My Self My Rival (Chapter 10)

1
0
Deskripsi

Chapter 10. Sejarah, Kenangan dan Tim Hore

Sejarah dan kenangan. Keduanya adalah bagian masa lalu. Tapi masih banyak orang salah membedakannya. Kadang orang terjebak pada masa lalu dalam bentuk kenangan walaupun masa lalu tersebut dapat menjadi sejarah.
 

Pelajaran hari ini telah usai. Tak ada lagi kelas tambahan. Angin bertiup sepoi-sepoi. Aku berjalan di lorong menuju perpustakaan untuk mencari materi. 

"Gradis.. mau kemana?" sapa seorang dengan suara pelan.

"Aku mau ke perpustakaan. Ada yang bisa aku bantu?" tanya ku seraya menoleh pada suara yang memanggilku, ternyata adalah Intan.

"Aku boleh ikut?, aku mau bantu cari materi juga" tanyanya sambil menunduk.

"Hehehe, tentu saja aku akan senang jika seorang membantuku."

"Benarkah?" katanya langsung dengan menatap wajah ku.

"Iya, ayo!" kata ku seraya berjalan kembali.

Dia mengikuti ku dari belakang. Sekolah terasa sepi, karena sekolah sudah usai. Hanya ada beberapa siswa yang tengah mengikuti ekstrakurikuler. Aku dan Intan segera masuk kedalam perpustakaan.

"Kita cari bukunya dahulu nanti setelah dapat kita bagi sub bab untuk setiap orang," kata ku pada Intan.

"Baiklah," baiklah seraya menuju ke rak buku.

Tak terasa sudah 40 menit berlalu, kami mendapatkan 3 buku yang sekiranya harus kita pinjam.

"Biar aku yang pinjam dan bawa," kata Intan pada ku.

"Baiklah kamu yang pinjam dan besuk kita bagi tugas," kata ku seraya memberikanya buku itu padanya 

"Hmmm, aku boleh pulang duluan. Karena ada sesuatu yang harus kulakukan," tanyanya pada ku.

"Astaga, sepertinya sudah terlalu lama. Oke, kamu pulang duluan saja."

"Baiklah, terima kasih ya Dis. Aku pulang duluan," kata Intan seraya meninggalkan ku.

Aku hanya tersenyum kearahnya. Rasanya akhir-akhir ini aku sering tersenyum, walaupun hanya dengan hal kecil. Sebelumnya, aku hanya terdiam dan mengacuhkan apapun. Bahkan aku tidak memikirkan dan memperdulikan orang lain. Mungkin, aku terlalu sibuk memilih diriku sendiri.

Aku masih di perpustakaan untuk mencari tambahan buku. Aku berusaha mengambil buku yang ada di rak bagian atas. 

"Mau mengambil buku ini, sejarah kerajaan," kata kak Fawaz yang muncul tiba-tiba seraya membaca cover buku tersebut.

Aku mengambil buku yang dia pegang dan pergi meninggalkannya tanpa sepatah katapun. Aku duduk ruang baca.

"Kamu masih kesal dan marah padaku? Hmmm aku paham, wajar setelah apa yang kulakukan. Kamu berhak marah pada ku."

"Tak perlu mencoba memahami ku, karena setelah itu pasti kamu menuntut ku untuk memahami mu," kata ku dengan suara kesal.

"Bukan begitu, dengarkan aku dulu."

"Aku tak perlu penjelasan apapun darimu kak. Hanya saja, aku pikir kamu telah berubah," jawab ku sambil menatapnya.

“Aku tetap sama.”

"Benar, kamu masih sama. Entah kenapa setelah apa yang kamu lakukan, tetap saja aku tidak bisa membencimu," kata ku sambil memalingkan wajahku darinya.

"Dis, Maafkan aku," jawabnya.

"Hmmm, sebelum kamu minta maaf aku sudah memafkan mu. Tapi aku tidak yakin hubungan kita akan seperti dulu," kata ku sambil menghela nafas. 

"Dengar. kita sudah melewati banyak hal, dan semua berlalu hubungan kita juga akan sama."

"Mungkin saja, tapi tolong berikan aku waktu untuk memahami dan menerima semua."

"Dis, kamu ingat masa lalu kita. Saat kamu wisuda? Saat, kamu ingin menonton festival dan di larang ayahmu? Saat kamu menadapat mendali waktu SMP? Saat kamu berusaha bunuh diri? Dan masih banyak hal lain lagi. Aku ingat semua. Apakah kamu mau melupakan hal itu? Apakah kamu dapat membuang memori itu, hanya karena aku melakukan kesalahan ini?" jawabnya sambil memegang bahuku.

"Tentu, tentu saja aku mengingat semua. Saat aku wisuda, hanya ada kamu dan bibi bahkan boneka beruang masih menjadi benda yang kupeluk saat tidur. Saat festival, kamu pergi ke festival dan merekam semua yang ada disana dan menunjukan vidionya padaku sambil menceritakan dengan detail yang jelas. Saat aku mendapat mendali, kamu menungguku di tempat les hanya karena aku takut pergi sendiri. Saat aku bunuh diri, kamu menemaniku dirumah sakit bahkan saat ayahku tidak perduli. Kamu memberikan secarik kertas saat pertama kita bertemu, kamu tahu lembaran kertas itu masih terpajang rapi di kamarku. Dan kopi menjadi minuman favorit ku sampai saat ini. Tentu aku ingat semua," kata ku sambil menahan tangis.

"Apakah kamu mau membuang kenangan itu?" tanyanya menatap dalam mata ku.

"Bahkan, sekeras apapun aku mencoba aku tak akan mampu melupakan kenangan itu. Kamu tahu? Kenapa ada Sejarah?" kata ku sambil melihat cover buku yang ku pegang.

Kak Fawaz hanya terdiam dan melihat buku yang ku pegang.

"Masa lalu dibagi menjadi Sejarah dan Kenangan. Sejarah adalah saat kejadian masa lalu yang sudah tidak memilki keterikatan emosi pada kita, walaupun kita masih mengingatnya itu tidak akan membuat kita bahagia atau sengsara. Sedangkan Kenangan adalah saat kejadian masa lalu yang sering kali mempengaruhi perasaan kita, mengingatkan bagaimana rasa sakit atau bahagia pada diri kita. Dan kini aku akan berusaha mengubah kenangan kita menjadi sejarah. Kamu paham?" jelas ku.

"Kamu ingin melupakannya?" tanyanya.

"Tidak, aku tetap ingin mengingatnya hanya menghapus keterikatan emosinya," jawab ku seraya pergi meninggalkannya.

Kak Fawaz terlihat berdiri mematung. 

Hari Selasa, suasana kelas seperti biasanya. Bel sudah menandakan istirahat. Ardian meminta tim hore untuk berkumpul untuk membahas tugas kami.

"Woy tim hore, kumpul bentar. Kita bahas tugas kita," kata Ardian sambil memanggil mereka.

"Kita bahas dikantin saja yok," ajak Danar.

"Ide bagus, kita hanya manusia biasa yang perlu harus mengisi amunisi untuk otak kita," kata Deny.

"Ah bilang aja, lapar," kata Danar.

"Tapi ide yang cemerlang, yok kita berangkat," kata Ardian sambil mengandeng tangan ku.

"Ih lepasin, aku disini aja," kata ku berusaha menolaknya dan melepaskan tangannya.

"Oh tidak bisa," kata Danar memaksa ku sambil merangkul bahu ku.

"Intan, intan juga bukunya dibawa dia," kata ku seraya menoleh pada Intan.

"Okey, ayo tan. Sini bukunya aku bawa," ajak Ardian sambil mengambil buku tersebut.

"Okey, formasi lengkap. Tim hore! Ayo berangkat," kata Deny seakan mau perang.

Kamipun pergi kekantin dan membagi tugas. Setelah selesai membagi tugas, aku hendak kembali ke kelas. Tapi dicegah oleh mereka.

"Sepertinya sudah selesai, aku balik ke kelas dulu ya," kata ku pada mereka sambil berdiri.

"Ah disini aja dulu, kelas masih lama," kata Ardian sambil memaksa ku duduk.

"Iya benar," kata Deny.

"Tapi akhir-akhir ini, sepertinya Gradis selalu tersenyum, setidaknya sedikit ramah tidak bersikap dingin seperti dulu," kata Raditya.

"Aku juga merasa begitu!" kata Deny sambil makan.

"Benarkah?" jawab ku.

"Ah masih bawel dan kadang resek, walupun kadar sikap dinginnya berkurang," kata Danar.

"Ih benar-benar ya?" kataku pada Danar.

"Bagaimana menurutmu Tan?" tanya Ardian.

"Hmmm menurutku, Gradis baik dari dulu. Dia suka menolong tapi tidak mau terlalu mencolok," kata Intan dengan suara yang lirih.

"Oh ya, yang benar saja," kata Danar seolah tidak setuju.

Setelah beberapa saat, bel pelajaran pun berbunyi. Kami mengobrol dan bercanda. Ada rasa yang tidak ku temukan saat sendirian.
 

***

Terik matahari terasa menyengat kulit. Kendaraan berlalu-lalang. Semua orang terlihat sibuk, termasuk aku. Hari Rabu, sepulang sekolah kami berenam akan mengerjakan tugas secara kelompok.

"Kita sudah kumpul semua?" tanya Ardian.

"Ya, kita jadi mengerjakan dirumah Raditya?" tanya Danar.

"Iya, ayok berangkat," kata Raditya.

"Gradis kamu bareng siapa? Kalo nggak ada sama aku aja," kata Deny.

"Hmmm aku sama Intan," jawab ku.

"Hmmm, kalian berdua perempuan. Kamu sama aku aja," kata Deny.

"Dasar laki-laki modus. Kamu sama aku aja Dis?" kata Danar.

"Hmmm, gak papa aku sama Intan aja," kata ku.

"Wuah... (Ardian menguap), Aku ngantuk banget, bahaya kalau naik motor. Hmm kamu bisa naik motor kan? Kamu nyetir motorku ? Ayo berangkat," kata Ardian seraya melempar kunci motornya padaku.

"Hay, gila kamu ya. Perempuan di suruh boncengin," kata Danar kesal.

"Ayo berangkat!" kata Raditya.

Kamipun menuju rumah Raditya. Rumah Raditya adalah rumah yang paling strategis untuk mengerjakan tugas, karena merupakan titik tengah diantara rumah kami. Rumah Raditya terletak pada perumahan.

"Assalamualaikum," kata ku sebelum masuk rumahnya.

"Waalaikumsalam, ayo masuk saja," kata Raditya seraya menyuruh kami duduk.

"Orang tua kamu mana?" tanya Deny.

"Kerja, nanti malam baru pulang," jawabnya.

"Wih, jadi sendirian kalau siang? Enak dong, nggak ada yang ngomel," sahut Danar.

"Hehehe, ya gitulah. Santai aja anggap rumah sendiri. Bentar aku ambil cemilan sebentar," katanya pada kami seraya pergi.

"Yuk, kita mulai mengerjakan tugasnya," kata Intan.

"Ayo. Aku mana tugas kalian? Biar aku lihat, terus kita buat cliping nya," kata ku.

Semua mengumpulkan tugasnya. Kami berdiskusi untuk mengerjakan bersama-sama. Setelah 2 jam baru selesai. 

"Akhirnya selesai!" kata Danar seraya menyender di kursi.

"Ah benar otakku sudah panas," sahut Ardian.

"Oh ya? Massa?" kataku dengan nada menggoda nya.

"Nggak percaya, coba pegang!" katanya sambil meletakan tangan ku di dahinya.

"Ih apaan sih!" kataku.

"Hmmm, papa kamu musisi?" tanya Intan pada Raditya sambil melihat foto yang terpajang di dinding.

"Hmmm itu foto waktu mudanya sekarang papaku kerja disebuah lebel musik," jawab Raditya.

"Wah, kamu berati bisa main alat musik atau nyanyi?" tanyanya lagi.

"Hmmm, sedikit aku cuma bisa main gitar kalau suaraku juga biasa aja. Nggak sebagus Ardian," jawabnya.

"Wah, kamu hebat," kata Intan.

"Bukannya kamu juga ikut paduan suara?" tanya Raditya.

"Hmmm, iya waktu kelas X. Sekarang udah nggak," jawabnya.

"Kenapa?" tanya ku.

"Hmmm karena minder aja, semua tim paduan suara body goals sedangkan aku gemuk," jawabnya.

"Kata siapa? Kamu hanya cubby bukan gemuk, kamu juga terlihat imut dan menggemaskann. Kamu type ku lah," kata Deny seolah tidak setuju dengan pendapat Intan.

"Benarkah?" kata Intan.

"Iya benar," kata Deny dengan suara keras.

"Setiap orang memilki keunikan tersendiri, jangan minder!" sahut Danar.

"Hmmm bagaimana kalau kalian ikut festival bareng Ardian," kata ku sambil menoleh ke arah Ardian.

"Hey, kamu ngomong apa?" kata Ardian sambil menutup mulutku.

"Festival Musik yang diadakan satu bulan lagi?" kata Raditya.

"Iya benar," kata ku sambil melepaskan tangan Ardian.

"Boleh, aku juga punya rencana ikut sih sebenarnya," jawab Raditya.

"Berati pas Raditya bassis nya, Ardian keyboardisnya dan Intan vokalisnya," kata Danar.

"Lalu band kalian namanya Hore band," sahut Deny.

"Bagus, ide bagus. Bagaimana?" kata ku.

"Tapi aku tidak yakin akan menang dan kemampuanku juga standar?" kata Intan dengan suara pelan.

"Kita tidak perlu menang, setidaknya kita mencoba. Dan kita akan berlatih, jika kamu mau?" kata Raditya.

"Ayolah coba intan," kata Danar memohon padanya.

"Gimana ya. Baiklah, akan ku coba," katanya.

"Bagus, bagaimana dengan mu?" tanya Raditya pada Ardian.

"Tidak ada alasan Ardian untuk menolaknya, kamu harus ikut," sahut ku.

"Nggak ah," kata Ardian.

"Ayolah, aku tahu kamu mau. Ikut ya?" bujuk ku padanya.

"Hmmmm, baiklah. Aku ikut tapi dengan satu syarat," katanya.

"Apa?" tanya ku.

"Hmm kamu harus mengabulkan satu permintaan ku, bagaimana?" katanya pada ku.

"Oke. Setuju," jawab ku.

"Oke. Aku ikut," katanya.

"Baiklah. Sekarang kalian bukan hanya tim hore melainkan band hore," kata Deny sambil tepuk tangan.

"Namanya norak sekali," kata Ardian.

"Kenapa? Aku suka nama itu," kata Intan.

"Benar, nama yang bagus. Hore merupakan kata saat kita berhasil atau merasa senang," kata Raditya.

"Baiklah, grup hore terserah kalian," kata Ardian.

"Okey, kita latihan hari Minggu ya," kata Raditya.

"Okey, kita balik dulu," kata Intan.

Tugaspun selesai dan tanpa sengaja bandpun telah terbentuk. Hari sudah sore, kamipun akhirnya mengakhiri pertemuan kami. Ardianpun mengantarku pulang.

Sore ini terasa begitu manis. Senja seakan menandakan bagaimana perasaan ku. 

"Sudah sampai," kata Ardian.

"Terima kasih ya," kata ku.

"Hay Dis, kamu ingatkan. Kamu harus mengabulkan satu permintaan ku," kata Ardian.

"Tentu saja, apa? Katakanlah!" jawab ku.

"Nanti, tidak sekarang. Masih aku pikirkan," katanya.

"Hmmm, saat kamu jadi penyanyi aku akan jadi fans nomor satu mu. Jadi, tolong jangan menyerah akan mimpi mu," kata ku.

"Hmmm fans nomor satu" katanya sambil mengacak-acak rambut ku.

"Ya udah pulang sana, sudah sore," kataku.

"Baiklah, salam buat bibi," katanya seraya melajukan motornya.

Akupun masuk ke rumah. Kulihat sudah ada kak Dimas. 

"Kenapa kak Dimas disini?" tanya ku seraya kaget karena ada dia.

"Aku mau kasih tahu kamu, mulai sekarang Ayah kamu minta jam lesnya ditambah," katanya memberikan penjelasan.

"Ayah tidak bilang apa-apa. Mengapa mendadak sekali?" tanyaku.

"Entahlah. Sepertinya kamu terlihat lelah?" tanyanya.

"Iya, aku baru selesai mengerjakan tugas tugas kelompok," jawab ku dengan sedikit lemas.

"Baiklah, sebaiknya kamu istirahat. Les kita mulai besuk," kata kak Dimas.

"Baiklah," jawab ku sambil menghela nafas.

"Yaudah, aku pulang dulu ya," katanya seraya pamit.

"Hati-hati ya kak," kata ku sambil melihatnya pergi.

Sepertinya memang tidak ada kata istirahat untukku. Hari-hari selalu dipenuhi dengan belajar. Baru saja ku rasakan hangatnya memiliki teman, namun kini harus dihadapkan dengan kenyataan.

"Mbak kapan pulang?" tanya bibi yang muncul dari dapur.

"Baru saja," jawab ku.

"Mana mas Dimas?" tanya bibi.

"Baru saja pulang," kata ku sambil berjalan menuju kamar ku.

"Sudah makan? Bibi siapin makan ya?" kata bibi ku.

"Nanti saja, aku mau istirahat dulu," jawab ku.

"Bibi buatin jus ya?" katanya.

Aku hanya terdiam. Rasanya kesal sekali. Tapi mau bagaimana lagi. Itu adalah perintah Ayah.

***

Hari pengumpulan tugas telah tiba. Satu persatu kelompok sudah mempresentasikan tugasnya. Kini giliran mempresentasikan hasil cliping kami.

"Hey, kamu gemetar," kata Ardian pada Intan.

"Sedikit," jawab Intan.

"Gugup itu wajar. Tapi kita sudah melakukan yang terbaik," kata Ardian.

"Benar proses tidak akan mengkhianati hasil," tambah Deny.

"Tenanglah," kata Ardian pada Intan sambil menatapnya.

Sepertinya, Ardian tidak.hanya baik padaku. Dia memenangkan baik pada semua orang. Presentasi berjalan dengan lancar. Nilai akan langsung di berikan oleh guru.

"Cliping kalian bagus, presentasi kalian sepertinya pembagian materi adil. Good job," kata guru ku.

"Wih pertama kalinya saya mendengar kalimat itu dari Ibu hehehe," kata Deny.

"Belajar yang rajin dan jangan sering bolos, maka kamu akan sering mendengar kata itu Den," kata guru ku.

"Siap bu," jawab Deny.

"Dan saya tak menyangka Gradis akan masuk kelompok kalian. Gradis masuk bukan karena Ardian kan?" kata guru ku.

"Iya bu. Gradis memang selalu ngikutin saya," sahut Ardian.

"Ih nggak ya, PD sekali. Nggak Bu," jawab ku.

Teman-teman ku hanya tertawa.

"Ya sudah, kalian bisa kembali duduk."

"Baik bu," sahut kami seraya kembali ketempat duduk.

Itulah hari dimana kami berenam menjadi lebih dekat. Waktu berjalan begitu cepat jika bersama mereka. Band hore pun berlatih setiap hari di studio musik yang ada dirumah Raditya untuk mempersiapkan festival yang akan diselenggarakan.

Walaupun Deny dan Danar tidak tergabung dengan band, mereka selalu ikut dalam setiap sesi latihan. Akupun begitu, namun aku tidak sering mengikutinya karena seperti biasanya aku harus mengikuti les.

Tak terasa sudah hampir satu bulan kami bersama. Serta tak terasa juga sudah hampir satu bulan aku tidak berkomunikasi dengan kak Fawaz.

Aku sedang duduk dimeja belajarku. Selalu belajar walaupun tidak ada tugas. Aku sudah terbiasa melakukan itu. Setidaknya itu yang harus ku ikuti agar tidak kena marah Ayahku.

Terdengar suara mobil didepan rumah. Kulihat dari jendela, ternyata benar itu adalah mobil Ayahku. Ayahku masuk kedalam rumah. Entah saat Ayahku pulang ada rasa senang dan rasa khawatir yang aku rasakan.

Tok...tok... 

Terdengar suara ketukan pintu.

"Gradis sudah tidur?" terdengar suara Ayahku mengetuk pintu kamar ku.

"Belum yah," jawab ku sambil membuka pintu kamar ku.

"Kamu potong rambut?" kata Ayah ku seraya kaget.

"Iya yah," jawab ku sambil menunduk.

"Sepertinya kamu terlalu santai, hingga kamu bisa pergi ke salon," kata Ayah ku.

"Nggak yah, aku potong sendiri," jawab ku.

"Lalu ini apa?" kata Ayah ku seraya menunjuk foto ku bersama teman-temanku.

"Ayah dapat dari mana?" tanya ku.

"Oh benar! Ternyata kamu terlalu santai dan tidak belajar hingga banyak waktu untuk bermain," katanya.

"Tidak yah, itu hanya sekedar refreshing untuk menghilangkan kejenuhan belajar!" penjelasan ku.

"Refreshing? Kamu tahu Ayah sudah bekerja keras dan kamu seenaknya membuang-buang waktu untuk hal yang tidak penting!" katanya seraya marahi ku.

"Bukan begitu yah," kata ku.

"Wah, sepertinya kamu sudah berani membantah. Hmm mungkin pengaruh mereka," katanya.

"Tidak yah, mereka tidak seperti yang Ayah bayangkan," jawab ku.

"Oh ya, baiklah mulai sekarang setelah pulang sekolah kamu harus ke tempat les, mengikuti les selama 2 jam. Setelah itu, kamu les dengan Dimas selama 3 jam. Tidak boleh membantah," perintah Ayah ku.

"Baik yah," jawab ku dengan lirih dan menunduk.

"Ayah akan daftarkan kamu," katanya seraya pergi meninggalkan kamar ku.

Aku menutup pintu kamar ku dan tertunduk lemas dimeja belajar ku. 

Cuaca terlihat mendung. Aku berjalan menuju perpustakaan untuk mengambil buku.

"Gradis," sapa seorang.

"Kak Fawaz," kataku sambil menoleh.

"Mau mengembalikan buku?" tanyanya.
 


 

"Iya", jawab ku seraya berjalan.

"Sepertinya, sudah satu bulan kita tidak bertemu, rasanya begitu lama," katanya sambil berjalan di samping ku.

"Iya, bagaimana kabar mu?" 

"Baik. Sebentar lagi ujian semester pertama, aku sedang mempersiapkan itu. Kamu?"

"Sama, akhir-akhir ini aku banyak mengikuti les."

"Kamu tertekan?"

"Hmmm aku berusaha menikmatinya"

“Mau refreshing? Sabtu ada festival musik, kamu suka itu kan? Mau menonton dengan ku?”

"Bagaimana dengan Ela?''

"Sepertinya, cinta ku bertepuk sebelah tangan. Dua Minggu setelah lomba, dia mulai acuh pada ku. Begitulah akhirnya?"

"Oh ya, bukankah kalian sudah berpacaran?" tanya ku sambil berhenti dan menatapnya.

“Tidak, aku sudah menyatakan perasaanku tapi dia menolak ku.”

"Aneh sekali, jangan jangan," kata ku terpotong setelah mendengar suara orang yang memanggilku.

"My friend, aku nyontek PR dong," kata Danar sambil berlari ke arah ku.

"Nyontek mulu, ambil saja di meja," kata ku.

"Nggak mau, ambilkan lah. Ayo" katanya seraya menggandeng tangan ku.

"Aku mau balikin buku dulu," kata ku.

"Hay, bagaimana mau pergi ke festival?" kata kak Fawaz sambil memegang tangan ku.

"Festival, empat hari lagi. Tentu saja Gradis datang," kata Danar seraya menoleh ke arahnya"Oh ya?" kata kak Fawaz.

"Iya, karena band kami akan tampil," kata Danar.

"Kamu bisa main musik?" tanya kak Fawaz padaku dengan wajah terkejut.

"Tidak-tidak, aku hanya mau mendukung saja," kata ku.

"Mendukung siapa?" tanyanya.

"Datang saja, agar kamu tahu," kata Danar sambil mengajakku pergi.

Aku merasa tidak enak dengan kak Fawaz atas kejadian yang lalu. Aku terlalu keras padanya. Mungkin saja, dia hanya dimanfaatkan oleh Ela.

Pelajaran dimulai. Aku masih berfikir tentang apa yang dikatakan kak Fawaz.

"Gradis, kamu sakit?" kata guru ku.

"Tidak bu" kata ku sambil terbangun dari lamunanku.

"Baiklah, muka kamu terlihat pucat. Mau pergi ke UKS," kata guru ku.

"Tidak bu saya baik-baik saja," jawab ku.

"Baiklah, kita lanjutkan," kata guru ku

Guru menjelaskan pelajaran.

"Kamu benar-benar baik-baik saja?" tanya Ardian.

"Iya, aku baik-baik saja. Hanya sedikit lelah," jawab ku.

"Hmmm baiklah," jawab ku.

Pelajaran hari ini telah usai. Aku bergegas ke tempat les yang disiapkan Ayah ku.

"Kamu ikut latihan gak Dis," tanya Deny pada ku.

"Maaf hari ini aku tidak bisa ikut, aku mau ke tempat les. Semangat ya."

"Wah sepertinya, tidak ada hari libur untuk belajar ya?"

"Begitulah."

"Tapi wajah kamu terlihat pucat, kamu yakin mau les?" tanya Intan.

"Nggak kok aku baik-baik saja," kata ku.

"Mau aku antar?" tanya Ardian.

"Nggak usah, kalian latihan saja. Empat hari lagi kalian harus tampil," kata ku.

"Hay my friends, baju kita sudah jadi," teriak Danar sambil membagikan sesuatu.

"Astaga kamu membuatnya," kata Intan.

"Kamu tahu kan usaha ibuk ku, aku tidak bisa membantu apapun untuk tampil kalian. Jadi aku hanya bisa memberikan ini, kalian pakai waktu naik panggung ya," kata Danar.

"Wah, ini tampak keren," kata Raditya.

"Syukurlah kalau kalian suka," kata Danar.

"Lumayan lah, tidak terlalu norak," kata Ardian

"Bilang terima kasih untuk ibu mu ya," kata Deny.

"Bagaimana menurut mu?" tanya Danar.

Aku terdiam saja dan tidak menjawab. Perut ku terasa begitu nyeri. Kepala ku tiba-tiba berkunang-kunang. Akupun jatuh pingsan.

"Dis, kamu baik-baik saja?" suara mereka terdengar sebelum aku benar-benar kehilangan kesadaran.

Bersambung…

Terima kasih atas dukungannya…

Sampai jumpa di chapter selanjutnya…

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya My Self My Rival (Bagian 11)
1
0
Chapter 11. Cerita Setiap ManusiaDi dalam dunia yang luas ini, banyak manusia yang memiliki cerita. Cerita tawa dan bahagia, maupun cerita duka yag seringkali membuat menderita. Karena hidup bukan tentang diri mu sendiri, jadi adakalanya harus saling memaklumi.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan