
[Ini hanyalah karya fiski yang ada akibat otak liar dari penulis]
Sinopsis :
Rangga, pria biasa. Tidak ada kemampuan khusus dalam dirinya. Semuanya berada pada nilai rata-rata. Tapi satu hal yang dia bisa, memanfaatkan segalanya.
Rangga terbangun di tempat yang sepenuhnya asing. Begitu membuka mata, terlihat ada prajurit dengan zirah seperti pada era pertengahan. Alih-alih menyelamatkan Rangga, prajurit itu mengejar dan berniat membunuh Rangga. Di tempat di mana terjadi perang besar memperebutkan tahta,...
Berbeda dari sebelumnya yang mana sudah mengatur siasat, kali ini Rangga dan yang lain sama sekali tidak menyiapkan apa pun. Hal itu membuat mereka menjadi ekstra waspada.
Hanya berlangsung beberapa saat, gerombolan orang itu telah tiba. Mereka berhenti saat melihat kelompok Rangga. Namun, karena langit sudah gelap, sulit untuk memastikan identitas dengan cahaya yang minim.
Tiga orang di antara mereka maju.
“Pastikan identitas mereka,” pinta Rangga.
Salah satu prajurit maju. Dia mendekati kelompok yang diduga musuh. Ketika keduanya saling berhadapan, prajurit yang berada di pihak Rangga segera menundukkan badannya.
Sebagian orang memahami tindakan itu. Mereka menurunkan kewaspadaan dan meletakkan kembali senjata mereka. Tidak berselang lama, Rangga juga memahaminya.
Hormat? Sekutu ya? Kalau begitu, itu pasti putri.
Rangga menurunkan tombaknya. Tangan kanan Rangga memegang pundak Harist sambil menggelengkan kepala sebagai memberi isyarat bahwa mereka bukan musuh.
Kaki Rangga mulai melangkah untuk melihat sosok orang-orang yang maju tersebut.
“Guh!”
Sesaat Rangga merasa tidak puas dikala melihat Rania merupakan salah satu dari mereka. Melihat ke yang lain, Rangga tidak mengenal mereka semua kecuali William. Puas melihat sosok mereka, Rangga melangkah mundur untuk menjauh. Dimatanya, tugas dia sudah selesai. Sisanya hanya perlu membiarkan orang-orangnya yang memberitahu putri tentang jasa Rangga.
Lalu aku akan mendapatkan penghargaan! Yeah, kehidupan santai sudah di depan mata.
Segera Rangga pergi ke tempat dimana pengungsi berada bersama dengan beberapa prajurit. Mereka semua beristirahat setelah mengalami hari yang berat ini.
Pagi hari dikala udara masih terasa dingin, semua orang mulai berkemas. Siap dengan semuanya, mereka memulai perjalanan untuk berkumpul kembali dengan pasukan putri yang ada di sisi lain.
Di perjalanan, semua tampak tenang. Dengan prajurit yang selalu waspada di sekitar mereka, perjalanan menjadi sangat mulus. Demi menghindari bahaya, mereka harus beberapa kali mengambil jalan memutar untuk menghindari risiko bahaya. Perjalanan pun menjadi lebih lama.
Setelah matahari melewati titik tertingginya, mereka pada akhirnya belum bertemu dengan prajurit putri. Jalan mereka benar-benar telah terpotong oleh prajurit-prajurit musuh yang sedang berpatroli. Berita yang lebih tidak menyenangkan ialah pasukan putri sedang berperang dengan musuh-musuh ini. Menimbang banyak hal, rombongan ini memutuskan untuk istirahat terlebih dahulu.
“Akhirnya istirahat lagi. Kakiku pegal dan cuaca ini membuat tenaga lebih cepat terkuras,” keluh Rangga.
“Mau minum?” tawar Harist sambil mengulurkan kantung airnya.
Tanpa ragu Rangga mengambil dan meneguk air di dalamnya. Kini mulut dan tenggorokannya sudah tidak kering lagi.
Sudah cukup minum, Rangga mengembalikan kantung air itu ke pemiliknya.
“Hei, kenapa rasanya kita lama sekali sampainya ya?”
“Mungkin banyak musuh yang menghadang,” tebak Harist.
“Itu memang mungkin.…” Rangga diam dan berpikir sejenak.
Sebagai yang mengikuti rombongan pengungsi, apa yang terjadi di depan atau sekitar mereka tidak dapat diketahui semua oleh Rangga. Bila ingin tahu, dia harus bertanya pada orang lain yang minimal berstatus prajurit.
Kurasa aku akan menghampiri William saja. Dia memang pedang tumpul dimataku, tapi pada akhirnya pedang hias memang cenderung tumpul.
“Aku akan pergi dulu,” ucap Rangga.
“Haruskah aku temani? Tempat ini tampaknya berbahaya.”
“Hn.… Boleh. Lebih baik waspada.”
Keduanya kini berjalan di sekitar pengungsi lain untuk mencari William. Karena area pencarian yang kecil, tidak memerlukan waktu lama untuk mencarinya.
Ketika sudah ketemu, Rangga mendapatkan berita buruk. William sedang berada dekat dengan Rania. Mereka bersama beberapa prajurit sedang menunjuk-unjuk sambil membuat garis di udara yang kosong.
Normalnya, memerlukan izin untuk mendekati orang berkasta lebih tinggi, tapi status Rangga di beberapa orang kini sudah berbeda. Dengan koneksi tipis tapi erat itu, Rangga bisa menghampiri Wiliam dan Rania.
Rangga mendekati prajurit di dekatnya yang ia kenal.
“Permisi Tuan, bisa aku bertemu dengan William?” tanya Rangga.
“Tuan William ada di sana bersama dengan Nona Rania.”
Alih-alih mengabari William, prajurit itu malah hanya menunjuk ke William.
Mataku masih normal, aku tahu itu! Alasan aku mendatangimu itu untuk memanggilnya, bukan untuk menunjukkan lokasinya!
Dalam hati Rangga mengeluh. Dia tidak ingin menghampiri William karena ada Rania. Rangga dan Rania bukannya memiliki hubungan buruk, hanya saja Rangga pernah terlihat buruk di hadapan Rania. Walau waktu itu terjadi karena salah paham.
Tidak ada pilihan lain kah…?
Rangga menghela nafas pasrah. Dia mulai berjalan mendekati William dan Rangga.
“Permisi, bolehkah aku mengetahui situasi yang terjadi saat ini? Kuperhatikan, tampaknya kalian sedang dalam masalah.”
William dan yang di sekitarnya berhenti berdiskusi dan memandang Rangga.
“Ah, pria mesum waktu itu.”
Tanpa sadar, Rania keceplosan bicara. Hal itu membuat Rangga marah sekaligus malu. Tapi yang lebih membuatnya marah adalah kelakuan Harist. Dia berdiri di belakang Rangga sambil memainkan perisainya berpura-pura tidak mengerti dengan tampang polos dan penasaran.
Hey perisai daging! Tidak bisakah kamu bertanggung jawab!? Aku tidak bersalah, kenapa aku terus yang menanggungnya!? Juga, kenapa kamu bersembunyi di belakang perisai itu layaknya gadis pemalu yang penasaran? Itu membuatku jijik!
Mata semua orang kini menatap Rangga lebih tajam.
“Oh maaf, aku salah orang,” lanjut Rania.
Beruntungnya Rania cukup tanggap. Tapi itu dipengaruhi oleh Rangga yang menggerutu dalam diam seakan sedang mengucapkan mantra kutukan, ditambah tatapan jengkel yang diarahkan ke Rania.
William adalah orang pertama yang memalingkan pandangan dari topik sebelumnya. Dia menunjuk ke satu sisi.
“Di sana, mereka sedang berperang. Kita mempertimbangkan apakah akan ikut perang atau memutar,” ucap William.
Melihat arah yang ditunjuk, Rangga tidak melihat pertempuran. Lokasinya agak jauh. Tentu saja akan berbahaya bila terlalu dekat dengan medan perang.
“Bisakah aku melihat situasi di sana?”
“Selama tidak terlalu dekat, itu bisa saja,” jawab Rania.
Telah mendapatkan izin, Rangga menuju arah yang ditunjuk William.
Dua pasukan sedang berperang dipinggir hutan. Ada dua bendera yang berkibar di sana. Yang satu berlambang meteor dan satunya beruang dengan dua kapak.
Rangga melirik ke prajurit di dekatnya. Prajurit dengan bendera meteor mengenakan zirah dengan warna yang sama seperti prajurit di dekat Rangga.
Perhatian Rangga kembali tertuju pada medan perang. Meski sudah mendekati pinggir hutan, tapi lokasi pertempuran tetap berada di hutan. Masih terdapat banyak pohon besar dan medan yang tidak stabil.
Dengan kata lain, tidak mungkin untuk membentuk formasi besar.
Dari sisi depan peperangan, bendera beruang dengan dua kapak terus maju. Sementara itu, bendera meteor berjalan mundur.
“Nona terus terdesak mundur. Kita harus segera membuat keputusan!” desak salah satu prajurit dengan panik.
“Kami akan mengikuti perintahmu,” ucap William pada Rania sambil berlutut meminta arahan yang diikuti oleh prajurit lain di sekitar mereka.
Mata tegas Rania memandang ke bawah memikirkan dalam-dalam.
“Kita kirim beberapa prajurit untuk membawa pengungsi. Bawa mereka dengan rute memutar yang kita rencanakan. Yang lain akan berperang membantu Putri Lena!”
Ah!
Rangga sudah menebak bahwa Rania akan membantu putri. Dengan kesetiaan yang dimiliki Rania, tentu dia tidak bisa menahan diri.
Itu memang merupakan solusi, tapi memangnya kami akan aman?
“Tunggu, apa kalian berniat melawan dari belakang?” tanya Rangga.
Meski ide bagus mengepung musuh, tapi bila mereka memutuskan untuk membinasakan musuh di sisi belakang terlebih dahulu, kekalahan telak adalah hasil pastinya.
“Tentu saja,” jawab Rania.
“Bagaimana bila kalian gagal? Kalian kalah jumlah! Selain itu, musuh juga terlatih kurang lebih sama seperti kalian, itu akan berbahaya.”
Pedang Rania terhunus menempel pada tenggorokan Rangga. Seketika Rangga tersentak dan langsung berkeringat dingin.
“Kami sudah memutuskannya. Tidak akan kubiarkan seseorang mempengaruhi tekat kami.”
Ghaaa! Kalau mau mati, mati saja sendiri. Jangan ajak-ajak kami!
Dengan tangan gemetar, Rangga menyentuh dan menjauhkan pedang Raina dari lehernya.
“Bukan itu niatku…”
Rangga berhenti sejenak untuk mengatur nafas dan menenangkan diri.
“Kita akan memutari prajurit musuh. Ketika sudah di samping, kalian akan melakukan serangan dari samping. Ada dua keuntungan di poin ini. Pertama, setengah jalan dari para pengungsi terjamin. Kedua, bila kalian menjumpai kegagalan saat menembus musuh, kalian memiliki kemungkinan untuk mundur dan bergabung dengan pasukan utama lebih besar. Toh kalau kalian berhasil, baik mengincar sisi sayap atau sisi belakang, itu tidak berpengaruh banyak ketika di dalam hutan.”
Rania menunduk ke bawah memikirkan perkataan Rangga.
Di saat yang sama, Rangga membayangkan pergerakan musuh dikepalanya.
Itu tidak bohong, tapi tetap ada perbedaan. Bila kalian berhasil menembus tengah, sebagian dari musuh akan hancur. Tapi bila kalian menyerang satu sayap, musuh bisa menggunakan sayap lainnya sebagai jalur kabur dan menyusun ulang strategi.
Rangga melirik ke para pengungsi.
Mengakhiri secepat mungkin adalah pilihan bagus saat ini. Bagaimanapun, tujuan awalku adalah bertahan, bukan kemenangan.
Terlihat Rania masih bingung memutuskannya. Rangga memiringkan sedikit kepalanya. Dia memutuskan untuk mendorong Rania dalam mengambil keputusan.
“Bagaimana? Tugas kalian dari putri bisa dibilang selesai. Peluang menang juga lebih tinggi. Berpikir terlalu lama malah membuat putri semakin dirugikan.”
Rania menaikkan pandangannya menatap Rangga. Tidak berselang lama, keputusannya sudah keluar.
“Baiklah. Kita ikuti rencanamu,” ucapnya sebelum mengkoordinasikan semua orang untuk berangkat.
Walau Rania menyetujuinya, tapi tatapan Raina menatap Rangga dengan tidak senang. Rangga tidak yakin apa penyebabnya.
Dua hal yang Rangga pikirkan. Status dan reputasi. Rania tidak suka orang dengan status rendah berbicara sesukanya atau dia tidak menyukai Rangga karena memberikan ide lebih baik dibanding Rania.
Memikirkan itu, Rangga menggelengkan kepalanya. Sejauh yang Rangga tahu, Rania tidak seperti itu. Tapi sedikit keraguan muncul di benaknya.
Apa aku salah menilainya?
Sekali lagi Rangga menggelengkan kepalanya.
Aku tidak perlu memikirkannya. Begitu ini selesai, semuanya berakhir. Kita berpisah ketika sampai pada sebuah kota. Aku tidak ingin terlibat dengan bangsawan atau semacamnya.
Berjalan beberapa saat, mereka tiba di sisi pertempuran. Kini Rangga bisa melihat dengan jelas jumlah pasukan dari satu sisi. Sejauh Rangga dapat melihat, perbandingannya cukup jauh.
Hee… Sepertinya harus menggunakan trik untuk menang.
Pandangan Rangga bergeser ke pasukan putri. Mereka terlihat susah payah menjaga situasi. Bukannya berhasil bertahan, mereka malah tertekan mundur.
Apa formasi dan strategi mereka sudah rusak? Kalau begitu kenapa tidak mundur saja? Konyol melawan jumlah banyak tanpa strategi sama sekali.
“Kita berpisah di sini.”
Kata-kata yang datang tiba-tiba bersama sentuhan di pundak membuat Rangga kaget. Segera Rangga menoleh ke William yang melakukannya.
“Apa kalian bisa menang?”
William menaikkan pundaknya.
“Setidaknya kami harus memastikan kalian bersama putri selamat. Bila tidak, semuanya akan berakhir.”
Tampaknya William sudah siap mengorbankan dirinya. Begitu pula dengan pasukan yang ada di belakangnya. Kini Rangga melirik ke Rania yang sedang memberikan instruksi pada para pengungsi.
Beberapa pengungsi enggan serta marah karena perlindungan yang diberikan berakhir di sini. Ketakutan akan kematian membuat mereka berbuat yang berlebihan. Tapi Rania hanya mendengarkan dengan sabar.
“Prajurit macam apa yang membiarkan warga berjalan-jalan di medan perang!?”
“Kalian harus melindungi kami sampai ke tempat aman!”
Rangga memperhatikan mereka dengan seksama.
Ada bangsawan brengsek, pasti ada warga brengsek juga. Argh! Kegaduhan mereka membuatku sakit kepala. Sekarang aku menyesal menyelamatkan mereka!
“Semuanya tenang saja. Rutenya sudah diperkirakan aman. Ada beberapa prajurit yang memandu dan menjaga kalian.”
Rania berbicara dengan lembut, berbalikan dengan ekspresi tegas yang ditunjukkannya.
Itu sesuatu yang tidak diduga oleh Rangga. Rangga pikir Rania akan memberikan perintah tegas. Seketika Rangga teringat saat pertama bertemu Rania serta saat dirinya berterima kasih.
Ah, kurasa dia memang begitu. Mungkin aku harus membantunya.
Rangga kembali berbicara dengan William.
“Hey William, bisa kamu bunuh para pengungsi? Hanya yang memprovokasi saja.”
“Walau kamu bercanda, hentikan itu. Aku sudah bilang sebelumnya.”
Dengan nada tenang dan menggelengkan kepala, William menolaknya. Rangga menatap lebih tajam ke para pengungsi.
Sepertinya, aku harus mengambil peran orang jahat di sini.
Tangan kiri Rangga menutup kedua matanya. Perlahan itu turun hingga terlepas dari wajah. Seakan-akan telah menggunakan topeng, Rangga kini memiliki tatapan yang tajam.
Kaki Rangga mulai melangkah mendekati Rania.
“Mau ke mana kamu Rangga?” tanya William.
“Melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan wanita itu.”
Rangga mulai mendekati Rania. Kehadiran Rangga diperhatikan oleh pengungsi.
“Oh Rangga. Kebetulan sekali kamu di sini. Lihat para prajurit ini. Kita sudah susah payah bertahan dan mereka membiarkan kita pergi sendiri. Seharusnya–”
“Seharusnya kalian diam dan patuh dasar orang-orang bodoh tidak tahu balas budi!”
Ucapan pengungsi itu dipotong oleh Rangga. Rangga berbicara dengan tajam dan menusuk yang mengakibatkan semua orang kaget. Ini pertama kalinya orang-orang melihat sosok ini. Bahkan para prajurit yang melihat langsung siaga bila terjadi sebuah pertikaian.
“Tuan Rangga! Itu berlebihan!” bentak Rania agak marah.
“Kamu juga diam! Kita sedang dikejar waktu di sini.…”
Rania tertegun mendengarnya.
“Kalau kamu tidak bisa melakukannya, serahkan saja padaku.”
Tatapan Rania pada Rangga kembali seperti sebelumnya. Dia tidak senang dengan Rangga.
Rania membuang wajahnya bersamaan dengan memberikan isyarat kepada para prajurit untuk tidak bertindak.
Memahami Rania sudah setuju, Rangga kembali menatap para pengungsi.
“Hey Rangga, kenapa kamu memihak mereka? Apa mereka menjanjikan sesuatu?” tanya salah satu pengungsi.
“Kukatakan sekali lagi. Kalian orang-orang idiot bodoh tanpa tahu balas budi! Tidakkah kalian sadar apa yang kalian lakukan!?”
“Tentu saja kami sadar! Kami meminta hak kami! Tugas prajurit adalah melindungi kami!”
Seketika Rangga melempar tombaknya. Dengan tenaganya yang lemah dan berat tombak, lemparannya tidak jauh. Tapi itu mencapai sisi depan para pengungsi yang membuat mereka kaget. Beruntungnya alih-alih tombak jatuh ataupun mengenai orang, itu tertancap di tempat yang tepat.
“Hak kalian!? Apa itu!? Hal menjadi warga baik yang diperas oleh orang-orang yang sedang berperang di sana huh!? Atau kalian ingin mati seperti teman, saudara, keluarga dan kenalan lainnya!? Siapa yang menyelamatkan kalian bodoh! Kalian tidak lebih dari parasit yang memberikan beban! Meski begitu mereka masih menyelamatkan kalian! Ingat saat darah kenalan kalian mengalir, rumah-rumah kalian terbakar dan kalian kebingungan! Serangga bahkan lebih baik dari kalian!”
Mendengarkan ucapan Rangga, semua orang menjadi merenung. Beberapa dari mereka bahkan menangis. Dengan kejadian yang belum lama, cukup mudah membuat mereka mengingat semua kenangan buruk itu.
Rangga memikirkannya. Tidak semua dari para pengungsi membuat masalah. Menekan mereka terlalu banyak bukanlah pilihan yang benar.
“Bukan hanya sekali. Bahkan saat kita tertangkap, mereka menyelamatkan kita lagi. Saat kita di dalam hutan, mereka meninggalkan putri yang mereka layani untuk membantu kita. Lalu apa kita memiliki hak untuk meminta lebih pada mereka di saat semuanya sudah diatur dengan baik?”
Suara Rangga mulai melembut. Baginya, terlalu sering berteriak hanya membuatnya lelah dan sakit tenggorokan. Dia bahkan sudah merasakan sensasi tersebut.
Memberikan jeda bicara, para pengungsi hanya diam membatu. Rangga melangkah maju mendekati tombaknya. Itu tidak terlalu jauh, hanya beberapa langkah saja. Setelah sampai, Rangga mencabut tombaknya dan mengarahkan pada para pengungsi.
“Aku memberikan kalian dua pilihan, pertama ikuti rute yang sudah ditentukan. Kedua, tetap di sini dan ikut berperang.”
Rangga membalikkan badannya. Sebelum benar-benar pergi, dia melirik ke para pengungsi.
“Pilihlah dengan cepat. Ini kesempatan kalian untuk membalas budi serta balas dendam. Tapi ingat, kalian bisa mati. Untuk kalian yang memilih pergi, aku tidak akan menyalahkannya.”
Kakinya kembali melangkah menuju tempat William berada. Sebelum benar-benar mencapai William, Rangga berbelok sedikit dan bersembunyi dibalik pohon agar tidak terlihat oleh banyak orang.
Rangga jongkok di sana dan menutup mulutnya.
Hoek!!! Apa yang tadi kulakukan? Itu menjijikkan!
Otak Rangga memutar ulang kejadian sebelumnya. Walau terdengar kasar, tapi juga keren. Di saat yang sama itu membuatnya jijik. Walau tidak sampai muntah, rasa mual tetap memenuhi perutnya.
Rangga menarik tangan yang menutup mulutnya. Tangannya gemetaran. Selain itu, punggungnya terasa dingin. Dia tidak terbiasa berbicara di depan banyak orang.
Lain kali aku harus mencari orang yang bisa berbicara di depan publik. Tadi sungguh membuatku jijik.
Di saat yang sama, para pengungsi mulai patuh. Sebagian besar dari mereka memilih tinggal. Terutama mereka yang sebelumnya membantu membuat perangkap dan ikut berperang di hutan.
Mereka mendatangi Rania dan meminta izinnya untuk ikut berperang. Rania yang kebingungan harus bagaimana hanya bisa pasrah menerima mereka.
Ketika urusannya sudah selesai, Rania mencari Rangga. Tidak perlu waktu lama untuk menemukannya. Rangga masih jongkok disisi lain pohon.
“Tuan Rangga, kamu tidak apa-apa?”
“Uh… begitulah.”
Mata Rangga melirik Rania. Rangga terlihat seperti ikan mati yang kehabisan tenaga.
“Apa kamu benar-benar tidak apa-apa?”
“Ya… Hanya masalah pribadi.” Rangga mencoba berdiri dengan bantuan pohon. “Bagaimana dengan para pengungsi?” tanyanya.
“Mereka sudah terkendali. Tapi bukannya tadi berlebihan?”
Rangga juga berpikir demikian. Dengan semua perkataannya tadi, pasti memalukan bila dia mengikuti pengungsi. Satu-satunya pilihan dia adalah ikut berperang. Dia ingin mengulang kembali dan memilah ucapannya, tapi nasi sudah terlanjur jadi bubur. Tidak ada pengulangan.
“Saat perang dihutan, sebagian dari mereka menunjukkan kemarahan mereka. Mereka tidak puas dengan tindakan musuh dan ingin melawan. Aku hanya memberikan kesempatan pada mereka.”
Tentu ucapan itu sepenuhnya bohong. Rangga bahkan tidak memperhatikan ekspresi orang-orang saat perang berlangsung.
“Terima kasih. Berkatmu, kami memiliki orang tambahan,” ucap Rania sambil menunduk sedikit.
Rangga tersenyum, “Kalau begitu mari bantu putri yang kamu layani. Kita harus bersiap.”
Rangga kini kembali ke sebelah William yang mana memang posisi William adalah terdepan dibanding yang lain. Rangga kembali mengamati jalannya perang di saat Rania menyiapkan orang-orang. Kondisi perang tidak jauh berbeda dari sebelumnya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
