PESONA ISTRI TUA 1-10

0
0
Deskripsi

Aku kira lebih baik menjadi yang kedua tetapi diutamakan. Daripada menjadi yang pertama namun di duakan.

 

Tetapi ternyata aku salah. Kakak maduku tidak selemah itu.

PART 1


Gemuruh suara tepuk tangan memenuhi ruangan. Para hadirin menyunggingkan senyum bangga. Di depan sana, seorang wanita cantik menjadi pusat perhatian. Dia wanita yang dapat menaikan statistika Aditama Group melesat tajam. Presiden Direktur. Pucuk pimpinan Aditama Group. Perusahaan milik suamiku.

 

 

Dia adalah istri tua suamiku...

 


Aku kira menjadi yang kedua akan selalu bahagia. Dengan perhatian Mas Tama yang sudah pasti akan selalu condong kepadaku. Dulu aku berpikir bahwa lebih baik menjadi yang kedua tetapi diutamakan. Daripada menjadi yang pertama tapi di duakan.

 

Tetapi ternyata aku salah...

 

Aku mengira istri tua hanya akan bisa menangis, lemah dan tak berdaya. Seperti cerita cerita di film itu. Namun lagi lagi aku salah. 

 

Seorang Arumi Winata, wanita sekuat karang di lautan. Walau berkali kali benturan, sayatan mengarah pada dirinya. Nyatanya dia tetap berdiri dengan kokohnya.

 

Andai aku menjadi Mas Tama. Mungkin aku tidak menduakan wanita tanpa cela seperti Arumi. Walaupun mustahil seorang manusia tanpa cela. Mungkin Allah menutup dengan sempurna aib aib pada diri Arumi. Karena aku tau dia adalah seorang hamba yang selalu mengingat Sang Pencipta nya.

 

Kini disini, di tempat ini. Aku haru sekaligus malu. Seorang wanita yang dengan sengaja ku masuki rumah tangganya,  melesat jauh di depan ku dengan segala prestasi dan kehebatan yang ia torehkan.

 


*


Gemerincing suara perhiasan aku padukan dalam tanganku. Gaun yang menjuntai indah hingga lantai menambah sempurna penampilan hari ini. Ku tunjukan pada semua orang bahwa calon suami ku bukan orang sembarangan. Pesta mewah di gelar di hotel berbintang lima dengan fasilitas VVIP.

 

" Selamat menjalanakan ibadah terpanjang dalam hidup," ucap seorang wanita seraya mengajaku berjabat tangan. Wanita bergamis coklat dengan dipadukan jilbab kuning nya. Penampilan yang menurutku terkesan kolot. Entah dia siapa hingga Mas Tama mengundang wanita kampungan seperti itu di pesta mewah ini.

 

Dengan enggan aku menyambut uluran tangan itu dengan senyum yang ku paksakan. Kurasakan tanganya yang kasar. Membuat aku enggan memyentuhnya lama lama.

 

" Semoga kita bisa rukun," ucapnya seraya meninggalkanku.

 

Siapa wanita itu ? Atau mungkin dia Arumi ? 


Aku tertawa dalam hati, kalau memang benar itu Arumi, betapa malangnya nasib Mas Tama beristrikan wanita yang tidak pandai mengurus diri sendiri. Wajarlah Mas Tama memilih menikahiku. 

 

Perempuan lemah tanpa daya dan upaya itu pasti dengan mudah aku singkirkan. Karena wanita seperti itu hanya bisa menangis dan terus menangis seperti di sinetron itu.

 


*

 


Lima hari aku habiskan bersama Mas Tama berbulan madu di Singapore. Aku manjakan dia. Aku berikan service terbaik. Agar perhatianya tidak lepas dari diriku.


Sebenarnya tidak perlu berlebihan. Hanya disejajarkan saja dengan Arumi, sudah pasti Mas Tama jauh lebih memilihku. Aku juga tidak tahu mengapa dia tidak menceraikan saja si Arumi. Tetapi tidak masalah bagiku. Karena aku pasti lebih unggul daripada istri pertamanya.

 


" Agnes, kita pulang ke rumahku ya ? Serumah dengan Arumi tidak apa apa kan ?"

 

" Tidak apa apa dong mas, asal bisa serumah dengan mas Tama," jawabku bergelayut manja di lenganya.

 

Sebenarnya bukan itu alasanya. Kalau aku lebih memilih tinggal di rumah lain, belum tentu Mas Tama memberiku istana sama seperti yang ia tinggali bersama Arumi.

 


Pintu gerbang terbuka. Security memberikan penghormatan. Beginikan rasanya menjadi istri konglomerat ? Terasa indah.

 

 

" Papa,"

 

Seorang anak laki laki berlari menghampiri kami. Lalu Mas Tama menggendongnya. Sudah pasti dia anaknya. Sebenarnya aku sedikit tidak suka dengan anak kecil. Ribet. Mau dibilang ibu tiri yang jahat, biarkan saja. Toh disini juga masih ada ibu kandungnya. Tetapi harus ku paksakan bahagia denganya jika bersama Mas Tama.

 

" Hallo sayang. Namanya siapa ?" tanyaku dengan mencowel pipi gembulnya.

 

" Tante siapa ?". Aku tidak bisa memjawabnya. Tidak mungkin aku berterus terang kalau aku adalah ibu tirinya. Dia pasti belum mengerti. Aku melirik ke arah Mas Tama. Tampak dia juga kebingugan.

 


" Tante Agnes ini sekarang jadi adiknya Mama. Rizki salim dong sama tante,". Arumi tiba tiba datang dari arah dapur. Dan dia maaih sama. Masih terlihat kampungan dengan daster panjangnya. Tetapi dari gaya bicaranya dia terlihat perempuan yang baik. Pasti  dia juga seorang perempuan yang lemah yang mudah aku perdaya.

 

 


" Masak apa Rum ?" tanya Mas Tama.

 

" Kepiting asam manis, mas."

 

" Wah enak ini. Makan yuk sayang," ajak Mas Tama menggandengku ke meja makan.

 

Aku enggan sekali melangkah. Apalagi dengam menunya. Membayangkan saja sudah tidak berselera.


Aku diam mematung di tempatku. Tanpa menyendokan apapun di piringku. Aku pikir seorang pucuk pimpinan Aditama Grup akan tersaji begitu banyak hidangan. Nyatanya hanya ada nasi, lauk, air putih dan buah ala kadarnya.

 

" Kamu tidak makan, Nes ?" tanya Mas Tama.


" Aku tidak suka seafood mas," ucapku lirih.


" Oh. Di kulkas mungkin ada tahu tempe. Kamu bisa masaknya,"

 


Aku melongo. Di rumah semewah ini, di kulkas hanya ada tahu tempe. Apa tidak ada ayam atau daging gitu.

 

" Kenapa mas ?" tanya Arumi.


" Agnes tidak suka seafood," jawab Mas Tama sambil menggerogoti kepitingnya.

 

' Konglomerat kalau makan seperti orang susah,' batinku.

 

" Di kulkas ada tahu tempe. Kamu bisa memasaknya. Ma af ya aku hanya memasakan anak dan suamiku. Jadi bisa sendiri kan ?" kata Arumi.

 

Sebuah perlawanan yang cukup berani. Tetapi tunggu dulu. Aku bisa membalasmu lebih dari ini. Mau tidak mau aku mengambil tahu di kulkas daripada aku kelaparan.


Srenggg...

 

Aku mulai memasukan tahu ke wajan. Minyak meletup kemana mana. Aku langsung mengambil jarak dari wajan itu.

 

" Ya Allah. Kamu bisa memggoreng tahu atau tidak sih ? Jangan besar besar apinya," tanya Arumi dengan ketus.

 

" Biar cepat matang," jawabku enteng.

 

" Kalau apinya besar, luar nya saja yang matang. Dalamnya masih mentah. Nanti kamu bilang ke Mas Tama suruh carikan guru les privat untuk masak. Aku tidak ada waktu untuk mengajarimu. Kamu disini bukan diperlakukan seperti ratu," kata Arumi dengan berani.

 

Tanganku mengepal. Dengan sengaja dia menabuh genderang perang denganku.

 

🍁🍁🍁

 

PART 2

 

Malam ini Mas Tama masih memilih tidur di kamarku. Sengaja aku punggungi dia. Kesal juga dibuatnya. Makan malam hanya berlaukan tahu. Walaupun statusku adalah istri konglomerat. Ternyata tidak beda jauh dengan kehidupan saat menjadi anak kos dulu.

 


Aku menggeliyat diatas ranjang empuk ini. Ku lirik Mas Tama sudah tidak ada disebelahku. Ternyata waktu sudah menunjukan jam sembilan pagi. Rupanya perasaan yang kesal membuatku lelap tertidur.

 


Aku menuruni tangga masih menggunakan pakaian tidur. Ku lihat Arumi sedang menonton televisi dengan anaknya. Aku fokus menuju ruang makan. Ku buka tudung saji. Dan ternyata zonk. Tidak ada sesuatupun makanan di meja makan.

 

 

" Mbak, bibi kemana ? Kok tidak ada makanan sama sekali di meja ?" tanyaku pada Arumi.


" Bibi ?". Ia menautkan alis. Mengernyitkan dahi tampak kebingungan. Lemot juga orang ini.

 

" Hemmn pembantu mbak," jawabku dengan kesal.


" Oh. ART ? ART nya ya kita sendiri." jawabnya enteng.

 

Aku bingung. Apa aku dinikahi hanya untuk dijadikan babu ? Apa istri seorang direktur utama harus mengerjakan apa apa sendiri ?

 

" Kamu pasti bingung. Sini aku jelaskan. Jadi disini tidak ada ART. Karena itu sudah peraturan dari Mas Tama.  Berhubung sekarang dia hadirkan kamu menjadi temanku di rumah ini, maka kita juga harus berbagi tugas. Karena aku senior disini, maka aku yang berhak membuat keputusan. Kamu membersihkan lantai dua, aku lantai satu. Dan untuk masak, kita bergilir. Seminggu aku kemudian seminggu kamu. Tetapi kita hanya memasakan Mas Tama saja. Jadi kalau kamu bertanya tidak ada makanan di meja makan, itu karena aku hanya memasak untuk diriku, anak ku dan juga suamiku. Untuk kamu, silahkan masak sendiri. Paham kan ?"

 

Aku melongo dibuatnya. Peraturan macam apa ini. Aku dinikahi bukan untuk menjadi babu.


" Kenapa diam ? Sudah pahamkan ? Sayang sama cantiknya kalau tidak mengerti juga," kekeh Arumi disertai tawa kecilnya yang aku rasa ia tengah mengejek ku.

 


Aku harus memainkan trik agar Mas Tama mencabut peraturan konyol di rumah ini. Bisa meledak kepalaku kalau diperlakukan seperti pembantu. Aku menikahi Mas Tama untuk mengangkat derajat hidupku, bukan untuk di rendahkan lagi.

 


*

 

" Nes, ini sudah mau jam nya Mas Tama pulang lho. Lantai dua masih belum kamu bersihkan ?" tanya Arumi.


Aku hanya melirik ke arahnya dengan muka sebal. Kata-katanya lembut tetapi entah mengapa seperti mak lampir bagiku.

 

Dan...
Oh Tuhan betapa berantakanya lantai dua ini, mainan berserakan kemana mana. Auww kakiku menancap pada mainan mobil katrol. Benar benar ingin ku panggang si anak Arumi itu.

 


" Mbak mbak Arumi,". Ku edarkan pandangan ke seluruh ruangan untuk mencari ibu dan anak sialan itu.


" Iya," jawabnya singkat keluar dari kamar kemudian menghampiriku.

 

" Ada apa ? Bisa dikecilkan volume suaramu itu ? Ini rumah bukan di hutan,"


Aku mendengkus kesal.


" Di lantai atas banyak mainan berserakan. Pasti mainan Rizki. Kenapa tidak dibereskan ?" tanyaku kesal.


" Lhoh, bukanya membersihkan lantai dua itu tugas mu, Nes ?"


Aku semakin kesal dibuatnya. Pembawaanya tenang, tegas dan kata katanya yang lugas hingga seakan menampar harga diriku.


" Tapi kan Rizki bukan anak ku mbak. Mbak dong yang harus tanggung jawab,"


" Oh masalah itu. Ini telfon Mas Tama. Dia yang menyuruh Rizki bermain di atas agar tidak lari ke halaman," ucapnya seraya menyerahkan handphone miliknya. Sebuah penghinaan bagiku.

 

" Tidak perlu," jawabku ketus, dan pergi dari nya.

 


Aku meghembuskan nafas pelan.

' Sabar Agnes. Sabar. Ini baru awal. Lambat laun mereka pasti yang akan bersujud di kakimu,' gumamku dalam hati menyenangati diri sendiri.

 

*

 

Mas Tama pulang lebih awal dari biasanya. Belum berganti baju, dia sudah mengumpulkan aku dan Arumi di ruang keluarga.


Mataku cerah seketika saat Mas Tama membawa dua amplop yang biasanya untuk membungkus uang.

 

" Hari ini, Mas akan menyerahkan uang bulanan untuk kalian,"


Bibirku yang sedari mengkerut menjadi tersenyum lebar.

 

" Ini untuk Arumi dan ini untuk Agnes. Besarnya sama satu juta lima ratus."

 

" Alhamdulillah terimakasih ya mas. Semoga rezekinya berkah," kata Arumi


What ? Satu juta lima ratus ? Untuk beli skincare ku pun tak cukup. Aku ini menikah dengan seorang bos atau seorang bawahan bos ?


🍁🍁🍁


PART 3


" Uang satu juta lima ratus, tidak cukup mas. Belum belanja bulanan, buat makan, untuk perawatan, skincare. Jauh dari kata cukup," ucapku sedikit kesal.

 

Bagaimana bisa Arumi bilang terimakasih. Namun kenyataanya nafkah ini jauh dari kata cukup. Pantas  penampilan Arumi seperti itu. Uang bulanan belum tentu cukup untuk makan.

 

" Agnes, ma af mas belum bercerita dengan mu tentang peraturan ini. Jadi mas ingin istri istri mas ini berhemat. Nasib orang tidak ada yang tau. Mas takut kalau sekarang terlalu memanjakan kalian, lalu mas terjatuh, kalian kaget dengan kehidupan baru."

 


" Jadi mas berdo'a agar bangkrut begitu ?"

 

" Siapa yang mau bangkrut, Nes. Mas hanya bilang nasib orang tidak ada yang tau. Juga dengan umur seseorang,"

 


Belum juga tua sudah mikir mati. Bagaimana ini ? Apakah aku harus bekerja agar uang dari Mas Tama bisa cukup ?

 

Tidak tidak. Aku harus menepis pikiran itu. Aku menikah dengan Mas Tama agar hidupku tidak susah lagi. Aku harus memikirkan cara nya.

 

 

*

 


Aku masih diam saat Mas Tama menghampiriku di kamar.

 

" Nes, kamu marah sama mas ?"

 

Aku menggeleng. Dengan bibir yang cemberut.

 

" Kamu tidak biasanya seperti ini Nes. Kamu biasanya ceria."

 


" Mas, aku tidak tahan dengan peraturan konyol di rumah ini. Termasuk juga dari mas. Mas itu seorang bos besar. Kenapa keluargamya diperlakukan seperti orang susah ?".

 

 

Mas Tama justru tertawa kecil. Memperlihatkan giginya yang rapi dan bersih. Di usianya yang sudah kepala empat, aku akui memang sisa ketampananya masih terpancar.

 

" Hey, ini baru dua hari kamu di rumah ini Nes," 

 

" Aku serius mas,"

 


Mas Tama langsung diam seketika. Mimik wajahnya berubah serius. 

 

" Kalau begitu besok mas urus perceraian kita,"

 

Degg. Bagai disambar petir. Semudah itu dia mengucap cerai. Walau dia pelit, tetapi aku tahu hartamya tidak akan habis dimakan tujuh turunan. Aku tidak bioleh membiarkan ini terjadi. Aku harus masuk dalam daftar ahli waris Wirya Aditama.

 


" Mas kok gitu ?" tamyaku manja bergelayut di lengan kekarnya.

 

" Mas ingin istri yang penurut," jawabnya singkat.

 

" Iya, aku minta ma af mas. Aku baru penyesuaian. Aku pasti bisa. Dibalik suami yang hebat, pasti juga ada istri yang kuat dibelakangnya."

 


Ingin aku muntah. sebenarmya dengan kata kata itu. Tapi untuk sementara ini aku harus bisa bertahan.

 


*

 


Rumah sepi. Arumi dan anaknya sedang pergi. Suntuk juga di rumah. Tetapi kalau aku keluar rumah, aku pasti kalap. Sementara uangku tipis.

 

Tak berselang lama, Arumi datang membawa paperbag yang lumayan banyak. Kemungkinan dia baru saja shoping. Bagaimana Arumi mengatur ini semua. Sementara dia punya anak yang harus diberi uang jajan. Menu makanan Arumi juga tergolong mewah dan mahal.

 


Aku hanya melirik bahkan tak sudi menghampiri. Dikira nanti aku ingin seperti dirinya.  Tetapi hatiku terdorong sekali ingin bertanya bagaimana ia mengatur keuangan.

 


Biarlah aku merendah dahulu untuk meroket kemudian.

 


" Habis shoping mbak ?" tanyaku basa basi.

 

" Iya," jawabnya singkat.

 

" Apa mbak dikasih uang lebih dari Mas Tama ?"

 

Dia terdiam menatapku cukup tajam. Menghentikan aktifitasnya.

 

" Kamu kan lihat sendiri aku diberi uang Mas Tama juga didepan mata kamu," jawabnya ketus.

 

" Ya kali aja dibelakangku gitu. Mbak bisa shoping padahal uang dari Mas Tama itu tidak tau bisa cukup untuk kedepanya atau tidak,".

 

" Jadi wanita itu harus cerdaas zheyenk. Dunia terlalu keras jika hanya mengandalkan paras," ujarnya sambil berlalu.

 


Serasa ditampar dengan semua perkataan Arumi. Jadi wanita cerdas. Yang ada dialah yang sebenarnya wanita bodoh yang dengan mudahnya mau saja di madu. 

 

Tiba tiba handphone Arumi berdering nyaring. Dengan ceria ia mengangkatnya.

 


" Iya Hendra. Aku sudah sampai rumah. Terimakasih ya," 

 

Senyum Arumi masih tersungging di bibirnya. Hendra Jelas itu adalah nama laki - laki. Mengapa Arumi terlihat senang sekali. Apa mungkin Arumi selingkuh ?


🍁🍁🍁

 

PART 4

 

Apa mungkin Arumi selingkuh ? Ah yang benar saja. Bahkan penampilanya sangat tidak menarik. Wajahnya kusam, tanganya kasar. Mana ada pria yang mau dijadikan selingkuhanya. Tapi, ini benar benar aneh. Aku tahu setiap hari Arumi hanya di rumah dengan Rizki, jadi tidak mungkin dia bekerja.

 


" Kenapa masih disini ? Nguping pembicaraanku ?" tanyanya ketus.

 

" Kamu jangan sombong. Mentang mentang istri pertamanya Mas Tama. Disini posisi kita sama. Jangan merasa menjadi yang lebih berkuasa," kataku memberanikan diri daripada harga diri ku di injak injak.

 

" Terserah apa kata mu,"

 

" Jangan pergi mbak. Jangan lari dari pembicaraan," kataku mencoba tegas.

 

Arumi membalikan badanya dengan angkuh.

 

" Kamu pernah kuliah ?"

 

Aku diam. Karena aku memang hanya tamatan SMA.

 

" Kenapa diam ? Oh hanya lulusan SMA ? Kalau pernah kuliah pasti pernah mengalami OSPEK. Kamu bisa mengerti bagaimana hubungan senior dan junior. Aku malas untuk menjelaskan panjang lebar," ucapnya melangkah pergi.

 

Arumi pergi meninggalkanku yang masih disini. Memangnya kenapa kalau aku hanya tamatan SMA ? Toh nyatanya aku lebih pintar dari dia, mampu memikat hati suaminya. Daripada dia sarjana tetapi mau saja diduakan. Lagipula percuma jadi sarjana kalau ujung ujungnya menjadi ibu rumah tangga dengan nafkah satu juta limaratus. 

 

Memang sebaiknya istri tua dan istri muda jangan dijadikan satu rumah. Tapi kalau melihat dari pelit nya Mas Tama, bisa bisa aku tidak dibelikan rumah, justru disuruh mengontrak di lingkungan padat penduduk. Oh Tidak.

 


*

 


" Mas ngrasa nggak sih kalau Mbak Arumi aneh ?" tanyaku suatu malam saat Mas Tama dikamarku.

 

" Enggak. Arumi biasa saja," katanya dengan membilak balik surat kabar.

 

" Gini ya mas kemarin itu aku lihat Mbak Arumi itu shoping banyak banget. Ya ma af ya mas, nafkah dari mas kan ya ngepres gitu. Setelah itu dia telfon sama seseorang bernama Hendra. Wajahnya terlihat berbinar sekali," kataku mengompori Mas Tama sekalian biar si Arumi itu diusir dari sini.

 


Mas Tama tampak kaget. Ia memicingkan mata. Seperti ada gejolak dalam jiwanya.

 

" Si*lan, ternyata dia masih berhubungan dengan Hendra," 

 

Tangan Mas Tama mengepal menahan marah. Aku gembira bukan main, usahaku berhasil hanya dengan cara yang mudah. Rasakan kamu Arumi. Sebentar lagi kamu pasti akan ditendang dari istana ini.

 

" Kalau boleh tau memangnya Hendra siapa mas ?"

 

" Mantan pacarnya Arumi."

 

Wow boleh juga siasat Arumi. Tapi sayangnya dia tidak lebih pintar menyembunyikan ini. Sok tegas, lugas, beringas nyatanya babras.

 

" Besok saja menanyakanya mas. Ini sudah malam. Kasian Rizki nanti terganggu," ucapku pura pura merayu padahal aku tidak sabar melihat kalian bertengkar.

 


" Aku benci pengkhianatan, Nes," ucap Mas Tama lirih.

 

Lah apa dia tidak salah bicara ? Menjalin hubungan denganku dan dia berposisi sebagai suami sah Arumi bukankah itu juga sebuah pengkhianatan. Hidup memang kadang selucu itu.

 

Lagipula aku benci dengan kebucinan Mas Tama kepada Arumi. Apa coba yang bisa dibanggakan dari dia. Kulit kusam, kasar. Wajah apa lagi. Justru dia selingkuh. 

 

Ini baru awal Arumi, aku akan melakukan apapun itu agar engkau dicoret dari daftar istri Mas Tama. Sebenarnya aku tidak setega itu tetapi karena sifat Arumi yang sok berkuasa membuatku menjadi lebih muak.

 


*

 

Pagi ini seperti biasa Arumi rajin mempersiapkan sarapan pagi. Tentu selalu dengan wajah cerianya. Tapi tidak dengan Mas Tama yang menekuk wajah sedari bangun tidur.

 

Sengaja aku hanya melihat dari atas, tanpa berselera untuk ikut sarapan. Samar samar ku dengar Mas Tama hanya menjawab sepatah dua patah kata untuk kalimat kalimat yang dilontarkan Arumi.

 


" Mas kenapa ? Kok berbeda pagi ini ? Mas sakit ?" tanya Arumi.

 

" Iya sakit,"

 

" Tidak usah bekerja dulu mas. Periksa ke dokter. Jangan terlalu dipaksa. Kesehatan itu penting,"

 

" Sakit hati,"

 

Arumi tertawa kecil.

 

" Seperti anak abg saja," 

 

" Kamu kemarin berhubungan lagi dengan Hendra ?" tanya Mas Tama dengan gurat emosi yang sejak kemarin ia tahan.

 

" Hendra ? Oh iya tentu saja...

 

🍁🍁🍁


PART 5

 

 

" Hendra? Oh iya tentu saja. Memangnya kenapa mas ?" tanya Arumi dengan enteng. Benar benar makhluk ini terlihat sangat santai. Padahal sudah berhadapan dengan suami bak malaikat maut.

 


BRAKKK...


Mas Tama menggebrak meja makan. Aku yang mengawasi dari atas sampai terlonjak. Rizki sampai menangis hingga Arumi menggendong nya.


" Apa-apa an sih mas ? Lihat Rizki. Dia jadi takut," . Arumi mulai terpancing emosi. Matanya menyorot tajam pada Mas Tama yang sudah terbakar emosi. Seakan ia tengah menantang suami nya.

 

" Dimana harga dirimu sebagai istri ?" bentak Mas Tama.


" Harga diri ? Aku selalu menjaga harga diriku mas. Aku mengerti aku seorang istri. Aku keluar rumah juga atas izin mu. Aku menutup aurat agar tidak dilihat oleh yang tidak berhak. Aku juga selalu menjaga marwah suami. Entah apa saja yang aku alami di rumah ini. Lalu harga diri bagaimana yang kamu maksud ?"


" Wanita b*doh. Mengapa murahan sekali kamu berhubungan kembali dengan Hendra ?"

 

" Memangnya kenapa ? Apa salahnya atasan dan bawahan berhubungan baik. Kamu lupa Hendra itu siapa ?"


" Hendra Surya Atmaja, mantan kamu sewaktu SMA?" tanya Mas Tama ragu.


Sebaliknya Arumi tertawa terkekeh kekeh.


" Namanya sudah ubanan ye kan. Jadinya lupa. Ini pegang hp ku. Aku hanya menghubungi Hendra Wijanarko. Karyawan di tempat usahaku,"

 

Degg. Aku salah alamat. Aku terlanjur senang mereka bertengkar. Justru sekarang kenyataan menyakitkan hati. Ternyata Arumi adalah seorang bos juga. Pantas dia terlihat biasa saja saat Mas Tama memberi nafkah satu juta lima ratus. Ia juga masih bisa shoping.

 


Mas Tama kembali duduk di kursinya. Ia meneguk segelas air putih habis tak bersisa. Nafasnya naik turun. Aku segera masuk kamar, takut menjadi bahan amukan dia berikutnya.

 

" Lagian siapa sih yang memberitahu mu perihal ini ? Pasti madu kamu ?" tanya Arumi.

 

" Tidak penting itu siapa. Yang paling penting kamu tidak membohongiku,"


" Aku tidak akan bermain api untuk membakar keluargaku mas,"

 


*

 


Pintu kamar mulai terbuka, aku tarik selimut menutupi seluruh badanku. Takut Mas Tama berbalik murka kepada ku.


" Kamu sakit, Nes ? Kenapa tidak keluar kamar ?" tanya Mas Tama.

 

" Iya mas. Sedikit meriang. Sepertinya masuk angin ". Aku terpaksa bohong agar Mas Tama mengurungkan niatnya jikalau berbalik murka padaku.


Tetapi dia justru duduk di tepi ranjang dengan diam seperti memikirkan sesuatu.


" Dugaanku salah, Nes. Hendra yang tempo hari kau dengar disebut Arumi doitelpon. Ternyata bukan Hendra yang ku maksut," kata Mas Tama membuka pembicaraan


" Lalu siapa, mas ?". Aku pura-pura tidak tau. Agar Mas Tama tidak curiga kalau aku sempat menguping pembicaraan keduanya.


" Ternyata Hendra Wijanarko. Karyawan di butik Arumi. Tapi mas tidak segampang itu percaya. Dulu Arumi nyaris gila kala ditinggal Hendra. Jadi mas takut, dia kembali tergila-gila dengan lelaki itu. Kalau kamu tau, Arumi menemui orang ini, segera beritau mas," kata Mas Tama seraya menunjukam foto seorang pria. Ketampananya sebelas dua belas lah dengan Mas Tama. Tetapi Hendra lebih kekar dan berisi.


Aku mengangguk. Bagiku tidak penting seperti apa Hendra itu. Tetapi dibalik itu, ternyata seorang Arumi memiliki butik. Keren juga. Patut ditiru.


" Mas, aku juga pengen loh punya usaha seperti Mbak Arumi. Mbak Arumi saja dimodalin, kok aku enggak ?"


" Siapa bilang, aku memodali Arumi. Sepeserpun aku tidak menggelontorkan uang dalam usaha Arumi. Lagipula kamu hanya lulusan SMA Nes. Kamu juga mas lihat tidak bakat di bidang tersebut. Mana bisa kamu mengembangkan usaha. Arumi memang cerdas sedari dulu,"

 

Aku diam menahan gejolak amarah dalam hati. Siapa bilang aku tidak berbakat. Aku juga emosi Mas Tama lebih mengunggulkan Arumi daripada aku. 


'Lihat, akan ku hancurkan hidup Arumi sehancur-hancurnya,' batinku dalam hati.


*


Saat Mas Tama sudah berangkat kerja, aku keluar tanpa seizinya. Suntuk juga di rumah dengan rutinitas itu-itu saja. Mau shoping juga budget pas-pasan. Pas buat makan maksutnya.

 

Wanita dengan tampilan glamour telah menungguku. Dengan rambut panjang pirang di curly sedikit di bagian  bawah, tas branded serta perhiasan berjejer rapi benar-benar membuatku iri.


" Nes, kenapa sih daritadi loe diam saja ? Habis nikah kena KDRT loe ?" ta ya Iren membuyarkan lamunanku.


" Nyadar nggak sih. Gue iri sama penampilan loe," jawabku.


Iren justru tertawa.


" Loe mabuk ya ? Harusnya gue iri sama loe ? Dinikahi seorang pemilik kerajaan bisnis Aditama Group,"


Aku menghela napas kasar. Kesal juga mengingat seorang istri pimpinan perusahaan hanya diberi nafkah satu juta limaratus.


" Kelihatanya sih nikah dengan pucuk pimpinan kerajaan bisnis. Tapi nyatanya kayak nikah sama kuli bangunan. Pelit banget suami gue," jawabku kesal.

Iren justru tertawa terbahak-bahak.


" Itu yang buat aku malas terikat pernikahan. Mending kayak aku. Tidak apa-apa jadi simpanan sugar daddy tapi kehidupan terjamin. Iya nggak ?"


Dalam hati benar juga apa kata Iren. Untuk apa aku menikah hanya untuk memderita. Tapi tidak boleh gegabah meminta cerai dari Mas Tama. Secara hartanya Mas Tama tidak akan habis dimakan tujuh turunan.


" Hay Hendra, Apa kabar ?" . Tiba- tiba Iren berdiri menyapa seorang lelaki.

 

Hendra lagi. Kenapa nama itu pasaran sekali. Aku enggan menatap sang pemilik nama. Sekilas ku lirik ID Card yang menggantung di bajunya. Hendra Surya Atmaja. 


Aku mendongak melihat lelaki itu. Sama persis dengan foto yang ditunjukan Mas Tama tadi pagi. Hanya ia lebih tampan dari fotonya. 


Degg. Mantan kekasih Arumi...

 

🍁🍁🍁


PART 6


Wajar jika Arumi nyaris gila kala ditinggal Hendra dahulu. Dia pribadi yang supel, pandai bergaul dan asyik diajak berbicara. Pasti setiap pribadi merasa nyaman dekat dengan Hendra.


" Guys, aku kembali ke kantor dulu ya. Jam makan siang sudah habis," pamitnya tanpa lupa dengan senyumnya yang paripurna.


Aku tak mampu berkata-kata. Tak mampu menjawab Hendra. Yang ada aku masih melongo menatap badanya yang semakin jauh. Wangi badanya masih menguar tertinggal disini.


" Gila. Loe hebat banget punya sugar daddy seperti Hendra," pujiku pada Iren.


" Sugar daddy ? Hendra ? Ya kali. Dia hanya kawanku, Nes. Tidak lebih." jawab Iren menyeruput minuman yang dia pesan.


" Kamu suka sama dia Ren ?" tanyaku semakin penasaran.


Iren menggeleng dan tersenyum.


" Bukan seleraku Nes," ucapnya lirih.


Aku berbalik tersemyum. Sepertinya jalan terang bisa terbuka lebar. Bisa menggandeng lelaki tampan seperti Hendra sekaligus bisa membuat sakit hati Arumi. Untuk Mas Tama, nanti akan ku mainkan secara pintar agar dia tidak mengetahui.

 

" Kenapa kamu senyum sendiri ? Kamu suka sama Hendra ?"


Aku salah tingkah dengan pertanyaan Iren. Bagaimana mungkin aku menjawab iya, sementara aku telah bersuami. Belum tentu Hendra juga suka.


" Siapa bilang ? Aku kan sudah punya suami, Ren. Nasi sudah menjadi bubur mungkin ya,"


" Tenang. Hendra itu orangnya asyik kok,"


Entah apa maksud perkataan Iren. Aku tidak mau banyak berharap dahulu. Nanti jatuhnya terlalu sakit.

 

*

 

Sampai rumah, hatiku terasa masih berbunga-bunga dibuatnya. Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta. Lalu dengan Mas Tama, sebenarnya apa yang kurasakan.

 

" Nes, hari ini jatah memasakmu. Sebentar lagi Mas Tama pulang," kata Arumi yang tiba-tiba mengagetkanku.

 

 

Kalau ada pemgganti alarm, mungkin Arumi pantas untuk menggantikanya. Cerewetnya minta ampun. Makanya Mas Tama memilih punya istri dua.


" Iya mbak. Aku ingat. Lagipula Mbak Arumi bukan alarm kan,"

 


Arumi hanya menggeleng pelan lalu berlalu pergi.


Aku termangu di dapur bingung mau memasak apa. Dari kecil aku dimanja kedua orang tuaku yang kaya raya sebelum semuanya habis dan kedua orang tuaku meninggal dalam sebuah kecelakaan.


Aku naik turunkan layar ponselku, berharap ada menu yang mudah untuk aku masak.


Ting. Sayur sop. Tinggal potong-potong sayur, uleg bumbu sedikit jadi deh.


Asap mengepul. Aku yakin masakan ku matang, tak perlu aku cicipi, sudah pasti enak karena aku memasukan semua komposisi yang tertera di internet ke dalam sayuranku.

 

 

Aku hidangkan sop, tempe goreng, dan sambal. Biarlah lauk begini asal jatah bulanan cukup untuk satu bulan.

 

 

Deru kendaraan mendekati rumah. Sudah pasti itu Mas Tama. Akan ku sambut dia dengan hangat.


" Hallo sayang. Bagaimana pekerjaamya di kantor ? Lancar kan ?" tanya ku bergelayut manja di lenganya.

 


Mas Tama tersenyum mengelus lembut kepalaku. Tiba- tiba Arumi datang merusak suasana. Ia meraih tas Tas Mas Tama untuk dibawakan.


" Terimakasih, Rum," kata Mas Tama.

 


Arumi hanya tersenyum dan mengangguk lalu berlalu pergi. Mas Tama memandang hingga punggung Arumi hilang di balik pintu.


" Mas, makan dulu yuk. Aku sudah masak lho," ucapku mengalihkan pembicaraan agar tidak terus menerus ia memikirkan Arumi.


" Oh iya ?" Mas Tama terlihat sumringah.


Di meja makan sudah ada Arumi lagi dengan menyuapi putra nya. Benar-benar merusak suasana dan pemandangan.


Aku siapkan makan untuk Mas Tama. Tidak sabar aku ingin mendengar pujianya juga semyum kemenangan atas hinaan Arumi tempo hari.


Satu suapan, Mas Tama berhenti mengunyah. Matanya menyipit. 

 


" Ini pedas sekali, Nes," protesnya padahal aku belum masukan sambal.


" Ini sop mas. Kok pedas,". Segera aku mencicipinya. Rasa pedas membekas pada tenggorokan.


" Ini juga tempe tidak ada rasanya. Sambal cuma cabai diuleg. Apa-apa an sih kamu, Nes," kata Mas Tama setelah mencomot tempe lalu dicampur ke sambal.


Aku terdiam tak mampu berkata. Karena aku memang merasakan rasa yang sama dengan apa yang dikatakan Mas Tama.


" Rum, coba kamu rasakan. Apa yang salah biar diperbaiki," perintah Mas Tama.


Kesal aku melihat Arumi dengan wajahnya yang tenang tapi seolah olah akan mengeluarkan kata-katanya menusuk.

 

" Sop nya ini kebanyakan merica Nes. Sedikit saja, merica kan beraroma pedas. Kalau masalah tempe, sebelum menggoreng coba kamu rendam pakai air garam atau penyedap rasa. Juga kalau buat sambal itu bukan cuma cabe. Ada bawang dan garam juga tambah enak. Kalau cuma cabe lebih baik dibuat lalapan saja," kata Arumi tak ubahnya seperti chef yang menilai masakan di kontes masak yang ada di TV itu.

Wajahku memerah menahan malu dan amarah.

 


" Aku kan sudah bilang mas. Tidak semua bisa dilihat dari paras," tambahnya lagi.

 

Kata-kata yang membuat dendamku naik berkali-kali lipat dari semula. Hari ini, ia boleh menjatuhkanku didepan Mas Tama. Tetapi suatu hari, ia pasti yang akan jatuh tersungkur.


Ting..

Handphone ku berbunyi. Pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal.


[ Hallo, Nes. Aku Hendra, teman Iren yang makan siang bareng tadi. Lagi apa nih ? ]


Jantungku berdebar. Hendra menghubungiku...

 

🍁🍁🍁


PART 7


Jantungku berdebar. Hendra menghubungiku. Pucuk dicinta, ulampun tiba.

 


Mungkin ini yang dinamakan kesempatan dalam kesempitan. Malam ini Mas Tama tidur di kamar Arumi. Jadi aku bisa leluasa berbalas pesan denganya.


Manis sekali. Walau hanya lewat pesan. Membuat aku semakin dibuat terkagum-kagum oleh cara bicara dan gaya bahasanya. Tidak seperti Mas Tama yang terkesan cuek dan tegas. Justru Hendra lebih tenang dan humoris.

 


[ Nes, besok meet up yuk. Jam makan siang di Cafe X ]

 


Pesan yang kembali membuat hatiku berdebar. Hendra mengajak ku bertemu lagi. Sebenarnya tidak masalah. Toh Mas Tama juga kerja. Arumi juga tidak tau kemana aku pergi. Tapi apakah Hendra sudah tau atau mungkin mau menerima statusku sebagai istri orang. Rasanya kurang etis jika aku menceritakan hanya lewat chat. Ku pikir besok saja menceritakan masalah ini.

 

*


Aku menggeliyat diatas kasur yang empuk ini. Rasanya seperti mimpi, Hendra menghubungiku. Dan nanti bisa bertemu denganya. 

 


Tok..tok...tok..

 


Gedoran pintu membuyarkan lamunanku tentang Hendra. Sedikit sebal. Namun tak boleh aku membuat curiga siapapun.


Mas Tama berdiri dengan gagahnya dengan pakaian jas nya yang sudah rapi.

 


" Nes, sudah kamu siapkan sarapan ?" tanyanya seraya membetulkan letak jam.


" Oh iya mas. Maaf aku lupa." Aku terlonjak kaget. Terlalu asyik memikirkan pertemuan ku dengan Hendra. Hingga lupa akan kewajiban ku.


" Kamu sudah jadi istri Nes. Kurangi sifat lajang mu. Ada suami yang harus kamu urus." teriak Mas Tama.

 

 

Dia mengekor mengikuti ku dari belakang dengan gerutuan dam ceramah-ceramahnya.

 


'Liat saja kalau aku bisa mendapatkan Hendra, pasti aku tinggalkan,' batinku


Aku ambilkan roti berisi selai coklat dan ku buatkan segelas kopi untuk Mas Tama. Andai saja ada pembantu di rumah ini, pasti tidak akan kewalahan seperti ini.


" Nes, kamu jangan membunuhku. Lambungku tidak kuat kalau sepagi ini mengkonsumsi kopi," kata Mas Tama dengan ketus.


" Kamu aneh mas. Lelaki diluaran sana kalau pagi selalu cari kopi," jawabku tak mau kalah.


" Jangan samakan aku dengan laki-laki diluaran sana," 


Benar-benar lelaki ini semakin kesini semakin banyak mau nya. Beda saat mendekati ku dulu. Begitu manis. Dan ternyata berakhir semu belaka.

 

 

Setelah drama pagi hari dengan suami yang menyebalkan, aku kembali ke kamar melanjutkan lamunanku kembali. Belum sampai kaki ku memginjak anak tangga. Sesuatu memubruk ku. Beruntung aku dapat menjaga keseimbangan.

 


Ternyata Rizki dengan tubuh telanjang seusai mandi seperti nya tengah berlari. Dari belakang Arumi mengikutinya dengan penampilan kumelnya.

 


" Ish nakal sekali sih anak kamu mbak," gerutuku.


" Namanya juga masa aktif-aktifnya. Kelak kamu juga akan merasakan kalau punya anak," jawab Arumi.


" Mbak yang tidak bisa mendidiknya dengan benar. Tidak ada sopan santun," 


" Setidaknya aku tidak mendidiknya untuk merebut apa yang bukan miliknya,"


" Mbak menyindirku ?"

 


" Kalau kamu merasa berarti perkataan ku benar adanya,"


Kalimat Arumi yang singkat dan tegas kembali mencabik-cabik hatiku dan menampar harga diriku. Membuat dendam ini semakin memuncak.

 


*

 

Aku memoles wajahku sedemikian cantik. Mematutkan diri di depan cermin. Hari ini aku harus terlihat sempurna. Tidak boleh mengecewakan Hendra sedikit pun.


Aku memakai longdress merah selutut senada dengan tas dan highheels ku. Ku urai rambutku dengan mengcurly sedikit di bawah. 

 


Ku lihat seseorang lelaki berkemeja merah maroon tampak gelisah melihat jam. Dalam kegelisahanya, aura ketampananya masih terpancar.

 

" Hai Ndra. Lama ya nunggu aku ? Tapi aku tepat waktu lho,"

 

" Ah ku kira kamu tidak databg Nes. Iya tadi di kantor ada kendala listrik, jadinya istirahat dulu. Kamu tambah segar saja,"


Aku tersipu malu dengan pujian Hendra.


" Bisa saja kamu. Memangnya kamu mengajak ku makan siang tidak takut istrimu ?" godaku sekaligus ingin tau statusnya.

 

" Aku....


🍁🍁🍁


PART 8


" Aku belum beristri," jawab Hendra enteng.


Serasa mendapat durian runtuh mendengar pernyataan Hendra. Benar-benar dewi fortuna berpihak kepadaku. Semoga seterusnya tetaplah sama.


" Ta-tapi aku adalah..,". Aku ingin menyampaikan statusku kepada Hendra. Tetapi aku benar-benar ragu. Takut Hendra akan berubah.


" Kenapa ? Iren sudah menceritakan semuanya. Tentang status mu. Dan aku tidak takut,"


Aku terbelalak kaget dengan penuturan Hendra. Baru kali ini aku menemui lelaki sepemberani dia. Tidak mundur hanya karena janur kuning.


" Jadi ?" tanyaku meminta kepastian.

" Kita jalani saja dulu. Hiduplah diatas prinsip apa yang bisa membuatmu senang maka pilihlah. Kalau kamu tidak bahagia dengan pernikahan mu, cari lah kesenangan yang lainya," 

 


Aku tersemyum. Lampu hijau benar-benar menyala. Tak ingin ku lepaskan setiap detiknya. Kebahagiaan dari Hendra yang membuatku mabuk kepayang. Yang tidak bisa aku dapat dari Mas Tama. Jiwaku berhak bahagia bukan ?

 


Mengapa Tuhan tidak mengatur pertemuanku dengan Hendra terlebih dahulu ? Kenapa harus dengan Mas Tama dulu ?


Ah sudahlah. Toh Mas Tama dulu juga sangat royal kepadaku sebelum menikah dan sifat aslinya keluar.


Hendra memberiku kartu kredit untuk dipakai sesuka hatiku. Tak ku lewatkan kesempatan memanjakan diri di salon langgananku. Juga tak ketinggalan shoping di mall tentunya.

 

*


Senyum tidak pernah memudar dari bibirku saat memasuki rumah. Paperbag yang lumayan banyak juga aku bawa. Ingin ku beeganti pamer untuk Arumi. Tapi ku lihat dia di dapur menyuapi anaknya tanpa menoleh sedikit pun ke arah ku. S*al !!

 

Apa dia tidak kaget melihat barang belanjaanku segini banyak ? Apalagi kalau tau yang memberi adalah mantan kekasihnya dulu.


Biarlah ada kalanya Arumi tau kehebatanku. Dia sekali berkata bahwa dunia ini terlalu keras jika hanya mengandalkan paras. Tapi bagiku dia salah besar. Dengan paras yang cantik, aku bisa menggandeng pria manapun yang aku kehendaki.

 


Mas Tama pasti terbelalak melihat penampilanku yang lebih segar ini. Juga pakaian yang ku kenakan terkesan elegan tapi mewah. Sesuai dengan predikat sebagai istri direktur utama. 

 

*

 

Benar saja, sepulang kerja Mas Tama tak henti-hentinya memujiku. Bahkan di depan Arumi, ia tidak segan. Arumi hanya menunduk tanpa upaya.


Mas Tama juga tidak marah karena malam ini ku belikan ayam goreng KF* untuk makan malam nya. Dia tampak lahap memakanya. 

 

 

" Oh iya minggu depan, Fani, sepupuku menikah. Aku harus datang. Tapi dengan Agnes saja ya. Arumi, kamu dirumah saja,"


Aku tersenyum penuh kemenangan.


" Kok begitu mas ? Aku juga ingin melihat Fani menikah. Toh aku juga istrimu," kata Arumi tidak terima.


" Rum, lihat lah tubuhmu selepas punya anak melebar kemana-mana. Penampilanmu juga ndeso sekali. Jadi tolonglah kali ini biarkan aku pergi bersama Agnes. Jangan buat malu suamimu,"

 

Ternyata Arumi yang dibanggakan Mas Tama di depanku, tidak bisa ia banggakan pada keluarga besarnya. Begitulah ketika paras dan fisik yang berbicara.

 

" Aku seperti ini juga demi kamu mas. Melahirkan keturunanmu. Aku hanya memikirkan masa depan Rizki tanpa memperdulikan diriku. Yang penting anak ku sehat, tanpa kekurangan suatu apa pun itu sudah cukup," ujar Arumi lemah.

 

" Kalau begitu Mbak Arumi juga harus menerima resikonya," tmbahku.

 


Arumi menunduk. Ia tidak mengeluarkan air mata. Tetapi ku lihat matanya berembun. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia bangkit menggendong Rizki meninggalkan meja makan. Perempuan cengeng.

 


*

 

Malam ini, pesta pernikahan sepupu Mas Tama. Aku memoles diri begitu sempurna agar tidak kalah dari tamu undangan yang lain. Tentu pasti petinggi-petinggi perusahaan juga pejabat yang datang, mengingat keluarga Mas Tama keluarga kaya raya dan terpandang.

 

Aku membawa sekotak hadiah untuk sepasang pengantinya. Berisi bed cover seharga tiga ratus ribu. Biarlah toh nanti tidak akan dibuka di depan para hadirin.

 

Aku gandeng tangan Mas Tama untuk segera berangkat. Tetapi teriakan Arumi menghentikan langkah kami.

 

" Mas, kalau memang aku tidak boleh ikut, aku turuti. Tapi tolong aku titip ini untuk Fani. Sampaikan salam ku untuknya," kata Arumi menyerahkan sebungkus kotak kecil yang ia masukan pada paper bag kecil.

 


Aku tertawa kecil melihatnya.

 

" Mbak tidak salah memberi hadiah kepada pengantin sekecil ini ?" tanyaku meremehkan.


🍁🍁🍁

 

PART 9


" Mbak tidak salah memberi hadiah kepada pengantin sekecil ini ?" tanyaku meremehkan.

 

" Biarlah ini menjadi urusanku," jawabnya ketus tanpa sedikitpun menoleh kearahku.


Mas Tama juga mengernyitkan dahi. Ia juga enggan untuk menerimanya. Tanganya ragu.


" Iya Rum, apa kamu tidak malu memberi Fani kado sekecil ini ? Memang isinya apa ?" tanya Mas Tama.


" Aku hanya menitipkan ini padamu mas. Aku tidak minta komentar-komentar kalian. Lagi pula ini untuk Fani, jadi yang berhak mengetahui isinya ya Fani, bukan kalian,"

 

Akhirnya kami membawa titipan kado dari Arumi. Biarlah ia berniat ingin mempermalukan dirinya sendiri pada keluarga besar Mas Tama.

 

Pernikahan Fani digelar di sebuah gedung yang sangat mewah tentu dengan harga sewa yang fantastis. Sangat meriah. Bahkan jauh lebih meriah daripada pesta pernikahanku kemarin.

 


Tamu- tamu yang hadir juga buka kalangan sembarangan. Rata-rata memakai gaun yang mewah. Tampak ku lihat juga beberapa artis ikut lalu lalang memeriahkan suasana. 

 


" Tama," panggil seorang wanita paruh baya dengan sanggul kecil.


" Budhe Mirna," jawab Mas Tama menyalaminya dengan takzim. Aku pun ikut menyalaminya. Aku tidak mau sedikit pun terkesan jelek di pesta pernikahan ini.

 

" Arumi mana ?" tanya budhe Mirna celingukan.

 

Lumayan sebal juga, aku yang berdiri disamping Mas Tama, justru orang lain yang dicari. Apa tidak melihat penampilan istrinya yang paripurna ini.

 


" Arumi sedang tidak enak badan budhe," jawab Mas Tama.

 

" Jadi kamu sendirian pergi kesini ?"


Sumpah ingin aku maki wanita di depanku ini. Aku sebesar  ini apakah tidak melihat juga.


" Ini aku sama Agnes, istriku juga budhe,"


Budhe Mirna tampak tercengang. Menautkan alis. Menatapku dari atas sampai bawah dengan tatapan sinis. Aku menjadi risih dibuatnya.


" Ini istri kedua kamu ? Maaf budhe tidak tau, waktu itu masih di Singapore saat kamu mengadakan pesta pernikahan lagi," katanya. Bahkan perminta maafan darinya sama sekali tidak merubah tatapan tidak suka nya padaku.

 

Aku menarik lirih jas Mas Tama dari belakang. Mengisyaratkan untuk segera pindah tempat. Keadaan yang membuatku tidak nyaman.


Setelah berbasa basi, Mas Tama mengajaku menemui rekanya yang lain. Aku mengekor di belakangnya. Sebelum melangkah, tanganku ditahan oleh budhe Mirna.


" Kamu tidak sedang mengincar hartanya Tama kan ?" tanyanya dengan tatapan yang tajam.


Aku hanya menggeleng dan melepaskan cengkraman tanganya. Mata tajam itu terus menyorotku hingga aku menghilang diantara tamu yang lain.

 

 

" Mas Tama," panggil seseorang lagi.

 

Aku ikut menoleh dengan rasa malas. Malas sekali harus berbasa-basi. Memaksakan senyum yang sama sekali tidak ikhlas. Seolah-olah orang- orang menyalahkan Mas Tama atas pernikahanya denganku. Bukankah setiap lelaki berhak mempunyai istri sebanyak empat orang. Lalu kalau dari Arumi, tidak ada yang dapat dibanggakan, mengapa tidak mencari kebahagiaan yang lain denganku. Orang-orang berpikiran primitif.

 


Aku ikut menolehkan kepala, melihat siapa yang memanggil. Mataku membeliak tak percaya, seorang artis yang kerap wara-wiri menjadi bintang sinetron. Seorang artis papan atas juga mengenal Mas Tama.

 

" Mbak Arumi mana mas ?" tanyanya. Sebal juga, lagi-lagi Arumi yang ditanyakan.


" Ehm Arumi sedang tidak enak badan."


" Mbak Arumi sakit ? Padahal aku mau pesan gaun untuk acara puncak ulang tahun stasiun televisi. Aku puas dengan hasil kerja Mbak Arumi," 

 


Kali ini aku akui Arumi hebat. Kepakan sayapnya cukup tinggi. Hingga seorang artis besar negeri ini mempercayakan busananya pada Arumi.

 

" Ya sudah nanti aku sampaikan ya. Biar dia nanti menghubungi kamu," jawab Mas Tama.

 

*


Kini saatnya kami menyalami dan mengucapkan selamat kepada calon mempelai. Tetapi Mas Tama lebih memilih menemuinya secara pribadi. Jadi ketika mempelai berganti baju, aku diajaknya ke tempat rias.

 

" Fan," panggil Mas Tama.


Pengantin menoleh, Merekahkan senyumnya. Memamerkan giginya yang putih dan rapi.


" Hai mas. Mbak Arumi mana ?" tanyanya


" Ia sedang tidak enak badan. Arumi juga menitipkan salam untukmu. I-ini titipan dari Arumi,". Mas Tama terlihat takut menyerahkan kado dari Arumi.


" Padahal Mbak Arumi janji akan hadir di pernikahanku. Sudah dua tahun aku tidak ketemu mas. Selama aku tinggal di Singapore," kata Fani lesu.


" Ehm kenalkan Fan. Ini istri ku yang kedua," kata Mas Tama mengalihkan pembicaraan.


" Oh ini istri kedua Mas Tama ?" tanyanya dengan pandangan yang biasa-biasa saja. Tanpa menaruh hormat sedikitpun.


Aku hanya tersenyum setengah terpaksa.

 


" Ini kado dari aku Fan. Diterima ya. Selamat menempuh hidup baru," 


" Terima kasih," jawabnya singkat.


Begitu gerah berada di tengah keluarga besar Mas Tama. Aku kira mereka akan memuji kecantikan dan penampilan ku yang menurutku paripurna. Tapi nyatamya selalu Arumi yang di tanyakan.

 

Tiba-tiba Budhe Mirna datang lagi menghampiri kami. Aku heran. Apa dia sedari tadi mengintaiku. Apa tampang ku seperti penjahat ?

 

" Ini dari Arumi ya ?" tanya nya tiba-tiba.


Fani mengangguk.


" Buka saja Fan. Kalau kamu memang rindu dengan Mbak Arumi," perintahnya.


Ide yang bagus. Agar Arumi menjadi bahan olokan di tengah keluarga Mas Tama. Rasakan !


" Iya dibuka saja," perintahku juga dengan sumringah.


Fani menurut ia mulai membuka isinya. Kami semua melongo. Terbelalak kaget melihat isinya. Ternyata...

 

🍁🍁🍁


PART 10


Kami semua melongo. Terbelalak kaget melihat isinya. Ternyata isinya kalung berlian yang menjuntai dengan indahnya. Senyum merekah dari bibir pengantin. Budhe Mirna berdecak kagum. Sementara Mas Tama melongo dibuatnya tak percaya.

 


" Arumi memang wanita sederhana tetapi ia benar-benar luar biasa," puji budhe Mirna setengah seperti melirik ku. Aku menjadi salah tingkah. Jangan sampai kado dariku ikut dibuka. Bisa malu tujuh turunan aku.

 

 

" Ini dari Mbak Agnes kan ? Aku buka juga ya. Kan sama-sama istrinya Mas Tama," kata Fani. Ah menurut ku bukan itu. Mereka hanya ingin membandingkan antara aku dan Arumi. Munafik !

 

Rasanya ingin segera pergi dari sini. Apa kata mereka kalau melihat isi kado dari aku hanyalah bed cover murahan.

 


Fani dan Budhe Mirna seketika menatapku secara bersama ketika berhasil membuka kado dari ku.


" Yang benar saja kamu Nes ? Istri seorang pucuk pimpinan Aditama Group hanya memberi ini ? Bukan mengharap lebih tetapi tidak etis rasanya. Apalagi kami bukan orang sembarangan bagi Tama. Budhe juga kasian dengan Tama, menyia-nyia kan berlian permata hanya demi kerikil seperti ini ," celetuknya dengan kata sindirran itu.


Andai mereka tau bagaimana pelitnya lelaki disampingku ini. Bagaimana aku bisa memberi hadiah mewah, jika aku sendiri tidak bisa membeli barang mewah dari nafkah yang diberi Mas Tama untuk diriku sendiri.


Sementara Mas Tama, wajahnya memerah mungkin menahan malu. Mungkin menganggap salah membawa istri.

 

*

 

Sepanjang perjalanan pulang Mas Tama hanya diam. Fokus dibalik kemudi nya. Tetapi wajah kesal dan kecewamya tidak dapat di sembumyikan.


" Kamu marah mas ?" tanyaku memulai pembicaraan.

 

" Tidak. Hanya malu dan menyesal saja. Harusnya yang ku bawa untuk datang ke pernikahan Fani itu adalah Arumi bukan kamu. Aku pikir Arumi akan membuat ku malu karena penampilanya. Tapi justru aku lebih malu karena sisi lain dari istri keduaku,"


Terus saja membela Arumi. Suatu saat aku berjanji akan membuat keadaan ini berbalik.

 

" Bagaimana aku bisa memberi hadiah yang bagus untuk Fani mas. Sementara nafkah darimu pas-pasan,"


" Tapi lihatlah, nyatanya Arumi bisa. Bahkan ia memberi berlian untuk Fani,"

 

" Jangan samakan aku dengan Arumi mas. Ia punya usaha. Jadi wajar ia bisa memberi. Sementara kamu menikahiku baru kemarin mas. Bukankah sudah untung aku tidak mempermalukanmu di depan orang lain dengan penampilanku." jawabku kesal.


Mas Tama hanya diam tanpa kata. Tetapi aku harus bersiap karena dia bisa saja terus membantah. Sifatnya keras kepala.

 

*


Aku membanting pintu mobil dengan kesal. Ku kira Mas Tama akan mengikutiku untuk mengatakan ma'af. Tetapi nyatanya tidak. 


Aku lihat Arumi sedang menonton televisi bersama Rizki saat aku tiba di rumah.


" Kenapa sepertinya pulang dengan raut wajah kesal Nes ? Bukankah pernikahan Fani itu menyenangkan ? Aku saja bermimpi ingin ada di tengah pesta itu. Tetapi nyatanya aku tidak diberi kesempatan, " kata Arumi tiba-tiba.


Bukan malah menjawab, justru aku menatapnya penuh benci. Kalimat-kalimat yang di lontarkan semakin membuat hati ku bertambah sakit.


Aku tak mengindahkan ucapan-ucapanya. Yang ku lakukan hanya menatap dia dengan tajam lalu berlalu ke atas kamar ku.

 

" Aaaaaaaaaa," teriak ku. Ku banting tas dan highells ku. Ku tumpahkan semua kekesalanku. Ku kira semua akan terasa indah dan mudah saat aku memutuskan mengikat janji pernikahan dengan Mas Tama. Ternyata masuk dalam lingkungan keluarga konglomerat tidak semudah ini.

 

Ku tarik nafas panjang. Ku kuatkan hati. Aku harus lebih bisa berfikir jernih. Masih ada Hendra di sampingku. Aku juga bersumpah akan membalas semua perlakuan keluarga Mas Tama. Akan ada saatnya, Arumi menjadi bahan untuk ku permalukan. Aku menyeringai licik.

 

[ Good Night, Agnes 🖤 ]


Pesan dari Hendra tiba-tiba masuk. Moodboster yang benar-benar mengerti.

 

[ Hay, Ndra. Lagi badmood nih 😔 ]

 

Handphone ku berbunyi. Bukan balasan pesan dari Hendra melainkan panggilan masuk darinya. Aku sumringah dibuatnya. Laki-laki yang sangat mengerti perasaan wanita. Aku nyalakan televisi dengan kerasnya, agar suaraku tersamarkan dari luar. 

 

Ah imajinasiku mulai bermain. Andai Mas Tama adalah Hendra yang penuh kasih, tentu hidupku tidak semenderita ini.

 

*

 

Sementara itu di ruang tamu, malam kian larut. Tetapi Arumi masih berkutat di depan laptopnya. Tama datang dengan segelas kopi hangat yang ia seduh.


" Sedang apa Rum ?" tanya Tama.


" Ini mas. Buat desain untuk pelanggan. Kok belum tidur mas ?" 


" Di kamar sendiri Rum. Kamu masih disini,"


" Oh mau tidur di kamarku. Aku kira di kamar Agnes. Tidur dulu saja mas. Masih nanggung ini. Mumpung Rizki tidur,"


Tetapi justru Tama duduk menemani Arumi. Ia mengamati dengan seksama tingkah Arumi.


" Kenapa kamu bekerja sekeras ini Rum ? Masih ada hari esok," ujar nya


Arumi menghentikan aktivitasnya. Memandang lurus laptop yang ada di depanya.


" Setiap orang punya kelebihan dan kelemahan mas. Jika fisik ku dianggap kurang sempurna, setidaknya ada sisk yang lain dari diriku yang bisa dibanggakan," 

 

" Kamu menyalahkanku atas pernikahan ku dengan Agnes ?"

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya PESONA ISTRI TUA 11-15
0
0
Aku kira lebih baik menjadi yang kedua tetapi diutamakan.  Daripada menjadi yang pertama tetapi di duakan. Namun ternyata aku salah. Kakak Maduku tidak selemah itu
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan