
Ada benarnya para neo Marxisme berpendapat bahwa nanti akan ada zaman dimana uang merupakan bentuk segala kebenaran. Para kapital telah menghimpit ekonomi bangsa hingga sesak bahkan sekak hingga secara terpaksa para tani menjual tanahnya. Dulu bangsa kita kaya akan tanah. Ribuan hektar berjajar gagah digarap rakyat. Padi tumbuh subur, kebun tumbuh makmur, meski harus bersabar dan berdaki si pak tani masih mempunyai pekerjaan tetap.
Cahaya mentari bersinar terang bersama harapan masa depan para buruh didalam pabrik. embun pagi menetes bening dari ujung daun membasahi tanah merah, burung-burung gereja terbang mencari seonggok makanan untuk dibawa pulang. Bima duduk di kelas memperhatikan pak Joko menerangkan pelajaran matematika. Pria berambut ikal, bermata kecoklat-coklatan ini lahir di Tebu Ireng Jawa Timur. Hobbinya membuat pusing para murid yang membenci pelajaran yang berbau eksak. Setiap masuk ke kelas, ucapan pertama yang selalu ia lontarkan adalah
‘’Silahkan PRnya dikumpulan !’’
Dan seperti biasanya Bima tidak mengerjakan belasan nomer yang pak Joko beri. Ia benci matematika. Otaknya hanya menerima ribuan huruf ketimbang angka, badannya alergi dengan pelajaran yang satu ini. Sudah berbagai cara ia mengingat-ingat ratusan rumusan yang telah guru ajarkan, tapi tetap hasilnya nihil. Bima tetap saja menjadi manusia tertolol didalam kelas saat pelajaran matematika. Hari ini Bima terpaksa memperhatikan pak Joko yang berumur empat puluh tahun ini. Matanya menatap tajam angka-angka yang berjajar di papan tulis.
Diantara dua puluh enam murid dikelas, bima menduduki peringkat pertama orang yang mampu mengambil hati pak Joko. Setiap kali ia ditanya PR pasti jawaban mampu membuat pak Joko menjadi tidak marah. Bima selalu mempunyai alasan yang logis termasuk membuat orang iba. Meskipun demikian, ia merupakan murid yang cerdas dibanding teman-temannya. Ia menjadi pria nomer satu saat ditanya siapa phytagoras. Ia sangat tahu, bahwa ilmuan bernama Umar Kayyam mampu memecahkan rumus phytagoras didalam masjid saat memikirkan masalah waris. Ia sangat tahu, bahwa matematikawan asal Inggris bernama Alfred North Whitehead. Ia sangat tahu, bahwa abu musa Al Khawarizmi matematikawan yang selalu merenungkan tuhan disetiap kali mengajar. Bima memang tak pandai kali,bagi dan kurang, tapi ia tahu dibanding temannya dimana pertama kali matematika itu ada.
‘’Di mesir pak ! Orang-orang mesir kuno sangat bergantung pada matematika untuk menghitung kedalaman, luas sungai Nil. Bagi mesir kuno sungai Nil adalah sumber kehidupan. Makanya, orang mesir belajar tambah,bagi, kali dan kurang.’’
Bima menjawab cepat saat pak Joko tak mampu menjawab pertanyaan kawannya bernama Fahmi yang bertanya sejarah darimana pelajaran matematika ada. Ada keunikan sendiri di diri Bima. ia begitu tau dengan rinci kejadian suatu sejarah, namun saat ditanya tanggal berapa dan tahunnya ia akan diam membisu meingat-ingat angka yang sering karam itu.
Tidak terasa Sudah satu jam pak Joko mengajar. Bima sudah sangat suntuk dengan pelajaran yang satu ini. Sepanjang dia sekolah, pelajaran matematika yang masih melekat di benaknya adalah Silogisme. Sisanya yang lain pergi entah kemana bersama waktu yang kian bergulir.
Ditengah kesuntukkannya, kedua telinga Bima bagai tersambar petir disiang bolong saat namanya berulang kali dipanggil lewat pengeras suara kantor. Hatinya bertanya-tanya ada apa ditengah pelajaran ia dipanggil. Mungkinkah ada orang yang baik hati mengirim buku dari kantor pos untuk dirinya atau ayahnya menelpon memberi informasi bahwa sudah mengirim uang. Pak Joko yang sudah tua mendengar pengumuman itu langsung memberi Bima izin keluar menuju kantor.
Si kuda binal ini riang sekali saat kakinya hengkang dari pelajaran yang sangat membosankan. Kakinya mengayuh santai menuju kantor, jalannya bagai seorang kakek tua yang menikmati masa tuanya dengan jalan-jalan santai. Kedua mulutnya mendendangkan lagu mari kita bergembira karangan Ir. Sekarno. Kepala dan badannya diiringi tarian kecil sambil bernyanyi.
‘’Mari kita bergembira bergembira bersama.
Hilangkan duka lara mai kita bernyanyi bersama.’’
Bima bernyanyi riang sampai menuju pintu kantor. Tangannya membereskan baju dan memastikan seragamnya rapih. Setelah yakin ia berjalan pelan menuju ambang pintu.
‘’Assalamualaikum...’’ Sapa Bima kepada bu Ida.
‘’Walaikumsalam... Langsung ke ruang kesiswaan aja Bim. ditunggu pak Anwar.’’
Bima masuk kedalam kantor melewati bu yang memakai baju sukwan coklat. Kakinya mengalun ke arah ruang kesiswaan.
‘’Assalamualaikum pak..’’ Menyapa pak Anwar yang sibuk membaca koran.
‘’Walaikumsalam.. Silahkan duduk Bim.’’ Sambut pak Anwar sambil meletakkan korannya di meja.
‘’Tanggal 20 nanti ada lomba pidato di kota Pangadaran. Kamu jadi perwakilan sekolah buat lomba kesana. Buat teks pidatonya yang bagus dari sekarang Bim..’’ mata Bima menatap wajah pria setengah baya ini dengan begitu kaget.
‘’Saya sudah tidak bisa lagi berpidato pak.’’Jawab Bima mengelak ikut.
‘’Berikan ke orang lain aja pak.. Lagi pula ini terlalu mendadak,persiapan saya hanya lima hari soalnya.’’
‘’Haduh.. Kalau mendadak itu, kamu hari ini langsung lomba Bim..lima hari cukup buat persiapan. Kamu kan udah senior berpidato.’’
Bima tersenyum.
‘’Tapi pak.. Saya tidak bisa berpidato lagi.’’ Jawabnya kembali mengelak.
‘’Ah..kamu ini. Sudah jangan merendah di hadapan bapak Bim. Bapa tau kamu waktu smp dijuluki Singa Podium disini. Jangan takut, kalau bukan kamu mau siapa lagi ? Sekolah kita akhir-akhir ini selalu kalah dalam pidato gak ada yang bisa gantikan posisi kamu.’’
Bima diam.
‘’Bapa sudah tau alasan kamu gak mau berpidato lagi... Kamu dituduh komunis kan ? Jangan khawatir Bim.. sekolah dan pesantren beda pimpinan meski satu lingkungan. Kamu sama bapa sudah didaftarkan ke panitia bersama Siti.’’
‘’Siti ? Siti siapa pak ?’’ Tanya Bima.
‘’Mana mungkin kamu tau, dia santriah baru dari bandung bim.’’
Bima kali ini tak ambil pusing. Wajahnya kini terlihat bingung meski tetap mengelak mengikuti lomba, ia akan menjadi bahan pembicarakan orang kantor karena tak ikut kesana. Matanya menatap kosong koran yang tergeletak dimeja. Hatinya bergelut bersama niatnya yang sudah bulat tak mau lagi berpidato akibat tragedi amatir dituduh PKI. Batinnya bergejolak antara mau dan tidak mau menerima tawaran pak Anwar. Mata hatinya sudah terkunci oleh rasa ketidakpercayaan diri akibat ulah Ustad Khalil menuduh dirinya penganut paham kiri, Namun, secercah harapan datang saat ia memikirkan ulang kata-kata pak Anwar yang sudah didaftarkan ke panitia. Jika ia tidak mau menerima tawaran itu, tandannya hidup Bima sudah tamat. Di pondok berstatus komunis,di sekolah berstatus pengecut. Dengan hati yang lapang Bima menerima tawaran dari pak Anwar.
‘’Yasudah pak..insyaallah saya usahakan latihan.’’
Pak Anwar tersenyum menang. Akhirnya Bima dengan terpaksa menerima tawaran itu.
‘’Baguslah kalau begitu Bim..bapak harap kamu bisa membuktikan santri yang berprestasi dan membanggakan sekolah lagi.’’
‘’Kamu bebas bisa mengambil tema apapun Bim..ada tiga tema yang sebenarnya harus dipakai. Ilmu, berbakti kepada orang tua dan membangun negri yang multikultural. Silahkan kamu pilih yang mana saja, bapa percaya sama kamu.’’
Bima mengangguk.
‘’Kalau ada apa-apa bilang ke bapak ya.. Nanti istirahat bapak izin ke Ustad Khalil kamu lima hari kedepan tidak mengaji fokus buat lomba pidato.’’
‘’Iya pak terimakasih.’’ Bima mengangguk.
‘’Kamu masih punya uang buat jajan Bim ?’’ Tanya pak Anwar.
‘’Masih ada pak.’’ Jawab Bima berbohong.
Tangan pak Anwar mengeluarkan dari dompet selembar uang merah bergambar Soekarno dan Hatta.
‘’Simpen buat konsumsi kamu Bim..’’ Sodor pak Anwar kepada Bima.
‘’Gak usah pak.. Saya masih punya uang jajan kok.’’ Bima kembali berbohong.
‘’Udah ambil aja.. Ini dari kantor buat kamu.’’Paksa pak Anwar.
‘’Yasudah pak. Saya mau ke kelas lanjut belajar bersama pak Joko.’’ Bima pamit keluar tanpa mengambil uang pemberian pak Anwar.
Benak Bima kini diserang pertanyaan besar mengenai lomba pidato. Dirinya sudah tak sabar ingin segera pergi ketempat sunyi memperkosa pikiran bersama puluhan buku membuat satu teks pidato. Jalannya sedikit gontai kebingungan. Saat terik matahari menyorot kedua ubun-ubunnya. Tiba-tiba ia berteriak keras.
‘’Faturrrrrr !’’ Bima berteriak lantang saat melihat kepala botak itu hampir menaiki tangga menuju kelas. Di atas mata kakinya Bima melihat memar merah yang begitu mengilukan.
Akhirnya Bima dan Fatur berhadapan di tangga menuju kelas.
‘’Njirr.. Lu ikut lomba pidato lagi Bim ? ‘’ Tanya Fatur yang kaget saat Bima memberikan informasi ia akan kembali bertanding.
‘’Iya bro.. Gue dipaksa pak Anwar untuk ikut lomba lagi.’’ Jawab bima memakai logat jakarta.
‘’Gue yakin lu menang Bim.. Siapa yang gak tau singa podium yang satu ini, kalau pidato berkobar-kobar ’’ Puji fatur sambil memegang bahu Bima.
‘’Ah bisa aja lu..’’ Jawab Bima singkat.
‘’Istirahat kita ngobrol di warung Bim..gue mau cerita dihukum malam tadi.’’
‘’Hahaha.. Iya gue penasaran tuh Tur.’’
‘’Tenang Bim gue mau hajar antek si Khalil itu.’’
Bima tersenyum.
Mereka berpisah saat sampai dilorong menuju kelas. Bima pergi menuju arah kanan dan Fatur mengayunkan kakinya ke arah kiri.
‘’Salam buat si Ilham Tur.. Bilang ke dia jangan kebanyakan ngitung kelapa yang jatuh, mending dijual jadi duit.’’ Teriak bima mengejek jurusan IPA.
****
Warung bi Eni seperti biasanya ramai oleh pengunjung yang menggunakan bahasa Arab. Para santri berbondong-bondong memesan gorengan yang tersaji didepan warung . Bima, Ilham dan Fatur kini duduk melingkar didalam warung mendengarkan cerita Fatur.
‘’Gue kemaren udah kaya di zaman belanda aja bro. Untung si Bima pas dilapang nyaranin saran yang goblok ke gue.’’
‘’Buahahaha’’ Ilham dan Bima tertawa.
‘’Lu tau gak ? Buset dah kemaren malem.. Gue di intrograsi sama dua musrif sekaligus. Mana badanya besar-besar lagi. Dan begonya gue percaya lagi sama saran Bima.’’
Bima menahan tawa. Ilham menunjukan rawut wajah yang penasaran.
‘’Pas gue duduk, gue ditanya sama ustadz Oki gini... Kamu tau salah kamu apa hah !? ‘’
Fatur menjawab dengan apa yang telah Bima sarankan.
‘’ Saya tau tadz kesalahan saya apa.’’
‘’Apa ?’’ Tanya ustadz Oki tegas.
‘’Salah saya. Saya gak bener tad.’’
‘’Buahahaha’’ Ilham tertawa. Di dalam hatinya mengejek Fatur yang mau saja menerima saran dari setan yang terkutuk itu.
Ustad Oki naik darah. Ia merasa dipermainkan bocah asal Jakarta ini.
‘’ Dasar santri goblok ! Gak sekolah ya kamu? “
‘’Dimana-mana juga yang salah itu memang gak bener, dasar goblog !’’
ustad Oki mencaci Fatur.
‘’Iya tad.. Saya memang goblok.’’ Balas Fatur dengan cepat.
Bima dan Ilham terpingkal-pingkal tertawa. Ada-ada saja orang semacam Fatur didunia ini. Ia berani melakukan hal semacam itu kepada ustad yang berujung pada kata kualat dan tidak ada kebarokahan ilmu.
‘’Akhirnnya gini deh.’’ Tangan Fatur menujukan kakinya yang memar merah.
Begitulah si Fatur. Pria yang lahir di Jakarta ini tak suka saat sudah terciduk salah masih ditanya salahnya apa. Ia tak mau mulutnya berbohong untuk berbuat alasan klasik. Salah ya salah. Benar ya benar. Jika dihukum ia terima dengan berani. Meski rambut botak, betis memar merah ia terima dengan berani tanpa kabur dari pondoknya. Ia tahu bahwa lari saat ada masalah itu sifat pengecut. Bukankah pepatah arab mengatakan ‘’sebab ia tak dibunuh ia pengecut.’’
‘’Gue disuruh putus sama Citra bro.’’ Fatur mengeluh.
‘’Hah ? Putus ?’’ Tanya ilham kaget sambil memakan bakwan.
‘’Tenang aja bro,, rambut lu yang botak bakal tumbuh, pasang akan surut, putus nanti bakal nyambung lagi, lu harus tau bahwa segala sesuatu yang sudah ditakdirkan bersama kita, ia kan tetap bersama meski berpisah jarak. Jodoh itu gak akan kemana-mana termasuk ke elu.’’
‘’Jhahaha.’’ Fatur tertawa.
‘’Gue aneh sama santri bro.. Pacaran santri itu unik. Cuma bisa surat-suratan, gak ketemu, gak ngobrol tapi kalau udah putus galaunya naudzubillah tuh kaya si Ilham. Hahaha’’
‘’Woi ! Itu masa lalu. Jangan dibawa-bawa.’’
Ilham menutut Bima supaya jangan membawa masa lalunya. Ia dulu bercerita pernah jadian dengan seorang santriah bernama Aisyah. Tapi cintanya berujung kandas di tengah jalan saat Aisyah tau Ilham dihukum dua kali gara-gara tak solat berjamaah. Ia memang tak pernah bertemu apalagi mengobrol. Namun, saat sepucuk surat datang dari anak yang tak ia kenal. Kedua matanya menjadi gerimis diterpa kesedihan. Aisyah yang misterius meminta putus kepada Ilham. Bukan main galau yang ia rasakan. Nasi pun berasa ampedu baginya saat kandas dengan Aisyah.
Kini giliran Fatur yang merasakan hal yang serupa. Hatinya merasakan kebimbangan seperti kapal yang diombang-ambing oleh badai ditengah lautan.
‘’Gimana berani gak?’’Tanya Bima.
Ilham dan Fatur terdiam.
‘’Sesama manusia yang pernah mengalami nasib yang sama. Kita sakit akibat manisnya cinta. Kita buat komunitas lingkar cinta gimana ?’’
‘’Gue tau lu Fatur anak Jakarta yang juara olimpiade Biologi tahun kemaren se Tasik, gue tau lu Ilham punya potensi baca kitab kuning ahli Nahwu Sorof, dan gue singa podium yang sempat mati. Gue yakin lingkar cinta bakal jadi komunitas kecil-kecilan yang bakal punya pengikut yang banyak Tur.’’
Bima menantang kedua temannya. Pertemuan ini ia jadikan kesempatan emas untuk mengubah pondoknya jaya kembali. Jelasnya ini hanya akal-akalan Bima untuk melawan musrif semata. Lingkar Cinta sengaja ingin Bima buat untuk kalangan kaum adam yang telah tersakiti oleh kaum hawa. Ia juga menjadikan Lingkar Cinta sebagai wadah penampungan orang-orang yang sudah muak kepada para musrif yang bertindak semena-mena.
Bima sangat paham kebaikan yang tidak terorganisir akan kalah oleh kebatilan yang terorganisir. Hatinya ingin menyatukan jiwa-jiwa yang telah pecah akibat serangan cinta dan ketidakadilan musrif.
Jika Lingkar Cinta sudah jadi terbuat, maka revolusi akan
segeraterlaksana. Bima ingin seperti Tsun Zu memenangankan peperangan tanpa harus ikut berperang.
‘’Kita hanya bertiga Bim?’’ Tanya Ilham.
‘’Apa yang harus ditakutkan ? Justru gue bangga saat Lingkar Cinta nantinya besar generasi ke generasi. Nama kita bertiga akan dikenang sebagai pencetus pertama bro.’’
‘’Meski kita cuma bertiga, kita punya nilai sejarah.’’
Ilham dan Fatur terdiam.
‘’Lu tau Fidel Castro ? Dia Cuma pake enam belas pasukan buat nawan empat ratus tentara Fulgentio Batista. Lu tau Kastaloni ? Dia panglima tempur DI/TII. Cuma pake lima puluh ribu pasukan bisa bertahan tiga belas tahun di hutan bergerilya bisa membuat TNI lari terkatung-katung hampir kerepotan, jumlah tak masalah bro.. yang penting istiqomah.’’
‘’Kita yang kumpul disini sama-sama menderita bro. Jauh-jauh dari Jakarta lu cuma jadi kacung ? Ahh sayang sekali Tur.. urusan iya dan tidak ada ditangan kamu. Ini kepala saya, lain kepala lain ide.’’
Bima terengah-engah menjelaskan supaya Fatur dan Ilham mau membuat Lingkar Cinta. Bima sedang ingin semua bersatu, berorganisasi, menyamakan satu langkah dengan tujuan yang sama. Bangsa Indonesia dari dulu berjuang melawan penjajah. Sudah banyak nyawa yang hilang,segala daya dan upaya dikerahkan, namun hasilnya hampa.Kunci satu-satunya adalah organisasi.
Semenjak 1928 dikumandangankan sebagai seruan wajib merdeka. Masyarakat kita berbondong-bondong berorganisasi, bersatupadu merebut tanah yang hilang. Mereka telah sadar tanpa adanya perngorganisasian mereka terus dikungkung terus oleh kata kekalahan. Sekarang saatnya Bima membangun organisasi di pondoknya. Semenjak ustad Amin pergi, tak ada lagi kumpulan osis, kumpulan antar daerah, semua dibuat pasif oleh kepemimpinan ustad Khalil. Pondoknya ibarat musim gugur menunggu hujan. Kini lingkungannya layaknya zaman Soeharto.
Ada sedikit kumpulan digeretak,dibubarkan secara paksa didorong supaya tak berorganisasi. Justru dengan hal ini, seorang Bima menjadi kreatif dan cerdas. Ia menjadikan celah sebagai kesempatan emas untuk menemukan kebebasnya. Benar Pramoedya Annata Toer, ‘’Didik rakyat dengan organisasi, didik pemerintah dengan perlawanan’’ .
‘’Gue siap Bim....’’ Jawab Fatur disusul Ilham.
‘’Tapi gue pesan ke lu, gue mau lu fokus dulu ke lomba pidato nanti kalau lu menang gue bisa jual nama lu kesiapa pun.’’
Bima mengangguk paham sambil tersenyum. Lima hari kedepan ia harus berusaha keras berlatih pidato supaya nanti lomba di Pangadaran menang. Dadanya kembali diketuk oleh perasaan yang sempat hilang dan mati suri, perasaannya datang menyiram kembali tanah yang tandus dan gersang akibat diterpa musim kemarau kebencian.
‘’Tugas lu buat visi dan misi Lingkar Cinta Tur, tanpa visi dan misi organisasi sehebat apapun akan cepat berhenti karena mereka gak punya tujuan yang kuat.’’
‘’Satu lagi Bim..’’ Sergah Ilham.
‘’Ada baiat. Fungsinya supaya mereka gak berkhianat.’’
‘’Hahaha.. Cerdas kau Ham.. Udah kaya mau masuk isis aja.’’
Fatur tersenyum.
‘’Inget Tur ! Kita harus mampu menciptakan musuh bersama supaya hidup lebih berwarna.’’ Bima Menatap Fatur.
‘’ Pokoknya anak Lingkar Cinta harus mampu mempuni tiga bahasa bro.. Bahasa Inggris, Arab dan bahasa tubuh haha.’’
‘’Gue siap pasok buku-buku buat menambah ketajaman berpikir mereka, kita buat mereka ulama yang intelek dan intelek yang ulama. Barat kita genggam, Timur kita genggam juga.’’
‘’Kita jangan sampai kaya si Adi. Beraninya cuma maen pukul kayu. Disuruh ngetik pake laptop dia pelanga-pelengo gak bisa berkutik habis. Lu tur ajarin Ilham komputer ! Dia orang kampung tulen haha..’’ Bima meledek Ilham yang tak bisa memainkan komputer.
‘’Jangan mentang-mentang orang kota lu Bim ! Asal lu tau orang kota tuh makan beras dari kampung.’’ Bantah Ilham.
‘’Sudah Ham..gue bercanda.’’ Bima mencoba menenangkan Ilham yang sudah naik pitam di ledek orang kampung.
‘’Jadi gimana nih bro?’’ Tanya Fatur.
‘’Mimpi kita kejauhan Bim..’’ Ilham berputus asa.
‘’Aduh. Masih mental kampung juga. Mimpi kita tuh harus besar. Usahanya pun harus besar.!’’
‘’Ya sudah kita tidur Bim..’’ Jawab Ilham polos.
‘’Buahahaha.’’ Bima dan Fatur tertawa.
‘’Satu-satunya cara meraih mimpi adalah tidur.’’
‘’Hahahaha... Bukan itu maksud gue, kita harus punya cita-citata.’’ Jawab Bima sambil tertawa.
‘’Urusan sekarang gue serahin ke lu berdua ya? Lima hari kedepan gue mau fokus pidato dulu bung..gue mau pergi menyepi jadi orang sufi. Haha.’’ Mereka tertawa meski tak tau apa itu istilah sufi.
Hari ini adalah hari ketidaksengajaan ada. Bima akhirnya punya kawan yang paham dan satu misi. Setidaknya bagi Bima mereka akan menjadi kawan diskusi atau malah lawan. Ia tak akan terlalu sibuk lagi hidup bersama lembaran kertas di ruang sunyi jauh dari keramaian orang-orang. Kemampuannya akan kembali seimbang pandai bicara dan menulis. Sebelum ia pergi, ia memberikan pertanyaan sederhana kepada mereka berdua.
‘’Apa manfaat hidup berorganisasi? ’’ Tanya Bima sambil pergi begitu saja pamit sambil menyebutkan jajanannya kepada Fatur.
Dengan demikian mereka akan mencari jawabannya saat aktif di Lingkar Cinta. Bima sudah tau sistem ambak yang ia baca di buku Quantum Learning. Apa manfaat bagiku ? Manusia memang bekerja dan berusaha untuk sesuatu yang dianggap bermanfaat bagi dirinya. Termasuk soal bermalas-malasan. Bukankah malas membaca buku memiliki manfaat adalah terciptanya kebodohan.
***
Pukul tujuh Waktu bagian Indonesia Barat.
Mentari menyinari seperti biasanya. Gemercik air sungai kecil mengalir bersih belum terkontaminasi limbah pabrik. Sawah hijau kembali bergoyang saat kesiur angin menerpa santai
‘’Aku disini dikesendirian menunggu sebuah keajaiban datang. Cambuk kayu kesadaran untuk memukul ustad Khalil.’’
Bima menyendiri kembali di gubuk reot milik pak Salim. Tiga hari telah ia lalui digubuk reot yang terbuat dari daun-daun kelapa yang sudah tua. Tidur dengan alas spanduk pemilu, makan malam bersama nyamuk hutan, mandi di mata air gunung Suda Pala yang masih dingin setiap kali senja menyapa datang. Waktunya ia habiskan digubuk reot ini bersama belasan teks pidato. Menginap ditengah hutan tidak ada masalah sedikitpun. Ia sudah biasa melakukan hal seperti ini, semenjak ikut lomba pidato SMP silam. Kabur dari keramaian menyendiri ditempat sepi berlatih diri supaya handal bersilat lidah dihadapan manusia. Setelah solat subuh badannya selalu bangkit menuju tungku api memasak daun singkong yang ia petik dari kebun milik pak Salim. Sisa air bersih yang ada dikuali sering ia seduh dengan segelas kopi hitam pekat kapal api supaya lebih semangat menjalani hari.
‘’Ah andai orang-orang kota tau, pasti mereka akan jijik menjual tanahnya kepada para kapital.’’ Gumam kecil hati Bima.
Jika masyarakat tidak sadar pentingnya mempertahankan sebidang tanah yang ia miliki kemungkinan besar kita akan menjadi budak ditanahnya sendiri. kesalahan fatal masyarakat kita adalah memberikan sebidang tanah hanya demi selembar kertas uang. Ada benarnya para neo Marxisme berpendapat bahwa nanti akan ada zaman dimana uang merupakan bentuk segala kebenaran. Para kapital telah menghimpit ekonomi bangsa hingga sesak bahkan sekak hingga secara terpaksa para tani menjual tanahnya. Dulu bangsa kita kaya akan tanah. Ribuan hektar berjajar gagah digarap rakyat. Padi tumbuh subur, kebun tumbuh makmur, meski harus bersabar dan berdaki si pak tani masih mempunyai pekerjaan tetap. Hak wilayah berlaku seadil-adilnya diberlakukan para pemimpin. Masyarakat kita makmur sentosa . Semenjak datang Belanda dengan modus menyewa dan membeli tanah, membuat irigasi, membuat sertifikat hak tanah, para tani bingung dan bengong mencari pekerjaannya sendiri setelah menjual tanahnya menjadi hilang. Para pemimpin bangsa kita diadu domba oleh antek-antek koloni supaya berebut kekuasaan. Si tani murung hijrah dari desa menuju kota berharap seonggok nasi untuk makan sehari-hari. Belanda memang cerdik. Membeli tanah digarap oleh pemilik tanah dengan diiming-imingi lembaran kertas. Uang hasil jerih payahnya ia belikan kembali ke beras yang ia garap dengan cepat si Belanda bisa meraup lembaran uang itu kembali. Kini asing kembali hadir. Keran air investasi dibuka jor-joran oleh aparat pemerintah membuat warga menjadi sasaran layaknya zaman dahulu. Katanya dewasa ini revolusi mental menginduk ke Ir. Soekarno, tapi konglomerat asing bisa bebas tanam saham dimanapun ia mau.
Bima larut didalam lamunan kecilnya. Ia tersenyum bangga saat ada masyarakatnya yang masih berani mempertahankan tanahnya sendiri. Hatinya selalu bersyukur masih bisa menatap ribuan hektar sawah milik pak haji Romli, berjajar panjang kebun milik pak Hendi atau puluhan kolam berisi ikan bawal dan lele milik pak Yono.
‘’Lihat ini Ham ! Dua puluh lima tahun mendatang akan terjadi perubahan yang begitu besar. ‘’ Tangannya menunjukan area pemukiman warga dan kebun-kebunnya saat membaca tulisan mohon doa restu akan dibangun perumahan kepada Ilham.
Begitulah Bima. Semenjak membaca buku Sejarah Nasional, ia menjadi muak terhadap segala bentuk Kapitalisme.
Terik matahari sudah menunjukan pukul sembilan pagi.
Bima bisa menakar jam saat ia membuat bayangan kayu yang ditancap ditanah. Ia hari ini akan kembali ke pondok Miftahu Salam. Sudah saatnya ia mendengarkan kawan-kawannya terkait perkembangan Lingkar Cinta. Tumpukan buku yang berserakan ia masukan kedalam tas. Sarung berwarna hitam ia lipat rapih serapih-rapihnya. Pagi ini harus bergegas turun menuju pondok tercinta. Tapi, berbilang jam pak Salim belum datang juga. Sudah berulang kali badannya keluar masuk gubuk reot. Bahkan, lembaran buku sudah ia perkosa dengan sisa waktu yang masih ada. Tak seperti biasanya pak Salim datang terlambat seperti ini. Bapak berkumis tebal ini biasanya datang tak lebih dari pukul tujuh lebih tiga puluh membawa golok yang terikat di pinggangnya.
Bima menunggu sabar senyuman yang terukir dibibirnya setiap kali datang. Bagi Bima pak Salim adalah Jalaludin Rumi di zaman Milenial. Setiap kali membantu dirinya bekerja pasti dibalut dengan senyuman hangat dan ungkapan-ungkapan hikmah seputar sabar,ikhlas dan tahan hawa nafsu. Tanpa ayat, tanpa hadist bibirnya mampu menyejukkan hati yang kering dan tandus. Penyubur taman jiwa menjadi mekar kembali tersiram oleh bulir-bulir hikmah yang selalu mengalir dari kedua rongga mulutnya.
‘’Inget ceng Bima..! Sabar teh lain dikepret pipi kanan disodorkeun pipi kiri. Sabar teh neangan hiji jalan kaluar sangkan kacapai na hiji solusi.’’ Ujar pak Salim sambil membersihkan kaki di mata air selesai bersawah bersama Bima. Bima menjadi tahu, bahwa sabar bukanlah pasif atau defensif ditampar pipi kanan disodorkan pipi kiri, namun sabar ialah mencari jalan keluar untuk tercapai sebuah solusi. Kata-kata pak Salim memang seperti belati kecil, namun tajam mampu merobek ulu hati.
Terik panas sang bola berapi menyengat permukaan bumi. Bima beruntung masih bisa teduh oleh pohon-pohon albiso milik pak Salim yang menjulang tinggi kelangit. Bola matanya masih segar menatap hijaunya kebun-kebun milik masyarakat sekitar. Diseberang kebun pak Salim ada tanah luas, disana tumbuh berbagai macam jenis tumbuhan yang bermanfaat. Pohon cabe,kelapa,manggis bahkan durian. Tanah ini milik Allah swt. Masyarakat sekitar bisa bebas memetik buah yang ada dikebun itu, asal jangan di aku sebagai hak milik tanah pribadi. Menurut adat sekampung ini namanya hakulah ‘’Hak diala diaku ulah’’. Bisa diambil asal jangan diaku milik perorangan.
Setiap kali tenggorokan Bima dibakar haus, ia akan memanjat pohon kelapa mengambil beberapa buah untuk diminum meredakan tenggorokan yang sudah membara. Beberapa buah pepaya sering ia ambil untuk mengisi perutnya yang suka keroncongan lapar di siang hari, cabe merah bisa bebas Bima petik untuk dijadikan sambel bersama nasi liwet kala senja sudah tiba. Daun bayam berjajar rapih dikebun itu menunggu masyarakat memetik dan disantap bersama keluarga dirumah.
Inilah sekulumit tentang hakulah. Meski tanpa perbekalan makanan Bima akan bisa bertahan hidup berkat kebun pak Salim dan kebun hakulah. Asupan karbohidrat bisa ia dapatkan saat para petani dan pemilik kebun dengan ramah mengajak Bima makan pagi disaung dekat sawah. Dikampung seperti ini memang sifat kekeluargaan masih erat dipegang masyarakat Dan beruntung Bima bisa merasakannya.
Angin sepoi-sepoi meniup dedaunan yang hijau. Bajing-bajing liar melompat lincah dari pohon ke pohon mencuri makanan yang bisa ia santap. Suara beragam burung sudah hilang entah kemana setelah tadi pagi mereka sangat sibuk bernyanyi riang menyambut kehadiran matahari.
Entah apa yang membuat Bima kaget saat menunggu pak Salim datang pagi ini. Seorang lelaki kekar tanpa alas kaki datang ke gubuk reot memakai pakaian compang-camping dan lumpur hitam yang masih melekat dikedua kakinya, keringatnya bercucuran deras dipipi membuat Bima yang melihat was-was.
‘’Aya naon mang Ocim ?’’ Tanya Bima dengan nada sedikit heran. Nafas si bapa tua ini terengah-engah seperti dikejar-kejar sesuatu.
‘’Pak Salim ceng Bima, pak Salim di pacok oray tadi.’’ Nadanya sedikit tercekik napas cape.
‘’Hah ? Pak Salim dipacok oray ?’’ Tanya Bima dengan kaget. Jantungnya mendadak berdebar cepat,rawut wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. Rupanya mang Ocim membawa berita memilukan, bahwa pak Salim telah dipatuk ular. Bima bangkit lekas bergegas pergi mengendong tas berisi belasan buku. Ia mengekor di belakang mang Ocim yang berjalan bergitu rusuh. Hatinya berdebar-debar khawatir pak Salim kenapa-napa.
‘’Geuning bisa dipacok oray mang ?’’ Tanya Bima sambil napasnya tersengal-sengal cape melewati jalur terjal dan tinggi.
‘’Engke ceng cerita na. Panjang pisan’’.
Tampaknya mang Ocim menolak untuk bercerita kepada Bima dengan alasannya cerita begitu panjang. Meski kini mang Ocim berjalan tanpa alas kaki, jalannya begitu pandai melewati batu-batu yang licin ditanah merah, kedua kakinya melangkah begitu cepat seperti kilatan buroq yang tidak bisa diterjemahkan. Ketika mereka sampai pada sebuah tanjakan kecil, tiba-tiba mang Ocim mendadak berhenti. Napasnya terengah-engah cape, keringatnya kembali bercucuran setelah menaklukan beberapa tanjakan dan turunan. Rawut wajah dia berubah menjadi tegang. Keringatnya menjadi dingin seketika membuat hati Bima penasaran.Kedua mata mang Ocim menatap tajam kebun-kebun warga dibawah, Kedua telinganya memasang tajam mendengar dengusan hewan itu dimana adanya. Tangannya memberi isyarat supaya Bima diam.
‘’Sssst repeh ceng !’’ Jawabnya dibalut ketakutan. Mental Bima menjadi ciut saat kedua matanya melihat tujuh babi hutan menyerang kebun warga. Kedua kakinya kini gemertar tak karuan takut diterjang segerombolan babi hutan . Tangan mang Ocim memberi isyarat cepat supaya Bima jangan terlalu takut kepada babi hutan. Rasa khawatir yang mengendap dalam dadanya kepada pak Salim kini hilang entah kemana. Kini mang Ocim mau tidak mau harus tetap turun kebawah membantu pak Salim yang telah kena musibah dipatuk ular. Hambatan satu-satunya ia harus melewati babi hutan yang sedang asyik memakan ubi dikebun orang.
Wajah Bima terlihat pucat bercampur keringat dingin. Ia setengah jongkok sambil berkomat-kamit bersholawat kepada nabi, memohon kepada Allah yang Esa supaya selamat dari marabahaya. Dirinya begitu yakin seedan-edannya orang tak percaya tuhan ia akan cepat berdoa memohon perlindungan saat dihadapkan dengan segerombolan babi hutan. Orang ateis sekalipun akan berkomat-kamit meminta kepada tuhan mana saja yang ia tahu agar si babi hutan ini lekas pergi dari hadapannya.
‘’Ahh..nasibku hari ini malang. Babi itu menghambat waktuku saja.’’ Gumam Bima dicampur takut.
Mang Ocim tetap saja diam. Mungkin ia mencari inisiatif supaya bisa mengusir segerombolan babi hutan itu. Babi yang berukuran setengah dari kampung ini datang bergerombol mengubrak-abrik kebun warga dengan ganas. Taringnya begitu tajam membuat siapa saja yang meilhat takut dicabik-cabik. Tangan mang Ocim memberi isyarat supaya Bima berdiri tegak. Kedua bibir mang Ocim tiba-tiba berteriak lancang meniru suara hewan.
‘’Gok...gok.. gaikkkk..’’ Mang Ocim meniru suara Anjing sangat percis sama sekali dengan aslinya. Hatinya berharap segerombolan Babi itu lekas pergi saat tau bahwa akan ada Anjing Helder yang menyerang kubu pertahanannya.
Segerombolan Babi hutan itu diam mematung mencari sumber suara. Matanya yang tajam dan jijik menatap sekeliling kebun warga. Hingkikannya menjadi keras saat ada suara Anjing datang melolong keras ke arah mereka. Raut wajah mang Ocim malah menjadi ciut. Segerombolan Babi hutan justru malah menantang si Anjing untuk berperang di pagi kali ini. Tujuh Babi hutan berdiri gagah mencari si Anjing datang. Ia sedikitpun tidak takut kepada Anjing Helder buatan mang Ocim. Tanpa disadari mang Ocim, salah satu dari tujuh Babi hutan melihat badan mang Ocim dan Bima tegak berdiri. Ia berlari kencang mengejar mang Ocim dan Bima yang masih mematung. Saat matanya menoleh ke arah Babi, mang Ocim dan Bima lari terbirit-birit kabur berpisah berharap selamat dari serangan Babi hutan, meski mereka melewati jalur yang licin dan penuh bebatuan larinya begitu cepat sambil berteriak minta tolong...
‘’Aya Bagong ! Aya Bagong !’’ Ada Babi hutan, ada Babi hutan. Mang Ocim dan Bima berpisah menyelamatkan dirinya masing-masing.
Di pagi menjelang siang kelas seperti biasanya gaduh oleh belasan santri yang menunggu guru, para santri terkatung-katung selama dua jam menunggu pengajar yang juga tak kunjung datang. Mereka mengisi waktu luangnya dengan beragam kegiatan. Ada yang menghafal Jurumiah, bersholawat ceng Zam-zam atau malah mendengkur halus terbang bersama mimpi-mimpinya. Pagi ini mata Bima asyik membaca buku Api Sejarah karangan Mansyur Suryanegara. Ditengah-tengah kegaduhan puluhan santri ia begitu asyik bercengkrama bersama buku tuanya yang ia sampul memakai kertas kado. Sesekali bibir Bima tersungging bangga saat menemukan sederet anak kalimat ulama dan santri berkontribusi terhadap kemerdekaan bangsa Indonesia. Kepalanya merekam cepat perjuangan ulama aceh melawan penjajahan Kolonialisme.
Konon di Aceh hidup seorang wanita tua berjiwa jantan bernama Cut Malahayati. Pejuang emansipasi sebelum RA.Kartini ada. Dulu kaum hawa gigih dan gagah melawan penjajah mengerahkan segenap kemampuan demi kemerdekaan bangsanya, tapi hari ini mereka larut memoles diri menawar-nawar kecantikan supaya laku oleh kaum adam yang gila wanita. Ibarat buah dijual di pasar bebas, wanita hari ini gampang sekali dipegang, dicium lalu dicoba. Ternyata semakin modern zaman wanita hanya dijadikan objek seksual semata oleh kaum adam. Tak ada yang berbeda layaknya zaman imperium Romawi berkuasa. Benak Bima masih tafakur melakukan komparasi antara wanita hari ini dan zaman dahulu. Sekarang otaknya dibentur pertanyaan sederhana.
Apa peran wanita dalam membangun bangsa ?
Pikirannya ingat dua buah buku yang disarankan bung Hassan karangan Ir.Soekarno dan Buya Hamka saat berada di lokasi training.
‘’Baca buku Sarinah sama Buya bicara tentang Perempuan Bim ! Nanti kamu akan sedikit tahu peran perempuan itu bagaimana.’’
Pagi ini membawa Bima pada kenangan manis. Ia rindu kedua buku tersebut yang tertinggal di bus saat hendak pergi ke pondok sepulang liburan semester. Ada niatan untuk membeli kembali, tapi ia kurung saat uang jajannya hanya dua ratus ribu perbulan, untuk membeli buku ia harus menahan lapar beberapa minggu dan mengurangi sabun cuci yang ia beli. Bibir Bima kembali tersenyum tipis, ia punya ide untuk menjawab segala pertanyaan yang sedang ia hadapi. Kemungkinan besar siang ini ia habiskan membaca surat Saba, An-nissa, Ath-thalaq dan Mujadalah juga membuat tafsir Al-azhar yang ia beli setelah menahan kelaparan yang luar biasa. Barangkali disana ada jawabannya, lagi pula menurutnya Al-quran sebaik-baik referensi dikehidupan. Ditengah-tengah asyik membaca titik fokusnya buyar saat kawannya bernama Mahmud bertanya.
‘’Empat hari yang lalu kamu kemana Bim ?’’ Tanya Mahmud memegang pundak Bima.
Tangannya sontak menutup cepat buku yang ia baca.
‘’Aku di gubuk pak Salim Mud,’’ jawab Bima dengan sedikit kaget.
‘’Kemaren aku seharian nyariin kamu, kamu besok lomba pidato lagi Bim ? ‘’
Bima mengangguk.
‘’Eh tau darimana aku ikut lomba lagi Mud ?’’ Tanya Bima.
‘’Si Fatur Bim. Dia kemarin nyebarin informasi ke orang-orang supaya dukung kamu.’’
‘’Dia kampanye Bim, kalau ada orang yang jajan dikantin dia ngajak buat ikut Lingkar Cinta.’’
‘’Lingkar Cinta ?’’ Bima pura-pura tidak tahu.
‘’Itu kegiatan ngobrolin buku atau sharing seputar kehidupan’’
Bima tersenyum geli menahan tawa.
‘’Keren Mud,keren banget. Kamu tertarik ikut ?’’ tanya Bima
‘’Ikutanlah Bim, aku siap pasok cemilan buat makan-makan.’’
‘’Hahahaha mantap Mud,’’
Mahmud lekas pergi entah kemana.
Rupanya Fatur punya bakat terpendam dalam bidang pencitraan. Ia bercerita bahwa Lingkar Cinta merupakan bukti nyata orang-orang yang patah hati untuk kembali giat belajar. Disana mereka akan ngobrol perkara-perkara ringan seputar kehidupan. Diskusi soal pelajaran yang sudah diajarkan, tadarusan dan sharing buku yang pernah dibaca’’ gumam hati Bima
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
