05 Nama Saya Albert

0
0
Deskripsi

Ule berhasil mengalahkan Genangan Sampah. Orang - orang masih tidak tahu identitasnya. Mereka memanggil Ule dengan sebutan Pace Rotan. 

Pokoknya sore hari itu menjadi sore yang sangat sibuk. Orang - orang saling bekerjasama untuk membersihkan sampah yang masih berserakan. Ada yang membawa sapu ijuk, membawa kantong sampah, dan ada pula yang masih menangisi motornya.

Di antara kerja bakti bersama itu, orang - orang saling membicarakan mengenai aksi Pace Rotan.

"Anak itu hebat betul, bisa loncat ke sana ke mari dengan lincah. Tadi ada yang teriak apakah? Pace Rotan kah?"

"Dia bawa rotan, main pukul sana sini. Pasti orang beladiri itu. Teman Jeki Cen kah?"

"Tapi untung anak yang dia tarik selamat. Langsung di bawa ke rumah sakit. Katanya diantar tukang ojek."

"Kenapa naik ojek? Kenapa anak itu tidak naik ambulan supaya cepat sampai?"

"Bagaimana mau naik ambulan, sopir ambulan saja motornya kena makan Genangan Sampah."

Di tengah nestapa Sopir Ambulan yang kehilangan motornya. Ule berada di belakangnya, sibuk memungut sampah dan memasukannya ke kantong. Dia heran juga, untung tidak ada yang mengenalinya. Noken yang digunakan untuk menutup kepala sepertinya cukup efektif menyembunyikan wajahnya. Untung luka di pelipis Ule juga tidak begitu kentara.

Setelah mandi sebentar, sebenarnya Ule langsung bergegas menuju ke tempat bekas perkelahiannya dengan Genangan Sampah. Maksud hati hanya ingin melihat situasi dan juga beli nasi bungkus, tapi ternyata Pak Walikota sudah memberikan instruksi untuk mengadakan kerja bakti. Terpaksa Ule bergabung sambil menahan lapar.

"Bagaimana mau kita tolak kalau yang minta langsung Pak Walikota," ujar salah satu penduduk.

"Mau pura - pura tidak dengar tapi sudah terlanjur dia lihat muka saya. Orang kedinasan macam saya malu hati lah kalau tidak ikut bantu."

Ya begitulah, semua orang akhirnya membersihkan jalan raya. Memang kebersihan itu tanggung jawab bersama, walau begitu masih saja ada yang mengeluh dan saling menyalahkan.

"Harusnya ini jadi tanggung jawab Dinas Lingkungan Hidup. Sampah di sungai jadi banyak begini, sudah tahu malah tidak dikasih bersih."

"Ini namanya mereka makan gaji buta. Saya tidak buang sampah di sungai jadi ikut imbasnya begini."

"Eih eih eih, betulkah? Kemarin kau buang popok bayi itu?"

"Sembarang saja, itu bukan saya yang buang tapi anak saya ya. Memang saya yang suruh."

Akhirnya kedua orang itu berkelahi saling adu mulut. Ule yang sibuk mengambil sampah sampai mau tak mau mendengar pertengkaran mereka. Ule sadar satu hal, bahwa penduduk ini sebenarnya banyak yang buang sampah sembarangan. Namun begitu terjadi bencana, mereka malah saling menyalahkan. Jarang ada yang mau sukarela bertanggungjawab.

Jika ini terjadi di pedalaman, pasti semua orang langsung turun bekerjasama. Tidak ada yang bersungut - sungut. Misalkan ada bencana longsor, maka semua orang akan berkumpul dengan sukarela tanpa perintah untuk sama - sama membantu membersihkan jalan yang tertutup longsor. Ah, inilah kota yang diceritakan oleh Adolf.

Ule juga bertanya - tanya, bagaimana kabar anak kecil yang tadi dia selamatkan ya? Pertanyaan itu hanya terjawab dengan samar dari perbincangan orang - orang. Katanya anak itu sudah siuman dan keluarganya juga sudah ke rumah sakit. Ternyata anak itu sudah hilang selama dua hari. Ule jadi teringat cerita Adolf mengenai anak - anak yang hilang.

Malamnya, Adolf baru saja pulang dari bandara dan menanyakan ke Ule perihal kejadian tadi siang. Adolf dapat cerita dari Tukang Ojek. Ule diam saja mendengar Adolf ceramah panjang lebar. Dia berusaha keras supaya Ule tidak tertimpa masalah apalagi sampai celaka. Ule tahu bahwa Adolf memperhatikan dirinya. Makanya Ule tidak melawan apa pun nasehat Adolf.

"Kita tidak tahu Ule. Motor saja sampai hancur dia tarik. Bagaimana kalau kamu sampai celaka juga? Lakukan semuanya dengan hati - hati," nasehat Adolf keluar begitu sampai di rumah. Jaketnya saja belum dibuka. "Tapi mereka tidak tahu kamu kan? Bahwa kamu yang selamatkan anak itu? Kau punya cerita sudah sampai di mana - mana. Saya saja tahu dari Mama Penjual Pinang. "

"Tidak Kak Adolf, saya tutup kepala pakai noken. Tadi saya juga ke sana tak ada yang kenal dengan saya."

"Nah, itu - itu saya baru lihat. Di atas matamu itu ada luka gara - gara kejadian tadi siang. Betulkah?"

"Iya Kak," aku Ule sambil menundukkan kepala.

"Ule, ini kota. Di mana saja kau harus berhati - hati."

Ule menelan ludahnya. Dia menarik nafas panjang. Apa yang dinasehatkan Adolf padanya dia selalu simpan. 

Pagi harinya, pintu rumah Adolf diketuk. Adolf pun heran karena jarang sekali pagi - pagi ada tamu. Dia buka pintu. Setelah itu dipanggilnya Ule.

"Ule, ini ada tamu. Kelabu datang bawa anak kecil yang kemarin," panggil Adolf.

"Ah akhirnya kau panggil nama juga. Dari dulu Tukang Ojek terus. Sekali - sekali panggil nama begitu kan boleh," ketus Kelabu si Tukang Ojek. "Boleh kita masuk kah?"

"Masuk saja, mari masuk. Tapi tahu dari mana kau alamat rumah ini?"

"Jangan remehkan informasi dari para tukang ojek. Di kota ini, para tukang ojek itu macam koran berjalan. Berita dan kejadian update, apapun itu Gugele saja kita kasih kalah." 

"Google," timpal Adolf.

"Iya itulah yang ada di hape. Eh mana mana, si Ule itu mana?" seloroh Kelabu sambil masuk ke dalam rumah dan melongok ke sana ke mari.

post-image-6602cbb06bbe0.jpg

Seorang anak kecil mengikutinya dari belakang. Cukup tinggi untuk anak seusianya. Mungkin sekitar 150 sentimeter. Hidungnya mancung. Kelopak matanya lentik untuk ukuran laki - laki. Bibir bawahnya selalu dia gigit, mungkin karena gugup. Rambut keritingnya tercukur dan tersisir rapi. 

Ule pun keluar menanggapi panggilan Adolf. Pandangannya langsung mengarah ke anak kecil itu. Dia masih mengenalinya.

"Hei Ule, pahlawan kita. Luar biasa kau kemarin. Sigap dan tangkas. Bletak sini dan bletak sana. Salto ke sini, lompat ke sana. Hebat memang! Tidak sangka kau begitu hebat," ucap Kelabu tanpa injak rem. Mulutnya memang sangatlah lincah.

Ule hanya mengangguk menanggapinya. Dia kemudian mengarahkan pandangannya kembali ke anak itu.

"Oh, anak ini kemarin saya antar ke rumah sakit. Tadi pagi di pangkalan, dia cari saya. Cemaslah saya. Takut kalau dia belum sehat benar. Tapi dia paksa saya, kasih saya uang ojek. Sebagai tukang ojek yang baik tentu saya antar. Ya to?" terang Kelabu panjang lebar.

"Lalu orangtua tidak cari lagi kah?" potong Adolf sedikit cemas.

“Saya sudah izin,” jawab anak itu dengan sigap.

"Jadi orangtua sudah kasih izin?" lanjut Adolf.

"Tidak. Saya izin, tapi orangtua belum kasih jawaban saya sudah lari kemari."

Sontak Adolf menjadi kaget, "Anak - anak zaman sekarang memang punya nyali besar ya. Kau kan baru kemarin masuk ke rumah sakit. Apa tidak apa - apa sampai kemari?"

"Tidak apa - apa. Suster perawat saja bilang saya tidak apa - apa. Kita langsung pulang sore itu ke rumah. Saya tidur. Tengah malam saya terbangun. Kakak ini yang pakai noken selalu muncul di bayangan saya. Tukang Ojek ini, yang antar saya ke rumah sakit, dia bilang dia kenal dengan Pace Rotan. Orang yang sudah selamatkan saya. Kakak inilah."

"Pace Rotan?" tanya Adolf heran. "Apa lagi itu?"

"Pak, dengar he, semua pahlawan itu punya nama panggilan. Khusus buat dia karena dia punya kemampuan. Ule ini kan sering bawa tongkat rotan. Nah, dia jadi Pace Rotan kan. Nama bagus itu. Semua orang sekarang sudah panggil dia begitu," terang Kelabu.

Adolf melirik Ule dengan sudut matanya. Di satu sisi dia cemas terhadap Ule. Namun di sisi yang lain dia senang juga bahwa Ule bisa membantu orang. Tapi sebagai seorang kakak, Adolf mencoba untuk bijaksana.

"Ya sudah kalian sekarang mau minum apa? Saya putar untuk kalian."

"Kopi susu," mulut Kelabu mengeluarkan suara sebelum Adolf menyelesaikan kalimatnya. "Anak ini teh hangat saja. Kalau minum kopi pagi - pagi nanti mata bisa menyala sampai pagi lagi," kata Kelabu bercanda. 

Mereka pun duduk di ruang tengah. Adolf menyiapkan minuman di belakang.

"Nama saya Albert," begitulah anak kecil itu memperkenalkan diri. Ucapannya selalu dijaga agar tetap santun. Kadangkala memang penuh semangat dan membara di beberapa bagian. "Terima kasih sudah selamatkan saya."

"Sama - sama. Hampir saja kamu hilang kemarin. Tapi kamu sempat sadar?" balas Ule.

"Iya, saya sadar karena macam ada yang tusuk tangan saya. Langsung saya pegang itu. Saya genggam kencang. Saat tangan saya ditusuk, saya langsung melihat Kakak. Tapi setelah itu, saya rasa capek sekali dan langsung tidur," terang Albert.

"Kenapa kamu bisa ada di Genangan Sampah?" tanya Ule heran. 

"Kalau kau ada di sana berarti ada yang buang kau ke sungai. Ya to? itu kan Genangan Sampah, tempat terkumpulnya sampah - sampah," seloroh Kelabu. Albert memandangnya dengan tatapan sinis. Ule hanya bisa menghela nafas.

"Bukan begitu. Tidak ada yang buang saya. Waktu itu saya ada di pinggir sungai kerjakan tugas sekolah. Bu Guru tugaskan murid - murid buat video polusi. Saya bikinlah video polusi air di sungai yang banyak sampah. Lihat banyak sampah di sana saya berpikir dan agak marah juga, karena sampahnya banyak sekali. Seperti saya mau angkat dan banting satu kali keluar," kata Albert sambil penuh semangat. "Nah, setelah itu tiba - tiba saja saya tidak sadarkan diri dan tahu - tahu ada kakak yang selamatkan saya."

"Kau tidak tahu kalau kau sebenarnya sudah hilang dua hari?" tanya Ule kembali.

"Hilang apa?" potong Kelabu terheran - heran.

"Albert, kau sudah dua hari tidak pulang ke rumah kan?" Ule mengulang pertanyaannya untuk memastikan. Albert hanya mengangguk. Dia tampak seperti bingung.

"Kenapa saya tidak tahu?" Kelabu terheran - heran. "Pantas saja tadi tidak ada tukang ojek yang mau antar. Akhirnya saya yang kena."

"Tadi bukannya tukang ojek itu seperti Gugele. Makanya tadi saya tanya orangtuanya tidak cari lagi kah, begitu," timpal Adolf sambil membawakan minuman. Rupanya sedari tadi dia mencuri dengar. "Mari minum dulu!"

"Mati lah, aduh anak mari saya antar pulang saja. Nanti kalau lama - lama begini saya dituduh penculik anak lagi, ya to?" sepertinya Kelabu sudah mulai panik.

"Minum sebentar! Kopi susu ini," seloroh Adolf.

Entah bagaimana, pagi itu sepertinya Kelabu si Tukang Ojek minum kopi susu lebih cepat dari biasanya. Seperti pada kebiasaan Kelabu, sekali teguk maka mulutnya bisa keluar cerita berbelas - belas paragraf. Kali ini tidak, teguk demi teguk lancar masuk ke kerongkongan. 

Kelabu membujuk Albert, walau lebih tepatnya memaksa untuk lekas pulang. Adolf pun memberi saran kepada Albert untuk pulang dulu. Orangtuanya pastilah cemas, pesan Adolf. 

"Tidak apa - apa Albert, yang penting kau sudah tahu rumah ini. Besok kau bisa kemari lagi. Saya di sini terus," lanjut Ule mencoba menenangkan Albert.

Barulah Albert menjadi luluh. Dia mengucapkan terima kasih yang terakhir sebelum akhirnya pergi pulang diantar Kelabu.

Ule bersama Adolf membereskan cangkir dan juga ruang tamu. Melihat Ule berdiam dan melamun Adolf lalu bertanya.

"Kau kenapa dari tadi diam saja?"

"Heran saja Kakak, apakah ada hubungan antara anak - anak hilang dengan Genangan Sampah ini? Itu pikiran saya" terang Ule.

"Ule, apapun itu sebenarnya adalah tanda kalau kota ini ada suatu masalah. Memang sudah ada yang mengamankan. Kau penasaran karena kau sudah masuk di tengah pusaran masalah itu. Saran saya, kau boleh bantu tapi harus sebisamu saja. Jangan paksakan diri! Ingat, kamu di kota ini untuk sekolah. Bukan untuk yang lain," nasehat Adolf begitu membekas.

Ule pun memantapkan diri untuk tetap memperhatikan situasi yang ada. Tentu saja dengan membiarkan semuanya mengalir. Ule tak hendak mencari anak - anak yang hilang. Atau pun kemudian berusaha menyelidiki siapa penculik anak - anak ini. Sesuai kata Adolf, Ule datang ke kota ini untuk sekolah. 



 



 



 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
PedalamanUle
Selanjutnya 06 Pencuri? Itu Kau kah?
0
0
Ule akhirnya memutuskan untuk fokus pada tujuannya pergi ke kota, yaitu untuk melanjutkan sekolahnya. Sambil menunggu sekolah masuk, Ule mencoba mencari kegiatan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan