Senja di Batavia | Bab 3 - 4

0
0
Deskripsi

Juliana van Bart, putri seorang pejabat Belanda, jatuh cinta pada seorang pribumi, Raden Soeryo Witjaksono. 

Kedua orangtua Juliana tidak setuju dan mengirimnya kembali ke Belanda untuk melanjutkan sekolah di Universitas Leiden. Sementara itu, Raden Soeryo Witjaksono juga dijodohkan dengan putri salah satu bangsawan Surakarta.

 Bagaimana perjalanan cinta keduanya? Apakah mereka akan bertemu kembali?

Bab 3

Raden Soeryo mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan perpustakaan Kawedri. Ia membuang napas perlahan. Sudah beberapa hari sejak peristiwa pesta di Hotel des Indes, Juliana tidak pernah menampakkan batang hidungnya lagi di perpustakaan. Raden Soeryo hanya ingin minta maaf sudah meninggalkannya begitu saja tempo hari. Mengajak nona Belanda itu berbicara ketika di kelas, jelas tidak mungkin. Menyapa siswa Belanda lebih dulu, apalagi nona-nona Belanda, bisa menimbulkan masalah. 

Raden Soeryo baru saja mengerjakan satu soal aljabar ketika seseorang tiba-tiba menggebrak mejanya. Refleks ia mendongak. Di seberang meja terlihat Hansen, murid satu angkatan dengannya berdiri congkak sembari menatap Raden Soeryo dengan sorot mata mengejek.

“Berani-beraninya jij pergi ke pesta dengan Juliana, heh!” Rahang Hansen van Rijn mengeras. Wajah putihnya memerah. “Inlander rendahan seperti jij tidak pantas duduk bersama bangsa kulit putih!” hardiknya dengan suara yang cukup membuat semua siswa yang sedang berada di perpustakaan menoleh.

Raden Soeryo bergeming. Matanya menatap tajam Hansen sementara kedua tangannya terkepal. Hansen bergerak maju. Tangannya meraih baju Raden Soeryo kemudian mencengkeram sehingga tubuh priyayi Jawa itu sedikit terangkat dan kedua pasang mata mereka berada pada satu garis lurus. Darah Hansen menggelegak ketika menyadari tak ada rasa takut di wajah Raden Soeryo, Ia menyeret tubuh Raden Soeryo keluar perpustakaan menuju halaman sekolah.

Sesampainya di halaman, Hansen menyentak tubuh Raden Soeryo dengan kasar hingga lelaki itu sedikit terhuyung ke belakang. Sekian detik kemudian Raden Soeryo berhasil menguasai diri. Ia berdiri tegak dengan sikap siaga. Ia mencoba mengatur napas demi meredam emosi yang nyari meledak. Siswa-siswa yang semula berada di perpustakaan sudah berpindah tempat dan kini berdiri membentuk lingkaran mengelilingi keduanya. Semua terlihat menahan napas, menunggu duel seperti apa yang akan terjadi di antara keduanya.

Hansen bergerak maju. Tinjunya meluncur ke arah wajah Raden Soeryo yang dengan cepat menggeser tubuhnya sehingga pukulan lelaki Belanda itu mengenai udara. Lelaki dengan rambut kecokelatan itu terkejut, tidak mengira lawannya akan mengelak. Hansen melayangkan pukulan kedua. Raden Soeryo menggeser tubuhnya sehingga pukulan Hansen kembali meleset. 

Dua kali gagal, api di hati Hansen semakin membara. Ia pun melayangkan pukulan ketiga.  Kali ini Raden Soeryo tidak hanya mengelak. Ia menepis tangan siswa Belanda itu dan melayangkan pukulan balasan tepat di wajah Hansen. Hansen terperangah. Diusapnya darah di sudut bibir dengan kasar. Matanya menatap nyalang lawan duelnya. Ia tak mengira pribumi di depannya berani meninju wajahnya.

Raden Soeryo ingin segera menyudahi duel tak terduga siang ini. Ia membiarkan Hansen merangsek maju merangsek maju untuk melayangkan pukulan kelima. Raden Soeryo berkelit lincah. Tinjunya lebih dulu mengenai wajah Hansen untuk kedua kalinya. Sekian detik kemudian tinjunya mendarat di dada Hansen sehingga lelaki Belanda itu terjajar beberapa langkah ke belakang.

Hansen masih ingin melanjutkan serangan, tetapi beberapa temannya sesama siswa Belanda menahan tubuhnya. Mereka khawatir, jika duel dilanjutkan, Hansen akan semakin babak belur.

