
Note: Cerita ini repost cerita yang sudah pernah dipublish dengan judul Teman Tapi Mantan (Menikahi Gadis Tanpa Nasab). Jadi, Sahabat yang dulu sudah pernah dukung, tidak perlu dukung lagi. Terima kasih 😍
***
Bab 1
Lala baru saja pulang berbelanja keperluan panti ketika Bian, teman sekantornya, sudah duduk di teras. Waktu asar baru saja usai. Bian duduk dengan wajah ditekuk. Tatapan kesalnya menyambar tubuh Lala yang tergopoh memangkas jarak. Kemejanya disampirkan asal-asalan di bahu kursi menyisakan...
Paket Full Part
29
2
9
Berlanjut
Seri ini khusus untuk pembelian paket full part cerita yang sudah tamat.
25,653 kata
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses
Kategori
Teman Tapi Mantan
Selanjutnya
Paket Full Part Kesempatan Kedua
3
0
Note:Postingan ini repost Kesempatan Kedua yang sudah pernah dipublish perbagian. Apabila teman-teman ingin mendukung perbagian, bisa klik link berikut: https://karyakarsa.com/AnifahSetyawati/series/kesempatan-kedua-22661Pilih paket Bombastis KK untuk mendapatkan paket full part gratis Haruskah Berpisah.Bonus cerpen Jogja Suatu Pagi.***Prolog: Truth or Dare“Kalau suatu hari Mbak Mei terperangkap di sebuah pulau bersama lima dosen cowok Departemen Agribisnis, siapa yang Mbak pilih jadi suami?” Najma melontarkan pertanyaan absurd saat ia dan Mei berbaring di kamarnya setelah menonton episode terakhir drama It’s Okay Not To Be Okay. Kemudian, ia menyebut lima nama. Mei menoleh, menatap gadis berusia 26 tahun yang sedang menatap langit-langit kamar. ‘Kenapa menikah? Bukannya terperangkap di pulau itu harusnya cari jalan keluar, bukan malah nyari suami?” Mei protes, tidak terima mendapat pertanyaan tak masuk akal itu. ‘Jadi pulau itu dikuasai roh jahat. Kekuatannya akan hilang kalau tawanannya menikah lalu dia kecipratan darah dua manusia yang sudah menyatu itu. Nggak hilang permanen, tapi cukup buat para tawanan untuk lari sementara dia lemas.” Duh, makin ngadi-adi. Mei diam. Ia memilih memejamkan mata, mencoba tidur. Najma hanya sedang mengigau. ‘Jadi, Mbak Mei harus rela menikah dengan salah satu dosen itu supaya bisa keluar.” “Coba tanya Aina, dia pilih siapa.” Me menjawab asal. “Nggak bisa, jawaban tiap orang bersifat rahasia.” Astagfirullah. “Harus banget gitu jawab pertanyaan kamu?”“Harus. Walaupun cuma permainan, Mbak Mei harus jawab.”Kedua mata Mei terpejam. Ia masih malas menjawab. “Cepetan jawab. Ini buat ide ceritaku.” Suara Najma terdengar seperti rengekan bocah meminta mainan. Selain kuliah, Najma memang menjadi penulis platform digital. Mei membuka mata. Ia teringat kalau Mei penulis fantasi. Mungkin memang ia sedang menyusun cerita sehingga melahirkan pertanyaan absurd. ‘Prof. Amran kayaknya.” Akhirnya Mei menjawab juga. “Kenapa?” Sorot mata Najma tampak penasaran. “Dari kelima dosen yang terperangkap, cuma dia yang jomlo. Kalau aku pilih dosen lain, nanti aku bakal dicap pelakor, dong.”*** Bagian 1: Ojek Payung Dadakan Seperti hari-hari yang telah lalu selama sebulan terakhir, awan kelabu mengelam dengan cepat. Hari belum terlalu sore, tetapi bumi sangat gelap karena langit seperti tertutup bayangan jubah lebar seorang penyihir. Mei melihat keluar lewat jendela. Sebenarnya ia ingin pulang cepat, tetapi pekerjaan menumpuk dan memerangkapnya di perpustakaan fakultas. “Minggu depan saya harus keluar kota tiga hari. Saya ingin nilai anak-anak keluar sebelum pergi.” Prof. Amran memberi kabar tadi malam lewat pesan WhatsApp. Itu artinya, hanya ada waktu sampai besok bagi Mei untuk mengoreksi hasil ujian akhir mahasiswa semester tiga dan lima. Sementara hari ini, ia ada kuliah dan bimbingan proposal tesis dari pagi sampai sore. Baru setelah salat Asar ia bisa duduk tenang membaca jawaban mahasiswa asistensinya. Semester ini Mei memutuskan menerima tawaran Prof. Amran untuk menjadi asisten dua mata kuliah. Bukan karena uang karena Mei senang mengajar dan ia ingin belajar banyak dari Prof. Amran. Cara mengajar profesor termuda di Fakultas Pertanian itu telah menarik minatnya sejak pertama kali bertemu. Ponsel Mei berkedip tepat ketika petir menyambar diikuti gemuruh suara guntur bersahutan. Lalu, titik-titik hujan turun. Awalnya gerimis kemudian menderas dengan cepat. Dari tempatnya duduk di dekat jendela perpustakaan, Mei bisa melihat dedaunan bergerak ditimpa air dari langit. Suasana di luar gedung tampak begitu suram.Mei mengambil ponsel dan menyentuh layarnya. Notifikasi pesan di grup Bidadari Tepi Kali masuk. “Mbak, pulang kapan? Mbak Aina bikin bakso, nih. Endes surendes.” Pesan Najma disusul foto semangkuk bakso. Mei menelan ludah. Mendadak cacing di perutnya konser. “Aku lembur, nih. Masih ada kerjaan dari Prof. Amran.” “Sampai jam berapa? Serem, lho, kampus kalau malam.” Kepala Mei serta-merta diserbu rumor yang selama ini beredar, tentang penunggu pohon beringin tua di dekat gedung lama, juga penghuni gedung baru yang konon pindah dari bangunan kuno di belakang kampus. Astagfirullah. Mei menghela napas lalu mengedarkan pandang. Perpustakaan masih ramai. Selain karena mencari data, para mahasiswa itu pasti terjebak hujan sehingga terpaksa menunggu. Populasi kedua ini bisa dipastikan lebih besar karena mereka tidak membaca buku, melainkan asyik dengan ponsel masing-masing atau malah mengobrol. “Semoga cepet kelar, deh. Biar bisa pulang cepet. Masa iya aku harus nginep di kampus.” Aina menimpali. Ia mengirim foto bakso dengan kuah berwarna merah. “Woi, jangan flexing, dong. Aku jadi laper, nih.” “Mbak Mei mau nginep sama Prof. Amran?” Najma mengirim pesan diikuti emoticon terkejut.Astafirullah. Mata Mei melebar. Segera dikirimnya emoticon marah. Dasar junior nggak ada akhlak. Mei menutup aplikasi WhatsApp dan meletakkan ponsel. Meladeni Najma dan Aina akan memperlama pekerjaannya. Mei selesai mengoreksi pekerjaan mahasiswa semester tiga ketika azan Magrib terdengar. Ia berdiri lalu merenggangkan tubuh. Punggung, tangan, dan kakinya pegal-pegal. Matanya juga terasa pedih. Masih ada setumpuk kertas jawaban ujian mahasiswa semester lima. Ia akan kerjakan setelah salat Magrib. Lepas magrib, penghuni perpustakaan sudah berkurang drastis. Hujan belum reda, tetapi sudah tidak terlalu deras. Tinggal dua orang tersisa. Jika dilihat dari raut muka dan buku-buku yang terserak, bisa dipastikan kalau keduanya sedang mengerjakan tugas dan mungkin mendekati deadline. Mereka terlihat seperti kucing mau beranak yang tidak ingin diganggu.Meski perpustakaan tinggal dihuni tiga orang, Mei tidak khawatir karena memang buka sampai jam delapan malam. Posisinya aman. Mei baru saja salat Magib di salah satu sudut perpustakaan ketika Prof. Amran menelepon. Semoga dia tidak nagih kerjaan. Mei paling tidak enak kalau sampai ditagih. Ia selalu berusaha menyelesaikan tugas sesuai tenggat waktu yang diberikan. “Halo, Riska. Kamu ngoreksi kerjaan anak-anak di mana?” Suara hangat Prof. Amran terdengar di seberang. “Maaf, Prof. Saya Mei, bukan Riska.’ Kebiasaan Prof. Amran salah nyebut nama. Anehnya, hanya dengan perempuan dia sering salah memanggil. Duh, gimana rasanya jadi istri Prof. Arman terus tiba-tiba dia malah manggil mantan, bukan nama istrinya. Mei tersenyum simpul membayangkan kejadian konyol itu. “Oh, iya. Sorry, Mei. Jadi kamu ngoreksi di mana?” “Di perpus, Prof. Apa ada yang harus saya kerjakan dan ambil di ruang kerja Prof?” “Tidak ada kerjaan lagi. Saya hanya ingin tahu kamu di mana karena pesenan makanan buat kamu sudah sampai dan abang gojeknya nunggu di bawah.” “Pesanan makan? Saya tidak pesan apa-apa, Prof.” Ujung alis Mei bertemu. “Saya yang pesan.” Mei melongo. Tidak ada kata yang terucap karena ia kaget. “Wait, saya kasih tahu dulu abang gojeknya biar naik ke perpus.” Prof. Arman mengakhiri panggilan. Mei mematung dengan mata terkunci pada layar ponsel. Satu menit. Dua menit. Tiga menint. Prof. Amran kembali menelepon. “Kamu tunggu di depan perpus. Abang gojeknya sudah otw ke atas.” “Tapi, Prof. Saya nggak pesen makan.” “Sudah saya katakan, saya yang pesen. Kamu tinggal makan. Saya nggak mau asisten saya sakit karena kelaparan saat lembur.” Prof. Amran tertawa. “Sudah, ya. Selamat makan. Semoga kamu suka.” Setelah pembicaraan dengan Prof. Amran berakhir, Mei memutuskan untuk menunggu di dalam. Butuh waktu sepuluh sampai lima belas menit untuk berjalan dari selasar gedung utama sampai perpustakaan di lantai tiga. Jadi, Mei memilih meneruskan pekerjaan dan akan keluar sekitar sepuluh menit lagi. Ketika pintu perpustakaan didorong dari luar dan abang gojek masuk, refleks Mei mendongak dan ia menepuk jidat karena lupa untuk menunggu pesanan makanan itu di luar ruangan. Sebelum pria berjaket hijau itu bertanya pada penjaga perpustakaan, Mei sudah bangkit dan bergerak menyongsongnya. “Dengan Mbak Mei?” Abang gojek itu menyapa lebih dulu ketika Mei sudah berada di depannya.“Iya, Mas. Mau anter pesenan, ya?” Mei membalas senyum abang gojek. Abang gojek mengiyakan pertanyaan Mei. “Tadi ada pesanan ayam geprek dan jus mangga dari Pak Amran. Katanya buat Mbak.” Ia mengulurkan kantung kresek di tangan. Wangi ayam goreng menyelip di antara aroma woody dari pengharum ruangan di perpustakaan. “Makasih banyak, Mas.” Kantung kresek berpindah tempat dalam hitungan detik. Mei memberi tip yang disambut semringah. Ia kembali ke tempat semula setelah transaksi selesai. Merasa belum yakin dengan pemberian Prof. Arman, Mei menelepon pria itu. “Maaf, Prof, ini beneran buat saya? Halal buat saya makan?”“Halal.” Prof. Amran berujar santai.“Makasih, Prof.” Hening sejenak. Sepotong pertanyaan mampir di benak Mei. Mengabaikan perasaan tidak enak, Mei nekat bertanya. “Tapi Prof makan apa?” “Saya juga sudah mesen makan.” “Baik, Prof. Sekali lagi terima kasih.” “Sama-sama. Oh, iya, jangan pulang terlalu malam. Udara malam sangat dingin.” “Ya, Prof. Saya cuma sampai jam delapan, kok.” Mei segera menyudahi basa-basi lalu meneruskan pekerjaan. Tumpukan kertas jawaban melupakan Mei dari makan malam. Ia harus segera menyelesaikan koreksian dan makan akan mengurangi banyak waktunya. Mei memilih mengganjal perut dengan jus mangga dan sepotong roti cokelat kacang yang sempat dibelinya tadi siang. Jam dinding sudah menunjuk angka delapan ketika Mei membereskan kertas-kertas ujian Mahasiswa semester lima. Semua sudah selesai dikoreksi. Ia tinggal merekap nilai dan menyerahkan pada Prof Amran besok. Mei menggeliat, merenggangkan otot-otot tubuh yang penat lalu berkemas. Dua penghuni lain melakukan hal serupa. Setelah saling menyapa dan berpamitan, keduanya pergi lebih dulu. Mei masih harus merapikan memasukkan kertas-kertas jawaban ke dalam map plastik dan menyimpannya ke dalam tas jinjing bersama sekotak ayam geprek. “Mau nginep, Mbak?” Penjaga perpustakaan tersenyum jenaka. Ia mengambil buku-buku dari meja dan memasukkannya ke dalam troli. Mungkin dia baru akan mengembalikan ke rak besok pagi. Tidak ada yang ingin tertinggal sendirian di gedung ini saat malam. “Eh, tungguin bentar, Mbak. Saya sudah selesai, kok.” Mei mempercepat gerakan tangannya membereskan alat tulis. Ia turun ke lantai satu bersama petugas perpustakaan. Perempuan itu sudah ditunggu suaminya ketika mereka sampai di selasar gedung fakultas. Tinggallah Mei sendirian. Mei membuka ransel, mencari payung lipatnya. Tidak ada. Mei menepuk jidat. Dia pasti lupa memasukkan payung kuning itu tadi pagi. Segera, Mei melepas jaket, bersiap menutupi kepalanya. Walaupun tinggal gerimis tersisa, jarak selasar sampai parkiran cukup jauh. Ia bisa basah jika nekat menerobos hujan tanpa pelindung. Namun, belum sempat kakinya melangkah menuruni tangga selasar, bayangan payung menaungi tubuhnya tercetak di lantai selasar. Mei menoleh. Di sampingnya berdiri Prof. Amran. Payung di tangan pria itu terkembang, menaungi tubuh Mei. “Butuh payung sampai ke parkiran?” Prof. Amran bertanya dengan suara renyah.“Eh, iya, Prof.” Mei tersenyum segan. Hubungannya dengan Prof. Amran memang tidak sekaku dulu. Enam bulan bekerja sama mengajar dua kelas dan bimbingan tesis yang cukup intens mendekatkan mereka. Meski demikian, ia tetap tidak pernah punya keinginan untuk meminjam barang sang profesor. Bibir Prof. Amran melengkung. Kedua matanya menyipit sementara tangannya mengulurkan gagang payung. Dada Mei sedikit berdebar. Ia tidak enak, tetapi butuh. Dilihatnya arloji. Waktu bergerak cepat. Lalu pandangannya tertuju ke halaman. Di bawah temaram sinar lampu berwarna kuning, titik-titik air seperti jarum disebar dari langit. Ia harus segera pulang. “Saya boleh pinjam sebentar, Prof.?” Akhirnya Mei menekan perasaan tidak enak di hatinya. “Bawa saja.” Posisi tangan Prof. Amran tidak berubah.“Nanti Prof kehujanan.”“Saya selalu bawa payung dua.” Prof. Amran menepuk ransel di punggung. “Untuk berjaga-jaga kalau ada orang-orang seperti kamu,” lanjutnya. Mulut Mei sedikit terbuka. Ia belum pernah bertemu orang yang sengaja membawa dua payung agar bisa membantu orang lain. “Terima kasih, Prof.” Mei mengambil payung dari tangan Prof. Amran. Lalu, dilihatnya pria itu menurunkan ransel lalu mengambil payung lipat merah.“Saya duluan.” Lagi Prof. Amran tersenyum kemudian mengayunkan kaki dengan cepat menuju parkiran mobil.Mei membatu sesaat. Senyum Prof. Amran seperti sihir yang membuatnya kehilangan kekuatan untuk bergerak. Malam itu Mei menyadari kebenaran ucapan Najma kalau Prof. Amran memiliki senyum semanis tiramisu cokelat. Ia tersadar ketika petir menyambar diikuti gemuruh guntur di langit.Astaghfirullah. Mei mengusap wajah lalu menuruni tangga selasar dan berjalan perlahan melintasi halaman menuju parkiran motor. Sesekali ia melompat, menghindari genangan agar kaos kaki dan ujung roknya tidak basah meski upayanya sia-sia. Sebuah mobil berhenti tidak jauh dari tempatnya berdiri ketika Mei baru separuh jalan melintasi halaman. Ia menengok. Rupanya Honda Jazz Prof. Arman. Mei mendekat karena pria itu menurunkan kaca jendela dan melihat ke arahnya. “Bapak mau ambil payungnya sekarang?” Prof. Amran tersenyum, sedikit lebih lebar dari biasanya. “Apa muka saya terlihat seperti orang menagih utang?” “Oh, bukan begitu, Prof.” Mei mengusap ujung hidung lalu meremas tepi rok. “Saya mau nawarin tumpangan. Sudah malem, hujan. Kamu bisa kedinginan kalau naik motor.” “Belum jam sembilan, Prof. Insyaallah nggak apa-apa. Lagi pula saya senang hujan-hujanan.” “Oke, kalau begitu. Selamat bermain hujan.” Prof. Amran tersenyum kemudian menaikkan kaca mobilnya. Di bawah guyuran air hujan, Mei berdiri, menatap Honda Jazz biru metalik itu menjauh hingga hilang di tikungan. Lagi-lagi, ia disadarkan oleh kilatan petir. Hari ini ia sering sekali melihat senyum Prof. Amran. Sepertinya ia butuh secangkir teh dan semangkuk bakso pedas untuk menjaga kewarasan otaknya agar tidak oleng karena kesambet senyum Prof. Amran.Mei segera berjalan ke parkiran. Masih ada beberapa motor di sana. Ia melongok ke sisi kanan di luar tempat parkir. Sekretariat himpunan mahasiswa pertanian masih ramai. Lampu berwarna kuning menyala terang. Mei menarik napas lega, setidaknya ia bukan penghuni terakhir kampus. Setelah mengangguk sopan dan mengucapkan terima kasih pada penjaga parkir, Mei memacu motor menuju kontrakannya di deka kali code. “Eh, kamu dipinjemin payung Prof. Amran, ya?” todong Aina ketika Mei tiba di rumah. Ia baru saja memarkir motor di garasi lalu mengembangkan payung dan meletakkannya di atas jok motor. “Kok, tahu?” “Aku hapal payung Prof. Amran, soalnya dua kali dipinjemin.” Aina menunjuk payung biru gelap. “Oh.” Hanya jawaban itu yang keluar dari bibir Mei. Ia merasa tidak perlu membahas pinjaman payung itu lebih panjang.“Kalau musim hujan gini, Prof. Amran kayaknya punya kerjaan sambilan jadi ojek payung.” “Hush.” Aku melambaikan tangan di depan wajah Aina lalu kami tergelak. “Dia itu baik, ganteng, pinter. Sayang masih jomlo. Coba aku belum nikah, pasti sudah aku pepet.” “Aku laporin suami kamu, lho, kalau kamu naksir Prof. Amran.” “Coba aja laporin. Justru kalau dia cemburu, artinya masih sayang sama aku.” “Dasar bucin.” Aku mencubit lengan Aina.“Eh, gimana kalau kamu saja yang pepetin dia? Kalian kayaknya cocok.” ***
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan