Nirwana (Prolog/Part 1)

13
0
Deskripsi

Sinopsis

Nirwana Anjana telah jatuh hati untuk pertama kalinya dengan seorang lelaki berwajah bagus rupawan bernama Angkasa Arkananta Prabaswara yang usianya jauh di atasnya memiliki sifat dingin seperti kutub es. Bahkan lelaki itu adalah seorang Juragan muda dari keluarga ningrat terpandang di desa tempat tinggalnya.

Namun, meski banyak perbedaan tidak membuat Nirwana menyerah, gadis itu ingin merebut perhatian Juragan Angkasa untuk sedikit saja melihat dirinya. 

Akankah perjuangan Nirwana berhasil...

Nirwana adalah karya terbaru saya. Atas dukungan terhadap cerita ini membuat saya semangat menyelesaikannya. tq ^^

Happy reading! 29.11.2024

 

Prolog

 

Air mata Nirwana telah merada, menatap sosok lelaki yang kini telah mengendongnya, membawanya ke dalam kereta kuda.

Rintik hujan yang semakin lebat mengiringi perjalanan kereta kuda yang dipacu seorang abdi dalem yang duduk di depan, sementara di dalam kereta Nirwana tenggelam dalam keheningan berduaan dengan lelaki yang telah menolongnya dari kemalangan.

Keadaan Nirwana sungguh berantakan, ikatan rambutnya terlepas serta penuh luka-luka di tubuhnya. Hingga

Tangan lelaki itu terulur ingin menyentuh kebaya dibagian depan Nirwana yang telah robek. Seketika Niwana menahan pergelangan lelaki itu.

"Juragan Angkasa..." Tatapan keduanya bertemu, dengan debaran jantung yang tidak menentu.

"Tenanglah, aku hanya ingin melihat lukamu." Nirwana pun membiarkan jemari tangan Juragan Angkasa bergerak menyentuh permukaan dadanya yang terluka—terasa perih ketika ditekan untuk menghentikan pendarahannya.

Terdengar Nirwana kembali terisak, Juragan Angkasa pun lantas menangkup pipi gadis itu.

"Aku tahu bukan sakit karena luka ditubuhmu yang kamu tangisi, lalu katakan di mana mereka menyentuhmu?"

Nirwana tercekat, manik matanya semakin kebas dan lidahnya terasa kelu untuk menjawab hingga Juragan Angkasa perlahan merunduk mencium bibir Nirwana.

"Ya... aku akan hapus jejak mereka dari tubuhmu, Ndhuk," bisik Juragan Angkasa.


 

Part 1 Nirwana

 

Berparas ayu memiliki kulit kuning langsat dengan rambut panjang yang sering dikepangnya menjadi dua bagian. Gadis belia baru menginjak usia 17 tahun itu bernama Nirwana Anjana yang tinggal bersama Biyung dan pakliknya di sebuah desa yang sangat makmur dan indah.

Pagi ini usai membersihkan diri Nirwana menyambut hari dengan penuh semangat, sebentar lagi ia akan turun ke kebun membantu Paklik Kuswan bertani di sana.

Sebelumnya Nirwana menyapu halaman depan rumahnya dan berberes di dapur. Gadis itu mengambil bubur dari panci yang dimuat ke dalam mangkuk. Nirwana membawanya ke belakang rumah yang terdapat bilik terpisah hanya berukuran kecil cukup dihuni satu orang.

Nirwana membuka pintunya, senyumnya terukir menghampiri seorang perempuan paruh baya yang baru bangun dari tidurnya.

"Sugeng enjing, Biyung. Nirwana bawakan bubur untuk Biyung." Nirwana duduk di tepi dipan memberikan semangkuk bubur pada perempuan paruh baya itu yang menyambutnya dan mulai melahap bubur itu. 

Perempuan paruh baya yang dipanggil Biyung itu bernama Kinnas, perempuan yang telah melahirkan Nirwana ke dunia dan Nirwana sangatlah menyayangi beliau meski dalam keterbatasan.

Nirwana senang sarapan yang diberikannya telah dihabiskan, setelahnya Nirwana mulai membersihkan tubuh biyungnya dengan kain basah. Ketika sapuan kain itu berhenti di pergelangan kaki biyungnya yang terpasung dengan kayu apit, manik mata Nirwana mulai kebas. Ya, sejak Nirwana terlahir biyungnya menghabiskan waktu terkurung di bilik ini. Bukan... bukan Paklik Kuswan atau dirinya melakukan dan menginginkan pasungan itu membelit kedua kaki biyungnya, melainkan seluruh warga desa yang menganggap biyungnya gila.

Nirwana dan Paklik Kuswan tidak bisa berbuat apa pun, hingga sampai detik ini Nirwana terus berusaha meminta keadilan. Namun, tidak ada seorang pun mendengarkan permohonannya. Dari kepala desa, aparat setempat bahkan orang paling terpandang di desa ini—keluarga Prabaswara satu pun tidak berkutik membantu kesengsaraan biyungnya.

Ingin sekali Nirwana melepaskan pasungan itu. Namun, Nirwana takut menanggung konsekuensi menerima amukan dari para warga yang bisa semakin menyengsarakan keluarganya. Untuk pergi dari desa ini pun mereka tidak punya tujuan jelas, Nirwana hanya bisa bersabar menunggu keadilan itu datang.

Meski biyungnya terpasung Nirwana sebisa mungkin membuat biyungnya bersih dan terawat. Nirwana juga rutin mengganti pakaian biyungnya agar selalu merasa nyaman.

"Nirwana turun ke kebun dulu ya Biyung bantu Paklik yang sudah di sana." Nirwana mengecup pucuk kepala biyungnya dengan berat hati ia keluar dari bilik menutup pintunya. Sebelumnya Nirwana telah meninggalkan makanan tertutup dengan tudung saji yang ia letakan di atas meja di samping dipan untuk makan siang biyungnya meski kadang makanan itu tidak tersentuh karena biyungnya mau makan bila Nirwana berada di samping beliau.

Menyusuri tepi jalan yang sudah ramai lalu lalang para pejalan kaki. Nirwana menyapa ramah ketika berpapasan dengan para warga yang ingin memulai aktivitasnya.Tanggapan mereka beragam ada yang berkenan membalas sapaannya dan ada yang membuang muka darinya. Hal itu sudah terbiasa bagi Nirwana. karena sebagian dari para warga memang tidak menyenangi dirinya.

Ya, Nirwana dianggap anak haram yang terlahir dari rahim perempuan yang dituduh menjual harga dirinya. Tidak jarang Nirwana mendapatkan cibiran dari gadis seusianya yan menyebutnya anak seorang gundik gila.

Nirwana hanya bisa mengelus dada, ia tidak pernah menunjukkan kesedihannya pada semua orang, pembawaannya selalu ceria meski menyimpan luka karena ia tidak ingin Paklik Kuswan yang telah merawatnya ikut bersedih karena dirinya.

Sampailah Nirwana di kebun. Lahan yang tidak terlalu luas menjadi mata pencaharian Nirwana dengan Paklik Kuswan. Lahan ini pun atas kebaikan keluarga Prabaswara yang mengizinkan untuk Paklik Kuswan menanam tanaman berbagai jenis tanpa meminta timbal balik.

Nirwana dan Paklik Kuswan hanya bekerja berdua tanpa bantuan siapa pun. Mereka tidak bisa memberikan upah lebih pada tenaga yang lain untuk mengelola perkebunan ini. Lagian Selama ini mereka masih sanggup tanpa kendala mengurus perkebunan ini.

Banyak tanaman mereka budidayakan, dari singkong, kacang-kacangan, labu, cabe, buah pepaya, pisang serta sayur mayur. Kebetulan hari ini waktunya panen, di dalam dua buah keranjang besar sudah penuh dengan hasil perkebunan yang dipetik Paklik Kuswan.

"Paklik, sini Nirwana bantu."

"Monggo Ndhuk."

Nirwana pun memakai topi caping dan sarung tangan mulai memetik beberapa cabe yang siap panen, di sela keasikan bekerja terdengar suara batuk dari Paklik Kuswan yang sedang mengangkat keranjang. 

Nirwana pun lekas mendekat membantu membawa keranjang itu ke gubuk kecil menjadi tempat peristirahatan.

"Paklik sakit?" tanya Nirwana memperhatikan wajah Paklik Kuswan yang pucat. Bertambahnya usia Paklik Kuswan sering sakit-sakitan, bahkan pernah beliau batuk berdarah.

"Hanya kurang enak badan, Ndhuk."

"Lebih baik Paklik balik saja istirahat di rumah biar Nirwana yang selesaikan panennya dan mengurus penjualan pada tengkulak."

"Paklik harus ke rumah keluarga Prabaswara memberikan sebagian hasil panen ini, bagaimana pun lahan ini milik mereka maka sudah sepatutnya kita memberikan balas jasa."

Sifat Paklik Kuswan memang tidak ingin terlalu banyak berhutang budi padahal setahu Nirwana Paklik Kuswan mengenal dekat dengan Juragan Dananjaya Prabaswara, bahkan keluarga itu tidak meminta apapun dari hasil perkebunan. Namun, tetap saja di setiap panen tiba Paklik Kuswan selalu memberikan sebagian hasil panen dan membawanya sendiri ke rumah keluarga Prabaswara.

"Kalau begitu biar Nirwana saja yang antarkan Paklik."

Untuk pertama kalinya Nirwana menawarkan diri. Ia memang tidak pernah menginjakkan kaki ke rumah keluarga itu setelah surat yang dikirim pada Juragan Dananjaya Prabaswara tentang keadaan biyungnya tidak pernah berbalas.

"Apa kamu bisa Ndhuk?"

"Loh bisa toh, Nirwana kan sudah 17 tahun serahkan saja pada Nirwana."

"Yowes lah, Paklik pisahkan dulu hasil panennya yang mana harus kamu bawa untuk diberikan pada keluarga Prabaswara."

Setelah memilih dan memisahkan Paklik Kuswan pun menyerahkan bakul berukuran sedang yang memuat ubi, kacang-kacangan serta beberapa buah pepaya dan pisang untuk diberikan pada keluarga Prabaswara. Nirwana pun berpamitan mulai membawa keranjang itu menyusuri jalan.

Di pertengahan jalan Nirwana berpapasan dengan tiga gadis seusia dengannya. Nirwana pun hanya tertunduk tanpa menyapa karena perbedaan kasta membuat Nirwana tidak pernah berkawan akrab dengan mereka. Lihatlah para gadis itu mengenakan kebaya bagus dan jariknya, tataan rambut mereka pun sangat rapi yang hanya membawa beberapa buku, tidak seperti Nirwana dengan pakaian lusuh malah membawa keranjang sayuran. Para gadis itu bukan akan turun ke ladang atau kebun melainkan pergi ke rumah pintar untuk menempuh pendidikan. Berbeda dengan Nirwana yang tidak pernah bersekolah. Namun, untungnya Nirwana masih bisa baca tulis dan sedikit bisa berhitung diajari Paklik Kuswan.

"Eh,eh... ada putri gundik gila." 

Langkah Nirwana tertahan ketika para gadis itu melintasinya, mendengar para gadis itu saling berbisik sembari menunjuk ke arah Nirwana.

Nirwana pun menoleh melototkan matanya hingga para gadis itu pun segera mengambil langkah seribu.

"Ayo kabur, nanti anak haram dari gundik gila itu ngamuk!"

Rasanya sangat panas di hati Nirwana, ingin sekali mengejar para gadis nakal itu lalu menampar mulut lancang mereka. Nirwana memang dikenal pemberani sudah berapa banyak para gadis di desa ini menjadi mangsa kebrutalannya dari jambakan dan mulut mereka yang kena sumpalan karena berani menghina tentang biyungnya. 

"Awas kalian," desis Nirwana. 

Nirwana tidak akan marah kalau hanya dirinya yang dihina. Namun, bila menyangkut tentang biyungnya ia tidak akan biarkan itu terjadi.

Nirwana mengelus dadanya untuk menahan diri, kembali ia meneruskan langkah hingga tibalah Nirwana di depan pintu gerbang rumah keluarga Prabaswara. 

"Sampeyan ini siapa, dan ada keperluan apa?" tanya seseorang lelaki paruh baya dari dalam gerbang menghampiri Nirwana.

"Nuwun sewu, saya Nirwana keponakan Paklik Kuswan datang ke sini untuk memberikan hasil panen kebun."

Tanpa bertanya lagi memang sudah menjadi kebiasaan Paklik Kuswan dalam berapa bulan akan datang memberikan hasil panen maka pintu gerbang pun dibukakan.

"Masuklah."

Nirwana melangkah masuk mengamati sekeliling halaman yang luas serta bangunan kokoh dari rumah yang begitu megah dan besar—satu-satunya di desa ini.

Langkah Nirwana tertahan dan kebingungan berdiri di depan pelataran mempehatikankan pintu yang tertutup rapat. Lalu ke mana ia harus memberikan hasil panen ini karena tidak ada siapa pun mengambilnya. Bahkan lelaki paruh baya di depan gerbang tadi memintanya masuk saja.

Hingga Nirwana tercekat pada pintu rumah yang terbuka. Seorang lelaki berwajah bagus berpenampilan bangsawan keluar dari dalam rumah diiringi seorang abdi dalem.

Lelaki itu tidak melihat ke arah Nirwana yang masih tenggelam memperhatikan.

Ya Gusti apakah lelaki itu seorang dewa? Lihatlah dia begitu sempurna. Tinggi, dengan rambut hitam yang tersisir rapi dan kulitnya begitu bersih, kalau diperhatikan bukan seperti lelaki pribumi. Namun, juga bukan lelaki londo. Akan tetapi, di balik wajah bagus lelaki itu terkesan dingin dan misterius.

Ketika tatapan lelaki itu tertuju padanya sontak membuat wajah Nirwana memerah. Kening lelaki itu mengerut meneliti dengan kehadiran Nirwana.

"Siapa kamu, bocah kecil?"


 

Tbc

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
NirwanaRomance
Selanjutnya Nirwana (Part 2)
16
0
Part 2 Rasa Mengagumi
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan