
‘’Siti, sebetulnya itu justru petualangan. Aku jujur tidak memandangmu kotor. Kamu berhak mendapatkan hormon kebahagiaan itu. Sekalipun aku tidak senang membaca, tapi aku pernah di kasih tahu setidaknya rata-rata orang berciuman sedikitnya 20160 menit sepanjang hidup. biasanya yang kurang dari hidupnya tidak bahagia hehe‘’ jawab Bima bercanda
‘’Hormon kebahagiaan ?’’ tanya Siti sambil menatap Bima
‘’Siti, manusia punya 86 miliar neuron di otak. Fungsi neuron ini mengendalikan manusia dalam proses...
Pagi buta selepas solat subuh Bima berlari kecil menuju mobil avanza berwarna silver, ia hari ini sudah siap bertarung dengan taring keberanian di ajang lomba orator ulung. Kini badannya duduk di samping pak Anwar yang memakai jaket tebal seperti di musim salju. Keyakinannya begitu kokoh akan prinsip hasil tidak akan mengkhianati proses . Hal yang terpenting bagi dirinya bukan pulang membawa piala lagi, tapi kali ini ia bisa bebas leluasa berbagi ilmu yang sudah ia dapatkan dari belajar dan membaca buku, meski nanti banyak dewan juri di depan panggung, Bima hanya menjadikan Allah swt sebagai juri satu-satunya di kehidupan. Kalah menang memang biasa, meski Bima tahu sejatinya hidup bukan terletak pada masalah benar dan salah melainkan kalah dan menang. Ia selalu yakin kebenaran akan terus menjadi pemenang meskipun salah yang berkuasa.
Pagi ini matanya sedikit merah setelah semalaman bersujud bersimpuh memohon kepada Allah supaya diberi kelancaran. Ada yang kerap dilupakan oleh sebagian orang tentang efek samping bangga terhadap diri sendiri, akibatnya ia melupakan Allah swt terpaku oleh kepandaian diri sendiri. Bima yakin Allah lah yang membuat bibirnya bisa berbicara, hanya Allah lah yang bisa mencerdaskan akalnya, hanya Allah lah yang mampu membolak-balikan hati manusia. Ia selalu ingat kata-kata yang ia tulis di buku binder.
‘’Aku sadar bukanlah manusia superman yang dikatakan Nietzsche, tugasku hanya berusaha belajar,membaca belasan buku tetap Allah lah yang menumbuhkan.’’
Mobil melaju pelan menuju asrama putri. Raut wajah Bima diserang rasa penasaran akan wajah Siti asal Bandung itu, sepanjang jalan pak Anwar bagai pendongeng sebelum tidur menceritakan kecantikan Siti tidak henti-henti saat mobilnya melaju hendak kesana. Bagi Bima ini adalah kisi-kisi. Betulkah wajah Siti cantik ? Atau justru malah sebaliknya. Ingin rasanya Bima bertanya banyak soal si gadis sipit cantik itu kepada pak Anwar tentang isi kehidupannya, tapi ia memilih membuang perasaan itu bersama angin yang menerpa rambut gondrongnya yang lupa tidak disisir. Gelap kabut ditembus mobil pelan pelan, semilir angin menusuk pori-pori Bima yang hanya memakai kaos baju greenligth dan celana hitam pensil dibalut sepatu conversion, alunan musik Wali menemani perjalanan mereka yang bermuara di hotel Melati Pangandaran.
‘’Bima..bapa sebenarnya sakit hati saat kamu dituduh Komunis itu, lucu juga kamu kelas tiga SMP sudah dituduh paham Komunis, tapi jangan sampai membuat bakat kamu hilang juga. Bapa kenal kamu saat masih pak Amin menjabat.’’
Bima tersenyum saat pak Anwar membuka dialog hal itu. Diusia yang kini menginjak kelas 1 SMA ia sudah mampu menunjukkan kematangan intelektual, aneh juga jika dia mengingat-ingat masa masa di putih birunya. Waktunya hanya ia habiskan membaca buku filsafat dan kisah beragam founding father dari kalangan semua negara. Puncak kebiadaban Bima sesat saat ia mempelajari seputar sains. Ia pernah memutuskan untuk tidak bertuhan. Bima pada saat itu mengandalkan kemampuan realitas. Baginya saat itu sedang puber kearah ateis. Bima meyakini manusia telah mengalami beberapa fase narasi. Narasi mitologi, narasi wahyu dan narasi pengetahuan.
Bima juga banyak belajar soal neurosains. Menurutnya otak manusia sekumpulan emosi baik sedih, bahagia. Ada 86 miliar neuro di otak manusia. Bima tak shalat, mempraktekan spiritual sekuler.
‘’Saya selalu aneh pak, kenapa dipondok dilarang keras membaca buku, saya serasa berdosa besar saat mengenal tokoh-tokoh dari beragam macam paham.’’ Jawab Bima.
‘’Perlu kamu tahu Bima,,saat itu usia kamu masih belia, mungkin ustad Khalil takut kamu menjadi penganut paham-paham seperti itu, kamu dilarang membaca buku ekstrem kanan agar jauh dari kata puber aqidah, kamu dilarang membaca buku ekstrem kiri agar kamu jauh dari kata Atheis. Bapa sebenarnya takut juga saat perkembangan baca kamu melesat tinggi, tapi bapa yakin kamu punya dasar agama yang kuat dari ustad Amin.’’
‘’Lucu juga pak,, padahal saya dulu pidato tidak melanggar ketentuan Al quran dan As-sunah sedikitpun, saya hanya menggunakan kata-kata Tan Malaka saja sebagai tambahan, lagi pula Tan Malaka kata-katanya tidak bertentangan dengan Al quran kok. Sejak kapan orang-orang kiri tidak bertuhan ? sepanjang saya membaca buku kiri justru ada yang meyakini spirit dari kitab suci terutama soal menjawab kezaliman, ketimpangan struktural dan penderitaan. Bukankah nabi Muhammad juga seorang marxis ? ’’
‘’Iya..bapa tahu, tapi kamu harus tau dimana kyai Khalil dulu mondok Bima, dia hanya seorang santri kampung belajar dari kampung. Tak kenal dia dengan buku-buku yang kamu baca. Sebenarnya dia hanya diberitahu oleh ustad Oki yang kuliahnya tidak beres buat menghalang-halangi kamu. Intinya kamu dijadikan pohon Bonsai supaya tidak melebihi ilmu mereka.’’
Bima mengangguk. Ia sekarang tahu kenapa dia dilarang keras membaca beragam buku dan novel oleh ustadnya. Nyatanya dia hanya diurus di pondok menjadi pohon Bonsai saja yang ketika sedikit tumbuh akan segera dipapas rapih.
‘’Pak Amin menitipkan kamu sebenarnya ke bapa, tapi bapa terlalu sibuk hingga tak bisa gabung bersama ustad yang lain di sana. Maaf Bima bapa lari untuk menjaga kamu. Bapa sudah muak dengan kepengurusan yang sekarang.’’
‘’Bapa tahu penyebab ustad Amin keluar ? ‘’ Tanya Bima sambil membenarkan volume musik Wali supaya sedikit kecil.
‘’Ah..ini rahasia, nanti kamu tahu saat kelas tiga SMA Bima. Bapa janji akan memberitahu saat kamu hendak keluar, nikmati saja dulu disini, buat kyai Khalil bangga akan prestasi-prestasimu meski kamu dilarang berprestasi.’’
Bima mengangguk. Kali ini kemuakannya semakin menjadi-jadi. Ia berjanji akan membuat si Oki mati kutu saat Bima diintrogasi. Rupanya dia santri muda yang kuliahnya tidak beres. Baca bukunya setengah-setengah hingga pemahamannya pun setengah-setengah.
‘’Jangan harap lagi kau Oki bisa membakar buku-bukuku setelah pulang dari Pangandaran. Aku akan menantang kau judi ilmu pengetahuan !’’ Hati Bima berbisik kembali rasa kebencian.
Mobil milik pak Anwar berhenti seketika di tengah lapangan asrama putri, jarak dari pondok Bima menuju asrama putri hanya tiga km. Wajah-wajah cantik berkerudung dan disamping terlihat berkeliaran disekeliling pondok,para santriah rame-rame menyaksikan mobil hitam itu berhenti ditengah lapang saat pagi masih buta. Bima melihat seorang wanita berjilbab putih mematung diam bersama kawan-kawannya didekat rumah besar milik istri kyai Maksum. Hatinya sekarang tidak dirundung keraguan kembali saat Siti terlihat nyata cantik sebagaimana diceritakan pak Anwar. Hanya orang bodoh yang mengatakan cantik itu relatif. Cantik itu mutlak apalagi cantiknya Siti karena Bima bukan penganut paham Relatifisme.
‘’Mau ikut turun Bim ? Bapa mau ke kantor dulu.’’ Tanya pak Anwar membuka pintu keluar.
Tanpa berpikir panjang Bima membuka pintu pelan dan mengikuti pak Anwar berjalan. Rambutnya yang gondrong dan tampilan yang tidak sedikitpun menampakan Bima santri membuat puluhan santriah memandang tajam ke arah dirinya. Fenomena alam semacam ini jarang sekali terjadi bagi mereka. Bisa memandang santri cool seperti Bima merupakan tujuh keajaiban mendadak di buku RPUL. Kepala Bima tertunduk malu melangkah menuju kantor, bagai artis disambut puluhan fans setelah bangkit dari kuburan atau bebas dari penjara setelah kena kasus skandal. Kedua mata Bima tak sedikitpun menoleh ke arah mereka. Di samping mengikuti pak Anwar berjalan, Bima grogi dibelakangnya sesosok bidadari menguntit malu-malu memakai kerudung putih dan rok hitam dibalut sepatu sandal berwarna hitam. Entah jalan kemana pak Anwar ini, ternyata dari asrama menuju kantor terasa jauh sekali, Bima benar-benar kaget saat suara lembut itu bertanya pelan.
‘’Pak Anwar ini siapa ?’’ Tanya Siti dengan lembut kepada pak Anwar sambil berjalan.
Pak Anwar memang guru yang sangat pengertian baik dan rajin menabung.
‘’Kok nanya ke bapa sih ? Kenalan dong...’’ Jawab pak Anwar dengan nada bercanda.
‘’Hahaha iyaa pak iya..’’
Suara Siti begitu terekam jelas ditelinga Bima. Suara itu begitu lembut menujukkan kesamaan dengan raut wajahnya. Allah memang pencipta yang Maha sempurna. Arrghh, Bima terpesona akan kecantikan Siti. Matanya sedikit sipit,bibir merahnya terlihat tipis, postur tubuh yang ramping, hidung yang mancung membuat semua kaum adam tergoda. Bayangkan saja jika artis bernama Chelsea Islan memakai kerudung dan rok hitam mirip sekali dengan si Siti.
‘’Heh! Kamu ikut lomba?’’ Tanya Siti dengan berani.
‘’Iya,’’ jawab singkat Bima.
Suasana ruangan guru kini hening. Bima menundukkan kepala saat Siti berada disamping badannya duduk bersama di sofa empuk. Pak Anwar pergi meninggalkan mereka berdua membawa berkas entah kemana.
‘’Kamu darimana ?‘’ Tanya Siti membuka pembicaraan.
‘’Saya dari tadi disini.’’
Bibir Bima menahan senyum. Raut wajah si Chelsea Islan kw 3 ini kembali tersungging tersenyum manis saat Bima menjawab dengan jawaban yang mengajak mereka berdua bercanda. Ingin rasanya Siti tertawa keras namun ia sadar sedang duduk dengan lelaki cool harus sedikit menjaga image dirinya.
‘’Ohiyaya,,saya lupa. Maksud saya kamu dari kota mana ?”
‘’Saya asli dari Bandung, kalau kamu ?‘’ Tanya balik Bima
‘’Saya asli dari Bandung juga, ngomong-ngomong kamu Bandungnya mana ?‘’
‘’Bandungnya deket Monas.’’ Bima menjawab ngaco.
Kali ini Siti sudah tak bisa menawan tawa, ia tertawa keras dengan manis saat Bima menjawab tinggal di Bandung dekat Monas.
‘’Hahahaha,, kamu itu aneh, Bandungnya kok deket Monas.’’
Bima tersenyum cool sambil menundukkan pandangan.
‘’Kamu ikut lomba pidato ngambil tema apa ?’’ Tanya Bima mengalihkan pembicaraan.
‘’Aku ngambil tema Berbakti kepada Orangtua, kalau kamu ?‘’
‘’Aku ngambil tema wallpaper hp biar lebih berwarna.’’
‘’Dih..garing.’’
‘’Iya aku orangnya emang garing.’’
‘’Hahaha.’’ Siti tertawa.
‘’Kamu ganteng.’’ Puji Siti dengan spontan.
Mendengar pujian itu, hidung Bima mendadak menjadi bunga mawar yang mekar mengembang di seluruh permukaan. Hatinya amat senang saat Siti memuji dirinya ganteng.
‘’Makasih..’’ Jawab singkat Bima.
Setan memang cerdik. Bima dan Siti kini telah larut dalam obrolan ringan tentang lomba pidato mendatang. Mereka telah akrab dalam waktu yang amat relatif singkat, Siti yang sifatnya terbuka membuat Bima harus sedikit menutupi diri supaya jangan sampai terbawa arus pembicaraan mengenai masalah pribadi yang sedang ia hadapi. Satu hal yang Bima suka dari Siti, ia suka senyum manisnya saja. Telinganya telah tersumbat gelak tawa Siti yang renyah dan lembut membuat Bima semakin suka.
‘’Eh,,gimana sih supaya menang pidato ?’’ Tanya Siti sambil mengotak-atik teks pidatonya.
‘’Gampang banget. Mau tau ?’’
‘’Apa emang ?’’
Bibir Bima tersenyum kecil.
‘’Pas mau penutupan pidato, kamu jangan sekali-kali memakai kata mungkin untuk menutup pidato.’’
‘’Maksudnya ?’’ Tanya Siti dengan penasaran.
‘’Kamu jangan memakai kalimat mungkin sekian yang dapat saya katakan.’’
‘’Hah.. Kok bisa ?’’
‘’Yaelah.. Karena mungkin menunjukkan sesuatu yang tidak pasti, jelasnya yang tidak pasti itu selalu menyakitkan. Hahahaha.’’ Bima tertawa.
‘’Njirrr, aku digombal, tapi aku yakin loh.. kamu lelaki yang pasti. ‘’Jawab Siti sambil menunjukkan raut wajah yang cantik memberitahu bahwa wajahnya bak Bilqis yang ingin segera dilamar.
Bima terbahak-bahak, matanya sudah tidak mampu menjaga lagi pandangan. Rupanya Siti adalah antek setan yang sangat ampuh membuat iman Bima menjadi lipur akibat lapar ingin selalu menyantap wajah Siti yang begitu manis. Wanita memang cara terampuh membuat kaum adam mati kutu hanyut bersama canda dan tawa.
Benak Bima mendadak ingat perkataan Gie,
‘’Wanita adalah obrolan kosong yang mengasyikan.’’
Keduanya kini diam membisu. Rupanya di ambang pintu ruangan pak Anwar menyuruh untuk segera menaiki mobil avanza silvernya. Bima dan Siti bangkit dari sofa yang empuk, namun mata Bima dikejutkan saat melihat raport biru tua berususun rapih dimeja ibu guru. Matanya membaca cepat pemilik raport yang bernama Citra Lestari. Tanpa sepengetahuan pak Anwar dan Siti, Bima berpura-pura masuk kembali keruangan dengan alasan mengambil barang yang tertinggal. Tangannya bergerak cepat mengambil foto pemilik raport yang berada di halaman paling depan. Foto yang berwarna abu-abu itu ia masukan dalam saku celananya dibagian belakang.
Bima tau siapa pemilik raport itu, gara-gara inilah kawannya Fatur berhari-hari mendekam rindu hingga lesu ingin segera bersua. Setiap kali berkumpul pasti si Fatur menceritakan kecantikan pujaan hatinya, ia selalu bercerita bahwa Citra adalah bidadari yang tersesat ke dunia tak tau arah pulang menuju surga kembali. Sebenarnya Fatur belum pernah sama sekali menatap wajah Citra. Ia hanya berspekulasi lewat tulisan-tulisan yang Citra buat setiap kali membalas surat dari isi hati si Fatur. Hubungan mereka bisa begitu terjalin mesra saat Fatur menjadikan tukang bubur kacang sebagai pelantaranya. Setiap pagi ia selalu pergi menemui pemilik motor legenda jadul itu dengan pertanyaan yang sama, ‘’mang si Citra bales surat teu ?’’ Kadang-kadang si amang tukang bubur kacang bercerita panjang soal kehidupan si Citra. Mulai dari Citra sakit, Citra pulang bahkan sampai Citra dihukum. Si amang bubur kacang ini rela menjadi kantor pos langganan Fatur, dia merupakan jembatan jalinan kasih mereka berdua. Cinta Fatur dan Citra dimulai saat guru bernama bu Titik menceritakan sosok santriah yang pandai sekali membuat kaligrafi. Atas dasar kesamaan profesi dengan Fatur, ia telah menemukan frekuensi sinyal yang sama dan yakin membuat jalinan asmara. Cinta memang tak harus menuntut untuk bertemu, dan Fatur selalu yakin bahwa cinta sejati tidak akan pernah berpaling. Ingin rasanya Fatur segera libur semester, tapi waktu berjalan ibarat kaki seribu yang lama,lambat dan butuh proses. Impian Fatur dalam masalah cinta sangat sederhana, ia selalu berkata ‘’Citra itu sekilas pandang pelepas rindu.’’
Selama ia berteman dengan Bima hidupnya menjadi berbeda, kata-kata cintanya berubah total menjadi semangat pacaran demi kemajuan bangsanya. Jika bagi Bima gerakan Literasi adalah menulis belasan artikel dan membaca buku, maka bagi Fatur gerakan Literasi adalah membalas surat kepada Citra. Mungkin Fatur lebih paham ketimbang Bima makna Literasi itu apa. Baginya Literasi serapan dari Bahasa Inggris ‘’letter’’ kegiatan surat menyurat. Sederhananya kegiatan yang berkaitan dengan dunia membaca dan menulis.
Mobil melaju pelan meninggalkan asrama putri, Pak Anwar mengendarai mobil dengan kecepatan yang sedang berharap sampai ke Pangadaran siang hari. Bima tak banyak bicara kali ini. Ia memilih tidur istirahat supaya badanya sehat saat berpidato. Siti masih menghafal teks yang sudah lusuh.
Dibalut kerudung putih Siti bertambah cantik sekali bagai Chelsea Islan yang sudah taslim masuk agama Islam. Ini adalah pertama kalinya ia memakai kerudung kembali, saat 3 tahun silam tidak memakai hijab di sekolah umum Bandung. Pakaiannya berubah total saat sudah masuk pondok Miftahul Salam, meninggalkan celana jeans ketat dan pakaian yang kurang bahan baginya sangatlah susah. Pergulatan budaya di Bandung cukup kental dengan dunia fashion membuat Siti harus bisa membiasakan berhijab sampai akhir hayatnya. Kawan-kawannya di Bandung masih terlena dengan paham Hedonisme, paham hura-hura yang memandang hidup itu hanya sekali lebih baik dinikmati dan tidak memedulikan lagi ajaran Ilahi. Ia mendapat hidayah saat di instagramnya banyak menyukai postingan hijrah menuju wanita muslimah. Syukurlah Allah memudahkan Siti untuk berhijrah ketika Allah mengirimkan teman bernama Kiki. Waktunya ia habiskan mengobrol seputar keagamaan dikantin ketika istirahat.
‘’Lupakan atuh Sit,,itu teh kan kamu pas kelas satu SMP sampe kelas tiga semester satu, kamu kalau udah mantap mending hijrah.’’ Ujar Kiki saat Siti mengeluh dan bosan nakal.
Siti memasuki dunia pesantren tanpa banyak berpikir panjang. Saran Kiki cukup ampuh membuat Siti yang sedang bergelora ingin belajar ilmu agama bisa masuk ke pondok Miftahul Salam. Kini hidupnya sedikit demi sedikit mencoba merubah diri. Sifat keterbukaan dan tidak canggung kepada laki-laki membuat Siti berekstra keras agar tidak menjadi kebiasannya. Maklum, Siti dulu SMP diluar dan sudah sering berkomunikasi dengan laki-laki. Kiki kawan baiknya sering bertukar surat dengan Siti melalui kantor pos, ia juga sering mengirim bros kerudung yang berisi kata-kata tentang hijrah. Harapan Siti satu-satunya ia bisa pulang menjadi wanita muslimah yang cerdas.
Kiki adalah perempuan yang aktif di rohis, dia juga mengikuti kajian yang dipelihara oleh salah satu ormas. Di usia yang masih belia, Kiki tak jarang merekrut siswi yang sedang dalam proses pencarian jati diri.
‘’Siti,, udah hafal teks pidatonya ?’’ Tanya pak Anwar sambil mengendarai.
‘’Alhamdulilah sudah pak, tinggal dimantapkan.’’
‘’Awas jangan kalah ya...’’ Perintah pak Anwar.
‘’Insyaallah pak,,bismilah aja dulu haha.’’
‘’Nah Siti,, itu namanya Bima.’’ Tangan kiri Pak Anwar menunjuk Bima yang sedang tertidur.
‘’Hmm.. iya pak. Dia dari SMP mondoknya ?‘’
‘’Iya atuh Sit, nanti liat yaa pidatonya, jagoan pisan pokokna.’’ Puji pak Anwar.
‘’Iyaa pak siap,, udah kenalan tadi pas di kantor.’’
‘’Oh bagus atuh,,jadi punya gebetan hehehe.’’
‘’Dih si bapak... gak ah pak, kayanya susah mau ke Bima mah, dianya ganteng hehehe.’’
Pak Anwar tersenyum, akhirnya Siti memilih meminta izin tidur saat mengobrol panjang tentang betah dan tidak di pondok Miftahul Salam. Mobil yang ia tumpangi kini telah sampai di kota Ciamis. Perjalanan lima jam memang membosankan, bahkan membuat kepala Siti dan Bima menjadi pusing. Musik Wali sudah berjam-jam berganti menjadi lagu tembang-tembang lawas band Koesplus. Pak Anwar rasanya sangat menyukai musik, terutama aliran pop. Ada satu yang Bima suka saat lagu Koesplus beralun-alun ditelinga dia. Bima tak tahu judulnya apa, tapi ia sedikit ingat liriknya.
Walaupun gunung-gunung itu tinggi
Tetapi lebih tinggi penglihatan
Walaupun laut-laut itu dalam
Tetapi lebih dalam lagi perasaan.
Mobil pak Anwar terseok-seok melintas daerah Ciamis. Jalan yang berkelak-kelok tajam,kanan dan kiri berselang-seling permukiman warga dan sawah bersatu padu. Waktu bergulir cepat, tak terasa mereka akan sampai menuju lokasi lomba. Dari jalanan terlihat debur ombak biru yang mencari tepi untuk pulang,perahu nelayan berjajar rapih disisi pantai, pasir putih melambai mesra mengajak Bima untuk pergi kesana. Wajah Siti yang cantik dan hidungnya yang mancung berbinar-binar ceria melihat indahnya pantai Pangandaran. Pak Anwar dengan cepat membelokan mobilnya ke arah hotel Melati didekat pantai. Akhirnya mereka telah sampai di lokasi, setelah berjam-jam tempur dengan jalanan yang super berkelak-kelok. Bima, Siti dan pak Anwar turun lekas menuju kamar yang telah disediakan. Mata Bima membaca spanduk besar yang bertuliskan,
‘Selamat datang para kontingen lomba pidato tingkat provinsi Jawa Barat.’’
Kakinya mengayun santai setelah spanduk sambutan menyapa di depan pintu masuk hotel.
Bima dan Siti berdiri tegak sambil menenteng tasnya masing-masing, cukup lumayan lama pak Anwar mengurusi administrasi mereka berdua, sampai akhirnya Siti dan Bima diberikan sebuah kunci tempat perisitirahatan yang bertetangga beda satu pintu. Mata Siti dan Bima sudah menjadi kuyu siang ini, mereka ingin segera masuk kamar dan bersambalewa bersama kasur empuknya. Siti, Bima dan pak Anwar jalan sedikit tergesa-gesa mencari kamarnya. Setelah menaiki satu tangga akhirnya Bima dan Siti menemukan kamar yang sudah disediakan. Siti tersenyum manis saat hendak masuk ke kamar. Suara yang lembut itu berkata pelan dan penuh perhatian.
‘’Selamat istirahat Bima...’’
Bima tersenyum kelelahan lantas masuk kamar dan bersambalewa bersama kasur empuknya.
***
‘’Sit,, kamu sudah siap ?’’ Tanya Bima ditengah-tengah ributnya suara penonton.
Wajah Siti kini terlihat tegang, jantungnya berdebar-debar dicampur tidak percaya diri ketika kedua matanya disuguhkan penampilan hebat dari tanah kelahirannya Bandung. Bima berusaha keras memotivasi agar Siti tak kalah mental. Didalam lomba mental memang segalanya, hilang mental hilanglah bakat yang kita punya.
‘’Sit,kita memang bukan yang terhebat, tapi kita adalah yang terlatih.’’ Ujar Bima yang tahu-kata-kata ini dari tentara nasional Indonesia yang kerap dijadikan prinsip.
‘’Tenang aja Sit,, kalah berarti kamu gak menang.’’
Siti tersenyum manis dicampur tegang.
‘’Selalu,, Sit. Aku yakin kamu menang. Kamu punya wajah yang cantik buat menarik semua perhatian orang-orang’’ puji Bima sedikit sexis.
Kali ini Siti tertawa sambil kedua bibirnya ditutup jari lentik tangannya. Tiba-tiba tangan Bima membawa secarik kertas dari sakunya. Ia memperlihatkan kepada Siti masing-masing kekurangan para peserta yang sudah tampil.
‘’Aku tau format pidato itu apa aja yang dinilai Sit, mereka gak bakal jauh dari mimik, intonasi, gestur,dan kesesuaian tema.’’
Bima lanjut bicara.
‘’Tadi undian satu dari Sukabumi, salahnya gak ada respon dari penonton, kalau undian yang kedua salahnya dia terlalu cepat, yang ketiga dia lupa teks. Jadi slow aja Sit, kamu puas-puasin tampil pidatonya. Jangan takut meski undian nomer lima. Ada aku disamping kamu hahaha’’
Kepala Siti mengangguk paham sambil tersenyum mesra bagai suami yang memberi isyarat kepada istri menyeduh kopi lekas dituruti.
‘’Sekarang bagian kamu Sit, jangan dulu salam sampai keadaan tenang. Inget yaa slow. Semangat !!!’’
Siti berjalan kedepan panggung dengan lemah gemulai. Namanya sudah dipanggil mc sebagai perwakilan dari utusan kota Tasikmalaya. Senyumnya ditebar ke arah penonton dan dewan juri yang terpesona melihat kecantikan Chelsea Islan kw 3 ini. Mata penonton tidak berkedip sama sekali saat Siti sudah mematung memakai pakaian batik dan rok hitam di depan panggung. Kini bibir siap mengucap salam dan berpidato, hatinya berapi-api siap membuktikan dirinya menjadi terbaik kepada Bima. ‘’Lihat aku Bima,,kau pasti terpukau !’’.
Saat Siti mengucap salam. Tiba-tiba Bima hengkang dari tempat duduknya menuju kamar, mata Siti menatap kursi yang sudah kosong karena Bima pergi entah kemana. Hatinya bertanya-tanya ketika berpidato. harapannya pudar saat ingin sekali membuktikan dirinya bisa tampil terbaik di hadapan si Bima. Meski tanpa Bima, mau tidak mau ia membereskan pidatonya yang kini hampir di pembukaan. Intonasinya begitu tenang selaras dengan gerakan menyembunyikan perasaan kesal kepada si Bima yang tak menyaksikan. Semua mata penonton terhipnotis oleh wajah Siti yang anggun dan cantik. Suasana tiba-tiba hening dan ditutup riuh keras saat Siti melonjak pada intonasi tinggi menjelaskan marahnya ibu Malin Kundang.
‘’Dasar anak durhaka !!! Aku kutuk jadi batu !!!!!’’ Semua penonton terbawa emosi.
Rupanya Siti mengambil tema Berbakti kepada kedua Orang tua. Hadist yang Siti bawa memang sudah populer dilantukan para dai atau daiah yang berceramah tentang berbakti kepada Orang tua.
‘’Ibumu ! Ibumu ! Ibumu ! Lalu ayahmu.’’
Tak terasa Siti selesai berpidato. Ia lekas pamit undur diri di hadapan para penonton,meski pak Anwar memberikan acungan jempol, hatinya masih dirundupi rasa kesal kepada Bima. Matanya kini kuyu akibat dari terlalu banyak mendengar singa podium yang berpidato. Kakinya melangkah pergi menuju kamar. Tadinya ingin sekali Siti menunjukan kepiawaiannya dalam pidato kepada Bima, tapi sia-sia ia pergi begitu saja tanpa sebab. Bima tertidur pulas dibanding melihat Siti berpidato. Entahlah apa yang Bima lakukan, dia kadang bertingkah kekanak-kanakan membuat sakit orang-orang.
Malam ini Siti tak bisa tidur. Hatinya begitu kesal akan sosok si Bima. Matanya tak mau rapat, pikirannya terus bertanya kenapa Bima pergi saat dia berpidato. Gumpalan emosi itu mengendap di hati hingga ia berkata, ‘’keterlaluan kau Bima, aku kira kau lelaki yang penuh perhatian. Nyatanya sama saja. Maaf aku bilang bajingan. Kau tahu aku pernah juara sekabupaten Bandung hah? Jauh sebelum kau ada aku sudah sering bergulat dengan dunia pidato. Dasar anak kemaren sore, aku tadi hanya ingin membuktikan Bima, bahwa aku bisa. Lihat saja besok, sejauh mana kau pandai berpidato. ‘’
Tiba-tiba saat sesalnya mengepul tinggi, pintu kamar Siti diketuk oleh seseorang. Hatinya kembali bertanya siapa tengah malam begini yang berani mengetuk pintu.
‘’Siapa?’’ Tanya Siti sambil memakai krudung.
Tak ada jawaban apapun diluar sana. Si pengetuk diam membisu enggan memberi jawaban membuat Siti sangat penasaran dicampur rasa takut. Pintu kembali diketuk dengan sedikit cepat seolah memaksa penghuni kamar keluar, Siti kembali bertanya dan memastikan.
‘’Maaf,,siapa di luar?’’ Tanya Siti penasaran.
Suasana kamar menjadi hening. Penghuni hotel rasanya sudah sepi tertidur, tapi siapa yang mengetuk pintu kamarnya ? kali ini sesalnya berubah menjadi rasa takut. Pikirannya berkecamuk kisah-kisah hantu yang menakut-nakuti penghuni hotel baru. Siti duduk di kasur menghadap pintu, pintu kamarnya kembali diketuk dengan suara ketukan yang menakutkan.
‘’Tok.....tok...tok...’’ Suara pintunya perlahan-lahan diketuk bak di film hantu.
‘’Siapa?’’ Tanya Siti kembali. Lagi-lagi di luar tak ada jawaban. Terpaksa Siti bangkit memberanikan diri membuka pintu, saat daun pintu terbuka ia kaget diluar tampaknya tidak ada siapa-siapa. Jantungnya berdebar kencang, pipinya berkeringat dingin, namun matanya kaget saat melihat dibawah ada surat tergeletak begitu saja. tangannya lekas mengambil dan menutup pintu dengan cepat. Sebelum membaca surat Siti meminum air terlebih dahulu menenangkan dirinya.
‘’Dari siapa surat ini ?’’ Tanya siti dalam hati. Tangannya membuka surat yang dilipat kotak itu, matanya membaca untaian kata yang ditulis panjang oleh seseorang yang sedang ia sayang.
‘Kepada Siti.
Kadang kehadiran seseorang akan begitu terasa saat ia pergi meninggalkan kita. Maaf ! Aku pergi ketika kamu tampil berpidato. Dari sini kamu akan tahu, bahwa hadirnya Bima begitu terasa saat ia pergi. Mungkin sesal dan benci yang kamu rasa Sit, tapi kamu harus tau, benci itu tidak ada yang ada ketiadaan cinta, Layaknya gelap itu tidak ada yang ada ketiadaan cahaya. Sit, besok aku tampil berpidato sekitar jam 8 pagi. Aku sudah ruwet menghafal teks dan gerakannya. Maukah malam ini kamu menemani aku pergi ke pantai ? Anggap saja ini sebagai penebus sesal dan kebencian. Aku ingin sejenak mengobrol santai bersama air laut yang sedang pasang. Sudikah kamu menemani ? Jika sudi aku menunggumu di gerbang keluar hotel. Maaf mengganggu.’’
Tanpa disertai alamat pengirim Siti sudah tahu itu surat dari Bima. Bibir merahnya kembali tersungging senyum. Bima memang benar, benci itu tidak ada yang ada adalah ketiadaan cinta. Sesalnya kini hilang, tak seharusnya ia kesal atau benci, lagi pula kejadian itu sudah berjam-jam berlalu. Siti bangkit lekas pergi menemui Bima digerbang keluar. Ia hanya memakai kerudung biru, rok hitam dan sendal hotel berjalan menuju keluar. Dirinya lupa tidak membawa jaket, dia harap Bima memakai jaket dan memberikannya kepada dia saat dia kedinginan. Lagi-lagi harapan siti luntur, kini Bima dan Siti berhadapan saling tebar senyuman. Siti tersenyum aneh saat melihat pakaian yang Bima gunakan.
‘’Heh ! Cowo aneh, kamu yakin mau pake sarung sama kaos bola ?’’ Tanya Siti.
‘’Hahahaha,, emang ada yang salah Sit ?’’
‘’Hmm..engga sih, tapi rasanya gimana gitu Bim,, ini bukan dipondok loh. Aku kira kamu mau pake pakaian jaket terus pake celana gitu, biar keliatan ganteng..’’
‘’Hahaha aku terbiasa dipondok kalau malem pake sarung Sit..fleksibel gak ribet.’’
‘’Ayoo jalan’’ Ajak Bima.
Siti mengangguk manis. Kini mereka berdua berjalan menelusuri jalan yang masih ramai oleh orang-orang. Toko pernak-pernik berjajar rapih disepanjang jalan menuju pantai ,ada juga toko yang menyediakan layanan bertato, penjual baju, penyewa sepeda beruntun dan beragam aneka makanan malam.
‘’Sit kamu tau Prawoto Mangkusasmito ?” Tanya Bima sambil berjalan di samping Siti.
‘siapa dia ?’’ tanya Siti tidak tahu
‘’Hmm,, iya Sit, dia itu pejuang Masyumi. Tau gak ? Dia gak malu pakai sarung,peci, baju koko ke istana negara buat menghadiri rapat...’’
‘’Ohhh jadi kamu ngikutin dia ?’’
‘’Engga juga sih Sit,,sekedar sharing mumpung lagi make sarung. Hahaha’’
‘’Hmm tadi kamu pergi kemana pas aku lagi pidato ?’’
‘’Ke kamar Sit,, maaf ya..aku tidur, tapi aku udah liat kok kamu pidato di video.’’
‘’Video ? Kamu bawa hp Bim ?’’
‘’Engga Sit,’’
‘’Terus?’’
‘’Aku nyuruh peserta kota Subang buat videoin kamu.’’
‘’Oh.. bagus gak ?’’ Tanya Siti sambil berjalan melewati toko-toko.
‘’Bagus sih, cuma hadistnya lucu aja.’’
‘’Lucu ? Apanya yang lucu ?’’
Bima menawan tawa.
‘’Gini Sit, kan kamu bawain hadis yang bunyinya, seorang sahabat datang kepada Rasul, ia bertanya siapa yang harus aku hormati ya Rasullah?’’
‘’Menurut kamu siapa Sit ?’’ Tanya Bima.
‘’Ibumu..’’
‘’Terus? Siapa lagi?’’
‘’Ibumu’’
‘’Terus siapa lagi Sit ?’’
Bima menahan tawa.
‘’Ibumu lagi deh terus ayahmu.’’
‘’Nah jadi kata hadis itu kita harus punya tiga ibu.’’
‘’Buhahahaha’’ Bima tertawa.
‘’Bukan gitu penjelasanya Bima...kalau begitu mah enak di kamu,gak enak di aku dong.. dipoligami’’
‘’Hahaha’’ Bima tertawa.
‘’Penjabaran itu tuh penegasan supaya berbakti kepada Orang tua Bima...makanya Rosul ngucap selama tiga kali ibumu, bukan nyuruh punya tiga ibu. Hm...ngacoo.’’
Siti tertawa di samping Bima. Ke empat kaki ini berjalan menuju arah Pantai Selatan. Debur ombak melambai mesra kearah mereka ingin sekali dijamahi. Pasir putih yang terlihat terang oleh bulan menambah suasana semakin romantis bak pasutri yang sedang bulan madu. Sisa api unggun berserakan di pojok setiap pasir pantai, botol-botol minuman keras mengotori mahakarya alam yang luar biasa.
‘’Kapan kamu terakhir ke pantai Bim ? ‘’Tanya sini yang kini duduk bersama Bima menatap debur ombak.
‘’Waktu kelas dua SMP Sit, ke Pulau Seribu Jakarta.’’
‘’Kamu pernah ke sana ?’’ Tanya Siti kembali.
‘’Iya Sit,,diajak ayah liburan. Gak terlalu lama sih cuma tiga hari aja, aku pergi kesana untuk berziarah sekaligus liburan.’’
‘’Keluarga kamu ada yang meninggal di sana Bim ?’’ Tanya Siti.
‘’Engga Sit, ayah aku ziarah ke makam Sekarmaji Kartosuwiryo di pulau Onrust’’
‘’Sekarmaji ?’’
‘’Iya Sekarmaji Kartosuwiryo, proklamator DI/TII. Entalah Sit,, Sekarmaji itu pemberontak atau pahlawan. Jelasnya ayahku sering mengajak aku liburan berziarah ke makam para pahlawan.’’
Bima lanjut bicara.
‘’Aku juga pernah ke makam Buya Hamka di tanah kusir, kamu tau kan Buya Hamka ?’’ Tanya Bima.
Siti menggelengkan kepala.
‘’Dia penulis sekaligus ulama Sit,aku pernah membaca beberapa karyanya cuma gak selesai semua.’’ Jawab Bima berbohong
‘’Lagi pula kalo aku membaca buku mudah mengantuk.’’ Bima bohong kembali.
‘’Emang kenapa Bim ?’’ Tanya Siti.
‘’Engga Sit, aneh aja. Aku gak suka banget baca buku, kalau baca buku mata aku langsung ngantuk.’’
‘’Hahaha’’ Siti tertawa.
‘’Belajar suka baca buku dong,, buku itu gudangnya ilmu, membaca adalah kuncinya, begitu kata pepatah hahaha’’ nasihat Siti.
‘’boleh aku jujur tentang satu hal Bim ?’’ Tanya Siti
‘’Tentu saja siti..’’ jawab bima sederhana
‘’Kalau boleh jujur, aku dulu bandel Bim, tapi semenjak kenal sama Kiki aku berubah total jadi suka baca buku sama novel. ‘’
‘’Kiki ? ‘’ Tanya Bima.
‘’Iya,,dia sahabat tapi guru, dia sering ajak aku ngobrolin keagamaan dikantin, sama baca buku di perpus.’’
‘’Hmm keren ya Kiki, buat aku aja Sit,’’ goda Bima.
‘’Hmm emangnya dia gorengan.’’
‘’Terus kamu masih suka baca buku ?’’
‘’Membaca aku di pondok mati suri Bim, dipondok aku jarang bersentuhan lagi sama buku. Kiki dulu ngirim aku buku sama novel, tapi kena razia deh sama bagian pendidikan.’’ Siti mengeluh manis
‘’Untung aja Sit, aku gak suka baca buku sama novel, jadi gak kena razia.’’ Bima berbohong.
‘’Nih ya ngapain kamu baca buku ? Gak ada manfaatnya mending baca Quran biar barokah, baca Quran satu huruf mah dapet pahalanya berlipat ganda gak kaya buku.’’
Bima mencoba memeragakan kawan-kawannya yang selalu mengejeknya dengan kata-kata seperti ini dipondok.
‘’Sit,,ada kawanku namanya si Zael, kerjaannya baca buku sama novel, dia gak kapok-kapok udah kena razia juga, malah bukunya dibakar dihadapan santri. Ihh naudzubillah jadi dia.’’
‘’Dih.. kok gitu sih Bim. Dia tuh punya prinsip tegas gak kaya aku suka ciut mempertahankan hobi.’’
‘’Nih Siti,,yang begituan mah bukan keren.. dia tuh kafir zindiq. Kerjaannya baca buku filsafat, ah pokoknya si Zael mah udah jadi kafir zindiq titik.’’ Ujar Bima dengan nada sedikit kesal.
Siti tertawa mendengar nada kesal lucu si Bima.
‘’Eh beneran kamu gak suka baca Bim?’’ Tanya Siti meyakinkan.
‘’Bener Sit,, suer tekewer-kewer. Lihat huruf mata aku langsung bleng, seumur hidup aku gak pernah baca buku, gak minat sama sekali, kecuali kalau diajarin sama kamu.’’
‘’Hahahaha, dasar gombal, iyaa nanti aku ajarin.’’
‘’Alhamdulilah ya Allah ya Robaalamin,, Siti mau ngajarin Bima baca buku.’’
‘’Heh ! Hahaha dasar aneh.’’ Siti tertawa sambil menatap debur ombak.
‘’Eh,,ngomong-ngomong kamu bisa gitar gak Bim ?’’
‘’Aku gak bisa Sit,,bisanya main bola. Emang kamu bisa?’’
‘’Bisalah,, aku waktu SMP buat band tau,,’’ Siti promosi bangga.
‘’Hah?’’
Bima pura-pura kaget.
‘’Aku dulu pernah punya pacar namanya Farel, dia yang ngajarin aku gitar Bim.’’
‘’Owalah,, keren ya Farel gak kaya aku cuma bisa maen bola.’’ Hati Bima terpukul saat Siti berbicara keistimewaan Farel.
‘’Ciee merendah..’’
‘’Eh nama band nya apa Sit?’’ Tanya Bima masih tersisa sendakan farel mantan siti.
‘’Hahaha’’
‘’Kok ketawa ?’’
‘’Nama band nya, bandtrok Bim.’’
‘’Buhahahaha.’’
Bagai dua mempelai baru, Siti dan Bima mengobrol tak tau waktu. Bima tampaknya telah jatuh hati kepada Siti. Gadis cantik sekaligus kutu buku dan mantan anak band ini membuat Bima terpikat kuat. Di hadapan Siti Bima berpura-pura bodoh agar bisa menikmati tawa Siti yang begitu manis. Bima tak mau Siti tau hidupnya dihabiskan bersama setumpuk buku. Ia memilih menjadi kacung yang tolol di hadapan ratu Bilqis yang Maha bijaksana dan santun. Andai Siti tahu Bima senang membaca, mungkin Bima akan berjam-jam mendengarkan sesuatu yang lebih berfaedah dibanding ketawa Siti yang gurauan saja. Ingin rasanya Bima bercerita panjang siapa sosok Sekarmaji, Prawoto sampai Buya Hamka,tapi sebab cintalah yang membuatnya menjadi bodoh.
Biarkan Siti mengajariku membaca, terkadang aku lupa bagaimana caranya mengeja. Kututup mulutku rapat-rapat dan bicara padamu dengan seribu tingkah bodoh dan kekanak-kanakan.
Gelombang ombak kian mencari tepi, bulan bersinar terang menerangi wajah anggun yang Allah karuniakan kepada Siti. Bima memandang laut lepas berharap besok bisa menang dan kembali bersama kawan-kawan Lingkar Cintanya. Entah setan mana yang menggoda Siti. Kepala Siti memberanikan diri bersandar di pundak Bima. Tangan halusnya memegang tangan Bima yang sedang melamun. Lembut, halus yang Bima rasakan.
Matanya memandang kosong ke arah debur ombak. Bima mematung diam sampai akhirnya sadar, bahwa Siti bersandar di pundaknya. Badannya mendadak bergeser menjauh dan bingung harus bagaimana. Raut wajah Bima bertanya-tanya, ada apa dengan sosok Siti. Mengapa dia melakukan hal semacam itu, bukankah dilarang oleh pondok. Faktor nafsukah ? Bima menjauh dari Siti.
‘’Maaf Sit,, bukan muhrim.’’ Tegur Bima.
Jantungnya berdebar-debar seolah telah melakukan dosa yang amat besar. Hatinya tidak menyangka sosok Siti yang dipandang Bima sholehah nampaknya melakukan hal sebodoh itu.
‘’Maaf Bim,,maaf..aku tadi sedang rindu seseorang.’’ Bela Siti.
‘’Siapa ? Si Farel ?’’
Siti mengangguk.
‘’Hmm,, sebenarnya aku benci pantai Bim, aku muak akan kejadian itu.’’
‘’Kejadian apa Sit?’’
‘’Kamu tahu kan waktu SMP itu masa-masanya puber, dulu Farel mengajakku main ke pantai bersama kawan-kawannya. Aku diajak ciuman sama dia Bim,,’’
Bima termenung mendengar Siti secara mendadak menjadi curhat.
‘’Aku memang wanita kotor, aku saat itu hidup di ambang kegelapan Bim, pulang main selalu tengah malem, tapi untung Allah menunjukan jalan terbaik saat semester terakhir kelas tiga SMP. Aku mencoba berubah sedikit demi sedikit meninggalkan jejak hitam dikehidupan sesat anak muda Bandung.’’
‘’Kenapa kamu diam Bim? Kamu kecewa punya temen sekotor aku ?’’ Tanya Siti.
Bibir Bima tersenyum aneh.
‘’Engga Sit, aku gak nyangka kamu pernah ciuman. Aku sih bersikap biasa-biasa aja, memang kelas tiga SMP itu masa-masanya lagi pubertas, tapi sayang Sit. Kalau aku hidup diluar sama kaya kamu entahlah Sit, untung hidup aku selalu dipondok.’’
‘’Biarlah Bim,,ini masa lalu. Maaf aku membuka aibku padahal tuhan telah menutupinya.’’
Bibir Bima tersenyum seolah tidak menunjukkan kekecewan kepada gadis cantik itu.
‘’Siti, sebetulnya itu justru petualangan. Aku jujur tidak memandangmu kotor. Kamu berhak mendapatkan hormon kebahagiaan itu. Sekalipun aku tidak senang membaca, tapi aku pernah di kasih tahu setidaknya rata-rata orang berciuman sedikitnya 20160 menit sepanjang hidup. biasanya yang kurang dari hidupnya tidak bahagia hehe‘’ jawab Bima bercanda
‘’Hormon kebahagiaan ?’’ tanya Siti sambil menatap Bima
‘’Siti, manusia punya 86 miliar neuron di otak. Fungsi neuron ini mengendalikan manusia dalam proses pencarian makna hidup. Termasuk soal jatuh cinta dan sakit hati.’’ Jawab Bima mencoba menjelaskan kepada siti bagaimana neurosains memandang jatuh cinta dan sakit hati.
‘’Di otak kita juga tumbuh apa yang dimanakan sebagai hormon bahagia, happy hormones. kalo hormon ini tumbuh, dan dihidupkan, dia bakal memberikan rasa bahagia, damai serta rasa mengalami hidup bermakna’’
‘’terus gimana lagi Bim ?’’ Siti penasaran
‘’Sedangkal yang aku tahu, sakit hati itu tidak ada, sakit hati itu lever. Ketika sakit hati, sebetulnya kita bukannya mencintai pacar, kita mencintai berbagai biokimia positif yang tubuh kita produksi karena kehadiran dia. Kita menikmati biokimianya, bukan orangnya. Ketika awal jatuh hati otak kita terlalu banyak disuntik hormon dopamine, oxytocin, setiap kali bertemu. Semacam keterputusan candu rokok katakanlah, lahirlah nyeri tak karuan efek sudah keseriangan tadinya.’’
‘’Jadi sebenarnya jatuh cinta dan sakit hati itu ada di otak maksudmu?’’
‘’betul Siti, dulu Zael jelasin ke aku bahwa otak itu kumpulan emosi.’’
‘’Bima, aku belum mengerti maksudmu, tapi nanti coba aku renungan.’’ Jawab Siti Diplomatis.
‘’Kamu pernah pacaran Bim ?’’ Tanya Siti kembali
‘’Pernah Sit,, tapi sudah putus.’’
‘’Sama siapa Bim ? Wanita luar atau santriah juga ?’’
‘’Hm.. kamu tahu Mardiana?’’
‘’Tau lah dia kawanku sebangku, dia mantan kamu Bim?’’ Tanya Siti dengan kaget.
‘’Iya Sit,, dulu waktu SMP ada surat dari adik kelas aku, ya isinya Mardiana nembak aku.’’
‘’Ciee ditembak santriah se cantik Mardiana.’’ Puji Siti.
‘’Lucu juga Sit kalau dinget-inget pacaran aku sama dia, kerjaan aku ngirim puisi sama coklat tiap kali hari jum’at. Kita gak pernah ketemuan apalagi ngobrol bareng. Cuma suratan-suratan aja sih..ya begitulah pokoknya lucu.’’
‘’kok bisa putus sih Bim?’’
Bima tertawa.
‘’Sore itu hari kamis, di pondok diguyur hujan.’’
‘’Terus?’’ Tanya Siti sambil mengambil pasir.
‘’Ya gitu , aku langsung kirim surat deh minta putus.’’
‘’Dih,,aneh gak ada masalah apa-apa minta putus.’’
‘’Iya Sit aku memang aneh.’’
Siti tertawa.
Hati Bima bergumam kecil sambil mentap kosong laut lepas.
‘’Ah Siti..andai kamu tahu masa puberku seperti apa, pasti kamu akan muak. Jika masa pubermu pernah berciuman, masa puberku dihabiskan dengan ratusan cibiran aku dituduh komunis. Alasan aku putus dengan Mardiana bukanlah tanpa sebab, aku saat itu sedang mengidolakan Tan Malaka Siti...saat itu pula aku memandang pacaran itu sia-sia.’’
‘’Heh Bim,,kamu ngantuk ? Kok ngelamun sih’’
‘’Iya Sit,,pulang yuk!’’ Ajak Bima.
Kini keduanya berjalan kembali ke arah hotel. Hati Bima masih terpukul sakit mengingat masa lalunya, meski kini Bima telah jatuh hati, hatinya menjadi sakit kembali saat harapan keduanya gugur dihantam berita dari Siti.
‘’Mardiana mau menikah ya ?’’
‘’Hah,, sama siapa ?’’ Tanya Bima dengan penuh sesak.
‘’Dia dijodohin sama bapanya.’’
‘’Tapi dia kan masih kelas 1 SMA Sit,’’
‘’Entahlah Bim,,itu urusan keluarganya.’’
‘ohiya itu urusan keluarga.’’ Tambah Bima menahan sesak.
Bima berjalan dengan hati yang penuh sesak. Mantannya Mardiana akan segera menikah bersama pria lain. Bagai seorang pedagang yang kelelahan menanggung derita akibat berkeliling dagang kaki bima berjalan sedikit agak malas dan lesu. Barangkali hatinya memang sedang tidak berfungsi dengan baik. Hatinya sedang sesak dan tidak enak. Semua rasa bercampur aduk entah bangaimana.
‘’bener sit, mardiana menikah ?’’ Bima mencoba memastikan
‘’iya bim..’’ jawab siti.
Kini bima tak banyak bicara diam seribu bahasa. Wajahnya sangat sulit di definisikan seolah sedang mencari rawut wajah yang pas antara ceria dan sedih. Dia sangat pandai menyembunyikan rasa tapi kali ini rasanya tidak. Akibat sesak yang sedang menjadi-jadi di hati bima. Akhirnya tanpa sadar ia sampai diambang pintu kamarnya sendiri.
‘’sampai jumpa siti, dah...’’ salam bima di balut senyuman busuk sembaring masuk ke kamar.
Pikiran bima penuh oleh bayangan masa kelam saat hidup bersama mardiana. Ia masih tidak percaya mantan kekasihnya akan segera menikah dengan lelaki lain. Kini badanya berbaring di kasur empuk di balut pertanyaan besar kepada mardiana. ‘’aku heran padamu, kenapa kau berani mengambil keputusan secepat itu, mar..menikah itu membangun peradaban. Arrrgh...’’ tangan bima kini menggenggam belasan pucuk surat yang dulu sering di kirim mardiana. Matanya menatap kosong membayangkan kenangan silam yang sempat terjadi. ‘’kau tau mardiana ? kemana pun aku pergi suratmu selalu aku bawa. Kamu wanita pertama yang mampu menyelinap ke bilik hati yang paling palung. Wajahmu sudah larut selalu berada di benakku meski hanya berjumpa satu kali, mardiana..maaf kala itu, maaf ! aku memang lelaki bodoh. Menyia-nyiakan cintamu memang sangat bodoh.’’ Hati bima bergumam sesal pada dirinya sendiri. ‘’apakah masih ada santriah yang jauh lebih baik darimu ?, rasanya tidak ada. mardiana..aku rindu kamu yang dulu, Rindu kita yang dulu, Bicara buku-buku dan kisah revolusi, Aku rindu membaca cerpen buatan dirimu mardiana..aku rindu berkirim paket novel denganmu, Aku rindu semuanya.’’ Mata bima kini sedikit berbinar-binar, ada sedikit kebahagian menyelinap masuk ke hatinya saat membaca anak kalimat dari surat-surat mardiana.
Terimakasih atas inspirasinya,
‘’bagiku’’ ini adalah motivasi
Sesuatu yang belum tentu orang lain bisa kasih,
Sesuatu yang belum tentu orang lain bisa mengerti,
Sepanjang aku hidup, sepanjang aku menulis
Tak ada orang se antusias kamu,
Tak ada orang yang se aneh kamu,
Kamu tahu ? terkadang aku lelah menulis
Menulis dalam kekangan,
Mereka mengekangku untuk terus menulis
Memaksaku untuk terus berimajinasi,
Yang bahkan mereka tak pernah memberi sesuatu yang berati,
Sesuatu yang bermanfaat, sesuatu yang mendorongku untuk tetap menulis,
Aku lelah saat mereka terus berkata ‘’mana? Kok belum diterusin?’’
Karena inspirasi itu terkadang mudah kau dapat, tidak secepat saat membaca. Kau pun tahu aku menulis untuk ku sendiri, untuk kesenanganku, bahkan tak berniat jadi penulis, aku hanya penyuka pena. Tapi, aku berharap bisa seperti tere liye, chairil anwar, kahlil gibran, ataupum seperti novelis yang kamu suka buya hamka, pramoedya, jostein garder dan lainya.
Aku tidak berharap tulisanku dibaca oleh banyak orang, karena itu bukan tujuanku,
Aku tidak berniat membuat penasaran,karena aku tak pernah meminta mereka untuk terus membaca tulisanku. Aku tidak mau menjadikan ini hal yang serius seakan-akan aku harus menulis, terus menulis untuk memuaskan keinginan mereka. Ini membuatku penat, tidak bebas lagi dalam menulis.
Akurasa....aku ingin melebur saja,
Akhir-akhir ini, inspirasiku terpendat padahal hujan datang tak henti-henti !
Aku gak tau dari mana kamu tau aku suka menulis, tapi terimakasih... sudah jadi salahsatu inspirasi di hidupku.
Namun, kamu ‘sama saja’’ dengan yang lain, tidak merubah sesuatu apapu dalam diriku. Aku pikir kamu berbeda ,,ternyata ‘’tidak’’
Ini penilaikanku tentang diriku dan dirimu, kalau kau tak setuju aku tidak peduli !
Kamu gak berniat meminjamkan tulisanmu sendiri padaku? Ok,,tidak apa-apa. Aku tak berharap.
‘’Salam Pena’’
Apa razia novel menurutmu ?
Nilai pluskah ? negatifkah ? aku tahu sebenarnya kamu.
Kau mau jawaban yang mana ?
Positif ? atau negatif ?
Jujur hati ini menjadi ciut untuk terus menulis,
Sepanjang aku menulis,,aku belum seputus asa ini.
Tapi, aku tahu,,semua tergantung apa yang kita pikirkan.
Hati kita tergantung apa yang kita pikirkan..
Bukan karena apa yang di nilai novel itu yang membuatnya di razia. Bukan karena retorikanya absurd. Tapi lebih kepada apa akibat dari adanya novel-novel itu disini, di pesantren..bukan di duniaku atau duniamu.
Tidak semua orang seperti dirimu. Membaca buku mencari ilmu..
Mereka membaca buku untuk menghibur
Kau boleh menyatakan itu sebuah penghinaan, selama kamu terus berambisi, terus membaca, selama yang kamu lakukan itu benar.
Asal kau mau menerima penghinaan ini dengan berlapang dada. Bukan hati yang memberontak. Berasumsi sesuai dengan kata ’’didik rakyat dengan organisasi, didik pemerintah dengan perlawanan.’’ Ini bukan spekulasi lagi tapi nyata. Kau kandidat wakil rois ? tapi, aku yakin kamu pasti jadi sekretaris. Tapi, tak begitu denganku. Ekspestasimu masih hingga kini ‘’perpus.’’ Kau bisa melakukanya. Setelah nanti kau jadi pengurus.
Ini alasan kenapa sepanjang aku menulis. Selama itu pula aku tidak pernah berkhayal bermimpi bisa jadi penulis/novelis. Cukup menulis. Ini bagiku bagimu terserahmu.
Tangan bima kembali mengambil sepucuk surat kembali, semakin banyak membaca anak kalimat surat dari mardhiana. Semakin sejuk hatinya. Ia memang wanita progresif, mantan terindah selebihnya mantan martir revolusi.
Sempurna sudah keinginanku membunuhmu.
Apa kabar faza si penyendiri ?
Apa kabar teza si pemberani ?
Lalu bagaimana dengamu, masihkah penuh ambisi ?
Aku jadi rindu menulis, rindu tokoh-tokoh yang ku buat sendiri
Sebagai teman imajinasi, tapi hari ini aku tak punya cerita
Karena certa itu sedang kujalani sendiri,
Akhirnya keajaiban itu datang. Aku melihatmu didalam mimpi meski tanpa menyapamu,
Apa itu rindu ? jika ia menghilang saat bertemu,
Butuh waktu beberapa lama untuk menyadari bahwa kamu ada disini.
Apalah arti dari sebuah pertemuan, jika ada pertanyaan.
Inikah takdir atau hanya skenario semata ?
Lalu bagaimana denganku yang suka menulis
Takdirkah atau hanya skenario
Karena semua terjadi berawal dari hobby dan obsesi
Soal buku..aku tahu, aku tak akan pernah bisa menggantikanya
Dengan buku yang sama, atau dengan uang yang tak aku punya,
Tapi aku yakin aku akan menggantikanya dengan sesuatu yang kubuat sendiri.
Pak, untuk hari ini mungkin aku telah menemukanmu sebagai teman yang baik
Tapi semoga.. suatu hari nanti saat ‘aku menepati janji’aku telah menemukanmu
Sebagai seorang yang bahkan lebih dari sahabat yang baik. Maaf bima !
Membaca dan jangan lupa menulis,
Membaca dan terus menulis,
Membaca dan tetap menulis.
‘’bumi hanyalah sebutir debu di telapak kaki kita.’’
Mata bima kini tak bisa menahan air matanya. Air yang menetes dari kelopak mata itu disebabkan sebuah anak kalimat yang menyakitkan bak anak panah mengarah pada dirinya. ’’ Tapi semoga..suatu hari nanti ‘’aku menepati janji’’aku telah menemukanmu sebagai seorang yang bahkan lebih baik.’’ bibir bima kini berkata pelan dibalut tangisan kecil.
Maaf mardiana, maaf ! saat itu aku memang sedang banyak urusan, aku memaksamu untuk mengembalikan sebuah buku yang belum sempat aku baca. Maaf mardiana, maaf ! aku tak pernah berjanji untuk menjadi suamimu saat itu, kau sendiri justru yang berucap. Aku ingat mardiana,,aku ingat ! kita sama-sama bermimpi menjadi manusia progresif, aku selalu ingat saat kamu menagih novel-novel untuk dibaca, menagih puisi-puisi yang aku buat, menagih hidup bersama kelak di Jakarta. Aku ingat mardhiana,, aku berjanji akan membawamu pergi ke jakarta mengenyam pendidikan sampai S2, aku selalu rindu kamu yang pantang menyerah menulis kisah meski dibakar lalu menjadi abu. Abu yang kau kirim sore itu masih ku simpan mardhiana.....aku selalu rindu kamu mardhiana..’’
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
