
"Ma, aku bertemu dengan laki-laki itu."
" Siapa?"
" Laki-laki yang mirip dengan Papa."
Deg
Terdiam kaku saat mendengar anak tiba-tiba membawa informasi yang sangat tidak ingin ku dengar.
" Kamu sepertinya salah lihat. Itu tidak mungkin."
" Tidak, Ma. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini."
Syahdu menatap anaknya dengan sedih. Betul. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.
" Benar, dia Papaku?"
Sebuah foto di perlihatkan anaknya. Syahdu bergeming.
" Ternyata benar. Dia Papaku." Gumam nya sebelum...
Sinar Rembulan. Nama yang di berikan Syahdu untuk anak perempuan satu-satunya. Anak yang lucu, periang, baik dan memiliki tata krama yang baik. Namun, mempunyai mulut yang tajam dalam berucap terhadap orang-orang yang menurutnya tidak baik.
Rembu panggilan dari orang-orang terdekatnya. Saat ini ia sudah menduduki sekolah menengah pertama. Rembu tinggal bersama Mama dan neneknya. Namun dua tahun yang lalu, nenek nya di panggil oleh yang maha kuasa meninggalkan ia dan Mamanya berdua saja di muka bumi ini.
Kerabat dari pihak Mamanya ada. Namun, ia tidak akrab dengan mereka. Rembu memilih untuk tidak punya kerabat karena ia dan Mamanya selalu saja di berangi oleh mereka. Rembu pun tidak tau apa masalahnya. Bertanya pun kepada Mamanya, jawaban selalu sama, tidak tahu.
Keluarga Papanya. Entahlah. Rembu tidak tahu satu pun. Bahkan untuk bertemu dengan Laki-laki yang ikut andil dalam menghadirkan dirinya ke dunia ini saja ia tidak pernah satu kali pun selama ia hidup ini.
Pernah bertanya kepada Mama. Namun, Mama selalu berkata Papa kerja jauh.
Namun Rembu tidak percaya. Sejauh-jauh apapun orang pergi bekerja, pasti ia akan pulang sekali dua kali menengok anak dan istrinya. Rembu juga pernah memergoki Mamanya menangis tengah malam sembari memeluk Foto laki-laki yang di sebut sebagai Papanya.
Rembu anak yang cerdas dan cepat tanggap. Sejak saat itu ia hampir tidak pernah lagi bertanya tentang Papanya. Biarlah takdir yang akan mempertemukan mereka. Rembu berharap takdir itu akan cepat datang kepadanya.
" Rembu bangun, Nak! Sudah pagi, nanti kamu terlambat sekolah."
Syahdu berteriak membangun anak nya dalam rumah kecil, hangat dan sederhana.
Pagi-Pagi Syahdu sudah sibuk di dapur memasak, membersihkan rumah, dan menyiapkan bekal untuk anaknya sekolah.
Dengan pakaian power of emak-emak ia sibuk berjalan mondar mandir. Bahkan daster yang di gunakannya pun sudah tampak lusuh dan sering di pakai, sering di cuci sehingga tampak pudar. Lihat, di ketiaknya pun juga sudah sobek, namun tetap di pakai oleh Syahdu dengan sangat amat nyaman sekali menurutnya.
Tapi, jangan salah walaupun penampilan Syahdu buluk, namun ia mempunya wajah yang sangat ayu dan manis di pandang. Syahdu masih tampak muda. Kerutan di wajah nya pun juga tidak ada, berkat ia sering menggunakan masker herbal. Apalagi kalau sudah keluar dan sedikit berdandan. Rembu dan Syahdu tidak terlihat seperti Ibu dan anak. Mereka terlihat seperti dua orang perempuan yang bersahabat.
Syahdu pandai berdandan. Namun ia hanya menggunakan skill nya itu sesekali saja jika ada kegiatan atau acara. Ia tidak suka berdandan berlebihan jika hanya di rumah saja. Pun pergi ke toko bunga miliknya sendiri ia hanya berdandan ala kadarnya saja.
" Rembuuuuu!!"
Syahdu kembali berteriak memanggil nama anaknya. Bunyi gesekan benda mengisi area dapur.
" Punya anak perempuan satu tapi susah sekali di bangunkan. Heran aku. Tidurnya benar-benar kebo!"
Syahdu mengomel sembari mencuci tangannya yang langsung di lap dengan daster yang sedang di pakainya.
Syahdu segera menuju kamar Rembulan dan membuka pintu. Syahdu menghela nafas. Anaknya masih bergelung dalam selimut. Sedangkan jarum jam sudah menunjukkan pukul enam lewat.
Syahdu mendekat dan menyibak selimut yang menghangatkan tubuh anaknya.
" Rembu bangun!" Ujar Syahdu keras. Anaknya kalau tidak di kerasin seperti ini tidak akan bangun-bangun.
Rembu pun terusik dan merasa kedinginan. Ia mencari-cari selimut dengan mata tertutup.
Syahdu semakin geregetan. Ia membawa tubuh anaknya duduk dia atas kasur.
" Bangun Rembu. Ini sudah mau siang, Nak. Nanti kamu terlambat lagi sekolah. Mama nggak mau ya kalau wali kelas kamu manggil Mama lagi. Cepat bangun! Anak gadis itu harus bangun pagi." Cerocos Syahdu.
Rembulan pun merengek dan mengusap matanya.
" Maaaaa, masih ngantuk. Bentar lagi. Lima menit." Jawab Rembulan parau dan hendak kembali merebahkan tubuhnya. Namun Syahdu dengan sigap menahan tubuh Rembu.
" Ya Allah Rembu. Lihat itu jarum jam nya udah mau ke angka tujuh. Makanya matanya di buka."
Syahdu menarik tubuh anaknya dari tempat tidur. Mau tidak mau Rembulan pun kembali terjaga.
" Mamaaa sakitt." Rengek Rembu. Syahdu tidak peduli. Syahdu melotot. Rembu mengerucutkan bibir nya. Syahdu bahkan masih sempatnya gemas melihat tingkah sang anak yang sudah tidak sesuai umur itu.
"Cepat mandi! Udah Mama masakin nasi goreng seafood kesukaan kamu."
Rembu membuka matanya dengan lebar. Telinganya langsung nyaring.
" Serius, Ma?" Rembu terlonjak senang. Ia memeluk pinggang Syahdu.
" Kapan Mama nggak serius. Kamu aja yang selalu bercanda."
" Iya, iya ini mau mandi. Makasih Mamaku tersayang, tercantik, dan terbahenol."
Rembu memeluk Syahdu dan mengecup pipi nya sebelum lepas.
" Rembuuuu!"
Syahdu kembali berteriak saat Rembu meremas pantat Ibunya yang memang bahenol sekali.
" Anak itu." Geram Syahdu sembari menggeleng heran.
Syahdu segera membersihkan tempat tidur anaknya dan kembali melipat selimut. Setelah beres ia kembali ke dapur menyiapkan makanan untuk gadis jahil nya.
Lima menit berlalu Rembulan keluar dari kamar hanya menggunakan handuk di badannya. Ia sudah selesai mandi.
" Ma, baju batik aku mana?" Teriak Rembu mengagetkan Syahdu.
" Astaghfirullah. Kamu ini mengagetkan saja. Kalau Mama jantungan gimana hah? Mau kamu tinggal sendiri?" Syahdu kesal.
Rembulan cengengesan sembali memegang simpulan handuknya.
" Nggak mau lah. Aku bakal cari Papa."
Syahdu terdiam. Rembulan menggigit bibirnya takut Mamanya berang lagi.
" Dimana, Ma. Baju aku." U nolang Rembu cepat.
" Di belakang pintu. Sudah Mama setrika. Makanya kamu itu apa-apa di siapkan sendiri jangan Mama semua yang siapin. Kamu ini sudah besar masih saja manja---,"
Belum selesai Syahdu berbicara. Rembu sudah kembali masuk ke dalam kamar. Ia malas mendengar celotehan Mamanya yang tiap pagi itu- itu terus.
Syahdu mendesah untuk kesekian kalinya.
" Semoga aku punya umur yang panjang punya anak satu. Tapi kelakuannya subhanallah." Gumam Syahdu.
Tidak lama Rembulan keluar dari kamar sudah siap dengan tas nya.
" Sarapan, Ma."
" Iya, itu sudah Mama siapkan. Cepat makan, nanti telat lagi."
" Iya, Mama." Jawab Rembu lembut.
Syahdu menatap anaknya yang ternyata jauh dari kata rapi.
" Rembu, Mama udah berapa kali bilang. Itu rambutnya di sisir yang rapi."
" Udah di sisir, Mama."
" Kamu nyisir nya bagaimana? Ini rambut kayak anak tk belajar nyisir rambut. Kamu ini sudah besar, harus rapi. Mama aja lihat kamu kusut aja bawaannya."
Syahdu bergerak mengambil sisir. Rembu tidak ambil pusing dengan ocehan Mamanya. Palingan bentar lagi rambut nya sudah rapi, karena ada Mamanya yang sisirin tiap pagi.
Benar kan. Syahdu merapikan rambut anaknya.
" Kamu itu cantik. Tapi kok semrawutan. Harus tiap pagi Mama sisirin rambut kamu?"
" Harus, Ma. Lagian nanti kalau kering. Rapi sendiri kok."
" Kalau Mama nasehatin itu, jangan ngejawab terus kerjaannya."
" Iya, iya, Mama. Bekal aku mana, Ma? Udah siap nih." Rembu bangkit dari duduknya. Syahdu mengambil bekal anaknya setelah rambut Rembu terlihat rapi dan cantik.
" Ini. Habiskan ! Jangan sampai ada sisa."
" Iya, Mamaku sayang!" Rembu mengecup pipi Syahdu dan saliman.
" Aku berangkat dulu, Ma."
" Iya, hati-hati."
Rembu segera berlari keluar rumah dan mengambil sepedanya.
" Dadah, Ma." Teriak Rembu kencang sekencang kayuh sepedanya.
" Dah, sayang."
Syahdu memperhatikan punggung anak semata wayangnya.
" Lindungilah selalu anakku ya Allah."
🧚🧚🧚🧚
" Woi Mbul."
Tari berteriak di sepanjang koridor kelas.
Yang di panggil menulikan telinganya. Ia mendengar jika seseorang berteriak memanggilnya.
" Woii.., Mbul. Tungguin gue."
Plak
" Aawh.." ringis Rembulan terdorong ke depan karena di pukul Tari dari belakang dengan tas.
" Sakit woi." teriak Rembulan marah.
" Apa an sih isi tas lo. Batu?" Rembulan sewot. Tari cengengesan.
" Sorry. Sorry. Abis lo gue panggillin nggak nyaut, Mbul."
" Mbul. Mbul. Udah berapa kali gue bilang. Panggil nama gue lengkap-lengkap dodol. Rembulan. Rembulan. Lo paham kata-kata nggak sih. Heran gue!" Cerca Rembulan sembari menekankan perkataannya.
Ia melanjutkan perjalanannya menuju kelas yang diikuti Tari di sampingnya.
" Ah elo, mah. Kan gue juga udah sering bilang kalau Mbul itu panggilan kesayangan gue buat lo." Tari memperagakan tanda kutip dengan tangannya.
" Nggak suka gue." Rembulan geregetan mendengar perkataan temannya.
" Nggak peduli gue. Lo suka apa nggak. Eh btw keburu lupa nih gue. Barusan gue lihat si pembully di antar sama mobil mewah loh, Mbul. Penasaran abis gue."
Rembulan masuk ke dalam kelas dan menuju meja nya yang paling sudut.
Sreett.
Bunyi kursi yang di tarik. Rembulan menghempaskan tas nya dan langsung duduk.
" Kenapa lo yang penasaran dia yang naik mobil mewah. Lo kan juga punya mobil mewah. Secara kan lo holang kaya laya." Jawab Rembulan dengan gaya lebay.
" Iiishhh, bukan itu, Mbul. Gue penasarannya sama yang nganterin si Pembully. Sekilas gue bisa lihat kalo itu cowok---" Tari mengedarkan mata nya dan berbisik di telinga Rembulan takut jika ada yang mendengar.
" Dan lo tau apa yang gue lihat?"
Rembulan menatap Tari. Penasaran juga akhirnya.
" Apaan?" Rembulan ikut berbisik.
" Gue lihat mereka ciumannnn. Dan parahnya cowo nya itu udah lumayan tuaa. Ngerii nggak tuhhh."
Tari bergidik ketika kembali membayangkan. Rembulan menatap Tari.
" Lo nggak lagi ngada-ngadakan?"
" Ya nggak lah, Mbul. Serius gue. Jujur. Gue aja hampir histeris untung gue cepat tutup nih mulut."
Rembulan meringis.
" Parah juga tuh perempuan. Masih smp juga. Udah berani gituan. Iiuhh. Cepat dewasa gue nya kalo sering dengerin kayak gini. Ternoda otak gue."
" Elah. Gaya lo." Cibir Tari mendengus.
" Udah diem. Tuh anak-anak udah mulai masuk. Itu pertanda kalau guru udah di jalan. Ssstttt," Rembulan meletakkan jari telunjuknya di bibir menyuruh Tari diam.
***
Syahdu memasuki toko bunga nya. Pemandangan segar dengan bunga warna warni langsung terlihat.
" Pagi, Sin." Sapa Syahdu ke pegawai nya. Sinta.
" Eh, Mba. Udah menjelang siang ini mah Mbak. Bukan pagi lagi."
" Oh iya, ya. Maklum ya sudah tua. Suka nggak tau waktu." Jawab Syahdu tertawa sembari meletakkan barang bawaannya.
" Aah, Mbak nya merendah untuk meninggi. Semua orang juga pada tau kalau Mba masih cetar membahana. Bahkan nggak nyangka kalau mbak sudah punya anak. Udah smp pula."
" Ah kamu bisa saja." Syahdu melambaikan tangannya. Sinta tertawa melihat bos nya. Masih muda,cantik, baik, penampilan oke. Bonus anak satu. Sudah smp. Orang-orang yang sering datang ke sini pun bahkan tidak percaya kalau Syahdu sudah memiliki anak. Lah orang nya pun masih muda dan belum nampak tanda-tanda sudah memiliki anak.
" Sudah ada pembeli, Sin?"
Sinta sedang merangkai bunga. Ia menggeleng.
" Belum, Mba."
" Oh. Yaudah. Mba ke belakang dulu ya. Nanti kalau perlu panggil aja!"
" Siap, Mba."
Syahdu mengangguk lalu berjalan ke belakang bangunan toko.
Saat membuka pintu belakang, nampak lah pemandangan bunga-bunga segar yang baru datang beberapa hari lalu masih belum di tata.
Toko bunga Syahdu memang menjual bunga hidup dan bunga mati.
Untuk bunga hidup Syahdu hanya membeli bibit nya saja. Jadi ia yang merawat, memupuknya sendiri. Lebih menguntungkan baginya dari pada langsung beli bunga yang sudah mekar.
Dengan begini Syahdu juga punya kesibukan sendiri jika berada di toko selain melayani para pembeli yang mempunyai peemintaan khusus.
Syahdu mengumpulkan rambut nya jadi satu dan mengikatnya. Lalu ia mengambil sarung tangan dan mulai sibuk berkutat dengan bunga-bunga yang butuh belaian tangannya.
Tak ada waktu untuk berleha-leha. Ia mengambil tanah, sekam dan pupuk, lalu mencampurkan semuanya dan diaduk. Syahdu duduk di bangku kecil dan mulai mengisi pot-pot bunga yang kosong dengan ketiga bahan tersebut.
Bibit bunga yang dalam polibet di pindahkan ke dalam pot. Syahdu asyik sendiri dengan pekerjaannya hingga lupa waktu. Syahdu memang sangat senang sekali dengan hobi nya yang satu ini.
" Mba." Panggil Sinta.
Syahdu menatap Sinta yang berdiri di pintu.
" Istirahat dulu, Mba. Sudah siang. Mba suka sekali lupa sama waktu kalau udah berkutat dengan bunga dan teman-temannya.
" Hehe. Ya mau bagaimana lagi, Sin. Mba hobi sih. Lagian berkat bunga ini juga Mba bisa menyambung hidup kan." Balas Syahdu lancar.
" Iya Mba. Habis ini istirahat dulu ya, Mba." Sinta tidak mau berdebat dengan Syahdu.
" Oke, Sin."
Sinta kembali ke depan. Syahdu segera meninggalkan pekerjaannya dan mencuci tangan.
Syahdu kembali masuk ke dalam toko dan istirahat sembari makan siang bersama Sinta.
Tbc!
24/09/23
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
