
Hati Ruby terombang ambing dalam mahligai pernikahannya bersama Kaynen Malik usai kehadiran Kakak iparnya Barra Volker yang tinggal di rumahnya.
Barra Volker— lelaki itu menyimpan sejuta pesona yang perlahan meluluh lantakan pertahanan dirinya.
Akankah Ruby tenggelam dalam dasar perasaannya sendiri mempertaruhkan harga dirinya sebagai seorang istri yang setia.
Blurb
Angin sore menerpa rerumputan yang begoyang di tanah pemakaman yang ramai dengan para pelayat yang mengantarkan jasad seseorang ke peristirahatan terakhirnya.
Seorang gadis kecil berusia 6 tahun beranjak menjauh dari keramaian itu usai peti jasad dimasukan ke dalam liang lahat. Gadis kecil itu duduk di bawah pepohonan menengkuk kedua kakinya lalu menyembunyikan wajahnya yang muram.
Hingga langkah kaki mendekat mengalihkan perhatiannya. Wajah gadis kecil itu menatap tepat pada bocah lelaki yang beberapa tahun lebih tua darinya, mengenakan stelan pakaian warna hitam seraya mengulurkan tangan padanya.
Tatapan gadis kecil itu mengarah pada permen di telapak tangan bocah lelaki itu.
"Untukmu, Ruby."
Kening gadis kecil itu mengerut, ternyata bocah lelaki ini mengenal namanya tapi ia sama sekali tidak mengenal bocah lelaki ini.
"Ambillah. Agar kamu tidak sedih lagi."
Ragu sesaat. Namun tangan kecilnya terulur mengambil peremen dari telapak tangan bocah lelaki itu yang tersenyum kemudian berbalik melangkah menghampiri lelaki dan wanita dewasa yang menunggunya lalu pergi usai pemakaman telah selesai.
~ Forbidden Love ~
Part 1
'Hanya satu cara yang bisa menyelamatkan perusahaan keluarga kita, dengan pernikahan... Tante mohon ini demi mendiang orang tuamu juga Ruby."
Ruby Hilary menatap pantulan dirinya di cermin mengenakan gaun pengantin broken white yang sangat simpel tanpa dihiasi payet, dengan modelnya yang memanjang menyentuh lantai membungkus indah tubuh langsingnya, terkesan sangat angun sekali. Rambut hitam panjangnya tersanggul rapi dengan mahkota kecil di atas kepalanya serta veil trasparan terlihat seperti tuan putri yang seharusnya paling bahagia di hari ini. Namun ia sama sekali tidak merasakan apa pun. 'Hampa dan kosong,' hanya suara detak jarum jam yang terasa menakutkan untuknya karena beberapa menit lagi pemberkatan pernikahannya akan dimulai.
'Ya Tuhan...' Ruby memejamkan matanya menahan air matanya untuk tidak tumpah kesekian kalinya. Pernikahan ini memang ia setujui. Namun karena keterpaksaan. Perusahaan keluarga Hilary berada di ujung tanduk usai sepupunya Savian—putra dari Tante Elena di penjara karena kasus penipuan dan Narkoba.
Meski perusahaan dulunya adalah milik kedua orang tua Ruby. Namun sejak meninggalnya mereka perusahaan dipercayakan pada Om Garren lalu berpindah pada Savian sejak Om Garren sakit-sakitan. Sedangkan Ruby tidak sedikit pun diberikan kesempatan memegang perusahaan. Tante Elena tidak pernah berkenan mempercayakan pada Ruby karena ia dianggap seorang wanita yang tidak bisa berbisnis.
Tidak hanya Tante memandangnya sebelah mata. Namun juga seluruh kolega bisnis mengenal keluarga Hilary. Ia seperti pihak tidak berguna di keluarga ini dan ia tak bisa berkeluh kesah, hanya memendam apa yang ia rasakan selama ini.
Hingga perusahaan hampir bangkrut pun semua orang menyalahkannya, padahal Ruby tak berbuat apa pun— hampir membuatnya frustasi yang akhirnya menerima saran dari tantenya untuk menikah dengan putra dari keluarga Volker yang hampir 70 persen membeli saham perusahaan keluarga mereka.
Ruby tidak bisa menolak. Meski berat hatinya mengorbankan hidupnya untuk sebuah pernikahan tanpa dilandansi cinta. Namun sekali saja— ia ingin berguna di mata keluarga dan semua orang, bahwa ialah penyelamat perusahaan Hilary dari kebangkrutan.
Kaynen Malik Volker— lelaki itu lah calon suami Ruby seorang lelaki hangat dan ramah. Sejak pertama kali Ruby diperkenalkan pada acara makan malam Ruby bisa menilai Kaynen lelaki yang baik, tapi sama sekali tidak mengetarkan hatinya.
Ruby hanya berharap keputusan ini tepat dan tidak sia-sia dari sebuah pengorbanan agar mending kedua orang tuanya melihat di atas sana— Ruby bisa berguna.
Ketukan di pintu membuka kelopak mata Ruby memperlihatkan netra yang indah berwarna coklat terang. Ia menoleh pada Tante Elena yang melangkah menghampirinya.
"Sudah saatnya kita ke gereja sayang," kata Tante Elena merangkul tangan Ruby mengajaknya keluar dari kamar.
"Kamu sangat cantik sekali, pasti Tuan Kaynen terpesona dengan kecantikanmu," puji Tante Elena yang hanya ditanggapi Ruby dengan dingin.
Mereka sudah menuruni teras menuju mobil pengantin yang pintunya dibukakan oleh supir untuk Ruby masuk ke dalam. Setelahnya Elena masuk duduk di samping Ruby dan mobil mulai berjalan diiringi mobil lainnya di belakang.
"Om tidak ke gereja?" tanya Ruby menatap tantenya.
"Dia sudah di sana sayang menunggu kita," sahut Elena tersenyum.
Ruby terdiam, ia tertunduk memainkan jemarinya, jarak antara rumah dan gereja tidak jauh, hanya menempuh perjalanan 15 menit mobil pengantin telah tiba di halaman gereja.
Ruby telah keluar dari mobil disambut Om Garren yang akan mengantarkannya ke altar pernikahan. Beliau berdiri disisi Ruby melangkah menuju altar di mana Kaynen sudah menunggu.
Kaynen menyambut tangan Ruby saat Om Garren memberikannya pada lelaki itu. Nampak manik mata Om Gareen berkaca-kaca seraya berbisik di telinga Ruby.
"Berbahagia lah Nak." Ruby hanya membalas anggukan tepat genggaman tangan lelak tua itu terlepas dan berganti gengaman dari lelaki yang akan menikahinya.
Keduanya menghadap pastur yang memberikan pemberkatan pernikahan, mengucap janji suci untuk setia hingga maut memisahkan. Kemudian cincin disematkan di jemari manis Ruby begitu pun sebaliknya. Kaynen membuka penutup kepala Ruby ingin mendaratkan ciuman di bibir wanita yang telah berstatus istrinya. Namun Ruby malah merunduk hingga ciuman mendarat di keningnya.
Tepuk tangan membahana mengisi ruang gereja. Ruby merasa asing saat matanya menyapu para tamu undangan yang memberikan doa restu. Tatapan Ruby jatuh dan terhenti pada sosok lelaki berada di tengah tamu undangan. Lelaki itu sangat berbeda dari para tamu undangan yang berhadir— terkesan misterius, dingin dan.... Saat para tamu berdiri lelaki itu seketika beranjak keluar dari gereja.
"Apakah dia tidak datang?" gumam Kaynen bisa di dengar Ruby yang mengalihkan perhatian pada lelaki itu.
"Kakakku Barra tapi sebaiknya kita langsung menuju pesta pernikahan, mungkin kakakku sudah di sana," kata Kaynen meraih tangan Ruby mengajaknya meninggalkan altar gereja yang diantar para tamu undangan.
Di depan pintu gereja kepergian mereka ditaburi bunga dan balon yang dilepas ke langit tinggi. Kaynen dan Ruby kini berada di dalam mobil yang di setir lelaki itu sendiri meninggalkan kawasan gereja menuju hotel bintang 5 yang akan menjadi perayaan pesta pernikahan mereka. Meski Ruby tidak bersemangat sama sekali. Namun ia berupaya memasang wajah cerianya dan ia harus berlakon sebaik mungkin hingga semua orang percaya ia bahagia dengan pernikahannya.
***
'Maaf aku tidak bisa menghadiri pesta. Aku pergi saat selesai pemberkatan pernikahan. Semoga kamu berbahagia.'
Kaynen membaca pesan masuk yang dikirimkan kakaknya ke nomor ponselnya. Tentu ia kecewa karena di hari pernikahannya pun kakaknya hanya menyempatkan waktu sangat singkat tanpa bisa Kaynen memperkenalkan pada wanita yang telah menjadi istrinya.
Kaynen menyimpan kembali ponselnya ke saku celana, ia keluar dari kamar mandi menatap wanita yang kini duduk di kursi menghadap meja rias.
Ya beberapa saat lalu pesta sudah berakhir dan Kaynen mengajak Ruby pulang ke rumahnya— lebih tepatnya rumah mereka karena Ruby sudah sah menajdi istrinya maka apa pun miliknya adalah milik Ruby.
Kaynen masih berdiri di ambang pintu kamar mandi menyandarkan lengannya seraya bersedekap, memandangi wanita itu yang sibuk melepaskan mahkota dari atas kepalanya.
Di mata Kaynen— Ruby wanita yang kecantikannya begitu sempurna. Awalnya ia tidak begitu tertarik dengan tawaran perjodohan yang digagas Nyonya Elena. Namun sejak malam pertemuan itu Kaynen sangat tertarik pada Ruby. Wajah cantik yang terkesan datar, mata indah berwatna kecoklatan dan bibir memerahnya menjadi daya tarik memikat hatinya. Ruby berbeda dari kebanyakan wanita yang dikenalnya. Hanya Ruby yang tak menunjukan kekaguman atau ketertarikan padanya. Namun Kaynen bahagia akhirnya ia mampu menaklukan wanita ini yang telah menjadi miliknya dalam pernikahan.
Ruby baru menyadari perhatian Kaynen tertuju padanya dari pantulan cermin. Ia meletakan mahkota itu di atas meja lalu beranjak dari kursinya.
Kaynen mendekat membuat Ruby kembali menatap lelaki itu dari balik cermin. Kini Kaynen sudah berdiri di belakangnya membuat tubuh Ruby menegang.
"Mau aku bantu?" bisik Kaynen di telinga Ruby yang membuat bulu kuduk wanita itu meremang.
"Apa?"
"Melepaskan gaunmu," bisik Kaynen serak berhasil meronakan wajah cantik itu. Mata Kaynen melirik pada cermin yang memantulkan Ruby dan dirinya. Lihatlah wanita ini begitu kaku, lalu apakah sebelumnya Ruby tidak pernah sedekat ini dengan lelaki hingga wajah cantik itu merona.
"Aku..."
" Ya kenapa Ruby, biarkan aku melakukannya," bisik Kaynen sengaja memancing hasrat gairah dalam diri Ruby. Jemarinya bergerak menyentuh ujung risleting gaun, perlahan menurunkan hingga memperlihatkan punggung putih bersihnya. Namun seketika tertahan saat Ruby memberi jarak. Wanita itu memutar tubuhnya seraya menyilangkan kedua tangan di depan dada.
"Aku... bisa sendiri," kata Ruby sembari berlari kecil masuk ke dalam kamar mandi.
Sikap Ruby yang menolaknya dengan wajah malu-malu tidak membuat Kaynen marah atau kecewa, malah sebaliknya bukankah Ruby terlihat sangat menggemaskan.
Part 2
Sudah sepekan sejak pernikahan hanya sehari kebersamaan Ruby dan Kaynen karena lelaki itu diharuskan berangkat ke luar kota demi urusan bisnis dan sampai detik ini belum kembali. Hanya pesan singkat yang diterima Ruby dari ponselnya memberitahukan kabar lelaki itu kemungkinan dua atau tiga hari lagi akan pulang.
Usai pernikahan mereka pun tidak melakukan perjalanan bulan madu, karena kesibukan Kaynen yang sangat padat. Hal itu sama sekali tidak membuat Ruby kecewa, malah ia bersyukur kebersamaannya dengan Kaynen hanya sedikit bahkan mereka belum melewatkan malam pertama sebagai suami istri.
Ya karena Ruby belumlah siap, dan Ruby bersyukur Kaynen tidak memaksanya, saat malam itu berusaha membantunya melepaskan gaun pengantinnya— setelahnya Kaynen memilih tidur tanpa menyentuh Ruby.
"Apa dipajang di sini saja Nyonya?" tanya seorang lelaki paruh baya membawa pigura besar yang masih bersampul kertas coklat.
"Ya Paman Arwan," jawab Ruby menyebut nama lelaki itu. Paman Arwan adalah tukang kebun yang membantu mengurus rumah ini. Tidak hanya Paman Arwan yang diperkerjaan, seorang wanita paruh baya bernama Bibi Rumi juga telah lama melayani rumah ini dari memasak dan membersihkan rumah. Namun Bibi Rumi hanya tidak bermalam, beliau akan datang di pagi dan pulang di sore hari. Kedua pelayan ini sebelumnya sudah bekerja mengabdi pada keluarga Volker.
Paman Arwan merobek kertas yang menutupi pigura memperlihatkan potret foto pernikahan Ruby mengenakan gaun pengantin bersama Kaynen. Kini foto itu telah terpajang di dinding ruang tamu.
"Wah Nyonya sangat serasi bersanding dengan Tuan."
Ruby hanya terdiam atas pujian Paman Arwan, lantas berlalu meninggalkan ruang tamu menuju lantai atas.
Saat Ruby melangkah ingin ke kamarnya kakinya tertahan memperhatikan Bibi Rumi berada ruang kamar yang pintunya dibiarkan terbuka tepat di samping kamarnya. Sejak Ruby tinggal di rumah ini, baru pertama kalinya Ruby melihat seluruh ruangan kamar itu yang sama sekali tidak pernah dibuka, bahkan ke lantai tiga pun kaki Ruby belum menginjak sampai ke sana karena rumah ini yang terlampau luas, dengan bangunan kokoh bergaya klasik modern.
'Bukankah kamar itu memang kosong. ' Ruby melangkah berdiri di ambang pintu menyapu pandangannya pada sekeliling kamar yang luas. Harum cemara menguar di indra penciumannya, wangi yang sangat berbeda dari kamar lainnya. Nampak terlihat tempat tidur berukuran besar dan dilengkapi funiture yang pastinya berkualitas mahal.
Bibi Rumi baru menyadari kehadiran Ruby saat selesai menyapu lantai kamar itu.
"Nyonya."
"Bibi sedang apa?"
"Membersihkan kamar ini Nyonya, hanya sekedarnya saja biasanya petugas home cleaning service lah yang dipanggil sebulan sekali untuk membersihkan keseluruhan rumah ini."
"Kamar ini memang tidak ada yang menempati Bi?" tanya Ruby memasuki ruangan.
"Dulunya ada," jawab Bibi Rumi mengerutkan kening Ruby hingga tatapannya mengarah pada wanita paruh baya itu.
"Kamar ini ditempati Tuan Barra."
Barra, Nama itu sekilas pernah Ruby dengar dari Kaynen. Bukankah Barra adalah saudara tertua Kaynen.
"Lalu... di mana sekarang dia berada?" tanya Ruby mulai penasaran.
"Tuan Barra sudah lama tidak tinggal di rumah ini Nyonya setelah tidak lama meninggalnya Tuan Sean dan Nyonya Barnessa— kedua orang tua Tuan Barra dan Tuan Kaynen dalam kecelakaan tunggal."
Kali ini Ruby terdiam. Ia tak lagi bertanya saat menemukan raut kesedihan di wajah Bibi Rumi. Karena Bibi Rumi memang sangat mengenal keluarga ini sejak lama.
"Bibi berterima kasih pada Nyonya."
"Aku.... kenapa Bibi harus berterima kasih padaku? aku tidak melakukan apa pun."
"Karena kehadiran Nyonya memberi kehangatan di rumah ini lagi."
"Bibi berlebihan."
"Bibi mengatakan kenyataannya. Sejak Tuan Kaynen menikah dengan Nyonya saya bisa merasakan kebahagiaan luar biasa dari diri Tuan. Tuan seperti menemukan kehidupan baru kembali setelah ditinggal kedua orang tua dan juga Tuan Barra."
Ruby hanya tersenyum kaku, sembari menghela napasnya.
"Kalau begitu aku kembali ke kamar dulu Bi."
"Silakan Nyonya."
Ruby berbalik melangkah keluar dari ruangan itu menuju kamarnya. Ia duduk di tepi ranjang lalu tenggelam dalam lamunan kosongnya.
Tatapan Ruby teralihkan pada salah satu koper pakaian miliknya dari rumah tantenya yang belum dibukanya sampai hari ini. Ruby beranjak melangkah mengambil koper itu lalu membukanya. Ia tersenyum meraih beberapa buku novel kesayangannya yang sering menemani harinya.
Ruby membawa buku novel-novel itu menyimpannya ke dalam lemari meja nakas, dan salah satu ditinggalnya untuk dibacanya.
***
Mobil yang ditumpangi Kaynen telah berhenti di depan teras rumah. Seorang lelaki yang mengemudikan mobilnya telah keluar lalu membukakan pintu mobil untuknya.
"Sudah sampai Tuan."
"Hemm... Kamu bisa kembali Halton."
"Baik Tuan."
Halton adalah orang kepercayaan Kaynen yang mengurus segala hal pribadinya hingga perusahaan.
Kaynen keluar dari dalam mobil melangkah menaiki teras, ia masuk ke dalam rumah menaiki tangga menuju kamar.
Kini Kaynen sudah di depan pintu kamarnya, ia membuka pintunya menemukan tatapannya pada sosok wanita yang tertidur di atas ranjangnya.
Bukankah ini pemandangan indah baginya, dulu saat ia pulang dari kantor atau selepas bepergian hanya kekosongan yang ia temukan di setiap sudut rumah ini. Namun kehadiran Ruby mengubah segalanya. Rumah yang tadinya dingin menjadi hangat yang sangat Kaynen rindukan.
Kaynen melangkah memasuki kamar, ia duduk pelan di tepi ranjang tanpa membangunkan Ruby. Tangannya terulur merapikan rambut Ruby yang tergerai hingga menutupi wajah cantiknya.
'Sempurna,' Satu kata bergumam di hati Kaynen yang selalu mengagumi wanita ini. Bahkan Kayenn mengira ini sebagian dari mimpi indahnya ia bisa menikahi wanita ini.
Jemari Kaynen bergerak menyentuh permukaan kulit mulus wajah Ruby hingga membuka kelopak mata wanita itu yang seketika terkesiap mengambil posisi setengah duduk akan keberadaan Kaynan.
"Kamu..." Keterkejutan Ruby perlahan sirna saat menyadari Kaynen lah yang berada di kamar ini.
"Maaf membangunkanmu."
"Tidak... tidak apa-apa." Ruby membenarkan posisi duduknya. "Kamu bilang akan pulang dua atau tiga hari lagi," kata Ruby mengingat pesan yang dikirimkan Kaynen ke ponselnya.
"Hemm.. awalnya tapi pekerjaanku ternyata lebih cepat selesai dari perkiraan hingga aku memutuskan pulang lebih awal."
"Oh... Kamu ingin mandi dulu atau makan malam? aku... akan menyiapkan untukmu."
"Tidak perlu saat ini aku tidak ingin dua hal yang kamu tawarkan. Aku... lebih menginginkan berada di dekatmu."
Pupil mata Ruby melebar saat tubuhnya direngkuh Kaynen, lelaki itu semakin erat memeluknya dan menenggelamkan wajah di cekuk lehernya.
"Kaynen..." Rasanya napas Ruby sesak. Ia tak mampu bergerak. Bahkan tubuhnya kini meremang saat merasakan sapuan hangat dari lidah Kaynen di lehernya. Ya lelaki itu menghisap dan menijilat kulit Ruby begitu intensnya.
"Aku menginginkanmu," bisik Kaynen. Ciuman lelaki itu semakin ke bawah membuat Ruby membeku, rasanya akal warasnya terhenti meski hati kecilnya berteriak menolak sentuhan lelaki ini.
Tidak ini salah! Ruby belum siap sama sekali.
"Jangan!" Ruby histeris mendorong dada tegap Kaynen saat lelaki itu berusaha melepaskan kancing piyama tidurnya.
Wajah Kaynen nampak jelas sangat kecewa mengerutkan keningnya menatap Ruby lekat.
"Maaf.. aku..." ucapan Ruby tersendat, ia merunduk mengenggam erat ujung piyama yang ia kenakan.
"Tidak apa, aku mengerti. Aku yang seharusnya minta maaf," bisik Kaynen seraya berlalu menjauh dari Ruby.
Tbc
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
