
[Ini hanyalah sebuah karya fiksi]
Dahulu kala, selain manusia terdapat banyak sekali ras di dunia ini. Selain memiliki banyak ras, dunia juga memiliki kekuatan spiritual. Kekuatan spiritual tersebut digunakan oleh semua makhluk hidup untuk membantu kehidupan mereka. Namun, pada suatu waktu tertentu, semua ras yang saat ini disebut dengan 'Spirit' menghilang dan hanya menyisakan ras manusia. Disaat yang sama, manusia juga tidak dapat menggunakan kekuatan spiritual lagi. Tetapi, di dalam bayangan masyarakat...
"Huft... Huft... Huft..."
Pemuda bernama Arata kini berlari secepat mungkin sambil terengah-engah. Tujuannya adalah bangunan kecil tampak seperti rumah yang telah ditinggalkan.
"Akhirnya aku sampai tujuan juga."
Begitu Arata membuka pintu, terlihat lingkungan di dalamnya sangat berbeda. Isinya berkali-kali lebih luas dibandingkan ukuran rumah. Arata masuk dan berjalan ke tengah lapangan. Arata berjalan selama beberapa saat hingga sampai diruang bawah tanah.
"Waktu senggang memang yang terbaik."
Arata merasa lega sambil duduk dilantai dan meluruskan kedua kakinya.
Di lapangan itu terdapat banyak sekali orang, kemungkinan sampai ratusan orang atau bahkan lebih.
Tidak lama kemudian, seorang pria bertopeng berjalan ke atas panggung dengan megahnya. Dia juga membawa gulungan kertas di tangannya. Pria itu memandangi sekitar ruangan sebelum membuka gulungannya dan mulai membaca.
"Selamat datang di *** wahai para kandidat yang terpilih!"
"Apa ini penyensoran?"
Arata mengeluh karena ada bagian kata yang tidak dapat dia dengar.
"UWOOOO!!!!"
Berbeda dengan Arata, orang-orang disekitar sebagian besar malah berteriak dengan riangnya.
Tidak lama kemudian ada banyak sekali 'sesuatu' yang naik keatas panggung. Tetapi Arata tidak bisa melihat 'sesuatu' tersebut dengan jelas. Di matanya semuanya nampak warna hitam yang sangat buram.
Mendengar antusias semua orang, orang yang berada diatas panggung lanjut berbicara.
"Lihatlah mereka, mereka adalah para *** yang berhasil selamat dari *** Sekarang mereka akan menjadi *** kalian. Kalian bebas menggunakan mereka baik yang berhubungan dengan *** maupun diluar ***."
"Kenapa masih basa-basi ayo kita mulai saja!"
"Iya ayo kita mulai!"
Hanya berhenti sejenak dari penjelasannya, seseorang di keramaian berteriak meminta segera memulai. Banyak yang sependapat untuk memulai lebih cepat. Sepertinya hanya Arata yang tidak bisa mendengar seluruhnya dengan jelas.
"Baiklah! Dimulai dari yang disana! Naik dan pilihlah!"
Pria bertopeng berteriak sambil menunjuk ke ujung barisan yang ada di depan. Satu-persatu secara berurutan orang naik keatas panggung. Mereka memilih 'sesuatu' yang ada di atas panggung kemudian turun ke samping bersama 'sesuatu' tersebut. Sekarang adalah giliran Arata naik keatas panggung.
“Silahkan pilih *** yang akan menjadi milikmu."
Saat Arata naik, dia melihat satu persatu 'sesuatu' yang ada disana. Kemudian Arata berhenti didepan wanita dengan pakaian tradisional China yang disebut Hanfu. Arata saat ini tidak bisa melihat wajah wanita tersebut. Bagian leher ke atas dari wanita tersebut terlihat buram di mata Arata.
"Aku memilihmu."
Arata berbicara sambil menggerakan jari telunjuknya.
"Baiklah, silahkan turun lewat samping untuk melanjutkan prosedurnya."
Arata turun bersama dengan wanita yang dipilihnya. Arata sendiri bertanya-tanya, apa yang sedang dia lakukan disana.
Dibawah tangga ada pria lainnya yang mengenakan topeng. Pria tersebut seakan-akan menunggu setiap orang yang turun. Setelah turun, Arata juga menuju ke pria tersebut. Disana ada mangkok yang berada di meja dan sebilah pisau.
"Tolong berikan darahmu kesini."
Dengan sopan pria bertopeng berbicara sambil menyerahkan mangkuk giok dan pisau kecil ke Arata.
"Apakah memang perlu?"
"Ini merupakan prosedurnya. Harap diikuti."
"Baiklah."
Arata pasrah menerima tawaran pria bertopeng tadi. Dia mengambil pisau dan melukai tangannya sendiri. Darahnya mengalir ke dalam mangkuk, setelah dianggap cukup dia memegangi tangannya untuk menghentikan pendarahan.
"Segini cukup?"
Arata bertanya sambil menyerahkan mangkuk yang sudah berisi darahnya. Memang tidak banyak, tapi tidak bisa dianggap sedikit juga.
"Iya cukup," ucap pria bertopeng sambil menerima mangkuk yang diberikan Arata. "Biarkan saya melihat tanganmu." Pria bertopeng itu lanjut berbicara sambil memindahkan mangkuk yang dia pegang ke tangan kirinya.
Arata menuruti pria itu dan memperlihatkan tangannya yang terluka. Pria bertopeng lantas mengulurkan tangan kanannya hingga telapak tangannya berada di atas luka yang dimiliki Arata. Cahaya muncul di antara tangan pria tersebut dan tangan Arata yang terluka. Setelah beberapa saat secara ajaib luka yang ada di tangan Arata langsung sembuh seketika.
Pria bertopeng tadi kini beralih ke darah Arata yang ada di mangkuk. Dia melakukan sesuatu pada darah Arata. Setelah beberapa saat, nampak beberapa lingkaran bercahaya aneh muncul diatas mangkuk tersebut. Mangkok tersebut Ia serahkan ke wanita yang mengikuti Arata. Tidak memerlukan waktu lama, wanita itu langsung meminumnya tanpa ragu.
"Prosedurnya telah selesai, silahkan kembali ke lapangan dan tunggu pengumuman selanjutnya."
Dengan sopan pria itu mempersilahkan Arata untuk pergi.
Pandangan Arata seketika berubah menjadi menghitam dan disaat dia membuka matanya, ia berada di lapangan sedang menatap panggung. Arata melihat ke sampingnya. Wanita yang dia pilih dari panggung kini berdiri di sampingnya sedang menatap ke panggung juga.
Setelah menunggu cukup lama dan setiap orang telah naik, pria bertopeng yang berada di atas panggung memulai pengumuman selanjutnya.
"Apakah sudah mendapatkan *** semua!? Yang belum silahkan naik keatas panggung!"
Orang yang sebelumnya berada di panggung kembali berbicara dengan keras.
Seketika suasana menjadi hening untuk sementara. Setelah cukup lama namun tidak ada seorangpun yang maju, pria bertopeng melanjutkan pengumumannya.
"Karena tidak ada lagi! Langsung saja ke acara utama! Begitu keluar dari sini kalian bisa memulainya, tetapi kalian tidak diizinkan bertarung disini! Tidak ada aturan! Kuulangi 'TIDAK ADA ATURAN!' Kalian boleh melakukan apa yang kalian inginkan. Apakah ada pertanyaan!?"
Semua orang masih terdiam. Tidak ada satupun yang menanggapi.
"Jika tidak ada, LANGSUNG SAJA KITA MULAI!!! PEMENANG AKAN MENDAPATKAN SEGALANYA!!! DAN YANG KALAH ADALAH PECUNDANG!!!"
"UWOOOO!!!!"
Seketika seluruh orang berteriak sambil mengangkat tangan mereka dengan penuh semangat.
Setelah mendengar pernyataan tersebut, pandangan Arata kembali menghitam. Beberapa saat kemudian Arata membuka matanya lagi, tetapi sekarang dia berada di ruangan luas dan dikerumuni banyak orang. Orang-orang tersebut menyerang Arata dengan kemampuan supernatural. Orang dengan kecepatan super melesat ke arahnya. Arata memiringkan badannya sehingga serangan tadi tidak mengenainya. Belum sempat beristirahat, orang lain juga ikut menyerangnya. Orang tersebut mampu menyerang dengan sangat kuat. Dimana dia berpijak saat lari, nampak jejak kakinya tercipta dilantai bangunan.
Arata dengan lihai menghindari semua serangan fisiknya. Arata melompat kesana kemari sambil sesekali berguling untuk menghindar. Orang yang menyerang Arata kini secara ajaib memunculkan sarung tangan besi dan langsung terpasang di kedua tangannya. Setiap orang tadi menyerang, jarak serangannya menjadi lebih jauh dan kekuatannya meningkat. Kini ruangan tampak sangatlah berantakan.
Bukan hanya kedua orang itu, semua orang yang mengelilingi Arata mulai menyerangnya. Berbagai jenis serangan menuju kearahnya. Api, petir, angin, air, pisau dan yang lainnya. Arata dengan tenang menahan semuanya sambil mengayunkan tangannya. Meski dalam keadaan terpojok, Arata yakin bahwa dirinya sedang tersenyum menghadapi semua orang.
"Memilih manusia yang merupakan … terlemah. Kenapa tidak menyerah saja?"
"Kenapa aku harus?" Balas Arata dengan santai.
Arata kini mulai mengayunkan tangannya lagi mengarah ke arah orang yang mengajaknya berbicara tadi. Bilah angin yang keluar dari ayunan Arata terbang ke arah targetnya, tetapi target Arata dan orang-orang disekitarnya berhasil menghindar, menyebabkan bilah angin tadi mengenai tembok dan memotong sisi dari bangunan itu. Arata terus menyerang sambil mencoba menghindari serangan musuh. Saat musuh tersisa tiga orang, tiba-tiba mereka terbunuh.
"Maaf kami terlambat."
Suara terdengar dari belakang ketiga orang tersebut. Di sana terdapat tangga turun. Orang yang baru berbicara itu muncul dari sana bersama dua kawannya.
"Tidak apa-apa," jawab Arata.
Arata langsung sambil membalikkan badannya ke sisi dimana dia memotong tembok sebelumnya. Terlihat pemandangan indah dari sang bulan di tengah kota yang telah porak-poranda.
Selesai menikmati pemandangan, Arata membalikkan badannya lagi sambil menutup kedua matanya.
*****
Seketika Arata terbangun dengan terkejut. Keringatnya bercucuran dengan deras sehingga membuat bajunya basah.
"Mimpi ini lagi."
Arata memegangi kepalanya mencoba mengingat apa yang ada dimimpinya.
"Percuma, berapa kali pun mimpi ini terulang, berapa kali pun aku mencoba mengingat, tetap saja banyak bagian yang hilang."
Arata terdiam sejenak sebelum lanjut berbicara sendiri.
"Sepertinya sudah kisaran satu tahun sejak aku bermimpi seperti ini."
Arata memandangi tangan kanannya untuk beberapa saat sebelum mengayunkannya.
"Hahaha, sepertinya memang mustahil. Tidak mungkin bilah angin keluar dari ayunan tanganku begitu saja."
Arata melihat sekeliling. Dia kemudian menghadap ke arah jendela yang tidak jauh dari kasurnya. Ketika membuka gordennya, sinar matahari yang terhalang oleh gorden sekarang menyinari ruangan gelap Arata.
"Jam berapa sekarang?"
Sambil bergumam, Arata menoleh ke arah yang berlawanan. Dia melihat ke jam dinding yang tergantung.
"JAM 08.47!?!?" Arata seketika berteriak sendiri. "Astaga, aku terlambat. Aku harus pergi untuk kerja kelompok bersama Farel dan Evans."
Arata segera beranjak dari tempat tidurnya dan pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Setelah membasuh wajah, dia mengambil tas dan memasukkan beberapa alat tulis kedalamnya. Begitu semuanya telah dimasukkan, Arata bergegas keluar dari kamarnya. Dia pergi ke dapur dan mengambil roti yang ada dilemari.
"Arata, mau kemana kamu? Makan dulu sebelum pergi!"
Ibunya Arata bertanya ketika melihat Arata terburu-buru.
"Maaf bu, hari ini ada kerja kelompok dan aku hampir terlambat!"
Arata membalas sambil mengikat tali sepatunya dengan cepat.
Arata pergi keluar rumah dengan berlari secepatnya sambil memakan roti yang ia genggam. Arata berlari menuju pemberhentian bus terdekat. Beruntung bus tersebut datang tepat saat Arata sampai.
Huff… Aku pikir aku akan terlambat… Inilah sebabnya aku tidak ingin ada kesibukan di hari liburku.
Setelah beberapa menit bus tersebut sampai di tujuannya. Arata turun dan langsung berlari ke lokasi yang telah disepakati bersama sahabatnya. Saat berlari Arata melihat salah satu bangunan yang ia lewati tampak seperti bug layar pada komputer. Arata berhenti sebentar dan memperhatikannya.
"Jangan-jangan aku masih mengantuk?" tanya Arata pada dirinya sendiri sambil mengusap-usap matanya.
Arata mengesampingkan rasa penasarannya dan lanjut berlari. Sesampainya di cafe yang disepakati, dia melihat ke sekeliling. Disana tidak ada seorangpun yang ia kenal.
"Ugh… jangan bilang mereka pergi lebih dulu dan meninggalkanku tanpa kabar," keluh Arata.
Tak lama kemudian smartphone milik Arata berdering. Dengan cepat Arata mengambil smartphonenya. Ketika melihat ada nama 'Farel' pada layar smartphonenya, Arata segera menerima panggilan tersebut.
"Hallo!"
"Akhirnya kamu mengangkatnya," ucap seseorang dalam telepon dengan sangat bersyukur. "Arata kita tidak jadi mengerjakan tugas kelompok. Ayahnya Evans sakit," lanjutnya.
"Sejak kapan!? Kenapa tidak mengabariku!?"
"Ayahnya kena kecelakaan tadi pagi ketika hendak mengantar Evans. Aku sudah mencoba menelponmu sejak tadi lho."
Mendengar balasan tersebut Arata terdiam karena bingung. Karena seingat Arata, dia belum mendapatkan pesan atau panggilan apapun.
Arata mengecek riwayat panggilan di smartphonenya. Terlihat terdapat sempilan panggilan yang ditolak. Semua panggilan tersebut tertera nama Farel, orang yang sedang menelpon Arata saat ini. Penolakan panggilan itu terjadi saat Arata belum bangun tidur.
Jangan bilang aku mematikannya karena aku pikir ini adalah alarm.
Arata sebenarnya tidak susah untuk bangun. Tapi karena saat ini hari libur, dia lebih suka bersantai. Tidak jarang dia bangun hanya untuk mematikan suara bising seperti alarm sebelum tidur lagi.
"Maaf, aku ketiduran."
"Seperti yang diduga dari Arata. Sangat hebat bisa tertidur kembali ditengah deretan kebisingan ringtone." Farel yang sudah paham dengan kebiasaan Arata mulai menyindirnya.
"Intinya kegiatan hari ini kita batalkan. Aku matikan ya, aku mau lanjut bermain game," lanjut Farel.
Begitu selesai, Farel langsung mematikan smartphonenya tanpa menunggu respon Arata.
"OI!"
Meski sudah tahu alasan kenapa sahabatnya tidak dilokasi, namun sangat disayangkan karena Arata sudah sampai di lokasi.
"Ugh… Kenapa aku tidak mengecek smartphone ku sebelum berangkat sih?" keluh Arata pada dirinya sendiri. "Sial! Yah, karena sudah sampai disini maka nikmati saja apa yang ada."
Arata kemudian melihat ke daftar menus yang sudah disedikan dimeja. Setelah memutuskan akan memesan apa, Arata mengangkat tangannya. Seorang pelayan datang menemui Arata
"Aku pesan Flat White Coffee satu."
"Baik, mohon tunggu sebentar."
Pelayan itu menjawab sambil mencatat pesanan Arata.
Arata menetap di cafe untuk beristirahat sebentar sambil menikmati kopi yang dia pesan.
Setelah kopinya habis, Arata langsung pergi dari cafe tersebut. Dia berjalan pulang melewati jalan yang sama seperti saat dia berangkat.
Ditengah jalan dia melihat bagunan yang samar tadi. Arata berulang kali mengusap matanya untuk memastikan apakah benar bangunan itu yang aneh atau memang dia yang salah melihat. Tetapi bangunan yang ia lihat tetaplah tidak berubah. Arata melihat sekeliling, tidak ada seorangpun yang memperdulikan bangunan tersebut. Sepertinya hanya Arata yang melihat bangunannya tampak aneh.
Arata memberanikan diri untuk masuk. Dia berjalan perlahan mendekati bangunan yang aneh itu. Ketika Arata sampai di depan bangunan tersebut, ia melihat sekeliling. Dia terlihat seperti pencuri pemula yang ragu ingin masuk ke rumah targetnya atau tidak.
Arata sekali lagi menetapkan hatinya. Saat Arata menginjakkan kaki di pintu bangunan tersebut, seketika lingkungannya berubah menjadi pemandangan kota bekas perang besar. Arata terkejut melihat pemandangan yang ada di depannya. Banyak sekali bangunan yang hancur dimana-mana. Arata membalikkan badan dan mencoba keluar dari ruangan itu, tetapi pintu yang seharusnya ada di belakangnya kini telah menghilang.
"A-apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Arata selagi kebingungan.
Arata mengamati lagi lingkungan disekitarnya. Tidak ada apapun selain reruntuhan.
"Jangan-jangan tadi itu pintu menuju dunia lain!?"
"Itu tidak mungkin kan?"
Arata sibuk berpikir sambil berbicara sendiri. Tidak lama kemudian ada asap yang terlihat dari kejauhan, disusul dengan kilatan cahaya merah, kemudian kilatan kuning. Dengan langit gelap dan diterangi oleh rembulan, cahaya kilatan tersebut menjadi tampak jelas.
"Apa-apaan itu? Apakah ada festival?"
Awalnya Arata ragu ingin kesana, tetapi setelah berpikir sejenak Arata memberanikan diri untuk menuju arah asap. Arata tidak punya pilihan lain, dia tidak bisa kembali dan satu-satunya petunjuk ada di area yang berasap.
"Setidaknya disana pasti ada manusia."
Sambil berharap, Arata berjalan perlahan menuju lokasi asap itu.
Ketika jarak Arata dengan lokasi asap sudah dekat, Arata bersembunyi di antara puing-puing. Dia memperhatikan dengan seksama apa yang ada di balik asap itu. Kilatan cahaya merah dan kuning silih berganti. Tidak lama kemudian ada angin besar meniadakan asap yang menutupi kilatan cahaya tersebut.
"Akhirnya asapnya menghilang."
Arata memfokuskan pandangannya dengan apa yang ada di balik asap itu. Tiba-tiba ada bola api melayang ke arahnya. Arata terkejut dan segera bersembunyi ke puing-puing. Beruntung bola api itu melewati Arata tanpa mengenai apapun disekitarnya.
*BOOM*
Bola api itu menyentuh tanah dan langsung meledak sehingga menyebabkan suara keras seperti bom.
Apa itu tadi, Roket?
Arata kemudian melihat keluar ke arah sumber bola api itu. Disana terlihat ada 3 pria dan 1 wanita. Ketiga pria itu saling berhadapan sedangkan untuk wanita hanya duduk lemas di belakang salah satu pria.
Saat Aratai memfokuskan pandangannya pada salah satu pria di sana, dia melihat ada benda yang melayang. Dia mulai bertanya-tanya pada dirinya. Arata menyipitkan matanya, mencoba melihat benda apa yang melayang.
Apalagi yang melayang itu?
.....
Anjing yang terbakar?
Setelah dapat melihat dengan jelas apa yang melayang di samping salah satu pria disana, Arata mulai memperhatikan orang-orang yang tersisa. Ada kura-kura yang melayang diselimuti petir, ada juga sesuatu yang seperti manusia yang sangat kecil sedang terbang dengan sayap yang mungil. Untuk pria yang terakhir di sebelahnya ada kadal besar dengan kulit seperti magma. Tetapi kadal itu tidak terbang seperti yang lainnya.
"Aku beneran ada didunia lain?"
Arata tidak percaya dengan apa yang ada di depannya. Kehidupan didunia lain sudah menjadi impian dari hampir setiap remaja. Bukannya Arata senang, tapi Arata tidak dapat mempercayainya begitu saja. Apalagi dia tidak merasa ada perubahan pada dirinya.
Dua orang mengontrol api dan satu yang mengontrol petir melanjutkan pertarungan mereka. Tampaknya wanita disana sedang terluka sehingga tidak ikut bertarung. Mereka bertiga terus mengeluarkan kemampuan mereka, menyerang, bertahan, menghindar. Kobaran api dan kilatan petir terus bergantian. Hingga salah satu dari mereka mati. Pengguna api dengan anjing yang melayang di sampingnya yang mati. Tetapi anjing itu masih hidup dan berusaha kabur, namun dimakan oleh kadal raksasa milik pria lainnya.
Pria dengan kura-kura petir lari sambil menggendong wanita dibelakangnya. Dia berlari menuju ke arah Arata. Arata yang berada di arah lintasan lari pria tersebut, langsung kabur ke sisi lain reruntuhan. Ketika dia berlari dia terpeleset dan jatuh ke dalam tanah.
"UWAA!!!" teriak Arata selagi berguling.
Beruntungnya ruangan itu terlalu dalam.
"Aw aw aw. Meski tidak jatuh langsung tetapi tetap saja sakit."
Arata melihat-lihat sekelilingnya. Dia merasa pernah berada di lokasi ini tetapi ia tidak mengingatnya. Arata mulai berjalan mengelilingi tempat itu. Saat dia berdiri di lapangan yang luas sambil memandang tempat yang sedikit tinggi, ia teringat akan mimpinya.
"Lokasi ini... Bukannya ini sama seperti yang ada di mimpiku?"
Arata mulai berjalan sama persisi seperti saat ia berjalan di mimpi. Tahap demi tahap dia tirukan.
"Tidak salah lagi, ini memang tempat di mimpiku. Tetapi apa memang di bawah tanah?"
Arata berjalan mondar-mandir sambil mencoba mengingat apa yang ada di mimpinya. Tetapi bagian yang tidak dia ingat tetap tidak bisa ia ingat. Arata kemudian menuju ke arah panggung lagi. Dia mengayunkan tangannya, berharap bilah angin seperti yang ada di mimpinya bisa terwujud. Tetapi berapa kali pun dia mencoba, bilah angin tetap tidak keluar.
"Berhentilah berharap sesuatu yang tidak ada," nasehat Arata pada dirinya sendiri.
Arata berjalan ke panggung dan duduk menghadap ke lapangan sambil merenungkan apa yang terjadi di mimpinya.
"Master… Lama tidak bertemu…"
Ketika Arata sibuk berpikir, terdengar suara halus wanita dibelakangnya.
"Siapa itu!?"
Arata secara spontan berdiri sambil berteriak dan membalikkan badannya. Tetapi, di belakangnya Arata tidak melihat apapun. Arata dibuat menjadi merinding dan tubuhnya langsung terasa dingin akibat suara sebelumnya. Walau takut, Arata masih berdiri dan mengamati sekitarnya.
"Hantu?"
"Itu kasar master… Tapi jika dibilang hantu memang tidak salah juga sih…"
"Jadi kamu hantu atau bukan?"
"Aku Spirit, kalau master pikir Spirit termasuk hantu maka anggap saja aku hantu."
Arata bertanya-tanya sambil memiringkan kepalanya mendengar jawaban suara misterius itu.
Apa itu Spirit?
Melihat Arata tidak menanggapi, suara itu kembali berbicara.
"Omong-omong master, bisakah kamu kemari?"
"Um… Apakah kamu wanita cantik? Jika tidak aku tidak mau."
Arata bertanya demikian karena setahu dirinya sebagian besar wajah hantu itu sangat menyeramkan.
"Kalau kamu tidak melihatku bagaimana caramu tahu?"
Meski sebagian dari Arata tidak ingin melihat, tapi berkat suara wanita aneh itu, Arata dibuat penuh penasaran akan wajahnya.
"Benar juga. Lalu bagaimana caraku melihatmu?"
"Luruskan tanganmu master dan berjalanlah kemari."
"Um…"
Untuk sesaat, Arata ragu-ragu apakah akan menuruti arahan itu atau tidak.
"Master tenang saja, aku tidak akan pernah melukaimu."
Arata memutuskan untuk mengikuti arahnya karena penasaran. Dia segera meluruskan tangan kanannya dan berjalan maju perlahan. Sesampainya tepat di tengah panggung, tangannya terasa menyentuh sesuatu yang keras dan halus.
"Apa ini?"
"Tolong hancurkan itu Master."
Arata tidak tahu bagaimana cara menghancurkannya. Arata kemudian mengepalkan tangannya dan memukul penghalang yang ada di depannya dengan keras.
*PRANG*
Suara seperti kaca pecah terdengar dengan keras. Penghalang yang berada di hadapan Arata pecah menjadi seperti serpihan kaca dan mulai berjatuhan. Arata langsung berlari menjauh karena khawatir serpihan itu mengenai tubuhnya. Hanya saja, ketika serpihan itu menyentuh tanah, serpihan tersebut langsung hilang.
"Aw aw aw. Itu sakit."
Setelah lari, Arata baru sadar akan rasa sakit di tangannya. Dia memegangi sambil sesekali mengibaskan tangannya yang kesakitan. Setelah rasa sakitnya sedikit mereda, kini Arata kembali melihat ke arah dimana dia meninju sebelumnya. Arata terkejut memandangi sosok yang ada di depannya. Sesosok perempuan cantik dengan iris berwarna biru dan rambut berwarna silver yang panjangnya mencapai pinggang. Perempuan tersebut mengenakan pakaian hanfu dengan motif dan warna yang sama dengan perempuan yang muncul didalam mimpi Arata.
"Lama tidak bertemu Master."
"Eh?"
Arata kebingungan dengan ucapan itu. Dia bertanya-tanya kenapa wanita itu berkata seolah-olah sudah pernah bertemu dengan Arata. Arata sendiri tidak mengingat jika pernah bertemu dengan wanita itu, kecuali di dalam mimpinya.
"Master, tolong berhenti menatapku, itu memalukan."
Perempuan itu berkata dengan wajah merah malunya. Arata kemudian memalingkan wajahnya. Dia tidak tahu harus memandang ke arah mana lagi.
"Jadi, apa yang bisa kulakukan untukmu?"
Karena tidak mungkin ada orang yang memanggil orang lain hanya untuk tujuan iseng.
"Tolong lepaskan rantai yang mengekang saya master."
Arata kemudian melihat-lihat rantai yang mengekang perempuan di depannya. Rantai itu mengingat kedua tangan dan kaki perempuan tersebut.
"Bagaimana caraku melepaskanmu?"
Tanya Arata setelah memperhatikan rantainya dengan seksama.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
