
Part 3 - 4
Part 3.
....
Namanya Seruni Rasendriya. Kini tengah mengamuk bak kesetanan di halaman depan rumah megah yang semestinya sangat tidak asing untuk dirinya. Jauh-jauh ia terbang dari kota Kalimantan sana ia datang ingin menemui seseorang namun sayangnya tidak dengan cara baik-baik.
Dan ya memang tidak pernah akan baik-baik.
"Aku tidak memiliki waktu untuk menunggu anak kurang ajar itu!!" jeritnya berang ntah sudah keberapa kali namun nampaknya orang-orang yang berpakaian hitam itu dengan tubuh tegap sama sekali tak terprovokasi oleh amukan dan seperti sudah sangat mengenal dan membaca bagaimana gilanya wanita ini.
Buggh!!
Satu pukulan dari tas yang Seruni bawa melayang pada salah satu pria yang bertugas mengamankan rumah ini, "Menyingkir Kalian!!" jeritnya lagi. "Anjing." makinya saat pergerakan yang ingin menerobos pria-pria yang tengah berdiri di hadapannya langsung mendapat hambatan.
Ck, tolonglah ini baru pukul 11 menjelang siang.
"Minggir kalian keparat, aku ingin menemui anak itu dirumah'nya yang itu!"
Enak saja.
Salah satu pria berbadan tegap nampak masih muda dengan sigap mencengkram lengannya.
Ya, lengan nenek-nenek menyusahkan saja.
Kael namanya. Paham seberapa tenaga yang harus ia keluarkan agar lengan wanita 50 tahun ini tidak remuk. Rekannya meringis pelan kala melihat Kael mendapatkan pukulan bertubi-tubi agar ia melepas cengkramannya untuk menghalangi niatnya.
Rekannya satu lagi ikut terkekeh, "Nenekku yang sudah pikun kalau mengamuk tidak segila ini Kael." gumamnya membuat Kael terkekeh.
Rontaan demi rontaan hingga pukulan demi pukulan di tulang pipinya kali ini lebih kuat Kael dapatkan.
"Tahan Kael," ucap rekannya yang lain serius.
Dan Kael mengangguk dengan satu gerakan ia mengunci tangan dan kaki wanita setengah baya itu. Usianya tidak lah lagi muda namun otaknya melebihi binatang yang tidak memiliki akal sehat.
Sinting.
"Ikat saja dan lakban mulutnya atau gimana nih Bang?" ia bertanya kepada tujuh rekannya yang lain sembari masih menahan Seruni yang masih terus meronta-ronta.
"Sakit Kael?" bukannya merespon pertanyaan'nya yang tadi salah satu rekannya yang berdiri di depannya malah mempertanyakan kondisinya.
"Ck," Kael berdecak singkat. "Gue masih manusia ya bang, ya sakitlah." jawabnya lugas. "Jadi gimana ini Bang Ham?" ia mengarahkan pandangannya kepada Ilham kepala Bodyguard di rumah ini.
Ilham berdecih sengit, "Menyusahkan saja."
"Memang," sahut Kael cepat. "Kalau tidak dia pasti titisan Fir'aun itu dua manusia yang hidupnya kok jadi wali dajal di bumi ini." komentar Kael lagi.
"Ya sudah lah kita lempar saja ke ruang baw--" suara rekan Kael terhenti saat menyadari gerbang utama rumah ini terbuka dan meluncur sebuah sedan mewah pemilik sah rumah ini.
"Heeeyyy!!" Kael refleks menutup matanya saat telinganya terasa mati rasa karena teriakan wanita tua yang masih ia kunci pergerakannya ini.
"Pekakk nenek tua," umpat Kael berang. "Bar-bar sekali kau ini." lalu ia kembali ikut menoleh dimana mobil berwarna hitam silver itu berhenti di dekat taman depan rumah.
Ilham sudah berlari untuk menyambut kedatangan boss nya itu.
"Lepaskan aku Setan!!"
"Kau yang setan!" kembali Kael menyahut.
Sungguh ia tidak terima. Diantara rekan-rekannya ialah yang paling Vocal melawan dua titisan dajal termasuk salah satunya nenek peyot ini kalau mereka tengah berbuat ulah begini.
"Bu..," sapah Ilham sopan ia menunduk sekilas saat bossnya itu telah keluar dari kursi penumpang mobilnya.
Narsa mengulas senyum seraya mengangguk sebagai respon.
Ya, ini dia Narsa Renjana.
Ia tidak perlu mengarahkan pandangannya pada sumber suara teriakan lantang di sana, "Maaf saya agak lama Ham." ucapnya kepada Ilham.
Mengangguk sopan. Ilham dan rekan-rekannya sama sekali tidak masalah karena memang ini sudah tugas dan kewajiban dari profesinya. Bahkan jika ia ingin jujur Ilham ingin langsung melempar orang-orang yang gemar sekali mengusik dengan kurang ajar ketenangan boss titisan dewi ini ke jurang curam.
Tentu saja Ilham dan rekannya pernah protes termasuk Kael yang mengatakan boss nya ini tidak perlu repot lagi turun tangan ketika Dua titisan dajal ini menampakan diri namun karena boss nya selalu mengatakan tak masalah untuk ikut turun langsung mengatasi, Ilham dan rekannya bisa apa mereka selain hanya patuh. Seperti Sandi yang selalu sigap melindungi dan menjaga dua boss baik hatinya ini.
Mereka juga melakukan hal yang sama.
Demi Tuhan tidak hanya cantik sekali Boss nya beserta adik nya, keduanya adalah bukti nyata dari Tuhan bahwa di dunia ini masih ada sosok yang nyaris sempurna tidak hanya dengan paras tapi yang lebih utama adalah Adab dan Akhlak yang menjadi pedoman di Hati dan Jiwa.
"Siapa yang kena serang?" suara Lembut Narsa membawa pikiran Ilham untuk kembali fokus.
"Kael Bu,"
Narsa mengangguk sekilas lalu barulah ia menatap ke arah depan dengan gerakan perlahan.
Suara makian itu
Dari pijakannya ia dapat melihat jelas bagaimana sosok wanita setengah baya itu meronta bak kesetanan pada kael.
Narsa bukan tanpa alasan melakukan hal ini dengan repot repot ia masih Sudi meluangkan waktu berharga nya untuk hal sangat tidak berguna ini.
Jangan pernah berpikir Narsa memiliki alasan untuk sesuatu yang bernama rindu beralasan kesakitan kepada dua manusia itu.
Tidak sama sekali.
Sedikitpun sudah tidak ada rasa apapun yang tertinggal untuk kedua manusia itu dari Narsa dan Hasya.
Demi Tuhan tidak ada.
Karena rupanya Narsa ingin menunjukkan sesuatu Narsa ingin membuktikan sesuatu kepada dua manusia yang pernah menorehkan tumpukan luka mengerikan dari masalalu dengan teramat kejam.
Yaitu satu pembuktian dan Narsa ingin menunjukkan langsung dengan dua manusia tersebut bahwa apa yang mereka selalu lontarkan sumpah kematian dulu kini ia dan sang adik panjang umur dan teramat baik bahkan bahagia.
Ada di hadapannya.
Dulu yang mereka siksa bertubi-tubi tanpa belas kasih dan sedikitpun rasa iba bahkan tumpahan darah pun mereka tidak pernah perduli.
Saat ini sudah tumbuh menjadi anak-anak yang tangguh dan dapat tersenyum dengan tenang.
Perihal dendam.
Bukan lagi berbicara dendam untuk Narsa.
Tapi Narsa ingin sedikit memberikan pengadilannya sendiri sebelum Pengadilan Tuhan nanti mengambil andil atas perbuatan dua manusia di masa lalu untuk dirinya terlebih untuk adik yang sangat Narsa cintai.
Harus.
Kedua orang itu harus menerima balasan langsung dari dirinya sendiri.
Tentunya dengan caranya sendiri.
Karena tanpa ada yang tahu sumpah Narsa sudah bertahun tahun yang selalu Narsa tempatkan paling tinggi di masalalu saat ia dan sang adik masih tinggal di sebuah gubuk hampir rubuh tanpa atap dan lantai beralasan tanah.
Dan kini Narsa membuktikannya.
Atas izin Tuhan, tentunya.
Kini Narsa sudah berhenti tepat di hadapan Seruni Rasendriya. Menatap tanpa ekspresi wanita paruh baya yang tetap masih di kunci pergerakannya ini oleh kael.
Narsa cukup memandang beberapa detik saja tidak sudi memandangnya terlalu lama.
Tidak.
Wanita cantik nan menawan itu yang saat ini menggunakan stelan formal kantor beralih memandang Kael sejenak, "Bawa masuk kael, di bantu yang lain juga." titahnya terlampau tenang.
Tidak ada yang dapat berhasil menebak bagaimana aura Narsa.
Wanita ini teramat mahir menyimpan apapun itu dengan ketenangan luar biasa yang melekat pada dirinya.
Dan sudah begitu saja.
Setelah mengatakan itu tanpa perlu repot memandang kembali atau bahkan melirik pun tidak kearah seruni yang kembali menggila dengan ronta dan makian.
Narsa Renjana mengambil langkah dengan dagu terangkat tinggi melewati Seruni begitu saja untuk masuk lebih dulu ke dalam rumah mewah berlantai 4 ini.
Ya, bangunan yang menjadi saksi bagaimana kebringasan serta ketidakberprikemanusiaan'nya sepasang suami istri di masalalu menghajar sang adik dengan buas.
Dan Kini, bangunan megah ini sudah beralih nama menjadi hak kepemilikan sepenuhnya atas dirinya.
Sengaja Narsa membeli'nya saat mendengar rumah ini ingin di jual tiga tahun silam dengan bantuan orang-orang'nya tanpa menaruh curiga Arga Ardi Cakrabuana serta Seruni Rasendriya melepas rumah ini.
Dan juga bukan tanpa alasan Narsa membeli rumah ini bukan untuk di tinggali dengan sang adik. Tidak.
Narsa tidak sudi membawa sang adik kembali menginjakkan kaki kembali ke rumah ini.
Hanya dirinya saja yang boleh.
Untuk mengadili 2 manusia tanpa hati itu.
Hingga niat awal membeli rumah ini sebagai saksi bisu bagaimana sepasang suami istri menyiksa mereka bertubi-tubi di setiap sudut rumah ini tidak memiliki memori indah sekecilpun yang ada hanya lah sebaliknya.
Namun rupanya gayung bersambut tanpa di cari tanpa di usik sepasang mantan suami istri ini rupanya mendatangkan diri sendiri kehadapan Narsa mengusik nya mengganggu ketenangannya.
Tentu saja, Narsa sudah memegang lebih dulu permasalahan demi permasalahan yang terjadi dengan sepasang mantan suami istri itu. Apa yang menimpa keduanya.
Dengan detail Narsa memegang dan mengetahui kartu As kedua manusia tersebut.
Atas kuasa nya di dunia Bisnis.
Maka dengan senang hati Narsa menyambutnya, menyambutnya untuk menghantarkan kembali ke rumah ini bukan untuk merajut bahagia kembali tapi ada asa yang harus mereka bayar dan Narsa bayarkan.
Narsa mengubah keadaan berbalik saat ini.
Narsa yang melihat bagaimana raungan khawatirnya atas keberlangsungan hidup kedua nya saat ini.
Tangisan demi tangisan
Rintihan demi rintihan.
Jerit kesakitan
Teriakan kebencian.
Doa buruk dari sepasang manusia yang menjadi perantara adanya dirinya dan sang adik di muka bumi ini.
Makian demi makian.
Pukulan demi pukulan.
Suara siksaan tanpa ampun.
Yang memenuhi sudut rumah ini nyaris tanpa celah.
Hingga sesak yang merayap sempurna selalu mendekap Narsa ketika menjejakan kaki ke rumah ini kembali.
Bersama dengan langkah kakinya yang mengayun Narsa Renjana membawa tumpahan darah itu yang tak pernah berniat ia hapus jejaknya.
Sekecilpun.
.
.
.
"Lepaskan aku brengsek!"
"Lepaskan dia Kael," titah Narsa memenuhi permintaan Seruni.
Dengan berat hati Kael mematuhi perintah boss cantiknya itu.
Namun ia dan Ilham tidak beranjak pergi.
Mereka berada dalam satu kamar luas dan ini adalah Kamar Hasya kecil hingga usia gadis itu berusia 8 tahun dan Narsa 13 tahun hingga mereka tanpa belas kasih di depak dari rumah ini.
Miris sekali ya.
Tapi sudah lah itu sudah berlalu untuk Narsa.
Dan saat ini keadaan berbalik ia lah sang pemilik kuasa rumah ini.
"Kau--"
"Maju dan sentuh aku sedikit saja pengawal ku akan menendang anda dari hadapan'ku," sahut Narsa mengerti dengan pergerakan Seruni yang hendak menyerangnya dengan berang.
Jangan harap wanita itu bisa menyentuh kulit nya atau bahkan yang ia pakai setitikpun.
Narsya tidak sudi.
Tanpa menoleh sedikitpun namun Narsa sudah sangat hapal dengan pergerakan wanita setengah baya ini. Ia hanya menatap diam pada jendela besar yang ada di kamar ini menyuguhkan pemandangan sekitar kota ini.
Tangannya terlipat angkuh di depan dada tanpa perlu repot-repot ia turunkan kacamata hitamnya dan dagu'nya yang runcing.
"Aku tidak memiliki waktu banyak untuk hal yang berbau sampah," lagi suaranya menderak dingin dan terkesan angkuh.
Seruni berdecih sengit, "Angkuh sekali kau." Narsa menarik sudut bibirnya samar mendengar hal yang di lontarkan oleh Seruni tentu saja tidak sekali dua kali.
Tapi Narsa mana mau perduli.
Ya, Keangkuhan hanya untuk Seruni dan Arga serta orang-orang yang di sekitar mereka.
Coba saja usik dia.
"Tidak ada aku kau tidak akan bisa hidup," lagi, Seruni dengan percaya dirinya melontarkan kalimat bak ibu yang teraniaya dengan anak durhaka'nya.
Narsa cukup mengulum samar tanpa mengubah posisinya, alisnya yang terukir indah dari dalam kacamata hitamnya ia tarik untuk beberapa saat.
"Seharusnya kau berterimakasih denganku bukan malah menjadi durhaka."
Tepat sekali.
Ini yang di tunggu Narsa Renjana.
"Ilham minta Denis ready'kan mobil saya di depan teras, saya memiliki jadwal yang lebih penting dari sekedar mendengar bualan sampah seperti ini."
Lalu yang terdengar adalah sahutan Seruni kembali.
"Anjing!" ia ingin maju menyerang Narsa kembali namun gagal karena suara Narsa kembali terdengar.
"Tetap di tempat anda Nyonya Seruni yang terhormat di kalangan orang-orang'mu, pengawalku masih ada di belakangmu," kini ia telah berbalik dan menyorot dingin Seruni dari balik kacamata hitamnya.
Hanya berjarak empat langkah saja dari tempatnya berpijak.
"Aku datang jauh-jauh dari kalimantan hanya ingin meminta hakku,"
Narsa masih belum merespon.
"Berikan apa yang ku'minta,"
Langkahi dulu jasadnya.
"Berikan apa yang ak-
Taaarrrr
Narsa melemparkan guci vas kecil yang berada di atas meja di hadapannya tadi.
Mendapati hal itu Seruni nampak terlonjak kaget dan refleks mundur dua langkah memandangi pecahan keramik guci vas tersebut hingga ia luput sudah berdiri lebih dekat di hadapannya.
"Kenapa ...," bisiknya dengan suara rendah. "Tidak kena di kepalamu ya? Aku tidak ingin ada darah perempuan kotor yang mengotori kamar ini." Narsa memundurkan bibirnya dari telinga Seruni.
Mendengar itu tangan Seruni refleks terangkat bermaksud menampar Narsa namun lagi-lagi terhenti saat mendengar suara Narsa kembali menguar.
"Aku bukan kalian yang keji menyiksa Ciptaan Tuhan hingga tak berdaya, meski darah kita sama tadi kata'mu ya," tidak ada riak berarti dari bibir indah Narsa saat mengatakan ini. "Tapi Aku dan Adikku berbeda, bahkan jauh berbeda darimu dan Tuan Cakrabuana itu." tandas Narsa dengan lugas.
Ingin mendengar yang lebih dari ini..
Maka mari dengarkan sama-sama
"Aku tidak perlu berterimakasih dengan'mu selain kepada Tuhan, kalau hanya pertumpahan darah melahirkan yang kau maksud itu sudah di bayar impas dengan siksaan demi siksaan yang kau torehkan dulu terhadap kami," Narsa memaparkannya teramat tenang bahkan ia sama sekali tak keberatan jika pengawalnya turut mendengarkan. "Hutang Budi yang kau banggakan itu sudah terbayar impas dengan doa-doa kematian yang kau teriakkan Untuk Adikku dulu, dan Kebaikan Tuhan menunjukkan denganmu, Adikku panjang umur bersamaku." ia tak perlu bereksprsi yang berlebih saat memaparkan ini namun gemuruh dada Narsa tak mengingkari itu.
Narsa berbalik lalu meraih buku kecil yang memang sudah ia keluarkan sejak tadi, ia letakkan secara terang-terangan di atas meja yang menyatu pada set sofa di dekat jendela besar kamar adiknya dulu ini.
Nampak menuliskan di beberapa lembar bagian di sana cukup beberapa detik saja. Tak berselang lama ia kembali dengan dua lembar yang Seruni tahu adalah cek.
Mengerti arah pandang Seruni, senyum Narsa pun terbit segaris ada dua lembar cek berada dalam tangannya. Tadi masing masing ia menuliskan nominal yang berbeda pada bagian lembar cek yang dia ambil tadi.
"Seperti kalian yang dulu tidak pernah merasa bertanggung jawab atas kami, aku pun juga begitu." Narsa menyorot beberapa detik Seruni.
Kemudian ia mengkode lewat jarinya agar Kael mendekat sebelum ia jatuhkan atensi dari balik kacamata hitamnya. "Tidak ada hutang budi yang mewajibkan'ku untuk membayar itu semua kepada kalian sekecil apapun itu." tutup Narsa.
Ia sudah muak berada di sini, jadi Narsa dengan cepat akan menyelesaikan ini. "Ini cukup untuk membawa'mu pulang ke Kalimantan kembali ke keluarga cemara'mu putri tiri'mu menanti'mu di rumah, bahkan mungkin masih ada lebihnya." selembar cek bertuliskan dua puluh juta Narsa jatuhkan tepat di bawah kaki Seruni membuat wanita itu melotot tak terima. "Anggap ini belas kasihan ku dengan kondisi ekonomi kalian yang mulai menurun, bukan?" Narsa lebih dulu menaikkan Kedua alis indahnya saat emosi Seruni kembali menggelegak dan egonya kembali Narsa sentil.
"Pungutlah," tersenyum miring, Narsa lalu menunjukkan satu cek lagi, "Dan ini ... Kael," ia memanggil bodyguardnya.
"Iya Bu," Kael dengan sigap mendekat ia hanya bisa melongo saat tangan Narsa melewati wajah Seruni dan berhenti tepat di wajahnya.
"Ini seratus lima puluh juta, 70 juta untuk kamu berobat atas luka di wajah kamu tadi dan selebihnya bagikan kepada yang lain ya terimakasih atas bantuan kalian tadi." Kali ini Ia benar-benar mengulas senyum tidak hanya dengan kael namun juga dengan Ilham yang juga tak kalah terkejut meski ini bukanlah hal pertama yang di lakukan Narsa.
Mengerti pergerakan Seruni yang sudah hendak merebut cek yang masih menggantung di tangannya itu, Narsa kembali bersuara, "Cepat ambil Kael dan bawa keluar Nyonya Seruni ini begitu saya pergi ya." bisa apalagi Kael jika sudah begini.
"Setan," umpat Seruni berang, "Cek ku 20 juta dan pengawal bodohmu itu 100 juta."
Mendengar itu membuat kekehan geli Narsa terdengar pelan sebelum benar-benar melangkah pergi ia sempatkan memberi tatapan merendahkan kepada Seruni yang kini sudah berseru ingin menarik Narsa namun Kael dengan sigap menghalangi.
"Bawakan Tas saya ya Ilham saya tunggu di depan," ucapnya kepada Ilham yang langsung diangguki patuh oleh Ilham.
Dan Narsa benar-benar melangkah pergi dari kamar itu dari hadapan Seruni Rasendriya.
Namun dalam langkah'nya ia masih dapat mendengar teriakan wanita paruh baya itu.
"Aku akan terus kembali sampai aku mendapatkan keinginan ku anak brengsek!" maki Seruni. "Kurang ajar kau set--hmmpph lep--hmph."
"Kael mati dia di sini jadi kerjaan lagi!" seru Ilham saat melihat Kael mencekik leher Seruni sebab mengerti ingin kembali mengeluarkan makiannya kepada boss bidadarinya Kael refleks melepas cekikannya pada Seruni tak perduli dengan satu pukulan lagi yang ia dapatkan sebab ia sudah beralih menatap Ilham.
"Biar tas ibu aku yang bawakan bang sekalian mau balikan ini bang, Ck..," Kael berdecak kecil merasa tidak pantas ia menerima apa yang di berikan Narsa tadi.
Melihat Ilham hanya berdecak sembari masih berjalan menuju dimana tas Narsa terletak Kael kembali berujar, "Memangnya abang mau terima?" kini barulah giliran Ilham yang melotot.
Gila saja dia.
Dua hari lalu mereka juga baru mendapat hal yang serupa dengan nilai yang sama setiap orang dan sekarang apalagi ini...
Narsa ini sebenarnya jelmaan bidadari dari pintu surga yang mana sih..
"Ya udah sana cepat!" sahut Ilham beralih memegang lengan Seruni. "Keluar dari sini Kau!!" ucapnya tajam.
Sementara Kael sudah menerima tas boss bidadarinya Kael buru-buru bergegas namun bibirnya tetap mencebik," Ibu itu ya dikit-dikit begini Udah kita kerjanya gak pernah repot-repot banget, ini juga udah resiko kitalah gak perlu perobatan segala luka begini doang yailah."
Dan Ilham yang mendengar Kael mengomel hanya dapat menyunggingkan senyum samar kemudian menatap tajam Seruni dan membawa wanita setengah baya itu keluar dari kamar dan rumah ini.
Dan Untuk Narsa..
Seperti Seruni dan Arga yang dulu tak sudi mengikutsertakan airmata mereka saat Narsa membawa Hasya dalam kondisi berdarah darah saat ini Narsa juga begitu Tidak perlu mengikutsertakan airmata bagi Narsa airmatanya terlalu berharga untuk menangisi dua orang tua yang menjelma bak iblis untuk adiknya itu.
Part 4.
….
"Ibuu," Kael sedikit berseru ketika melihat Narsa sudah hendak mencapai mobilnya. "Ini tas Ibu, maaf bu...," Kael menunduk sopan setelah memberikan tas milik Narsa.
Ia menarik napas dalam sudah tahu pasti hasil akhirnya nanti tapi masa bodo lah yang terpenting Kael berusaha dulu saat ini.
Serius, Ia dan rekan-rekannya terlampau sungkan dengan kebaikan demi kebaikan boss nya ini memperlakukan mereka. Tidak hanya Narsa tapi Jagat juga begitu.
Lalu di'ikuti oleh Binar begitu juga dengan sang suami.
Mereka orang-orang luar biasa baik.
Kael bisa bersaksi, demi Tuhan.
"Bu ... ini Kael dan yang lain tidak bisa menerima ini Bu, maaf yang ...," ia tergagap saat mendapati Narsa tengah menatapnya dari dekat begini.
Serius.
Aura boss bidadarinya ini Kael saja tidak dapat menjabarkannya saking luar biasanya.
Sial sekali.
Lidahnya mendadak keluh, apalagi saat Narsa membuka kacamatanya dan Kael dapat melihat sepasang iris indah sewarna spektrum itu yang hanya dimiliki oleh berapa persen manusia di Indonesia dan salah satunya adalah Narsa dan Hasya.
"Mak ... maksud Kael," ia menjeda kalimatnya tetap menunduk tak berani balas menatap Narsa. "Kael tidak papa Bu, ini sedikit di kompres sudah lebih baik Bu, Maaf Bu," ia hanturkan permohonan maaf lagi seraya meringis teramat sungkan.
Mengerti bagaimana kegugupan Kael, Senyum cantik Narsa terbit, "Sudah tidak papa Kael terimalah, saya duluan ya ...,"
Ck, baiklah nampaknya Kael perlu sedikit agak nekat.
Jadi ia angkat pandangan dan berseru, "Tapi Bu, yang kemarin juga masih ada Bu," pergerakan Narsa yang hendak masuk ke dalam mobilnya terhenti ia kembali menoleh dengan seulas senyum lagi. "Ibu apa tidak takut kehabisan uang kalau begini."
Kan dia jadi keceplosan kan..
Mendengar itu Narsa baru bisa terkekeh merdu sembari menggelengkan kepalanya sekilas, "Rezeki saya Rezeki kalian juga, tidak perlu khawatir karena segalanya tidak akan pernah Tertukar yang sudah menjadi ketetapan Tuhan termasuk dalam hal rezeki Kael." senyum Narsa tersungging satu level cantik dari yang pertama tadi.
"Di Tabung saja untuk masa depan kalian, mumpung ada rezekinya harus gunakan sebaik mungkin ya, Kirimkan dengan orang tua sebagiannya hmm," penuturan Narsa membuat Kael benar-benar membeku sekaligus terhenyak apalagi saat tangannya terulur untuk menepuk pelan bahu Kael. "Sudah ya, itu di kompres cepat nanti Infeksi Kael." tutupnya, lalu kakinya melangkah kembali menuju pintu penumpang yang memang sudah terbuka.
Belum sempat Kael memberi respon, Denis--supir Narsa menunduk sopan, "Maaf Bu, tadi Pak Jagat menelpon menanyakan Ibu sebab ponsel ibu di hubungi tidak bisa."
"Ah, ya saya lupa Denis tadi ponsel saya silent karena meeting di PT Benz Group," sahut Narsa cepat.
Ya, sebenarnya selesai dari PT Benz Group tadi yang memang Narsa tidak perlu berlama lama jika menghadiri secara langsung meeting kepada klien'nya, ia ingin segera kembali ke Kantor namun saat selesai berpamitan kepada jajaran komisaris PT Benz Group Narsa mendapatkan telepon dari Ilham bahwa ada Seruni yang tengah mengamuk di rumah masa kecilnya yang sekaligus menjadi rumah pertumpahan darah mereka beberapa tahun silam.
Jadi, Narsa dengan segera mengubah tujuan'nya sejenak meluangkan waktu berharganya untuk wanita itu.
Bukan untuk saling menumpahkan rindu.
Tidak sama sekali.
Tapi untuk memberi bukti kepada wanita itu bahwa Narsa saat ini mampu melakukan apapun itu seperti saat Seruni dan Arga dulu dengan tega menyiksa sang adik tanpa ampun.
"Mba Jessi juga menelpon tadi Bu." Narsa mengerjap saat mendengar suara Sandi kembali.
Dan sudah kalau begini, Narsa hanya bisa menarik napas panjang lalu mengangguk paham, "Ya sudah, kita ke kantor ya, nanti di mobil saya chek ponsel saya." ia kembali menoleh ke'arah Kael. "Saya duluan ya Kael." pamitnya dan hanya dapat diangguki kaku oleh Kael.
Ia masih belum sepenuhnya tersadar dari ributnya otak dan hati yang tengah sibuk beradu hipotesis tentang boss'nya itu.
Hingga tanpa sadar tahu-tahu saja kedua pelupuk matanya memanas saat ia mendapati satu hal yang pasti bukan hanya Kael saja yang tahu mengenai sedikit dari tumpukan kisah kejam dan tragis di masalalu sang boss bidadarinya itu tapi semua para rekan-rekannya juga mengetahui sekelumit kisah menyesakkan itu.
Dan demi Tuhan tidak ada yang rela satu orang pun yang bekerja di bawah dalam naungan Narsa belum lagi dengan apa yang dialami Binar.
Termasuk Kael.
Ia tinju udara seraya berteriak demi bisa membuang sesak yang tiba-tiba ikut merayap nyata ini, "Akkhh ...," serunya sembari mengusap kasar pelupuk matanya yang memang sudah penuh dengan genangan airmata.
Kael berjanji Tuhan, dirinya akan melindungi Narsa, Hasya serta Binar dengan segenap nyawa'nya sekalipun.
Bukan karena kasihan melainkan rasa sayang yang ntah begitu tumbuh dari hatinya kepada Boss Bidadarinya itu.
.
.
.
Dalam perjalanan Narsa segera mengambil ponselnya dan benar saja sudah banyak notifikasi panggilan dan pesan dari berbagai nomor. Narsa melihat pesan-pesan masuk dari kontak yang memang ia perioritaskan lebih dulu.
Sebelum nanti ia akan menghubungi jagat.
Senyumnya terbit saat jarinya membuka pesan dari Sinta dan menampilkan foto sang adik tercinta yang tengah asyik melukis sesuatu. Jarinya lantas mengetikan balasan kepada Sinta untuk beberapa saat.
Ia lega melihat Hasya baik-baik saja saat ia tinggal keluar rumah seperti ini. Untuk saat ini ia meminta tolong Sinta untuk mengawasi Hasya saat ia tinggal di rumah. Beberapa kali Narsa sempat memakai suster untuk menemani serta mengawasi Hasya di rumah namun berakhir mengecewakan.
Kalau hanya memanfaatkan kebaikan Narsa saja ia tidak terlalu mempermasalahkan. Tapi saat sikapnya sudah lebih di luar batas dengan Hasya hingga ada yang berani melukai Hasya, Narsa benar-benar hancur dan merasa bersalah kepada Hasya kala itu.
Untuk itu ia dan jagat sepakat tidak kembali memakai suster untuk Hasya karena bukan hanya ia dan Jagat, sang adik juga meminta hal yang sama. Terlebih Hasya tergolong anak yang sangat sulit beradaptasi dengan hal-hal yang baru terutama dengan orang asing serta keramaian apalagi di tempat asing.
Hasya tidak bisa.
Dan lagi-lagi ini penyebabnya adalah bagian dari kesadisan masalalu yang di tinggalkan hingga kini.
Selesai dengan Sinta, Narsa membuka room chat Binar dan seketika itu dahi Narsa mengernyit saat membaca banyak pesan Binar dengan emoji menangis menanyakan dirinya dimana.
Narsa lantas mengecek Voice note yang dikirimkan Binar ada dua dan semuanya berisikan suara tangisan Binar. Membuat jantung Narsa berdegup kencang, ada apa dengan Binar?
Ia tahu dari Sinta tadi pukul 10 lewat Binar berangkat ke kantor, Narsa mengarahkan jarinya untuk menekan tombol panggil namun belum sempat panggilan lain telah masuk menampilkan nama Jagat sebagai ID Caller dengan cepat Narsa mengangkatnya.
"Hallo Mas...,"
"Sayang," terdengar helaan napas jagat dari sebrang sana. "Kamu dimana?"
"Aku menuju kantor mas, ini Binar ...,"
"Iya, ansietas Binar kambuh, tadi Dera yang mengubungi saya, dia panik dan ketakutan ketika Seruni menghubungi'nya dan mengancam yang tidak-tidak untuk kamu." terang Jagat dari sebrang sana, memukul keras dada Narsa.
Narsa lupa seharusnya ia ingat ini. Seruni tidak mungkin tidak menghubungi Binar saat keinginannya untuk bertemu Narsa kerap terhalang keras.
"Dimana Binar sekarang mas?" tanya Narsa, Jagat masih diam di sebrang sana. "Aku biar putar balik."
"Binar di kantor, di kamar ruangan kamu bersama Jessi dan Sophie. Sudah jauh lebih tenang sayang."
Narsa refleks menghembuskan napas lega, "Aku segera sampai mas,"
"Kamu bagaimana?" pandangan Narsa lurus ke depan tengah di penuhi dengan hal-hal yang berkecamuk hebat.
"Aku baik mas, dia tidak mungkin bisa menyentuhku, Ilham, Kael dan yang lain sangat ketat melindungi'ku jika saat begini," ia sandarkan kepalanya pada sandaran kursi mobil.
"Saya percaya itu, tapi bagaimanapun saya tetap mencemaskan calon istri saya, terutama merindukannya." ungkap Jagat jujur membuat senyum Narsa terukir lembut.
"Saya dan dua anak cantik itu juga merindukan kamu dan Saga, jangan porsir tenaga, luangkan waktu kalian untuk istirahat."
"Lusa, sore kami sudah sampai di rumah ya," suara Jagat yang khas dengan bass namun lembut itu selalu berhasil membuat hati Narsa menghangat.
"Ya sayang, apa Saga tahu akan hal ini mas?"
"Tidak. Saya khawatir Saga di sini juga akan cemas nanti,"
Narsa mengangguk pelan, meski Jagat tidak dapat melihatnya, "Kamu jangan khawatir Binar segera bersama saya ya."
"Pasti. Baiklah sampai nanti sayang, tiupkan kecupan saya untuk Hasya juga,"
"Ya Mas,"
"I Love you more honey, Assalamualaikum."
"I Love you too more and more mas, walaikumsalam."
Lalu sambungan telpon itu terputus, Narsa menghela napas panjang dan sudah sepenuhnya bersandar pada kursi mobil ia refleks memejamkan matanya seraya memijit dahinya pelan.
"Aku mau kita cerai!!"
"Kau pikir aku menginginkan ini jangan terlalu percaya diri Cakra,"
Pranggg
Arga melempar dengan geram satu vas keramik ke arah lemari kaca hias hingga menimbulkan suara pecahan kaca yang keras. Lalu di sambut dengan suara teriakan Seruni.
"Kalau saja dulu kau tidak bodoh dan hamil--" Arga tidak sempat menyelesaikan luapan amarah di masa lalu sebab tangan Seruni lebih dulu mendarat keras di pipinya.
Tamparan itu menyisakan panas yang luar biasa di pipi Arga.
"Ini semua terjadi atas perbuatan bejatmu Cakra dan kita melakulannya berulang kali bajingan!"
"Tapi untuk anak kamu yang sialan ini ...,"
"Bukan anakku dia benih kamu CAKRA!!"
Ah rumah ini terasa di penuhi dengan aura-aura kekejaman di setiap sudutnya.
Pandangan Arga tertuju ke'arah dimana sosok anak perempuan berusia 8 tahun tengah tak sadarkan diri di bawah kaki Seruni.
Setelah tadi mendapat siksaan dari Seruni, Hasya kehilangan kesadarannya sepenuhnya pada akhirnya. Ketika Seruni mendaratkan satu pukulan keras, setelah ia menjambak, menyeret Hasya ke dalam kamar mandi dan menenggelamkan kepala Hasya berulang kali tanpa ampun di bathtup yang berisi air nyaris penuh itu.
Hidung Hasya berusia 8 tahun ini terus mengalir darah begitu juga dengan bibirnya yang sudah pecah kembali. Dengan wajah yang sudah babak belur tak karuan akibat ulah Arga dan Seruni.
"Dan penyakit sialan itu bawaan dari gen kamu Seruni!!"
"Aku tau Cakra!!" desis Seruni muak, ia juga tak kalah menguasai amarahnya dengan sorot tajam menantang Arga. "KAU PIKIR AKU SUDI HAH!!" Jaritnya kalap.
"Papamu dan Mamamu yang tidak kalah jahatnya dari kita itu ... yang menuntut aku hamil lagi dan kau juga menyetujui itu!!"
"Dan kau pikir tidak dengan orang tua mu, sebaik apa orang tuamu HAH!! Kita sama-sama memiliki orang tua yang juga brengsek lalu kita juga menjadi brengsek untuk dia dan juga Narsa." Pungksa Arga dengan bangga memaparkan kebenaran ini. "Aku berharapnya anak ini laki-laki, Aku tidak menginginkan keluarga ini Seruni."
"Aku juga CAKRAA!!
Bagus mereka kembali adu teriakan nasib.
Seruni lalu tertawa keras hingga seluruh sudut ruangan ini menggema ia layangkan tatapan menjijikan kepada laki-laki keparat yang sudah merenggut dunianya itu hingga ia harus terpenjara di rumah ini bersama bajiangan ini.
"Jangan mengkambing hitamkan dan cuci tangan atas ulah bajingannya dirimu Cakra!! desis Seruni tak kalah bengis.
"Sekarang nikmati neraka ini sampai anak ini berusia 18 tahun atau kita nekat lalu jatuh miskin," sekali lagi ia tertawa mengejek ke arah Arga yang semakin merah padam menahan emosinya.
Sejenak ia bagi tatapan antara Seruni dan darah daging nya yang sudah tak berdaya itu namun miris nya mereka berdua lah yang menjadi dua orang sadis untuk Hasya Litani Cakrabuana ini.
Hingga smirk nya terbit di penglihatan Seruni bak eksekutor kematian yang bersiap mengambil tugasnya.
Dan Seruni meyakini dalam hati ia pun juga sama dengan Arga.
"Bagaimana jika tidak sampai 18 tahun,"
"Jangan sampai mati Cakra!!" desis Seruni tajam, ia tak main-main walau CCTV di seluruh sudut rumah ini sudah mereka matikan namun orang-orang di luar sana tentu saja dengan sangat mudah mengetahui. "Dia mati kita juga tidak akan mendapatkan apa-apa."
Arga dengan geram menjambak sendiri rambutnya sembari menggeram frustasi hebat. Hingga tatapan nyalang nya kembali mengarah kepada Hasya.
"Asmarini sudah hamil," gumamnya yang masih bisa terdengar oleh Seruni. "Dan anak ini menjadi penghambat aku bisa bersatu dengan dia."
Seruni berdecih sengit sembari tersenyum miring."Ingat, kita masih suami istri aku masih Sah menjadi Nyonya Cakrabuana di sini," bisik Seruni.
Hingga suara teriakan Arga menyambut dengan langkah panjang ingin menghampiri Hasya yang masih tergeletak tak berdaya dengan kondisi mengenaskan namun belum sempat ia kembali menorehkan siksaan pada anak itu teriakan yang tak asing untuk keduanya menggema di ruangan itu.
"KALIAN APAKAN ADIKKU LAGI!!
Karena nyatanya memang tidak sampai usia Hasya delapan belas tahun mereka bertahan di rumah itu!
Tbc
With Love
Ansa
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
