
Blurb:
Takdir kembali mempertemukan Alina dengan Alvin, mantan pacarnya di masa SMP hingga SMA. Mantan pacar yang dulu pernah sayang dan posesif dengannya, tapi berubah cuek dan dingin saat status mereka berganti menjadi atasan dan bawahan.
Alina mengingat dengan jelas bagaimana dulu Alvin memaksa untuk pacaran dengannya dan selalu ikut kemanapun dia pergi. Sampai-sampai kelakuan Alvin membuat Alina merasa terkekang dan tidak bisa bebas menikmati masa SMP dan SMA-nya
Lalu, apa yang membuat sikap Alvin...
Bab 4
Alina yang baru masuk ke ruangan, melihat semua rekan kerjanya berkumpul di depan meja Ulfa. Dengan rasa penasaran, ia berjalan mendekat ke arah gerombolan dan berdiri di samping Vita. Terdengar mereka sedang bergosip dengan menyebut-nyebut nama Tante Fani.
"Sssttt... Mbak Vit, ada apa?" tanya Alina berbisik sembari tangannya mencolek pundak Vita.
Vita menoleh dan berbisik. "Anaknya Bu Fani hari ini mau dateng."
"Hah?"
"Iya, tadi Bu Fani ngasih tau Mbak Ulfa."
Alina jadi mengingat kejadian kemarin saat ia mengambil laporan yang sudah ditandatangani oleh Tante Fani. Saat itu ia baru kembali dari makan siang dan mendapati pesan masuk dari Cella. Tanpa duduk dulu di kursinya, Alina berjalan ke lantai atas untuk mengambil berkasnya.
"Laporannya mana?" tanya Alina langsung.
"Masuk dulu, Lin. Bu Fani mau ngobrol sama kamu katanya."
Alina langsung panik. "Ngobrol soal apaan? Laporanku ada yang salah ya?"
Mega yang mendengar itu tertawa pelan. "Nggak kok. Lagian laporannya udah ditandatangani sama Bu Fani," jawabnya. "Kamu cuma disuruh nemuin beliau. Katanya kalo kamu udah ke sini, disuruh masuk dulu."
Akhirnya Alina menarik napas panjang, sebelum mengetuk pintu ruangan Tante Fani. Saat terdengar sahutan dari dalam, Alina langsung masuk ke ruangan.
"Masuk, Lin." Tante Fani berjalan dari balik meja kerjanya ke sofa panjang yang ada di ruangan itu.
Alina menutup pintu di belakangnya, kemudian melangkah masuk dan mengambil duduk di seberang Tante Fani.
"Ada apa, Bu?"
Tante Fani berdecak melihat sikap formal dari anak temannya itu. "Nggak usah manggil Bu kalo kita lagi berdua. Tante kan udah ngomong berkali-kali."
"Tapi kan, ini masih di lingkungan kantor," balas Alina ragu.
Tante Fami tersenyum."Nggak papa."
Alina menghela napas pasrah dan menuruti keinginan Tante Fani. "Terus, kenapa Tante manggil Alina ke sini?"
"Kamu sudah dengar gosip dari rekan-rekanmu yang lain kan?" tanya Tante Fani.
Alina nampak bingung. Pasalnya, ia dan rekan sedivisinya sering bergosip dan tidak hanya satu atau dua gosip saja dalam satu hari.
"Masa nggak ada yang bicarain hal ini?" tanya Tante Fani saat melihat Alina masih diam.
"Hmmm ... kalo boleh tau gosip soal apa ya, Tante?" tanya Alina. "Soalnya, gosip yang ada di divisi Alina lumayan banyak. Sehari bisa sampe lima topik gosip," lanjutnya dengan jujur.
Tante Fani tidak bisa menahan tawanya. "Astaga! Kenapa jujur banget sih?"
Alina menggaruk kepalanya dan meringis malu.
"Gosip yang tentang anak saya."
"Ooo...."
"Tau kan?"
Alina mau tidak mau akhirnya mengangguk. "Itu gosip atau fakta, Tante?"
"Fakta," jawab Tante Fani cepat. "Dia memang Tante suruh gantiin Tante di sini."
"Terus Tante Fani gimana?"
