Tendanggan Bebas Part 9

1
0
Deskripsi

Di usianya yang masih remaja, Bima tergila-gila dengan obsesi masa remaja founding father. Bima menyenangi kisah Syahrir melawan Dr. Bassem rektor di sekolahnya, dia juga menganggap kagum percakapan Soekarno yang berani membantah Profesor Klopper. Baginya tradisi berbantah-bantahan, berdialetika dengan guru atau Kyai hal yang wajar. 

Sudah hampir setengah tiga malam, bima masih menulis dengan api berkobar-kobar, judul artikel yang ditulis Bima ‘’budaya protes’’. Baginya budaya protes sebagai...

Hangat matahari menyapa sempurna lapangan, sepasang kaki telanjang menggiring bola, deru nafas tak beraturan memompa jantung untuk terus berlari mengejar si kulit bundar. Ilham mengocek lawan satu persatu tanpa ampun, baginya ini permainan harga mati. Bak Neymar, Ilham lincah tak ada satu pun yang sanggup menghentikan giringan bola yang ia bawa. Bek lawan tersulut emosi, satu persatu menyerbu seperti air banjir, kaki ilham berputar menipu lawan, sesampainya di kotak penalti, kakinya menendang kuat ke arah gawang lawan. Kiper yang belum sigap selalu terpontang-panting kewalahan. Bola masuk ke jaring lawan, skor bertambah menjadi 2-0 

‘’Hajar terus ham !’’ teriak Bima dibangku cadangan. 

Ini pertandingan sepak bola pelajaran olahraga, Pak Afif sebagai pengampu selalu menyuruh anak-anak mengisi mata pelajaran dengan bermain bola. Biasanya pak afif menantang tim kelas IPA dan IPS untuk bertanding di lapangan Nusa Indah, sebuah nama lapangan yang dekat kantor kepala desa. Selain digunakan untuk bertanding sepak bola, lapangan ini juga sering dipakai kontes burung. 

Kini bola mengalir deras dari kaki lawan, umpan demi umpan dengan indah disorongkan dari kaki ke kaki lain. Seorang bertubuh mungil berlari kencang menjemput bola yang diumpan lambung. Badanya mengambil posisi dengan secepat kilat melayangkan tubuh ke udara, bola tepat menyentuh bagian luar kaki, dengan kuat menendang dengan gaya salto. Bola mengarah kuat ke arah jaring, sayangnya kiper dengan cepat melompat terbang menangkap bola.

Sebuah pertunjukan indah. Tiki-taka dimainkan dengan tempo cepat, sesekali kali meradang tangkas membuat lawan gemas. Kelas IPS memang selalu menyandang gelar kemenangan setiap kali pertandingan bola disajikan. Bagi mereka lapangan bola semacam sekotak papan catur, perlu srategi langkah tepat untuk meruntuhkan pertahanan lawan.  Selain ahli dalam menggiring bola, mereka juga kompak mempertahankan gawang agar tidak dijebol kompetitor. 

Bima duduk melihat pertandingan yang sudah berlangsung setengah babak. Bibirnya kadang berteriak hingga membuat pekak kawan yang berada disampingnya. Dia bocah remaja yang selalu mengatur diluar lapangan, bahkan sering menyuruh rekan satu timnya jangan sungkan untuk bermain kasar. Meski ini pertandingan biasa, bima selalu menyuntikan ambisi kemenangan berlebihan. Mungkin, maksudnya agar pertandingan tidak menoton berubah menjadi seru saat disaksikan. 

Pak Afif hilir mudik mengamati permainan. Dia menyuruh murid-muridnya bermain secara benar tidak mudah terpancing emosi. Setiap melihat pelanggaran peluit panjang dia tiup tanpa ragu, wasit memang bertugas sebagai penentu jalanya pertandingan. Tanpa lelah kaki pak afif melangkah, butiran keringatnya menetes di wajah, hembusan nafas perlahan di tarik, lalu dibuang pelan. Matanya menyoroti siapa saja yang menggiring bola, setiap perebutan bola dilakukan, pak afif menyikmak secara seksama. 

Ilham mengoper bola lambung, tubuh mahmud tegap menyambut bola yang terbang datang, dadanya membusung dengan cepat, bola segera berhenti di bawah kakinya. Perlahan digiring pelan, kaki mahmud mengocek satu lawan, larinya dipercepat, bagai banteng berlari kencang, lawan satu persatu datang. Mahmud bersikap tenang. Dia memainkan bola dengan cantik, tanpa sedikitpun mengoper kearah teman, mahmud memberanikan diri main tunggal. 

Tanpa sadar kaki mahmud menyentuh garis kotak pinalti. Satu bek lawan maju, mahmud segera mengoper bola kearah pemain sayap. Kini, musuh lagi-lagi kewalahan. Benteng pertahanan kembali diserang. Ilham berlari kencang kearah kotak pinalti, pemain sayap masih asyik mengotak-atik bola. Satu musuh terlewati, dua musuh dibuat kesal, saat hembusan nafasnya tak menentu, kakinya buru-buru menngumpan bola kearah kotak penalti. Si kulit bundar melayang diudara, pemain berkurubun berusaha merebut. Ilham berlari kencang, kakinya menghentakan tanah seraya terbang loncat tinggi. Kepalanya segera menjemput bola yang mendarat sempurna. Sundulan keras, gawang lawan kembali kebobolan. 

Bima memberikan tepuk tangan. Rambutnya yang terkibas angin ikut merayakan kemenangan.  Pelajaran kali ini ia tak ikut bermain, tubuhnya lebih asyik diam dibangku cadangan. Belum genap lawan membagi bola, pak Afif meniup peluit panjang. Pertandingan selesai. Murid-murid lekas minum dan beristirahat, pak afif menyuruh semua langsung pulang ke pondok miftahu salam setelah sepuluh menit rehat. 

Bima bangkit, matanya lantas melihat ilham yang datang menghampiri, satu botol air mineral Bima lempar, ilham dengan cepat menangkapnya. Kakinya lantas menjatuhkan ke atas hamparan rumput lapangan. Muka yang menunjukkan lelah, setelah berlarian tanpa henti ilham kini baru menyadari kakinya mulai terasa pegal-pegal. Bima berbisik pelan ke telinga ilham, rawut wajahnya seketika kaget. 

‘’Gimana ham berani gak ?’’ tanya serius Bima

‘’ini seriusan bim ?’’ 

‘’Yoi...malam ini kita beraksi, ajak si fatur ya’’

‘’ini mah resikonya gede Bim’’

‘’kita sudah terbiasa bermain diarus besar’’  ujar Bima dengan nada pelan. Bima melanjutkan pesanya

‘’ini kesempatan terakhir, hanya beberapa orang aja yang bisa menembak secara tepat di atas pacuan kuda’’

Ilham berusaha menangkap pesan tersirat apa yang Bima katakan. Otaknya berputar hebat harus menerima pilihan.   Bima memang lelaki brengsek, hari-harinya selalu dipenuhi ide gila. Ide yang bisa menyeret dirinya kepada pencorengan nama. Di pondok, jauh sebelum mengenal bima, hidup ilham cenderung datar. Namun, begitu bima datang dirinya selalu melakukan hal-hal yang diluar dugaan orang-orang.  Setelah ilham rehat, bima mengajaknya lekas pergi menuju pondok miftahu lsalam.

***

Seorang penulis pada dasarnya seorang yang sendiri. Bima malam ini berkutat dengan lembaran kertas menulis sebuah artikel, menulis baginya sebuah pekerjaan yang mengasyikan. Bima selalu menertawakan mereka politisi yang berebut kursi, baginya cukup dengan menulis sudah dinilai menjadi penguasa. 

Salah satu novelis idola Bima bernama Pramoedya Ananta Toer, dia adalah manusia hebat yang menyerahkan segala kehidupanya untuk menulis. Bagi Pram, juru penerang manusia adalah mereka yang menulis. Menulis persoalan tentang apa saja yang dilihat dan dialami dalam kehidupan. Karena itu, Pram menentukan bentuk dan nama realitas kehidupan manusia melalui kata-kata, bahasa, dan cerita yang ditulisnya.

Pram ingin mengisi dan mempengaruhi pikiran pembacanya dengan realitas yang ia ciptakan, Dengan cara itu, seorang yang menulis adalah seorang pembentuk dan produsen realitas yang akan dikonsumsi oleh orang lain. Oleh karena itu, seorang penulis sesungguhnya memiliki kekuasaan. Bukankah dalam bahasa Inggris penulis disebut author, dari akar kata itu muncul kata authority yang berarti kekuasaan. Maka sudah sewajarnyalah jika seorang penulis sama dengan penguasa.

Malam ini pikiran Bima hilir mudik membangun narasi perlawanan, tulisanya mengajak pembaca agar tidak menjadi manusia cupet terhadap segala bentuk kezaliman. Diruang yang sepi, tanganya terus menuliskan apa saja yang dianggap menyimpang dengan keadilan. Bima si kuda binal terus merangsek agar otaknya bekerja dengan cepat, tepat menyusun kata. Alur waktu terus berputar, santri-santri di kamar sudah berhamburan pergi ke alam mimpi, bima masih asik menulis.

Dua lembar kertas sudah dipenuhi kalimat perjuangan, narasi perlawanan Bima dilayangkan tanpa beban, Bima menuliskan segala kegelisahan, ratapan, kemuakannya kepada segala bentuk ketidakadilan. Bima selalu ingin bersama orang yang lemah, terinjak, dan tertindas.  Bima menyadari apa yang harus dilakukan pertama kali adalah membangkitkan kesadaran. Membuka cakrawala pikiran, memobilisasi opini, mempengaruhi kawan-kawannya dengan tulisan yang liar sekaligus segar. 

Bima mengingat kembali spirit yang diajarkan Soe Hok Gie. Soe Hok Gie dalam kacamata bima seorang demonstran, pendaki dan mati muda. Ketidaktakutan Gie terhadap Romo di sekolah katolik mengilhami Bima melakukan perlawanan. Gie juga mengkritik gurunya yang saat itu mengatakan karya Chairil Anwar ''Pulanglah Dia Si Anak Hilang'' bukan karyanya, itu tulisan Andre Gide penulis Prancis. Bima merasa terpanggil, merasa ada sesuatu yang harus diperjuangkan. Bima menteladani budaya protes yang diajarkan founding father juga.

Di usianya yang masih remaja, bima tergila-gila dengan obsesi masa remaja founding father. Bima menyenangi kisah Syahrir melawan Dr Bassem rektor disekolahnya, dia juga menganggap kagum percakapan Soekarno yang berani membantah Profesor Klopper. Baginya tradisi berbantah-bantahan, berdialetika dengan guru atau Kyai hal yang wajar. 

Sudah hampir setengah tiga malam, Bima masih menulis dengan api berkobar-kobar, judul artikel yang ditulis bima ‘’budaya protes’’. Baginya budaya protes sebagai warna-warni kehidupan. Protes sarana menyampaikan aspirasi yang sudah bergumul, menjembatasi sebuah keprotesan adalah keharusan, tanpa budaya protes, budaya kritik, dunia tak berawarna. Berselang lima belas menit, bima dilanda suntuk, pikiranya kini mandeg tersendat rasa kantuk. 

Akhirnya, dia lekas membereskan lembaran kertas, tanganya melipat rapih catatan yang sudah ditulis, badanya bergegas pergi mengambil air wudhu dan melaksanakan solat tahajud terlebih dahulu. Disaat para santri terbangun dari tidur nyenyaknya, bima tertidur pulas ditempat solatnya. 

***

Pagi ini Ilham dan Bima berjalan menuju kebun milik Pak Salim, udara segar masih terhirup segar, daun-daun hijau di pohon bergoyang pelan, tanah merah yang licin masih tersisa air embun yang telah tuhan turunkan. Ilham dan bima mengendong tas berisi buku dan lembaran kertas. Dengan jalan yang berani, keduanya selangkah demi selangkah melewati jalan setapak yang dipenuhi kerikil batu. Pagi ini dirinya mengajak ilham untuk mengatur ulang pola yang lebih berani, menantang, dan beresiko tinggi. 

Ilham yang merasa nyaman bersahabat dengan bima mengikuti apa yang menjadi arahanya. Sebagai navigator perjuangan, bima selalu mengevaluasi apapun gerakan yang sudah dimulai. Baginya merencanakan, mengerjakan, mengevaluasi hal yang tidak bisa dilepaskan dalam dunia gerakan. Ilham satu-satunya sahabat bima yang dari dulu selalu tau peta kemana bima melangkah, bualan, khayalan, imajinasi bima selalu ilham amini dan sama-sama membantu untuk segara diwujdukan. 

Kini bima mengajaknya untuk membuat langkah yang lebih berani, bergotong royong mewujudkan apa yang sudah bima dan kawan-kawanya rencanakan. Perlahan akhirnya mereka sampai di gubuk kebun Pak Salim,  gubuk yang sederhana ini bima gunakan untuk merancang program bawah tanah ketika kondisinya genting. Gubuk yang menjadi saksi bisu bima menulis pidato, bersembunyi dari kegelisahan, belajar berkebun dan hidup mandiri ditengah sepinya susana. 

Bima lekas mengambil air dari saluran air pegunungan, satu gelas diberikan kepada ilham untuk menebus rasa hausnya selama perjalanan. Keduanya lekas duduk dan mengeluarkan buku, lembaran kertas di dalam tas. Bima mulai mengajak ilham berbicara. Dia sebelumnya sudah sama-sama sepakat untuk memulai program majalah dinding mini di ruangan kelas.

‘’mana anggaran yang harus disiapkan ham?’’ tanya Bima

Sambil menyodorkan keperluan apa saja yang harus disiapkan,  ilham memperlihatkan anggaran perlu disiapkan kawan-kawannya. 

‘’Ini Bim, kita perlu 350 ribu’’ 

‘’banyak banget ya, ini sudah dimaksimalkan sesuai harga?’’ tanya kembali Bima

‘’Iya Bim, ini semua sudah masuk beli keperluan styrofoam kotak, foto copy artikel, ongkos ojek kabur, bayar petugas yang nulis juga.’’

Bima diam. Matanya menatap rancangan biaya yang sudah ilham sodorkan. 

‘’begini saja ham, kita gotong royong patungan.’’

‘’maksudnya gimana bim ?’’ tanya Ilham

‘’lingkar cinta, mau gak mau harus patungan. Masing-masing seratus ribu rupiah.’’

‘’kegedean bim. Anak-anak mana mau’’ bantah Ilham

‘’kita mulai bulan depan aja, begitu kita dapat uang jajan dari orang tua kita langsung sisihkan..’’

‘’kau sebulan berapa dari orang tua ?’’ 

‘’aku sebulan tiga ratus bim’’

‘’sama dong ham, aku rasa anak-anak pun sama, jadi nanti kita langsung sisihkan, sisanya uang ku dua ratus ribu untuk beli pelaratan sabun mandi dan beli mie satu kardus. Sabun mandi kita pakai  barengan, mie buat makan siang takutnya lapar. Gimana ?’’

‘’oke bim, nanti aku kasih tau fatur, mahmud.’’

‘’totalkan ada empat ratus ribu, jangan kau tagih wahyu.’’

‘’iya bim, aku tau wahyu soalnya jarang ada uang.’’

 ‘’ iya ham kalo bisa uang yang tersisa kita kasih ke wahyu.’’

Ilham dan bima bersepakat program majalah dinding harus lekas dimulai. Bima menyadari dengan memobilisasi opini santri dapat dihimpun, digerakan, menjadi satu ledakan dasyat mengkritik ustad khalil. Baginya pola ini sudah biasa digunakan oleh beberapa kawanya ketika mengadvokasi hak-hak pelajar ketika diluar pondok pesantren. Dalam beberapa kesempatan, bima sempat kabur dari pesantren mengikuti demo bersama buruh, mahasiswa dan pelajar di pusat kota. Dia mendapat kabar adanya demonstrasi di laman facebook, tak perlu waktu lama, bima mengatur srategi supaya mengikuti demonstrasi menolak kenaikan BBM beberapa tahun silam. Dirinya cukup pandai dalam hal melarikan diri. Kemampuanya ini diakui oleh teman-teman lingkar cinta pada umumnya. 

Alam bawah sadar bima terpengaruhi oleh bacaan buku seputar revolusi. Tak ayal, dirinya banyak belajar bagaimana pola penggulingan kekuasaan dari ragam literatur. Diusia masih hangat, bima sudah memahami buku Erward Luttwak berjudul kudeta Teori dan Praktek Penggulingan Kekuasaan. 

Bima menganggumi ilmuwan politik yang berasal dari rumania ini, sekalipun dalam prakteknya belum bisa merubah keadaan pondok pesantren. Bima memahami ada banyak cara menggulingkan kekuasaan, baik dengan cara kasar atau halus.  Kudeta yang disampaikan Erward Lutwaak tak melulu dengan senjata dan kekerasan, tetapi bisa juga dengan penyusupan orang dari dalam. Namun, Bima beranggapan keadaan pesantren bergaya otoriter, menggulingkan kepemimpinan kyai satu-satunya jalan memperbaiki taraf kehidupan. 

Embun pagi perlahan mengering di tanah merah, cahaya matahari mulai menghangatkan udara dingin, kicauan burung membisu tak seramai subuh tadi. Bima dan Ilham masih asik menyusun jadwal penerbitan tulisan di majalah dinding kelas. Satu persatu nama ia tulis sesuai urutan hari dan tanggal. Ada hal yang sebenarnya membuat hati bima mengganjal. 

Budaya tulis yang akan ia gencarkan tak sejalan dengan tingginya minat baca santri itu sendiri. Menurutnya, perjuangan literasi dimulai dari minat baca, berlanjut kepada minat menulis, berujung di budaya kajian atau riset. Tapi, bima sosok yang kadang memasakan keadaan. Ketidaksabaranya ingin menggulingkan pendidikan yang depostik ini sudah ia rumuskan dengan seadanya dan sejadinya.

Disela-sela merumuskan jadwal, ilham yang masih memegang pena menanyakan hal yang membuat Bima gusar. Pertanyaannya sederhana menyangkut soal asmara. Bima lelaki yang pandai menyembunyikan perasaannya kepada perempuan di khalayak publik membuat ilham heran. Siti, perempuan hebat yang tempo lalu bertemu dengan Bima di pangandaran, membuatnya ingin tahu lebih mendalam. 

‘’ Bim, gimana kabarnya siti?’’ tanya ilham menggunakan kaos berwarna hitam

‘’aku rasa dia sehat, aku tidak terlalu peduli ham soal kesehatan dia. Lagian kita juga ga bisa tahu gimana keadaan siti terhalang tembok pesantren.’’

‘’iya juga sih bim, tapi aku punya cara gimana kamu bisa tau keadaan siti.’’ Saran Ilham

‘’Gimana ham ? kalau dibilang kangen jelas, Cuma bingung mau gimana berkabar.’’ Keluh bima dengan memegang dagu pertanda bingung.

‘’Sekarang pesantren semaki ketat, dulu zaman sama Mardhiana masih kirim surat, sekarang mana bisa’’ timpal Bima

‘’gini aja Bim, kamu kan punya flasdisk. Nah, nanti kamu kabur ke warnet buat surat yang panjang, terus save deh.’’

‘’Ohiya ham, nanti kita kirim flashdisknya ke siti, biar dia kalau libur baca ya ke warnet ?’’

‘’Itu maksudnya bim.’’

‘’Resikonya bahaya ga ?’’ tanya bima

‘’Sejak kapan bima penakut?’ tantang Ilham

‘’Hahaha, oke ham kita mulai nanti..’’

Setelah menutup obrolan soal siti. Akhirnya bima dan ilham menyusun agenda jadwal tayang tulisan. Di jadwal pertama Bima menaruh fatur yang pertama tayang. Baginya fatur dinilai bisa segera meluangkan ide soal perlawanan. Dia juga tidak terlalu khawatir soal kualitas tulisan. Baginya kini, terpenting semuanya menjadi hobi menulis. Semua yang ada di lingkaran cinta mampu menyampaikan keluh kesah baik secara tulisan dan lisan. 

Bima sebagai editor akan lebih banyak membimbing kawan-kawannya. Dia selalu memandang semua manusia setara dan memiliki sisi uniknya masing-masing. Memiliki kemampuan yang ahli bilamana dilatih. Bima sendiri memilih jadwal di akhir-akhir setelah kawanya. Hal ini, menjadi kesempatan untuk lebih banyak mempertanjam tulisan yang akan ditayangkan. 

Tak terasa, hari hampir siang. Bima yang memilih menyepi bersama Ilham akhinya telah rampung menyelesaikan agenda jadwal tulisan. Keduanya bergegas ke kamar untuk beristirahat tidur siang. 

 

***

Senja menyapa hangat lapangan pondok pesantren Miftahulsalam. Angin berhembus pelan mengusik pohon-pohon yang rimbun. Para santri berduyun keluar masjid seusai melaksanakan sholat ashar bergegas pergi mengambil kitab untuk mengaji sore.  Bima dan fatur berjalan beriringan menggunakan pakaian busana muslim. Tangannya memegang kitab karangan Imam Nawawi yang berjudul Riyadhus Shalihin. 

Imam Nawawi bagi Bima adalah sosok ulama langka dan unik. Pernah suatu hari, ia membeli buku di Jakarta disela-sela kegiatan organisasi, buku tentang lembaran hidup ulama. Dalam benaknya Imam Nawawi rela membujang demi mengembara mencari ilmu. Karenanya, Bima sangat terobsesi ingin seperti kisah hidup Imam Nawawi. 

Bima kagum bagaimana sejak usia 10 tahun Imam Nawawi berbeda dengan anak seusianya yang senang bermain, sedangkan Imam Nawawi hanyut dalam menghafal ayat suci quran dan rajin beribadah. Ia berguru kepada 20 ulama dan meninggal di usia 45 tahun setelah 28 tahun lamanya mengabdikan diri kepada bidang ilmu pengetahuan.

Kini Bima dan Fatur memegang kitab karangan ulama kawakan Imam Nawawi, ia baru saja sampai pada pembahasan tentang hadis mendahulukan kepentingan orang lain dan memberikan santunan. Mata pelajaran kitab ini diampu oleh Ustad Yusuf asal Ciamis. Ustad Yusuf berbeda dengan ustad lainya, ia seorang yang berilmu sekaligus tawadhu. Ia juga bersahabat dekat Ustad Amin yang tak gila penghormatan dari santri dan yang lainya. 

Saban kali santri salaman, Ustad Yusuf menolak tanganya dicium. Ia biasanya segera menarik tanganya lebih cepat agar tak diciumi. Pekerjaan apapun dia kerjakan sendiri. Ia memiliki hewan ternak, kebun dan kolam ikan yang sama sekali tidak diperbantukan oleh santri. Justru anehnya, setiap kali panen apapun, dia mengundang beberapa santri untuk makan bersama. Ustad Yusuf mirip sekali dengan Ustad Amin, semangatnya melayani bukan dilayani. 

Ustad Yusuf yang menginjak usia 29 tahun Allah anugrahkan satu anak perempuan yang periang sekaligus cantik bernama Romantika Khumairah Nurdinillah. Ia akrab dipanggil Dini yang saat ini  berusia 4 tahun. Istrinya sama-sama lulusan pondok pesantren Ciamis kini sedang hamil 9 bulan. 

Diruang kelas ukuran 9m X 8m dengan cat dinding berwarna hijau. Bima, Fatur dan yang lainya duduk rapih mendengarkan penjelasan Ustad Yusuf mengenai keutamaan mendahului kepentingan orang lain dan memberi santunan. Kulitnya yang putih gading, batang hidung yang lurus naik dan lancip membuat santri betah memperhatian Ustad Yusuf mengajar. Peci batok putih dan sorban hijau di pundaknya menjadi khas yang tak tergantikan dengan Ustad-ustad lainya. 

‘’Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.’’ Ucap Ustad Yusuf mengutip surat di dalam Al Insan ayat 8.

Ustad Yusuf melanjutkan pembahasan bab kitab Riyadhul Solihin dengan berkata dengan sedikit nada pelan. Mulutnya seperti kerang yang terbuka mengeluarkan puluhan mutiara berharga. 

‘’Islam merupakan agama amal dan sosial. Memberikan makanan kepada fakir miskin, yatim piatu dan orang yang lemah sangatlah berpahala besar. Nabi Muhammad adalah figur mulia yang selalu menolong orang-orang yang lemah.’’ Ujar Ustad Yusuf.

Bima dan kawan-kawannya menyimak fokus apa yang dilontarkan Ustad Yusuf. Tanganya mencatat ucapan yang dianggap bijak dan bernilai dari Ustad yang tak gila penghormatan ini. Berulang kali kepalanya mengangguk tanda setuju. Hatinya bergumam kagum kepada agama Islam yang menitikberatkan kepada jiwa sosial dan hal-hal filantropi. Bagi Bima, semua agama menganjurkan pertolongan kepada kaum lemah. Semua agama memiliki nilai sosialisme tersendiri. 

Ia mengingat apa yang disampaikan kawan-kawanya aktivis di Jakarta yang beragama kristen. Pada siang itu, saat liburan pondok tiba bima berangkat ke Jakarta mengikuti mimbar bebas bersama kumpulan organisasi. Salah satu organisasi kristen yang terkenal itu bernama GMKI. Bima yang masih remaja mendengarkan bagaimana ajaran Kristen menganjurkan menyanyangi kaum papa dan lemah.

Kawanya bernama Imanuel berpidato sambil mengutip kata-kata Tokoh GMKI Amir Syarifuddin. ‘’Akan tiba masanya kita sebagai manusia, sebagai orang yang beragama, hanya akan merasa bahagia apabila kita mampu seperti kritus, menjadi miskin bersama orang miskin.’’

Ditengah lamunannya, tiba-tiba tangan Ustad Yusuf menutup kitab dan mengambil handphone yang bergetar disakunya. Ia bergegas mengangkat telpon dengan cepat sambil berbincang sebentar. Mulutnya lekas menyuruh para santri di dalam kelas berdoa. Para santri keheranan pembelajaran kali ini sangat cepat tidak seperti biasanya. Ternyata, Ustad Yusuf baru saja dikabari kalau istrinya akan melahirkan.

Belum genap satu jam pengajian bersama Ustad Yusuf berakhir cepat. Para santri di dalam kelas bergegas mengucap doa dan berhamburan pergi ke daun pintu yang sedari awal sudah terbuka. Bima berjalan keluar paling akhir, ia berpikir sore ini memiliki waktu yang sangat panjang untuk bermanja ria bersama buku-buku yang ia punya. Kakinya mengayun pelan, sarung yang ia gunakan sedikit turun hampir menyapu lantai.

Bima melangkah pelan menuruni anak tangga menuju kamar. Tangan kanannya yang masih memegang kitab Riyadhul solihin sesekali mengoper ke tangan kiri. Ia berjalan pelan hingga tak terasa sampai di kamar. Kobong pesantren bima dipenuhi lemari-lemari berjajar dan coretan kaligrafi di dinding. Ia bergegas mengganti pakaian sekaligus mengambil buku di paling bawah lemari tertutup kain berjudul Pergaulan Orang Buangan di Boven Digul karangan Mas Marco Kartodikromo. 

Bima berkenalan dengan tokoh Mas Marco Kartodikromo saat dirinya membaca buku biografi Sekarmadji Kartosuwiryo. Mas Marco memiliki ikatan persaudaraan dengan tokoh pendiri Negara Islam Indonesia. Hal ini, membuat bima membeli novel karangan Marco Kartodikromo di daerah Kwitang,  Jakarta Pusat saat liburan. Bima membeli novel Student Hidjo harus melewati lapar yang panjang.  Ia menabung secara ekstrem setiap kali membeli buku-buku. 

Mas Marco bagi bima telah mewariskan api keberanian kepada generasi muda Indonesia. Lewat novel Student Hijdo, Mas Marco telah menunjukan sikap kritisnya seorang pemuda terhadap kekuasaan kolonial. Meskipun berkisah tentang percintaan antara Hijdo yang pribumi dan Betje dari golongan Indo novelnya memuat api-api perjuangan. 

Sore ini, disaat santri bergumul pergi ke lapangan bola, bima menyendiri di sebuah bale dekat sawah. Ia menyelami pemikiran Mas Marco secara khidmat. Satu persatu halaman buku ia jamah. Matanya menatap tajam anak kalimat yang tertuang di buku Pergaulan Orang Buangan di Boven Digul. Otaknya bekerja seperti mesin berputar berusaha mencerna apa yang ditulis tokoh sehebat Mas Marco.

Sekalipun tulisan Mas Marco sedikit sulit di pahami, bima bersabar dan berusaha keras mencerna apa yang disampaikan Mas Marco. Ia kini menjadi tahu bagaimana kondisi tanah buangan seperti Digul. Beberapa tokoh pergerakan nasional semisal Hatta dan Syahrir pernah diasingkan ke tempat yang satu ini. Fasilitas di Digul tak separah di kamp pengasingan seperti Pulau Buru. Mereka yang di kirim ke tanah ini masih bisa mendapatkan upah sebesar 30 sen jika mereka mau bekerja. Selain itu, di sediakan kamar berukuran 2 X 2 meter untuk beristiriahat. Tak hanya itu, setiap setengah bulan sekali para perjuang yang diasingkan mendapatkan 9 kg beras dan makanan pokok lainya. 

Mereka yang terbiasa menulis dibiarkan mengirim tulisan-tulisanya ke surat kabar diluar tanah buangan. Hal ini, membuat para tahanan mendapatkan biaya tambahan. Di bouven Digul sendiri tersedia tempat ibadah, sekolah dan tempat untuk berkebun. Tempat ini bak permukiman warga umumnya. 

Tetapi dalam sorotan Mas Marco, sebenarnya Digul banyak merubah watak para pejuang yang dulu berteriak keras. Tak sedikit mereka memilih menjadi mata-mata pemerintah setelah diasingkan ke tanah buangan yang satu ini.  Mar Marco melihat Digul sebagai  ujian untuk mereka para pejuag idealis. Ia bercerita tentang seleksi alam yang di hadapi tokoh pergerakan, ada banyak yang bertahan, tapi ada juga yang membuang jauh idealismenya. 

Hamparan sawah hijau menari ditiup angin sore, matahari mulai merengkuh di ufuk barat, para santri berduyun mengantri di depan kamar mandi, bima kenyang melahap pencerahan yang Mas Marco uraian. Ia merenung sejenak, terdiam kaku memandang hamparan sawah. Bibirnya tiba-tiba tersenyum. Dalam benaknya ada sesuatu yang ia ingat. Seketika ia menutup buku dan beranjak pergi dari bale menuju kamar mandi. 

Di lain tempat, fatur berteriak kencang meminta bola yang digiring dioper cepat. Kakinya seketika mengecoh tim lawan dengan cekatan. Para santri menonton bola dengan fokus dan berteriak mendukung fatur yang kini sedang berlari. Tubuhnya yang sedikit gempal berusaha menghalangi tim lawan yang sedang membayangi. Sejuruh kemudian, kaki fatur tiba-tiba dihadang kuat oleh tim lawan yang membuatnya jatuh tersungkur.   

“Woi pelanggaran!’’ ucap fatur spontan segera bangkit dari tanah merah

Tim lawan bergegas berjajar membuat pagar hidup, kiper memberikan arahan agar bola yang akan di tendang sama sekali tidak diberi ruang. Fatur menunjuk kawanya bernama arie untuk mengambil tendangan bebas. Seketika kaki arie dengan kuat mendendang bola dengan tendangan pisang. 

Kiper terkecoh tak sempat menangkap bola mati gaya, para santri berteriak kencang sambil menunjuk bola yang sudah membobol jaring gawang. Fatur bergegas lari ke belakang bersama kawannya sambil berteriak 

‘’Goaaal !’’

Mentari sore turun perlahan, semburat jingga di waktu senja mulai tampak. Para santri bergegas pergi dari lapangan, sayup-sayup terdengar pengumuman agar mereka lekas bersiap-bersiap melaksanakan sholat magrib. 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya Lelaki Suka Meludah Part 8
2
0
’penghinaan fisik terhadap seseorang memang tidak dapat dibenarkan, apalagi rasisme terhadap mereka yang berkulit hitam. Islamku, Islam yang memandang manusia sama. Manusia yang setara tak ada keunggulan atas bangsa lain dan gelar mana pun. Allah tak memandang pakaian dan warna kulit manusia, penglihatan allah hanya tertuju pada amal dan ketakwaan hambanya.’’
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan