Nostalgia - Bab 1-2

6
0
Deskripsi

Tanpa disangka Binar bertemu dengan mantan pacarnya ketika kuliah dulu, Dirga, di sebuah perusahaan geotermal tempat ia bekerja.

Sejak saat itu mereka kerap bertemu secara tidak disengaja, memunculkan berbagai kecanggungan sekaligus kejadian lucu yang kembali membangun kedekatan di antara mereka berdua, sembari menyembunyikan hubungan masa lalu mereka dari orang-orang di sekitar.

Apakah mereka bisa saling memaafkan? Apakah Binar siap untuk mengetahui tentang rahasia yang sebenarnya terjadi pada Dirga...

BAB 1

DENGAN napas tersengal-sengal, aku berjalan dengan langkah cepat begitu sampai di lantai 26, sambil berharap tidak ada lagi drama apapun yang akan terjadi hari ini. Firasatku sudah tidak enak sedari pagi. Pertama, aku terlambat bangun sekitar 20 menit dari yang seharusnya karena semalam begadang untuk menyelesaikan serial Kim's Convenience season 4. Kedua, taksi yang aku tumpangi ke kantor tadi sempat diserempet oleh sebuah sepeda motor. Akibatnya Pak Supir terpaksa turun dan adu mulut dengan pengendara motor tersebut—membuat perjalananku semakin tertunda.

Begitu sampai di kubikel, aku pun menyempatkan diri untuk mengatur napas setelah sebelumnya berjalan terburu-buru demi mengejar waktu. Ketika sudah tenang, aku beranjak ke pantri untuk membuat kopi dengan mesin espresso yang disediakan perusahaan—yang entah kenapa masih kerap disia-siakan para karyawan di sini yang masih suka membeli kopi ke bawah, termasuk diriku sendiri.

Setelah selesai, aku berjalan kembali ke kubikel. Ketika melewati sebuah ruangan meeting, sekilas terlihat punggung seorang laki-laki dengan kemeja berwarna biru muda yang tidak dapat kukenali, sedang berdiskusi dengan beberapa orang lainnya dari departemen Operations. Mungkin tamu atau anak baru, pikirku.

"Bi, lo biasanya bukannya sarapan nasi uduk?" Arisha menghampiriku begitu aku sampai di meja. Ia adalah teman terdekatku di kantor. Kami juga duduk bersebelahan, sama-sama di bawah departemen Development di perusahaan ini, Beufer Energy. Aku sendiri menempati posisi Reporting Analyst, sedangkan Arisha menempati posisi Social and Community Affairs.

Sesuai dengan judul pekerjaan yang diembannya, tidak hanya secara profesional, tapi secara personal pun Arisha juga sangat ahli di bidang 'social affairs' dengan orang-orang di kantor ini. Ia adalah Ratu Kepo Lantai 26 yang selalu ingin tahu urusan orang lain, mulai dari menu sarapan, hingga gosip rumah tangga pasti membuatnya penasaran.

"Yakali gue makan nasi uduk tiap pagi, Sha,” jawabku santai.

Ia pun berbalik badan untuk kembali menghadap komputernya. Namun belum juga 3 detik, ia berbalik lagi menghadapku dengan wajah berbinar.

"Katanya ada tim baru hari ini buat ngurusin Tuhaha lho." Arisha baru saja menyebutkan salah satu proyek baru perusahaan kami yang berlokasi di Tuhaha, Maluku Tengah.

"Oh ya? Dari Macavel?"

"Kayaknya."

Macavel adalah sebuah perusahaan oil field services yang berpusat di Houston, Texas dengan cabang di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Mereka memang dipakai Beufer sebagai salah satu kontraktor untuk menangani maintenance dan surveillance beberapa Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) kami di berbagai daerah. Walaupun bidang utamanya adalah minyak dan gasMacavel memang sudah melebarkan sayapnya ke bidang energi terbarukan seperti geotermal, mulai dari tahap explorations sampai operations.

"Terus?" Aku masih bingung dengan arah pembicaraan ini, karena kontraktor seperti Macavel tidak ada hubungan langsung dengan lingkup perkerjaan kami.

"Ada yang cakep, Bi. Tadi pagi gue lihat bentar." 

"Astagaaa, Shaaa... Gue kira apaan!” Aku pun menimpuknya dengan stress ball-ku yang kuambil dari atas meja.

Arisha tertawa puas. "Kenapa sih? Kan berita bagus. Lo mau tiap hari cuma ngelihatin Pak Ilham mulu?"

Aku pun mendecakkan lidah. "Gue ke toilet dulu deh. Sebelahan sama lo bikin gue beser kayaknya."

"Mau gue temenin?" tanya Arisha masih dengan muka jail.

"Ogah! Yang ada lo entar nyangkut di ruangannya Macavel."

Aku pun berjalan ke toilet dengan langkah cepat, bukan karena kebelet, tapi aku lagi menunggu telepon dari bagian Procurement sehingga harus kembali ke meja secepatnya.

Ketika melewati depan pintu toilet pria, tiba-tiba muncul sesosok laki-laki yang baru saja keluar dari dalam dan hampir aku tabrak karena langkahku yang terburu-buru. Aku pun mendongak untuk melihat wajahnya.

Deg.

No way...

No way...

Tidak mungkin laki-laki di depanku ini adalah dia. Takdir tidak sekejam itu kan?

Laki-laki ini sepertinya juga kaget melihatku, walaupun tidak memasang ekspresi berlebihan.

"H-hai. Sori." Hanya dua kata yang berhasil keluar dari mulutku dengan terbata-bata.

"Hai," balasnya singkat.

Oh. My. God. Setelah mendengar suaranya bisa kupastikan laki-laki di hadapanku ini memang Dirga! 

Dirga Sadana Hassan yang terakhir kali aku temui 4 tahun yang lalu. Mantan pacarku ketika kuliah di Vancouver dulu yang sempat menghempaskan perasaanku begitu saja ke dasar jurang dan akhirnya aku tinggalkan tanpa salam perpisahan.

Tanpa pikir panjang, aku langsung masuk ke dalam toilet perempuan yang tidak jauh jaraknya. Reaksi alamiahku adalah tidak untuk berbasa-basi apalagi mengobrol panjang dengannya. Di antara pilihan fight-or-flight response, tentu saja aku memilih flight untuk situasi yang menggetarkan kalbu seperti ini.

Bahkan ketika sudah berada di dalam bilik toilet, jantungku masih berdebar kencang. Damn it! Ternyata firasatku benar tadi pagi, bahwa hari ini akan menjadi salah satu hari tersial dalam hidupku.

Dari seluruh tempat di Jakarta, kenapa kami harus bertemu lagi? Di kantor pula! Apakah dia tamu, atau jangan-jangan dia baru mulai bekerja di sini? Tidak bisa kubayangkan kalau aku harus sekantor dengan Dirga. Tapi masa baru 1 tahunan bekerja di Beufer, aku sudah harus resign?!

***

Sepanjang hari, aku tidak berani beranjak dari kubikelku. Aku masih belum siap untuk bertemu dengan Dirga lagi. Bahkan saat makan siang, jika biasanya aku pergi ke bawah, kali ini aku menitip lewat Arisha untuk membelikanku nasi dengan lauk apa saja. APA SAJA asalkan aku tidak perlu beranjak ke mana-mana.

"Nih. Gue bawain lo sambal terong sama ayam goreng."

Arisha menaruh sebungkus nasi di atas mejaku.

"Thanks, Sha."

Aku membuka bungkusan nasi tersebut karena memang sudah sangat lapar. Padahal kalau tadi aku turun ke bawah, sudah dari sejam yang lalu aku bisa mulai makan tanpa harus menunggu Arisha. Namun ketika bungkusan dibuka, tidak tampak adanya wujud sebutir nasi pun selain seporsi terong sambal dan sepotong ayam goreng.

"INI NASINYA MANA?!"

Arisha tampak terkejut. "Nggak ada nasinya?"

Kami sama-sama melihat ke arah bungkusan yang menyedihkan itu. Lauknya terlihat sangat menggiurkan tapi apalah artinya sambal terong dan ayam goreng tanpa nasi putih hangat yang melengkapi.

"Wah, luar biasa!” Arisha geleng-geleng kepala. Ia tampak heran tapi juga tidak ada gurat empati di wajahnya. Aku curiga sebetulnya ia menikmati kesialanku kali ini.

"Lo ada bilang enggak sih pake nasi?"

"Ada lah! Udah deh lo makan aja dulu daripada masuk angin."

Aku merasa kesal dan berpadu dengan rasa lapar. Pengin nangis tapi nanti dikira drama.

"Kalau enggak pake nasi, tetep aja masuk angin kali!"

"Terus gimana dong? Lagian kenapa sih enggak mau turun?"

Aku beralih menatap Arisha dengan wajah memelas. Kali-kali saja dia mau turun lagi untuk membelikanku nasi. Arisha pun merasa tersudut, lalu ia melihat jam tangannya, "wah, udah mau jam satu. Gue ada meeting nih sama Mas Rama."

"Lo bilang tadi jam dua!” protesku.

"Masa sih?" balasnya pura-pura bingung.

Aku tidak menjawab lagi dan hanya memasang muka datar. Arisha pun pergi tanpa basa-basi. Meninggalkanku merana sendiri.

Hufft. Aku pun mulai berpikir untuk membeli nasi sendiri ke bawah. Tapi... bagaimana kalau bertemu Dirga?

Kuratapi lagi sosok terong sambal dengan ayam goreng yang terlihat begitu menggiurkan sekaligus mengenaskan. Apa enaknya coba makan lauk tanpa nasi?

Ya sudahlah. Demi terwujudnya makan siangku yang adil, makmur dan sejahtera, aku pun membulatkan tekad untuk turun ke bawah. Toh kemungkinan untuk bertemu Dirga seharusnya sangat tipis.

Selangkah, dua langkah, hingga sampai ke depan lift belum tampak sosok laki-laki itu. Sampai saat ini aku pun merasa aman.

Ding. 

Pintu lift terbuka. Di dalamnya hanya ada satu orang bapak-bapak yang mungkin juga telat makan siang sepertiku. Namun ketika kukira pintu lift sudah mau tertutup, tiga orang laki-laki justru masuk ke dalam. Dan salah satunya adalah... Dirga.

Shiiittt... Penyesalan pun datang bertubi-tubi. Rasanya aku ingin keluar lagi dari lift ini. Makan lauk tanpa nasi masih lebih baik daripada harus satu lift dengan mantan dari 4 tahun lalu yang tidak pernah ada kabarnya selama ini.

Pintu lift akhirnya tertutup. Aku melirik ke Dirga dan berusaha tersenyum tipis. Ia juga tersenyum kecil dan tidak berkata apa-apa. Pikiranku saat ini penuh dengan pertanyaan apakah aku harus berbasa-basi atau diam saja dan pura-pura lupa kalau kami pernah kenal sebelumnya. Well, lebih dari sekedar 'kenal' sebetulnya. Which means worse.

Pintu lift terbuka lagi. Kali ini masih di lantai 24, sarangnya geologists dan bagian Drilling di perusahaan ini. Dua orang karyawan yang tidak kukenal masuk. Lama sekali rasanya perjalanan menuju lantai dasar, mengalahi lamanya perjalanan dari ujung West Mall ke ujung East Mall, Grand Indonesia. Setelah itu, pintu lift terbuka lagi di lantai 23. Damn! Masih ada 22 lantai lagi sebelum aku bisa keluar dari lift keparat ini?

Seseorang yang kukenal tiba-tiba masuk. Ia adalah Azi Wirandika, salah satu Environmental & Regulatory Engineer dari bagian SSHE. Aku pertama kali mengenal Azi ketika acara Family Fun Day bulan lalu di mana seluruh karyawan beserta keluarga berkumpul di Ancol. Saat itu karena aku dan Azi sama-sama termasuk karyawan yang belum berkeluarga, kami pun menjadi salah satu panitia, alias seksi sibuk. Sejak saat itu aku dan Azi selalu berbasa-basi setiap bertemu di kantor.

"Hai, Bi..." 

"Hey.”

"Makan siang?"

"Umm... iya," jawabku singkat. Well, aku tidak perlu mempermalukan diri sendiri dengan bercerita bahwa aku turun hanya untuk membeli seporsi nasi putih kan?

"Sendiri?" tanyanya lagi.

"He'eh. Yang lain udah duluan soalnya.”

"Sama. Mau makan di mana? Bareng yuk," ajaknya ramah.

Wait... Hold on... Is he really asking me to have lunch together? Berdua saja dengan Azi? Ini basa-basi apa serius?

"Bi?" Suara Azi memecah pikiranku. Gila, aku harus jawab apa?! Apa ngaku saja kalau aku turun hanya untuk membeli nasi dan sudah punya lauk di atas? Tapi jadi ketahuan dong tadi sudah bohong.

Oke, aku bukannya jaim. Selama ini kami memang sudah cukup akrab, tapi hanya sebatas ngobrol, itu pun bukan ngobrol panjang. Tapi kalau makan berdua sih rasanya sudah a whole new level of friendship. Makan bareng rame-rame saja belum pernah—gathering kantor yang ada prasmanannya, bukan makan bareng kan ya?—apalagi makan berdua. Hmm, tapi mungkin aku hanya berlebihan, toh dia juga cuma sendiri, wajar juga sih kalau dia mengajakku makan bareng.

"Boleh. Di foodcourt aja gimana?"

"Boleh," balas Azi.

Karena tidak mungkin menolak, aku pun menerima ajakannya. Kalau tidak salah, Azi berusia tiga tahun lebih tua dariku, ia juga single dan... lumayan.

Oke, 'lumayan' sebetulnya sebuah understatement buat menggambarkan seorang Azi. Dia tipe laki-laki ideal bagi mayoritas perempuan muda dan jomblo di kantor ini, atau bahkan di gedung ini. Ada banyak kualitas pada diri Azi yang bisa dibanggakannya. Selain pintar—lulusan Environmental Engineering dengan second major Society and Urban Systems dari NTU di Singapura—sesuai dengan hasil penelusuruanku di LinkedIn waktu itu, bukan nanya-nanya ke HRD—kesan yang kudapat sejauh ini ia juga baik, sopan, humble, dan secara fisik ia sangat menarik dengan senyum yang harus aku akui: very charming.

"Jadi kapan kita harus ke lapangan?"

"Nunggu laporan dari Walco dulu, Mas."

Lamunanku terhenti. Aku mendengar suara Dirga yang sedang mengobrol dengan dua orang di timnya. Jangan-jangan dari tadi ia bisa mendengarkan percakapanku dengan Azi?

Pintu lift terbuka. Akhirnya sampai juga di lantai dasar.

"Yuk." Azi mengajakku dengan ramah.

Aku sebetunya ingin keluar setelah Dirga dan teman-temannya keluar. Namun mereka justru tidak bergerak, seakan menunggu yang lain untuk keluar lebih dulu. Fine, I'll go first.

Kira-kira Dirga sama teman-temannya mau ke mana ya? Semoga mereka tidak berjalan ke tujuan yang sama denganku dan Azi.

***

Pujasera sederhana ini sedang tidak begitu ramai, banyak karyawan yang baru saja selesai makan dan beranjak meninggalkan tempat.

"Enak nih udah sepi." Azi sepertinya sepemikiran denganku.

"Untung juga ya kita baru keluar makan jam segini.”

Azi tersenyum. "Mau makan apa?" tanyanya.

"Hmm... Soto mie deh."

"Oke, gue juga."

Soto mie di pujasera ini memang yang paling favorit karena rasanya yang gurih serta potongan daging yang melimpah. Kalau saja kami turun jam 12 tadi, pasti harus mengantri lama, tidak seperti saat ini yang sudah lengang.

Setelah mengambil pesanan, kami pun duduk di salah satu meja. Dalam hati aku berharap tidak ada teman kerjaku di pujasera ini dan melihat kami makan berdua. Sejauh ini aku juga tidak mendapati Dirga di area ini. Sepertinya ia dan teman-temannya pergi makan ke tempat lain. Syukurlah.

"Lo dulu kuliah ngambil apa?" tanya Azi membuka obrolan.

Selesai mengunyah aku pun menjawab, "Finance." 

"Oh. Suka enggak?"

"Lumayan. Dulu milih itu karena kedengerannya keren aja sih sebenarnya."

Azi tertawa renyah. "Semua orang gitu kali. Oya, terus kenapa nggak kerja di FI aja, Bi?"

"Pas gue nyari kerja dulu tuh pengin pengalaman baru aja sih. Lagian gue dulu pas kuliah juga sempat ngambil mata kuliah Environmental Management. Memang penasaran aja sama hal-hal yang berhubungan dengan sustainability.”

"I see. Mudah-mudahan betah terus ya."

Aku tersenyum. "Lo sekarang lagi sibuk ngurusin EPC Menggala ya? Sering ke lapangan dong?" tanyaku. 

"Iya. Tapi sekarang lagi banyakan di sini karena kita lagi bantuin anak Drilling."

"Memang ada masalah?"

"Oh, enggak juga sih. Cuma lagi mengusahakan supaya water recharge-nya cukup."

Azi membuka botol air mineral di dekatnya lalu meneguknya.

"Lo anak ‘enviro’ tapi kok masih beli minuman botol sih?" tegurku bercanda.

Azi tersedak, lalu tersenyum. Duh, senyum itu lagi, sedikit lagi sepertinya aku bisa diabetes.

"Gue punya tumbler sendiri sebenarnya di atas. Tapi kalau pergi makan siang, kayaknya aneh aja bawa itu kemana-mana. Buat cowok doang kali ya? Atau mungkin gue sebetulnya memang enggak begitu sadar lingkungan."

"I'm pretty sure you are. Terus masih mending lo minum air putih, daripada gue minum air gula kayak gini," ucapku sambil mengaduk es jeruk yang aku pesan dan jelas sekali terdapat endapan gula yang melimpah di bawahnya. Mau bagaimana lagi, es jeruk ini kalau diminum tanpa gula pasti terasa asam.

"Iya, gue enggak begitu suka minuman manis. Eh, untung di kantor kita ada recycle depot ya. Jadi entar gue buang botol ini ke sana."

Aku tersenyum dan mengacungkan jempol. Ia pun balas tersenyum, hingga terlihat kerutan halus di ujung matanya.Masyaallah, Tuhan pasti sedang berbahagia ketika menciptakan Azi. Senyumnya manis sekali.

Kami pun menyelesaikan makan siang dan beranjak dari pujasera yang sudah benar-benar sepi untuk kembali ke lantai masing-masing. Untungnya, bosku, Mbak Tari, sedang dinas ke Surabaya sehingga aku tidak perlu buru-buru.

"Bi, beli nasi aja lama bener?" sentil Arisha begitu aku sampai di kubikel.

"Gue makan soto mie di bawah."

Arisha pun terbelalak. "Lah, terus ngapain gue capek-capek beliin lauk tadi?!"

Aku tidak mengacuhkan pertanyaannya. Rasanya enggan untuk bercerita kalau aku makan berdua dengan Azi. Bisa-bisa dia heboh sendiri.

BAB 2

PUKUL 7.30, Jalan Sudirman sudah berpolusi meskipun masih pagi. Hari ini aku naik MRT—bukan taksi—karena aku berhasil bangun cepat. Dari Stasiun Bendungan Hilir aku hanya perlu berjalan sedikit untuk sampai ke gedung kantorku.

Pintu lift yang kunaiki telah tiba di lantai 26. Setelah keluar, aku pun memasuki revolving door dan menempelkan ID card-ku seperti biasa untuk masuk ke dalam area kantor. Di depan pintu langsung terlihat meja penerima tamu yang selalu dijaga satpam dan di atasnya terpampang logo perusahaan kami, Beufer Energy, yang menguasai seluruh lantai ini dan juga 3 lantai ke bawah.

Beufer Energy adalah sebuah perusahaan penyedia listrik yang menggunakan tenaga panas bumi atau geotermal, dan sampai saat ini menjadi salah satu yang terbesar di Indonesia dengan beberapa aset yang tersebar di berbagai daerah.

Indonesia sendiri mempunyai cadangan panas bumi terbesar di dunia, sekitar 40 persen atau 29,000 MW. Namun kapasitas yang digunakan masih di bawah 10 persen di antaranya, atau hanya sekitar 2,400 MW dari keseluruhan cadangan yang kita punya sehingga masih menempatkan Indonesia di bawah Amerika Serikat sebagai negara penghasil tenaga geotermal terbesar di dunia. Meskipun begitu, produksi geotermal di Indonesia juga terus berkembang selama beberapa tahun terakhir dengan adanya target dari pemerintah dan berbagai investasi yang masuk. 

Lantai 26 terlihat masih sepi. Sampai di kubikel, aku menaruh tas, lalu duduk. Namun baru saja sedetik, telepon kerjaku berbunyi yang membuatku sedikit kaget. Tidak biasanya aku sudah mendapat telepon sepagi ini. Di layar tertera nama Ilham Masyri. Dari Pak Ilham ternyata. Tumben.

"Baik, Pak. Saya siapin ruangannya sekarang," ucapku ke Pak Ilham, lalu menutup telepon. Ternyata Pak Ilham mengingatkanku untuk menyiapkan rapat pagi ini karena kebetulan admin kami sedang tidak masuk.

Aku pun bergegas ke ruang rapat sesuai yang tercantum di kalender Outlook kami. Begitu sampai di ruangan berukuran sedang ini, aku melihat dua orang laki-laki yang salah satunya terlihat dari belakang mengenakan kemeja lengan pendek berwarna abu-abu muda sedang duduk mengerjakan sesuatu dengan laptopnya. Hatiku langsung berdegup kencang. Aku sangat yakin laki-laki itu adalah Dirga.

Teman kerja Dirga yang satunya lagi melihatku yang sedang berdiri kaku di depan pintu. Ia sepertinya bingung harus berkata apa kepadaku. Tiba-tiba Dirga memutar badannya, dan mata kami bertemu. Jiwa ragaku rasanya hampir terjun bebas. 

"Selamat pagi. Ikut meeting juga?" Dengan gugup aku membuka suara.

Laki-laki selain Dirga tadi pun menjawab, "Meeting apa ya, Mbak?"

"Meeting mingguan Development, Mas.”

Laki-laki tersebut kelihatan bingung. "Oh, kami dari Macavel. Untuk beberapa minggu ke depan kami ditempatkan di ruangan ini," ucap laki-laki itu. Sedangkan Dirga diam saja.

Di atas meja panjang aku bisa melihat tumpukan kertas dan dokumen, selain laptop Dell warna hitam di depan mereka masing-masing. Tampaknya ruangan rapat ini memang dijadikan ruangan sementara mereka untuk bekerja selama kontrak mereka berjalan. 

"Oh, kalau gitu meeting kami pindah aja, Pak. Maaf sudah mengganggu."

Aku pun langsung melipir dan mengumpat dalam hati kenapa sepagi ini aku sudah bertemu Dirga.

Aku pun mendatangi Mbak Desy yang juga merupakan admin di departemen lain dan meminta bantuannya untuk memindahkan rapat kami ke ruangan lain.

"Oh, ruangannya dipakai sama Macavel ya?" tanya Mbak Desy sambil mengenakan concealer di depan cermin kecil di atas mejanya. Mbak Desy memang hampir setiap hari berdandan di kantor. Mungkin takut berantakan kalau berdandan dari rumah.

"Iya, Mbak."

"Eh, ada yang oke tuh. Udah kenalan belum?"

Aku terdiam. Otakku meraba-raba maksud Mbak Desy. “Maksudnya?"

"Lihat aja sendiri, Binar..." Mukanya berubah menjadi genit sambil melirik ke arah ruangan Macavel.

Oh, dia pasti sedang ngomongin Dirga. Of course.

"Kan ada tiga tuh. Yang dua lagi kayaknya udah nikah. Nah, yang satu itu kayaknya masih single deh," jelasnya sambil senyum-senyum tidak jelas.

"Oh, gitu," balasku sekenanya, sama sekali tidak tertarik.

"Kesempatan, Bi! Mumpung orangnya masih di sini, cepat-cepat kenalan." Mbak Desy pun semakin antusias. Kalau tidak ingat tata krama, ingin rasanya aku menyumpal mulutnya dengan beauty blender di tangannya supaya berhenti membicarakan Dirga.

"Kenalin dong, Mbak, makanya! Masa dia minta kenalan sendiri." Edo tiba-tiba nimbrung dari belakang. Edo adalah salah satu teman akrabku di kantor ini yang punya 'jiwa sosial' yang sangat tinggi, jadi suka masuk ke pembicaraan orang lain tanpa diundang.

"Iya juga sih. Kapan-kapan aku kenalin deh kalian."

Aku menarik napas panjang. "Memang Mbak tahu darimana dia masih single? Karena nggak kelihatan pake cincin?" tanyaku malas-malasan hanya untuk berbasa-basi, bukan karena penasaran.

"Jadi kemaren tuh si Dirga pulang terakhir, dua temannya yang lain udah cabut duluan. Pak Burhan nyamperin doi, terus bercanda, ‘Kamu karena belum ada yang nungguin di rumah jadi yang paling terakhir pulang ya?' Gitu."

"Ohh..." respon Edo. Padahal tadi aku yang bertanya.

"Yakali aja istrinya lagi di luar kota maksudnya... Eh, ini udah jam berapa sih?" Aku melihat jam tanganku, waktu sudah menunjukkan 5 menit kurang 8. " Astaga! Mbak, jadi aku pake ruangan yang mana nih?!" tanyaku dengan panik. 


 

***


 

Rapat berlangsung dengan lancar hingga pukul 9.30 pagi. Setelah selesai, aku diajak Arisha ke bawah untuk ngopi sebentar. Arisha tampaknya memang tidak mau menyia-nyiakan kebebasannya selama Mbak Tari dinas di luar kota.

"Gue ada yang perlu ditelepon sekarang nih. Entar gue nyusul deh,” ucapku. 

"Lama, nggak?"

"Nggak, paling 5 menit. Mesti secepatnya sih."

Arisha pun turun duluan dan aku membuat panggilan ke sebuah vendor di luar kota. Setelah 5 menit berjalan, aku menyusul Arisha ke bawah.

Saat sampai di depan lift lantaiku, aku memencet tombol turun dan diarahkan untuk mengambil lift F. Hanya ada aku sendiri di sini yang menunggu. Sepi. Hening. Tidak seperti jam makan siang atau jam pulang kerja yang ramai dengan karyawan turun ke bawah.

Tapi sesuai dengan idiom 'the calm before the storm', firasatku mulai tidak enak. Ada suara langkah kaki yang mendekat, semakin lama semakin jelas tapi juga semakin pelan. Benar saja. Aku bisa melihat dari sudut mata kananku, tanpa perlu menoleh, Dirga sudah berada di sini. Kami hanya berjarak 1,5 meter. Ia berdiri tegap sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong celana dan menghadap ke lift. 

Walaupun suasana begitu senyap, tapi jantungku berdentum begitu cepat. Saat ini kepalaku hanya dipenuhi satu pertanyaan, apakah kami akan seterusnya tidak saling berbicara satu sama lain? Bukan apa-apa sih, awkward banget kalau gini terus. Masa kantor yang tadinya menyenangkan ini harus berubah sekelam medan perang setiap kali aku bertemu dengannya? Nggak lucu. 

Tiba-tiba Pak Ilham datang dan menyapa kami berdua. 

“Binar, sudah kenal tim dari Macavel yang baru? Ini namanya Dirga.”

Pikiranku kosong sejenak. Bingung harus menjawab apa. Kan tidak mungkin kalau aku menjawab, “Kenal, Pak. Kebetulan mantan pacar saya.”

“Nah, Dirga, ini Binar dari tim Development. Kalau perlu data sosial atau lingkungan di lapangan, bisa minta ke Binar.”

Di detik ini kami pun saling menatap dengan canggung, membuat jantungku berdetak semakin tidak keruan. Namun akhirnya pintu lift terbuka. 

Pak Ilham yang tadinya juga hendak turun ke bawah, mendadak putar balik ke ruang kerjanya setelah teringat ada sebuah pekerjaan yang belum diselesaikan. 

Lift tersebut sedang kosong. Tanpa pikir panjang aku pun masuk ke dalamnya, diikuti oleh Dirga. Kami berdiri bersisian dengan jarak sekitar setengah meter. Pintu lift kemudian tertutup, memunculkan keheningan sekitar beberapa detik lamanya. Namun tidak berlangsung lama karena pria di sampingku ini akhirnya bersuara.  

“Apa kabar, Bi?”

 


 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Nostalgia - Bab 3-4
4
0
Tanpa disangka Binar bertemu dengan mantan pacarnya ketika kuliah dulu, Dirga, di sebuah perusahaan geotermal tempat ia bekerja.Sejak saat itu mereka kerap bertemu secara tidak disengaja, memunculkan berbagai kecanggungan sekaligus kejadian lucu yang kembali membangun kedekatan di antara mereka berdua, sembari menyembunyikan hubungan masa lalu mereka dari orang-orang di sekitar.Apakah mereka bisa saling memaafkan? Apakah Binar siap untuk mengetahui tentang rahasia yang sebenarnya terjadi pada Dirga di masa lalu? Dan apakah rasa sayang akan tumbuh lagi di antara mereka berdua seiring dengan berjalannya waktu?  
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan