
Setinggi apapun jabatan suamimu. Mau bekerja di perusahaan raksasa manapun, toh suami kalian tetaplah buruhnya. Tetapi sekecil apapun usaha suamiku, toh suamiku adalah bosnya.
PART 1
" Jadi aku mengundang kalian kemari untuk merayakan kenaikan jabatan suamiku. Sekarang Mas Danang diangkat menjadi General Manager," kata Berta penuh bangga dengan mata berbinar.
" Wah selamat ya beb. Kalau suami aku masih stay di asisten direktur. Ya semoga saja suatu saat ketularan menjadi direktur gitu," jawab Fatin.
" Kalau suami aku sudah betah sih jadi pemilik showroom mobil. Do'akan ya semoga bisa buka cabang," lanjut Mala.
Aku hanya mengaduk-aduk minumanku. Merasa risih dengan perkataan mereka yang menurutku terlalu pamer .
" Kalau suami kamu Rin ?" tanya Fatin.
" Suaminya kan masih jualan cilok keliling," jawab Mala disertai dengan tawanya.
Tetapi tidak dengan Berta dan Fatin. Mereka saling berpandangan. Seperti tidak enak hati dengan sikap Mala.
" Rin, suami Berta dan Fatin kan jabatanya bagus di perusahaan. Coba deh suruh suamimu melamar disitu. Kali aja bisa. Jadi jadi tukang kebun. Kalau di showroom suamiku sepertinya tidak bisa. Hanya lulusan SMP ya si Agha itu," katanya dengan tawa meremehkan.
" Terimakasih. Tetapi tidak perlu repot-repot untuk mengurusi hidupku. Sejauh ini kami masih baik-baik saja,"jawabku dingin.
Mala menghembuskan nafas pelan.
" Susah ya menasihati orang yang tidak mau jadi kaya," katanya seraya mengeluarkan handphone berlogo apek dari tas mewahnya.
" Wih handphone baru Mal," puji Fatin
" Iya nih. Hadiah dari suami," ucapnya bangga.
" Handphone keluaran terbaru itu Mal,"
" Ya begitulah. Gimana ? Apa kamu juga tidak ingin punya barang-barang mahal seperti ini Rin ?"
Aku kembali tercekat dengan perkataan Mala. Entah mengapa dia selalu bersikap seperti itu padaku. Dia juga mempengaruhi yang lainya untuk seolah olah mengolok ku.
" Mau bekerja di perusahaan raksasa manapun, toh suami kalian juga karyawan. Tetapi sekecil apapun usaha suami ku. Walau hanya penjual cilok. Tapi dia tetap bos,"
Mereka kembali mengeluarkan tawanya. Setiap tawa yang keluar, hatiku semakin sakit rasanya.
" Airin, Airin. Saat sekolah kamu itu dulu yang paling pintar diantara kami. Tetapi sekarang kok...," . Belum sempat meneruskan omongan nya, mereka tertawa lagi.
" Kenapa ? Aku kok bodoh ? Kalian salah. Justru aku ini tetap pintar. Pintar dalam melihat setiap sisi dunia. Kalian bodoh jika hanya melihat semua hanya dari sisi ekonomi. Sejauh ini hidupku dan Mas Agha tidak kurang apapun kok. Suami ku juga sangat baik. Jadi aku bahagia walau hanya bersuamikan penjual cilok. Kalau kalian mungkin jarang ya punya waktu bersama suami. Kan suami nya sibuk," jawabku panjang lebar.
" Eh ngomong-ngomong quality time bersama suami itu penting lho. Sekarang pelakor dimana-mana. Incaranya pasti om-om berperut buncit seperti suami kalian itu," ucapku lirih setengah menghina. Ah lebih tepatnya menaikan harga diri agar tidak di injak terus menerus.
Mereka diam. Tak menanggapiku. Sibuk dengan pikiran mqsing-masing. Atau kepikiran jika suaminya selingkuh ? Hihihi
*
" Kenapa senyum-senyum dik ?" tanya Bang Agha sesaat setelah aku pulang.
" Puas bang. Bisa skak mat mulut -mulut mereka yang sombong,".
Bang Agha yang tengah membersihkan gerobaknya kemudian menolehku.
" Nggak baik dik. Takutnya mereka sakit hati bagaimana ?"
" Ngapain mikir mereka sakit hati. Toh mereka juga nggak mikir aku sakit hati atau tidak." jawabku pada Bang Agha.
Bang Agha membuang nafas pelan.
" Memang benar wanita itu makhluk yang merasa paling benar," kata Bang Agha dengan berdecak.
Aku tersenyum malu-malu. Bang Agha memang selalu mengalah padaku. Tetapi ia tegas jika memang perilaku ku salah.
" Dik, tolong belikan abang paketan. Siapa tau ada yang pesan cilok,"
Aku bergegas je counter dekat jalan raya. Sebenarnya ada di dekat rumah. Tapi trauma sulit masuk pulsanya.
Counter ini terdiri dari beberapa kios. Ada juga kios khusus penyewaan gadget. Tapi tunggu dulu ada seseorang wanita yang seperti aku kenal keluar dari kios penyewaan gadget. Mala ? Apa yang dia lakukan ?
🍁🍁🍁
PART 2
" Mala," panggilku.
Ia menoleh dan tersenyum padaku dengan tangan melambai. Tidak ada ekspresi gugup darinya.
Mungkin aku yang terlalu berprasangka buruk padanya.
" Kamu ada perlu apa kesini ?" tanyaku.
" Aku bosan dengan handphone ku. Jadi aku investasikan buat di rental saja. Biasalah, jiwa bisnis kan ngikut dengan suamiku," jawabnya.
Aku tersenyum kecil.
" Kamu sendiri ada perlu apa kesini Rin ? Bukanya rumah kamu masuk gang. Jauh lho. Nggak bawa payung lagi. Nanti hitam lho. Eh tapi kamu sudah terbiasa ya tidak pakek skincare,"
Aku menelan ludah. Begitukah cara orang kaya bertutur kata ?
" Kamu itu kan orang kaya Mal. Apa iya tidak tahu trend ? Sekarang yang hitam-hitam lebih eksotis lho,"
" Aku kesini mau beli paketan buat Bang Agha," lanjutku.
Dia tertawa sembari melipat tanganya di dada.
" Ngapain harus jauh-jauh sih Rin. Pakai M-Banking kan bisa," katanya dengan tawa meremehkan..
Aku mengibaskan tangan.
" Aduh mana sempat aku menabung ke bank segala Mal. Aku sibuk sekali, apalagi kalau sudah kumpul bersama suami dan anak. Rasanya enggan keluar rumah,"
Mala menatapku dengan tatapan tidak suka. Dan aku suka itu. Tersindirkah ? Makanya jangan suka sombong.
" Memang sih, Mas Dion itu kerja dari pagi smapai malam. Tetapi kan menghasilkan,"
Lah dipikir suamiku jualan cilok itu juga tidak menghasilkan ? Lagipula aku heran suaminya kan bos, kenapa harus ikut kerja dari pagi sampai malam ? Bukanya ada karyawanya ?
" Yasudah deh Rin. Aku pulang dulu ya," pamitnya.
" Oh iya. Kamu dijemput ya ?"
" Enggak. Naik Go Ride,"
" Suamimu kan punya showroom, kenapa justru naik ojek Mal ? Kalau suami mu repot naik taksi online saja,"
" Enggak ah Rin. Bosan pakai AC terus. Kali ini pengen naik yang AC alami." kilahnya.
Ada ya orang kaya bosan dengan AC ? Aneh.
*
" Besok itu akhir pekan ya bang ?"
Bang Agha mengangguk.
" Harus ya besok kumpul ke rumah bapak ibu ?"
" Biasanya kan juga begitu dik. Justru aku salut dengan keluargamu. Menjunjung tinggi silaturahmi,"
Aku membuang nafas pelan. Menatap jendela.
" Aku lelah bang selalu menjadi perbandingan," ucapku lirih.
" Karena suamimu hanya penjual cilok ?"
Aku diam. Bukanya tidak bersyukur, karena memang itu yang menjadi topiknya.
" Suatu saat mereka pasti berubah dik,"
Aku sanksi dengan ucapan Bang Agha. Rasanya seperti halu, seperti suatu yang mustahil. Apalagi anak ku Arsy, adalah cucu yang paling kecil tapi bapak dan ibu tidak sebegitu dekat memperlakukanya
" Masih roda dua saja Rin. Lihat tuh si Mala kalau berkunjung ke rumah ibunya sudah pakai roda empat," sindir Mbak Yanti.
" Dulu sih sekolahnya lebih pintar Airin tetapi cari jodohnya lebih pintar Mala," lanjut Mbak Devi
Mereka semua tertawa. Merasa lucu ? Bahagia ? Tapi aku sakit terhina. Jika strata sosial berbicara, apakah memang ikatan darah tiada bermakna ?
" Rin, coba deh si Agha itu suruh melamar pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Berapa sih yang di dapat hanya dari jualan cilok ? Lihat tuh si Arsy tubuhnya sudah seperti cilok,"kata Mbak Yanti.
" Mbak tidak bisa membedakan mana balita yang cukup gizi sama yang enggak ? Udah anak dua lho mbak. Reyhan dan Risma, sudah seperti angka sebelas kalau berjalan. Katanya mbak orang berada, bisalah menyeimbangkan gizi anak,"
Muka Mbak Yanti langsung merah bak kepiting rebus
Sebenarnya aku tidak suka dengan body shaming. Tetapi jika itu menyangkut anak ku, demi Allah aku tidak rela. Anak ku memang bertubuh gemuk dan montok. Tetapi tidak mungkin, bayi sekecil Arsy sudah aku beri makan cilok.
" Ndhuk, bantu ibu di dapur. Kok malah asyik disini,"
Ibu yang tiba-tiba datang mengagetkan kami. Tetapi jelas perintah itu untuk ku. Bukan untuk Mbak Yanti dan Mbak Devi. Bapak dan Ibu tidak berani menyuruh mereka. Apalagi kalau bukan tentang uang.
Aku menitipkan Arsy pada Mas Agha.
" Senyum dek. Ikhlas lilahita'ala. Hadiahnya surga,". Sepertinya ia memang tau kemelut hatiku. Seperti di anak tirikan dalam keluarga hanya karena materi.
" Coba kalau seperti si Mala, anak Bu Sri itu. Tidak perlu masak, setiap kesini selalu membawakan beraneka jenis makanan," ucap ibu.
Tentu kalimat itu menusuk batinku. Seolah aku ini tiada berartinya sebagai anak.
" Mobilnya saja setiap pulang, selalu gonta - ganti," lanjut ibu.
" Itu mobil rentalan," celetuk Agung, adik ku, si anak bungsu.
" Hust, jangan asal bicara kamu Le. Kalau kedengaran Bu Sri, bisa ngamuk dia,"
" Memang benar bu, Agung bisa membuktikan...
???
🍁🍁🍁
PART 3
"Coba ibu tanya KTP suami Mbak Mala kalau kesini. Pasti tidak ada. Itu kan syarat untuk rental mobil,"
" Kamu kenapa seperti itu Gung ? Sakit hati karena pernah ditolak Mala ?" godaku.
Agung salah tingkah. Di usianya yang sudah dua puluh lima tahun, ia memang belum menikah.
" Ah enggak. Dunia juga tidak akan runtuh hanya gara-gara si Mala," kilahmya.
Aku hanya tertawa kecil.
" Sudah Gung. Kamu temani bapak di depan. Kamu itu laki-laki kok suka nya ke dapur,"
" Biarin lah bu. Tidak ada ya bantu Mbak Airin. Biar Agung saja,"
Aku tersenyum kecil kepada adik kesayngkan ku ini. Memang aku yang paling dekat denganya, karena usia kami juga tidak terpaut jauh.
" Rin, benar apa kata Mbak Yanti tadi. Lebih baik si Agha itu suruh cari kerja lain saja. Walaupun ijazah SMP, setidaknya penghasilanya pasti begitu." lanjut ibu lagi.
Sebenarnya ada rasa tidak enak dalam hati, selalu ibu mengulik tentang profesi suamiku.
" Tetapi sejauh ini alhamdulillah hidup kami masih cukup bu,"
" Kamu itu susah dibilangin dari dulu Rin. Hidup hanya cukup saja dipertahankan. Dulu disuruh nikah sama Juragan Malik saja tidak mau. Umur empat puluh lima itu belum terlalu tua Rin. Jadi istri kedua juga tidak apa-apa asal berlimpah materi," ucap ibu bersungut.
Harta dan lagi - lagi karena itu.
" Andai Agung jadi perempuan pun, mending jadi perawan tua bu daripada nikah dengan Juragan Malik. Sudah angkuh, hobi bermain wanita. Berlimpah materi tapi bikin sakit hati. Idih," kata Agung yang mengundang tawa kecil dariku.
Ibu hanya melirik dengan sebal. Tetapi justru aku merasa terbela.
*
" Laris jualan cilokmu Gha ?" tanya bapak, saat Mas Agha momong Arsy.
" Alhamdulillah pak. Sejauh ini selalu habis,"
Bapak menyedot dalam dalam rokok kreteknya. Dan menghembuskan sembarangan layaknya juragan. Hal itu yang tidak aku suka saat Arsy ada didekatnya.
" Cario sampingan begitu. Jadi laki-laki itu harus punya harga diri. Apa anak istrimu akan terus menerus kamu ajak tinggal di rumah kontrakan ?" tanya Bapak.
Bang Agha menunduk. Ia sadar betul akan kewajibanya.
" Saya mengerti pak. Saya juga menabung pelan-pelan "
Jawaban Mas Agha justru mendapat respon tawa dari bapak.
" Semua laki-laki memang kebanyakan bersembunyi dibalik kata 'nanti'. Mau berapa puluh tahun kamu menabung dari hasil jualanmu cilok untuk membeli sebuah rumah ?"
Bapak memang begitu. Sifat dan perkataanya sedikit arogan.
" Apa lebih baik Airin menikah dengan orang lain saja. Agar lebih terjamin hidupnya ?"
Aku yang kebetulan akan mengantarkan minuman mendengar semua itu. Dadaku rasanya sesak. Selama ini aku terima dihina dalam kekurangan. Tetapi perkataan bapak barusan mampu meluluh lantahkan pertahananku.
Aku meletakan minuman dengan sedikit kasar. Membuat semua yang ada disitu tersentak.
" Cukup pak. Selama ini Airin sudah bahagia hidup bersama Mas Agha. Walau di rumah kontrakan, walau bersuamikan tukang cilok. Tapi itu semua halal. Dan Alhamdulillah selama ini kami tidak kekurangan," ucapku sambil menyeka air mataku.
Ibu yang melihat itu juga tersentak menghampiriku lalu menenangkanku. Tidak biasanya beliau seperti ini. Biasanya beliau selalu membela kedua kakak ku.
" Airin, bapak sebagai orang tua mu ingin kamu bahagia, hidup berkecukupan,"
" Lantas apa salahnya dengan Tukang Cilok, pak. Pekerjaan itu kan halal."
" Iya. Airin kan selalu beranggapan tukang cilok itu bos," kata suara yang aku kenal tiba-tiba datang. Mala.
" Pakdhe, Budhe maaf ya mengganggu. Aku kesini mau silaturahmi. Sekalian minta do'a mau liburan ke Menara Condong Pisa di Paris," kata Mala sambil sesekali merapikan gelangnya yang tampak berkilau membuat mata sakit.
Bukanya Menara Condong ada di Italia ? Apa sudah pindah ?
🍁🍁🍁
PART 4
Apalagi aku ragu dengan keaslian emas yang dipakai Mala. Rasa-rasanya emas aslipun tidak mengkilat seperti itu warnanya.
" Bos itu ya seperti suaminya Mala, Rin. Punya showroom mobil terkenal," kata bapak.
"Emang bapak pernah lihat showrom nya ? Airin saja tidak mengenalnya. Zaman sekarang banyak lho pak yang pura-pura kaya. Ngakunya punya mobil. Eh ternyata mobil rentalan. Ups," ucapku setengah tertawa sembari menutup mulut.
Mala menjebik ke arahku. Sukurin.
" Kenapa Airin menganggap Mas Agha itu bos ? Karena sekecil apapun usahanya dia tetap owner. Kita tidak pernah tau kehidupan kedepanya. Ingat tidak kisah tentang Bob Sadino ? Ah pasti Mala nggak tau. Di sekolah tidur saja sih," lanjutku penuh keyakinan.
Agung yang melihat dari jauh tampak mengisyaratkan jempolnya padaku, yang aku balas dengan senyuman kecil.
" Halah percuma pintar. Sekarang apa ?" jawab Mala dengan mengangankat bahu dan senyum sinis seolah meremehkanku.
" Setiap masa ada fasenya. Memang saat ini aku tidak berlimpah materi, tetapi setidaknya aku pernah membuat bangga bapak dan ibuku. Aku percaya tidak ada kebaikan yang sia-sia, sekecil apapun itu. Dan sejarah pasti terulang dengan cerita yang sama tetapi dengan pemeran yang berbeda,"
Semua diam. Bapak dan ibu tertunduk. Mungkin dalam hati mereka mengulik kisah saat aku masih duduk di bangku sekolah. Lelah bapak dan ibu terbayarkan, dengan senyuman bangga saat aku selalu menduduki juara satu.
" Sudah-sudah. Ayok Mala ikut makan. Kebetulan semua sudah matang ya bu ?" kata Bapak.
Ibu mengangguk. Memang begitu adat orang desa. Makanan bukan menjadi barang mahal untuk dibagikan. Sebenarnya memang Mala dan aku masih ada silsilah saudara. Nenek Mala dan Nenek ku adalah saudara kandung.
Mala tampak melihat seisi rumah. Celingak celinguk memandang di setiap sudutnya.
" Masih sama ya Pakdhe budhe. Rumah ini kan dulu yang merenovasi Mbak Yanti sama Mbak Devi ya. Sekarang giliran kamu dong Rin,"
Semakin aku geram dengan tingkah Mala yang berusaha menjatuhkanku di depan keluaragaku. Mengurusi yang seharusnya bukan urusanya.
Aku berkacak pinggang.
" Sebenarnya mau kamu itu apa sih ? Kenapa selalu ikut campur masalah orang lain ?"
" Tapi benar apa kata Mala Rin. Mana bakti kamu pada bapak dan ibu?" lanjut Mbak Yanti.
" Apa bakti anak selalu diukur dengan rupiah sih mbak ? Apa mbak tidak ingat dulu sewaktu menikah, Mbak Yanti dan Mbak Devi hanya ijab kabul. Sementara Airin, dirayakan. Karena bapak dan ibu belum 'mbubak'. Dan itu semua murni uang Airin semua. Uang dan barang setelah pernikahan, juga dibelikan sawah oleh bapak. Dan sekarang kalau dijual harganya mungkin lebih tinggi dari sekedar biaya merenovasi rumah ini," jawabku.
" Jadi kamu tidak ikhlas Rin ? Mengungkit - ungkit itu ?" tanya Mbak Devi.
Aku membuang nafas pelan. Sifat kedua kakak ku memang seperti sifat Bapak. Sedikit Arogan. Apalagi suami mereka cukup berpangkat. Suami Mbak Yanti adalah mandor di sebuah pabrik. Dan suami Mbak Devi adalah ASN di kecamatan.
" Bukanya aku tidak ikhlas mbak. Kalau aku tidak dipancing, rasa-rasanya aku juga enggan berkata seperti itu,"
Sekarang aku menoleh tajam ke arah Mala.
" Puas kamu Mala ? Menjadi duri dalam persaudaraan kami ?"
Mala tertunduk dan salah tingkah.
" Sudah-sudah, Kalian ini apa-apa an sih Mbak ? Sudah dewasa. Harusnya jangan umurnya saja. Tetapi juga dengan sikapnya. Dan Mbak Mala, kalau memang kehadiran mbak disini hanya berniat mengganggu kerukunan kami, lebih baik angkat kaki saja dari sini," ucap Agung dengan tegas yng mendapat respon tarikan tangan dari ibu yang mungkin merasa tidak enak hati dengan Mala.
" Sudah budhe, pakdhe tidak apa-apa. Lagipula, aku tidak berselera makan. Paling juga yang masak Airin kan. Tau nya pasti masakan desa. Mana tau dia makanan kota seperti yang aku bawa ini," kata Mala seraya menyodorkan sebuah kotak lalu membukanya.
" Ini namanya burger. Makanan dari Inggris," katanya sambil menunjuk isi dalam kotak. Aku teliti memperhatikanya. Roti berbentu bujur dengan isian sosis. Ah rasanya ini namanya hotdog. Lagipula bukannya burger berasal dari Amerika Serikat ? Apa pindah lagi seperti Menara Condong ?
" Ya sudah ya pakdhe budhe, Mala pamit dulu," katanya sambil melirik tajam ke arahku.
" Enak nih sepertinya," kata bapak. Langsung mencomot satu hotdog dari kotak.
" Jangan Dimakan...
🍁🍁🍁
PART 5
"Jangan dimakan," teriak ku lantang.
Semua menoleh ke arahku dengan tatapan heran. Aku mengambil satu hotdog dari tangan bapak. Lalu menunjukan ke semua orang.
" Lihat ini berjamur. Jangan dikonsumsi pak. Nanti justru sakit," cegahku.
Mbak Yanti mengambil alih hotdog itu dari tangan ku. Ia juga tampak menelitinya.
" Tidak apa-apa ini. Usus manusia sudah kebal Rin makan seperti ini. Lagipula kapan lagi ada seorang anak yang mengerti membawa sesuatu untuk orang tua saat berkunjung," ujar nya seraya melirik ke arahku.
Aku menunduk. Aku sadar ucapan Mbak Yanti adalah sindiran untuk ku. Aku memang tidak membawa tentengan tas ataupun oleh - oleh, Tapi tanpa mereka tahu aku menyelipkan uang kepada bapak dan ibu, walau jumlahnya tidak seberapa. Apa dengan cara yang ku lakukan, aku harus melakukanya kembali di depan kedua kakak ku. Aku tidak suka pribadi yang berlebih untuk dipamerkan. Biarlah ini menjadi rahasia ku dan Allah. Entah bapak dan ibu tidak menceritakan pada Mbak Yanti dan Mbak Devi atau bagaimana.
" Tidak. Jangan dimakan pak. Makanan ini bukan makanan mahal, sekarang banyak kok dijumpai dimana-mana. Biar Agung yang membelikan," kata adik bungsuku menengahi
" Keterlaluan si Mala itu. Kalau mau memberi orang itu harusnya yang baik. Hotdog berjamur juga dikasihkan," lanjut Agung dengan gerutuanya.
" Bukan hotdog Gung. Tapi burger asli Inggris," kataku sembari tersenyum.
" Ya itu orang bodoh yang pura-pura kaya."
" Sudahlah Le. Mungkin Mala juga tidak tau. Biasanya dia bawa makanan itu memang enak-enak dan bagus-bagus kok ke rumah Bu Sri,"
" Itu kan ke rumah orang tuanya bu. Apa memang gini caranya memperlakukan orang lain. Belum kaya saja sudah belagu. Sepertinya seorang Crazy rich pun tidak akan melakukan seperti itu,". Agung masih menggerutu tidak terima.
" Kamu itu tidak syirik saja kenapa sih Gung. Memang si Mala itu kaya kok. Lihat dari penampilanya. Sudah jelas dia kaya. Kamu seperti itu karena dia selalu mengolok-olok mbak kesayangan mu itu ?" Mbak Devi menoleh ke arah ku dengan senyum satu sudut di bibirnya.
Kini giliran Agung berkacak pinggang.
" Aku ya mbak sebagai satu-satunya anak laki-laki di rumah ini. Tidak terima. Seperti kita ini sampah yang diberi makanan berjamur,"
Mbak Devi membuang nafas pelan lalu menarik kursi bersiap untuk makan.
" Mbak kenal Mala kok orangnya seperti apa. Aslinya dia baik. Hanya mungkin karena di rumah ini ada orang yang tidak disukai jadinya dia bersikap seperti itu." ujarnya dengan santai.
Aku tercekat dengan ucapan Mbak Devi. Bisa langsung ditebak karena aku adalah orangnya. Kalau memang apa yang dikatakan Mbak Devi benar, alasan apa yang membuat Mala membenciku, padahala dulu kami berkawan lumayan akrab.
" Aku kan mbak ?"
Mbak Devi menoleh.
" Siapa lagi,"
" Apa aku saja yang angkat kaki dari rumah ini mbak ? Biarkan Mala yang duduk disini bersama kalian ?" tanyaku dengan mata berkaca-kaca. Sakit batinku diperbandingkan dengan orang lain oleh saudara kandung hingga sebegitu hina.
" Agung juga heran pada Mbak Yanti dan Mbak Devi, ada apa dengan Mala hingga kalian membelanya mati-matian daripada Mbak Airin, adik kandung mbak sendiri ? Hanya karena Mas Agha jualan cilok ? Kenapa ? Apa itu perbuatan memalukan ? Kalau Mas Agha maling itu baru kalian malu. Oh iya aku baru ingat, kalian sering diberi skincare oleh Mala kan hingga kalian bersikap seperti ini pada Mbak Airin ? Dasar Matre,"
Aku semakin terisak dengan segala ucapan Agung. Mas Agha menenangkan ku dari belakang sambil menggendong Arsy yang tertidur.
" Apa harga skincare lebih mahal dari persaudaraan kita mbak ?"
🍁🍁🍁
PART 6
Semua diam. Biasanya aku diam saat dihina, saat dibedakan. Tetapi kali ini rasa sesak sudah memenuhi rongga dada. Aku sakit, menjadi perbandingan bahkan dengan orang lain. Apa yang terlihat indah, belum tentu akan selalu indah bukan?
Suami ku seorang tukang cilok yang membuat mereka menganggapku berbeda adalah sosok laki-laki yang baik di kirim Allah untuk ku. Qodarulloh selama pernikahanku dengan Mas Agha, belum pernah sekalipun air mata ku menetes karenanya.
" Sudah, sudah. Bapak tidak mau selepas pulang dari sini kalian bermusuhan. Ayo minta maaf," perintah bapak dengan tegas.
Kami pun saling bersalaman. Tetapi entah ada rasa tulus dari dalam hati atau tidak.
Makan siang yang kami lewatkan juga terasa hambar dan dingin sebelum kedua kakak ku berpamit untuk pulang dulu.
" Jangan semua selalu kamu ambil hati, Rin. Pasti ada pembelajaranya juga," ujar bapak.
" Pembelajararan apa pak ? Pembelajaran kalau Airin harus bisa seperti Mala ?"
Bapak menyedot rokok kreteknya dalam-dalam.
" Kamu adik kandung Yanti dan Devi, kalu Mala saja yang orang lain bisa memenangkan hatinya, mestinya kamu juga bisa Rin,"
" Andai saja menyenangkan hati orang lain tidak melulu lewat materi pak."
" Maka dari itu kamu juga harus bisa Rin,"
" Airin lebih suka hidup apa adanya pak. Tidak mau memaksakan keadaan,"
Bapak beranjak berdiri.
" Ya itu salah satu pikiran yang menghambat dirimu tidak bisa maju,"
Karena di fikiran orang lain adalah penjuak cilok tidak akan bisa maju. Dan selalu di pandang sebelah mata.
***
" Mbak, pekan kesini lagi ya, Agung mau lamaran,"
Aku kaget bukan main, adik ku yang sering di olok tidak bisa move on dari Mala akhirnya menemukan calon istri juga.
" Alhamdulillah. Calon istrimu orang mana Gung ?"
" Dekat kok mbak. Tetangga desa,"
" Calon istri Agung itu bidan Rin. Dari keluarga terpandang. Kamu jangan membuat malu karena penampilan mu. Penampilan seorang istri itu mencerminkan suaminya. Pakai emas-emasan juga," titah ibu.
Emas ? Bahkan aku tidak suka mengkoleksi perhiasan. Hanya ada cincin kawin dulu.
" Oh iya Rin. Ibu lupa dulu kamu tidak diberi satu set emas ya oleh Agha. Hanya diberi cincin kawin,"
Aku melirik Bang Agha yang tertunduk. Ah ibu, perkataan mu yang menampar harga diri suami ku sama saja menampar harga diri ku.
" Tidak usah berlebihan bu. Keluarga Afifah itu tidak matre. Tidak melihat segala sesuatu dari materi," bela Agung lagi.
Aku yang semakin tidak tahan disini, segera berpamit pulang. Hal yang tidak lupa selalu ku selipkan amplop walau berjumlah ala kadarnya kepada bapak dan ibu setiap kesini.
" Segini lagi pak isinya,". Suara itu terdengar bahkan saat aku masih di pelataran rumah.
*
" Alhamdulillah dik. Abang dapat pesanan banyak," kata suamiku di suatu hari dengan penuh senyum sembari memperlihatkan sebuah pesan di aplikasi hijau.
1000 porsi cilok kuah @5000
Aku mengernyitkan dahi. Ada rasa senang juga dalam hati. Tapi modal yang dikeluarkan juga lumayan besar.
" Tidak minta dp dulu bang ? Ini banyak lho."
" Tidak usah dik. Abang yakin kok. Abang kan sering lewat rumah si empunya,"
Aku manggut - manggut.
" Tetapi boleh tidak abang pinjam tabungan kita dulu dik ? Nanti kalau sudah di bayar, abang akan ganti," ujar suamiku lirih.
Aku menyetujuinya. Tak apalah nanti akan bertambah juga tabungan itu setelah pesanan selesai.
Sepanjang hari, suamiku bersiul kegirangan. Baru kali ini kami mendapatkan pesanan begitu banyaknya. Dengan semangat kami membuatkanya. Juga tak henti - hentinya aku bersyukur atas segala karunia Tuhan.
" Abang bisa membawa cilok segini banyaknya ?"
" Apapun demi anak dan istri walau berat sekalipun akan terasa ringan," ujarnya sembari tersenyum.
Aku melepas kepergian suamiku dengan penuh do'a. Semoga setiap tetes keringat dalam mencari nafkah dibalas dengan surga. Aamiin.
" Cari siapa Bang ?" tanya seorang ibu sesaat Bang Agha sudah mengucapkan salam dari luar gerbang selama lima menit.
" Pemilik rumah ini, bu. Kebetulan kemarin pesan cilok,"
" Lah yang tinggal disini itu ngontrak bang. Kemarin sudah habis waktunya. Mereka pindah,"
Bang Agha menghembuskan nafas pelan. Dia langsung menelfonya. Tidak menyambung. Lalu via aplikasi hijau.
Centang satu. Tanpa foto profil.
Di blokir kah ?
🍁🍁🍁
PART 7
Bang Agha menyandarkan diri di tembok dengan lemas. Berkali - kali ia mengucap istigfar. Tetapi ia sadar harus segera pulang. Sepahit apapun istrinya harus tau kenyataanya.
" Bang, kok balik lagi ? Ada yang ketinggalan ?"
Bang Agha tidak menjawab, justru ia bersimpuh di kaki ku sembari menangis. Aku yang masih belum mengerti apa-apa, kaget sekaligus bingung.
" Berdiri bang. Jangan seperti ini. Aku istrimu. Tidak pantas rasanya,"
Aku dudukan Bang Agha pada kursi.
" Kenapa Bang ? Ada apa ?" tanyaku cemas.
" Kita tertipu dik. Orderan kemarin itu fiktif. Orangnya sudah pindah,"
Kini berganti aku yang menyandarkan diri pada kursi. Kenapa tega melakukan ini pada pedagang kecil seperti kami yang untungnya juga tidak seberapa.
" Semua kontak abang diblokir dik,"
" Abang masih menyimpan nomornya ?"
Bang Agha mengangguk, lalu menyerahlan ponselnya padaku. Segera aku save nomor nya di handphone ku. Dalam akun di aplikasi hijau hanya ada foto profil gambar kartun. Dan kini aku mencoba menghubungi nya.
Centang satu.
Kemungkinan memang nomor ini sudah tidak dipakai. Ya Tuhan bagaimana kiranya cara agar kami bisa ikhlas ?
" Ya sudah bang. Ini dibuat pembelajaran saja. Mungkin ini memang bukan rezeki kita," ucapku menyemangati Bang Agha walau hatiku sendiri hancur berantakan.
" Aku yang salah dik. Aku terlalu percaya pada orang lain,"
Aku menghela nafas pelan. Memejamkan mata. Berat memang bagi pedagang kecil seperti kamu. Tapi memang disini kami sedang diuji.
" Saat ini bukan waktu untuk saling mempermasalahkan bang. Saat ini adalah waktu dimana kita dituntut untuk ikhlas,"
" Tetapi kita sudah kehabisan modal dik. Bagaimana kita akan jualan lagi ?"
Belum sempat aku menjawab pertanyaan Bang Agha, ponselku berbunyi. Bunyi pesan dari aplikasi hijau.
[ Hay Rin, Maaf ya kejadian tempo hari. Kita meet up yuk. Sekalian aku bawa oleh-oleh dari Menara Condong ]
Mala
" Aku izin keluar dulu ya bang. Mala mengirimi ku pesan, meminta maaf atas kejadian tempo hari. Kalau bisa sekalian aku minta tolong untuk meminjami modal bang,"
Aku bergegas menuju tempat yang kami janjikan. Mala tampak sumringah ketika aku datang. Ia melambaikan tangan padaku.
" Mukamu lesu Rin ?" tanya Maya dengan senyum yang tidak mengendur dari wajahnya.
" Suami ku habis kena tipu Mal. Dia mendapat orderan fiktif. Nih aku bawakan ciloknya. Daripada dibuang,"
Seketika ekspresi Mala berubah. Ia tertawa terbahak-bahak seperti kegirangan. Apa maksudnya ?
Aku menunduk. Menyembunyikan wajahku yang ingin menangis menjadi bahan lelucon.
" Oh oh maaf. Ini aku bawakan oleh oleh dari menara condong," kata Mala. Tapi aku tidak melihat ia membawa sesuatu. Hanya tas kecil biasa. Lalu ia mengeluarkan sesuatu dari sana.
" Nih oleh-oleh dari menara pisa,"
Aku terbelalak kaget. Menahan tawa. Gantungan kunci. Bahkan bukan menara condong.. Tapi Menara Eiffel.
" Disini pasti tidak ada yang menjual beginian. Mahal ini, Rin,"
Padahal di pasar juga banyak. Harga dua ribuan. Oh Mala, kamu itu seperti misteri.
Walaupun begitu, aku tetap menghargainya. Tak lupa aku mengucapkan terimakasih.
" Aku boleh minta tolong Mal ?"
" Minta tolong apa Rin ? Bilang saja," katanya seraya mengelus-elus gelangnya yang berjejer.
" Boleh aku pinjam uang untuk modal suamiku dagang lagi Mal ?"
Mala menoleh padaku dengan tersenyum sinis.
" Bukanya aku tidak boleh. Tapi aku tidak yakin kalian bisa mengembalikanya. Berapa sih penghasilan dari jualan cilok ?" tanyanya meremehkan.
Oh Tuhan, ternyata Engkau menguji kesabaranku lagi. Aku geram dibuatnya. Pinjam tidak di beri. Tetapi justru dihina.
" Setidaknya penghasilan suamiku kalau sekedar untuk membeli gantungan kunci sepetrti ini bisa dapat sepuluh," ucapku geram.
🍁🍁🍁
PART 8
Aku melangkah pergi dengan geram. Biarlah dia bertanya dengan diri sendiri seperti apa kebodohanya itu.
" Bagaimana dik ?" tanya Bang Agha.
Aku menghela nafas kasar.
" Kita salah bang. Mengharap pertolongan dari simbahnya dedemit,"
" Mala ?"
" Iya bang. Siapa lagi. Dikasih juga tidak. Justru dihina. Bilang aja dia aslinya itu tidak kaya. Dramaqueen,"
Aku menyandarkan diri di kursi. Ku lihat Arsy masih terlelap. Ada rasa bersalah jika kelak Arsy besar, aku tidak bisa menjamin masa depanya. Aku harus bangkit. Tapi entah darimana mulainya.
" Dik, bagaimana kalau cilok cilok ini kita bagikan pada tetangga. Dan juga buat bapak dan ibu ?"
Aku setuju. Biarlah mungkin kali ini, Tuhan sedang memintaku untuk berbagi. Seperti yang aku pernah hilang tidak ada kebaikan yang sia-sia. Sekecil apapun itu.
Motor butut kami berhenti di pelataran rumah. Ku lihat bapak dan ibu sedang bersantai di teras. Tetapi seperti biasa, tidak ada yang menyambut kami dengan senyuman.
Kami tetap menyalami mereka dengan takzim.
" Bapak ibu, ini kami bawakan cilok kuah, Airin taruh dapur ya ?"
" Tumben. Hari ini nggak laku ?" tanya bapak sinis.
Aku menunduk.
" Kami tertipu orderan fiktif pak," jawab Bang Agha tertunduk.
" Kerugianya besar ?" tanya bapak semakin dingin.
" Lumayan pak. Tapi alhamdulillah bukan hasil hutang,"
" Sama saja. Lalu setelah ini kamu mau memberi anak saya makan apa ? Kalau kamu tidak bisa bertanggung jawab sebagai lelaki, Airin dan Arsy biar tinggal disini," kata bapak lalu beliau masuk ke dalam rumah.
Ibu pun melihat kami dengan raut wajah kecewa, lalu menyusul bapak ke dalam.
Oh Tuhan, kenapa di saat kami jatuh dan butuh dukungan, justru orang tua ku seakan membuatnya menjadi kian terpuruk ?
Tidak berselang lama, sebuah mobil sedan datang. Itu pasti Mbak Devi. Kebetulan sekali saat aku kesini, dia juga datang.
" Mbak, kebetulan datang. Ini Airin bawa cilok banyak,"
Dia menatap ku keheranan.
" Tumben,"
" Lagi di coba sama Yang Punya Hidup, mbak. Dapat orderan fiktif,"
" Nggak usah sedih. Itu resiko nikah sama penjual cilok. Disuruh nikah sama yang gajinya pasti saja nggak mau," katanya sinis lalu berlalu masuk ke dalam.
Ada rasa hangat menjalar di netra. Selaksa air mata yang terbendung ingin jatuh.
" Kita pulang saja bang. Kita bagi pada pengamen atau anak jalanan,"
Belum sempat kami menaiki motor, Agung datang.
" Loh mbak, mas. Kok mau pulang ?"
Agung melirik kantong kresek yang kami bawa dengan banyak cilok kuah.
" Banyak sekali bawa ciloknya mbak. Mau dijual ?"
" Kami tertipu gung. Dapat orderan fiktif, daripada mubazir rencananya ingin kami bagikan tapi..."
" Sudah mbak. Agung tau apa yang terjadi,". Sepertinya ia memang mengerti keadaan, apalagi saat tau Mbak Devi ada di dalam.
Dengan bantuan Agung, kami membagikan cilok pada tetangga, pengamen, pengemis hingga habis tak bersisa.
" Alhamdulillah,"
" Mbak, mas mampir yuk ke rumah makan itu. Aku pengem banget nyobain. Agung traktir deh. Itung itung syukuran gajian,"
Aku tersenyim kepada adik bungsuku itu. Ucapan nya memang kadang ceplas -ceplos tapi hatinya tulus.
" Mbak, Mas. Kali ini Agung tidak ada maksud apa-apa. Aku dan Afifah berancana akan mensodakohkan uang kepada yang membutuhkan sebagai ungkapan syukur kami karena akan memasuki proses khitbah. Tadinya Agung bingung, akan memberikan kepada siapa. Tetapi setelah bertemu kalian, Agung yakin ini adalah rezeki kalian," kata Agung seraya menyerahkan amplop yang bagiku lumayan tebal.
Aku dan Mas Agha tidak sanggup berkata apa-apa lagi. Dia hadir sebagai adik bak malaikat.
" Terimalah. Ini rezeki dari Allah untuk kalian melalui aku sebagai perantaranya. Semoga bisa memjadi modal lagi ya Mas,"
Tak henti - hentinya kami mengucap syukur dan terimakasih.
" Oh iya besok pekan datang ya mbak ke cara khitbah ku. Tadi Mbak Dwvi sudah mengukur untuk seragam kan ?"
Aku bingung harus menjawab apa karena memang Mbak Devi sama sekali tidak membicarakan itu. Ah biarlah. Mungkin ia samakan dengan bajunya. Badan ku dan Mbak Devi tidak jauh berbeda. Pun dengan suami nya.
" Mas," panggil Bang Agha yang memanggil tukang parkir. Aku mengamati lelaki itu, rasanya aku mengenal nya. Apa benar dia suami Mala ? Mirip sekali.
" Bang itu bukanya suami Mala ?" tanyaku.
" Katamu suami Mala namanya Dion. Itu tadi ada pelanggan panggil dia ' Mas Mur ',"
Mungkin aku salah orang dia memakai topi jadi tidak begitu jelas wajahnya....
🍁🍁🍁
PART 9
Aku dan Bang Agha membuka amplop pemberian Agung dengan bismillah. Dan Kuasa Allah, jumlahnya lebih besar dari kerugian yang aku perkirakan. Ujian Allah hanya sebesar lubang jarum, tapi anugrah dari Nya seluas samudra.
" Bang bagaimana kalau kita membuat inovasi baru ?"
" Maksutnya dik ?"
" Ya kita selama ini kan hanya membuat cilok bumbu kacang sama cilok kuah. Kita buat yang lain begitu ? Cilok goreng, Cilok beranak, Cilok bumbu Rujak. Kita promosikan di internet . Kan di aplikasi biru sekarang banyak grup - grup kuliner begitu,"
" Terserah kamu saja dik. Abang ikut aja sama magnet rezeki,"
Kini aku kembali lagi aktif di dunia maya. Aku mulai gencar mempromosikan inovasi baru kami. Dan Qodarulloh, postinganku banyak mendapat reapon positif. Orderan pun berdatangan. Dan tentu kami lebih selektif lagi agar kejadian tempo hari tidak terulang lagi.
[ Rin, besok memakai baju berwarna abu-abu ]
Begitu titah Mbak Devi melalui pesan di aplikasi hijau.
' Mungkin ada kendala pada seragam,' pikirku saat itu.
" Bang, kita tidak punya ya baju berwarna abu-abu untuk acara khitbah Agung besok ?"
" Kita beli saja bagaimana dik. Abang bahkan lupa kapan terakhir kali kita membeli baju. Sekalian mencari tambahan hantaran untuk dibawa ke calon istri Agung,"
Aku setuju dengan suamiku. Kami pergi ke pasar kota, walaupun harus ada kegiatan tawar menawar, setidaknya lebih murah dibandingkan dengan mall.
Setelah berkeliling, kami menemukan sebuah baju couple keluarga berwarna abu-abu. Untuk istri dan anak ada perpaduan brukat atasnya.
Saat transaksi jual beli, tidak sengaja tanganku menyikut seseoramg.
" Eh, maaf mbak,"
Wanita itu menoleh.
" Mala ? Ketemu kamu lagi ? Hmmm,"
" Aku juga tidak ada nuatan untuk bertemu kamu Rin. Jangan ge er kamu,"
" Kenapa belanja disini ? Katanya Sultan ? Beli nya di Chann*l atau Di*0r dong. Kok ikut hiruk pikuk di pasar ?"
" Terserahku dong mau belanja dimana. Aku itu lagi bosan belanja dengan bungkus paperbag. Lagi pengen belanja dibungkus plastik. Biar seperti istri tukang cilok," ucapnya sambil berlalu pergi.
" Sudah lah dik. Tidak perlu diladeni," kata Bang Agha
Aku masih mencibirkan bibir.
" Bu, emang tadi wanita itu beli apa ?" tanya ku pada sang penjual karena penasaran.
" Beli celana dalam satu aja, nawarnya sadis neng,"
Aku tertawa dalam hati. Mala mala, kalau memang kamu kaya mengapa aneh sekali sifatmu. Halu mbak ?
*
Akhirnya hari khitbah Agung tiba, kami bersiap-siap untuk ke rumah ibu. Aku pakaikan Arsy dengan bawahan senada dengan aku dan Mas Agha dan atasan brukat ditambah hiasan sabuk berbentuk pita di pinggangnya yang senada dengan bando di kepalanya. Lucu sekali.
" Ayok dik. Takut nanti tertinggal." teriak Bang Agha.
" Iya bang. Sudah selesai,". Aku keluar dari kamar. Sementara Bang Agha menatapku dengan melongo.
" Ada yang aneh bang ?"
" Kamu cantik dik. Seperti dandan di salon,"
" Ah ini mah make up murahan bang. Tidak seperti skincare yang dipakai orang lain,"
" Kalau seperti ini, bukan seperti istri tukang cilok dik,"
" Lalu ?"
" Juragan Cilok,"
***
" Bagaimana sih kamu Dev ? Lihat sisi kanan dan kiri bajuku panjang nya tidak sama," gerutu suara Mbak Yanti yang aku dengar dari luar.
" Jangan banyak omong deh mbak. Punyaku justru kekecilan,"
" Lihat punya ibu justru kependekan di bagian bawah. Kamu itu tidak becus memilih penjahit,"
Aku ucapkan salam kepada mereka, walau aku sudah mendengar keributan itu dari luar.
" Airin ?
Mereka semua keheranan menatapku dan keluarga kecilku.
" Wah seragaman ya ? Kok aku tidak diberi ? Eh tapi tidak apa apa deh. Daripada modelnya begitu. Sesak seperti lontong," kataku dengan raut wajah sedikit meremehkan.
🍁🍁🍁
PART 10
Mereka menatap kesal ke arah ku. Tapi aku sama sekali tidak perduli itu. Mungkin ini saatnya aku untuk tega.
" Mbak Airin, tidak diberi seragam ?" tanya Agung.
Aku menggeleng.
" Keterlaluan sekali," kata Agung dengan tangan mengepal.
Aku menahan tanganya untuk menghampiri Mbak Yanti dan Mbak Devi.
" Jangan Gung. Lagipula kami lebih senang berpakaian seperti ini. Daripada seperti lontong begitu."
" Tapi aku tidak bisa tinggal diam. Mbak Airin diperlakukan berbeda,"
" Mbak, kenapa Mbak Airin tidak diberi seragam ? Padahal Agung sudah menjatah kan kain untuk keluarganya ?"
Mbak Devi mengibaskan tangan.
" Ah sudahlah Gung. Paling juga mereka tidak mampu untuk menjahit bajunya. Lihat sekarang kami kebingungan. Baju jahitan kami tidak sesuai,"
" Asal kalian tau, Baju yang dikenakan keluarga Mbak Airin jauh lebih baik dari sekedar ini mbak,"
Agung menutup mukanya.
" Ya Allah,"
Dia seperti lelah menghadapi perbandingan antar keluarganya.
" Gung, sudahlah ini hanya seragam. Yang terpenting acara khitbah mu. Bukan pakaianya," ujar Bang Agha menyemngtinya.
" Rin, bawa apa saja kamu ?" tanya ibu.
" Ini bu, nanti dibuat tambah hantaran. Ada buah, aneka kue juga,"
" Ini kue masih layak kan ? Kamu nggak beli dipasar kan ?"
" Ini kue baru tadi pagi aku pesan dari temanku bu. Insya Allah fresh,"
" Tumben tidak bawa kue kiloan," ujar ibu. Tetapi aku tidak mau menanggapinya.
Acara khitbah Agung berjalan lancar. Keluarganya sangat santun dan ramah. Lalu Afifah pun memperkenalkan diri pada kami.
" Ifah, ini Mbak Yanti dan ini Suaminya Mas Bahrum, dia mandor pabrik. Lalu sebelahnya Mbak Devi dan suaminya Mas Jaya, jadi ASN di kecamatan. Dan itu Mbak Airin dan suaminya Mas Agha, jadi tukang cilok," kata ibu menyebutkan anggota kelurganya tapi ada kalimat lirih di akhir beliau menyebutkan profesi suamiku.
" Tak apalah ya. Cuma satu kok yang jadi tukang cilok," kata ibu lagi.
" Wah kebetulan itu makanan favorit Ifah. Mbak Airin tidak membawakan cilok untuk Ifah ?" goda Ifah.
" Kamu mau ? Ayok atuh kapan-kapan main ke rumah. Kamu bisa makan sepuasnya,"
" Wah boleh-boleh. Janji ya mbak,"
Afifah seorang bidan. Tapi dari cara bicaranya, ia menghormati siapa saja. Tanpa membedakan strata sosial
*
" Mbak, nanti kalau acara pernikahan ku, Agung tidak mau seperti ini. Satu berseragam semua juga harus berseragam. Tidak ada perbedaan."
" Mulai membela kakak kesayangan," ujar Mbak Yanti.
" Bukan membela mbak. Tapi memang kalian salah. Dan mungkin petaka baju ini karena kalian kualat dengan Mbak Airin."
*
" Alhamdulillah ya bu. Menantu kita orang berada. Hanya satu yang hemm begitulah,"
Aku mendengar obrolan ibu dan bapak dari balik dinding.
" Iya pak. Andai saja Airin tidak nikah dengan tukang cilok itu, mungkin sekarang ini kita sudah menjadi keluarga priyayi,"
Oh Tuhan. Jadi bapak dan ibu ingin bergelar priyayi. Tetapi riwayat mereka hanya lah petani. Yang kebetulan berada itu adalah menantunya. Bagaimana mereka beranggapan seperti itu ?
" Rin Airin," teriak Mbak Devi.
" Iya mbak,"
" Itu suami mu kenapa lihat Mala lewat kok langsung naik motor kayak mengejarnya ?"
Aku kaget. Kenapa Bang Agha. Ada masalah kah ? Mengapa tidak cerita dengan ku sebelumnya.
" Awas lho nanti kepincut si Mala. Dia lebih kaya. Jaman sekarang kok hidup miskin saja setia," kata Mbak Yanti.
Aku tidak begitu saja percaya dengan ucapanya. Karena aku tau bagaimana Bang Agha.
Sudah setengah jam aku mondar - mandir di teras dengan cemas. Dan tidak berselang lama, akhirnya deru kendaraan Bang Agha mendekat.
" Darimana sih Bang ?"
" Mengejar Mala dan temanya dik. Temanya itu yang tempo hari menipu kita,"
Degg. Apakah Mala ada dibalik ini semua ?
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
