
Blurb:
Siapa yang gak tau tentang Remedial? Pasti sebagian dari kita semua pernah melakukan Remedial semasa sekolah?
Bagi Arimbi, remedial bukanlah hal yang asing untuknya. Sudah berulang kali ia melakukan remedial saat duduk di bangku sekolah. Bahkan, sampai ia memasuki bangku perkuliahan, masih saja ia melakukannya. Itu semua dikarenakan kelemotannya dalam menerima materi pembelajaran.
Genta, seorang dosen tidak tetap yang mengajar di salah satu Universitas Swasta di kota Surabaya. Menjadi dosen...
Bab 3
Kelas telah usai, Arimbi buru-buru memberekan buku dan laptop miliknya yang ada di atas meja dan memasukkannya ke dalam tas.
"Banyak mahasiswi jadi pada genit gitu ngelihatin Pak Genta," ucap Yogi saat suasana kelas sudah mulai sepi. Banyak mahasiswa yang sudah meninggalkan kelas.
"Ya biar aja dong. Tampang kayak Pak Genta memang bisa jadi motivasi kita buat makin rajin belajar. Kalo kalah ganteng jangan sirik gitu dong, Gi," goda Sonya.
"Dasar genit," sahut Yogi. "Kayak Arimbi dong, lihat Pak Genta woles aja. Kayaknya dia doang nih yang gak kayak cacing kepanasan ngelihatin dosen baru."
"Kamu beneran cewek kan Ar? Jangan-jangan kamu suka lagi sama aku?" tanya Sonya sok drama.
"Ngomong apaan sih, ngaco banget!"
"Muka boleh cantik kayak bule, tapi kalo sukanya sama yang cantik juga buat apa Ar?"
"Aku masih normal Sonya. Gak usah ngomong aneh-aneh. Nanti orang malah kira aku lesbi beneran," sahut Arimbi kesal.
Sonya dan Yogi hanya tertawa melihat kekesalan Arimbi.
"Ar, mau belajar bareng gak nanti malem?" tanya Sonya saat mereka berjalan ke luar kelas bersama.
"Boleh. Kamu aja yang nginep di rumahku. Tau sendiri Mamaku agak susah kalo aku yang nginep rumah temen. Paling cuma temen yang boleh nginep ke rumah," sahut Arimbi.
"Belajar buat apa sih?" tanya Yogi menimpali.
"Buat remedlah, apalagi coba?" tanya Sonya sinis.
"Yang gak ikutan remed diem aja deh," sahut Arimbi.
"Yaudah nanti malem aku kabari ya kalo otw ke rumahmu," ucap Sonya.
"Kalian habis ini mau kemana?" tanya Yogi saat mereka sudah dekat dengan area depan fakultas ekonomi.
"Mau pulang. Mau bobok di kos. Nanti malem mau belajar sama Arimbi," jawab Sonya. "Sekalian ngecengin Bang Praba di rumah Arimbi. Siapa tau bisa aku goda-godain. Sekalian mau modus minta diajarin sama Bang Praba," lanjutnya dengan genit.
"Dasar pelakor, Abangku udah punya pacar tau," sahut Arimbi.
"Prinsip Sonya selama janur kuning belum melengkung, masih halal buat ditikung," ucap Yogi terkekeh.
"Kalo udah melengkung, tinggal dilurusin lagi aja. Bisa dicatok nanti biar balik lurus," ucap Sonya.
"Dasar sinting!" seru Arimbi.
Mereka berpisah di parkiran. Sonya berjalan menuju kosnya, sedangkan Arimbi dan Yogi mengambil motor mereka di parkiran.
Sesampainya di rumah, Arimbi memilih segera mengerjakan tugas. Arimbi memang bukan cewek yang pintar. Tapi sebisa mungkin ia selalu rajin mengerjakan tugas. Karena banyak dosen yang mendongkrak nilai akhir mahasiswa dari nilai tugas harian. Jika mengerjakan tugas seperti ini, ia jadi mengingat Prabakesa yang suka membantunya belajar.
Kadang ia heran, dirinya dan Prabakesa memiliki kepribadian yang sangat berbeda. Jangankan kepribadian, secara fisik mereka sangat berbeda. Pernah suatu hari ia bertanya ke orang tuanya mengenai jati dirinya. Karena pernah terlintas dalam benaknya kalau dirinya merupakan anak angkat. Tapi ternyata dia beneran anak kandung Papa dan Mamanya. Wajahnya yang setengah bule didapat dari keluarga Mamanya yang masih memiliki keturunan Belanda. Kulit putih, mata bulat dan rambut keriting gantung. Banyak orang yang mengagumi kecantikan dirinya. Berbeda dengan dirinya, wajah Prabakesa justru sangat Indonesia sekali. Warna kulit sawo matang, rambut lurus dan wajahnya sangat jiplakan Papanya. Selain secara fisik berbeda, secara kecerdasan mereka juga sangat berbeda. Prabakesa selalu masuk sekolah favorit dan selalu mendapatkan rangking di setiap tahunnya. Berbeda dengan Arimbi yang selalu masuk sekolah swasta karena nilainya yang selalu ngepas. Sebagaimana pun kerasnya ia belajar, tetap saja tidak bisa menyaingi kepintaran Prabakesa. Untung saja Prabakesa selalu membantunya dalam urusan belajar. Walaupun saat mengajarinya, ada saja yang membuat jengkel Prabakesa karena kelemotannya. Saat ini, karena kesibukan Prabakesa di kantor, Prabakesa jadi tidak punya banyak waktu untuk mengajari dirinya lagi.
***
"Abang kok udah pulang?" tanya Arimbi heran. Ia melihat jam di atas TV masih menunjukkan pukul empat sore.
Prabakesa menjatuhkan dirinya di sofa sebelah Arimbi dan ikut mencomot keripik yang ada di pangkuan Arimbi. "Habis ada kerjaan di luar kantor. Bisa langsung balik," jawabnya.
Arimbi mengangguk mengerti kemudian fokus menonton film kembali.
"Ikut gue yuk Mbi!"
"Kemana?" tanya Arimbi tanpa mengalihkan pandangannya dari TV.
"Jalan-jalan ke mall sama Regita. Udah lama kan lo gak cuci mata di mall," jawab Prabakesa.
"Males ah, jadi nyamuk nanti," sahut Arimbi malas.
"Kalo lo di rumah sendirian, mau makan apa lo nanti malem? Mbok Jum hari ini lagi balik ke kampung. Papa sama Mama ada kondangan ke luar kota. Mending ikut gue daripada bengong kayak orang bego di rumah."
"Tapi nanti malem Sonya mau ke rumah."
"Gak bakal sampe malem juga Mbi. Paling sebelum jam tujuh juga udah balik."
Arimbi diam tampak berpikir sejenak. "Yaudah deh, aku siap-siap dulu." Setelah mengatakan itu, Arimbi mengembalikan toples kripik ke atas meja dan mematikan TV sebelum ke kamarnya.
***
"Kamu makin cantik deh Mbi. Lagi punya pacar ya?" tanya Regita saat mereka sudah berada di mobil menuju mall.
"Nggak kok Mbak. Aku kan emang dari dulu udah cantik," jawab Arimbi dengan senyum tertahan.
"Jangan dipuji gitu. Makin gede nanti kepalanya Mbi," sahut Prabakesa yang fokus dengan kemudinya.
Regita hanya tertawa pelan.
"Mbak kenapa lama gak main ke rumah sih?" ucap Arimbi yang memajukan duduknya agar dekat dengan Regita.
"Sibuk, Mbi. Banyak kerjaan di kantor. Jadi mau kemana-mana juga udah males," jawab Regita. "Kamu gimana kuliahnya? Lancar?" tanya Regita.
Arimbi mendengus pelan dan menyandarkan punggungnya pada kursi mobil. "Mbak sama aja kayak Abang. Nanya soal kuliah mulu," gerutunya.
Regita terkekeh pelan. "Jangan ngambek gitu. Nanti Mbak traktir belanja skincare deh," bujuknya.
Mendengar kata skincare membuat senyum Arimbi terkembang lebar. "Asyik! Makasih Mbak," ucapnya senang. "Abang gak pingin traktir juga gitu? Kebetulan aku pingin beli baju sama sepatu baru," lanjut Arimbi memandang Prabakesa.
"Ya nanti Abang beliin," sahut Prabakesa.
"Alhamdulillah rejeki anak solehah."
"Sejak kapan nama Mama berubah jadi solehah? Nama Mama kan Olin," ucap Prabakesa berusaha melawak tapi tidak ada satupun yang tertawa dari Regita dan juga Arimbi.
"Garing banget sih yang lawakannya," ucap Regita memukul lengan Prabakesa pelan.
"Biar garing kamu tetep sayang kan?" ucap Prabakesa menatap Regita dengan senyum menggoda.
"Jijik Bang!" seru Arimbi kesal melihat kelakuan Prabakesa.
"Yang jomlo diem aja!" sahut Prabakesa membuat Regita tertawa keras, sedangkan Arimbi mencebikkan bibirnya kesal.
***
Satu jam mereka sudah mengitari area mall. Sebelum memutuskan untuk mencari makan di food court, Regita mengajak untuk mampir sebentar ke gramedia.
"Cari buku apa Mbak?" tanya Arimbi yang sedang melihat Regita membaca blurb dari beberapa novel.
"Apa aja Mbi. Cari aja dulu yang bagus. Kalo lagi senggang bisa dibaca," jawab Regita memandamg Arimbi sekilas. Kemudian ia kembali membaca beberapa blurb novel yang ada di hadapannya. "Kamu kalo mau ambil novel juga boleh. Nanti Mbak bayarin."
"Nggak deh Mbak. Aku lebih suka baca komik daripada novel."
"Komik? Yaudah kalo gitu ambil aja."
"Sudah punya Mbak yang volume terbarunya."
"Komik apa emang?"
"Detektif conan," jawab Arimbi dengan cengiran lebar.
Prabakesa berjalan menghampiri mereka yang sedang berada di rak novel. "Udah belum yang?" tanya Prabakesa pada Regita.
"Udah," jawab Regita membawa dua novel di tangannyam "Kamu jadi cari alat tulis?" Regita balik bertanya.
Prabakesa menunjukkan beberapa bolpoin dan kertas yang ada di tangannya sebagai jawaban. "Yaudah kita bayar deh. Aku udah laper."
Arimbi memilih menunggu di luar gramedia saat Regita dan Prabakesa membayar barang belanjaan mereka. Tadi sebelum berangkat ke mall, ia mengabari Sonya untuk tidak terlalu cepat datang ke rumahnya. Sekarang jam menunjukkan pukul setengah enam sore dan setelah ini mereka berencana mencari makan sebelum pulang.
"Kita cari makan dulu yuk!" ajak Regita yang mendadak sudah berdiri di sampingnya.
"Lho Genta," sapa Prabakesa saat mereka baru saja akan berjalan meninggalkan gramedia.
Genta, dan seorang perempuan yang berjalan di sampingnya segera menghampiri Prabakesa. Saat itu, Arimbi ingin menghilang saja rasanya.
"Lho ada Agni juga," ucap Regita. "Kalian darimana?" tanyanya.
"Jalan-jalan aja. Sama sekalian ada barang yang perlu di beli," jawab Agni. "Ini Arimbi kan? Adikmu yang dulu sering kamu ceritain?" tanyanya memandang Arimbi yang dari tadi diam saja.
"Iya, ini Arimbi. Mbi kenalin ini Agni. Temen Abang, Regita sama Genta juga," ucap Prabakesa mulai memperkenalkan temannya.
Arimbi hanya tersenyum canggung dan membalas jabat tangan dari Agni. "Arimbi," ucapnya memperkenalkan diri.
"Cantik banget Adikmu," puji Agni.
"Jangan dipuji gitu, nanti terbang," sahut Prabakesa dengan nada gurau.
Lagi-lagi Arimbi hanya tersenyum canggung. Dia tidak suka berada di situasi seperti sekarang. Terlebih di bawah tatapan mata seseorang yang daritadi memandanginya dengan tajam.
"Kalian udah makan belum? Kalo belum makan bareng yuk!" ajak Regita tiba-tiba.
"Wah kebetulan. Aku sama Genta lagi mau cari makan. Kita gabung mereka aja kali ya?" tanya Agni meminta persetujuan dari Genta.
Genta hanya mengangguk singkat. "Boleh."
Arimbi pura-pura mengambil dan mengecek ponselnya yang berada di dalam tas. "Hmmm... Bang, aku kayaknya pulang duluan deh. Ini ternyata Sonya udah mau sampe ke rumah," ucap Arimbi berdusta.
"Lho kamu belum bilang Sonya kalo lagi di luar?" tanya Prabakesa heran.
"Kelupaan."
"Ya terus gimana?"
"Aku pulang naik taksi online aja. Nanti aku dibungkusin makannya aja. Atau aku bisa beli makan pake ojek online," jawab Arimbi meyakinkan.
Prabakesa memandang Arimbi penuh selidik. Setelah itu ia menghela napas pelan sebelum menjawab. "Yaudah kalo gitu, hati-hati pulangnya. Jangan lupa share location kamu ke Abang."
"Iya," jawab Arimbi singkat. Setelah berpamitan pada yang lain, Arimbi segera melesat meninggalkan Prabakesa dan teman-temannya.
***
Bab 4
Arimbi berjalan cepat meninggalkan Prabakesa dan teman-temannya. Rasanya asing harus berada diantara Prabakesa dan teman-temannya. Terlebih ia tidak begitu nyaman berada di situasi seperti barusan. Sampai dirasa posisinya sudah jauh, ia berjalan seperti biasa. Saat akan keluar dari mall, ia melihat seseorang yang ia kenal sedang mengantri salah satu minuman di dekat pintu masuk.
"Yogi!" panggil Arimbi saat sudah mendekati Yogi yang sedang mengantri.
"Lho, kok bisa di sini? Katanya mau belajar sama Sonya?" tanya Yogi kebingungan.
"Belajarnya nanti malem. Tadi habis diajak jalan sama Abang," jawab Arimbi.
"Terus sekarang Abangmu mana?" tanya Yogi heran saat melihat Arimbi sendirian.
"Lagi kumpul sama temennya. Gak enak kalo aku gabung. Kamu antri dulu deh, aku tunggu dipojokan situ." Setelah mengatakan itu, Arimbi berjalan menjauh dari antrian menuju pilar besar. Ia memilih menjauh dari antrean karena orang di belakang Yogi melihatnya dengan tatapan tidak menyenangkan. Mungkin orang tersebut mengira dirinya akan menyerobot antreannya. Ia mengeluarkan ponselnya untuk mengabari Sonya sembari menunggu Yogi selesai memesan minuman. Selain mengabari Sonya, Arimbi juga mengabari Prabakesa mengatakan bahwa akan pulang bersama dengan Yogi, karena tidak sengaja bertemu dengan Yogi saat akan pulang. Kadang Prabakesa mencurigai Arimbi memiliki hubungan spesial dengan Yogi lebih dari teman. Padahal mereka adalah teman yang sudah sangat dekat.
"Gimana-gimana? Kok bisa pisah dari Abangmu?" tanya Yogi sembari menyerahkan minuman green tea pada Arimbi.
"Thanks lho, padahal aku gak minta," ucap Arimbi. "Tadi ke sini bareng Abang sama pacarnya. Eh habis itu ketemu temen-temennya. Canggunglah kalo aku di sana. Mending pulang duluan," lanjut Arimbi sembari menyeruput minumannya.
"Udah makan belum? Cari makan yuk!" ajak Yogi tiba-tiba.
"Boleh. Jangan di food court ya. Cari makan di luar mall aja," jawab Arimbi.
Yogi mengerutkan dahinya bingung. "Kenapa?"
"Ya gak papa. Males aja makan di sini," jawab Arimbi beralasan. "Kita cari penyetan aja di luar," usulnya.
Setelah mengatakan itu Yogi setuju dan berjalan bersama Arimbi menuju parkiran mobil. Untung saja Yogi datang ke mall menggunakan mobil. Jika ia membawa motor, sudah pasti tidak ada helm untuk Arimbi.
***
"Aku gak bisa lama ya makannya," ucap Arimbi setelah mendapatkan tempat duduk di warung lesehan yang mereka pilih.
Akhirnya mereka memutuskan untuk makanan di warung yang menyediakan menu aneka penyetan. Terdapat dua macam tempat duduk. Ada yang kursi dan lesehan. Arimbi dan Yogi lebih memilih duduk lesehan.
"Iya tuan putri," jawab Yogi. Ia hendak mengeluarkan vape dari tasnya namun dicegah oleh Arimbi.
"Jangan nge-vape dong. Kamu kan tau aku gak bisa nyium asep rokok," omel Arimbi.
Yogi mendengus kesal. Iya memasukkan kembali vapenya ke dalam tas. "Emang rempong kalo jalan sama tuan putri," gerutunya.
Arimbi hanya terkikik geli. "Hubunganmu sama Natasha gimana, Gi?" tanya Arimbi tiba-tiba.
"Udah putus," jawab Yogi santai.
"Kok gak pernah cerita ke aku sama Sonya sih!"
"Lah kalian gak pernah nanya," balas Yogi.
"Berapa bulan sih kalian pacaran?"
"Mau empat bulan."
"Kenapa putus? Siapa yang mutusin?" tanya Arimbi beruntun.
"Sudah dua minggu yang lalu. Aku yang mutusin."
"Kenapa?! Natasha kan cantik, Gi."
Yogi menghela napas pelan. "Rempong banget. Sebelum putus berantem mulu. Ada aja yang dipermasalahin," keluhnya.
Arimbi mendesah pelan. "Sayang banget padahal. Natasha kelihatan baik anaknya."
"Ya mau gimana lagi. Lagian aku lagi deket sama Gisel kok," jawab Yogi dengan kedua sudut bibir sedikit naik ke atas.
Arimbi berdecak dan menggelengkan kepalanya tak percaya. "The real playboy kabel. Baru putus dua minggu udah ada gandengan baru."
"Ya gimana, anaknya cantik, Ar. Baik pula," ucap Yogi memberitahu.
"Gisel yang mahasiswa baru itu kan?" tanya Arimbi memastikan
Yogi mengangguk membenarkan.
"Kok bisa deket?"
"Panjanglah ceritanya," jawab Yogi malas. "Kapan-kapanlah aku press conference ke kalian. Bentar lagi juga jadi pacar tuh Gisel," lanjutnya dengan percaya diri.
"Lagakmu kayak yang paling ganteng aja, Gi."
Yogi terbahak dengan keras.
Obrolan mereka terputus lantaran pelayan datang mengantar pesanan mereka. Setelah mengucapkan terima kasih, pelayan pergi dan mereka mulai memakan makanannya.
"Makannya jangan lama-lama. Ntar Sonya kasihan nungguin aku," ucap Arimbi memberitahu.
"Iya tuan putri," balas Yogi dengan malas.
***
Arimbi tiba di rumah saat jarum jam menunjukkan pukul tujuh lebih. Setengah jam kemudian, Sonya tiba menggunakan taksi online. Saat sampai rumah, Arimbi bergegas membersihkan dirinya sebelum belajar bersama dengan Sonya. Sebenarnya mereka hanya membaca materi dan menjawab soal-soal bersama. Saat sedang fokus belajar, Arimbi mendengar suara mobil Prabakesa baru saja datang.
"Itu Abangmu udah dateng," ucap Sonya memberitahu dengan semangat.
"Udah tau, aku gak budek kali," sahut Arimbi.
Tak lama pintu kamar Arimbi diketuk dan sebelum menyahut pintu kamar sudah terbuka lebih dulu menampilkan Prabakesa berdiri di sana.
"Ada apa Bang?" tanya Arimbi yang masih duduk di lantai beralas karpet bulu bersama dengan Sonya. Kemudian ia melihat Sonya yang sedang menatap Prabakesa penuh minat. Arimbi menyenggol lengan Sonya pelan. "Norak! Tutup mulutmu, iler semua itu."
Prabakesa tertawa melihat kelakuan teman Adiknya. Lalu ia menyerahkan bungkusan plastik pada Arimbi. "Jajanan. Ada cemilan sama boba buat kalian belajar."
"Makasih Bang." Arimbi berdiri sejenak untuk menerima bungkusan plastik tersebut dan meletakkan sembarangan pada lantai. Lalu ia kembali duduk di sebelah Sonya lagi.
"Makasih ya Bang Praba," ucap Sonya sembari mengedip-ngedipkan matanya genit.
Arimbi memicingkan pandangannya saat melihat Sonya. "Kamu kenapa sih kedip-kedip gitu? Kayak orang penyakitan tau gak sih?"
Lagi-lagi Prabakesa tertawa mendengar ucapan Arimbi untuk Sonya. Hal itu membuat Sonya semakin terpukau pada Prabakesa. "Udahlah Mbi, jangan digodain terus temennya. Gue ke kamar ya, kalo ada apa-apa panggil gue," ucap Prabakesa.
"Kalo gak ada apa-apa boleh tetep manggil gak, Bang?" tanya Sonya sebelum Prabakesa meninggalkan kamar Arimbi.
Arimbi langsung membekap mulut Sonya dengan kedua tangannya. "Abang mending langsung masuk kamar. Jangan dengerin omongan ngaco Sonya!"
Prabakesa hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Arimbi dan Sonya sebelum akhirnya ia benar-benar keluar dari kamar Arimbi.
"Wah udah gak punya udel nih anak pake godain Bang Praba segala." Arimbi melepaskan kedua tangannya dari mulut Sonya setelah kepergian Prabakesa.
"Lagian udah dari semester awal digodain, masih gak goyah juga," ucap Sonya memanyunkan bibirnya sembari menusukkan sedotan pada salah satu minuman boba.
"Karena Abangku udah punya pacar, Sonya!" seru Arimbi gemas.
"Ya kan baru pacar. Selagi janur kuning belum melengkung mah masih sah-sah aja. Lagian orang nikah aja bisa cerai, apalagi yang cuma pacaran," bantah Sonya santai.
"Wah, jahat banget deh mulutnya."
"Emang kamu gak mau kalo aku jadi Kakak iparmu?" tanya Sonya sembari menyerput minuman bobanya. "Body aku semok semelohay gini. Heran aja Bang Praba masih kuat iman."
"Perlu di rukyah emang nih anak. Otaknya udah agak geser," decak Arimbi pelan.
"Udah ah lanjut belajar lagi, kalo mikirin Abangmu terus bikin aku gak konsen," sahut Sonya.
Arimbi memutar matanya malas. "Yang daritadi mikirin Bang Praba itu kamu. Cari pacar sana, jangan haluin Bang Praba terus."
Sonya menarik salah satu buku di hadapannya sebelum menjawab. "Nggak ah, gak ada yang seganteng Bang Praba. Abangmu itu keliahatan manly banget. Dewasa banget. Kulit coklat, alis tebel, garis wajahnya tegas, tapi hatinya baik banget. Tipe aku bangetlah pokoknya. Bikin meleyot aja sih Bang Praba."
Arimbi hanya geleng-geleng kepala tidak menanggapi ucapan Sonya. Ia memilih mengambil bukunya dan membaca kembali materi yang ada di dalamnya. Semakin ia meladeni ucapan Sonya, pasti tidak akan ada habisnya.
***
Bab 5
Setelah memastikan motornya terparkir dengan benar, Arimbi melangkah masuk rumahnya melewati pintu samping. Hari memang sudah malam, Arimbi baru saja menyelesaikan kerja kelompok dengan teman-temannya. Karena tidak sekelompok dengan Sonya ataupun Yogi, membuat Arimbi harus mengikuti pilihan teman-teman kelompoknya dalam pemilihan tempat untuk kerja kelompok. Pilihannya jatuh pada rumah salah satu teman kelompoknya yang jaraknya lumayan jauh dari rumah Arimbi.
Saat berjalan melewati ruang tengah, Arimbi melihat Prabakesa duduk di sofa mengenakan kaos hijau dan celana selutut dengan mata terruju pada layar TV.
"Abang kok belum tidur?"
"Lagi nunggu kamu," jawab Prabakesa pelan. "Duduk sini." Ia menepuk bagian kosong di sebelahnya.
Arimbi berjalan mendekat, melepas tasnya dan mengambil duduk sesuai dengan perintah Prabakesa. "Kenapa Bang?" tanya Arimbi was-was. Jika cara panggil Prabakesa padanya menggunakan aku-kamu, sudah pasti ada hal penting yang ingin dibicarakan. "Mama sama Papa mana?" tanyanya lagi saat melihat suasana rumah sudah sepi dan beberapa lampu sudah dipadamkan.
"Sudah tidur daritadi."
"Abang mau ngomong soal apa?" ulang Arimbi. "Jangan lama-lama ya, badan aku udah capek banget. Mau tidur."
Prabakesa menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan sebelum memulai bicara. "Ini sudah hampir tengah semester, Abang dapat laporan kalo nilai kamu sebagian di bawah standart dan harus ikut remedial."
Mata Arimbi melotot. "Sapa yang bilang?!" tanyanya sedikit memekik.
"Genta."
Arimbi mendengus malas. "Abang kenapa sih nanya-nanya soal nilai aku ke dia?"
"Karena kalo tanya ke kamu pasti jawabnya iya-iya aja," jawab Prabakesa. "Kamu gak bosen harus remedial terus, Mbi?" tanyanya.
"Bukan cuma aku Bang yang remedial. Sebagian temen-temen aku juga pada remedial. Emang soalnya aja yang susah. Lagian ada kesempatan perbaikan nilai kok. Ada yang ujian ulang, ada juga yang cuma dikasih tugas," jawab Arimbi kesal. "Lagian remedial juga hal yang biasa. Siapa aja pasti bisa kena remedial. Kecuali Abang," ucapnya pelan di akhir kalimat.
Prabakesa menghela napas pelan. "Jangan mentang-mentang banyak temen kamu yang remedial, jadi pembenaran kamu harus terseret juga, Mbi. Abang tau kuliah udah semakin berat, tapi kamu harus tetep bisa fokus ngejalaninnya. Paling gak lulus sarjana dulu, Mbi. Habis itu terserah kamu mau ngapain."
Arimbi hanya bergumam tidak jelas sebagai jawaban. Kuliah memang sudah hampir berjalan setengah semester, tugas semakin banyak, ujian juga semakin sering. Ada beberapa nilai ujiannya yang dibawah standart yang membuat Arimbi melakukan remedial. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan remedial. Bahkan sebagian teman sekelasnya juga sering melakukan remedial. Tapi di mata Prabakesa, hal itu sangat mengganggu. Satu atau dua kali remedial bisa dimaklumi. Tapi Arimbi ini hampir sebagian mata kuliahnya selalu remedial.
"Bisa Mbi diperbaiki buat sisa semester ini?" tanya Prabakesa tegas.
Arimbi lagi-lagi hanya bergumam sebagai jawaban. "Tapi Abang gak perlu nanya-nanya soal nilai aku lagi ke orang lain."
"Orang lain? Genta itu temen aku Mbi. Sahabat aku malah. Kalian boleh statusnya mantan pacar, tapi gak ada istilahnya mantan sahabat. Abang yang nanya ke Genta soal progres kamu di kampus. Genta cuma jawab pertanyaan aku," sahut Prabakesa.
Memang benar Arimbi mantan pacar dari dosennya sendiri, Genta. Bisa dibayangkan tanggapan kedua sahabatnya saat mengetahui bahwa dosen yang selama ini dipuja-puja teman perempuan di kelasnya, adalah mantan pacarnya. Arimbi berpacaran dengan Genta saat SMA. Saat itu Genta sedang menyelesaikan pendidikan magisternya. Dari Prabakesa, Arimbi bisa mengenal Genta.
Genta sangat mirip dengan Prabakesa dalam urusan akademik. Saat masih berpacaran, Genta kerap kali membantu Arimbi dalam urusan belajar. Hal itu justru meringankan beban Prabakesa dalam mengajarinya. Karena Prabakesa tahu, betapa lemotnya Arimbi jika harus diajarinya. Tapi Genta dengan sabar mengajari Arimbi saat itu.
Setelah ujian akhir di kelas tiga, Genta tiba-tiba memutuskannya tanpa ada alasan yang jelas. Salah satu alasannya saat itu adalah karena Arimbi terlalu kekanak-kanakan untuknya. Sudah jelas Arimbi merasa berang dan sakit hati. Sampai saat ini, Arimbi tidak bisa terima dengan alasan tidak masuk akal itu. Karena saat itu tidak ada yang salah dengan hubungannya dengan Genta. Sejak saat itu, ia tidak pernah bertemu dengan Genta. Dan ia tidak ingin bertemu kembali.
Beberapa tahun berlalu, Arimbi mulai melupakan Genta, dan dekat dengan beberapa laki-laki. Tapi saat berusaha move on, ia kembali lagi melihatnya menjadi dosen tidak tetap di kampusnya. Saat melihatnya, ternyata Genta masih mampu mengacaukan perasaan Arimbi lagi saat ini.
"Kamu denger gue gak sih Mbi?" tanya Prabakesa sedikit keras.
Arimbi tersadar dari ingatan masa lalunya dan memandang Prabakesa yang sedang menggoyang-goyangkan tangannya di depan wajah Arimbi.
"Mbi," panggil Prabakesa lagi.
"Iya aku denger," jawab Arimbi setelah sepenuhnya tersadar dari lamunanya.
"Inget Mbi, kalo sisa semester ini kamu ada remedial lebih dari dua, Abang gak akan pernah mau kasih uang jajan lagi sama kamu," ancam Prabakesa.
"Tapi Bang, a-"
"Satu lagi Mbi," potong Prabakesa cepat. "Minimal nilai lo di setiap mata kuliah harus C. Kalo bisa lebih besar dari itu, lebih bagus. Tapi gue tau dapat nilai B di kampus lo susah banget. Jadi gue puas dengan nilai C di semester ini. Gak boleh kurang dari itu," lanjutnya sebelum meninggalkan Arimbi sendirian di ruang tengah dengan kondisi TV masih menyala.
Arimbi memandang kepergian Prabakesa dengan lesu. Ia mendesah lelah dan meringkuk tidur di sofa. Hidupnya tidak akan mudah lagi saat ini. Sebenarnya ia mendapat uang jajan cukup dari Papanya. Cukup dalam artian hanya untuk kebetuhan kuliahnya. Di luar dari itu, Papanya sangat membatasi uang untuknya. Berbeda dengan uang yang didapat dari Prabakesa, ia bisa berbelanja untuk kesenangannya sendiri.
***
"Kamu jam segini tumben udah rapi, Mbi?" tanya Mama sembari menata makanan di meja makan. "Ini kan hari Sabtu."
"Mau keluar sama Sonya, Ma."
"Keluar? Kemana?" tanya Papa yang ternyata sedari tadi mendengarkan pembicaraan Arimbi dan Mama. Padahal dari tadi matanya tidak lepas dari koran di tangannya. Ia melipat korannya lalu meletakkannya di meja makan sebelum meminum kopinya.
"Jalan-jalan aja ke mall."
"Sepagi ini?" tanya Papa heran.
Arimbi melihat jam yang tertera di ponselnya. "Udah jam sembilan kok Pa. Aku kan harus jemput Sonya dulu di kosannya. Baru ke mall."
"Mall mana?" tanya Mama duduk di kursinya.
"Royal aja mungkin yang deket. Mau ke TP kejauhan," jawab Arimbi.
"Yaudah kalo gitu. Mending sarapan dulu." Mama mulai mengambilkan nasi goreng untuk Papa dan untuk dirinya sendiri.
Arimbi mengambil nasi gorengnya setelah Mamanya. Ia menyuapkan sedikit demi sedikit nasi goreng buatan Mamanya ke dalam mulutnya. Sebenarnya Arimbi tidak begitu suka makan nasi. Dia lebih suka makan roti, mie, bakso, atau makanan yang lainnya. Dia kuat makan banyak, asal bukan makan nasi. Tapi jika dirinya ada di rumah, dan tidak makan nasi, sudah dipastikan Mamanya akan mengomelinya sepanjang hari. Biasanya ia akan mengambil nasi sedikit dan mengambil sayur dan lauk yang banyak.
"Makannya jangan diemut Mbi. Kayak anak kecil aja," tegur Mama saat melihat Arimbi mengunyah makanannya dengan sangat pelan.
Arimbi hanya mengangguk pelan.
"Nih anak beneran setengah bule. Gak suka nasi," ujar Papa terkekeh geli.
Arimbi memanyunkan bibirnya. "Ya kan aku maunya bisa makan nasi banyak Pa. Tapi mulut aku eneg."
"Wajar dulu Mamamu suka banget ngidam makan roti, spaghetti, sama makanan yang bukan indonesia banget. Setiap dikasih makan nasi, selalu aja gak pernah habis. Jadi Papa yang harus ngehabisin," cerita Papa mengingat cerita dulu dengan senyum terkembang.
"Papa gak ikhlas ngehabisin makanan Mama?" tanya Mama tajam.
"Bukan gitu, Ma. Papa kan cuma cerita aja," elak Papa dengan cepat.
"Papa udah sering cerita itu," sahut Mama. "Jangan dibilangin kayak gitu ke Arimbi. Nanti dia makin gak mau makan nasi."
Arimbi hanya tertawa pelan melihat perdebatan orang tuanya. "Jadi wajar kalo aku makan nasinya cuma dikit."
"Harus dibiasain, Mbi. Pokoknya harus makan nasi," ucap Mama tegas.
"Iya Mama, sayang," sahut Arimbi.
***
"Itu demi kebaikanmu, Ar," ucap Sonya menganggapi setelah Arimbi selesai menceritakan percakapannya dengan Prabakesa semalam. Tentu saja minus cerita mengenai Genta adalah mantan pacarnya.
"Aku kira kamu bakal setuju sama aku," ucap Arimbi lesu sembari mengaduk minumannya tanpa semangat.
Setelah memutari mall beberapa kali dan mendapat beberapa barang yang mereka inginkan, Arimbi dan Sonya memutuskan untuk naik ke lantai atas menuju food court. Mereka saat ini baru selesai menghabiskan makanannya, dan Arimbi memilih menceritakan percakapannya tadi malam bersama Prabakesa pada Sonya.
"Sama aja kali Ar. Kalo kamu diomelin sama Bang Praba, kalo aku diomelin Ibu sama Bapakku. Tiap telfon selalu nanya soal kuliah. Nyuruh kalo bisa nilai gak boleh turun. Apalagi UKT kita gak kaleng-kaleng persemesternya. Kadang aku takjub aja sama diri sendiri bisa bertahan sejauh ini," ucap Sonya menanggapi. "Orang tuamu gak pernah ngomelin soal kuliahmu, Ar?" tanya Sonya pensaran.
"Pernah kok beberapa kali. Tapi emang yang paling sering ngomel Abang. Niatnya nyuruh aku masuk jurusan ini kan gara-gara Abang juga ambil jurusan yang sama dulu. Katanya sih biar lebih gampang, soalnya Abang pasti bisa bantu aku dan punya banyak refrensi buku bekas dia. Bedanya Abang punya otak super cemerlang gak kayak aku," jawab Arimbi. "Kalo Abang udah bahas soal nilaiku di depan Mama sama Papa, artinya Abang udah gedeg banget sama kelakuan aku. Selama ini cuma beberapa kali aja Mama sama Papaku tau. Karena Abang selalu nutupin itu semua dari orang tuaku," lanjutnya.
"Enaknya," ucap Sonya dengan nada iri. "Aku hampir tiap hari dengerin omongan orang tua suruh lulus cepet. Namanya juga anak pertama. Tumpuhan Adikku yang lain. Bentar lagi Adikku yang kedua mau naik kelas tiga SMA. Yang ketiga mau naik kelas satu SMA."
"Derita anak pertama ya. Terlalu banyak harapan dan tanggung jawab yang harus dipikul," gumam Arimbi.
Sonya mengangguk membenarkan. Bibirnya tersenyum kecut.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