"Tenang aja, Tante juga masih akan ngepantau kok. Gak mungkin akan lepas tangan gitu aja," jawab Tante Fani menenangkan. "Nanti Tante kenalin kalian ya. Biar dia ada teman ngobrol kalo di kantor."
"Eh?"
"Dia itu lumayan pendiem dan nggak terlalu dekat sama Tante. Setelah dia selesai pendidikan S2, dia milih kerja dulu di luar negeri. Disuruh kerja sama Tante atau Om nggak mau."
Dalam hati Alina merasa iri. Membayangkan punya orang tua yang memiliki kantor sendiri, pasti akan sangat menyenangkan. Kemudian ia buru-buru menghilangkan pikiran itu. Ia harus tetap bersyukur dengan keadaan keluarganya. Mamanya bisa dibilang sangat sukses membesarkan kedua anaknya tanpa sosok suami di sampingnya. Pendidikan dan segala kebutuhan Alina dan Adiknya selalu dipenuhi oleh Mamanya.
"Nanti kalo dia udah keliling perkenalan sama divisi-divisi yang ada, kamu bisa ke ruangan Tante. Soalnya Tante mau ngenalin langsung ke kalian."
Walaupun Alina mencium bau-bau yang tidak beres, tapi ia memilih tetap mengangguk.
"Oh ya, oleh-oleh buat kamu sudah Tante titipin ke Mamamu ya," beritahu Tante Fani.
Alina langsung tersenyum. Tante Fani memang sering sekali memberinya oleh-oleh."Makasih Tante."
"Tapi nanti Tante juga bakal taruh oleh-oleh buat teman divisimu. Kalo kamu mau, ambil lagi aja nggak papa. Anggap aja kamu dapet oleh-oleh double dari Tante."
"Makasih lho, Tante. Sampe dikasih oleh-oleh dua kali." Meski begitu, Alina cukup senang menerima banyak oleh-oleh.
Setelah mengatakan itu, Alina langsung pamit kembali ke ruangannya untuk bekerja. Tante Fani mempersilakan dan tidak lupa mengingatkan mengenai oleh-oleh milknya yang dititipkan ke Mamanya.
"Woy, nih anak ngelamun aja!"
Alina tersentak, kemudian mengerjapkan matanya memperhatikan rekan kerjanya sudah meninggalkan meja Ulfa. Ia tesenyum malu, kemudian berjalan ke mejanya sendiri.
"Ngelamunin apaan sih tadi?" Ulfa menggeser kursinya mendekat ke Alina. Ia menumpuhkan satu lengannya di sekat pemisah mejanya dengan Alina.
"Hah?"
"Anak-anak pada ngegosip. Kamu diem doang."
"Nggak papa, Mbak. Tadi bingung juga mau nimbrung. Soalnya gak ngikutin dari awal," ucap Alina beralasan. "Tadi gosip soal apa, Mbak?"
Ulfa melipat kedua tangannya di depan dada. "Soal anaknya Bu Fani yang katanya hari ini bakal dateng."
Alina melirik jam di komputernya. "Hari ini? Tapi udah jam segini, kok belum dateng?" tanyanya menatap Ulfa.
"Hmmm ... iya juga ya," gumam Ulfa. "Atau mungkin masih kenalan sama divisi yang lain ya?"
Alina mengedikkan bahunya. Daripada memikirkan anak Tante Fani yang tak tahu kapan akan datang, ia lebih baik mulai bekerja. Baru lima belas menit ia fokus dengan kerjaanya, pintu ruangan tiba-tiba diketuk.
Alina dan semua yang ada di dalam ruangan langsung menoleh ke arah pintu. Tak lama Tante Fani berjalan masuk dengan anggun diikuti oleh laki-laki tinggi di belakangnya. Tatapan mata Alina sepenuhnya tertuju pada Tante Fani.
"Halo semuanya. Selamat pagi," sapa Tante Fani. "Sebelumnya saya mau ngasih sedikit oleh-oleh buat kalian. Nanti dibagi secara adil aja ya." Tante Fani menyuruh Anto, salah satu pegawai kebersihan di kantor, memasukkan dua kardus berukuran besar ke ruangan. Setelah mengucapkan terima kasih, Anto keluar dari ruangan.
