yang sudah lebih dulu sarapan.
"Pagi, Sayang." Mama Lily tersenyum lebar menyambut Vira. Kemudian wajahnya berubah masam saat melihat Hendra mengekor di belakang menantunya.
Hendra mengernyitkan kening. Apa salahnya sepagi ini sehingga ibunya bermuka masam saat menatapnya? Sebenarnya anak Mama Lily dia atau Vira, sih?
Ck! Hendra berdecak sebal. Memilih makan dalam diam. Dari pada nanti salah bicara lagi.
"Mas, nanti aku izin keluar ya?" Izin Vira saat mengantar Hendra ke mobilnya.
Hendra yang sedang menggandeng bahu Vira berbisik pelan. Mereka memang terlihat romantis ketika di depan keluarga.
"Berapa kali harus kukatakan?! Berbuatlah sesukamu. Aku tidak peduli."
Bisikan Hendra terdengar jelas di telinga Vira. Wanita itu hanya mengangguk sambil tersenyum tipis.
"Aku suka lelaki yang sedikit kasar sepertimu. Terlihat sangat jantan." Vira balas berbisik dengan suara yang dibuat sangat menggoda.
Hendra menggertakkan gigi melihat tangapan Vira. Wanita yang sedang menempel erat padanya ini memang luar biasa. Dia tidak pernah terlihat patah arang ataupun tersinggung setiap dia bersikap sedikit kasar.
Setelah mobil Hendra menghilang dari pandangan. Vira bergegas masuk ke kamar. Dia memilih blouse warna krem sebagai atasan dan bawahan celana jeans panjang warna senada. Rambutnya yang panjang diikat ekor kuda. Membuat penampilannya terlihat sangat feminim.
Satu jam kemudian mobil Vira memasuki sebuah rumah kontrakan yang disulap menjadi sebuah kantor. Sebuah plang bertuliskan "PT. Savira Kreasi Jaya" tertempel rapi di atas pintu masuk.
"Hai, Guys," sapa Vira pada lima orang yang sedang sibuk di meja masing-masing. Berkutat dengan monitor berukuran dua puluh delapan inch.
"Akhirnya, Bu Bos datang juga." Virni yang sedari tadi sibuk menyelesaikan pesanan design yang harus siap sore ini meletakkan kaca mata.
Vira tertawa mendengar sambutan Virni. Wanita itu berjalan menuju meja kerjanya yang terletak di tengah-tengah. Dikelilingi oleh lima meja di sekitarnya.
Rumah kontrakan itu berukuran 7x7 m², cukup luas untuk mereka sulap menjadi ruang kerja, dapur darurat, toilet dan bagian depan disekat untuk tempat menerima tamu.
"Ini kubawakan bakmi, pasti belum pada sarapan, kan?" Vira meletakkan paper bag yang tadi dibawanya ke meja Rizal.
"Nah, cocok!" Zidni langsung menyerbu meja Rizal, diikuti oleh yang lainnya.
Vira tertawa melihat karyawannya. Wanita itu mempunyai usaha di bidang jasa desain logo perusahaan, sampul novel cetak atau pun sampul novel on line, edit video untuk berbagai keperluan, serta pembuatan konten untuk Youtube.
Dia sudah memulai usaha itu jauh sebelum menikah dengan Hendra. Sejak kelas dua SMA, Vira sudah mulai merintis usahanya. Namun, satupun keluarganya tidak ada yang tahu. Setahu mereka, setelah tamat SMA, Vira bekerja di salah satu toko baju karena tidak melanjutkan kuliah.
Alasan tidak melanjutkan kuliah karena Silmi, adik tiri Vira ingin masuk ke SMA favorite. Sehingga Vira harus mengalah, karena biaya masuk sekolah Silmi sangat besar.
Kini usaha Vira semakin maju. Dia sudah bisa menggaji lima orang karyawan untuk membantunya. Virni dan Zidni dibagian desain logo, sampul novel cetak dan novel on line, Rizal dan Leci di bagian pengeditan video sesuai pesanan pelanggan, dan Vano di bagian pembuatan konten untuk YouTube sekaligus untuk promosi usaha.
"Jadi, bagaimana?" Vira bertanya setelah semua kembali ke meja masing-masing.
"Kemarin ada yang menawarkan kerjasama, Bubs."
Bubs. Panggilan karyawannya pada Vira, singkatan dari Bu Bos. Biar lebih keren, jadi disingkat saja. Sebenarnya wanita itu lebih senang dipanggil nama, namun mereka tetap merasa harus ada sekat antara bawahan dan atasan saat bekerja. Walaupun di luar mereka berteman baik.
"Kerjasama apa?"
"Itulah, dia baru mau menjelaskan langsung pada pemilik usaha katanya." Vano menjawab sambil tangannya tetap sibuk memencet-mencet mouse.
Vira memang hanya sesekali datang mengontrol. Jika semua bisa dia selesaikan dari rumah, Vira tidak akan ke kantor. Kecuali seperti saat ini, ada hal yang tidak bisa digantikan oleh yang lain. Dalam seminggu, paling sehari wanita itu datang berkunjung. Tidak heran, sampai detik ini suami dan mertuanya tidak tahu dia punya usaha yang cukup maju.
"Jam berapa dia datang?" Vira mengangguk mendengar penjelasan Vano.
"Sebentar lagi, barusan orangnya mengirim pesan." Zidni mengangkat ponselnya.
"Nah, itu dia." Zidni menunjuk dengan dagunya saat melihat dari kaca jendela, sebuah mobil mewah berwarna silver memasuki halaman.
Vira langsung berdiri. Inisiatif menyambut tamunya di depan pintu. Setelah sedikit saling sapa, Vira mengajak dua orang tamunya duduk di sofa yang telah disediakan.
"Jadi, kalian bermaksud untuk bekerjasama dalam pengelolaan akun YouTube? Kalian menyediakan bahan konten, dan tim kami yang melakukan editing?"
"Betul. Nanti untuk bagi hasil ads, ada perhitungan tersendiri."
"Kami belum pernah melakukan kerjasama seperti itu. Sejauh ini, pelanggan hanya meminta dieditkan videonya, kemudian membayar biaya jasa."
"Begini, Mbak Vira. Teman saya ini baru pulang dari luar negeri. Jadi ada banyak dokumentasi video yang dia punya. Akan lebih memudahkan jika kerjasama dihitung berdasarkan persentase ads, bukankah itu lebih menguntungkan dibanding biaya jasa?"
Vira tersenyum simpul mendengar perkataan tamunya. Iya kalau videonya laku, kalau tidak? Apa yang mau dibagi.
"Mbak Vira tenang saja. Jangan takut videonya tidak laku." Wanita berbaju kuning itu tertawa seolah bisa membaca pikiran Vira.
"Teman saya ini namanya Arlin. Buka saja akun YouTube nya, Arlin Paha. Setiap tayangan videonya selalu mencapai jutaan penonton. Dia tidak sempat lagi melakukan editing sederhana, karena kini mulai bekerja meneruskan usaha keluarga. Tetapi dia sayang meninggalkan dunia YouTube, karena dari sanalah dulu dia menyibukkan diri agar bisa mengobati hati."
"Arlin?" Vira mengulang nama itu sambil menatap wanita yang duduk di hadapannya.
"Arlin Paha. Paha itu singkatan dari Patah Hati." Wanita berbaju kuning tertawa.
"Teman saya ini tiga tahun yang lalu pergi ke luar negeri. Dia mencari pelarian untuk mengobati patah hati. Bagaimana tidak patah hati? Dia ditinggal menikah begitu saja, padahal sebelumnya hubungan mereka baik-baik saja. Dari sana lah, nama Paha …."
Mulut Vira terkatup rapat. Telinganya mendadak berdenging. Matanya tak berkedip menatap wanita dihadapannya.
Gadis itu terlihat anggun, dan sepertinya pendiam. Terbukti dari tadi temannya yang terus berbicara.
Cantik.
Badannya langsing dan putih, rambutnya lurus san hitam, panjangnya sedikit melewati bahu. Sekilas wajahnya mirip dengan artis peran tanah air, Asmirandah.
Jantung Vira berdegup kencang.
Inikah Arlin yang selalu Hendra sebut setiap malam? Wanita yang suaminya tangisi dalam setiap mimpinya?
Benarkah ini orangnya? Atau hanya kebetulan saja, nama dan ceritanya sama?
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
