
1. Pertemuan
2. Tertarik
3. Tiga. Kencan
4. Empat. Lamaran
5. Lamaran Yang Diterima
1. Pertemuan
Namanya Nanda Almira, seorang wanita yang tidak pernah tahu dari rahim siapa ia dilahirkan. Wanita biasa yang sejak lahir sampai dewasa menghabiskan kehidupannya di dalam panti bersama anak-anak kecil lainnya.
Jika anak kecil lainnya akan diadopsi maka berbeda dengan Nanda. Penampilannya yang biasa bahkan cenderung kurus dengan kulitnya yang kecoklatan membuatnya tidak pernah dilirik oleh setiap pasangan yang berniat mengambil anak adopsi.
Awalnya Nanda kecewa. Selalu menangis setip kali ada pasangan yang datang dan tidak memilihnya, tapi lama kelamaan ia mensyukuri semua itu. Ia mencintai panti tempatnya berada, lingkungannya, orang-orangnya, para pegawainya dan terutama Ibu Desi, penanggung jawab panti.
Beruntung ketika Nanda beranjak dewasa dan menyelesaikan pendidikan SMA-nya Ibu Desi tidak memintanya pergi dan malah menawarinya untuk bekerja di panti.
Nanda yang sudah jatuh cinta pada panti tentu tidak menolak tawaran Ibu Desi begitu saja. Ia dengan suka cita menyambut tawaran itu hingga lima tahun setelah menyelesaikan pendidikan SMA-nya, Nanda masih bertahan di panti. Mengurus anak-anak panti yang sudah dianggapnya adik sendiri dengan senang hati. Seperti yang dilakukannya setiap pagi menjelang, Nanda akan membangunkan anak-anak panti yang masih tidur dan memastikan mereka mandi lalu melakukan ibadah dan bersiap-siap sekolah setelah menyelesaikan sarapan.
"Nanda, semua sudah bangun?" suara lembut Ibu Desi terdengar.
"Sudah Bunda," begitulah Nanda dan anak-anak panti memanggil Ibu Desi, "Anak-anak sudah sarapan dan ada beberapa yang sudah berangkat ke sekolah."
"Baiklah. Setelah ini tolong ke ruangan Bunda ada yang ingin Bunda bicarakan."
"Baik Bun."
Ibu Desi menepuk bahu Nanda lalu berjalan meninggalkan Nanda yang tengah mengawasi sarapan anak-anak panti. Tidak lama berselang, seperti yang perintahkan sebelumnya Nanda mengetuk pintunya lalu masuk ketika Ibu Desi mempersilahkan.
Ibu Desi mengamati Nanda dengan seksama. Tidak ada yang berubah dari Nanda. Wanita itu terlihat masih sama dengan Nanda kecil yang dulu di rawatnya. Bedanya hanya pada tinggi badannya, Nanda memiliki tinggi badan yang cukup tinggi untuk wanita Indonesia kebanyakan, serta wajahnya kini sudah menampakkan kedewasaan seorang wanita.
Ibu Desi ingat bagaimana Nanda dulu selalu menangis setiap kali pasangan yang datang tidak memilihnya. Ibu Desi tahu persis bagaimana inginnya Nanda merasakan kasih sayang orang tua, tapi takdir tidaklah berpihak padanya. Nanda tidak secantik dan seimut teman-temannya. Hal itulah yang menjadi penyebab utama kenapa tidak ada satu pun pasangan yang ingin mengadopsi Nanda.
Sekilas memang tidak ada yang terlihat istimewa dari Nanda atau penampilan fisik wanita itu. Nanda terlihat sedikit kurus. Tapi jika sudah melihat mata coklatnya yang berkilau dan rambut hitam panjangnya yang selembut sutra -yang selalu terikat- orang-orang akan menyadari betapa istimewanya Nanda.
Nanda cantik dengan pesonanya tersendiri.
"Duduklah sayang," Ibu Desi berkata lembut, memberi isyarat dengan tangannya agar Nanda duduk di depannya, "Bunda ingin meminta tolong kepadamu."
"Apa yang bisa saya lakukan Bunda?"
Ibu Desi tersenyum. Kerutan di wajahnya tidak serta-merta melunturkan kecantikan alami yang dimiliki wanita itu.
"Kamu tahu bukan kalau besok pemilik yayasan akan datang?" Nanda mengangguk. Sudah beberapa hari terakhir ia memang sering mendengar hal itu, "Bunda ingin kamu membantu persiapannya. Bagaimana pun juga Nyonya Irawan sudah lama tidak berkunjung kemari, karena sejak kematian suaminya beliau memilih tinggal di luar negeri dengan anaknya. Bunda ingin kamu membantu Mbok Ijah menyiapkan makanan untuk besok. Menurut informasi dari sekretaris pribadi Nyonya Irawan, beliau akan datang bersama putra tunggalnya yang baru saja menyelesaikan pendidikannya. Jadi Bunda ingin menjamu mereka dengan makanan Indonesia. Apa kamu bisa?"
Nanda tersenyum, "Tentu saja Bun, tentu saya bisa. Saya akan membantu Mbok ijah di dapur untuk menyiapkan segala sesuatunya."
"Terima kasih banyak Nanda."
"Sama-sama Bunda. Kalau begitu saya permisi dulu Bun, mau ke dapur untuk mempersiapkan segala sesuatunya dengan Mbok Ijah."
"Pergilah nak, Bunda percayakan semuanya padamu dan Mbok Ijah."
Nanda tersenyum, lalu bergegas ke dapur. Jika dalam hal pelajaran Nanda tidak terlalu pandai, tapi ia cukup pandai dalam memasak. Semua orang mengatakan masakannya enak setelah menyantap makanan yang dibuatnya.
Kecintaan Nanda pada masakan membuatnya setiap hari berkutat di dapur dengan Mbok Ijah, membantu wanita paruh baya itu menyiapkan makanan untuk penghuni panti lainnya. Meskipun sebenarnya Ibu Desi tidak pernah memintanya untuk melakukan hal itu, tapi Nanda melakukannya dengan suka rela. Ia menggunakan kesempatan itu belajar memasak dari Mbok Ijah yang tentu saja merasa terbantu dengan kehadiran Nanda di dapurnya.
Begitu sampai di dapur, Nanda mengatakan apa yang di katakan Ibu Desi pada Mbok Ijah. Setelah mendiskusikan menu apa saja yang akan mereka masak, keduanya sepakat untuk belanja keperluan yang masih kurang ke pasar.
Keesokan harinya, setelah membereskan kasur tempat tidurnya Nanda bergegas membangunkan anak-anak untuk mandi dan bersiap-siap menyambut sang pemilik panti. Semuanya tampak antusias. Mereka semua begitu gembira karena setelah sekian lama, Nyonya Irawan datang mengunjungi mereka kembali.
Sementara anak-anak bersiap, Nanda bergegas ke dapur membantu Mbok Ijah dan petugas memasak lainnya. Mereka berkutat untuk menyiapkan makanan Indonesia yang telah di sepakati kemarin. Rendang, gulai dan rawon serta pecel menjadi menu untuk makan siang bersama mereka kali ini.
Tiga jam setelahnya barulah semua makanan siap di atas meja makan.
"Nyonya Irawan dan rombongan sudah hampir sampai. Ayo kita keluar dan menunggu di depan," suara Pak Safwan, satpam panti di ambang pintu.
Mbok Ijah dan yang lain bergegas mencuci tangan dan mengelapnya pada celemek lalu melepaskannya, "Ayo kita keluar sayang."
"Mbok sajalah. Saya di sini saja. Mau beresin semuanya dulu nanti kalau sudah beres saya nyusul Mbok."
"Bener nih gak apa-apa kamu di tinggal sendirian buat kerjain ini? Ini banyak lo Nanda?"
"Gak apa-apa Mbok. Lagi pula saya gak enak kalau di sana, saya kan belum kenal. Nanti saja saya nyusul Mbok."
Mbok Ijah terlihat berpikir lalu mengangguk, "Baiklah tapi kalau kamu capek gak usah kerjain semua sendirian nanti kita beresin bersama-sama."
"Baik Mbok."
Mbok Ijah bergegas keluar, menyambut kedatangan Nyonya Irawan dan anaknya bersama Pak Safwan dan pegawai lainnya. Nanda yang tidak ikut -dan merasa tidak harus ada di sana- memilih di dapur, membereskan dan mencuci semua peralatan masak yang tadi mereka gunakan.
Setelah menyelesaikan pekerjaannya Nanda berniat membersihkan diri sebelum ke aula untuk bertemu dengan Nyonya Irawan. Nanda menutup pintu dapur dan berbalik hanya untuk bertabrakan dengan tembok berotot yang cukup keras.
"Oh!"
Nanda hampir terjatuh, tapi tangan besar dan berotot itu menahan lengannya, membuatnya tetap berdiri di tempatnya. Sekaligus memerangkap Nanda.
Ketika mendongak dan melihat sosok dihadapannya, Nanda tidak sanggup berkedip. Paru-parunya seolah mengkerut. Tatapannya beradu, lalu terkunci pada sorot mata abu-abu yang tajam.
Wajah pria itu yang tadinya sekeras granit perlahan melunak membentuk ekspresi mempesona. Bibirnya melengkung menggoda.
Pria itu tersenyum.
Nanda mengalihkan tatapannya kembali pada mata abu-abu yang memikat hanya untuk mendapati dirinya tersipu.
Untuk pertama kalinya Nanda merasakan jantungnya berdetak begitu kencang hingga nyaris membuatnya pingsan. Nanda tahu dirinya terpesona, tidak hanya sekedar terpesona tapi ia jatuh cinta. Nanda cukup tahu apa yang dirasakannya untuk menarik kesimpulan bahwa ia jatuh cinta pada pandangan pertama, jatuh cinta pada sosok pria berwajah malaikat di depannya.
2. Tertarik
"Maaf... maafkan saya tuan. Saya tidak tahu kalau..." Nanda menelan air liurnya ketika melihat pria dihadapannya tersenyum. Bukan senyum tipis seperti sebelumnya tapi senyum lebar yang membuat lesung pipit di pipi sebelah kanannya terlihat jelas. Pria itu sangat tampan. Bahkan sempurna bagi Nanda. Mata abu-abunya terlihat begitu hangat dan menenangkan.
Nanda berdeham. Ia melirik tangan pria itu yang masih berada di lengannya. Warna kulit mereka begitu kontras. Pria itu berkulit putih sedangkan dirinya coklat, membuatnya merasa minder. Nanda kembali mendongak, memandang matanya sekali lagi dan menyadari bahwa pria itu bukan asli orang Indonesia.
Bodoh. Seharusnya ia sadar ketika melihat mata abu-abu itu. Tidak mungkin orang Indonesia memiliki mata abu-abu seperti yang pria itu miliki.
Pria itu hanya tersenyum ketika menyadari kebingungan di wajah Nanda, sementara Nanda hanya bisa mengerjap ketika pria itu tidak mengatakan apapun. Ia berpikir kalau pria itu mungkin saja tidak mengerti bahasa Indonesia, mengingat dirinya yang memang tidak terlihat seperti orang Indonesia. Lalu apa yang harus dilakukannya? Ia sendiri pun tidak mahir berbahasa Inggris.
"Aduh bagaimana ini aku tidak bisa bahasa Inggris," Nanda menggerutu. Tidak sadar apa yang dipikirkannya malah terucap begitu saja dari mulutnya. Ketika sadar ia segera menutup mulutnya dan mendapati pria dihadapannya tersenyum semakin lebar. Membuatnya silau akan pesona yang dipancarkan wajah tampan dihadapannya.
"I am sory mister. I..."
Pria itu kembali tersenyum sebelum bicaraa, "Aku mengerti bahasa Indonesia. Jadi kamu bisa bicara menggunakan bahasa Indonesia denganku," suaranya yang serak terdengar begitu indah di telinga Nanda.
Nanda saat ini mungkin terlihat seperti orang bodoh dan ia yakin akan hal itu jika dilihat dari tawa kecil yang keluar dari mulut seksi pria dihadapannya.
Oh Tuhan suara tawanya saja begitu indah, apalagi saat...
Menggelengkan kepalanya Nanda merutuki dirinya karena pikiran bodoh yang tiba-tiba saja terlintas dalam otaknya. Lagi pula sejak kapan ia bisa berpikir mesum seperti itu? Oh Tuhan!
"Maaf, maafkan saya," Nanda melirik lengannya yang masih berada dalam genggaman pria di hadapannya, "Tapi bisakah anda melepaskan tangan anda? Rasanya hhhmmm.. sedikit menyakitkan."
Pria itu refleks melepaskan tangannya dari lengan Nanda yang sejak tadi di pegangnya, "Oh, maafkan aku."
Nanda menghela napas panjang seolah untuk pertama kalinya ia bisa bernapas dengan benar. Tapi kurang lebih begitulah yang terjadi. Sentuhan pria itu di kulitnya membuatnya kesulitan bernapas.
"Kamu bekerja di sini?" tanya pria itu setelah beberapa saat mereka diam. Mengedarkan pandangannya ke sekeliling pria itu kembali menatap Nanda yang hanya diam, "Oya perkenalkan namaku Pras."
Sesaat Nanda ragu menerima uluran tangan Pras, tapi pria itu ada di panti yang dikenalnya selama ia hidup dan tidak mungkin Pras akan berbuat jahat padanya, "Nanda... Nanda Almira," Nanda menyambut uluran tangan Pras, "Anda bisa memanggil saya Nanda dan iya saya bekerja di sini atau lebih tepatnya saya tinggal di sini."
Pras mengangguk. Ia kembali mengedarkan pandangannya ke seluruh area panti yang bisa dijangkamu penglihatannya, "Baiklah Nanda aku harus kembali. Kita akan bertemu lagi, aku janji."
Nanda tidak tahu harus menanggapi seperti apa ucapan Pras. Ia hanya diam ketika pria itu tersenyum untuk terakhir kali sebelum berjalan meninggalkannya. Yang Nanda tahu hanyalah ia merasakan kehilangan ketika tubuh tinggi Pras menghilang di balik tembok.
Pras berjalan dengan dengan mantap menuju ruangan Ibu Desi. Senyuman tidak lepas dari wajah tampannya setiap kali mengingat Nanda dan pertemuan mereka barusan. Pras berbelok di ujung koridor menuju ruangan Ibu Desi dan langsung di sambut pertanyaan kemana ia pergi oleh sang ibu, "Hanya berkeliling Mom jangan khawatir."
"Nak Pras hendak kemana memangnya?"
"Tadinya hanya mau melihat-lihat bu, tapi karena pantinya cukup luas saya jadi bingung makanya kembalinya cukup lama."
"Kamu itu kebiasaan langsung pergi begitu saja. Lain kali beritahu Ibu Desi supaya beliau bisa meminta salah satu anak atau pekerja di sini untuk menemanimu."
"Ibu bisa meminta salah satu anak di sini untuk menemani kalau Nak Pras mau berkeliling. Kebetulan di belakang panti ada lahan sawah yang ditanami sayuran dan ada kolam ikan."
"Boleh kalau itu tidak merepotkan Ibu."
Ibu Desi tersenyum. Ia tidak menyangka Pras memiliki sifat yang hampir sama dengan ibunya. Awalnya ia ragu ketika melihat Pras untuk pertama kali. Apalagi sejak menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atasnya, Pras tinggal bersama keluarga besar Sandra di London sekaligus untuk melanjutkan pendidikan. Hal itu membuat Ibu Desi tidak akan kaget jika Pras bersikap angkuh, nyatanya Pras sangat sopan seperti orang pribumi kebanyakan. Tidak hanya itu, bahasa Indonesia Pras bahkan terdengar begitu lancar seolah dia tidak pernah meninggalkan Indonesia.
"Aku selalu berbicara menggunakan bahasa Indonesia dengannya, kamu tidak perlu heran seperti itu, Des," ucap Sandra ketika melihat raut wajah kagum Desi memandang Pras.
"Aku sudah menduganya," Ibu Desi tertawa, "Kalau begitu mari kita makan siang. Aku sudah menyiapkan makanan khas Indonesia kesukaanmu Sandra, dan aku harap Pras juga menyukainya," kata Ibu Desi yang memang sudah berteman akrab dengan Sandra sejak lama.
Sandra mengangguk dan mengikuti Ibu Desi menuju ruang makan. Di atas meja sudah terhidang berbagai makanan khas Indonesia yang terlihat menggugah selera.
"Oh Rendang, Pecel," Sandra segera menarik kursi dan duduk, "Kamu tidak tahu betapa aku merindukan makanan-makanan ini," kata Sandra.
Meskipun Sandra Irawan atau Sandra Campbell bukanlah orang asli Indonesia tapi sejak pertama kali menginjakkan kaki di Indonesia ia sudah jatuh cinta pada semua yang ada pada Indonesia. Terlebih setelah ia mengenal Heru Irawan yang pada akhirnya menjadi suaminya. Kecintaanya pada Indonesia semakin kuat dan hal itu ia turunkan pada Pras, putra semata wayangnya dan Heru.
Tapi begitu suaminya meninggal Sandra memutuskan untuk kembali ke London, mengobati hatinya karena meninggalnya sang suami dan menjaga anak semata wayang mereka. Setelah bertahun-tahun tidak kembali ia membawa Prasetyo Campbell Irawan kembali ke Indonesia begitu menyelesaikan pendidikan dan mendapatkan pengalaman bekerja yang cukup untuk mengemban tanggungjawab yang ditinggalkan sang ayah.
"Ini enak sekali, siapa yang memasaknya?"
"Mbok Ijah dan yang lain yang memasaknya."
"Ah, terimakasih Mbok ini enak sekali," Sandra menggenggam tangan Mbok Ijah yang duduk dihadapannya sementara Mbok Ijah hanya tersipu mendengar pujian dari sang pemilik panti.
"Tapi saya juga di bantu sama yang lain, terutama Nanda, ah itu dia," semua yang ada di ruang makan menoleh mengikuti arah pandang Mbok Ijah. Entah kenapa Pras justru tersenyum ketika melihat sosok yang berjalan masuk dengan kepala tertunduk, "Ini Nanda, dia yang membantu saya selama ini di dapur," kata Mbok ijah ketika Nanda sudah berdiri di dekatnya.
"Nanda ini adalah anak panti juga Sandra. Nanda yang selama ini membantu kami sehari-hari di sini," Ibu Desi menambahkan.
"Masakanmu sangat enak Nanda, terimakasih," puji Sandra.
Nanda mengangkat wajahnya dan menatap sosok wanita paruh baya di hadapannya. Lalu beralih pada sosok pria yang membuat napasnya tercekat. Sekarang ia tahu kenapa pria yang beberapa saat lalu di temuinya di depan pintu dapur terlihat begitu berbeda.
"Hai Nanda. Aku benar bukan. Kita bertemu lagi," Pras mengedipkan mata melihat wajah Nanda yang memerah. Ia tersenyum melihat betapa polosnya Nanda. Wanita itu bahkan tersipu hanya karena ucapannya.
"Kalian sudah saling mengenal?"
"Aku tidak sengaja bertemu dengannya waktu aku berkeliling Mom," Pras menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari Nanda, "Kalau boleh aku mau Nanda menemaniku berkeliling setelah ini. Itu pun kalau Ibu Desi tidak keberatan," kali ini Pras menatap Ibu Desi yang tersenyum penuh pengertian.
"Tentu saja Nak Pras. Tapi sebelum itu sebaiknya kita makan dulu. Nanda juga belum makan," Ibu Desi menatap Nanda, "Makanlah Nak, kamu pasti sudah lapar karena bekerja sejak tadi."
"Terima kasih Bunda," Nanda menarik kursi tepat dihadapan Pras. Menyantap makanan dalam diam. Hanya sesekali ia berbicara ketika Ibu Desi maupun Nyonya Irawan menanyakan sesuatu kepadanya, selebihnya Nanda memilih menunduk menikmati makanannya, tidak berani mengangkat kepalanya terlalu lama karena Pras yang tidak berhenti menatapnya.
Selepas makan siang, Nyonya Irawan kembali ke ruangan Ibu Desi, yang lain kembali melakukan pekerjaanya sementara Nanda terpaksa harus mengantarkan Pras berkeliling seperti yang pria itu inginkan.
"Panti ini terlihat menyenangkan, sejak kapan kamu tinggal di sini?" tanya Pras ketika mereka duduk di gazebo yang terdapat di atas kolam ikan. Keduanya telah berkeliling dan Nanda sudah menjelaskan semuanya pada Pras, menjawab pertanyaan pria itu tentang panti dan bagaimana Ibu Desi mengelola panti selama ini. Puas berkeliling, Nanda mengajak Pras untuk beristirahat di Gazebo. Menikmati angin sepoi-sepoi yang sejuk.
"Entahlah," Nanda mengangkat bahu, "Mungkin sejak aku dilahirkan karena setelah aku bisa mengerti semua yang terjadi aku mendapati diriku di sini tanpa orang tua hingga saat ini."
Pras bisa mendengar kesedihan dalam ucapan Nanda membuatnya merasa tidak nyaman dan menyesal karena sudah menanyakan hal itu, "Maafkan aku, aku tidak bermaksud membuatmu mengingatmu masa lalu yang menyedihkan itu."
"Gak apa-apa Mas. Lagi pula semua itu sudah sangat lama. Aku bahkan sudah lupa rasanya seperti apa saat aku tahu di mana aku tinggal," Nanda tersenyum tidak lagi canggung seperti sebelumnya.
Pras orang yang menyenangkan dan setelah pria itu memintanya -dengan sedikit memaksa, alasannya Pras ingin mendengar seseorang memanggilnya Mas karena dia memiliki darah jawa dari sang ayah- untuk memanggilnya Mas komunikasi mereka jadi lebih santai dan menyenangkan.
"Berapa usiamu sekarang?"
"Dua puluh lima tahun, kenapa Mas?"
Pras mengangguk. Tersenyum mendengar usia Nanda lalu menggeleng ketika Nanda mengamatinya dengan kening berkerut, "Tidak apa-apa, aku hanya ingin tahu saja."
Nanda tidak lagi bicara, memilih bersandar di tiang gazebo sembari menurunkan kakinya ke dalam air kolam yang terasa dingin.
Keduanya terdiam. Tidak ada lagi pembicaraan yang terjadi. Nanda sibuk mengamati ikan-ikan yang muncul ke permukaan ketika ia melemparkan pellet, tidak menyadari Pras yang sejak tadi mengamatinya intens.
"Kamu cantik," Nanda menoleh. Keningnya berkerut seolah tidak yakin dengan apa yang baru saja di dengarnya, "Tidak..." Pras menggeleng buru-buru melanjutkan, "Kamu tidak hanya cantik tapi juga esksotis. Apa kamu sudah memiliki teman dekat?"
"Maksud Mas?"
"Maksudku boyfriend, kekasih, pacar atau apapun orang di sini menyebutnya."
"Tidak tentu saja tidak ada. Aku bukan wanita cantik hingga membuatku memiliki pacar. Tidak ada pria yang akan tertarik padaku Mas. Aku hanya anak panti yang bahkan tidak jelas asal-usulnya..."
"Tapi aku tertarik padamu," Pras memiringkan kepalanya dan tersenyum lebar ketika melihat mata Nanda membesar. Mata itu. Ia sangat menyukai mata Nanda yang berkilau, begitu tulus dan lembut, "Sepertinya aku menyukaimu Nanda Almira, jadi aku perlu tahu apakah kamu sudah memiliki kekasih atau tidak sebelum aku melakukan apa yang harus aku lakukan selanjutnya."
"Sepertinya aku menyukaimu Nanda Almira, jadi aku perlu tahu apa kamu sudah memiliki kekasih sebelum aku melakukan apa yang harus aku lakukan selanjutnya."
Seperti orang bodoh, Nanda hanya bisa terdiam dengan mulut menganga mendengar apa yang dikatakan Pras. Ia yakin pendengarannya masih cukup bagus untuk bisa mendengar dengan jelas apa yang diucapkan oleh Pras. Tapi akal sehatnya berkali-kali menolak apa yang baru saja didengarnya.
Tidak mungkin pria tampan seperti Pras tertarik padanya. Nanda yakin ia tidak semenarik itu hingga membuat Pras tertarik. Kalau ia memang wanita yang menarik pasti sudah banyak pria yang menaruh hati padanya. Tapi nyatanya tidak seperti itu. Nanda menyadari betul bagaimana penampilannya. Ia memiliki tubuh kurus, kulitnya coklat tidak putih seperti kulit wanita yang kebanyakan pria Indonesia sukai, wajahnya pun biasa saja tidak ada yang istimewa. Apalagi jika di tilik dari asal-usul, ia jelas kalah telak di banding wanita lainnya.
Nyatanya Nanda memang tidak memiliki apa pun yang bisa membuat seorang pria biasa tertarik padanya, apalagi pria seperti Pras.
Nanda menggeleng. Ia menatap Pras yang tengah tersenyum padanya dan memutuskan untuk bertanya. Hanya untuk sekedar meyakinkan diri bahwa apa yang baru ia dengar bukanlah yang sebenarnya, "Maaf, tapi maksud Mas apa ya?"
Pras mengusap puncak kepala Nanda perlahan. Senyum di wajahnya semakin lebar ketika melihat wajah Nanda merona. Nanda menunduk menghindari tatapan Pras.
"Aku tertarik padamu Nanda. Aku ingin mendekatimu, menjadikanmu teman dekatku dan kalau kita cocok mungkin kita bisa menjadi sepasang kekasih."
Kata-kata Pras lagi-lagi membuat Nanda tersentak. Ia menatap Pras dengan pandangan tidak percaya. Ini kedua kalinya ia mendengar pras mengatakannya dan sangat tidak mungkin ia salah mengartikan apa yang dikatakan Pras dengan sangat gamblang.
"Kenapa?" hanya itu yang bisa Nanda katakan. Tenggorokannya tercekat hingga suara yang keluar begitu kecil dan bergetar. Ia bahkan ragu Pras mendengar apa yang dikatakannya, tapi pada akhirnya Pras menjawab pertanyaannya.
"Apakah butuh alasan untuk semua itu?" Nanda spontan menganggukkan kepalanya. Ia butuh. Setidaknya alasan itu mampu meyakinkan dirinya bahwa ia lagi-lagi tidak salah menyikapi ucapan Pras.
"Baiklah jika kamu butuh alasan aku akan memberikannya," Pras meletakkan tangannya di kedua bahu Nanda dan memutar wanita itu hingga menghadapnya, "Aku tertarik padamu Nanda. Aku menyukaimu dan ingin dekat denganmu," Pras kembali mengulang kalimatnya, "Kamu terlihat berbeda. Kamu wanita yang baik dan penyayang. Aku bisa melihat semua itu dari mata besarmu yang indah ini," Pras menunjuk mata Nanda, "Tatapanmu membuatku terpesona. Kamu cantik. Kamu mempesona," Pras tersenyum.
"Untuk saat ini, iya aku akui kalau menyukaimu secara fisik karena itu aku ingin mengenalmu lebih dekat lagi. Agar aku bisa memahami apakah yang kurasakan padamu saat ini hanyalah ketertarikan sebatas fisik atau lebih dari itu," tangan Pras beralih menggenggam tangan Nanda, "Jadi aku memintamu dengan sangat untuk membiarkanku mendekatimu, untuk mengenalmu, untuk mengetahui seberapa cocok kita berdua."
"Ta... tapi..." Nanda mengigit bibir bawahnya dan hal itu tidak luput dari pengamatan Pras, "Tidakkah ini terlalu cepat? Kita bahkan baru bertemu beberapa jam yang lalu dan Mas sudah bicara seperti ini."
"Kenapa tidak? Aku bukan anak kecil yang tidak tahu apa yang aku inginkan dan apa yang harus aku lakukan. Aku mengenal diriku sendiri dengan baik dan aku yakin aku tertarik padamu karena itu aku ingin mendekatimu. Jadi kuharap kamu tidak menolak ataupun mengelak. Aku sudah tiga puluh tahun dan aku tahu apa yang kuinginkan dalam hidupku."
"Mas..."
"Sstt..." Pras menempelkan ujung jarinya di atas bibir kecil Nanda, "Aku tidak menerima penolakan Nanda. Kamu hanya cukup menyediakan waktumu. Tidak lama, hanya sampai aku yakin dengan apa yang kurasakan sepenuhnya."
Nanda menghela napas. Perdebatan yang terjadi membuatnya sadar Pras adalah pria yang keras kepala jadi ia memutuskan menyetujui apa yang Pras inginkan. Toh tidak butuh waktu lama bagi Pras untuk sadar bahwa tidak ada yang istimewa pada dirinya, dan ketika pria itu menyadarinya maka tanpa di minta pun Pras akan pergi.
Tapi permasalahan selanjutnya ada pada dirinya. Pras mungkin tidak akan tertarik padanya setelah mereka dekat, tapi bagaimana dengan dirinya? Sanggupkah ia bertahan untuk tidak terpengaruh pada pesona Pras?
Pras dan kesempurnaannya jelas bukan hal yang mudah untuk di abaikan.
"Bagaimana? Maukah kamu memberiku kesempatan? Memberikan diriku dan dirimu kesempatan untuk saling mengenal satu dengan lainnya?"
Nanda masih diam. Ia ragu antara harus mengiyakan atau tidak. Bagaimana pun juga semua ini sulit bagi Nanda.
"Aku mohon," Pras meraih tangan Nanda, menggenggamnya.
Nanda menghela napas. Tidak habir pikir kenapa Pras begitu bersikeras untuk mendekatinya. Padahal jika di tilik dari wajah, tubuh dan kekayaan, Nanda yakin tidak sulit bagi Pras untuk mendapatkan wanita yang diinginkannya. Tapi kenapa mesti dirinya?
"Nanda, aku tidak akan membiarkanmu pergi sebelum kamu memberiku jawaban."
Nanda kembali menghela napas. Berada di dekat Pras membuatnya memiliki kebiasaan baru yakni menghela napas lebih sering dari yang biasa dilakukannya.
"Baiklah terserah Mas Pras saja," jawab Nanda yang langsung menarik tangannya dari genggaman Pras. Nanda mulai risih dengan sikap Pras. Nanda khawatir apa yang mereka lakukan di lihat pengurus panti dan anak-anak lainnya.
Wajah Pras sumringah. Meskipun ia bisa melihat keraguan di mata Nanda tapi hal itu tidak masalah baginya. Toh yang di butuhkannya hanyalah kesediaan Nanda untuk memberinya kesempatan. Untuk urusan yang lain biarlah dirinya yang nanti akan menyelesaikannya.
"Terima kasih Nanda," Pras dengan cepat mengecup pipi Nanda sebelum wanita itu sempat menghindar. Pras ingin tertawa melihat wajah Nanda yang memerah seperti udang rebus, tapi ia mati-matian menahannya karena tidak ingin Nanda tersinggung.
Pras berdehem ketika Nanda masih saja memegang bagian pipi yang baru saja di ciumnya, "Ayo kita kembali. Ini sudah sore dan Mom pasti sudah menunggu sejak tadi."
"I... iya, Mas," jawab Nanda terbata. Ia turun dari Gazebo tanpa mengindahkan bantuan yang coba di berikan Pras. Ia masih terlalu malu dengan apa yang terjadi tadi, jadi lebih baik ia menghindari sentuhan fisik dengan Pras sebisa mungkin.
Pras tentu saja kecewa, tapi ia tidak mempermasalahkannya. Toh Nanda bersikap seperti itu karena wanita itu malu atas apa yang baru saja terjadi.
Keduanya melangkah bersama menuju ke ruangan Ibu Desi tanpa bicara. Di ruangan sudah menunggu Nyonya Irawan dengan wajah sumringah ketika melihat Pras datang bersama Nanda. Dari mata Pras yang bersinar Nyonya Irawan tahu bahwa anaknya menemukan sesuatu yang menarik dan hanya butuh waktu sebentar untuk tahu apa itu.
Senyuman dan cara Pras memperlakukan Nanda membuat Nyonya Irawan tahu bahwa hal menarik bagi Pras adalah Nanda sendiri. Ia sudah sangat mengenal anaknya. Pras layaknya buku terbuka baginya, jadi tidak sulit menebak apa yang sedang Pras pikirkan.
Tepat seperti perkiraan Nyonya Irawan, tidak lama setelah mereka berpamitan dan mobil perlahan meninggalkan panti, Pras mulai buka suara, menceritakan apa yang terjadi sejak dia pergi, mulai dari pertemuannya yang tidak sengaja dengan Nanda di depan pintu dapur, hingga obrolan mereka di atas Gazebo setelah Nanda mengantarnya berkeliling panti.
"Apa kamu yakin dengan apa yang kamu katakan Pras?"
"Mom tidak percaya padaku?"
Sandra meraih tangan Pras dan menggenggamnya, "Mommy tidak pernah meragukanmu sama sekali honey. Mommy hanya ingin memastikannya, mendengar langsung dari mulutmu. Mommy menginginkan yang terbaik untukmu, apa pun itu jika kamu merasa itulah yang kamu inginkan, itulah yang terbaik untukmu, Mommy akan selalu mendukungmu."
"Mom..."
"Kamu satu-satunya yang Mommy miliki setelah kepergian papamu dan kebahagiaanmu adalah tujuan hidup Mommy sekarang. Kamu tidak harus melakukan segala sesuatu untuk orang lain. Bagi Mommy kamulah yang terpenting, kamu mengerti?"
"Thanks Mom," Pras mencium pipi ibunya yang sudah keriput, "Aku tidak pernah meragukan apa yang Mommy katakan, sama seperti aku yang juga tidak meragukan apa yang aku rasakan pada Nanda saat ini. Aku yakin aku tertarik padanya, tapi untuk memastikan apa yang kurasakan ini lebih dari sekedar rasa tertarik secara fisik aku butuh waktu. Aku ingin mengenal Nanda lebih dekat dan memastikan apa yang kurasakan, tapi untuk itu aku butuh izin dan dukungan dari Mommy. Aku tidak akan melakukannya kalau Mommy tidak mengizinkanku."
Sandra tersenyum, "Tentu. Tentu saja Mommy mengizinkanmu mendekati Nanda. Mommy lihat Nanda wanita yang baik, Ibu Desi juga telah menceritakan tentang Nanda pada Mommy. Jadi tidak ada alasan bagi Mommy untuk menghalangimu mendekati Nanda. Tapi Mommy hanya berpesan satu hal padamu Pras," Sandra menghela napas, "Jika dalam perjalanannya apa yang kamu rasakan pada Nanda tidak seperti yang kamu perkirakan saat ini katakan yang sejujurnya pada Nanda. Setidaknya kejujuran lebih baik dari pada kebohongan meskipun hal itu terkadang menyakitkan."
"Aku tahu Mom, thanks," Pras kembali mencium pipi Sandra.
Perasaannya terasa ringan. Inilah yang di butuhkannya, izin dari ibunya. Kalau ibunya sudah mengizinkannya, maka tidak ada alasan lagi baginya untuk tidak mencoba melakukan pendekatan pada Nanda. Mencoba mengenal wanita itu lebih dekat lagi.
Setidaknya hatinya sejak awal sudah mengatakan keinginannya dan kini tinggal dirinya yang melakukan tugas terakhirnya, mendekati Nanda, memastikan apa yang dirasakannya pada wanita itu dan tentu saja menjadikan wanita itu miliknya.
3. Kencan
Pras melakukannya.
Pria itu benar-benar melakukan apa yang dikatakannya pada Nanda, ketika mereka bertemu terakhir kali.
Sudah dua minggu ini, Pras rutin mengunjungi panti di sela-sela kesibukannya. Jika tidak bisa datang saat siang hari maka Pras akan datang malam harinya. Menghabiskan waktu dengan Nanda membicarakan banyak hal.
Awalnya Nanda ragu dan malu dengan sikap Pras yang begitu terang-terangan mendekatinya. Membuatnya menjadi bulan-bulanan pengurus panti lain, terutama Mbok Ijah dan Pak Safwan yang selalu menggodanya. Beruntung Ibu Desi terlihat bisa bersikap dengan lebih santai ketimbang keduanya, jika tidak Nanda tidak yakin bisa mengangkat wajahnya seperti saat ini.
Setiap libur dan tidak sedang bekerja, biasanya Pras akan datang lebih pagi dengan gaya santainya. Menemani Nanda mengatur anak-anak hingga sore hari. Tapi hari ini berbeda. Pras datang dengan pakaian yang lebih rapi. Kemeja hitam membungkus tubuh indahnya.
Hari ini Pras memang mengatakan ingin membawa Nanda jalan-jalan, entah kemana Nanda tidak tahu. Yang pasti Pras mengatakan mereka akan menghabiskan akhir pekan bersama.
Nanda sudah siap tiga puluh menit sebelum Pras datang. Ia menunggu di kamarnya ketika melihat mobil Pras memasuki halaman panti. Lalu pria itu berjalan menuju ruangan Ibu Desi yang tentu saja untuk meminta izin. Meskipun Pras mungkin tidak memerlukan izin Ibu Desi, tapi pria itu selalu melakukannya. Membuat Nanda merasa begitu di hargai.
Nyatanya memang begitulah Pras memperlakukannya. Pria itu selalu memperlakukannya dengan lembut seolah dirinya sebuah kristal yang bisa pecah jika salah cara memegangnya.
Bagi Nanda yang usianya kini menginjak dua puluh lima tahun dan minim pengalaman, Pras adalah sosok pria sempurna. Tidak ada cacat sama sekali, hingga terkadang membuatnya rendah diri jika bersama dengan Pras. Karena fakta itulah, Nanda selalu menekankan diri sendiri, agar tidak terlalu terlena dengan perhatian yang Pras berikan padanya. Pras tidak mungkin serius untuk menjadikannya kekasih.
Dika, salah satu anak panti memasuki kamar Nanda, memberitahukan padanya kalau Pras sudah menunggunya.
Nanda mengangguk. Memastikan penampilan sederhananya -yang hari itu memilih mengenakan dres berwarna peach di bawah lutut- cukup pantas dan tidak memalukan untuk jalan bersama Pras. Sesampainya di ruang kerja Ibu Desi, mereka berbicara sebentar sebelum Pras membawanya pergi.
"Kita mau kemana, Mas?" tanya Nanda ketika mobil melaju keluar dari panti.
"Ke mall membeli handphone untukmu, lalu kita nonton dan terakhir ke pantai."
"Handphone? Untukku? Itu gak perlu Mas."
Kening Pras mengkerut, "Kenapa tidak?"
"Aku gak pernah kemana-mana dan gak punya orang untuk di hubungi, jadi aku rasa aku tidak membutuhkan handphone, Mas."
Pras tersenyum, "Tapi sekarang ada aku yang akan menghubungi dan kamu hubungi, dan menurutku kamu membutuhkannya. Setidaknya aku bisa menghubungimu langsung tanpa harus menghubungi Ibu Desi dulu ketika aku merindukanmu."
Wajah Nanda memerah. Beruntung rambut hitam panjangnya tidak diikat, hingga menutupi sebagian pipinya yang memerah.
Nanda tersentak ketika jemari Pras mengelus pipinya, "Kamu cantik kalau seperti ini."
Lagi-lagi Nanda hanya bisa merona. Bibirnya terkatup rapat, kesulitan menanggapi kata-kata Pras. Lagi pula kalau pun mulutnya bisa terbuka Nanda tidak tahu harus mengatakan apa. Jadi ia memutuskan tidak lagi bertanya atau pun membantah apa yang Pras inginkan.
Ketika mereka sampai di mall, Pras langsung membawa Nanda ke konter handphone dan membelikan Nanda ponsel bergambar apel yang di gigit dengan harga yang selangit hingga membuat Nanda lagi-lagi melongo kebingungan.
Nanda tidak langsung menyetujui keinginan Pras, tapi bukan Pras namanya kalau tidak bisa membuat Nanda menerima apa yang diinginkannya. Alasannya tentu saja agar ia bisa tahu di mana Nanda berada setiap harinya.
Memangnya Nanda mau kemana? Seharian dia juga berada di panti, kecuali besok.
Ah, Nanda belum memberitahu Pras kalau ia sudah di terima bekerja di sebuah rumah makan. Biarlah nanti ketika mereka sudah duduk berdua ia akan memberitahu Pras tentang hal itu.
"Sekarang kita kemana Mas?"
Pras melihat jam tangannya, lalu mengeluarkan ponsel miliknya. Tidak lama setelahnya, ia tersenyum, "Kita nonton dulu baru pergi ke tempat terakhir," lalu meraih tangan Nanda menuju lantai empat pusat perbelanjaan itu.
"Lo bukannya dari sini langsung pulang ya Mas?"
"Tentu saja tidak. Tadi aku kan sudah mengatakan kalau kita akan membeli handphone, lalu nonton trus ke pantai. Jangan bilang kalau kamu lupa," Pras menatap Nanda melihat kekhawatiran di wajah Nanda, "Jangan khawatir, aku sudah memberitahu Ibu Desi kalau kamu pulang malam, dan beliau mengizinkan. Jadi hari ini kita bersenang-senang. Oke."
"I... iya Mas."
Pras tertawa melihat sikap canggung Nanda. Saking gemasnya ia mengacak rambut hitam panjang Nanda dan terkejut merasakan betapa lembut rambut Nanda di tangannya.
Begitu sampai di bioskop, Pras langsung membeli tiket film yang sedang tayang, tidak lupa membeli popcorn dan air minum untuk menemani mereka di dalam.
Jantung Nanda berdebar, matanya menatap lurus ke depan. Bukan karena film yang sedang ditontonnya, melainkan sikap Pras padanya.
Sepanjang film yang di putar Pras tidak henti menggenggam tangannya. Mengelusnya dengan perlahan, membangkitkan sesuatu dalam tubuhnya yang Nanda tidak tahu apa. Hingga beberapa menit sebelum film selesai dan lampu di nyalakan kembali, Pras mencium pipinya. Cukup lama untuk membuat Nanda merasakan jantungnya bisa saja melompat keluar karena tindakan Pras.
Nanda menatap Pras setelah pria itu melepaskan ciumannya, tapi Pras tidak menunjukkan ekspresi apa pun selain wajah yang terlihat tegang. Membuat Nanda bertanya-tanya, mungkinkah ia melakukan sesuatu yang membuat Pras marah. Atau haruskah tadi ia membalas mencium Pras juga?
Nanda menggeleng. Berusaha menyingkirkan pikiran bodoh yang terlintas dalam benaknya. Ia tidak mungkin melakukan hal nekat yang justru akan mempermalukan dirinya.
Setelah keluar dari mall, Pras membawa Nanda menuju mobil dan langsung melajukan mobilnya meninggalkan area mall tanpa bicara sedikit pun, jadi Nanda memilih diam sembari mengalihkan pandangan ke arah luar. Melihat jalanan yang mereka lewati.
Dalam hati Nanda bertanya-tanya apakah Pras akan melanjutkan rencananya atau mereka akan kembali ke panti. Tapi melihat sikap Pras yang berubah dingin Nanda sudah bisa menebak, Pras akan membawanya ke panti dan membatalkan rencana jalan-jalan mereka sampai malam.
Nyatanya perkiraan Nanda salah. Pras justru melajukan mobilnya keluar dari kota membuat Nanda langsung menoleh padanya dan mau tidak mau menanyakan ke mana pria itu akan membawanya. Tapi lagi-lagi Pras tidak mengatakan apa pun. Membuat Nanda semakin sedih karena merasa perubahan sikap Pras karena dirinya.
Nanda tidak memperhatikan lagi ke mana Pras membawanya. Ia memilih menunduk sembari memainkan jemarinya. Hingga mobil Pras berhenti dan pria itu membuka pintu di sampingnya, memintanya untuk keluar.
Nanda sudah akan menolak ketika samar-sama ia mendengar suara burung dan debur ombak pantai. Nanda menatap mata Pras, meminta penjelasan hanya untuk dihadapkan pada senyum menawan pria itu yang kembali menghiasi wajah tampannya.
"Beneran pantai?" Nanda berusaha meyakinkan diri meskipun sebenarnya tanpa bertanya pun, ia tahu betul di mana mereka berada saat ini.
Pras mengangguk.
"Kenapa?"
"Karena aku mendengar dari Ibu Desi dan yang lain kalau kamu sangat menyukai pantai dan karena kesibukanmu untuk mengurus panti maka kamu sangat jarang bisa ke pantai," Pras mengulurkan tangannya, "Ayo keluar kita jalan-jalan dan melihat matahari yang sebentar lagi terbenam."
Nanda tersenyum. Meraih tangan Pras dan berjalan di samping pria itu.
Mereka menelusuri pantai yang berpasir tanpa alas kaki. Merasakan pasir lembut yang sedikit kasar bersentuhan dengan kaki telanjang mereka.
Matahari mulai tenggelam. Menampakkan semburat kemerahan di atas langit yang semula berwarna biru cerah. Baik Pras maupun Nanda memilih diam menyaksikan pergerakan matahari yang perlahan menghilang di atas langit.
Nanda tersenyum. Menyaksikan keindahan yang tercipta di hadapannya. Sosok Pras yang berdiri di sampingnya menyempurnakan keindahan yang tengah dilihatnya.
Langit perlahan berubah gelap. Air laut yang tadinya berwarna biru kini berubah hitam. Hanya buih dari ombak yang menghempas ke pantai saja yang berwarna putih.
Cukup lama Nanda diam mengamati, ketika suara Pras menyadarkannya. Nanda menoleh dan tersenyum ke arah Pras dengan begitu manis, "Terima kasih," ucapnya sungguh-sungguh.
Pras meletakkan sepatu di tangannya ke tanah dan melakukan hal yang sama pada sepatu yang berada di tangan Nanda. Lalu meraih kedua tangan wanita itu dan menggenggamnya. Ia menatap Nanda. Melihat sikap dan tingkah Nanda yang terlihat kikuk membuatnya tanpa sadar tersenyum.
"Mas, ada apa?" Nanda berusaha melepaskan tangannya dari genggam Pras bisa di tahan Pras, "Mas..."
"Aku tidak akan melepaskanmu sebelum kamu mendengar apa yang ingin kukatakan padamu," Pras menghela napas, menatap Nanda lama sebelum mengucapkan kalimat yang membuat mulut Nanda menganga lebar.
"Nanda Almira, aku menyukaimu. Bersedia kamu menikah denganku?"
4. Lamaran
"Nanda Almira, aku menyukaimu. Bersedia kamu menikah denganku?"
Kalimat itu terus terngiang di telinga Nanda, bagaikan alunan musik yang begitu indah, tapi sayangnya sulit untuk di percaya.
Pras melamarnya. Melamar dirinya.
Bagaimana Nanda bisa mempercayai semua itu adalah nyata?
Nanda sadar betul siapa dirinya. Tidak ada satu pun dalam dirinya yang bisa di banggakan untuk pantas bersanding dengan Pras. Secara fisik tidak ada yang istimewa darinya. Wajahnya tidak cantik, tapi cukup manis. Kulitnya tidak putih cenderung coklat. Pendidikannya pun hanya lulusan sekolah menengah atas, sangat berbeda dengan Pras yang adalah lulusan kampus ternama di luar negeri.
Keluarga?
Asal usulnya pun tidak ia tahu, bagaimana bisa ia membanggakan keluarganya?
Lalu apa yang bisa di banggakannya untuk bersanding dengan Pras? Jawabannya tidak ada... tidak ada sama sekali.
Alasan itulah yang membuatnya sulit untuk mempercayai apa yang baru saja di dengarnya. Bagaimana bisa pria sempurna seperti Prasetyo Irawan melamar seorang Nanda Almira yang tidak memiliki apa pun untuk di banggakan?
Nanda mengerjap ketika Pras meremas tangannya perlahan. Ia menatap wajah Pras. Sempurna. Hanya kata itu yang bisa mengungkapkan kekagumannya pada pria itu.
Pras adalah sosok sempurna, sedangkan dirinya tidak.
Kenyataan itu kembali menampar Nanda. Meyadarkan dirina, di mana seharusnya ia berada, atau bagaimana seharusnya ia menyikapi semua ini.
"Nanda..." panggilan lembut Pras menyebut namanya membuat Nanda kembali pada kenyataan yang tengah di jalaninya. Entah kenapa ia begitu menyukai cara Pras menyebut namanya, "Kamu mendengarku, bukan?"
"A... aku..." Nanda mengigit bibirnya, menahan suara yang hendak ia keluarkan.
Hatinya menyuruhnya menerima. Lagi pula apa lagi yang harus dipikirkannya? Di lamar oleh seorang pria sempurna seperti Pras, siapa yang sanggup menolak?
Tapi akal sehatnya menolak usulan itu. Ada banyak alasan untuk menolaknya, terutama karena kedekatan mereka yang bisa di bilang masih sangat sebentar. Mereka masih belum terlalu mengenal satu sama lain. Ada banyak hal yang tidak Nanda ketahui tentang Pras, begitu juga sebaliknya. Mereka membutuhkan waktu. Waktu untuk saling mengenal. Memahami satu sama lain sebelum memutuskan untuk melangkah ke jenjang yang lebih jauh.
Bukan karena Nanda menolak lamaran Pras. Justru ia adalah orang yang paling berbahagia mendengar lamaran pria itu. Tapi bukankah untuk menuju ke jenjang pernikahan tidak hanya dibutuhkan niat, tapi juga cinta?
Nanda mencintai Pras sejak mereka bertemu untuk pertama kali. Tapi bagaimana dengan Pras? Apakah pria itu juga mencintainya?
"Kamu tidak harus menjawabnya sekarang," suara lembut Pras kembali menyadarkan Nanda dari pikirannya. Ia menatap Pras dengan matanya yang lebar.
"Aku tahu kamu pasti berpikir kita belum terlalu saling mengenal, atau butuh waktu lebih banyak lagi untuk melangkah ke jenjang pernikahan dan aku menyadari semua itu memang benar," Pras tersenyum lembut, "Tapi bagiku yang paling penting adalah apa yang aku rasakan padamu. Hatiku memilihmu dan aku tidak pernah seyakin ini dengan apa yang aku rasakan."
"Tapi Mas..."
"Ssstt..." telunjuk Pras menyentuh bibir Nanda, mencegah wanita itu melanjutkan ucapannya, "Dengarkan saja apa yang aku katakan sebelum kamu memutuskannya," jemari Pras mengelus tangan Nanda, "Aku menyukaimu. Sejak berbicara denganmu aku sudah menyukaimu dan sejak saat itu aku memutuskan untuk melakukan pendekatan padamu. Meyakinkan hatiku bahwa kamulah wanita yang pantas untuk kujadikan istriku dan bukan kekasih."
Tangan Pras bergerak, menyingkirkan rambut panjang Nanda yang tertiup angin, "Dan keyakinan itu yang membuatku pada akhirnya memutuskan untuk melamarmu saat ini," ucapnya perlahan, "Aku tidak akan memintamu menjawabnya sekarang. Aku tidak akan memaksamu untuk menerima lamaranku, percayalah padaku."
Pras lagi-lagi tersenyum ketika melihat wajah bingung Nanda.
"Aku akan melakukan perjalanan keluar negeri selama seminggu. Besok aku akan berangkat dengan pesawat paling pagi. Aku harap kepergianku memberimu cukup waktu untuk berpikir. Cukup untuk memikirkan apa yang sebenarnya kamu inginkan," Pras membawa tangan Nanda ke bibirnya dan mengecupnya lembut. Mata abu-abunya memerangkap mata coklat Nanda dalam keintiman yang membangkitkan sesuatu yang Nanda tidak mengerti.
"Aku akan memberikanmu waktu. Aku akan menunggu sampai kamu siap dengan jawabanmu. Satu minggu... aku rasa satu minggu cukup untukmu memikirkan semuanya, Nanda. Tapi jika satu minggu masih belum cukup untukmu meyakinkan diri, aku tidak keberatan memberimu waktu lebih banyak lagi untuk memikirkan semuanya. Bagaimana pun juga pernikahan ini tidak akan terjadi jika bukan atas keinginanmu juga."
Nanda mendengarkan semua yang Pras katakan dengan seksama, tapi sayangnya Pras salah. Ia tidak butuh waktu satu minggu untuk meyakinkan dirinya mengenai jawaban apa yang akan diberikannya. Ia mencintai Pras dan memutuskan untuk menerima lamaran pria itu saat itu juga. Cinta membuatnya yakin, terlebih setelah mendengar apa yang Pras katakan.
Bodoh memang, tapi Nanda percaya dan detik itu juga memberikan kepercayaan sepenuhnya pada Pras. Tapi bibirnya tetap terkatup, tidak memberikan jawaban saat itu juga. Ia ingin menggunkan waktu yang di berikan Pras untuk berpikir. Untuk menyakinkan diri, bahwa apapun jawaban yang nanti diberikannya adalah yang terbaik, meskipun kenyataannya ia tidak butuh semua itu karena detik ini juga Nanda sudah memiliki jawabannya sendiri.
**
Setelah mengantarkan Nanda dan berpamitan pada Ibu Desi, Pras langsung pulang dan beristirahat. Paginya ia berpamitan pada Sandra setelah menyelesaikan sarapan bersama dan langsung menuju bandara.
Di bandara sudah ada Melani -sekretaris sekaligus teman baiknya, mengenakan celana panjang hitam dan kemeja biru- yang menunggunya.
Melani bergegas menghampiri Pras dan menyerahkan tiket pada pria itu, "Aku pikir kamu akan terlambat," ucap Melani santai. Begitulah mereka berbicara ketika sedang berdua. Tapi sikap formal akan mereka tunjukkan ketika mereka berada di depan orang lain.
"Bagaimana si kecil? Apa dia tidak menangis?"
"Tidak, tentu saja. Ayahnya sudah menjaganya."
"Baguslah kalau begitu. Maaf kalau aku harus mengikutsertakanmu dalam perjalanan kali ini.โ
Melani memukul lengan Pras, "Aku bekerja padamu kenapa harus minta maaf.โ
Pras tertawa, "Baiklah ayo kita chek-in," Pras menyeret kopernya dan melakukan chek-in di counter, setelahnya melangkah masuk ke ruang tunggu.
"Kamu terlihat bahagia. Apa terjadi sesuatu semalam?" tanya Melani yang mengamati Pras sejak tadi sibuk dengan ponselnya.
Pras meletakkan ponselnya. Menampilkan senyum kekanakan yang sialnya tidak pernah membuat wajah tampan Pras berkurang. Untungnya Melani tidak menaruh hati pada Pras seperti wanita-wanita lainnya. Melani mencintai suaminya dengan sangat besar, begitu juga sebaliknya. Alasan itulah yang membuat Pras menginginkan Melani sebagai sekretarisnya.
"Aku sudah melamarnya."
Melani yang tengah meminum teh dari botolnya tersedak. Ia memuntahkan teh itu, mengotori bajunya dan membuatnya terbatuk-batuk.
Apa yang dikatakan Pras sungguh mengejutkannya. Melani tentu saja tahu apa dan siapa yang saat ini tengah Pras bicarakan. Pras sudah menceritakan semuanya, tapi ia tidak menyangka Pras akan melakukannya.
"Kamu baik-baik saja?" Pras menepuk-nepuk punggung Melani perlahan.
"Kamu bilang apa tadi? Kamu melamarnya?" tanyanya memastikan. Anggukan Pras cukup bagi Melani untuk tahu bahwa dirinya memang tidak salah dengar. Pras melamar Nanda.
Ini gila. Benar-benar gila!
"Kenapa kamu terlihat terkejut seperti itu? Bukankah aku sudah memberitahumu sebelumnya?"
"Kamu gila, Pras," Melani memutar tubuhnya menghadap Pras, "Kamu tidak mencintai wanita itu. Jangan mengorbankannya hanya demi membahagiakan orang lain dan untuk menyelematkanmu. Kamu tidak hanya akan menyakitinya, tapi juga dirimu."
"Aku memang belum mencintainya, tapi aku menyukainya dan Nanda adalah kandidat yang paling tepat untuk status itu dari pada wanita lainnya."
"Pras..." Melani menghela napas, "Yang dibutuhkan seorang wanita dalam sebuah pernikahan adalah cinta. Sedangkan kamu tidak mencintai Nanda. Hatimu hanya untuk satu wanita dan alasan itu sudah lebih dari cukup untuk memberimu alasan bahwa apa yang kamu lakukan itu tidak baik. Tidak untukmu dan terutama Nanda."
Melani menggeleng tidak percaya. Ia mengenal Pras dengan baik dan tahu saat ini Pras tengah berada dalam titik lemahnya. Kondisi Sandra yang terus melemah karena jantungnya sudah tentu menjadi penyebab utama Pras memutuskan menikahi Nanda. Selain itu ketidaksetujuan Sandra pada Lucy yang notabene adalah kekasih Pras di masa lalu dan sialnya masih sangat dicintai Pras, jelas menjadi salah satu pemicunya.
Tapi bagaimana dengan perasaan Pras? Terlebih dengan perasaan Nanda nantinya. Ketika wanita itu tahu bahwa Pras menikahinya hanya untuk memberikan kebahagiaan pada ibunya yang kemungkinan berumur tidak panjang lagi. Lebih dari semua alasan itu, bagaimana kalau Nanda tahu bahwa satu-satunya wanita yang Pras cintai adalah wanita di masa lalunya? Apa hal itu tidak akan menyakiti Nanda?
Sebagai seorang wanita Melani mengerti apa yang akan Nanda rasakan dan ia tidak tega membayangkan wanita itu harus terjebak dalam kehidupan pria yang mungkin tidak akan pernah mencintainya.
"Pikirkan lagi Pras. Pikirkan semuanya. Jangan sakiti orang lain demi kepentinganmu sendiri. Ini tentang pernikahan, bukan hanya sekedar berpacaran."
"Aku sudah memikirkannya sebelum melamar Nanda. Satu minggu lagi, sekembalinya kita dari perjalanan ini aku meminta Nanda memberikan jawaban atas lamaranku padanya. Jika memang ia menolak aku tidak akan memaksanya."
"Masalahnya sulit bagi seorang wanita untuk menolak pria tampan sepertimu," sindir Melani. Dalam hati ia berharap Nanda akan menolak lamaran Pras, meskipun kemungkinan itu sangatlah kecil terjadi.
5. Lamaran Yang Diterima
"Bunda menyerahkan semuanya kepadamu, nak," suara lembut Ibu Desi mengalun indah di telinga Nanda. Membawa kelegaan dalam hatinya.
Meskipun Nanda benar-benar tidak membutuhkan waktu satu minggu yang diberikan Pras untuk memikirkan lamaran pria itu, tapi tetap saja ia tidak ingin memutuskannya sendiri. Karena itu setelah memikirkan segala sesuatunya, Nanda menemui Ibu Desi dan menceritakan semua yang terjadi, mengenai hubungannya dengan Pras dan lamaran pria itu kepadanya.
Bagaimana pun juga Nanda sudah menganggap Ibu Desi sebagai orang tuanya sendiri, sama seperti anak panti lainnya. Karena hal itu juga Nanda tidak ingin mengambil keputusan sendiri. Ia membutuhkan pendapat dari Ibu Desi yang sudah lebih dulu mengenal keluarga Irawan. Meskipun sebenarnya hatinya terus saja meneriakkan untuk menerima lamaran Pras, tanpa segala pertimbangan yang kini tengah dipikirkannya.
Tapi lagi-lagi ini adalah mengenai pernikahan dan ia memiliki impian menikah sekali seumur hidupnya. Ia tidak ingin salah langkah hanya karena perasaannya saja.
"Yang pasti bunda sangat bahagia mendengar apa yang kamu ceritakan. Pras adalah pria yang baik, setidaknya itu yang sering Ibu Sandra ceritakan pada bunda. Dan melihat bagaimana ia selama ini saat mendekatimu, bunda yakin apa yang selalu ibunya ceritakan memang sebenarnya. Percayalah pada kata hatimu," Ibu Desi menggenggam lembut tangan Nanda.
"Tapi bagaimana dengan Ibu Sandra? Aku takut dia tidak akan setuju karena asal-usulku yang tidak jelas Bunda."
Ibu Desi menggeleng, "Kamu pikir apa alasan Ibu Sandra mendirikan panti ini? Ia ingin memberikan rumah bagi orang-orang seperti kalian. Memberikan keluarga yang tidak sempat kalian miliki dan karena hal itu juga ia tidak pernah mempermasalahkan asal-usul seseorang. Baginya yang terpenting adalah orang itu sendiri, kepribadian orang itu sendiri. Tidak penting dari mana orang itu berasal atau seperti apa orang tuanya. Ibu Sandra tidak pernah memikirkan hal-hal seperti itu yang menurutnya tidak penting sama sekali untuk di pikirkan."
"Bunda..."
Ibu Desi tersenyum, "Bagaimana pun juga keputusan akhir ada di tanganmu tapi percayalah keluarga Pras akan selalu menerimamu dengan tangan terbuka. Sudah saatnya kamu memulai kehidupan barumu, sayang. Sudah saatnya kamu menjemput kebahagiaanmu," Ibu Desi menyentuh dada Nanda, "Ikuti kata hatimu. Yakinlah bahwa apa yang hatimu inginkan adalah yang terbaik demi kebahagiaanmu."
Nanda mengangguk, mengiyakan semua yang Ibu Desi katakan. Bagaimana pun juga, keinginan untuk membina keluarganya sendiri selalu diimpikan oleh Nanda. Ia begitu ingin merasakan memiliki sebuah keluarga. Dimana ada dirinya, suaminya serta anak-anak mereka kelak. Sesuatu yang tidak pernah Nanda miliki dalam hidupnya selama ini. Sekarang ia memiliki kesempatan itu. Kesempatan untuk mendapatkan dan membangun keluarganya sendiri, jadi seharusnya tidak ada keraguan untuk hal itu.
Ibu Desi benar. Ia harus mengikuti kata hatinya dan hatinya memilih Pras. Menginginkan pria itu untuk menjadi suaminya, ayah dari anak-anak yang kelak akan di lahirkannya.
Memeluk Ibu Desi, Nanda berkata dengan penuh haru, "Terima kasih Bunda. Sekarang aku yakin apa yang kuinginkan."
"Kamu harus yakin. Ikuti kata hatinya maka kamu pasti akan bahagia, sayangku," ucap Ibu Desi penuh haru. Hari ini untuk kesekian kalinya ia kembali mengantarkan seorang anak asuhnya menuju sebuah jenjang kehidupannya yang baru. Dan sama seperti sebelumnya, keharuan menyelimuti hatinya.
Dalam hati, Ibu Desi berdoa agar dalam kehidupan barunya Nanda akan mendapatkan kebahagiaan seperti halnya anak-anak asuhnya yang lain.
Setelah berbicara dengan Ibu Desi, mencurahkan apa yang dirasakannya, keraguannya dan berbagai hal lainnya, perasaan Nanda jauh lebih ringan. Ia memasuki kamarnya dengan wajah tersenyum bahagia. Sambil memikirkan reaksi Pras ketika ia memberikan jawaban atas lamaran pria itu.
Besok Pras akan pulang dan Nanda sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Pras dan memberitahu pria itu jawaban atas lamarannya.
Ini pertama kali seorang pria menginginkan dirinya. Ini pertama kali seseorang menawarkan sebuah keluarga untuknya -keluarga yang tidak pernah di milikinya. Jadi tidak ada alasan kenapa ia harus menolak lamaran yang Pras ajukan.
Pras dan rancangan masa depan yang di tawarkannya tentu saja tidak akan membuat Nanda sanggup menolaknya. Lagi pula seperti yang Ibu Desi katakan, Pras adalah pria yang baik dan Nanda yakin Pras akan membahagiakannya.
Dan mengenai perkenalan mereka yang cukup singkat Nanda yakin hal itu bukan masalah besar. Pras adalah pribadi yang baik, ia yakin bisa mengenal Pras lebih jauh seiring kebersamaan mereka nantinya.
Nanda terlelap dalam tidurnya sambil tersenyum. Memimpikan kehidupan rumah tangga yang akan dijalaninya bersama Pras.
Sayangnya masa depan tidak pernah bisa di prediksi orang lain. Nanda mungkin percaya ia akan bahagia, tapi siapa yang tahu apa yang akan terjadi ke depannya?
**
Hawa panas kota Jakarta langsung menyambut, ketika Pras melangkah keluar dari area bandara. Sambil merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku, Pras berjalan menuju mobil yang telah menjemputnya.
Perjalanan dari Macau cukup melelahkan, belum lagi di tambah pekerjaan yang harus dilakukan di sana. Saat ini ia benar-benar butuh istirahat, berendam dalam air hangat sepertinya terasa nikmat untuk merenggangkan otot-otot tubuhnya yang tidak bergerak cukup lama.
"Kamu yakin tidak ingin kuantar?" tanyanya pada Melani yang berjalan di sampingnya.
"Tidak terima kasih. Suami dan anakku sedang dalam perjalanan kemari."
"Kalau begitu aku akan menemanimu menunggu mereka dan kali ini tidak ada bantahan, Melani," ucap Pras penuh penekanan, "Kamu pergi denganku dan karena itu kamu adalah tanggung jawabku sampai suamimu datang."
Melani mendengus, "Terserah anda saja yang mulia."
Pras terkekeh, lalu membawa Melani menuju sebuah cafe. Mereka memutuskan untuk minum secangkir kopi sambil menunggu. Tidak lama setelahnya suami Melani datang bersama putri mereka. Setelah itu baik Pras maupun Melani memilih pulang.
Sepanjang perjalanan Pras memikirkan Nanda. Ia begitu ingin menemui wanita itu dan mendengar jawaban yang wanita itu berikan. Karenanya Pras meminta supir untuk membawanya menuju panti agar bisa bertemu Nanda.
Ketika Pras sampai keadaan panti sudah cukup sepi karena semua anak-anak sudah berangkat ke sekolahnya. Pras memutuskan untuk menemui Ibu Desi terlebih dulu, memberi tahu kedatangannya dan meminta izin untuk menemui Nanda.
Kejutan, kata Pras kepada Ibu Desi yang hanya tertawa mendengar penuturan Pras mengenai kedatangannya yang begitu tiba-tiba.
Setelahnya Pras berjalan menuju kamar Nanda seperti yang Ibu Desi beritahukan sebelumnya. Pras membuka pintu kamar secara perlahan, mengintip melalui celah yang terbuka dan menemukan Nanda tengah merapikan kamarnya membelakangi pintu.
Masih dengan mengendap-ngendap Pras memasuki kamar dan langsung memeluk Nanda dari belakang. Ia bisa merasakan tubuh Nanda yang tegang selama beberapa detik lalu perlahan mulai tenang ketika Nanda mulai mengenalinya.
Nanda berbalik. Posisi mereka yang begitu dekat membuat wajah Nanda memerah, sementara Pras hanya tersenyum melihat betapa cepatnya wanita itu merona karena dirinya.
"Apa yang Mas lakukan di sini?" Nanda menoleh ke arah pintu, "Bagaimana kalau Ibu Desi dan yang lain tahu kalau Mas ada di sini? Ayo Mas sebaiknya Mas keluar, tidak enak kalau ada yang tahu Mas berada di kamarku."
Pras merenggut mendengar ucapan Nanda, tapi tidak melepaskan pelukannya di pinggang ramping Nanda, "Bukankah seharusnya kamu bertanya bagaimana perjalanan yang telah kulakukan? Kapan aku sampai di Indonesia? Apa aku lelah atau tidak? Dan bukannya malah mengkhawatirkan pendapat orang lain."
"Mas..."
"Baik-baik," Pras menjepit hidung Nanda, "Aku sudah memberitahu Ibu Desi tentang kedatanganku dan beliau yang memberitahuku kalau kamu ada di sini. Jadi kamu tidak perlu khawatir karena aku memasuki kamarmu dengan izin darinya."
"Tapi untuk apa?"
"Tentu saja untuk memberimu kejutan, manis," Pras tersenyum lagi ketika melihat wajah Nanda yang merona. Ia bertanya-tanya betapa polosnya Nanda yang bisa merona hanya karena sedikit sikap lembutnya. Bahkan rona merah di pipinya begitu jelas terlihat di kulit coklatnya.
"Jadi bisakah aku mendapatkan jawaban atas lamaranku padamu seminggu yang lalu?" tanya Pras to the point.
"Mas..." Nanda menunduk semakin dalam. Ia masih sangat malu jika harus berada sedekat ini dengan Pras. Kesempurnaan Pras secara fisik membuatnya selalu merasa tidak pantas berdampingan dengan pria itu. Ia selalu saja kehilangan kata-katanya setiap kali berdekatan dengan Pras. Begitu hebatnya pengaruh pria itu padanya.
"Jadi?" Pras kembali menuntut.
Nanda mengangkat wajahnya, menatap Pras beberapa saat sebelum akhirnya tersenyum dan mengangguk. Pras tersenyum, tapi tetap meminta Nanda menjawabnya dengan bibirnya dan bukannya memberi jawaban dengan sebuah isyarat.
"Aku mau, Mas. Aku mau menikah sama, Mas Pras."
Pras tertawa. Mengangkat tubuh Nanda dan memutarnya, hingga membuat Nanda memukul bahu Pras karena membuatnya ketakutan. Tapi Pras tidak peduli. Baginya cukup jawaban Nanda maka semua masalah terselesaikan.
Segera... setelah semua ini ia akan memastikan Nanda menjadi istrinya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
