
Tsavo Man-Eaters, Kisah Singa Pemangsa Manusia yang Menjadi Inspirasi Film Idris Elba
Dalam ilmu biologi, manusia merupakan pemangsa puncak yang tidak memiliki predator alami. Tapi sebetulnya, ada banyak catatan sejarah dimana hewan buas datang untuk memburu manusia.
Bahkan, beberapa catatan tersebut masih melegenda hingga saat ini. Salah satu contoh diantaranya adalah peristiwa dua ekor singa yang memangsa lebih dari 100 orang di Kenya sana, yang dikenal dengan Tsavo Man-Eaters. Lantas, seperti apa kisahnya?
Awal Mula Serangan
Man-Eater, meskipun mirip seperti judul sebuah video game terkenal, sebetulnya merujuk pada spesies hewan atau tanaman yang memangsa manusia. Jelas saja, namanya saja Man-Eater alias pemangsa manusia. Nama Tsavo Man-Eaters sendiri merujuk pada dua ekor singa yang bertanggung jawab atas kematian para pekerja konstruksi di wilayah sungai Kenya.
Di sepanjang tahun 1898, kedua singa ini diyakini telah memangsa para pekerja India – kala itu masih berada di bawah jajahan Inggris – yang bekerja sebagai tenaga konstruksi rel kereta api. Jumlah korban yang dimangsa masih jadi perdebatan hingga saat ini. Namun, diyakini bahwa korban yang jatuh mencapai 135 orang!
Kisah bermula pada bulan Maret 1898, dimana pemerintah Kolonial Inggris saat itu berniat membangun sebuah jembatan kereta api yang melintasi sungai Kenya. Pemimpin proyek jalur rel kereta api tersebut merupakan seorang tentara sekaligus pemburu dari Inggris bernama John Henry Patterson. Beberapa hari setelah kedatangannya ke lokasi proyek, serangan Tsavo Man-Eaters dimulai.
Kedua singa ini menyelinap di malam hari untuk menyeret mangsanya keluar dari camp. Dalam buku biografinya yang berjudul “The Man-eaters of Tsavo”, Patterson menyebut bahwa diantara para korban pertamanya adalah seorang pasien yang diseret dari kamp medis.

Perlu diketahui sebelumnya bahwa meski singa mampu memangsa manusia, namun hingga saat ini peristiwa singa yang memangsa manusia masih merupakan sebuah peristiwa yang langka. Sebuah studi dari BBC bahkan menyebut bahwa singa menganggap manusia sebagai ancaman, bahkan jika mereka berjalan kaki sekalipun. Namun, Tsavo Man-Eaters justru menjadikan manusia sebagai asupan makanan mereka sehari-hari layaknya zebra, antelope, dan kerbau.
Berbagai upaya dilakukan oleh para pekerja rel kereta untuk menghalau kedua singa ini, diantaranya yakni dengan membuat api unggun serta membangun semacam pagar dari akar tanaman yang disebut boma.
Usaha tersebut nyatanya sia-sia, sebab para singa masih mampu melompati pagar dan tak takut dengan api unggun. Bahkan, seekor singa pun berhasil menyeret seorang pembawa air keluar camp, dan memangsanya hidup-hidup.
Selang beberapa bulan, serangan para singa sempat terhenti, yang membuat para pekerja camp dapat menghela napas lega. Namun sebetulnya, hal itu sama sekali bukanlah kabar baik. Patterson menerima informasi bahwa di sebuah desa yang berada dekat dengan lokasi proyek, terjadi serangan singa yang sama persis.
Terhentinya Proyek dan Dimulainya Perburuan
Ketika kedua Tsavo Man-Eaters kembali ke lokasi proyek, serangan mereka menjadi lebih intens dan ganas. Bila sebelumnya hanya seekor dari mereka yang melompati boma dan menyelinap masuk ke dalam camp, kini keduanya ikut masuk dan menyerang para pekerja. Masing-masing dari mereka akan membawa satu orang mangsa.
Parahnya, kejadian tersebut terus berlangsung setiap malam. Jujur disini aku nggak bisa ngebayangin bagaimana rasanya diteror tiap malam oleh singa-singa ganas, dimana setiap malamnya bisa menjadi malam terakhir kita atau teman kita. Niat mencari nafkah buat keluarga di rumah malah berakhir bertahan hidup. Ngeri betul deh.
Dan hal ini pula yang dirasakan banyak pekerja di sana, sehingga banyak dari mereka yang memutuskan berhenti bekerja atau kabur dari lokasi proyek. Hal ini pun jelas membuat pekerjaan rel kereta otomatis terhenti karena kekurangan tenaga.
Hal ini pun lantas diketahui oleh pemerintah kolonial Inggris, yang mengaggap bahwa serangan Tsavo Man-Eaters merupakan masalah serius. Terlebih, kepala distrik Tsavo kala itu, Mr. Whitehead, juga menderita luka cakaran di punggungnya akibat serangan para singa. Sebagai kepala proyek, mau tidak mau Patterson harus turun tangan untuk mengatasi masalah ini.
Sebagai seorang tentara sekaligus pemburu, Patterson langsung mengepalai 20 orang infanteri India. Dengan pasukannya tersebut, dimulailah perburuan Patterson mencari kedua singa tersebut.
Meski begitu, memburu Tsavo Man-Eaters rupanya bukanlah perkara yang mudah bagi Patterson. Berkali-kali dirinya mencoba memasang perangkap untuk si pemangsa, namun tidak membuahkan hasil. Bahkan pada suatu percobaan, Patterson yang gagal justru menjadi sosok yang diburu kedua singa tersebut.
Akhir dari perburuan
Sembilan bulan setelah serangan pertama, Patterson akhirnya mampu menyerang balik pada salah satu Tsavo Man-Eaters. Berbekal perangkap seekor keledai dan sebuah senapan berkaliber tinggi, Patterson berhasil menembak singa tersebut. Naas, tembakannya hanya mengenai kaki belakang sang singa, membuatnya berhasil melarikan diri.
Namun di malam harinya, singa tersebut kembali. Kali ini ia datang untuk memburu Patterson. Dengan kemampuannya berburu, ia menembak singa tersebut di bagian dada. Meski tak tahu apakah tembakan tersebut mengakibatkan luka fatal atau tidak, namun di pagi harinya, Patterson menemukan singa tersebut dalam keadaan tak bernyawa.
Keberhasilan membunuh singa pertama menjadi kabar baik bagi para pekerja camp, sekaligus bagi pihak pemerintah kolonial. Namun, hal itu bukanlah alasan bagi Patterson untuk bergembira, sebab ia sadar bahwa masih ada seekor singa lagi yang harus ia buru.

Selang 20 hari setelah kematian singa yang pertama, barulah Patterson, yang dibantu seorang warga bernama Mahina, berhasil menemukan singa kedua dan menembaknya sebanyak dua kali.
Meski begitu, singa kedua ini baru betul-betul mati di keesokan harinya. Itupun setelah ditembaki sebanyak enam kali dari jarak dekat! Sesaat sebelum mati, singa tersebut bahkan masih berusaha menerkam Patterson!
Kembalinya proyek rel kereta api
Dengan tewasnya kedua Tsavo Man-Eaters, proyek rel kereta api lintas sugai Kenya akhirnya dilanjutkan, hingga selesai pada bulan Feburari 1899.
Bangkai kedua singa lantas dibawa ke camp untuk dikuliti. Awalnya, Patterson menjadikan kulit kedua singa ini sebagai karpet. Namun pada tahun 1924, sebuah museum dari Amerika Serikat bernama Field Museum of Natural History membeli karpet tersebut untuk dijadikan replika dan pajangan. Kini, sosok Tsavo Man-Eaters yang sudah berupa replika bisa dilihat di museum tersebut.

Kisah Tsavo Man-Eaters ini sangat melegenda di kalangan para akademisi dan masyarakat umum. Bahkan, berbagai buku dan film dibuat berdasarkan kisah tersebut. Terbaru, ada sebuah film berjudul “Beast” yang akan tayang pada Agustus 2022 ini, yang bercerita tentang singa pemangsa manusia di Afrika. Film ini sendiri nantinya akan dibintangi oleh aktor kawakan asal Inggris, Idris Elba.
Namun, jika singa sebetulnya takut pada manusia, latas apa penyebab Tsavo Man-Eaters memangsa manusia?
Ada beberapa teori tentang hal ini, mulai dari bakteri yang menyerang para singa, hingga menghilangnya makanan alami para singa akibat wabah hewan ternak di Afrika di masa tersebut. Namun, pendapat yang paling kuat justru menyatakan bahwa singa-singa ini sudah terbiasa melahap daging manusia, bahkan sebelum serangan ke lokasi proyek berlangsung.
Di tahun 1898, jalur Sungai Kenya merupakan jalur perdagangan budak, dimana budak-budak yang mati atau sakit parah akan dibiarkan untuk mati dan membusuk. Jasad mereka, atau bahkan sosok mereka yang sekarat, kelak akan menjadi santapan para singa. Karena itulah, singa-singa Tsavo menjadi terbiasa dengan lezatnya daging manusia.
Bahkan sampai saat ini, dimana kisah singa yang memangsa manusia di Tsavo merupakan sebuah berita harian di wilayah tersebut.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
