
Andini POV
Aku tahu kalau pernikahanku dengan Amar memang atas dasar perjodohan. Tetapi sebagai istri yang baik aku selalu menghormatinya, menganggap dia seorang suami yang keperluannya selalu aku layani.
Hubungan kami mengalir seperti hubungan rumah tangga pada umumnya tapi apa yang kuanggap baik ternyata tidak.
Aku memilih saudara sepupu yang bernama Sila, dimana kami sangat dekat. Bahkan Sila bekerja di perusahaan Ayah. Dimana perusahaan itu juga sama dengan perusahaan Amar.
Dulu awal kisah Ayah menjodohkan Amar denganku karena melihat sikap Amar yang pekerja keras dan yang pasti dia bertanggungjawab. Amar juga pria yang baik sangat terlihat dengan sikapnya memperlakukan Mamanya. Aku tak menutup semua sikap baiknya maka dari itu saat Ayah mengatakan jika Ayah menjodohkan diriku dengan Amar, aku langsung mengiyakan. Karena tidak ada celah untukku menolak.
Tapi permasalahan muncul saat Amar begitu dekat dengan Sila, seperti ada hal yang mereka lakukan di belakangku. Ibarat kata keduanya ada di tempat dan waktu yang sama dan itu berulang-ulang setiap hari.
Aku tak mau berpikiran negatif tetapi aku selalu ditampar kenyataan.
Saat itu aku tengah menyiapkan ulang tahun pernikahan yang pertama dimana tanggal kami menikah sama dengan tanggal ulang tahun Sila. Dan ya, perayaan kecil-kecilan yang aku rancang gagal karena Amar datang terlambat. Bahkan lilin yang tadi aku nyalakan sudah meleleh beberapa jam yang lalu.
"Maaf ya sayang, aku lupa."
"Dari mana Mas?"
Dia menggaruk bagian belakang kepalanya seolah menutupi kesalahannya yang kutahu bahwa esok harinya Sila memberi ucapan terimakasih kepada Amar di akun instagramnya. Dari situ aku sadar posisi meski menjadi istri tetaplah bukan prioritasnya.
Kalau ditanya apakah aku pernah berbicara dengan Sila, jelas jawabannya adalah sudah. Karena kami masih saudara pasti ada kalanya kami bertemu dan aku berbicara empat mata kepadanya.
Ditambah kedekatan kami bukan lagi hitungan tahun karena aku dan Sila tumbuh bersama di rumah yang sama.
"Kamu tahu kalau Amar suami aku, tapi kenapa semua yang kamu lakukan harus ada Amar." Padahal aku tahu kalau posisi mereka berbeda.
"Bukannya itu yang harus kamu tanyakan ke Amar?"
"Memang kenapa? Kamu sama Amar sama saja. Kalian bagian dari hidupku."
Tapi jelas Sila menganggap berbeda. Dari situ aku selalu mencoba menjaga jarak saat ada pertemuan kembali dengan Sila.
Karena aku tidak mau kecewa ditambah Sila adalah orang terdekatku.
***
Kecurigaan demi kecurigaan semakin membuat otakku yang biasa berpikiran positif berubah fungsi. Ini juga mungkin karena diriku yang full menjadi istri dan ibu rumah tangga, jadi kegiatanku sangat monoton ditambah aku belum memiliki seorang anak.
Saat itu aku tengah duduk di kursi depan menatap langit sore, biasanya Amar akan pulang jam segini. Tapi sampai malam Amar tak kunjung pulang alhasil aku bertanya kepada sekretarisnya. Jawaban dari sekretarisnya adalah jika Pak Amar sudah pulang sejak sore tadi.
Deg!
Aku berpikir lagi dan mencoba menghubungi Amar, tapi tidak diangkat bahkan sampai jam dinding menunjuk pukul sembilan malam Amar belum pulang.
Aku putuskan untuk tidur, tidak memikirkan Amar, toh Amar sudah besar bukan sekali dua kali dia seperti ini.
Dan paginya saat aku melihatnya, Amar menyapaku seolah hubungan kami baik-baik saja ditambah dia memberikanku satu pasang sepatu katanya sebagai kado.
"Kemarin lihat sepatu kayaknya cocok sama kamu."
"Sepatu apa?"
"Sepatu lari, kan kamu suka lari." Iya setelah menikah aku memang suka lari di akhir pekan, aku membuka bungkusan kardus sepatu dan memakainya. "Kata Sila warna ini pas untuk kamu, dia lo yang kasih masukan warna ini."
Jadi kemarin Amar jalan dengan Sila?
"Mas ketemu Sila?" Amar mengangguk, dia seolah jujur akan apa yang dia lakukan. "Sila kasih tahu aku kalau kamu suka warna ini."
Seketika hatiku yang semula bahagia berubah luruh, aku tahu kalau aku dan Sila saudara tapi kenapa juga harus Sila selalu menghantui hubungan kami.
"Mas bisa gak sih jangan dekat-dekat dengan Sila?"
"Loh kenapa? Sila saudara kamu lo." Aku tahu tapi kedekatan keduanya tidak seperti saudara, bahkan aku berpikir jika ada hal yang mereka rajut. "Mas terlalu dekat dengan Sila."
"Oke, Mas akan hati-hati kedepannya." Dan ya, semua itu hanya bualan saja karena apa yang diucapkan Amar hanya di mulut.
Dimana tanpa sengaja aku bertemu dengan Sila di sebuah mall, dan apa yang aku lihat, disana ada Amar. Katanya mereka tengah bernegosiasi dengan klien perusahaan.
"Mas bisa jelasin. Jangan marah ya." Oke, aku masih bisa bersikap baik karena ini tempat umum. Tapi saat ekor mataku melihat tas yang dikenakan Sila rasanya jantungku mendidih. Karena warna dan ukurannya sama dengan apa yang aku punya dimana Amar yang membelinya.
Disitu aku marah, kecewa jadi satu bahkan setelah kejadian itu aku tak mengajak bicara Amar.
Dilanjut dengan undangan pertemuan keluarga dimana aku dan Amar diundang Ayah untuk menghadirinya. Kami duduk di meja makan dengan beberapa makanan yang telah disediakan Ayah.
Saat itu Amar menyendokan beberapa menu makanan yang jelas aku tak suka bahkan ada beberapa yang membuat diriku alergi. Tapi tetap Amar memberikannya kepadaku, aku yang merasa jika ini harga diri suami akhirnya menyuapkan meskipun setelahnya aku harus sesak dan jatuh pingsan.
Beberapa orang yang disana histeris, melihat diriku. Kata Ayah aku tak sadarkan diri selama satu jam dan itu membuat Ayah marah dengan Amar.
"Suami kamu kasih udang di piring kamu, jelas saja kamu langsung pingsan." Gerutu sebal Ayah saat menemaniku di ruang rawat. Jangan tanya Amar dimana karena Ayah tengah marah dengannya alhasil dia tidak diizinkan berada disini.
"Mungkin Mas Amar lupa Yah. Lagian Andini baik-baik saja." Aku gak mau suamiku dianggap buruk oleh Ayah.
"Tidak, ini jauh lebih parah. Kalau saja Ayah terlambat sedikit nyawa kamu jelas akan hilang." Ujar Ayah dengan air mata yang menetes, Ayah memang sayang kepadaku karena aku ada sebagai wujud cintanya kepada perempuan yang rela mempertaruhkan nyawanya, ya, Mamaku meninggal saat melahirkan diriku. Dan Ayah berjanji untuk menjagaku dan cinta Ayah kepada Mama masih sampai sekarang. Ayah memilih menjadi duda karena ia tidak ingin Mama bersedih jika Ayah menikah lagi meskipun aku juga pernah mengatakan jika Mama pasti bahagia jika Ayah bahagia. Maka dari itu sebagai anak tunggal Ayah yang tidak mau aku kesepian mengajak Sila untuk tinggal bersama dengan persetujuan Tanteku.
"Kamu itu ada sebagai ganti dari Mamamu yang pergi jadi jika kamu pergi Ayah tidak akan sanggup melanjutkan kehidupan ini." Aku yang duduk di atas ranjang spontan memeluk tubuh Ayah, sebagai cinta pertamaku Ayah tidak pernah mengecewakan.
"Ayah jangan sedih, Andini ada disini."
"Setelah kamu diizinkan keluar kamu tinggal sama Ayah. Ayah tidak akan izinkan Amar membawa pulang."
Sejak detik itu aku resmi tinggal di rumah yang dulu aku tempati, meskipun jarang aku bertemu dengan Amar tetapi Amar selalu menitipkan sesuatu kepadaku melalui asisten rumah tangga kami. Dia sudah meminta maaf dan tidak akan mengulangi kesalahannya.
Aku tak membalas beberapa surat yang ia tulis sebagai wujud permintaan maafnya karena aku sudah di tahap kecewa dengan apa yang diperbuat apalagi saat melihat jika ada tasku yang sama dengan tas milik Sila.
Membuat asumsi yang ada di pikiranku semakin nyata.
Tbc
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
