
Haaaaiii…. Aku balik lagi dengan bawa cerpen terbaru yang nggak ada kaitan dengan cerpen sebelumnya. Fresh ya….
Cerpen ini gratis ya. Nggak dipungut biaya apa pun. Tapi kalo ada yang mau donasi, silakan aja. Nggak ada yang ngelarang wkwkwk 🤞
Silakan dibaca buat yang mau… Happy reading dan jangan lupa tinggalin jejak ya…. See you
Hari itu, Austin masih duduk santai bersama teman-temannya di atas motor. Mengenakan jaket dan celana jeans yang robek di bagian lutut, penampilannya tampak seperti seorang preman.
Ddrrtt ddrrtt...
Austin segera meraih ponselnya ketika benda pipih itu bergetar. "Halo, Bang," ujarnya usai mengusap ikon panggilan yang ada di layar.
"Halo. Lo di mana, Tin? Wakilin gue ngambil rapot Bobby bisa 'kan?"
"Gue di tempat biasa, Bang. Emang lo nggak bisa?"
"Gue lupa ada meeting hari ini. Mana Camila udah berangkat kerja. Tolong ya..."
"Ya udah deh."
"Thanks, Tin."
"Iya."
Setelah sambungan terputus, Austin langsung memasukkan ponselnya ke saku jaket. "Bro... gue duluan."
"Mau ke mana lo?"
"Ngambilin rapot ponakan gue dulu."
Austin merupakan pemuda berusia dua puluh empat tahun. Pada umurnya yang sekarang, ia masih menjadi mahasiswa abadi lantaran belum menyelesaikan skripsi. Ini merupakan tahun ke lima dirinya di kampus. Tepatnya sembilan semester sudah berlalu dan genap sepuluh kalau ia tidak segera menyelesaikan skripsinya pada semester ini.
Sebenarnya, Austin adalah mahasiswa yang cukup pintar. Terbukti dari IP semester yang hanya pernah sekali mendapatkan C dan IPK yang masih tergolong cumlaude. Hanya saja, ia teramat malas mengerjakan skripsi yang menurutnya ribet. Konsultasi dengan dosen pembimbing dan riset langsung ke lapangan merupakan tahapan yang telah menundanya menyelesaikan skripsi. Sebab, skripsi tidak akan selesai hanya dengan kepintaran saja. Melainkan harus rajin dan ada usaha yang dilakukan.
Begitu telah tiba di sekolah sang keponakan, Austin pun memarkirkan motornya. Barulah kemudian, ia melangkah memasuki sekolah itu. Keningnya mengernyit ketika memergoki beberapa pasang mata orang tua murid di sana memperhatikan penampilannya sambil berbisik dengan teman di sebelah. Namun, ia tak begitu memedulikannya dan melanjutkan langkahnya menuju kelas bobby.
Penampilannya yang sekarang ini memang sering mengundang perhatian. Para ibu-ibu seperti yang dilewatinya tadi mungkin akan menghujatnya. Berbeda dengan gadis-gadis remaja yang cenderung malah suka.
"Om!!!"
"Halo, jagoan," ujarnya sembari mengusap puncak kepala sang keponakan yang terlebih dahulu menyapanya. "Kelas kamu di mana?"
"Di sana. Om masuk aja, soalnya tadi nama Bobby udah dipanggil," jawab bocah berusia enam tahun itu sambil menunjuk kelasnya.
"Oke. Kamu tunggu di sini ya." Setelah bertos ria dengan Bobby, Austin langsung memasuki ruangan itu. Langkahnya mendadak terhenti kala melihat perempuan yang sedang duduk di kursi depan ruangan itu. Ia tidak pernah menyangka jika guru keponakannya ternyata sangat cantik.
"Beautiful," gumamnya tanpa sadar.
Wanita itu mengangkat wajahnya yang tadi menunduk saat mendengar gumaman Austin. Keningnya sempat mengernyit, mungkin saja karena melihat penampilan Austin. Namun, ia tetap mempersilkan Austin untuk duduk.
Austin merutuki penampilannya sekarang ini. Andai sebelumnya ia tahu guru Bobby cantik, dirinya pasti akan berganti pakaian dengan yang lebih pantas dan sopan. Tapi apa mau dikata, semua sudah terlanjur.
"Orang tuanya siapa ya?"
Tidak hanya orangnya yang cantik, suaranya pun terdengar merdu di telinga Austin. Baru kali inilah ia menemukan wanita yang Austin rasa sangat cantik dan dewasa. Tak seperti kebanyakan wanita yang mendekatinya.
"Bobby." Austin berujar cepat lantaran salah tingkah ditatap wanita itu. Lagi, perempuan itu mengernyitkan kening yang anehnya kian terlihat cantik di mata Austin.
"Saya walinya Bobby. Orang tuanya meminta saya ngambilin rapot Bobby karena lagi ada urusan. Saya Omnya," jelasnya walau tanpa diminta. Beruntung, wanita itu mengangguk saja sebagai jawaban.
Austin kembali merutuki dirinya yang malah bertingkah konyol seperti ini. Semoga wanita itu tidak mengira dirinya aneh.
"Nilainya Bobby cukup bagus. Bilangin orang tuanya buat terus ditingkatkan lagi ya," ujar wanita itu tersenyum sembari menyerahkan rapor milik Bobby.
"Baik."
Meskipun rapor milik Bobby sudah di tangan, tetapi Austin seakan enggan untuk beranjak dari sana. Ia betah memandangi keindahan Tuhan yang seolah-olah memang diciptakan untuknya.
"Kamu udah nikah?"
Entah keberanian dari mana, Austin tiba-tiba saja bertanya seperti itu. Bisa dirinya lihat wanita itu terkesiap karena pertanyaannya tersebut. Kemungkinan tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu darinya.
"Sudah," jawabnya singkat yang membuat Austin melemas. Hilang sudah harapannya untuk bisa memiliki wanita itu.
"Kalo gitu, saya permisi dulu," pamit Austin. Kalau tahu wanita itu sudah bersuami, tentu ia tidak akan berlama-lama memandangnya. Sebab, Austin bukanlah lelaki brengsek yang akan merebut wanita bersuami.
Sementara wanita itu, kembali mengerutkan kening ketika melihat kepergian Austin yang tiba-tiba.
***
"Lo kenapa bengong aja?"
Austin terkesiap dari lamunannya saat Fandi menepuk bahunya. Kakak sulungnya itu kini sudah bergabung dengannya di sofa. Setelah mengambilkan rapor milik Bobby, ia memang mengantar keponakannya itu ke kantor sang kakak. Sehingga di sinilah Austin berada.
"Gurunya Bobby cantik," ujarnya tanpa ada yang ditutupi.
"Emang cantik. Lo naksir gurunya Bobby?" tanya Fandi penasaran.
"Tadinya iya naksir. Tapi sayang udah nikah," sahut Austin lesu. Ia mengira perempuan itu ditakdirkan untuknya, tetapi ternyata bukan. Baru kali inilah, Austin merasakan patah hati sebelum sempat memiliki.
"Emang udah nikah?"
"Dia bilang sudah."
"Lo beneran nanya langsung ke dia? Berani juga lo. Gimana nanyanya?"
"Ya gue tanya aja, 'kamu udah nikah?' dia jawabnya sudah."
"Serius, lo beneran naksir dia?" tanya Fandi untuk lebih memastikan. Sebab, tak biasanya Austin menjadi seperti ini hanya dikarenakan oleh seorang wanita.
"Tadinya mungkin iya. Tapi buat apa naksir kalo nggak bisa dimilikin. Mending gue cari yang lain."
"Yang gue dengar dari Camila, kayaknya dia janda deh. Mungkin dulu emang udah pernah nikah, tapi suaminya meninggal sejak lama."
"Lo serius, Bang?" tanya Austin tak percaya.
"Serius. Tapi nanti gue tanyain ke Camila."
Barulah Austin sadar, kalau kemungkinannya bisa saja benar. Wanita itu mungkin memang sudah menikah, tapi itu dulu. Sekarang tidak lagi sebab suaminya sudah berpulang. Kalau begitu, berarti Austin masih memiliki sedikit harapan.
"Berarti gue masih ada kesempatan. Thanks, Bang!" serunya bersemangat.
"Lo beneran mau maju? Sekalipun janda?"
"Emangnya kenapa kalo janda?" tanya balik Austin. Asalkan hati sudah cocok, Austin rasa status sudah tidak begitu penting. Lagi pula, janda pun tetap berhak untuk dicintai.
"Ya nggak apa-apa sih. Tapi gimana cara lo bisa ngedapetin dia? Gue nggak yakin kalo dia bakal mau sama lo, yang tampang kayak preman gini. Mana belum lulus kuliah," ledek Fandi.
"Itu bisa diatur asalkan dia mau nikah sama gue."
"Nikah yang diomongin. Skripsi tuh dikelarin dulu, baru mikirin nikah!"
"Serah lo dah, Bang. Suka-suka lo aja. Yang terpenting hari ini gue happy karena ketemu pujaan hati gue."
***
Cklek.
"Astaga Austin!!! Ngapain pagi-pagi udah di situ aja?" tanya Camila saat melihat Austin sudah duduk manis di atas motornya. Tidak hanya itu, pakaian adik iparnya itu tampak tak seperti yang kemarin-kemarin. Hari ini Austin mengganti jaket dan celana robeknya menjadi kemeja dan celana kain.
"Mulai hari ini, gue yang nganterin Bobby ke sekolah, Mbak," ujarnya sembari tersenyum. Dengan alasan mengantar keponakannyalah Austin dapat bertemu guru cantik yang telah menjerat hatinya.
"Modus! Bilang aja mau ketemu guru Bobby," tebak Camila. Ia pun mempersilakan iparnya itu memasuki rumah lantaran Austin datang terlalu pagi.
"Sialan Bang Fandi. Mulutnya ember banget ternyata," rutuk Austin yang dibalas kekehan oleh sang kakak ipar. "Tapi, dia beneran free alias single lagi 'kan, Mbak?" tanyanya agar lebih memastikan.
"Setau gue sih gitu."
"Yes!!! Berarti emang ada peluang buat gue, Mbak."
"Emangnya dia mau sama anak kecil kayak lo gini? Kenapa gue yang nggak yakin ya?"
"Siapa bilang gue anak kecil? Gini-gini gue bisa bikin anak kecil beneran bareng dia, Mbak," jawab Austin masih disertai senyum sumringahnya.
"Terserah lo deh. Gue cuma bisa doain lo aja. Soalnya gue denger banyak yang suka sama dia. Mulai dari guru single di sekolah sampai orang tua murid juga pada suka."
"Hahaha kasian. Saingan lo ternyata banyak, Tin! Yakin lo bisa menangin hatinya?" ledek Fandi yang baru bergabung dengan mereka.
"Kalian lihat aja. Gue pasti bisa ngajak dia ke tempat tidur," tekad Austin yang membuat kakak dan kakak iparnya melotot tak setuju. "Setelah nikah maksudnya. Udah ngeres aja pikiran kalian," tambahnya sambil tertawa.
"Sialan lo!" umpat Camila tak terima.
"Tapi dia janda loh. Siapa tau aja pas udah berhasil dapetin hatinya, lo beneran diajak ke kasur bareng dia. Janda 'kan udah lama nggak gituan. Itu pun kalo emang dia nggak pernah gituan lagi pas suaminya meninggal. Bisa aja diam-diam dia pernah gigolo 'kan? Kalo kayak gitu gimana? Yakin masih mau?"
"Omongan lo, sumpah nggak enak didengar banget sih, Bang. Nggak mungkin dia kayak gitu. Orangnya aja sopan. Lagian, misalnya yang lo bilang benar, gue bakal tetap terima masa lalu dia apa adanya kok. Gue juga udah bertekad nggak bakal ngapa-ngapain cewek sebelum nikah."
"Bagus deh," sahut Fandi merasa lega.
"Tapi bakal beda cerita kalo ceweknya yang ngapa-ngapain gue duluan. Kalo gitu sih ayo aja tancap gas langsung bikin anak," tambah Austin sambil terkekeh.
"Kampret lo, Tin! Sama aja dodol!"
"Bercanda kali, Bang. Nggak asik banget sih lo."
***
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Austin baru saja sampai di sekolah Bobby, tapi matanya telah menemukan sosok yang dirindukan hatinya.
"Pagi...," sapa Austin ramah dan sok akrab.
"Pagi," balas wanita itu. Ia terlihat terkejut saat menyadari kehadiran Austin yang hari ini malah berpenampilan berbeda dari yang kemarin. "Nganter Bobby ya? Orang tuanya sibuk lagi?"
Austin menggaruk belakang kepalanya sebab ditanya seperti itu. Apakah mungkin niatnya ingin bertemu dengan mengantar Bobby bisa ditebak oleh wanita itu?
"Sekalian jalan aja."
"Oh."
"Kamu beneran udah nikah?" tanya Austin. Sebagai orang yang baru bertemu bahkan belum berkenalan, mungkin apa yang Austin tanyakan tidaklah pantas. Hanya saja Austin ingin mendengarnya langsung. "Nggak punya maksud lancang, tapi aku pengen tahu aja."
"Saya emang sudah nikah, tapi suami saya meninggal dunia dua tahun yang lalu. Emang kenapa?" tanya wanita itu merasa bingung sebab sudah dua kali Austin bertanya seperti itu.
"Nggak apa-apa kok. Aku cuma pengen kenal kamu aja. Kenalin, namaku Austin," ujarnya seraya mengulurkan tangan.
"Mutiara," sahut wanita itu sambil membalas uluran tangan Austin. Hanya sesaat lantaran setelahnya kembali dilepas.
Mutiara. Cantik dan berkilau. Memang persis dengan yang aslinya. Nama wanita itu tidak kalah cantik dengan rupanya. Memang nama yang cocok.
"Jujur aja, aku udah tertarik sama kamu pas kita ketemu kemarin. Apa kamu mau menikah sama aku?" tanya Austin langsung. Mutiara yang ada di depannya ini sangatlah berharga sehingga Austin tidak ingin kehilangannya.
"Nikah?"
"Iya nikah sama aku."
Mungkin hanya Austin orang yang langsung melamar pada saat baru mengenal namanya dan hanya dua kali bertemu dengan wanita itu.
"Mungkin kamu salah orang."
Austin melipat alisnya karena tak mengerti. "Nggak. Itu benar kamu."
"Pertama, usia saya pasti lebih tua dari usia kamu. Kedua, status saya pernah nikah dan kamu belum. Ketiga, dilihat dari penampilan kamu yang kemarin, sepertinya kamu masih mahasiswa. Keempat, kamu pasti belum ada kerjaan."
Lipatan di dahi Austin kian bertambah usai mendengar ucapan wanita itu. "Emang usia kamu berapa?"
"29 tahun ini."
"Aku 24. Nggak masalah, toh cuma beda lima tahun aja. Aku juga nggak mempermasalahin status janda kamu. Kamu benar, aku emang masih mahasiswa, tapi asalkan kamu setuju buat nikah sama aku, aku pasti secepatnya menyelesaikan skirpsiku. Untuk yang paling akhir, kamu nggak usah khawatir karena aku punya tabungan. Bukan uang dari orang tua, tapi aku nanam saham di beberapa bidang bisnis."
Wanita itu tampak terdiam lantaran Austin bisa menyanggah semua ucapannya. "Tetap aja saya nggak bisa nikah sama orang yang nggak saya cintai. Apalagi orang yang baru saya kenal."
"Nggak masalah. Pelan-pelan, aku pasti bisa bikin kamu jatuh cinta dan setuju nikah sama aku," tekad Austin sambil mengukir senyum manis.
***
Hari demi hari berlalu dengan Austin yang giat mencari perhatian wanita itu dengan sengaja mengantar-jemput keponakannya setiap hari. Membawakan makanan ataupun buah tangan. Juga menawarkan tumpangan yang selalu ditolak oleh wanita itu.
Kini genap tiga bulan pendekatannya. Sedikit demi sedikit, Austin rasa ia memiliki harapan untuk bisa bersama dengan wanita itu.
"Skripsi kamu gimana? Kapan selesainya kalo kamu ke sini terus?" gerutu Mutiara karena lagi-lagi melihat kehadiran Austin saat dirinya keluar kelas usai jam belajar sudah berakhir. Sebagian peserta didiknya sudah pulang dan hanya tinggal beberapa yang belum dijemput. Sementara keponakan Austin tengah libur karena sakit. Akan tetapi, Austin masih saja datang ke sekolah.
"Semester ini pasti beres asalkan kita nikah. Gimana?"
"Nggak bosen-bosen ya kamu?"
"Buat kamu apa sih yang enggak?" godanya. "Masa sampai sekarang, kamu masih belum punya rasa sama aku? Apa kamu nggak bisa ngeliat kelutusan aku buat kamu?" tanyanya mulai serius. Ia melangkah maju dan sengaja mengurung Mutiara di pintu.
"Austin! Jangan macem-macem kamu!"
"Mana berani aku macem-macem sih? Aku cuma pengen ngajak kamu dinner malam ini. Nggak ada penolakan karena aku udah bosan ditolak. Malam ini pukul tujuh, aku jemput." Usai berkata seperti itu, Austin pun langsung pergi dari sana meninggalkan Mutiara yang akhirnya bisa menghela napas lega.
***
Sebelum pukul tujuh, Austin sudah sampai di depan rumah Mutiara. Ia mengetuk pintunya dengan senyum menghiasi bibir.
Cklek.
Austin mengira Mutiara sudah bersiap untuk pergi makan malam bersamanya. Akan tetapi yang dirinya lihat, wanita itu malah seperti sudah siap untuk pergi tidur. Sebab, pakaian yang Mutiara kenakan sangat jauh berbeda dari yang biasa dipakainya ketika mengajar di sekolah.
Kalau hari-hari biasa, ia melihat perempuan itu dibalut pakaian sopan, malam ini malah sebaliknya. Wanita itu Austin dapati sedang memakai gaun tidur seksi berwarna hitam. Harusnya ia tak mengajak wanita itu makan malam, mungkin lebih baik makan siang saja.
"Ayo masuk."
"Masuk?" beo Austin kebingungan.
"Iya. Katanya mau dinner. Kita dinnernya di sini sama aja 'kan?" tanya Mutiara sembari tersenyum manis yang tak biasa Austin lihat. Dada Austin praktis berdebar tidak menentu. Austin tidak menyangka kalau mereka akan makan malam di rumah Mutiara. Tetapi apa maksud dari Mutiara berpakaian seperti itu ketika sadar dirinya akan datang?
Makan malam mereka kini sangat berbeda dari apa yang ada dalam bayangan Austin. Tadinya ia pikir mereka akan makan malam romantis di restoran yang sudah dibooking. Akan tetapi, ternyata mereka malah makan malam berdua di rumah Mutiara. Bukannya romantis, tapi Austin ketar-ketir takut ada setan yang lewat. Maka dari itulah, ia tidak berani memandang lebih dari tiga detik.
"Cobain masakannya. Enak apa enggak," ujar Mutiara seraya mengisi piring Austin dengan secentong nasi. Ia tersenyum simpul karena melihat Austin yang mendadak jadi pendiam.
"Enak kok," jawab Austin sembari mencicipi masakan Mutiara. Ia mengunyah makanan di mulutnya dengan cepat lantaran bermaksud segera mengakhiri makan malam ini. Namun, Mutiara tidak berpikiran yang sama. Wanita itu malah sengaja menahan Austin dan juga memberikan sedikit godaan dengan berdiri di dekat Austin.
"Habis ini kita nonton dulu gimana?"
"Nonton? Lain kali aja deh."
"Kenapa? Kamu nggak pengen nonton sama aku?" tanya Mutiara terdengar kecewa.
Sungguh, Austin tak terbiasa dengan sikap Mutiara yang sekarang menurutnya terlalu berani.
"Bukan gitu. Aku-"
"Kalo nggak mau nonton, gimana kalo kamu nemenin aku tidur aja?"
Sekarang mata Austin dibuat melotot lebar ketika Mutiara menariknya menuju kamar. Tak hanya itu, Mutiara juga sudah mengunci pintunya. Kini, wanita itu malah melepaskan luaran gaun tidurnya hingga hanya tersisa gaun tipis dengan tali sejari yang melekat di tubuh Mutiara. Terlebih belahan dada gaun itu cukup rendah hingga Austin bisa melihat payudara Mutiara yang tidak ikut tertutup. Praktis saja, ia mengalihkan tatapannya dari godaan di depannya.
"Kayaknya kita nggak pantes kayak gini. Aku pulang aja. Kemariin kuncinya," ujar Austin yang masih tahan godaan.
Mutiara berdecak kesal karena penolakan Austin itu. Tetapi ia tidak kehabisan akal. "Aku mau nikah sama kamu," ujarnya yang spontan membuat Austin menatapnya minta kepastian. "Asal kita ngelakuinnya. Biar aku tau kehebatan kamu di atas ranjang kayak gimana," tambah Mutiara disertai elusannya di dada Austin yang sialnya terasa bidang.
Austin tengah dilanda kebingungan. Tentu saja ia ingin menikah dengan Mutiara. Tapi apa harus melanggar prinsipnya sendiri? Tidak-tidak, ia menggelengkan kepala sebab tak ingin terpengaruh.
"Aku emang pengen nikah sama kamu. Tapi nggak dengan kita ngelakuinnya lebih dulu."
"Kamu yakin? Setelah ini, aku nggak bakalan ngasih kesempatan kedua lagi."
"Iya."
"Kalo gitu, mulai sekarang kamu nggak usah deketin aku lagi. Karena aku nggak mencari laki-laki yang cocok di hati, tapi juga cocok di tempat tidur. Sementara kamu nolak aku."
"Tapi aku cinta kamu, Ra..."
"Bagi aku, cinta nggak cukup. Aku juga perlu kepuasaan."
Austin dibuat terdiam oleh perkataan wanita itu. Ia benar-benar tidak menyangka kalau Mutiara bisa berkata seperti itu kepadanya.
"Jadi aku tanya sekali lagi. Kamu mau tidur dan muasin aku malam ini, atau ngejauhin aku untuk selama-lamanya?" tanya Mutiara sambil menenteng kunci kamar di hadapan Austin.
"Aku cinta kamu. Tapi maaf, aku nggak bisa kalo harus nyentuh kamu duluan," jawabnya sembari meraih kunci tersebut dan langsung membuka pintu kamar. Kemudian, Austin pun melangkah berniat meninggalkan Mutiara.
"Austin! Kamu lolos. Aku mau nikah sama kamu!" teriak mutiara yang sigap membuat langkah kaki Austin terhenti. Ia langsung berbalik arah dan bisa melihat Mutiara yang sudah mengenakan cardigan untuk menutupi pakaian kekurangan bahan tadi.
"Maksud kamu apa? Jadi yang tadi itu cuma buat ngetes aku?" tanya Austin tak percaya. Sementara Mutiara menganggukkan kepala disertai senyum manis yang terukir di bibir merahnya.
"Iya. Tadinya kamu bakal gagal kalo tergoda. Tapi ternyata nggak. Karena aku yakin yang cinta nggak akan ngerusak ceweknya sendiri saat belum nikah. Meskipun aku janda, kamu tetap menghargai aku. Aku salut sama kamu. Dan jujur, belakangan ini kamu udah sukses bikin aku jatuh cinta," jelas Mutiara yang membuat senyum Austin semakin merekah.
"Dasar kamu!" gemasnya sambil mengusap puncak hidung Mutiara. Mereka pun saling berpelukan dengan senyum menghiasi bibir. Namun, pelukan itu tidak berlangsung lama karena Austin segera mengurainya. "Udah malam. Aku pulang dulu ya. Besok pagi aku jemput kamu."
"Emang nggak nganter Bobby?"
"Papa sama Mamanya keenakan selama aku yang nganter-jemput anaknya," sahut Austin bergurau.
"Tapi emangnya kamu nggak ngerasa malu punya calon istri janda dan lebih tua kayak aku?"
"Kenapa harus malu? Kamu cantik gini kok. Lagian, pasti banyak yang iri karena kamu akhirnya milih aku."
"Bisa aja kamu."
"Ya udah. Aku pulang dulu ya. Bye, Sayang. I love you..."
"I love you too."
Betapa bahagianya menjadi Austin yang tak sia-sia berjuang beberapa bulan ini.
***
The end
31-07-2022
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