Semua langsung heboh dan mendekati kardus itu.
"Wah, Ibu pake repot-repot."
"Makasih banyak, Bu."
"Puji Tuhan dapet oleh-oleh," ucap Agnes senang. "Makasih ya, Bu."
Semua pada heboh berterima kasih pada Tante Fani, tapi berbeda dengan Alina. Perhatian yang awalnya tertuju pada Tante Fani, kini berganti tertuju pada laki-laki putih yang diam di belakang Tante Fani. Bahkan Alina sadar laki-laki itu sekilas menatapnya dengan tatapan mata yang dingin.
Sepertinya takdir tengah mempermainkannya. Laki-laki yang ada di belakang Tante Fani, adalah laki-laki yang sangat ia kenal. Tapi, ia baru tahu kalau laki-laki itu adalah anak dari Tante Fani. Padahal, selama ini ia bisa dibilang cukup dekat dengan Tante Fani.
Alvin, seorang laki-laki yang pernah ada dalam kisah cinta monyetnya. Pacar pertamanya sewaktu SMP. Alvin memberikan masa lalu buruk untuk masa remajanya. Masa lalu yang membuatnya selalu terkekang dan tidak bisa merasakan kebebasan yang tidak akan ia lupakan.
"Semoga suka ya sama oleh-olehnya."
Ucapan Tante Fani menyadarkan Alina dari kemelut pikirannya sendiri. Ia memfokuskan perhatian pada Tante Fani lagi yang mulai mengenalkan laki-laki di belakangnya.
"Kenalin, ini Alvin Reyfandi. Saya biasa manggil dia Reyfan." Tante Fani mulai mengenalkan anaknya ke semua pegawainya.
Alina baru ingat kalo selama ini ia mengenal anak Tante Fani dengan nama Reyfan. Sekalipun dia tidak pernah bertemu dengan anak Tante Fani, meski ia sudah cukup lama mengenal Tante Fani.
"Perkenalkan, saya Alvin Reyfandi. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik untuk kemajuan kita semua."
"Astaga, suaranya bikin aku meleleh," gumam Agnes yang berdiri di samping Alina.
"Kalo aku nggak lagi hamil anak kedua, mungkin aku bakal lupa kalo aku udah bersuami," bisik Ulfa terkekeh. "Ya ampun nak, semoga kamu bisa secakep dia." Ulfa mengelus perutnya yang menonjol.
Reyfan, atau yang ia kenal sebagai Alvin, memang memiliki paras yang tampan, tinggi, putih, mata agak sipit, dan terpenting, alisnya tebal. Menurut Alina penampilan Alvin tidak banyak berubah. Selain lebih tinggi, wajah Alvin terlihat lebih dewasa. Bukan hanya Agnes dan Ulfa yang terpesona dengan Alvin. Vita juga terlihat sedang memandang kagum ke arah laki-laki itu.
Satu persatu mulai memperkenalkam dirinya. Tiba giliran Alina, ternyata Alvin tidak langsung menyambut uluran tangannya seperti yang lain.
"Rey, dia mau salaman," tegur Tante Fani menyikut anaknya.
Alvin langsung menyambut uluran tangan itu sembari menggumamkan namanya. Setelah semua selesai berkenalan, Tante Fani pamit untuk mengenalkan Alvin ke divisi lainnya.
"Dia kayaknya suka deh Lin sama kamu," ucap Ulfa dengan heboh.
"Bikin iri aja," sahut Agnes. "Dia sampe bengong waktu kamu mau salaman," tambahnya.
"Ya ampun, kalo kayak gini aku rela deh kalo disuruh lembur tiap hari. Asal pemandangannya cowok seganteng itu," ucap Vita berseri.
Prabu berdecak melihat rekan kerja perempuannya. "Cowok kok putih. Kayak boyband aja," celetuknya.
"Wah parah, itu namanya diskriminasi!" seru Agnes.
"Bukan masalah kulitnya sih kalo aku," sela Haki tiba-tiba. “Kalian sadar nggak sih pandangan mata dia nggak bersahabat waktu lihat kita. Beda sama Bu Fani yang dari mata aja kelihatan kayak lagi senyum,” lanjutnya.
Tanpa sadar kepala Alina mengangguk-angguk.
“Tuh, Alina aja setuju sama yang aku bilang.” Tunjuk Haki pada Alina.
“Kalo cowok ganteng dimaafkan kalo tatapan matanya gak bersahabat. Lagian siapa yang mau dekat sama dia? Kan kita kagum sama wajahnya. Lumayan bisa cuci mata setiap ke kantor,” balas Agnes.
“Tapi Nes, dia kan nggak akan kerja di lantai ini. Kalo dia gantiin Bu Fani, otomatis dia bakal kerja di ruangan Bu Fani.”
“Nggak papa. Nanti aku rajin-rajin ke ruangan atas buat kasih laporan." Agnes mengibaskan rambutnya santai.
Alina geleng-geleng melihat kelakuan rekan kerjanya. Tapi yang ia sadari, Alvin seakan tidak mengenalinya. Benar apa kata Haki mengenai tatapan mata Alvin yang memandang dengan tidak bersahabat. Bukan hanya ke dirinya, tapi ke semua yang ada di ruangan ini. Takdir memang kadang seperti komedi. Orang yang pernah susah payah ia jauhi, kini secara tiba-tiba muncul lagi di hadapannya. Dan sejujurnya Alina belum siap dengan kemunculan laki-laki itu sekarang.
***
Bab 5
Sudah satu minggu Alina bekerja di bawah kepemimpinan Alvin. Memang tidak banyak yang berbeda. Hanya saja, menurut cerita beberapa rekan kerja yang lain, Alvin terlalu diam dan dingin. Tidak ada yang berani menatap Alvin ketika diajak berbicara.
Pernah saat itu meeting mingguan, banyak hal yang tidak sesuai dengan keinginan Alvin. Bahkan performa penjualan yang menurun dari bulan kemarin, menarik perhatian Alvin. Agnes, Ulfa dan Vita yang semula memuja-muja Alvin, keluar dari ruang meeting langsung menyumpah serapahi karena gara-gara Alvin, mereka harus bekerja lebih keras lagi.
"Gila! Aku mau Bu Fani balik lagi ya, Tuhan!" teriak Agnes saat masuk ke ruangan dengan wajah memerah.
"Kenapa Mbak?" tanya Alina. Tadi Agnes meminta tolong padanya untuk memberikan laporan ke lantai atas. Tentu saja langsung Alina tolak. Sepertinya ada yang tidak beres dengan Agnes yang kembali dengan wajah merah karena menahan kesal.
"Dia kayaknya bukan manusia deh. Monster itu!" seru Agnes marah.
"Kenapa sih?" tanya Vita penasaran.
"Aku dikatain bodoh dan gak teliti. Padahal aku sampe sakit mata neliti laporan ini. Emang gila tuh orang," ucap Agnes emosi. "Nyesel banget di awal muja-muja dia banget," lanjutnya.
"Sama," sahut Ulfa pelan. "Nyesal aku pernah doain anakku kayak dia. Semoga wajahnya aja yang sama, jangan kelakuannya." Ulfa mengelus perutnya dengan bibir cemberut.
"Kerja guys! Jangan ngobrol. Daripada kita makin dibantai sama Bos baru," tegur Prabu.
Tatanan meja yang berbentuk U, membuat Alina bisa memperhatikan rekan kerja lainnya. Begitu juga dengan rekan kerjanya yang bisa memperhatikan Alina juga. Di setiap meja, selalu ada sekat pemisah yang tidak terlalu tinggi di kanan dan kiri. Terlihat beberapa rekan kerjanya sedang sibuk dengan urusan masing-masing. Alina memperhatikan Agnes tengah menenggak air putih dalam jumlah banyak. Mungkin perempuan itu butuh banyak air setelah marah-marah. Ulfa yang duduk di sampingnya sedang video call dengan anaknya. Vita, Haki dan Prabu tengah sibuk dengan komputer masing-masing.
Alina menghempaskan pungungnya ke sandaran kursi. Rasanya ia malas sekali hari ini. Ia memutar-mutar kursinya, karena tidak ada niatan untuk melanjutkan pekerjaannya. Ia bangun dari kursinya dan tidak lupa membawa ponselnya.
"Mau kemana?" tanya Ulfa yang baru saja mematikan video call dengan anak pertamanya.
"Tolilet," jawab Alina kemudian buru-buru keluar ruangan.
Alina memang pergi toilet. Tapi setelah itu, ia tidak langsung kembali ke ruangannya. Ia menaiki tangga menuju ke rooftop. Ini salah satu tempat yang bisa membuatnya tenang ketika sedang dikejar deadline pekerjaan. Dari sini, ia bisa melihat atap-atap rumah warga sekitar.
Ponselnya berdering menampilkan nama Hendri di layar ponsel.
"Halo Ko."
"Hai, lagi sibuk ya?"
"Eh? Lumayan sih."
"Pantesan, aku chat nggak dibales."
"Maaf, Ko. Daritadi hp aku silent," ucap Alina. "Ada apa ya, Ko?"
"Aku ada dua tiket konser. Kalo kamu nggak repot, mau pergi sama aku nggak?"
"Konser?"
"Iya, konser penyanyi-penyanyi pop Indonesia. Kebetulan temanku yang jadi panitia penyelenggaranya. Jadi bisa dapet tiket konsernya."
"Kapan, Ko?"
"Sabtu ini. Bisa nggak?"
Alina mengangguk. Tapi karena lupa ini bukan panggilan video, ia buru-buru menjawab. "Bisa kok, Ko. Kabari aja dimana tempatnya."
"Aku jemput aja nanti."
"Kita ketemuan langsung aja, Ko. Nanti Koko jauh kalo harus jemput aku dulu."
"It's okay. Itu kan acaranya hari Sabtu. Aku juga libur kerja dan bisa punya waktu buat jemput ke rumahmu."
"Hmmm ... oke deh. Nanti aku share location ke Koko."
"Nah gitu dong. See you hari Sabtu ya, Lin."
"Siap, Ko."
Alina mematikan sambungannya. Tak lama ponselnya kembali berdering menampilkan nama Papa di layar. Ia memilih membiarkan sampai dering ponselnya mati sendiri. Beberapa kali Papanya meneleponnya, tapi ia memilih mengabaikannya.
Papa: Kak, kamu koku dah lama nggak ke rumah?
Papa: Kamu nggak kangen sama Papa ya?
Alina membaca pesan yang baru masuk itu dan mendengus pelan. Sepertinya sudah hampir dua bulan ia tidak mengunjungi Papanya. Bukan karena kesibukannya, tapi karena dia yang tidak mau. Saat masih sekolah, ia selalu rutin mengunjungi Papanya. Dia selalu diantar oleh sopir dan Mamanya tidak pernah keberatan saat dia bertemu dengan Papanya. Tapi semakin ia bertambah dewasa, semakin ia tahu fakta yang sebenarnya. Fakta yang membuatnya sangat kecewa kepada Papa yang menjadi cinta pertamanya.
Papa: Kak, Papa lagi butuh uang. Boleh transfer ke rekening Papa? Papa tau sebentar lagi kamu gajian. Sisihin dikit buat Papa boleh kan, sayang?
Papa: Kebetulan beras Papa habis. Papa juga belum bayar kontrakan dan token listrik lagi bunyi. Papa bingung Kak harus minta ke siapa. Kebetulan kerjaan Papa lagi sepi
Alina meremas ponselnya erat. Rasanya marah sekali membaca pesan itu. Benar apa kata Feby selama ini. Papanya hanya menganggap Alina sebagai mesin pencetak uang. Dua bulan ia tidak memberi uang, Papanya sudah kebingungan. Tanpa sadar air menetes dari matanya. Bukan sedih karena keadaan Papanya, melainkan sedih karena selama ini dirinya yang dengan mudah dimanfaatkan oleh Papanya. Ia menghapus kasar air matanya dan segera meninggalkan rooftop.
Langkah menuju ruangannya melambat saat tahu Alvin baru keluar dari ruangannya. Ia ingin berbelok ke toilet, tapi mata Alvin sudah melihat keberadaannya. Alina jadi mengurungkan niatnya dan tetap jalan ke arah ruangannya.
"Darimana?"
"Toilet, Ko."
Selama menjabat sebagai pimpinan, Alvin tidak mau dibanggil dengan sebutan Pak. Laki-laki itu mengutarakan keinginannya melalui Tante Fani. Bagi sebagian orang yang asing dengan sebutan "Koko" akan tetap memanggil dengan sebutan "Pak" meski panggilan itu membuat Alvin tidak suka.
"Kok lama?" tanya Alvi dengan menatap Alina tajam.
"Eh?" Bahkan Alina tidak sadar berapa lama ia menghabiskan waktu di rooftop.
"Saya sudah ada di ruangan ini kurang lebih sepuluh menit. Kamu ngapain aja di toilet sampe sepuluh menit?" desak Alvin.
"Lagi pup, Ko," dusta Alina. Tidak mungkin ia harus jujur kalau ia habis dari rooftop. Meski terdiri dari tiga lantai, tapi kantor ini menyediakan lift. Tapi untuk mencapai rooftop, hanya bisa melalui tangga.
"Lain kali kalo mau bohong, jangan sama saya!" ucap Alvin dengan suara tegas membuat Alina langsung menunduk. "Udah, sana masuk. Balik kerja lagi!"
Setelah mendengar itu, tanpa disuruh dua kali Alina langsung berjalan cepat ke ruangannya meninggalkan Alvin.
***
"Gila ya, Ko Alvin emang cakep banget."
Alina dengan polosnya bertanya ke Dina, temannya. "Ko Alvin itu yang mana?"
"Ada, nanti aku kasih tau."
Hari ini adalah hari pertama Alina bersekolah di jenjang SMP. Separuh dari teman kelasnya, adalah teman SD-nya. Beberapa dari mereka sudah pernah satu kelas dengannya, dan sisanya hanya pernah tahu wajahnya saja. Kelas 7 di sekolahnya, hanya ada satu kelas. Berbeda dengan kelas 8 dan 9. Entah kenapa di tahun ini tidak banyak yang mendaftar seperti tahun-tahun sebelumnya. Selain Dina, ada temannya yang lain bernama Icha. Dua orang itu yang paling dekat dengan Alina selama ia SD.
"Kenapa kok dipanggil Koko?" tanya Alina heran.
"Karena dia putih dan tinggi. Kayak Koko-Koko," jawab Icha dengan wajah berbinar.
"Siapa yang ngasih panggilan Koko?" tanya Alina lagi.
Dina mengedikkan bahunya. "Semua manggil dia Koko. Jadi, kita ngikut aja."
Alina mengangguk-anggukan kepalanya.
Saat upacara hari pertama, kepala sekolah memberi sambutan selamat datang untuk murid baru. Upacara berlangsung singkat dilanjut masa orientasi siswa baru. Saat Alina berjalan ke aula untuk pengarahan, Icha menyenggol-nyenggol tangannya dengan heboh.
"Itu, yang di lantai bawah." Icha mengarahkan tatapannya ke lantai bawah.
Alina melihat ke arah yang ditatap Icha. Di sana, ia melihat wajah laki-laki yang sama persis dengan ciri-ciri yang disebutkan kedua temannya. Begitu mengamati lebih lama, ia baru sadar bahwa wajah itu tidak asing. Seperti pernah ia lihat sebelumnya, tapi ia lupa pernah lihat wajah itu dimana. Saat Alina memperhatikan laki-laki itu, tiba-tiba laki-laki itu memandang ke lantai atas dan balas menatapnya. Dengan gugup ia mengalihkan tatapannya. Saat itu baru ia mendapatkan ingatannya. Seorang kakak kelas yang saat itu tidak sengaja ia injak kakinya. Buru-buru ia masuk ke aula meninggalkan Icha dan Dina yang memanggil-manggil namanya.
"Kenapa sih, Lin?" Icha menyusulnya bersama Dina.
"Eh, nggak kok. Takut telat aja pengarahan," dusta Alina.
"Gimana? Ganteng kan Ko Alvin?" tanya Dina berbisik.
Alina hanya menggumam tidak jelas sebagai jawaban. Kemudian pembahasan tentang Alvin terpaksa berhenti karena pengarahan untuk masa orientasi sudah dimulai.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
