Perempuan itu tersenyum menatap pantulan tubuhnya di depan cermin yang menampilkan tubuh indahnya dibalut dress panjang dengan beberapa ornamen yang membuat siapapun pasti terpukau.

"Apa Kak Nares akan lihat aku ya di acara ini." Dimana disetiap ada acara keduanya layaknya orang tak saling kenal. Dimana jarak usia yang terlalu jauh dan lagi lingkungan pertemanan keduanya yang jauh berbeda. Nares seorang direktur di usia menginjak tiga puluh tujuh tahun sedangkan Jingga masih berusia dua puluh dua tahun, range yang cukup membuat Nares malu jika ada orang yang tahu hubungan mereka.

"Semoga kali ini Kak Nares menatap diriku." Terkadang lelah menjalani hubungan yang seperti bayangan ini, dimana Jingga tidak bisa mengatakan banyak hal kepada beberapa orang jika dirinya memiliki Nares. Seperti Jingga memiliki Nares tapi dirinya tidak bisa menyentuh laki-laki itu jika di tempat umum.

Jingga berjalan ke ballroom hotel ternama yang mana acara malam ini diselenggarakan, ya, acara perusahaan yang bertepatan dengan ulang tahun Nares. "Atas nama Nona Jingga meja nomor tujuh belas ya."
Dimana Jingga diarahkan ke meja bundar yang sudah di tata sedemikian rupa, dimana untuk kesekian kalinya Jingga melihat dan mendengarkan beberapa sambutan sebelum acara inti.

"Kalian pasti menunggu acara puncak dimana sang direktur ulang tahun kan?" Teriak pemandu acara yang membuat beberapa riuh meneriakan nama Nares. Dimana dikesempatan ini untuk kesekian kalinya Jingga harus menelan pil pahit. Ya, Jingga harus melihat Nares bersanding dengan perempuan yang tak lain seorang model ternama. Meskipun Nares sudah meminta izin beberapa hari yang lalu, tetapi jiwanya sebagai perempuan jelas tetap sakit.

Ini bukan kali pertama tetapi lukanya tetap sama, dimana setelah acara Jingga selalu berpikir sampai kapan hubungan akan berjalan. Tapi cintanya kepada Nares terlalu besar, dimana jika laki-laki itu mendatanginya maka Jingga akan membuka kembali kesempatan.

Nares datang dengan tautan tangan yang tak pernah lepas dari sang model yang Jingga tahu namanya Laura.

"Selamat malam hadirin, perkenalkan nama saya Nares dan disisi saya Laura, kami disini.... " Banyak sekali pembicaraan yang tidak Jingga dengar karena efek cemburu, membuat perempuan itu memilih untuk ke toilet karena perutnya merasa melilit dimana untuk kesekian kalinya Jingga harus merasakan kecemasan ini.

Jingga menatap ke cermin sambil berbicara dengan bayangan wajahnya yang begitu kasihan. "Sampai kapan kamu seperti ini Jingga? Sampai kapan?"

Orang yang diperjuangkannya selalu melukainya, tapi dia seolah abai. Hingga detak jantung Jingga mulai normal dan kecemasan itu pergi, membuat Jingga sedikit tenang namun saat akan keluar dari toilet suara perempuan paruh baya dengan Laura membuat Jingga terkejut.

"Jadi kapan hubungan kalian akan diresmikan? Usia Nares sudah tua."

Perempuan yang tadi menemani Nares itu tersenyum manis seolah mengejek Jingga. "Nanti kita bicarakan ke Nares ya Tante."

"Loh seharusnya kamu yang ajak dia nikah, Tante gak masalah. Kalau bicara sama dia gak akan sampai."

"Ah begitu ya Tante." Anggukan kepala Tante Dayati layangkan seolah setuju akan hubungan ini. Membuat Jingga memilih untuk pergi dari sana dan bergegas menuju parkiran untuk memanggil Pak Sapto, sopir pribadinya.

"Maaf lama Non."

"Gak masalah Pak, kita pulang." Perintah Jingga yang dianggui Pak Sapto membuat laki-laki itu menjalankan mobilnya kembali dimana disepanjang perjalanan Pak Sapto melihat jika Nona mudanya kebanyakan diam dan melamun.

"Kalau ada apa-apa jangan dipendam ya Non."

"Ah, iya Pak." Wajah Jingga tersenyum kembali. Hingga keduanya sampai di rumah dimana kali pertama Jingga turun dirinya mencoba untuk mengabaikan ponselnya yang berdering. Ya, Jingga tahu jika itu pasti dari Nares.

Mencoba mengabaikan itu yang Jingga usahakan karena bagaimanapun Jingga tidak mau jatuh kembali meskipun hatinya masih lemah.

Jingga mengambil ponsel satunya menghubungi Mamanya yang tengah berada di luar negeri untuk mengirimkannya tiket untuk keliling dunia.

"Kamu serius mau keliling dunia?"

"Iya Ma, Jingga butuh hiburan sebelum masuk ke perusahaan Papa."

"Berapa lama?"

"Dua sampai tiga bulan bagaimana?"

"Oke, baiklah. Besok asisten Mama akan kirim tiket dan perlengkapan kamu."

Dan disinilah Jingga berada, di negeri kicir angin yang tengah mengalami musim dingin.

"Kalau ada apa-apa hubungi Bang Niko, dia akan bantu kamu." Ujar Mama yang memperkenalkan asistennya kepada sang putri. "Iya Ma. "

Setelah itu semua kegiatan Jingga diikuti oleh Niko meskipun awalnya Jingga merasa risi tetapi lambat waktu Jingga menerima diri Niko.

"Kamu sudah berapa lama kerja sama Mama?"

"Baru tiga tahun Nona." Jingga yang merasa risi dengan panggilan Nona mencoba bernegosiasi kepada Niko apalagi setahu Jingga Niko jauh lebih tua darinya. "Panggil saja Jingga."

"Tapi....?"

"Gak papa, kalau ada Mama kamu boleh panggil aku Nona tapi jika sendirian seperti ini panggil saja Jingga."

Dimana ini awal mula hubungan antara Jingga dengan Niko, laki-laki yang begitu kaku itu nyatanya mengasyikan membuat Jingga lupa akan segala prahara yang terjadi dihidupnya. Hanya senyuman dan tawa yang tercipta di wajah Jingga jika bertemu dengan Niko.

"Cantik ya bagunan ini. Pantas banyak orang yang berebut untuk berkunjung disini."

"Selain cantik bangunannya disini juga nyaman untuk menikmati pemandangan ini."

"Benar. Ayo kita kesana." Niko berjalan mengikuti Jingga hingga keduanya kembali masuk ke salah satu bangunan ikonik khas kota itu membuat jiwa histori Jingga terpanggil.

Sedangkan di Indonesia Nares kuaalah untuk mencari sosok Jingga, ya perempuan itu seolah lenyap di telan bumi bahkan Nares mencoba mencari tahu kepada teman-teman dekat Jingga juga mereka tidak tahu.

"Gak tahu Bang."

"Kalian gak tahu?" Laki-laki yang seumuran dengan Jingga itu mengangguk. "Sudah lama kami tidak bertemu." Nares mengangguk dan berjalan meninggalkan perkumpulan teman-teman Jingga, dimana salah satu perempuan mengatakan puas jika Nares diperlakukan Jingga seperti itu.

"Gue puas Nares kaya frustasi cari Jingga."

"Tapi kasihan."

"Gak, gue gak kasihan. Gue tahu sikap apa yang selalu Nares lakukan kepada Jingga. Dan sekarang Jingga pergi rasanya puas."

"Eh memang Jingga pergi kemana?"

"Gak paham dia gak sebut tempat tapi dia ingin menenangkan diri." Dimana sekumpulan laki-laki dan perempuan itu melanjutkan sesi menongkrongnya mengabaikan masalah Jingga dengan pacar terlama perempuan itu.

***

Yang satu nyariin yang satunya lagi happy-happy 😛

Bayangan Jingga