
Bima memang remaja yang mudah tersentuh dengan hal yang berbau kemiskinan, ketidakmerataan dan ketimpangan struktural. Dia tak pernah tahan kepada kaum yang tersisihkan oleh kehidupan. Mereka kaum papa, kaum yang hidup di jalanan terlempar oleh sistem biadab yang menurutnya perlu terus dirangkul. Bahkan Bima mengutuk keras mereka ahli agama yang menimbun harta. Mereka yang rajin ibadah mengesampingkan nilai-nilai sosial akan celaka pada waktunya
Saat sang fajar menyingsing menerangi bumi, sayup burung bernyanyi merdu, nun jauh disana udara pagi segar datang menyapa, Bima berlari kecil di tempat dengan tempo yang santai. Sekujur tubuhnya menghadap ke depan cermin. Di kamar tadi, selesai solat subuh Bima menghafal teks pidato. Mulutnya tidak berhenti latihan menyebut vokal dengan berteriak A-i-u-e-o. Kedua tangannya dia ayun ke atas, ke bawah dan samping. Aneh, begitu anggapan orang. Namun itulah Bima. Sesuai kepercayaan yang dia yakini, olah tubuh sebelum bertanding pidato menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan. Bima melenturkan mimik wajah, tangan, kaki dan badan. Bahkan mengatur intonasi bicara. Sesekali dia teriak kencang dan tertawa di depan cermin.
Sudah pukul setengah tujuh Bima berhenti olah tubuh meminum air hangat lantas membuka pintu kamar berjalan perlahan menuju halaman depan hotel. Sahut-sahut kicau burung merdu pertanda adanya hari baru. Indahnya alam Pangandaran membuat Bima terpaku. Dia memejamkan mata sejenak, merentangkan tangan, sejuk, tenang, senang yang Bima rasa. Bima melayang kegirangan. Deburan ombak, angin menggesek dedaunan, Memang alam semesta ini bergerak dalam nada yang berpola, ia sama seperti bermusik. Bak orkestra kolosal yang menyanyikan mazmur pujian bagi keagungan sang pencipta.
‘’Aku Bima.’’ Ucap dalam hatinya
‘’ Bima Yudistira Adikara nama lengkapku.’’ Kata bima kepada diri sendiri.
Ayahnya memberi nama Bima karena senang menonton wayang. Bima adalah tokoh wayang gagah, berani, tegas dan ditakuti musuh. Konon selain itu, Bima adalah nama samaran Soekarno sewaktu muda. Pada saat kondisi pribumi ditindas, Bung Karno menggunakan nama samaran bima sebagai sarana menyampaikan gagasan revolusi tanpa takut ditangkap. Disaat umur 19 tahun, Bung Karno masih SMA sudah produktif menulis gila-gilaan sampai lima ratus artikel di harian Oetoesan Hindia dengan menggunakan nama samaran untuk mengobarkan semangat pemberontakan. Demikianlah Bima lahir diilhami oleh karakter wayang dan sejarah panjang.
‘’Pagi ini aku bertanding, bukan piala yang kukejar.’’
‘’Cukup tampil saja yang baik.’’ Ujarnya
Selepas menikmati alam sejenak, Bima pergi menuju kamarnya untuk bersiap-siap.
***
Suara ribut menghampiri telinga Bima. Di gedung besar ini, ratusan orang menonton semua delegasi yang tampil. Sorak-sorai penonton bergemuruh setiap pemandu acara memanggil peserta pidato. Pagi ini laga bergengsi telah dimulai. Sesuai kebiasaan yang diyakini, kota Tasikmalaya dan Bandung selalu menjadi corong penentu kemenangan. Bima duduk rileks di kursi paling tengah. Pak Anwar belum hadir menemani. Dia hanya bisa menenangkan diri, sesekali menarik nafas panjang.
Kondisi ini mengingatkan Bima kelas 3 SMP silam. Dirinya pernah menjadi penentu kemenangan dalam bidang pidato. Momen itu tertunjam dalam ingatan. Beberapa kali mengikuti lomba Bima selalu menjadi juara. Anehnya, tak adapun piala yang dia terima. Dia biasanya pergi ketika pengumuman juara untuk sembunyi. Setiap kali pembagian hadiah Bima selalu minta diwakili. Mungkin, dia seorang remaja yang tak suka eksistensi berlebihan. Baginya gelar juara tak ada artinya. Dia hanya ingin tampil terbaik, sekalipun manusia berjuang untuk memperoleh pengakuan.
Lama membisu. Bima dikagetkan dengan suara pemandu acara yang menyebut namanya untuk segera tampil. Bima perlahan bangkit, ditengah-tengah pemandu acara menyebut nomor urut dan daerah yang kini ia huni.
‘’Nomor urut sembilan, Kabupaten Tasikmalaya dipersilahkan untuk tampil.’’
Bima bergerak maju, suasana penonton tertuju padanya. Badanya yang sedikit ramping berjalan pelan kearah depan. Tangan kanan Bima memegang map berwarna biru berisi teks pidato. Sebelum naik ke panggung, bima menyodorkan teks kepada dewan juri yang duduk di depan. Wajah lembut itu menunjukan rawut senyum yang mendalam. Tentu itu kamuflase mimik wajah yang lumrah. Seperti politisi menyapa rakyat untuk mendapat simpati, Bima memancarkan wajah yang damai.
Sebelum naik ke panggung, ia berdiri sejenak, membungkukan badan sebagai tanda penghormatan kepada yang lain. Sejurus kemudian, Bima naik panggung dan membawa microphone. Dengan kondisi tenang Bima menarik nafas, membuangnya lalu mengucapkan salam pembuka.
‘’Assalamualaikum wr wb’’ Sapa Bima
Hadirin di dalam ruangan serentak menjawab
‘’walaikumsalam.’’
Bima melanjutkan pidatonya dengan membawakan pantun.
‘’Kalau makan jangan berserakan’’
‘’Jagalah dapur biar tak berantakan’’
‘’mumpung salam serius belum saya ucapkan’’
‘’yang ingin ke wc saya persilahkan’’ Ucap Bima.
Semua hadirin tertawa. Beberapa kontingen peserta mendorong penonton lainya menyuruh keluar wc sebagai tanda candaan. Setelah yakin tak ada seorang pun yang singgah untuk keluar. Bima melanjutkan salam pembukaan. Selepas itu, dia menuntun penonton kearah pembicaraan mengenai tema yang diangkat. Pagi ini, Bima membawakan tema berjudul ‘’Urgensi Menjaga Negara Multikultural.’’
‘’Hadirin yang saya hormati, para peserta pidato yang saya segani. ‘’
‘’ Indonesia merupakan negara yang memiliki 17.000 pulau, dari Sabang sampai merauke kaya dengan ragam bahasa dan budaya. Apa untung dan ruginya bagi kita semua ?’’ tanya Bima.
‘’Jika kita merujuk kepada salah satu cendekiawan muslim bernama Nurcholish Madjid. Dia mengatakan bahwa ini bisa menjadi kekayaan di samping lain kerawanan, dalam konteks kekayaan kita bisa mendapatkan anugerah penyuburan silang budaya. Namun, jika masing-masing ini menguat dan mulai egois akan menjadi ancaman tersendiri.’’
Seluruh hadirin menyimak isi pidato yang disampaikan Bima. Dewan juri yang ada dihadapannya mendengarkan secara seksama. Bagaimana mungkin seorang remaja telah membaca karya-karya cendekiawan muslim yang umumnya dijamah saat menjadi mahasiswa. Bima dengan intonasi naik turun memainkan mimik wajah, gestur bahkan menyederhanakan teori-teori yang agak berat untuk dicerna.
‘’ Ingatlah hadirin.. Bangsa kita mulanya bergerak seperti ombak memerdekakan negara dari lingkaran kesukuan. Ada jong sumatera, jong celebes, jong java, jond batak dan kumpulan pemuda lainya. Belum lagi dalam kelompok-kelompok agama seperti jong Islamieten bond, namun semua bermuara kepada spirit nasionalisme.’’
‘’Semua membuang ego kesukuan dan agamanya hanya untuk negara tercinta.’’ Lanjut Bima dengan intonasi menanjak mengobarkan spirit nasionalisme.
Waktu pidato yang diberi panitia hanya sepuluh menit, Bima yang mahir menyihir suasana tak terasa sudah ada diambang batas selesai. Mulutnya akan segera mengakhiri pembicaraan. Dia tatap suasana ruang gedung yang membuncah sunyi. Lalu dengan nada sedikit bercanda Bima menutup pidato dengan berpantun.
‘’Kalau ada sumur di ladang’’
boleh kita menumpang mandi’’
‘’kalau anda juri yang tandang’’
‘’bolehlah memberikan nilai yang tinggi’’
Demikian Bima tutup pidatonya. Seluruh penoton bergemuruh tepuk tangan. Sebagian ada yang memilih berdiri memberikan penghomatan luar biasa. Disudut ruangan, duduk cleopatra manis berdecak kagum kepada sosok bima. Siti menaruh hormat. Bima berjalan keluar diikuti siti yang mengikuti diarah samping.
‘’Bagus banget kamu Bima.’’ Puji siti
‘’Makasih. Aku suka hilang sadar kalo berpidato..’’
‘’Sumpah kamu menguasai banget materi dan suasana ruangan.’’
‘’Masa ? aku udah lama gak berpidato.’’ Pungkas Bima
‘’Tapi keren loh materimu berbeda dengan yang lain. Itu kamu buat sendiri?’’ tanya Siti
‘’Mana mungkin aku buat sendiri, aku lihat di internet sit.’’ Jawab bima berbohong
‘’ aku kirain kamu buat sendiri, sempet gak percaya sih kalo kamu gak suka baca.’’
‘’Seriusan aku gak suka baca, kelebihan aku kayanya di hafalan aja. ‘’
Bima dan siti berjalan keluar hotel menuju arah pantai. Mereka berdua akhirnya telah bertarung sekuat tenaga. Kini dua sejoli ini ingin menghabiskan waktu diluar pondok dengan liburan. Sedang pak Anwar sendiri dari tadi belum muncul entah kemana. Siti mengajak Bima untuk melihat perahu nelayan. Cuaca sedikit teduh, suasana pantai tak seramai hari libur. Beberapa kendaraan lalu lalang. Ombak berderu tak menentu, sesekali menghantam batu karang.
Bima dan siti duduk di hamparan pasir putih dibawah pohon rindang. Desir angin mengusik kerudung hitam siti. Tangan bima memainkan pasir tanpa takut kotor. Mereka menatap gelombang ombak pantai yang indah. Perahu-perahu nelayan mengapung diatas air sisa bekerja semalam menyambung kehidupan. Bima dan siti masih diam membisu. Mereka menikmati suasana yang telah tuhan beri. Pantai selalu menyuguhkan keindahannya tersendiri.
“’Bim, kamu betah gak disini ?’’ siti membuka obrolan.
‘’Betah-betah saja. Kenapa memangnya ?’’ Bima bertanya lebih lanjut
‘’Enggak aku nanya aja.’’
‘’Sit, kamu bayangin deh nelayan-nelayan itu. Bahagia gak ya ?’’ Bima memantik diskusi
‘’ aku kurang tahu bim, lagi pula nelayan menurutku pekerjaan penuh resiko’’
‘’Ohiya ? kita juga gak tau kapan badai laut terjadi.’’ Tambah bima
‘’ aku harap mereka sejahtera sih. Soalnya mereka pekerjaan yang penuh resiko’’ harap siti.
‘’Aku juga berharap seperti itu. Semoga tengkulak disini masih dibatas normal’’
‘’Hah tengkulak ?’’ tanya siti yang tidak tahu arti terngkulak.
‘’Iya tengkulak, maksudku calo sit.’’
‘’Oalah calo.’’ Siti kini paham arti tengkulak.’’
‘’ kenapa memangnya dengan tengkulak ?’’ tanya siti.
‘’ aku gak tau, kurang suka aja sama tengkulak. Kadang terlalu jahat memeras petani dan nelayan.’’
‘’Kok bisa ?’’ siti semakin penasaran
‘’Mereka sama sekali kerjanya tak secapek petani dan nelayan, tapi meraup keuntungannya kadang diatas batas normal.’’
‘’wah jahat sekali ya Bim..’’
‘’Enggak semua jahat. Kadang ada yang tak tahu diri.’’
‘’Aku sebetulnya kurang paham juga soal isu nelayan. Toh kita gak bisa bahas laut dari atas gunung. Aku terbiasa hidup di gunung.’’
‘’iya juga si bim. Sama aku juga gak ngerti soal kehidupan nelayan banyak. ’’
Sang surya mulai membakar bumi. Bima dan siti terlena dengan beragam percakapan. Mereka satu sama lain sudah berani membuka diri. Siti bercerita bahwa ayahnya bekerja sebagai pegawai di bank. Sedang Bima bercerita ayahnya hanya seorang guru ngaji bukan tamatan universitas termuka. Perlahan Bima juga blak-blakan dimana ayah dan ibunya bisa berjumpa.
‘’Oh jadi ayah dan ibumu dijodohkan ?’’ tanya siti penasaran
‘’Iya sit. Ayahku dijodohkan. Dia asal Tasikmalaya, ibuku asli Bandung.’’
‘’Hah Tasik ?’’ Siti kaget bahwa ayah Bima asal Tasikmalaya
‘’iya, dia lahir dan besar di Tasikmalaya. Daerah Cisayong kamu tau ?’’ tanya bima
‘’aku gak tau bim’’
‘’Cisayong daerah dekat gunung Galunggung, konon disana pernah ada proklamasi negara Islam Indonesia. Di pimpin Sekarmadji Kartosuwiryo.’’ Ujar Bima berusaha menjelaskan
‘’sebentar bim, yang semalam kamu cerita pernah ziarah sama ayahmu ?’’
‘’Iya sit. Itu makam Kartosuwiryo. Dia salah satu pendiri bangsa mati ditembak mati pemerintah.’’
‘’ditembak mati pemerintah ?’’
‘’ Betul. Kartosuwiryo mati ditembak di pulau ubi setelah mencoba mendeklarasikan negara Islam. Jadi, negara islam itu negara yang aturan semua hukumnya berdasarkan quran.’’
‘’aku jadi inget bim, kiki dulu pernah cerita soal negara khilafah. Itu bukan ?’’ tanya siti
‘’Semacam itu kayanya. Tapi aku juga belum tau banyak sit, aku hanya tau soal itu.’’ Bima menutup obrolan soal ini.
Ombak bergelombang lincah. Sang surya menunjukan wajah ceria tanpa mendung. Angin berbisik pelan. Siti dan Bima masih larut obrolan hangat soal gerakan DI/TII. Sekalipun Bima menutup pembicaraan. Tapi siti berhasil membongkarnya kembali. Bima bercerita bahwa kakek dan neneknya mati ditembak TNI karena ikut membela gerakan Sekarmadji Kartosuwiryo. Belum lagi, dendam ini mengharuskan bBma rawat sampai kapan pun. Meski dalam hati kecil Bima menolak. Tapi atas nama keturunan Bima tak bisa mengelak. Bagaimanapun juga orang-orang yang membenci gerakan Sekarmadji telah membunuh kakek dan neneknya. Sekarmadji sebagai tokoh perlawanan berdiri kokoh dari tahun 1949 sampai 60an. Itu sebabnya bima hanya bisa pasrah bahkan dia hanya melihat sosok Sekarmadji sebagai tokoh pendiri bangsa yang terlibat aktif di sumpah pemuda.
Bima menaruh hormat kepada tokoh sekarmadji kartosuwiyo. Pasalnya, dia bagian bunga rampai perjuangan indonesia. Sejak muda Sekarmadji selalu diapit Cokroaminoto, belum lagi karirnya melesat ketika menjadi sekretaris gerakan. Sekarmadji juga banyak menulis konsepsi kezaliman penjajahan kolonial dalam persektif dunia Islam. Bima hanya masih gundah gulana terhadap apa yang terjadi pada masa itu. Peristiwa silam era pemberontakan sekarmadji menyisakan banyak bahan tanya. Soekarno yang islam, Sekarmadji yang islam terlibat aksi saling menikam dan membunuh. Ini bukan lagi salah paham, tetapi sudah kearah beda paham.
Bima merenung mendalam. Pertanyaan seperti ini selalu menghantui dirinya. Ide konsep mengenai tata kelola negara berakhir dengan kucuran darah dan moncong senapan. Bangsa kita memang rawan. Maksud bima gerakan yang mempelopori merdeka bukan hanya Islam semata. Dibalik itu ada pertarungan idealogi yang sengit antara, komunis, islam dan nasionalis.
Deburan ombak pertama. Deburan kedua. Bima dan siti masih asik berbincang. Jari-jari halus tangan siti memainkan ranting pohon yang jatuh. Pandangan keduanya tertuju kearah laut lepas. Laut adalah keriuhan yang sepi. Ia indah lagi menantang. Panas matahari menyengat mulai terasa. Angin sepoi memberikan kesegaran. Bima dan siti duduk santai. Obrolan keduanya terhenti ketika siti mengajak bima untuk segera bangkit kearah air pantai yang mencari daratan.
‘’bim, kita tulis nama di pasir pantai yuk’’ ajak siti. Bima bangkit dan berjalan.
Siti mengambil sebatang kayu lancip. Kaki yang beralas itu menghampiri debur ombak. Perlahan tangan yang putih itu menulis kalimat.
‘’Siti Fatimah Az-zahra’’
Kemudian debur ombak kembali menghapus apa yang siti tulis diatas pasir. Bima tak mau kalah, dia melakukan hal yang sama. Tanganya menulis anak kalimat.
‘’Bima Yudistira adikara.’’ Ombak perlahan menghapus.
‘’Siti, tau apa yang abadi?’’ tanya Bima.
‘’apa yang abadi Bima ?’’ jawab siti.
Bima menulis satu kalimat lagi diatas pasir. ‘’jabatan’’ kemudian debur ombak menghapus kalimat yang bima buat. Bima menulis kembali ‘’kekayaan’’ lagi-lagi debur ombak menerpa anak kalimat secepat kilat hilang. Kaki bima mundur menjauh dari deburan ombak. Dia mencari tanah yang aman lalu menulis ‘’cinta’’. Ombak mencari tepi tidak menghapus yang bima tulis.
‘’tuhkan, cinta abadi tidak hilang.’’ Ejek bima
‘’haha kamu curang bima.’’ Tegur siti dengan lembut.
Keduanya saling menatap wajah. Sorot mata Bima dan siti berpandang mesra. Kedua bibir sejoli ini saling tersenyum. Bima menganggukkan kepala tanda heran. Badanya membungkuk mengambil pasir pantai basah lalu melempar kearah siti. Siti diam heran. Sekujur pakaiannya penuh pasir. Bima tersenyum manis. Siti mengambil pasir hendak membalas. Bima berlari kecil. Keduanya saling mengejar. Siti melempar. Pasir tak kena, tangannya mengambil pasir kembali lagi-lagi tak kena sasaran.
‘’Ayok dong kenain’’ ejek Bima
Siti belari kecil mengejar bima. Deru nafas kedua remaja ini tak teratur. Siti berhenti sontak teriak kesakitan menunjukan kakinya menginjak sesuatu. Wajah bima kaget. Dia berlari menghampiri. Sial. Itu tipuan. Siti mengambil pasir lalu melempar kearah bima.
‘’kena !’’ teriak siti.
‘’Hahaha tipuan.’’ Kata bima. Pakaian bima kotor terkena pasir. Siti tertawa riang. Suara ketawa gurih ini menggoda bima.
‘’capek sit, nyerah damai, damai kita.’’
‘’ iya damai aja bim, lagian kamu usil.’’ Ucap siti lembut
‘’pulang yuk panas nih’’ ajak bima. Siti menganggukkan kepala.
Bak pasangan serasi mereka berjalan pulang dengan pakaian penuh kotoran pasir pantai. Bima tersenyum kasmaran. Siti masih tertawa heran. Di muka hotel terlihat pot bunga indah. Dengan kondisi kotor keduanya tanpa malu masuk dan bergegas membuka pintu kamar untuk membersihkan diri.
***
Adzan isya berkumandang. Langit hitam menutupi bumi. Bima asyik merebahkan badan di kasur membaca buku njoto peniup saksofon di tengah Praha. Tokoh gerakan kiri yang satu ini menjadi idola baru bagi Bima. Seperti founding father lainya. Bima menaruh hormat dan takjub. Dia sama seperti Ahmad Dahlan, pandai memainkan biola. Di samping lain njoto pun senang meniup saksofon, menulis puisi dan menonton film.
Njoto sampai kini hilang diculik, tertelan dalam pusaran sejarah jejak kematiannya tak terdengar sampai kini. Bima menikmati setiap lembar yang dia baca. Kadang otaknya berputar, mengingat nasib orang-orang di gerakan kiri. Ditumpas, diberangus sampai akar-akarnya. Orde baru memang buas dan beringas. Mendapuk siapa pun yang sering dianggap lawan. Sialnya, lawanya itu-itu saja komunis dan bukan komunis. Gerakan kiri bagi Bima sebagai catatan kaki di halaman tebal orde baru. Ia perlu dilihat ulang, direnungi, sesekali menghantarkan surat al fatihah sebagai simbol pengharapan bahwa mereka juga berhak hilang dengan tenang menemui tuhannya.
Njoto sekolah di HIS (Hollands Indandsche School), sejak kecil dia anak yang disayangi ayah dan ibunya. Bahkan pernah meminta dibelikan sepatu roda yang pada masa itu terbilang barang mewah. Njoto kecil pria yang riang dan gembira. Dia senang bermain bola, membuka diri tak suka budaya feodalisme. Sejak kecil bercita-cita menjadi jurnalis. Belajar bahasa inggris, prancis dan belanda. Di usia senja njoto terlibat aktif di Lekra dan menggaungkan ajaran Soekarnoisme.
Bima tenggelam dalam bayangkan keteladan njoto. Dia mencatat point penting dari kepribadian njoto. Sesekali badanya bergerak gusar karena pegal. Ditengah berhentinya adzan isya, bima menutup buku memilih berwudhu dan mendirikan solat empat rakaat. Selesai menghadap sang ilahi, bima memanjatkan doa penuh harap orang-orang yang turut berjuang bagi negerinya diterima di sisinya.
Disela-sela berdoa, ketukan berirama menghampiri pintu kamar bima. Jari-jari keriput itu mengetuk pintu berulang. Bibirnya memanggil pelan.
‘’Bima, siap-siap jam delapan ini pengumuman juara.’’ Sahut pak anwar diluar pintu kamar.
Bima bergegas bergerak melipat sajadah dan membuka pintu.
‘’Baik pak, saya siap-siap dulu.’’ Ujar bima.
Bima bergegas melepas pakaian, mengganti dengan kaos yang sudah disediakan panitia perlombaan. Dia menyisir rambut, menyemprotkan minyak wangi, memakai sendal dan lekas pergi keluar pintu menuju ruang lomba. Ditengah ruangan lomba, bima melihat siti yang cantik sudah rapih. Tangan yang lembut itu melambai mesra mengajak bima duduk disampingnya. Bima menghampiri dan duduk dengan tenang.
‘’Bim, kamu deg-degan gak sih ?’’ tanya siti
‘’ deg-degan banget sit, kalo gak deg-degan mati aku.’’ Canda bima
‘yailah bim, kalo jantung berhenti deg-degan mati. Hahaha’’ siti tertawa gurih
‘’kamu yakin kita menang ?’’ tanya balik bima
‘’aku optimis menang bim, insyallah.’’ Jawab siti penuh percaya diri
Pak anwar asik mengobrol dengan guru dari perwakilan daerah lain dipojok ruangan. Bima dan siti mengobrol ringan. Suasana ramai seperti malam perpisahan sekolah umumnya. Rawut wajah masing-masing peserta menaruh penuh harap mendapat piala dan gelar pemenang. Jam sudah menunjukan angka delapan lebih tiga puluh menit. Ngaret. Lumrah di negeri kita.
‘’baik hadirin, acara puncak akan segera dimulai.’’ Buka pemandu acara
‘’sebelum acara dimulai, marilah kita memanjatkan doa bersama’’ perintah pemandu acara. Semua peserta dan guru-guru memanjatkan doa bersama dengan khusyu.
‘’selanjutnya, sebelum kita mengumumkan kejuaraan. Marilah kita sambut pertunjukan tari jaipong yang pentaskan oleh sekolah terbaik Bandung.’’
Semua hadirin riuh bertepuk tangan. Penari cantik maju ke depan panggung, mereka berbaris rapih menunggu musik dinyalakan. Bima tersenyum asik. Siti melihat wajah Bima berasumsi lelaki belang.
‘’seneng ya kamu lihat cewe-cewe cantik.’’
‘’hahaha seneng dong, jarang-jarang dipondok.’’
‘’nundukin pandangan bim gak boleh.’’ Fatwa siti
‘’lah kenapa ? biasa aja kok enggak dosa’’ timbal bima
‘’ini bentuk pelestarian kebudayaan lokal’’
‘’enak di kamu huh !’’
Musik dinyalakan. Penari jaipong menari gemulai diringi lagu mojang priangan.
‘’ngedip bima’’ ejek siti manis.
‘’hahaha seru sit.’’
Penonton menikmati pertunjukan jaipong. Hati bima berdecak kagum. Baginya tradisi jaipong adalah kearifan lokal. Gerakan jaipong simbol ekpresi kebebasan perempuan sunda. Dilakukan dengan penuh ekpresif, energik dan penuh percaya diri. Tempo pelan, cepat dan mengikuti irama ini pertanda bahwa perempuan sunda tidak menoton. Dipenghujung akhir pertunjukan bima hilang sadar menikmati gerakan yang disuguhkan penari.
‘’ asik sekali ya sit..’’ buka bima
‘’iya asik, asik di kamu lihat perempuan cantik.’’ Jawab siti singkat
‘’ Siti, ini kan pertunjukan. Aku bersaksi tiada perempuan cantik selain kau.’’ Gombal bima pakai syahadat.
‘’Heh !’’ siti tersenyum kaget.
Tak terasa pertunjukan usai. Hadirin memberikan apresiasi dan salam hormat. Degup kencang peserta kembali terguncang. Ini laga bergengsi tingkat provinsi. Semua berharap pulang membawa piala kemenangan. Dewan juri duduk di kursi paling depan, di meja mereka terdapat sajian buah-buahan segar. Kini saatnya pengumuman kejuaraan lomba pidato se-Jawa barat.
‘’sampailah kita pada acara yang ditunggu-tunggu pengumuman kejuaraan.’’ Sambut pemandu acara.
Degup jantung memompa kencang. Siti menghela nafas panjang. Bima duduk tenang tidak ada satupun yang ia tegangkan. Baginya menang tak menang urusan sederhana ialah kegigihan usaha. Hanya bima yang berpikir bahwa murid cuma menang piala dan uang jajan. Sedangkan guru dan pihak penyelangara mendapatkan proyek kue besar. Pemandu acara menyebutkan satu persatu perwakilan lomba bagian putri dari urutan juara ke lima. Nama siti disebut sebagai pemenang ditingkat ketiga.
‘’alhamdulilah.’’ Ucap syukur siti.
Bima bertepuk tangan seraya mempersilahkan siti maju kedepan. Bima masih duduk dengan tenang. Sorot matanya tertuju pada wajah siti yang ayu dan manis. Sesekali pandangan bima digoda piala yang berjajar. Bima kembali urungkan ambisi menjadi juaranya. Dia menarik nafas panjang tersenyum damai.
Setelah pembagian hadiah bagian putri, pemandu acara menyebutkan dari urutan belakang pemenang lomba bagian putra. Pak anwar tegang. Rawut wajahnya terlihat sangat cemas bak kehilangan anak kesayangan. Juara lima Sukabumi, juara ke empat ciamis, juara ketiga cianjur, ucap pemandu acara. Rawut wajah pak anwar tegang bukan main. Hatinya bertanya akankah siswa yang dibawa menjadi pemenang. Juara dua kabupaten Subang, terakhir juara pertama lomba pidato tahun ini dimenangkan kabupaten tasikmalaya.
Sorak penonton tertuju pada badan ramping bima. Siti berbahagia. Pak anwar mengucapkan sholawat dan puji-pujian bersyukur. Bima masih mengkonfirmasi ulang. Sikapnya tenang tak terlihat wajah tegang. Seraya mengucapkan ribuan rasa syukur.
‘’semesta mengamini lingkar cinta.’’ Ucap bima dalam hati.
Kakinya berjalan percaya diri kemuka panggung. Baru kali ini maju dan mengambil hadiah juara. Lomba-lomba tahun silam, Ia enggan sekali. Biasanya persembunyi, menghilang atau pura-pura sakit. Setelah prosesi penyerahan kejuaraan. Bima bersua poto dengan peserta yang lain. Piala yang tinggi itu dia pegang erat sambil menerima uang kejuaraan. Nominal yang cukup besar bagi seorang remaja diusianya, tiga juta. Pak anwar memeluk erat bima. Dirinya menghaturkan terima kasih. Jauh dari sana, lubuk hati siti menaruh rasa kagum. Ingin sekali siti memeluk bima dengan kuat sebagai ucapan rasa bangga.
Dihadapan bima, siti terperosok rasa cinta yang dalam. Dirinya mulai jatuh hati pada seorang pria unik, bebal dan tidak suka membaca. Rambutnya yang mulai kusut ingin sekali siti rapihkan layaknya suami sendiri. Bibir siti senyum kasmaran. Wajah bima tetap datar. Bima seorang yang tak mudah reasiokner terhadap apa yang sudah dicapai. Dia pantang larut dalam euforia kemenangan. Piala yang ia pegang perlahan ditaruh. Uang juara bima coba konfirmasi ulang dan diberikan kepada pak anwar.
‘’Pak ini terlalu banyak’’ ujar bima sambil menyodorkan uang hadiah dalam amplop
‘’simpan bima, itu hak kamu.’’ Timbal pak anwar dengan rasa penuh haru
‘’bukanya sudah biasa megang segitu setiap lomba ?’’ tanya pak anwar.
‘’ iya dulu, sekarang saya rasa terlalu banyak.’’ Jawab bima dengan nada turun
‘’tak apa-apa bima.’’ Pak anwar menolak.
Setelah berbincang, pak anwar memberikan pengarahkan bahwa besok pagi harus chek out paling lambat pukul delapan dan bergegas kembali pulang. Tanpa aba-aba panjang, pak anwar izin pamit duluan menuju kamar. Dirinya meninggalkan bima dan siti berdua. Namun, ditengah perjalanan pak anwar dijegal bima dan bertanya dengan penuh hormat.
‘’Pak izin, apakah saya boleh merokok diluar’’ tanya bima dibalut malu dan takut
‘’oh, kamu merokok bim ?’’ tanya pak anwar berang
‘’iya pak saya suka merokok.’’
‘’yaudah merokok saja, asal jangan dipondok’’ jawab pak anwar tak mau mengambil pusing
Tangan kananya mengambil rokok disaku celana dan korek.
‘’pakai yang bapak saja masih banyak.’’ Jawab pak anwar bergegas pergi.
Siti memasang rawut wajah tak percaya. Dirinya bertanya heran mengapa bima berani menanyakan hal yang menurutnya tidak sopan. Bima membuyarkan pertanyaanya dengan mengajak siti untuk jalan-jalan keluar mencari oleh-oleh. Sebelum itu bima pergi menaruh piala yang dia dapat kekamar.
Siti dan bima kembali menikmati malam. Mereka berdua berjalan mesra, satu ayun, dua ayun kakinya berjalan menuju pusat perbelanjaan oleh-oleh. Kelap-kelip lampu cafe sepanjang jalan menggoda bima untuk singgah. Kakinya terus melangkah kearah persimpangan jalan yang semakin ramai. Mata siti melihat kios pernak-pernik khas pangandaran berjajar panjang.Tapi siti mengikuti bima tanpa banyak bertanya. Bima terus berjalan. Tanpa mengajak sedikit pun berbicara. Ditengah-tengah siti fokus berjalan, bima tiba-tiba berhenti. Dia menghampiri seorang perempuan renta tertiup angin pantai sambil memegang aqua gelas. Tangan bima yang bersih menyambut jari-jari kotor dan berkeriput. Tanpa berpikir panjang bima mencium tanganya.
‘’atos tuang ?’’ tanya bima dengan bahasa sunda artinya apakah sudah makan. Perempuan tua menggelengan kepala pertanda belum.
‘’Antosan sakedap didie.’’ Ujar bima yang berati menyuruhnya diam jangan kemana-mana.
Siti terdiam bisu melihat apa yang bima lakukan. Bima bergegas pergi menuju salah satu angkringan sejauh seratus meter dihadapanya. Siti masih diam membisu. Dia ditinggal pergi begitu saja oleh bima. Ibu tua renta duduk menaati perintah bima. Siti berdiri mematung terheran-heran. Apa maksud bima ini. Dia mengajak pergi keluar berjanji membeli oleh-oleh justru malah melakukan hal yang mengundang simpatik. Bima memang remaja yang mudah tersentuh dengan hal yang berbau kemiskinan, ketidakmerataan dan ketimpangan struktural. Dia tak pernah tahan kepada kaum yang tersisihkan oleh kehidupan. Mereka kaum papa, kaum yang hidup dijalanan terlempar oleh sistem biadab yang menurutnya perlu terus dirangkul. Bahkan bima mengutuk keras mereka ahli agama yang menimbun harta. Mereka yang rajin ibadah mengesampingkan nilai-nilai sosial akan celaka pada waktunya.
Berbilang detik dan menit berlalu. Bima datang membawa makanan dibungkus plastik berwana putih. Siti masih mematung diam. Wajahnya berbinar melihat sosok bima datang bak pahlawan membawa makanan. Siti tersenyum cantik dibawah temaram malam, bima menjawab senyuman siti sambil menyerahkan makanan kepada perempuan tua renta.
‘’Punten aya sakadik, mugia manfaat.’’ Kata bima dalam keadaan hati penuh iba. Bima memberikan makanan yang tidak seberapa dan berharap semoga bermanfaat.
Sorot mata perempuan tua renta ini penuh syukur. Jari-jari keriput, wajah lusuh, berdoa tiada henti sambil memeluk erat tubuh bima.
‘’sing ageung milik, sing sukses jang.’’ Doa perempuan tua dengan amin yang paling serius.
Bima perlahan memberikan uang tambahan hasil hadiah. Sebelum dirinya bergegas pamit, siti ikut mencium tangan perempuan tua ini. Mereka berdua kembali menyusuri jalan utama pantai pangandaran. Hati siti semakin kagum kepada sosok bima. Bagaimana mungkin seorang santri nakal berani meminta izin merokok, menonton jaipong tapi peduli terhadap sesama. Siti menyimpan banyak tanya. Namun, hatinya kembali tersentuh oleh balutan rasa cinta yang mendalam. bima seorang santri telah berhasil membuat siti jatuh hati. Senyum kasmaran itu terus terpancar. Kini siti enggan berpisah dengan bima, siti selalu ingin bersama menemaninya. Dia seorang pria yang selalu punya cara tersendiri membuat hati siti bahagia. Jalan bima penuh rasa rendah diri, tak sedikit pun menunjukan keangkuhan. Ingin sekali siti mengandeng jari-jari bima berjalan berdampingan, menyandarkan kepala dipundaknya, memeluk erat tubuh bima. Harapan itu pupus. Bima seorang lelaki kaku. Tragedi malam dipantai lepas membuat siti malu.
Setelah perjalanan yang cukup melelahkan bima berhenti didepan sebuah toko makanan. Toko berukuran 3X4 ini penuhi oleh-oleh khas ciamis dan pangandaran. Seorang pedagang berambut ikal datang menghampiri bima dan siti. Dia menawarkan makanan khas yang cocok untuk dibawa pulang.
‘’Mangga jang Galendo 60.000 sakilo’’ tawar pedagang
‘’meser 3 kang’’ jawab bima tanpa berpikir panjang.
Pedagang langsung tancap gas membungkus makanan. Bima mengambil beberapa uang bergambar soekarno hatta dari amplop hasil lomba. Mereka pun melanjutkan perjalanan. Siti yang masih tidak membuka obrolan hanya bisa mengikuti apa yang bima lakukan. Tanpa bawel, mengeluh, siti memasang wajah bahagia sekali. Dia seperti istri sholehah penurut terhadap suami. Tanpa banyak tanya, ia menemani pria yang sederhana, baik hati dan tidak sombong. Berselang dua menit perjalanan. Mata bima kaget melihat tulisan MM Book Shop. Sebuah tempat kecil pertanda toko buku.
‘’siti, itu ada toko buku. Lihat-lihat kesana yuk aku pengen belajar baca.’’ Ajak bima polos
‘’Nah iya bim, ayok kita kesana.’’ Jawab siti
Gelap malam menyelimuti bumi. Lampu terang sepanjang jalan menghiasi dua insan yang saling menyimpan rasa. Bima berjalan penuh semangat memastikan toko buku yang ia sambangi masih buka. Toko buku sederhana ini tampaknya memiliki aura tersendiri yang sangat unik. Bima dan siti menghampiri MM Book Shop. Seorang pria berwajah sunda datang menyambut. Kira-kira usia penjaga toko buku diatas kepala lima merangkap menjadi pemandu wisata. Bima dan siti masuk keruangan yang dipenuhi buku. Rak panjang berukuran seratus lima puluh meter berdiri gagah. Semuanya penuh dengan buku tanpa sedikitpun ada celah. Dibawah lampu cerah, beberapa buku bekas terlihat berdebu. Siti dan bima memandang takjub koleksi ribuan buku ini. Penjaga toko berdiri diam mempersilahkan dua remaja ini menjamahi buku-buku.
Bima menaruh oleh-oleh dilantai. Badanya bergerak bebas menyusuri judul buku. Sial, buku-buku disini rata-rata berbahasa asing gumam hatinya. Siti tertegun berbeda arah memandang ribuan judul buku. Toko MM Book shop memang perpustakaan unik yang dimiliki kota pangadaran. Dia berdiri sejak tahun 1987, selain menyediakan buku bekas, toko MM juga menggunakan sistem barter novel langka. Buku-buku berbahasa asing seperti jepang, jerman, belanda dan inggris banyak tertaruh rapih di rak. Maklum, toko buku ini berdiri di daerah wisata pantai. Turis-turis dari mancan negara banyak berlibur kesini. Menurut pendiri, kadang beberapa turis ada yang menjual buku, mendonasikan dan barter. Keunikan ini menjadi ciri khas toko buku MM Book Shop.
Mata bima tertuju pada sampul novel berwarna biru. Tanganya mengambil novel berdebu berjudul Aleph. Tanpa berpikir lama, bima kini memegang novel karangan Paulo Coelho. Dia menatap kembali rak buku yang penuh buku. Siti berwajah cantik masih larut dalam pencarian buku yang dipandang asik. Kembali sorot mata bima dikejutkan dengan sebuah novel langka berwarna abu. Ini novel langka sekali ujar hatinya. Dengan cepat dia menyeret novel bendera hitam dari churasan karangan Djarzi Zaidan ke telapak tangan dengan erat. Disela-sela pencarian bima bertanya kepada siti.
‘’Sit, sudah dapat ?’’
Siti berbalik kearah bima. Wajahnya tampak menunjukan kebingungan.
‘’susah bim, disini enggak ada buku karangan felix shiaw ya ?’’
‘’siapa felix shiaw?’’ tanya bima pura-pura tidak tahu
‘’itu kata kiki pendakwah muda, rekomen banget buku-bukunya.’’
‘’oh, coba cari aja sit, aku aja asal ambil hehe.’’
‘’heh dodol ! kalo beli buku jangan asal ambil.’’ Tegur siti dengan wajah ayu
Tanpa membalas pesan singkat siti. Bima kembali asik mencari buku-buku. Baginya toko buku bekas harta karun terpendam. Semenjak kelas dua smp silam, bima sudah jarang ke gramedia dia memilih kelayapan ke toko buku-buku bekas. Selain harganya murah, kadang buku-buku langka berada disana. Pikiranya fokus memilah judul buku yang kiranya dinilai langka. Lagi-lagi bima dikagetkan dengan judul novel Haji Murad.
‘’ini novel leo tolstoy yang dibilang Hasan dulu.’’ Ujar bima dalam hati.
tanpa aba-aba dia mengambil buku direntetan rak buku yang berdebu. Tanganya secepat kilat membuka halaman pertama, melihat beberapa judul yang tertera didalamnya. Ini buku langka yang dulu disarakan beli oleh mentornya. Hati bima berbunga-bunga pertanda senang. Bak seorang penggali tambang yang menemukan harta karun begitu mahal.
Setelah menyusuri buku-buku begitu lama. Bima menatap siti yang masih bingung mencari buku. Wajah manis dibalut keringat tipis, menyimpan muka bingung. Siti sepertinya belum biasa membeli buku di toko bekas. Fokus bima buyar melihat wajah anggun siti, jari-jari halus, putih, menunjuk buku yang berjajar di rak. Siti mencari buku yang kiranya cocok dibawa pulang.
‘’Ekhem..’’ goda bima kepada siti yang fokus tak nemu-nemu.
Siti tersenyum mesra, kepalanya menggeleng tanda sulit sekali menemukan buku yang dia minati. Disamping itu, sorot mata bima menatap siti dengan pandangan kasih sayang, keduanya saling memandang. Semakin dalam bima menatap mata wanita cantik asal bandung ini, siti hanyut dalam pusaran tatapan bima. Ada denyut nadi yang tak biasa, hati yang berbunga-bunga, perasaan cinta melangit, rindu mendalam. Perlahan ditengah tenggelam dalam lamunan kaki bima menghampiri siti, dia datang sekaligus berbisik pelan disamping telinga berbalut kerudung itu.
‘’Aku cinta kamu siti.’’
Duar, lamunan siti hilang saat suara lembut menghujam telinganya. Pria yang dia kagumi mengucapkan kata-kata diluar dugaan. Kelembutan dan kesederhanaan bima membuat siti meleleh. Wajah bima mengalihkan dunia siti, senyumnya selalu menjerat, bima seorang lelaki biasa saja, senyum kasmaran mulai terpancar dari rona wajah siti. Sedang bima masih mematung disampingnya. Bima paham bahwa siti menyukainya, mungkin inilah cara yang asik menyatakan cinta. Dikelilingi buku-buku tua, didalam ruangan sederhana, ditengah deburan ombak pangandaran, dihari terakhir mereka berlomba. Bima seorang yang selalu paham soal momentum. Momen baginya barang berharga. Dia ingin mengabadikan momen bersama siti diruangan toko buku ini. Siti masih tersipu malu, bima menunggu jawaban.
‘’Aku juga cinta kamu.’’ Jawab siti dengan wajah angun.
Bima kembali bersikap seolah tidak ada apa-apa. Dia hanya tersenyum simpul, kemudian melihat buku-buku kembali. Rawut wajahnya tak menggambarkan rasa kasmaran. Datar, seolah menjaga sikap lelaki tak boleh terlihat kasmaran berlebihan. Namun, dalam lubuk hati bima yang dalam bunga-bunga merekah, taman cinta telah berdiri tertuju kepada siti. Cinta kadang tak butuh penjelasan apapun. Majas hiperbola hanya akan mempersempit maknanya. Cinta bagi bima adalah abstrak yang hingga kini belum cukup umur didefinisikan. Toh beradab-abad cinta selalu gagal dijelaskan oleh para sufi sekalipun. Bahasa cinta konon tinggi, konon sederhana. Bima kini mengajak siti lekas bergegas pulang. Seusai membayar buku, keduanya berjalan tanpa pembicaraan seucap kata pun. Mereka berdua masuk kedalam imajinasi liar indahnya mahligai cinta.
Siti menganggap apa yang ingin dia miliki sudah berada digenggamannya, pun demikian bima. Mereka berdua berjalan, sesekali tersenyum, dibawah cahaya bulan terang benderang, suara deburan ombak mewarnai dua sejoli yang kini sudah menjadi kekasih setia. Sudah pukul dua belas malam, mereka berdua bergegas masuk kedalam kamar tertidur pulas dalam bayangan indah aroma wangi cinta.
***
Sang surya masih setengah muncul, seusai solat subuh bima duduk dimeja kamar, tanganya menulis puluhan anak kalimat. Ditemani air putih hangat, bima duduk rileks mencatat beberapa anak kalimat yang akan dilayangkan kepada siti. Surat, memang sarana yang tak tertandingi untuk mengesankan gadis muda ; huruf yang mati itu sering berpengaruh lebih kuat daripada kata yang hidup. Bima meyakini bahwa surat adalah sarana membangun imajinasi. Lebih dari itu, cara sederhana menyimpan memori pengalaman yang telah dilakukan. Dia mengetahui hal itu saat berkenalan dengan Soren Kierkegarrd. Dia seorang ahli teolog sekaligus filsuf yang lahir di Denmark. Salah satu gagasan terbesar Soren adalah dialektika ala hegelian.
Subuh ini bima menulis surat kepada siti diawali dengan cerita seorang ilmuwan bernama Albert Enstein.
‘’Siti, kawanku zael dulu pernah berbicara bahwa tanpa seorang perempuan, albert enstein bukanlah siapa-siapa. Sambil menjelaskan di kantin dan mengutip buku dia menceritakan Albert enstein pernah jatuh hati kepada Johnnie. Nama aslinya Dollie,Johnnie panggilan kesayangan enstein.’’
‘’Dalam suratnya enstein menulis seandainya aku bisa bersamamu di zurich, permataku yang mungil, seribu harapan dan ciuman cukuplah datang darimu. Siti, enstein menulis surat itu karena suntuk melihat orang-orang disekelilingnya menghabiskan waktu tanpa diskusi. Bagi Enstein, Johnnie adalah perempuan yang asik dan bisa diajak diskusi. Aku tak suka membaca, tapi pengetahuan hadir melalui dua indera. Telinga dan mata, telinga dengan banyak membaca, telinga banyak berdiskusi, aku beruntung senang mendengar zael diskusi. Aku harap kamu menjadi teman asik diskusi ketika masuk di pondok. Berbalas surat, menceritakan beragam keresahan yang ada. ‘’
‘’Siti, semenjak perjumpaan kita malam tadi. Aku merasakan hati bahagia. Mungkin benar, cinta adalah kata terindah yang pernah kutemukan dalam hidup. No love, no live. Aku merasa hidupku kembali bergairah. Ada sesuatu yang baru, ada sesuatu yang selalu membuatku tersenyum. Selain berharap kamu menjadi kawan diskusi yang asik, aku juga berharap kita berdiri sejajar. Berdiri sebagai manusia. Tak ada istilah kelamin lelaki dan perempuan. Aku tak ingin hubungan yang mendominasi. Maksudku, kesetaraan adalah hal yang vital dalam membangun cinta. Berjanjilah kepadaku agar kita tetap bersama berjalan beriringan saling membantu. Toh, aku bukan lelaki gila hormat juga. Jika tuhan berkenankan menikahkan kita, aku hanya ingin menjadikanmu sebagai sahabat seumur hidup. Tak ada penghormatan apapun. Biarkan aku mencuci pakaianku sendiri atau gelas, piring berserakan sekalipun. Sesederhana itu, aku juga tak ingin memaksamu hubungan badan. Buanglah hadist soal kutukan malaikat, ayat-ayat yang membuat peran perempuan menjadi sempit. Aku hanya ingin kesetaraan.’’
Bima larut menulis sepucuk surat. Desir angin pagi mendorong batang pohon ramping,kicau burung bernyanyi bebas, udara dingin masuk melalui jendela kamar. Seusai menulis surat, bima melipat secara rapih. Dia segera mandi mempersiapkan diri untuk chek out pulang ke pondok pesantren.. Disudut lain, pak anwar merokok di halaman hotel menunggu kedua muridnya segera menyusul. Sudah pukul tujuh lebih tiga puluh menit. Bima dan siti masih belum keluar kamar juga. Dengan bersabar dia menunggu, menghabiskan berbatang rokok dan lamunan sunyi.
Sunyi adalah ramai yang tersembunyi. Pak anwar menapaki pagi hari dengan merenung berkepanjangan. Sesekali melihat notif handphone, tak lama kemudian siti datang menyapa ditambah bima yang salam sedikit telat. Mereka bertiga akhirnya segera menaiki mobil. Kurang lebih empat hari energi mereka terkuras dalam persaingan ketat. Akhirnya waktu menuntun mereka pulang ke pondok pesantren miftahu salam.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