Raden Soeryo segera meninggalkan Hansen yang terus menyumpahinya dengan bahasa Belanda. Raden Soeroso dan Haryo yang sejak tadi berada di barisan penonton berusaha mengejar langkah cepat Raden Soeryo.

“Kenapa nggak ngalah saja, Yo?” ujar Raden Haryo ketika sudah berada di samping kirinya.

“Iya, Yo. Kita di sini hanya siswa kelas dua, nggak akan bisa melawan mereka.” Raden Soeroso menimpali. “Bisa-bisa kamu dikeluarkan dari sekolah. Eman, hanya tinggal sebentar,” lanjutnya prihatin.

Raden Soeryo menghentikan langkah dan menatap sengit keduanya. Raden Soeryo kecewa mendapati keduanya justru menyalahkan pilihan sikapnya. Mereka memang warga kelas dua. Namun, bukan berarti harus diam saat harga diri diinjak-injak.

“Soeryo!” Teriakan Juliana memenuhi koridor menuju ruang perpustakaan. Setengah berlari ia mendekati Raden Soeryo. 

“Kenapa jij harus berkelahi?” ujarnya sambil berusaha meraih lengan Raden Soeryo.

Raden Soeryo bergeming. Ditepisnya tangan Juliana dan meninggalkan gadis itu dengan langkah cepat. Tujuannya hanya satu, segera kembali ke perpustakaan kemudian pulang. Hatinya kelut-melut. Andai waktu bisa diputar, ia ingin mangkir dari pesta ulang tahun di Hotel den Indes yang ternyata menimbulkan banyak masalah di kemudian hari.

Perbuatannya menghajar Hansen membawa Raden Soeryo pada masalah baru. Hari itu ia tak bisa pulang. Polisi Weltevreden mendatangi sekolah dan menggelandangnya ke kantor polisi. Ia dijebloskan ke balik jeruji meski Meneer Tiebout berusaha meyakinkan polisi bahwa Raden Soeryo bukan kriminil. Meneer Tiebout adalah satu dari tiga guru di Kawedri yang selalu baik padanya.

“Ik akan minta bantuan direktur untuk membebaskan jij,” ujar Meneer Tiebout sebelum polisi membawanya pergi dari sekolah.

Raden Soeryo hanya bisa menggumamkan terima kasih sambil berusaha tetap tersenyum. Ia teringat ucapan Raden Soeroso, sekuat apa pun melawan, ia akan tetap kalah. Namun, setidaknya ia kalah dengan terhormat karena tak pernah membiarkan orang-orang kulit putih itu merendahkan dirinya.

Polisi yang membawa Raden Soeryo menjebloskannya ke dalam sel berukuran 1x2 meter yang pengap dan bau. Beberapa kali tikus meloncat dari atap. Kecoa berkeliaran di sekitarnya tanpa rasa malu. Seorang sipir penjara membawa lilin dan meletakkannya di depan sel ketika malam tiba. Raden Soeryo melepas baju dan menjadikannya alas untuk salat. Ia berdoa semoga salatnya tetap diterima meski dilakukan di tempat yang kotor dan menjijikkan seperti ini.

Keesokan harinya Haji Said dan Ali--anak sulung Haji Said--berhasil menemuinya di kantor polisi. Seorang teman Haji Said yang biasa mencari berita di kantor polisi Weltevreden memberi tahu jika Raden Soeryo berada di sana. 

Lelaki yang selalu terlihat tenang itu menatap Raden Soeryo dengan sorot mata prihatin. “Kenapa kamu bisa berkelahi, Yo?”

“Saya hanya mempertahankan diri, Bah. Tidak ada maksud lain,” jawabnya dengan mata berkabut.

Haji Said memandang Raden Soeryo lamat-lamat. Matanya memindai wajah tampan di depannya. Tak ditemukannya kilat dusta di mata lelaki yang sudah ia anggap anak sendiri.

“Bukan karena perempuan kan, Yo?” seloroh Ali sambil menatap Raden Soeryo jenaka.

Sekian detik Raden Soeryo tergeragap. “Bukan, Mas.” Ia mencoba tetap tenang. Dalam hati ia merapal doa, semoga Ali tidak mengetahui hubungannya dengan Juliana.

“Li ….” Teguran Haji Said menyelamatkan Raden Soeryo. “Ini bukan saatnya bercanda.” Suaranya terdengar menekan.

“Eh, iya, Bah.” Ali mengangguk hormat dan menutup mulut rapat-rapat meski matanya tetap memandang Raden Soeryo jenaka. Ia tidak sengaja melihat Juliana menggandeng lengan Raden Soeryo tempo hari di Hotel des Indes. Saat itu ia baru saja pulang mencari berita. Sebagai pewarta di Koran Neratja dan Oetosan Hindia, ia biasa berada di berbagai tempat untuk mencari berita.

Haji Ali menarik napas dalam. “Abah akan membayar tebusanmu besok. Tidak banyak yang diminta polisi. Kamu bisa keluar dari penjara dengan mudah. Tapi Abah tidak bisa membantumu jika nanti sekolah mengeluarkanmu.”

Raden Soeryo terpaku. Sebelumnya, sudah ada dua pribumi dikeluarkan karena berkelahi dengan siswa Belanda. Raden Soeryo menunduk dalam-dalam. Hati dan pikirannya semakin kacau. Entah apa yang akan dilakukannya jika benar-benar dikeluarkan dari sekolah. Romo dan ibu pasti akan kecewa jika itu terjadi. Apalagi kelulusan tinggal hitungan bulan.

“Ini baju ganti dan makanan, Yo.” Ali menyodorkan buntalan kain pada Raden Soeryo, membuyarkan pikiran yang berkecamuk tak karuan di kepalanya.

Raden Soeryo mendongak. Tangannya meraih buntalan di depannya. “Terima kasih, Mas.”

Suara sipir penjara yang mengingatkan bahwa waktu berkunjung telah habis memutus pembicaraan mereka. Ketiganya berdiri. Raden Soeryo meraih tangan Haji Said dan mencium punggung tangan lelaki itu.

“Banyak doa, Yo. Semoga sekolahmu masih bisa lanjut. Nilai-nilaimu selalu memuaskan. Semoga direktur Kawedri memaafkan dan mengizinkanmu tetap sekolah,” ujar Haji Said sambil menepuk bahu Raden Soeryo.

Raden Soeryo mengangguk dan mengucapkan terima kasih kepada Haji Said dan Ali sebelum sipir membawanya kembali ke sel yang berada di belakang kantor polisi.

Catatan: 

Koning Willem III School te Batavia disingkat KW III School yang dalam bahasa Belanda dilafalkan Kawedri.

Koran Neratja: koran yang digawangi Haji Agus Salim.

Koran Oetosan Hindia: koran milik Sarekat Islam 

***

Bab 4

Raden Soeryo memarkir sepedanya di halaman Kawedri. Tebusan Haji Said dan surat jaminan dari Tuan Tiebout van Rouyen bahwa ia bukan kriminil berhasil mengeluarkannya dari jeruji besi kepolisian Weltevreden. Hari ini ia datang ke sekolah untuk memenuhi panggilan Dr. Marius van Leeuwen, direktur Kawedri.

Priyayi Jawa itu melangkah perlahan menuju gedung utama. Beberapa kali ia merapikan pakaian yang dikenakannya meski sebenarnya tidak perlu demi mengusir gugup. Asa yang selama ini terpatri di dalam hati seolah terbang bersama debu dan dedaunan kering yang tertiup angin. Ranting pohon beringin tua yang berdiri tegak di salah satu sisi halaman sekolah bergerak-gerak seperti tengah mengucap selamat tinggal padanya. Hati Raden Soeryo yang sejak dari rumah berusaha tetap tenang kembali luruh. Pikirannya centang-perenang menyadari hari ini akan menjadi hari terakhirnya di Kawedri.

Dulu, kanjeng rama yang memaksanya untuk masuk Kawedri. Belum banyak sekolah lanjutan yang didirikan Belanda di tanah Hindia ini. HBS yang terbaik di pulau Jawa adalah Kawedri dan HBS Soerabaja. Kanjeng rama memilih Batavia karena ada Haji Said, kenalannya. 

Raden Soeryo sempat keberatan karena ia sudah satu tahun melanjutkan sekolah di MULO. Selain itu, ia sudah dua kali mengulang ujian Bahasa Belanda dan Bahasa Perancis, tetapi nilainya masih saja belum memenuhi syarat masuk HBS. Namun, kanjeng rama justru mencarikan guru untuknya agar bisa mengejar ketinggalan sehingga pada ujian ketiga ia lulus dan diterima menjadi siswa Kawedri. Dalam benak kanjeng rama, Kawedri yang berada di pusat kekuasaan pemerintah Hindia Belanda akan memberi banyak pengalaman dan kesempatan untuk berkembang pada putera tertuanya. Selain itu, lulusan HBS lebih mudah melanjutkan sekolah ke negeri Belanda, cita-cita yang telah lama tersemat di hati kanjeng rama.

Raden Soeryo terpaku di depan ruang direktur. Beberapa kali tangannya terayun hendak mengetuk pintu jati di depannya, tetapi urung. Jantungnya semakin cepat bertalu. Berulangkali pula ia menghapus peluh yang membasahi dahi. Telapak tangannya pun basah oleh keringat. Raden Soeryo mundur beberapa langkah mencoba mengatur napas menenangkan diri. Wejangan Haji Said tadi pagi kembali berdengung di telinganya.

“Apa pun yang terjadi, hadapi dengan hati lapang, Yo. Yang penting kamu berbuat benar.”

Akhirnya, dengan segenap kekuatan yang dimilikinya, lelaki berusia sembilan belas tahun itu memberanikan diri mengetuk pintu. Ia mendorong pintu perlahan setelah mendengar perintah dari dalam untuk masuk.

Dr. Marius van Leeuwen menelisik Raden Soeryo yang berdiri di tengah ruang kantornya. Tangannya mengelus janggut yang sedikit memanjang. Mata lelaki yang sudah cukup berumur itu menatap prihatin. Ia menghela napas panjang. Belum lama ia pindah dari HBS Soerabaja, sudah disuguhi adu jotos antara siswa pribumi dan Belanda. 

Sudah lama Dr. van Leeuwen mengabdi di tanah Hindia Belanda ini. Ia hidup berpindah tempat mulai dari Salatiga, Semarang, Soerabaja, dan sekarang Batavia. Ia tahu, tak semua pribumi bersedia mengalah karena mereka memang tak selalu salah. Raden Soeryo mungkin salah satunya. Namun, hukum di semua sekolah Belanda sama, pribumi harus keluar jika memukul siswa Belanda.

Raden Soeryo mematung di tengah ruangan berukuran 3 x 3 meter itu. Detak jam di dinding sahut-menyahut dengan debar di dada yang semakin cepat. Dua rak buku di sisi kiri dan kanan dinding seolah menghimpit tubuhnya. Raden Soeryo ingin berlari, pergi secepatnya. Namun, sorot mata biru penuh wibawa direktur Kawedri seolah mencengkeram tubuhnya sehingga ia terpaku dengan kepala tertunduk.

“Soeryo Wicaksono ….” 

Suara berat Dr. van Leeuwen memenuhi ruangan. Ia bangkit kemudian berdiri di depan meja kerjanya. Disandarkannya tubuh yang tinggi besar itu pada bibir meja. Mata birunya memandang Raden Soeryo dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tak ada kesan garang dan keras yang ia tangkap. Justru ia bisa melihat kilau kecerdasan dari manik mata hitam milik Raden Soeryo.

“Ya, Tuan.” 

Sekuat tenaga Raden Soeryo berusaha menekan gelisah. Bayangan ia harus hengkang dari sekolah ini dan wajah kecewa kanjeng romo  silih berganti mengisi rongga kepalanya.

“Siswa terbaik keempat tahun ini?”

Raden Soeryo mengangguk lemah. Apalah artinya menjadi siswa terbaik, toh ia tetap pribumi.

“Nilai aljabar dan fisika tertinggi?”

Raden Soeryo mengiakan. Ia tidak tahu apakah nilai-nilai istimewa itu cukup membantunya. Bagaimana pun juga ia tetap siswa kelas dua.

Dr. van Leeuwen meletakkan kaca mata berbingkai bulat di atas meja kemudian mendekati Raden Soeryo. “Sayang …, nilai-nilai jij yang bagus itu tidak ada artinya lagi sekarang.”

Raden Soeryo tercekat. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Ia merasa dirinya terbenam ke dasar bumi. Hancur.

“Jij tahu apa hukuman untuk pribumi yang memukul  siswa Belanda?” Suara Dr. Leeuwen menyentak kesadaran Raden Soeryo.

“Ya, Tuan.”

Sebenarnya, Dr. van Leeuwen bisa saja mengeluarkan Raden Soeryo detik ini juga dari sekolah seperti yang biasa dilakukan di sekolah-sekolah Belanda pada umumnya. Namun, ia tak ingin melakukan hal yang sama, menghukum tanpa menyelidiki persoalan sebenarnya. Selama lima tahun menjadi direktur HBS Soerabaja, ia belum pernah mengeluarkan siswa pribumi tanpa sebab yang bisa diterima akal sehat.

“Kenapa jij memukul Hansen?”

Raden Soeryo mendongakkan wajah. Keberaniannya kembali muncul. Direktur memberi kesempatan padanya untuk melakukan pembelaan. Ia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dan menceritakan peristiwa tempo hari dengan detail.

Dr. van Leeuwen mengganjur napas. Ia sudah memperkirakan jika kesalahan memang bukan di pihak Raden Soeryo. Dua hari yang lalu ia memanggil Hansen untuk meminta penjelasan. Tentu saja Hansen memberikan penjelasan yang sangat jauh berbeda. Namun, Dr. van Leeuwen tahu siapa yang berbohong. Mata tuanya tak bisa dengan mudah ditipu oleh anak kemarin sore seperti Hansen.

Lelaki Belanda dengan rambut kecokelatan itu terlihat puas mendengar jawaban Raden Soeryo. Perlahan, tangannya menepuk bahu Raden Soeryo. “Jij seharusnya keluar dari sekolah saat ini juga. Tapi jij beruntung karena Meneer van Royen membawa kasus ini ke Dewan Kehormatan Sekolah. Nasib jij akan ditentukan pada sidang Dewan Kehormatan. Selama belum ada keputusan, jij diskors.”

Raden Soeryo menarik napas lega. Beban yang sejak tadi menghimpit dadanya sedikit terangkat. Setidaknya harapan untuk tetap melanjutkan sekolah di sini belum pupus. Ia mengangguk hormat pada Dr. van Leeuwen sembari mengucap terima kasih.

Dr. van Leeuwen kembali menyandarkan tubuhnya di bibir meja. “Jij boleh pergi sekarang.”

Sekali lagi Raden Soeryo mengucapkan terima kasih kemudian pergi meninggalkan ruangan. Disusurinya lorong gedung utama tersebut menuju gedung di sebelah utara. Ia ingin bertemu dan mengucapkan terima kasih kepada Tuan van Royen yang telah membantunya. 

Sejenak ia berhenti di depan perpustakaan dan melongok ke dalam. Sekian waktu hatinya menghangat ketika bayang wajah Juliana dengan mata biru dan senyum riang melintasi pikiran.  

Denting suara lonceng tanda pergantian pelajaran membuyarkan lamunannya. Ia mengusap wajah kasar kemudian kembali berjalan ke utara. Raden Soeryo beruntung, Tuan Tiebout van Royen baru saja sampai di depan ruang kerjanya. Dari kejauhan, Raden Soeryo bisa melihat Tuan van Royen tengah mendorong pintu ruangannya.

“Terima kasih sudah membantu saya, Tuan.” Raden Soeryo mengangguk hormat pada Tuan van Royen setelah keduanya berada di dalam ruangan.

Tuan van Royen tersenyum. “Beruntung direktur sekolah ini sudah berganti, Soeryo. Dr. van Leeuwen seorang yang bijaksana. Ik sudah meminta bantuannya. Ia berjanji akan memberikan keputusan yang seadil mungkin.” Wajah Tuan van Royen terlihat lega. Ia tidak ingin kehilangan siswa terbaiknya di kelas fisika.

“Dan entah siapa yang melaporkan, Meneer Willem van Bart, Directeur van Onderwijs en Eredienst, kemarin mengirim surat kepada Dr. van Leeuwen agar menangguhkan pemecatan jij dari sekolah dan meminta ik mengajukan masalah ini ke Dewan Kehormatan Sekolah.”

Kalimat terakhir Tuan van Royen memupus senyum samar yang sempat terbit di wajah Raden Soeryo. Hatinya jeri mengingat nama Willem van Bart yang harus terseret dalam pusaran masalahnya.

Keterangan:

1. HBS: Hoogere Burgerschool, merupakan lanjutan tingkat pertama untuk orang Belanda, Eropa, Tionghoa, dan rakyat Indonesia yang terpandang. Masa studinya adalah 5 tahun dan menggunakan bahasa Belanda dalam proses belajar mengajar.

2. MULO: Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, setara dengan sekolah menengah pertama. Menggunakan Bahasa Belanda sebagai pengantar. Jenjang studi sekolah di MULO terbagi menjadi dua bagian. Tiga tahun untuk lulusan ELS, dan empat tahun selain lulusan ELS karena ada masa persiapan 1 tahun.

3. Lulusan HBS bisa langsung melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi baik di negeri Belanda maupun di Hindia Belanda. Lulusan MULO harus melanjutkan ke Algemeene Middelbare School (AMS) selama tiga tahun sebelum melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Senja di Batavia | Bab 5 -6
0
0
Juliana van Bart, putri seorang pejabat Belanda, jatuh cinta pada seorang pribumi, Raden Soeryo Witjaksono. Kedua orangtua Juliana tidak setuju dan mengirimnya kembali ke Belanda untuk melanjutkan sekolah di Universitas Leiden. Sementara itu, Raden Soeryo Witjaksono juga dijodohkan dengan putri salah satu bangsawan Surakarta. Bagaimana perjalanan cinta keduanya? Apakah mereka akan bertemu kembali?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan