
Blurb:
Takdir kembali mempertemukan Alina dengan Alvin, mantan pacarnya di masa SMP hingga SMA. Mantan pacar yang dulu pernah sayang dan posesif dengannya, tapi berubah cuek dan dingin saat status mereka berganti menjadi atasan dan bawahan.
Alina mengingat dengan jelas bagaimana dulu Alvin memaksa untuk pacaran dengannya dan selalu ikut kemanapun dia pergi. Sampai-sampai kelakuan Alvin membuat Alina merasa terkekang dan tidak bisa bebas menikmati masa SMP dan SMA-nya
Lalu, apa yang membuat sikap Alvin...
Bab 2
Ojek online yang ditumpangi Alina berhenti di depan sebuah gereja. Setelah mengembalikan helm, ia melangkah menuju pedagang cilok yang tidak jauh dari gereja. Hari ini Alina janjian dengan salah satu teman kuliahnya di cafe depan gereja. Tapi sebelumnya, gerobak cilok di dekatnya menggoda seleranya. Akhirnya ia memutuskan untuk membeli satu bungkus cilok. Alina membayar cilok yang dipesannya kemudian langsung menyebrang jalanan saat mulai sepi. Begitu masuk ke dalam cafe, ia memesan beberapa makanan dan minuman untuk dirinya dan temannya. Ia mengatakan kepada pelayan cafe untuk mengantarkan makanannya tepat setelah orang selesai ibadah di gereja. Ia memilih tempat duduk yang ada di sebelah jendela, sehingga bisa melihat baian depan gereja dengan leluasa.
Setengah jam kemudian, terlihat mulai banyak orang yang keluar dari gereja. Alina berusaha menajamkan matanya untuk mencari keberadaan temannya.
"Mana sih nih anak? Kok belum kelihatan," gerutu Alina pelan. Tidak menemukan temannya, ia langsung menoleh ke samping karena merasa ada yang berdiri di sebelahnya. Ia langsung berjingkat saat mendapati temannya sudah ada di dekatnya. "Kampret, kenapa nggak ngomong-ngomong sih kalo udah sampe."
Grace, teman Alina hanya terkekeh melihat ekspresi terkejut Alina. "Habisnya kamu fokus banget ngelihatin orang keluar gereja."
Alina mendengus sebal. Perempuan dengan rambut dicat coklat gelap mengambil duduk di depan Alina. Grace adalah salah satu teman yang cukup dekat dengannya. Dalam satu bulan, paling tidak ia akan bertemu Grace satu kali. Dan pertemuan mereka hanya bisa dilakukan di hari Minggu, sepulangnya Grace dari gereja. Jangan harap hari lain ia bisa kumpul atau sekadar bertemu dengan temannya. Yang ada ia harus berjibaku dengan pekerjaan yang begitu banyak.
"Beli cilok depan gereja?" Grace menatap ke arah cilok yang masih ada dua biji.
Alina mengangguk. "Enak ciloknya."
"Kamu harus cobain siomay yang di sebelah penjual cilok. Biasanya tuh penjualnya mangkal di sebelah gereja. Sekarang pindah ke depan gereja."
"Tadi aku sempat lihat. Tapi ragu mau beli atau nggak."
"Beli aja, enak kok. Itu langganan keluargaku kalo habis selesai gereja. Dan selalu ngantri kalo mau beli," ucap Grace semangat.
Alina menatap ke luar jendela. Di sana, ia bisa melihat kebenaran dari perkataan Grace. Penjual siomay yang berada di sebelah cilok, terlihat cekatan melayani banyaknya pembeli.
"Tuh kan, apa aku bilang," ucap Grace saat tau arah pandangan Alina.
Alina menoleh ke Grace. "Seenak itu ya?"
Grace mengangguk kuat. "Enak banget. Aku bisa makan dua porsi."
"Aku jadi penasaran."
"Beli aja. Enak kok. Daging babinya kerasa banget," ucap Grace tanpa beban.
Alina langsung membelalakkan matanya dan menendang kaki Grace di bawah meja. "Sialan! Bilang dong kalo babi."
Grace tidak bisa menahan dirinya untuk tidak tertawa. "Tapi babi enak kan?" tanyanya disela-sela tawanya.
Alina langsung melengos. Grace memang sering mengerjainya untuk makan babi tanpa ia sadari. Kejadian pertama saat Grace membawa bekal rica-rica ke kampus. Dengan wajah tanpa dosa, ia menawarinya untuk mencicipinya. Karena tidak menaruh kecurigaan pada makanan itu dan mengira kalau itu ayam, Alina menikmati makanan itu dengan lahap. Teman laknatnya itu baru memberitahu kalo rica-rica yang dimakan itu adalah babi satu minggu kemudian. Dan kejadian seperti itu sudah terjadi berulangkali. Tapi Alina masih saja dengan bodohnya gampang tertipu oleh Grace.
"Katamu kalo udah dimakan dan nggak dimuntahin, nggak bakal dosa," celetuk Grace santai.
Alina berdecak keras. "Kayaknya Tuhan bingung sama kelakuanmu. Baru aja kelar gereja, tapi udah nawarin temannya buat makan babi."
Grace terkekeh. "Habisnya senang aja lihat kamu makan babi lahap banget. Mana selalu ketipu pula."
"Cece."
Grace dan Alina sontak menoleh. Di sana, berdiri Hani, Adik dari Grace. Ia menaruh kunci mobil dan satu kresek hitam yang entah apa isinya.
"Cece bawa STNK-nya tapi nggak bawa kuncinya. Jadi aku kan yang disuruh Mami buat ngasihin," dumel Hani. "Itu dari Mami." Tunjuknya ke kresek hitam.
"Kalian balik naik apa?" tanya Grace ke Hani.
"Papi jemput."
Grace mengangguk paham. "Udah sana balik," usirnya.
Hani menggerutu karena diusir oleh Kakaknya. Kemudian ia menatap Alina dan tersenyum. "Ce Alin, kenapa betah banget sih temenan sama Ce Grace? Orangnya kan bawel."
"Gimana dong, kalo dia nggak ada aku, dia nggak punya teman?"
Hani sontak tertawa mendengar itu.
"Udah sana, balik. Jangan di sini." Grace kembali mengusir Adiknya untuk meninggalkannya.
"Bawel!" gerutu Hani pelan. "Ce Alin, aku balik dulu. Jangan lupa main-main ke rumah. Suka ditanyain sama Mami soalnya."
Alina mengangguk. "Salam ya buat Mami."
Hani mengacungkan jempolnya dan berjalan keluar cafe.
"Dia udah besar ya," ucap Alina.
"Iyalah, udah masuk kuliah juga," sahut Grace. Ia membuka bungkusan kresek dan menemukan satu plastik siomay babi yang barusan menjadi bahan pembicaraannya dengan Alina. "Dulu dengar Hani manggil kamu Ce, kerasanya aneh banget di kuping." Grace menusuk siomay dan memasukkan ke dalam mulutnya.
"Aku aja kaget dia dulu manggil aku Cece," ucap Alina menimpali. "Wajah begini dipanggil Cece," lanjutnya dengan terkekeh.
"Eh jangan salah. Mukamu emang kristenable banget. Jadi wajar kalo Hani salah kira. Aku kalo jadi tukang cilok yang kamu beli tadi, pasti bakal ngebatin karena kamu lebih milih jajan daripada ibadah."
Alina terbahak mendengar itu. "Kayaknya tukang ciloknya udah hafal sama mukaku."
Pelayan datang mengantar pesanan makanan mereka, membuat obrolan mereka terhenti sebentar.
"Maaf menunggu lama." Pelayan mulai menata satu persatu pesanan di atas meja.
Alina dan Grace mengangguk dan membiarkan pelayan pergi dari meja mereka setelah dengan kompak mereka mengucapkan terima kasih. Mereka cukup maklum karena pesanan mereka baru diantar karena suasana cafe yang mulai ramai.
"Aku pingin ganti suasana baru deh," ucap Alina tiba-tiba.
Grace yang tengah fokus dengan makanannya, menatap Alina dengan mulut penuh makanan. "Suasana baru?" ulangnya bingung.
"Hidupku kayak flat aja gitu beberapa tahun ini. Apa aku pindah tempat kerja aja ya? Di tempatmu ada lowongan nggak?"
"Yakin nanya kerjaan sama aku?"
Alina menghela napas kasar saat ingat kalau Grace adalah seorang guru musik di salah satu sekolah kristen. "Siapa tau kamu tau ada lowongan di tempat lain."
"Jangan pindah deh. Belum tentu kamu bisa dapetin bos yang sebaik sekarang. Rekan kerja kompak, gaji lancar, apa lagi yang mau kamu cari?" nasihat Grace.
Alina diam memikirkan ucapan Grace.
"Sekarang cari kerjaan susah, lho. Dimana-mana kerja itu sama aja. Kalo kamu mau masuk ke perusahaan raksasa, udah pertimbangin belum soal tekanan kerjanya?"
Alina menggeleng. "Terus gimana dong?" tanyanya lesu. "Hidupku kurang challenging."
"Cari pacar aja deh. Biar hidupmu nggak flat. Kamu terakhir pacaran sebelum kita lulus kuliah," usul Grace. "Kalo kamu punya pacar, paling nggak hidupmu lebih berwarna," tambahnya.
"aku lagi nggak dekat sama siapa-siapa."
Grace menjentikkan jarinya semangat. "Nanti aku kenalin Koko gerejaku. Dia ganteng banget. Setipe sama Bram, mantanmu yang terakhir."
"Ganteng banget nggak?" Alina mencondongkan badannya mulai tertarik.
Grace mengangguk. Kemudian ia mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah foto pada Alina. "Yang pake kemeja coklat."
"Ganteng, matanya agak sipit," gumam Alina.
Grace kembali menyimpan ponselnya. "Lagian kamu aneh banget, doyan banget kalo pacaran beda agama. Udah tau sulit, masih aja diulangi lagi."
"Bukan perkara agamanya," sahut Alina santai.
Dahi Grace berkerut bingung. "Terus apanya dong?"
"Kriteria cowoknya."
Grace meletakkan telunjuknya di dagu nampak berpikir. "Benar juga, selama kita kuliah semua pacarmu rata-rata putih, tinggi dan sipit. Dan pada keturunan Chinese semua."
"Nah itu sadar."
"Dan kristen juga," ucap Grace menambahkan.
"Nggak kok. Ada yang katolik. Ada juga yang islam," bantah Alina cepat.
"Siapa yang islam?"
"Firhan. Dia islam kok."
"Oh iya ... aku baru inget," gumam Grace begitu sadar. "Kamu terobsesi sama cowok Chinese ya?"
Alina hanya mengedikkan bahunya, memilih tidak menjawab. Ia menyedot almond milk-nya sembari menatap ke luar jendela.
"Cari pacar aja, Lin. Jangan coba-coba resign dari kerjaan. Kerjamu itu udah nyaman dan cocok banget buat kamu."
Alina kembali menatap Grace lalu mengangguk. "Tenang aja. Cari kerja baru cuma wacana aja biar hidupku nggak flat," sahutnya. "Tapi setelah dengar idemu, kayaknya hidupku nggak bakal flat kalo punya pacar beda agama. Aku suka yang menantang."
Grace geleng-geleng kepala. "Emang dasar aneh!"
"Jangan lupa ya, kenalin aku sama Koko gereja yang kamu bilang. Nggak terlalu putih nggak papa. Yang penting tinggi dan banyak duitnya."
"Dasar matre!"
"Ini namanya realistis." Alina menaik turunkan alisnya dan tersenyum penuh arti.
***
Bab 3
"Cantik banget hari ini, Lin," puji Ulfa ketika Alina melewati meja kerjanya. Wangi parfum feminim menusuk indra penciumannya. Khas sekali dengan Alina.
Alina berhenti melangkah, kemudian menatap ke Ulfa. Ia memutar badannya cepat membuat dress-nya mengembang. "Bagus kan bajunya?"
Ulfa mengangguk. "Tumben banget pake baju terusan?" tanyanya heran.
"Nggak papa, lagi pingin aja tampil beda."
Prabu datang dan langsung merangkul pundak Alina. "Pasti mau tampil cantik buat godain cowok-cowok ya? Atau jangan-jangan mau godain aku?" Prabu mengedip-ngedipkan matanya.
Alina menyikut perut Prabu. "Idih, ogah banget ngegodain Mas Prabu. Kayak nggak ada cowok lain aja." Alina mengibaskan rambutnya dan berjalan ke mejanya.
Ulfa tertawa melihat sikap Alina. "Makanya, nggak usah sok deketin Alina. Udah tau kamu sering ditolak sama Alina."
"Namanya juga usaha, Mbak." Prabu meringis sembari menggaruk belakang kepalanya. Kemudian ia berjalan ke mejanya yang tepat di depan Alina.
"Mbak, Bu bos hari ini udah masuk kan?" Alina menoleh ke Ulfa.
Ulfa tidak langsung menjawab. "Kurang tau sih. Tadi aku ketemu Mega lupa mau nanya."
"Yaudah, aku ke atas deh sama sekalian ngasih laporan ini." Alina mengambil laporan di atas meja dan beranjak menuju lantai atas. Begitu tiba di lantai tiga, ada satu ruangan dengan ukuran cukup besar. Ada dua meja di dekat pintu yang biasa ditempati Mega dan Cella, sekertaris Tante Fani.
"Bu Fani hari ini sudah dateng belum, Cel?" tanya Alina tepat di depan meja Cella.
"Harusnya sih udah masuk. Tapi tadi beliau bilang masuk agak siang. Soalnya masih ada urusan kerjaan di luar."
Alina mengangguk mengerti.
"Mau ngasih laporan ya, Lin?" tanya Mega saat melihat beberapa map yang dipegang Alina.
Alina kembali mengangguk. "Aku titip ya. Nanti kalo udah ditandatangani sama Bu Fani kalian hubungin aku. Biar nanti aku ambil lagi ke sini." Alina meletakkan map yang ia pegang di atas meja.
"Nanti aku telfon ya kalo udah ditandatangani."
"Makasih," ucap Alina sebelum meninggalkan meja Mega dan Cella.
Kembali ke mejanya, Alina mendapati satu cup kopi dengan merk terkenal. Ia membawa kopi itu menuju meja Ulfa. "Siapa yang naruh di mejaku, Mbak?"
Ulfa mengangkat pandangannya dari komputer. "Agnes."
"Mbak Agnesnya mana?"
"Ke kamar mandi kayaknya."
Alina mengangguk mengerti dan kambali ke mejanya. Ia menyalakan komputernya dan mulai bekerja. Saat Agnes lewati di depannya, ia langsung menegurnya.
"Kenapa, Lin?" tanya Agnes saat merasa namanya dipanggil.
"Makasih Mbak kopinya." Tunjuknya pada kopi di depannya.
"Sama-sama."
"Tumben Nes kita ditraktir kopi. Kesambet apaan kamu?" tanya Vita.
"Habis menang lotre mungkin," sahut Haki menimpali.
"Enak aja. Aku hari ini emang lagi menebarkan kebahagiaan," jawab Agnes dengan tersenyum lebar.
"Pasti punya gebetan baru," gumam Ulfa tanpa memandang teman-temannya.
"Emang iya, Mbak?" tanya Alina menatap Agnes.
Agnes tersenyum malu-malu. "Dikenalin temanku sama cowok di gerejanya. Dia baik banget. Ganteng pula."
"Dikenalin doang kita dapet traktiran kopi. Apalagi kalo Agnes jadian. Ditraktir makan all you can eat nih kita semua."
"Matamu!" sembur Agnes.
Semua terbahak mendengar nada kesal Agnes karena ucapan Prabu. Setelah itu mereka kembali ke meja masing-masing untuk menyelesaikan pekerjaan.
***
Seperti rutinitas yang biasa dilakukan Alina saat mendekati jam pulang kerja, ia ke toilet untuk membenahi makeup-nya. Malam ini ia janjian dengan Grace di salah satu restoran untuk bertemu dengan teman gereja yang akan dikenalkan pada Alina. Selama kerja, ia begitu semangat menunggu jam pulang kerja. Begitu sudah waktunya pulang, ia langsung pamit ke teman-temannya dan ngacir keluar dari kantor mendahului yang lain.
Perjalanan menuju restoran tempat janjian dengan Grace memakan waktu empat puluh lima menit. Cukup jauh memang. Tapi ini salah satu pilihan tempat yang ada di tengah-tengah antara tempat mereka kerja. Sampai di restorannya, Alina sudah melihat Grace duduk bersama sosok laki-laki. Dengan langkah lebar Alina menghampiri mereka.
"Maaf lama, tadi sedikit macet," ucap Alina merasa tidak enak.
"Nggak papa kok. Aku juga baru dateng. Ko Hendri yang duluan dateng."
"Eh, aku juga baru dateng kok," ucap laki-laki di depan Grace yang dipanggil dengan sebutan Ko Hendri.
"Oh ya, kenalin ini Ko Hendri," ucap Grace menatap Alina. Kemudian ia menatap Hendri. "Ko, ini temanku yang waktu itu aku ceritain." Grace mulai memperkenalkan Alina ke Hendri.
Hendri mengulurkan tangan lebih dulu. Yang disambut langsung oleh Alina.
"Ayo duduk, jangan berdiri aja." Grace menggeser duduknya, memberi Alina ruang untuk duduk.
Mereka memanggil pelayan dan mulai memesan makanan.
"Alina ini seumuran ya sama Grace?"
"Iya, Ko. Kebetulan kita seangkatan waktu kuliah."
Hendri manggut-manggut.
"Dia pinter lho, Ko. Waktu selesai S1, dia dapet beasiswa buat lanjut S2. Tapi sayang sama Alina nggak diambil," ucap Grace mulai mempromosikan temannya.
"Oh ya? Kenapa?" tanya Hendri penasaran.
"Kebetulan udah dapet tawaran kerja waktu itu, Ko. Jadi lebih milih kerja aja."
"Hmmm ... iya sih. Kebanyakan kalo udah dapet tawaran kerja gitu kalo disuruh sekolah lagi males," ucap Hendri.
"Tapi Koko nggak tuh," balas Grace. "Dulu ambil S2 sekalian sama kerja."
Hendri tersenyum malu. "Karena dulu S2-nya dibiayain sama kantor. Kalo gelar nambah, cuan juga bisa nambah," ucapnya lugas.
Mereka ngobrol ngalor ngidul sampai tidak kenal waktu. Saat ponsel Grace berbunyi, perempuan itu pamit pulang lebih dulu meninggalkan Alina dan Hendri berdua.
"Tadi bawa kendaraan?" tanya Hendri saat mereka berjalan ke luar restoran.
"Bawa, Ko."
"Oh, kalo nggak bawa kan bisa aku anter."
Alina tersenyum, mengerti maksud perkataan Hendri. "Kasihan kalo Koko harus nganter aku. Rumah kita kan nggak searah."
"Next time kalo aku ajak kamu keluar lagi, mau nggak?" tanya Hendri tanpa basa-basi.
Alina mengangguk. "Kabari aja, Ko. Kalo ada waktunya, pasti aku mau."
Hendri memastikan Alina masuk ke dalam mobil terlebih dahulu sebelum ia masuk ke mobilnya sendiri.
***
"Kok baru pulang kamu?"
"Tadi diajak makan malem sama Grace." Alina menggantungkan kunci mobilnya di kotak yang ada di dekat pintu masuk. Ia melihat Mamanya selonjoran di sofa masih dengan setelan kerjanya.
"Adikmu udah pulang?" tanya Mama tiba-tiba.
"Mana aku tau, Ma. Kan aku baru pulang," gerutu Alina. "Kan yang ada di rumah daritadi Mama. Kenapa nanyanya ke aku?"
"Mama juga baru pulang."
"Ngapain pada nyariin aku?" Feby keluar dari dapur membawa piring dan gelas. Ia langsung duduk di sebelah Mamanya.
"Tumben kamu udah pulang?"
Feby menahan diri untuk tidak memutar bola matanya di depan Mama. "Pulang cepet salah. Pulang malem juga salah. Maunya apa, Ma? Apa sekalian aku nggak usah pulang?"
Mama berdecak. "Jawab aja terus kalo ditanyain."
"Namanya juga ditanya," balas Feby santai sebelum menyuapkan sendok ke dalam mulutnya. Saat melihat Alina hendak menaiki anak tangga, ia memanggil Kakaknya membuat Kakaknya menoleh menatapnya. "Barusan ada telfon," beritahunya.
"Dari siapa?" Pertanyaan bukan keluar dari mulu Alina, tapi Mama.
"Papa," jawab Febt sinis.
"Ngapain Papa kalian nelfon ke rumah?" tanya Mama marah.
Feby menoleh menatap Mamanya. "Tadi katanya nelfon Kakak tapi nggak diangkat."
Alina buru-buru mengecek ponselnya yang ada di dalam tas. Ponsel itu dalam keadaan mati kehabisan daya. "Ngapain Papa nelfon?"
"Nanya, Kakak kok udah lama nggak dateng."
"Itu aja?" tanya Alina memastikan.
Feby mengangguk. "Aku nggak nanya macem-macem. Males juga ngobrol lama-lama sama Papa."
"Pasti ujung-ujungnya mau minta duit," cibir Mama sinis.
"Benar, Ma. Emang dari dulu Papa nggak pernah modal," sahut Feby setuju. "Kak Alin jangan mau kalo dimintain duit terus. Keenakan nanti kalo dapet sokongan dari Kakak terus."
"Beberapa bulan ini, aku nggak pernah kirim uang lagi. Bahkan, aku udah jarang ketemu sama Papa," ucap Alina memberitahu.
"Bagus itu," sahut Feby senang. "Papa aja nggak ada kontribusi apapun di hidup kita. Jadi jangan mau kalo dimintain duit. Mama yang tiap bulan kita kasih jatah, masih tetap kerja. Lah dia, enak banget cuma nikmatin doang."
Alina sejenak mendapati ekspresi marah dan kecewa bercampur menjadi satu di wajah Feby. Ia memang tidak bisa menyalahkan Feby sepenuhnya. Kebencian Feby pada Papa, bukan semata-mata karena Mama yang mempengaruhi Adiknya. Itu semua karena sikap Papa yang tidak pernah menunjukkan kasih sayang pada anak-anaknya. Di mata Alina, Papanya adalah sosok yang ingin dimengerti, tapi tidak bisa mengerti orang lain. Dan ia baru menyadari itu ketika beranjak dewasa.
"Males banget kalo aku nikah harus dia yang jadi walinya."
Masih bisa didengar gerutuan Feby sebelum Alina benar-benar naik ke lantai atas.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
