
Ule akhirnya memutuskan untuk fokus pada tujuannya pergi ke kota, yaitu untuk melanjutkan sekolahnya. Sambil menunggu sekolah masuk, Ule mencoba mencari kegiatan.
Bulan November. Hujan sudah semakin sering turun. Berkat peran Pak Walikota yang belajar pada kasus Genangan Sampah, akhirnya timbul budaya di tengah masyarakat untuk menggiatkan kerja bakti. Efeknya, pada bulan ini aliran sungai menjadi lancar. Tempat yang dulu sering banjir, sekarang sudah tidak lagi.
Ule berada di rumah, asyik membolak - balik halaman sebuah buku. Adolf yang memberikan buku itu. Ada beberapa buku yang diberikan. Semuanya berkaitan dengan pengetahuan umum. Ule cukup tertarik dengan Ensiklopedia. Gambar di dalamnya menarik dan banyak sekali informasi yang dia dapat.
Hujan tampak sudah mereda. Ule memutuskan hari ini dia akan berlari keliling kota. Kemarin, Adolf memberikannya sepasang sepatu. Katanya sepatu ini cocok untuk olahraga lari. Adolf pun berkelakar, stamina anak gunung jika tak dijaga dengan baik bisa - bisa turun jatuh sampai ke lembah.
Ule memilin nokennya memanjang serupa tali. Dia ikatkan tongkat rotan di pinggangnya menggunakan noken. Hal ini tak begitu merepotkan. Bagaimanapun pesan Kakeknya akan selalu dia ingat, "jangan sampai tongkat rotan ini berjarak dengan dirimu!" Itulah alasan mengapa Ule selalu membawa tongkat rotannya ke mana-mana.
"Kalau kau bingung dengan jalanan kota yang penuh cabang. Kau berlari saja ke arah lampu merah. Di simpang empat itu kau bisa lurus terus untuk sampai ke Lapangan Tengah Kota," begitu juga pesan Adolf. Ule pun mengingatnya itu dengan baik. Tapi ingatan itu tak sebaik dengan prakteknya.
Entah mengapa, Ule sekarang justru berlari menjauh dari tepian aspal. Jalan yang tadinya luas, beraspal, dan juga penuh dengan kendaraan berubah menjadi jalan yang lengang dan sempit. Ule pun terus berlari hingga aspal di kakinya habis. Jalanan kini sudah berubah menjadi berbatu.
Adolf pernah mengatakan bahwa kota yang penuh dengan jalan bercabang ini masih pada tataran kota berkembang. Sehingga banyak sekali jalan yang masih dibangun. Namun, sepertinya Ule lupa dengan cerita Adolf yang satu ini. Dia terus berlari dan bahkan mungkin semakin kencang. Dia seperti bebas menapaki batu demi batu. Larinya menjadi semakin kencang sejadi - jadinya. Sibuk menghindari genangan air atau sengaja melompat sejauh mungkin saat bertemu jalanan becek. Sama seperti yang sering dia lakukan di kampung dulu.
Ule hanya bisa dihentikan oleh suatu hal yang membuatnya terkejut. Dia melihat dengan jelas orang itu berdiri di samping jalan. Dia menggenggam minuman keras. Tapi bukan itu yang Ule risaukan, dia heran atas pakaian orang itu. Pakaian orang itu sama persis dengan pakaian Ule yang hilang.
Ule pun berjalan mendekat. Dia lihat dengan jelas, sebenarnya orang itu tak terlalu tua. Jenggot dan kumis yang tidak terawat membuat kesan tua menempel di wajahnya. Tanpa basa - basi dia pun langsung menyapa orang itu.
"Permisi, Bapak. Pakaian Bapak seperti saya tahu," ujar Ule menahan geram. Bagaimanapun juga Ule benci sekali dengan yang namanya pencuri. Di kampungnya, tindakan mencuri adalah salah satu tindakan dengan sanksi yang berat. Pencurian itu tidaklah dibenarkan.
"Kau diam saja! Kalau mau lewat, kamu lewat! Tidak usah bicara ini dan itu lagi," orang itu berbicara tidak karuan. Dia pun meracau panjang lebar dengan suara yang tidak jelas.
Tak lama kemudian muncullah sebuah mobil bak terbuka. Dari cara mobil itu berjalan, bisa diterka bahwa mobil itu membawa muatan yang cukup berat.

Ule buru - buru menyingkir dari jalan. Dia panjat salah satu batu besar yang ada di situ. Sayangnya tidak dengan orang mabuk tadi. Dia justru menghalangi laju mobil tersebut. Dia tetap berdiri di tengah jalan. Untung saja pengemudi mobil itu cukup cekatan sehingga dapat menginjak rem tepat waktu.
"Kau cepat turun! Turun!" perintah pemuda mabuk itu sambil menepuk kaca mobil bagian depan. Suaranya memekik tak bisa ditawar. Urat lehernya serasa mau putus.
"Hei, Marbut! Kau buat apa lagi? Awas kita mau lewat!" Sang Sopir mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil. Badannya sangatlah besar. Pipinya gempal. Lehernya seperti tenggelam.
"Turun! Turun! Mobil ini mau saya bawa! Kau tidak ada hak lagi," ujar Marbut sambil menggedor bemper mobil dengan botolnya. Suara pecahan kaca pun terdengar jelas. Lampu mobil hancur ditimpa botol Marbut.
Sang Sopir keluar, dia membawa parang. "Kau sungguh terlalu," gerutunya. Parang itu dia angkat tinggi - tinggi untuk mengancam Marbut. "Pergi kau? Atau isi perutmu saya kasih makan ke babi."
Sepertinya minuman keras masih belum menghilangkan kewarasan Marbut. Parang yang diacungkan kepadanya serta merta membuat Marbut lari tunggang langgang. Dia berlari terseok - seok dan terjatuh beberapa kali. Semabuk - mabuknya Marbut, dia masih sadar bahwa parang itu tajam.
"Lari Marbut! Lari! Jangan kembali lagi kau!"
Ule melihat pertengkaran itu dengan jelas. Sang Sopir melirik ke arah Ule, tapi dia tidak berbicara sepatah kata pun. Tatapannya serasa dia masih mencoba menahan amarah. Dia lantas masuk kembali ke dalam mobil dan tancap gas melanjutkan perjalanan. Ternyata mobil itu mengangkut anakan babi. Sepertinya Sang Sopir itu adalah peternak babi.
Ule masih terpaku dan bingung dengan kejadian tadi. Dia hanya ingin minta pakaiannya kembali. Tapi sepertinya, permasalahan semakin rumit. Orang mabuk atau Marbut namanya tadi, sepertinya suka cari masalah, batin Ule. Celakanya lagi orang itu sudah lari menghilang di balik rerimbunan rumput gajah yang tumbuh tinggi.
Belum sempat Ule berpikir ke tahapan selanjutnya, seorang tukang ojek datang mendekat. Motornya dihentikan secara mendadak. Badannya terhuyung - huyung menjaga keseimbangan. Kakinya berlarian ke sana ke mari menapaki tanah. Sukses menghentikan motor, suaranya lantang mengalahkan deru mesin.
"Kau ini, kalau mau berhenti bilang baik - baik," ujar tukang ojek itu dengan nada jengkel. "Turun di sini kah atau bagaimana?"
Penumpang di belakangnya seperti merasa bersalah. Dia turun dan langsung memberikan uang tanpa banyak bicara. Ule tampak kenal siapa penumpang tukang ojek itu. Dia pun mendekat ke arah Ule.
"Albert? Kenapa kau sampai kemari?" tanya Ule terheran - heran. Albert seperti salah tingkah. Matanya terus menjauh dari kejaran pandangan Ule. Tangannya disimpan erat di kantong celananya. Sementara itu tukang ojek sudah lari menjauh.
"Kau ada di belakang saya daritadi?"
"Iya, Kakak lari kencang sekali. Saya sampai tak bisa kejar lagi. Akhirnya saya naik ojek," terang Albert. Memang nafas Albert masih tak teratur. Kaosnya juga masih basah karena keringat. Sepertinya dia berusaha penuh mengejar Ule. "Saya kejar dari rumah, sampai jalan raya saya sudah tak kuat lagi."
"Bahaya Albert, kalau kau ikut saya daritadi. Jarak dengan rumah bukan jarak yang dekat. Kau sudah izin orangtuamu kalau kau mau ikut saya?"
Albert tampak menggeleng. Raut wajahnya kini diliputi kecemasan.
"Tak apa, sekarang kita balik saja. Nanti orangtuamu cari. Ayo kita jalan pelan - pelan!" ajak Ule sambil menepuk bahu Albert. Tapi Albert tetap tak bergeming. "Ada apa?" tanya Ule penuh penasaran.
"Ada yang mau saya sampaikan. Ini terkait Genangan Sampah yang kemarin. Apakah Kakak melihat benda kecil seperti taring?"
"Taring?" dahi Ule berkenyit. Dia lalu tersadar. Luka di pelipisnya memang sudah pulih tapi kini dia tahu, benda apa yang melukainya. Waktu itu memang dia tidak begitu siap, tapi matanya selalu awas. Benda itu melesat dengan cepat. Sepintas, Ule menangkap warnanya. Berwarna putih. Jadi kemungkinan besar benda itu yang dimaksud oleh Albert.
"Saya jadi ingat satu kejadian. Waktu saya di tepi sungai, saya sempat ambil benda itu dari tanah. Bentuknya bagus sekali. Taring itu menyala - nyala waktu saya pegang. Dan begitulah, tiba - tiba badan saya merasa panas. Tidak tahu kenapa rasa emosi sekali. Akhirnya tahu - tahu saya tak sadarkan diri."
Penjelasan Albert sejenak berhenti. Ada suara yang aneh dari balik rerumputan. Rumput gajah itu meninggi di sepanjang tepian jalan dan sekarang bergerak ke sana ke mari dengan hebohnya. Angin tak berhembus. Jadi bisa dipastikan ada sesuatu di balik rimbunan rumput gajah itu.
"Taring terus, taring terus. Kalian mana tahu barang begitu?" tampaklah Marbut datang kembali dengan kondisi masih sempoyongan.
Ule bersiap mengambil tongkat rotan dari nokennya untuk berjaga - jaga. Dia mencium ketidakberesan pada diri Marbut.
"Kau dua mau tahu soal taring itu? Asal kalian tahu, barang itu bukan barang sembarang," cercaan demi cercaan muncul dari mulut Marbut. Cara bicaranya kurang menyenangkan. Banyak sekali air liur yang berlompatan dari mulutnya. Minumannya tampak sudah habis. Tapi akibatnya masih tertinggal di belakang. "Kau dua ikut saya. Perhatikan baik - baik, taring ini punya kekuatan."
Sulit dipercaya ternyata Marbut mempunyai sebuah taring di genggamannya. Taring itu serupa taring babi, melengkung dan tampak tajam di ujungnya. Warnanya yang putih semakin mengkilap terkena cahaya matahari. Jika terus memandangnya, lama kelamaan taring itu akan berbayang.
"Bagaimana? Kau dua sudah terperdaya kecantikannya kan?" goda Marbut sambil terkekeh. "Mari kau dua, ikuti saya dan saksikan keganasan dari nafsu manusia!"
Jika sudah begini, mau tidak mau sepertinya Ule harus mengesampingkan masalah pakaiannya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
