
Link bab 11-15:
https://www.karyakarsa.com/AnifahSetyawati/menggapai-bahagia-usai-berpisah-bab-11-15
cerita ini bisa dibeli bundling dengan Teman Tapi Mantan (Menikahi Gadis Tanpa Nasab). Hemat Rp. 11.000,00 atau 110 koin
https://karyakarsa.com/AnifahSetyawati/teman-tapi-mantan
****
Lintang Ayu Saraswati harus menikah dengan Satya Aditya Prawira akibat perjodohan yang dilakukan mendiang sang ayah. Bagaimana Lintang menjalani pernikahannya dengan Satya yang telah memiliki kekasih? Siapakah yang akan dipilih Satya? Ikuti perjalanan cinta mereka dalam cerita ini.
Bab 1
“Ini hanya sementara, Lin. Tidak lama.”
Satya menatap lamat-lamat perempuan yang baru dinikahinya beberapa jam yang lalu itu. Mereka tengah duduk di bibir ranjang pengantin yang menguarkan aroma melati. “Aku minta waktu untuk berusaha membujuk bunda.”
Sekian detik Lintang terperenyak, tidak menyangka lelaki dengan tubuh tinggi tegap di hadapannya tega mengatakan hal paling menyakitkan itu bahkan ketika akad belum lama terucap dari bibirnya.
Gadis berusia jelang dua puluh tiga tahun itu menggigit-gigit bibir bawahnya, mencoba melerai rasa sesak yang tiba-tiba membekap dada. Buru-buru ia mengatur napas, mencoba mengendalikan gelombang di hati yang hampir menyapu daratan. Harum bunga sedap malam yang berada di atas nakas justru menambah ngilu di hati Lintang. Susah payah ia mendekor kamar pengantin ternyata berakhir pada sikap sedatar layar monitor yang dipertontonkan Satya.
“Aku minta waktu bicara pada bunda. Kita bisa berpisah kalau bunda sudah bisa menerima kenyataan kita tidak saling mencintai.”
Lintang menelan ludah. Ia sadar sepenuhnya jika pernikahan ini hasil perjodohan almarhum ayah Satya dan almarhum ayahnya. Namun, bukan berarti ia main-main saat melakukannya. Gadis yang belum selesai kuliah itu sudah bertekad akan belajar menjadi istri yang baik dan tentu saja belajar mencintai dan menerima Satya.
Lintang berpikir keinginannya untuk meraih cinta Satya akan bersambut. Sejak tanggal pernikahan ditentukan dan ia tidak mampu lagi mengelak, Lintang selalu berdoa semoga suaminya kelak akan berusaha menjalani pernikahan ini dengan baik. Bukankah rasa cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu? Keyakinan itulah yang ia genggam kuat-kuat. Namun, ucapan suaminya malam ini membuat hatinya remuk. Usahanya bertepuk sebelah tangan. Ternyata Satya memintanya berkorban, bukan berjuang bersama.
“Jadi berapa lama kita akan berpura-pura jadi suami istri, Mas?” Akhirnya Lintang bisa meloloskan kalimat setelah sekian menit hanya membisu.
Satya mengalihkan pandangan dari wajah Lintang. Ia menatap langit-langit kamar, mencoba mengurai pikiran seruwet benang kusut. “Aku tidak bisa memastikan, Lin. Tergantung kondisi bunda. Kamu tahu kan, kalau bunda punya darah tinggi dan penyakit lainnya. Aku harus hati-hati dan cari waktu yang tepat untuk bicara dengannya.”
Lintang menarik napas panjang, melepas rasa kecewa yang menggumpal di dada. Ia merasa telah masuk perangkap manusia paling egois di dunia. Sejak tadi Satya terus menuntutnya untuk mengerti sementara laki-laki itu terlihat tidak peduli dengan perasaannya sebagai istri. Kalau pun belum bisa menganggapnya sebagai istri, minimal menghargai perasaannya sebagai perempuan. Andai mampu, ia ingin mendaratkan tinju di wajah datar Satya.
“Jadi saya harus menunggu tanpa kepastian?” Lintang tidak ingin terlihat lemah dan kalah di hadapan Satya. Ia harus memperjuangkan nasibnya. Ia tidak ingin nasibnya digantung seenaknya. Perempuan bertubuh semampai itu merasa perlu menyiapkan perasaan ketika mereka benar-benar berpisah. Tidak mudah menjanda di usia pernikahan yang masih berbilang purnama.
Satya mengganjur napas. Matanya belum beralih dari langit-langit kamar.
“Membiarkan hubungan seperti ini tanpa kepastian waktu sama saja dengan menzalimi saya, Mas.” Bola mata bening milik Lintang menatap tajam Satya. Ia sudah tidak mampu lagi mengerem laju gelombang yang bergulung-gulung di hatinya.
“Harus ada batas waktu yang pasti. Saya bukan boneka yang tidak punya perasaan.” Lintang tersekat di ujung kalimat. Susah payah ia menahan air mata agar jangan sampai tumpah di hadapan manusia dengan hati sedingin salju kutub utara itu.
“Aku pastikan, tidak lebih dari empat bulan, kamu sudah bebas. Aku akan segera cari waktu terbaik untuk bicara dengan Bunda.” Akhirnya Satya memberi keputusan. “Semoga kondisi bunda stabil,” lanjutnya.
“Kalau dalam waktu empat bulan Mas Satya belum berhasil membujuk Bunda?”
Satya tertegun. Kemungkinan itu belum pernah ia pikirkan sebelumnya. Sampai saat ini ia masih yakin suatu hari Bunda akan luluh dan mengizinkannya menikah dengan perempuan pilihannya.
“A-aku belum memikirkannya, Lin.” Jemari kokoh Satya menyugar rambut lurus tebal miliknya.
Sesaat pandangan mata Lintang terkunci pada wajah tampan Satya kala menyugar rambut. Buru-buru ia memalingkan wajah sembari mengingatkan jika manusia di depannya ini tidak pernah menginginkan pernikahan ini.
“Nanti aku pikirkan lagi kalau sampai empat bulan Bunda belum juga mengizinkan kita berpisah.”
Lintang membuang napas kasar, lagi-lagi dia yang harus mengalah. “Baiklah, jika itu maumu,” batin Lintang. Dalam hati, perempuan berlesung pipit itu berjanji akan menaklukan hati Satya sebelum waktu yang ditentukan habis. Ia bertekad tidak akan menyerah.
“Okelah, kalau memang itu maunya Mas Satya. Toh memang cinta nggak bisa dipaksakan.” Lintang berujar sok bijak padahal batinnya merintih.
Satya menarik napas lega. “Terima kasih sudah mengerti,” ujarnya kemudian. Diam-diam ia salut dengan ketegaran Lintang.
Selama sepekan berada di rumah paman Lintang, Satya memperlakukan istrinya dengan mesra. Sikapnya di depan semua orang membuat hati Lintang terus bergetar. Ia khawatir jika waktunya tiba tidak akan sanggup berpisah dengan lelaki berkaca mata itu.
Namun, jangan ditanya perlakuan Satya di dalam kamar. Lelaki dengan manik mata sekelam malam itu akan bersikap tak acuh pada Lintang. Ia bahkan membatasi ranjang dengan guling besar karena di kamar Lintang hanya ada satu tempat tidur besar. Tak seinchi pun perhatian Satya teralih padanya membuat Lintang seperti terlempar ke dasar jurang yang gelap.
Genap tujuh hari Satya menikmati cuti demi menjalani rangkaian prosesi pernikahan yang telah diatur sang bunda. Ia sebenarnya ingin pernikahan sederhana. Toh nanti mereka akan berpisah juga, jadi tidak perlu repot-repot menghabiskan banyak uang. Namun, ia tidak kuasa menolak kehendak bundanya yang telah menyusun rencana dengan matang.
Hari ini Satya bersiap kembali ke Bandung dan Lintang masih akan tinggal di Yogyakarta untuk menyelesaikan skripsinya yang hampir rampung.
Tiba-tiba, terbit keinginan Lintang untuk melihat-lihat ponsel Satya, satu hal yang belum pernah dilakukannya selama tujuh hari bersama. Kebetulan suaminya meninggalkan ponsel di atas nakas saat mandi. Kamarnya tidak memiliki kamar mandi dalam sehingga Lintang punya cukup waktu untuk membuka-buka ponsel Satya.
Ia menarik napas lega ketika ponsel Satya tidak bersandi. Segera dibukanya aplikasi hijau. Ternyata masih terbuka chat dengan seseorang bernama Hanum. Jemari lentik Lintang segera menyusuri deretan kalimat dalam chat tersebut.
“Aku sudah bicara dengan Lintang. Hanya tiga bulan dan aku akan kembali.” Demikian tulis Satya dalam satu chat.
“Kamu sabar ya, Sayang. Tiga bulan tidak lama,” tulis Satya di chat berikutnya setelah Hanum mempertanyakan berapa lama ia harus menunggu.
Lintang tidak mampu membendung riak-riak di hatinya. Perlahan sudut matanya mengalirkan luka menyadari takada tempat baginya di sudut hati Satya. Haruskah ia menjanda di usia muda? Tiba-tiba pertanyaan itu menjajah perasaannya, menerbitkan rasa risau. Bagaimana ia akan menghadapi omongan orang ketika waktu perpisahan itu tiba? Tiba-tiba Lintang merasa seolah bumi tempatnya berpijak terbelah dan menelan tubuhnya. Ia menggelepar dalam gelap, mencoba meraih cinta yang takpasti.
***
Bab 2
Sekian waktu hanyut dalam rasa sedih dan kesal yang berkelindan di dalam hati, Lintang memutuskan untuk berpura-pura tidak tahu tentang perempuan bernama Hanum yang telah bertahta di hati Satya. Segera dibersihkannya wajah dari jejak air mata kemudian mencoba bersikap biasa.
“Beneran kamu nggak mau ikut ke Bandung? Jalan-jalan dulu, nanti baru ngerjakan skripsi lagi?” Satya kembali bertanya pada Lintang. Sudah beberapa kali ia mengajak istrinya ikut ke Bandung, tetapi selalu tak bersambut. Bukan apa-apa, Satya hanya tidak ingin Bunda marah karena meninggalkan istrinya di Yogyakarta.
Mendengar pertanyaan Satya, seketika chat lelaki itu dengan Hanum kembali mengusik ingatan Lintang. Sejak awal ia memang sudah berencana untuk tetap di Yogyakarta dulu sampai skripsi selesai baru ikut ke Bandung. Namun, chat suaminya membuat Lintang bimbang. Bagaimana jika keduanya intens bertemu layaknya pasangan kekasih selama ia berada di Yogyakarta? Bagaimana jika Satya diam-diam menikahi Hanum ketika ia tidak berada di sisi suaminya itu? Berbagai pertanyaan buruk seketika menjajah kepalanya, membuat hatinya mendadak diliputi rasa was-was.
“Lin ….” Satya menatap lekat Lintang. Matanya memindai wajah berselimut make up tipis di depannya yang terlihat melamun. Sejujurnya, Satya mengakui jika Lintang gadis berparas ayu. Tidak salah Bunda memilihkan istri untuknya. Namun, ia tentu tidak ingin mengingkari janji yang sudah terucap. Laki-laki pantang ingkar janji dan yang paling penting ia tidak ingin menyakiti hati Hanum.
“Diajak bicara kok, malah melamun?” Satya mengibaskan tangan di depan Lintang seraya tersenyum samar. “Mikirin apa?”
Lintang tergeragap. “Eh, enggak kok, Mas. Nggak mikir apa-apa.” Lintang memalingkan wajah dari Satya sejenak, menyembunyikan rasa malu karena ketahuan bengong. “Aku di sini dulu saja. Khawatirnya kalau ikut Mas Satya ke Bandung, aku nggak balik sini lagi karena keenakan di sana. Ntar aku nggak jadi lulus, deh,” ujarnya setelah kembali bersitatap dengan Satya.
Satya memamerkan deretan gigi seputih kapas miliknya, membuat hati Lintang berdesir karena suaminya terlihat menawan ketika tersenyum ataupun tertawa. “Kamu ada-ada saja, Lin. Liburan seminggu nggak masalah. Nanti aku ingetin kalau mager di sana.”
Lintang terdiam. Syaraf-syaraf otaknya sibuk menimbang dan berhitung tentang segala kemungkinan. Ajakan Satya cukup menggiurkan juga. Ia belum pernah liburan ke Bandung. Siapa tahu nanti di sana ia bisa sekalian mencari informasi tentang Hanum.
“Nggak usah khawatir, rumah di Bandung punya dua kamar tidur, kok. Jadi kamu nggak usah takut aku bakal ngapa-ngapain kamu.” Satya kembali memecah beku di antara mereka.
Ah, kata-kata itu lagi, membuat mood Lintang terjun bebas ke jempol kaki. Ia yang sempat bahagia karena ajakan Satya dan berharap ini jadi awal yang baik bagi pernikahannya kembali terpuruk. Ia seperti disanjung kemudian dihempaskan ke tanah dengan keras sehingga tulang-belulang di tubuhnya remuk.
“Nggaklah, Mas. Ntar saja sekalian kalau sudah beres skripsinya aku ke Bandung. Jadi bisa liburan tenang tanpa kepikiran kerjaan di lab dan nulis.” Lintang mencoba mengurai senyum meski hatinya diamuk topan badai.
“Ya sudah, kalau begitu. Ntar kabari saja kalau kamu mau ke Bandung biar aku jemput.” Satya bangkit dari tepi ranjang kemudian menata barang-barangnya di dalam koper.
“Sini aku setrikain dulu, Mas, baju-bajunya. Di sana nanti tinggal pakai.” Lintang menawarkan diri ketika melihat baju-baju suaminya masih kusut. Ia merutuki diri yang lupa menyetrika. Kebiasaannya hanya menyetrika baju saat akan berangkat kuliah. Untuk urusan itu Lintang memang termasuk ceroboh.
“Nggak usah. Nanti saja di sana. Ada laundry langganan, kok. Lagian kalau disetrika sekarang nanti kusut lagi.” Satya menjawab santai sembari tersenyum.
Ah, kenapa hari ini suaminya banyak menghias wajah dengan senyum sehangat mentari yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat?
“Ssst …, sudah dibilangin, nggak usah, kok, nekat.” Satya memegang tangan Lintang yang terulur hendak meraih baju-baju di dalam koper. Selama sekian detik, sepasang mata Satya menatap manik mata sewarna madu milik Lintang. Sekian detik yang membuat hawa panas menjalari tubuh Satya. Buru-buru ia melepas kontak mata dan pegangan di tangan Lintang ketika bayang wajah Hanum melintas. Diam-diam Satya bersyukur istrinya tidak ikut ke Bandung. Kalau begini terus setiap hari, lama-lama ia bisa jatuh cinta pada Lintang dan menelantarkan Hanum.
Lintang membuang muka, menyembunyikan rona merah di wajah lalu keluar kamar demi mengusir rasa gugup yang mendadak hadir.
Sore harinya, Lintang mengantar Satya ke Stasiun Tugu.
“Kamu bisa nyetir?” Satya menatap Lintang heran ketika istrinya membawa kunci mobil milik pamannya.
“Lintang itu perempuan mandiri, Mas Satya.” Tiba-tiba Paklik Heru sudah berada di samping Satya. “Dia bisa melakukan banyak hal. Cuma satu dia kurangnya.” Lelaki dengan rambut kelabu itu tersenyum jenaka sembari meantap Lintang yang terpasak di dekat pintu garasi. “Dia itu pelupa. Semoga nanti setelah jadi istri, dia nggak lupa sama suaminya.”
Seketika tawa Satya pecah berderai sementara Lintang terlihat manyun.
“Jangan marah, Lin. Sudah kewajiban Paklik memberitahu suamimu. Biar dia nggak kaget kalau tiba-tiba kamu lupa sama dia.”
Lintang semakin merengut. Dengan wajah kesal ia berjalan menuju garasi untuk mengeluarkan mobil.
“Biar aku saja yang nyetir.” Satya buru-buru mengikuti Lintang meminta istrinya pindah posisi. “Kamu jadi navigator saja.” Lelaki itu memberi isyarat dengan matanya agar Lintang segera pindah tempat duduk.
Lintang menurut. Ia pun memberikan kemudi kepada Satya dan berpindah tempat duduk. Takbanyak yang mereka bincangkan sepanjang perjalanan selama satu jam dari Bantul ke Stasiun Tugu. Ingatan tentang Hanum datang silih berganti. Ingin sekali ia bertanya kepada Satya tentang perempuan itu, tetapi deretan kata itu hanya berhenti di ujung lidah sementara bibirnya seolah terkunci rapat.
“Kabari aku kalau skripsimu sudah selesai dan mau berlibur ke Bandung,” ucap Satya saat berpamitan. Petugas stasiun mengumumkan bahwa kereta yang akan ia naiki sudah tiba.
“Insyaallah, Mas.” Lintang memamerkan senyum semanis cokelat hangat.
Senyum tulus istrinya serupa benang kasat mata yang menarik kedua sudut bibir Satya. Lagi-lagi darahnya berdesir dan hatinya bertalu. Senyum Lintang sungguh membius. Tak ingin berlama-lama menatap wajah perempuan di hadapannya, ia segera membalikkan badan dan bergegas menuju kereta tujuang Bandung.
Lintang menarik napas berat melihat punggung Satya menjauh lalu menghilang di balik gerbong. Sampai saat ini, ia masih berharap ada kesempatan merajut pernikahan impian dengan Satya. Dalam diam ia melangitkan doa, memohon agar Allah membuka hati Satya untuknya. Hanya berdoa yang bisa ia lakukan saat ini. Lintang yakin, doanya akan berbuah manis.
Lintang melangkah keluar menuju tempat parkir. Dalam hitungan menit, ia sudah kembali membelah jalanan Yogyakarta - Bantul. Ia mulai menyusun rencana agar skripsi dan pekerjaan di lab segera selesai sehingga ia bisa tiba di Bandung secepat mungkin.
Gadis yang telah yatim piatu sejak berusia sepuluh tahun itu baru saja memarkir mobil di garasi ketika WhatsApp dari ibu mertua dan dosennya datang hampir bersamaan. Dua pesan yang membuatnya harus mengubah beberapa rencana yang telah tersusun.
***
Bab 3
“Kok nggak ikut suamimu saja tho, Nduk?” Bu Marni yang masih sibuk membungkus tempe di ruang tengah menghentikan pekerjaannya ketika Lintang masuk kemudian duduk di sampingnya. Perempuan yang masih setia dengan pekerjaannya membuat tempe dan aneka jajan pasar itu menatap keponakannya lamat-lamat.
“Gimanapun juga kalian pengantin baru, saatnya saling mengenal. Kalau langsung pisahan gini gimana?” Bu Marni tersenyum samar. “Nanti Bulik nggak jadi cepet dapet cucu. Padahal Bulik sudah kangen gendong bayi.” Perempuan bermata seteduh naungan pohon itu mencubit hidung bangir Lintang.
Rona merah menyemburat di pipi Lintang, membayangkan Satya bersikap layaknya seorang suami. Namun, buru-buru dihapusnya bayang lelaki yang baru saja menjadi suaminya itu. Ia tidak ingin terlalu berharap karena konon kalau jatuh sangat sakit. Sampai saat ini ia masih belum bisa membayangkan nasib pernikahannya kelak. Apakah akan bertahan sampai maut memisahkan ataukah terhempas dalam hitungan bulan sebagaimana perjanjiannya dengan Satya.
“Nah, tho, baru pisah sebentar kamu sudah melamun.” Kali ini pipi Lintang yang menjadi sasaran cubitan gemas Bu Marni.
Lintang tertawa. “Lintang nggak melamun, Bulik. Cuma lagi mikir.” Tangan Lintang meraih daun pisang dan kedelai yang sudah diberi ragi. “Sebenarnya pengen juga ikut Mas Satya ke Bandung. Tapi kan, skripsi Lintang sudah hampir selesai. Eman kalau nggak dirampungkan dulu. Nanti keburu mager di Bandung malah gawat.”
Bu Marni manggut-manggut. “Kalau gitu cepat selesaikan skripsimu, Nduk. Kasihan kalau masmu kelamaan sendiri di Bandung. Baru buka puasa sudah harus puasa lagi.”
Lintang menghela napas panjang. Sikap Satya kembali mengusik ingatan meski segera ditepisnya agar tak terlihat Bu Marni. “Ya, Bulik, doain Lintang, ya,” ujarnya kemudian disambut senyum hangat perempuan bertubuh langsing itu.
Lintang menarik napas lega ketika Bu Marni mengganti topik pembicaraan sepanjang pekerjaan mereka membungkus tempe. Kedatangan Farhan dan Karima yang baru pulang dari rapat remaja menambah riuh suasana, membuat Lintang sejenak mampu melupakan prahara rumah tangganya.
Lintang hampir lupa membuka pesan dari dosen dan mertuanya karena perhatiannya tersita untuk membantu Bu Marni. Ia baru membuka WhatsApp ketika sudah masuk ke kamar setelah pekerjaannya selesai.
“Nduk Cah Ayu, kata Satya kamu nggak ikut ke Bandung. Kapan kamu ke Solo? Bunda kangen sama kamu.” Pesan dari Bu Sekar terpampang di layar ponsel pintar berukuran enam inchi di tangan Lintang.
Kedua sudut bibir Lintang terangkat membaca pesan dari ibu mertuanya. Sejak awal bertemu, perempuan berusia jelang enam puluh tahun itu selalu penuh kasih kepadanya. Ia memang berencana sesekali menengok ibu mertuanya, tetapi tidak dalam waktu dekat. Pekerjaan di lab dan skripsinya sudah memanggil untuk segera digarap.
“Bunda harap kamu tiap akhir pekan pulang ke Solo, Cah Ayu. Waktu Bunda tidak lama. Bunda pengen kamu temani di sisa usia Bunda.”
Lintang mengganjur napas. Pesan berikutnya yang dikirm sang bunda membuatnya kembali memikirkan rencana kerja yang telah disusunnya. Sejak kemarin ia sudah bertekad akan lembur tiap akhir pekan.
Lintang mengurungkan niat menelepon ibu mertuanya ketika melihat jam di dinding menunjukkan jam sepuluh malam lebih. Sudah terlalu malam. Dokter tidak mengizinkan perempuan yang gemar membatik itu tidur lewat jam sembilan malam. Masih ada waktu esok hari untuk menghubungi ibu mertuanya untuk meminta pengertian perempuan berdarah ningrat itu tentang skripsinya yang harus segera selesai.
Keesokan harinya, Lintang berangkat ketika matahari mulai menyiram bumi dengan sinarnya yang hangat. Vario hitam yang dikendarainya mulai menyusuri jalan Bantul - Yogyakarta dengan kecepatan sedang. Sesekali ia mempercepat laju motornya ketika melewati jalanan yang tidak terlalu ramai. Ia sengaja berangkat sepagi mungkin agar tidak tergesa.
Tepat sepuluh menit jelang jam delapan pagi, Lintang memasuki kompleks Fakultas MIPA. Setengah berlari ia menuju gedung di sebelah timur. Ia harus bertemu dengan dosen pembimbing sebelum jam setengah sembilan.
“Sorry ngganggu honeymoon kamu, Lin,” goda Prof. Katrina ketika Lintang sudah berada di kantornya. Perempuan berotak jenius yang telah meraih gelar profesor di usia sebelum empat puluh tahun itu tersenyum jenaka.
“Honeymoon sudah selesai kok, Prof. Saya mau ngerjain skripsi sekarang.” Lintang memamerkan deretan gigi-gigi kecil serupa biji mentimun.
“Baguslah. Lebih cepat lebih baik. Nanti kamu bisa honeymoon lagi kalau skripsi sudah kelar.” Prof. Katrina mengambil draft skripsi Lintang dari rak di samping meja kerjanya. “Sudah saya cek kerjaan kamu. Ada beberapa teori penunjang yang harus ditambahkan untuk memperkuat hasil analisa kamu. Salah-salah tulis dan tanda baca juga tolong diperbaiki.” Perempuan bertubuh tinggi semampai itu menyodorkan draft skripsi pada Lintang.
“Ada bad news yang mau saya sampaikan. Dua bulan lagi saya harus ke Jerman. Ada shourtcourse tiga bulan di sana. Kalau nggak pengen sidangmu tertunda, selesaikan secepatnya skripsimu.”
Kalimat terakhir Prof. Katrina cukup membuat kepala Lintang berdenyut. Tadi pagi dia sudah menelepon mertuanya. Perempuan itu tetap meminta Lintang datang setiap akhir pekan. Keinginannya benar-benar tidak bisa ditawar sehingga akhirnya Lintang pun mengiyakan, sementara di sini ia harus berpacu dengan waktu.
“Ada yang mau ditanyakan?” Prof. Katrina menatap Lintang yang termangu di seberang meja.
Lintang menggeleng. “Tidak, Prof. Insyaallah saya akan selesaikan secepatnya agar bisa segera mendaftar ujian,” jawabnya. Ia pun segera pamit karena masih ada satu mahasiswa bimbingan yang menunggu giliran di luar.
Tanpa membuang waktu, Lintang melangkahkan kaki menuju perpustakaan untuk mencari literatur yang dibutuhkan untuk melengkapi skripsinya. Ia akan mencoba membujuk kembali ibu mertuanya nanti setelah urusannya selesai. Hanya akhir pekan ini saja ia meminta waktu agar diizinkan tetap di Yogyakarta. Selebihnya ia akan berusaha untuk berkunjung ke Solo tiap Sabtu - Minggu.
“Duh, pengantin baru, sudah ngampus aja.”
Tepukan di pundak dan suara renyah Dini serupa benang kasat mata yang menarik perhatian Lintang dari tumpukan buku-buku.
“Astagfirullah, bikin kaget aja, Din,” ujarnya pura-pura kesal.
“Memangnya sudah kelar honeymoon-nya, Lin? Kok, sudah nongol di kampus?” Dena tersenyum menggoda. “Sudah goal, belum?”
“Ish, apaan, sih.” Lintang melempar gumpalan kertas ke arah sahabatnya. “Skripsimu gimana, sudah selesai?” Ia mencoba membelokkan topik pembicaraan sebelum Dena semakin menjadi.
Dini membuang napas kasar. “Senasib sama kamu, masih revisi. Tapi Pak Pras sudah wanti-wanti bulan ini harus selesai sebelum beliau berangkat ke Jerman.”
“Wah, sama dong, kita. Prof. Katrina juga minta selesai bulan ini.”
“Kita memang ditakdirkan selalu senasib sepenanggungan, Lin.” Dini berujar dengan wajah serius. “Kecuali satu hal.” Gadis berwajah oriental itu menggantung kalimatnya.
“Apaan?” Lintang menatap Dini dengan sorot penuh tanya. Jika wajah Dini serius, pertanda ia akan melontarkan sesuatu yang penting.
“Kamu sudah sold out dan aku masih jomlo.” Kali ini Dini memasang wajah memelas.
“Ish, kirain mo ngomong apa.” Lintang melempar gumpalan kertas pada sahabatnya yang disambut tawa Dini. Setelah mengobrol sekian menit, mereka kembali tenggelam di antara tumpukan buku-buku. Ultimatum dosen pembimbing membuat mereka menghabiskan waktu di perpustakaan hingga senja dan hanya terjeda oleh waktu salat dan makan siang yang dilahap secepat kilat.
Waktu berputar cepat laksana panah yang memelesat dari busurnya. Hari Jumat, Lintang dan Dini masih berada di perpustakaan hingga tirai malam menutup bumi. Hari Senin mereka berencana menyerahkan revisi skripsi pada dosen pembimbing masing-masing.
Keduanya baru saja merapikan buku-buku dan bersiap pulang ketika ponsel Lintang bergetar. Nama Bunda tertera di layarnya. Sigap, tangannya mengambil ponsel dari atas meja.
“Mbak Lintang, ini saya Mbok Darmi.”
Lintang berjengit ketika bukan suara sang bunda yang ia dengar.
“Ibu sakit. Beliau meminta saya menelepon Mbak Lintang supaya bisa ke sini secepatnya. Ini Pak Pardi sudah berangkat mau jemput Mbak Lintang.”
***
Bab 4
Lintang berharap berita yang ia dengar salah. Namun, suara di seberang dua kli menegaskan jika ibu Satya benar-benar sakit dan Lintang harus segera pergi ke Solo.
“Ada apa, Lin?” Dini menatap wajah Lintang yang mendadak keruh.
Helaan napas panjang dan berat Lintang terdengar. Mata perempuan ayu itu menatap Dena bingung. Setumpuk rencana lembur yang telah tersusun rapi terancam buyar.
“Bunda sakit dan beliau minta aku ke Solo. Sekarang sopirnya sudah jalan mau jemput aku.”
“Ya udah, ayo cepetan pulang.”
Lintang mengiyakan ajakan Dini. Keduanya berjalan cepat menuju tempat parkir.
Ponsel Lintang kembali bergetar ketika ia dan Dini sampai di tempat parkir. Nama Satya tertera di layar.
“Lin, kamu bisa ke Solo sekarang?” Suara Satya di seberang terdengar khawatir. Ia bahkan lupa mengucap salam.
“Tolong tengok dan titip Bunda, ya. Aku pulang besok,” lanjutnya setelah Lintang menjawab pertanyaannya.
“Iya, Mas. Nanti aku kabari kalau sudah sampai dan tahu keadaan Bunda.”
Satya menutup panggilan telepon setelah mengucap terima kasih. Diam-diam, Lintang berharap saitnya Bunda menjadi jalan bagi Satya untuk mengubah sikapnya.
“Kamu yakin mau pulang sendiri ke kos, Lin?”
Lintang mengangguk. Aku nggak apa-apa, kok, Din.”
“Ya, udah. Hati-hati, ya. Jangan ngelamun di jalan. Kalau butuh apa-apa, telepon saja.”
Selarik senyum tulus terlukis di wajah Lintang. “Makasih, Din. Doain ya, semoga Bunda nggak apa-apa jadi aku bisa cepetan balik ke sini buat nyelesein skripsi.”
Dini meraih tangan Lintang. ‘Insyaallah. Aku selalu doain yang terbaik buat kamu.”
Usai mengucapkan terima kasih, Lintang memacu motornya keluar kompleks fakultas. Satu jam setelah tiba di kost, mobil yang menjemputnya tiba. Tanpa menunggu waktu, Lintang segera naik dan mobil pun kembali melaju menuju Solo.
Sepanjang perjalanan Lintang menyusun ulang agendanya dan menyiapkan beberapa plan untuk menghadapi kemungkinan terburuk.
“Jantungnya kambuh, Mbak. Padahal kemarin kondisi Ibu cukup stabil.” Pak Pardi, sopir keluarga Mas Satya menjawab ketika Lintang menanyakan kondisi sang bunda.
“Apa beliau mendengar berita yang tidak mengenakkan?”
Sekian detik Pak Pardi bergeming, mencoba mengingat apa yang terjadi beberapa hari terakhir.
“Seperinya semua baik-baik saja, Mbak. Saya sempat mengantar Ibu ke toko dan rumah kuno yang beliau beli dan sedang direnovasi itu. Ibu kelihatan bahagia dan sehat.”
“Atau kange Mas Satya mungkin, Pak.”
Pak Pardi tertawa. “Mas Satya setiap hari video call dengan Ibu, Mbak.”
Lintang nyengir. Ia baru ingat kalau hampir setiap usai salat subuh dan isya, Satya selalu menelopon Bunda.
Setelah melalui dua jam perjalanan, Grand Livina hitam itu pun memasuki rumah berarsitektur Jawa kuno. Matahari telah tergelincir ke barat ketika Lintang menginjakkan kaki di halaman rumah yang asri itu. Suara jangkrik menyambut kedatangannya. Aroma melati berkelindan dengan bau tanah basah menyelusup ke rongga hidung. Lintang menghirup napas dalam-dalam. Ini kali keiga ia berkunjung ke rumah yang tampak anggun di bawah langit malam, mengingatkannya pada sosok putri keraton yang lembut dan lemah gemulai.
Belum sempat Lintang menekan bel, pintu kayu jati setingga tiga meter terbuka. Seorag perempuan tua dengan kebaya bunga-bunga dan jarik cokelat tua muncul dari balik pintu.
“Monggo, Mbak, masuk. Sudah ditunggu Ibu.” Mbok Darmi, orang kepercayaan Bunda menggesr badannya, memberi jalan kepada Lintang untuk masuk.
Lintang mengangguk kemudian masuk ke dalam rumah. Aroma lavender yang lembut mengingatkannya pada wajah Bunda yang keibuan. Telinga Lintang menangkap suara merdu Syaikh Mishari Rasyid dari balik ruang tamu. Suara aerator memberi kabar jika di ruang yang luas itu terdapat kehidupan lain.
Uisai membersihkan diri, Lintang pun masuk ke kamar perempuan berusia jelang enam puluh tahun itu.
‘Sudah makan, Nduk?” Perempuan itu melukis senyum di wajah. Ia terlihat baik-baik saja meski wajahnya sedikit pucat. Sebuah buku tergenggam di tangan.
“Lintang masih kenyang, Bun.” Lintang meraih tangan Bunda lalu menciumnya takzim.
“Bunda juga belum makan. Yuk, makan bareng. Tadi Mbok Darmi masak nasi liwet.” Wajah Bunda terlihat semringah.
Tidak ada alasan bagi Lintag untuk menolak. Ia terbiasa menuruti permintaan orang yang ia hormati. Almarhum orang tuanya sejak dulu mengajrkan seperti itu.
“Saya ambilkan nasinya dulu, Bun.”
Bunda meraih tangan Lintang. “Nggak usah. Kita makan di ruang makan saja.” Perempuan itu meletakkan kaca mata di atas nakas kemudian turun dari ranjang.
“Bunda nggak apa-apa jalan ke ruang makan?” Setahu Lintang, jika sedang tidak sehat, Bunda akan melakukan semunya di kamarr.
Lagi selarik senyum terbit di wajah Bunda. “Nggak apa-apa, Nduk. Melihat wajah kamu Bunda langsung sembuh.”
Lintang menarik napas panjang sebelum berjalan mengikuti Bunda. Dalam hati ia khawatir jika perempuan itu sebenarnya tidak benar-benar sakit. Ia hanya meminta perhatiannya saja dengan berpura-pura kambuh.
Melihat Bunda dan Lintang di ruang makan, sigap Mbok Darmi menyiapkan makan malam yang memang sudah dimasaknya. Harum rempah dari nasi liwet dan pelengkaapnya meraja hidung, membangktkan rasa lapar yang sempat tertahan.
Sepsang manik mata cokelat milik Lintan smpat bersitata dengan Mbok Darmi. Ia ingn meminta penjelasan perempuan tua itu kenapa Bunda ternyata tidak sakit.
“Besok, Bunda ajak kamu ke Omah Lowo. Rumah itu sedang direnovasi. Kalau sudah jadi, kamu yang akan mengelola.”
“Bunda istirahat dulu saja. Khawatirnya nanti drop lagi.” Lintang benar-benar merasa ganjil dengan sikap sang bunda. Sudut hatinya mulai yakin di mertuanya memang tidak sakit.
Bunda bergeming sesaat, membiarkan sesendk nasi yang tengah dikunyah di mulut melewati tenggorokan menuju lambung.
“Alhamdulillah Bunda baik-baik saja, Nduk. Kan, Bunda sudah bilang kalau lihat kamu sakit Bunda langsung sembuh.”
“Ta-tapi, Bun …..”
“Sst …., nggak boleh membantah orang tua, nggak patut.”
Lintang menelan ludah. Keyakinannya kini genap 100% kalau perempuan di hadapannya memang sama sekali tidak sakit. “Ya, Rabb,” keluh Lintang dalam hati. Setumpuk pekerjaan berkelebat di benaknya. Nasi liwet yang semula menggugah selera mendadak terasa hambar.
Keesokan harinya, Bunda benar-benar menjalankan rencananya. Ia sudah rapi dan cantik sejak jam tujuh pagi. Sembari menunggu jarum jam menunjuk angka delapan, ia duduk di teras sembari mebaca buku ditemani secangkir wedang seacng dan sereh dengan tambahan daun mint.
‘Maaf, Mbak, saya terpaksa berbohong. Ibu yang minta,” ucap Mbok Darm ketika Linntang menanyakan kondisi Bunda. Rasa ingin tahunya bergumpal-gumpal sehingga tak sangup lagi ditahan.
“Ibu bilang kangen Mbak Lintang. Tapi kalau nggak bilang sakit pasti Mbak Lintang nggak mau datang.” Mbok Darmi menatap Lintang takut-takut. Dalam hati ia merasa bersalah telah bersekongkol dengan majikannya.
Lintang menghela napas panjang. “Baik, Mbok. Besok lagi nggak usah berbohong. Bilang saja Bunda kangen. Insyaallah saya akan datang,” pungkasnya. Semua sudah terjadi. Waktu tdak akan bisa kembali. Meski ia marah, tidak akan mengembalikannya ke Jogja saat ini juga. Lintang memutuskan menjalani hari ini dengan bahagia.
Tepat jam delapan, Pak Pardi sudah siap di balik kemudi. Grand Lvina hitam pun meluncur keluar halaman yang luas membelah jalanan kota Solo yang ramai.
Sebelum berkunjung ke Omah Lowo, Bunda mengajak Lintang ke toko batik miliknya yang sudah sangat terkenal.
“Assalamu’alaikum, Bunda.” Sebuah suara yang merdu menerobos telinga, serupa tali yang menarik kepala Bunda dan Lintang sehingga keduanya refleks menoleh.
“Hanum? Kok, ada di sini?”
‘Iya, Bun, pas kebetulan pulang. Nanti sore balik Bandung mampir ke sini dulu beliiin titipan temen.” Gadis berkulit kuning langsat itu tersenyum hangat.
“Semalam Mas Satya telepon kalau Bunda sakit. Rencananya mau nengok Bunda habis dari sini.”
Seketika ada yang berdenyut nyeri di hati Lintang. Inikah Hanum yang menjadi kekasih Satya selama ini?
***
Bab 5
“Iya, kemarin memang Bunda nggak enak badan, tapi sekarang sudah baikan. Obatnya sudah dateng.” Bunda menatap Lintang penuh rasa sayang.
Senyum sehangat mentari terbit di wajah Lintang ketika matanya bersitatap dengan Bunda.
Sikap hangat Bu Sekar pada Lintang meredupkan binar di wajah Hanum. Hatinya berdenyut nyeri. Namun, gadis itu berhasil menguasai riak di hatinya dengan cepat.
“Syukurlah kalau Bunda sudah sehat.” Hanum berusaha mengulas senyum sehangat mungkin. Ia tidak ingin terlihat kalah di depan Bu Sekar dan Lintang. Meski hatinya ingin segera pergi dari hadapan Lintang, tetapi demi sopan santun, gadis berwajah oriental itu tidak menolak ketika ibu Satya itu mengajaknya mengobrol sebentar.
Selama beberapa menit mengobrol, Lintang hanya menjadi pendengar sementara matanya takpernah lepas dari wajah Hanum yang terlihat ramah dan keibuan. Rambutnya hitam berkilau dan wangi. Sesekali angin yang berembus meriapkan rambut bergelombang yang dibiarkan tergerai itu. Di bawah siraman sinar matahari waktu dhuha, Hanum terlihat seperti dewi-dewi turun dari kayangan dalam dongeng-dongeng masa lalu. Lintang bisa mengerti jika Satya sangat mencintai Hanum. Perempuan itu memang mememiliki semua syarat untuk dicintai.
Setelah Hanum pamit, Bunda mengajak Lintang masuk ke toko batik yang cukup terkenal di kota Solo dan sekitarnya itu. Keduanya disambut wangi aroma lavender dan suara gamelan yang memberi kesan teduh dan nyaman.
Lintang merasa betah dan ingin berlama-lama di sini. Apalagi toko batik ini tidak hanya menyediakan batik klasik, melainkan juga desain batik modern dan kekinian yang cocok dipakai anak muda. Ingin rasanya ia menjelajah toko dan memilih satu atau dua baju. Namun, ia datang ke sini bukan untuk berbelanja. Ia harus mengikuti ke mana pun Bu Sekar pergi.
Bu Sekar memperkenalkannya pada semua karyawan yang bertugas pada shift pertama. Perempuan yang masih terlihat cantik meski usianya taklagi muda itu juga memperkenalkan pada staf toko. Kantor pusat lima toko batik milik keluarga Satya ada di sini. Lantai dua selain menjadi tempat foodcourt aneka makanan tradisional juga berfungsi sebagai kantor.
Lintang menatap semua aktivitas di toko dengan takjub. Ia tidak menyangka, Bu Sekar memiliki bisnis sebesar ini. Sebelumnya ia hanya tahu kalau Bunda memiliki toko batik dan spa khusus perempuan. Namun, ia tidak tahu berapa jumlah toko dan spa yang dimiliki perempuan ningrat itu.
“Semua ini akan menjadi milikmu, Nduk Cah Ayu.” Bu Sekar tersenyum bahagia usai berkeliling. Kini mereka tengah berada di foodcourt menikmati serabi dan secangkir teh.
Lintang tergeragap. “Saya tidak punya hak apa pun atas toko ini, Bunda,” ujarnya kemudian. Siapa dia yang tiba-tiba akan memiliki semua ini. Dia bukan siapa-siapa di sini. Hanya menantu yang bahkan tak dianggap oleh suaminya sendiri.
Tiba-tiba ucapan Satya bahwa pernikahannya hanya sementara terngiang di telinga. Lintang mengganjur napas. Memiliki toko ini hanya ilusi. Pernikahannya hanya sementara demi menyenangkan Bu Sekar. Ketika Satya berhasil meyakinkan Bu Sekar bahwa cintanya adalah Hanum, ia harus pergi dari sisi Satya. Mengingat semua itu, hatinya kembali terasa nyeri.
“Kamu anakku, Nduk Lintang. Bagaimana mungkin kamu mengatakan tidak berhak atas toko ini?” Bu Sekar mencubit hidung bangir Lintang gemas. “Bahkan, meski semua hartaku kuberikan padamu, tidak akan pernah bisa menebus apa yang diberikan kedua orang tuamu padaku.”
Wajah riang Bu Sekar meredup. Mendung bergelayut di mata sepuhnya. Ia menarik napas dalam. Ingatan masa lalu berkelebat cepat di kepala seperti film hitam putih yang diputar ulang. Semua yang ada pada diri Lintang mengingatkannya pada sahabat yang telah menyelamatkan hidupnya hingga ia masih bisa mendekap Satya sampai saat ini. Apa pun akan ia berikan demi membalas semua yang telah dilakukan sahabatnya.
Sepasang mata bening Lintang menatap tak mengerti Bu Sekar. Ia tidak pernah tahu masa lalu kedua orang tuanya. Ia masih terlalu kecil untuk tahu. Apa yang terekam dalam memori kepalanya adalah mereka meninggal dalam sebuah kecelakaan. Keduanya memang memiliki sebuah toko batik di Yogyakarata yang diteruskan pengelolaannya oleh pakliknya dan akan diserahkan padanya setelah lulus kuliah sebagaimana permintaan kedua orang tuanya.
“Berjanjilah untuk mengurus semua ini setelah Bunda nggak ada, Lintang.” Bu Sekar tersekat di ujung suara.
Lintang tersirap. Jemari Bu Sekar meraih tangannya lalu menggenggam erat seolah tidak ingin berpisah.
“Berjanjilah untuk menjadi anakku, selamanya. Kamu yang paling cocok menjadi istri Satya.”
“Andai Mas Satya ada di sini dan mendengar permintaan Bunda,” batin Lintang pilu. Wajah datar Satya melintas di benak, menikam hatinya yang telah patah.
Bu Sekar menyeka sudut mata. “Pengacara Bunda akan segera mengurus semuanya. Setelah Omah Lowo jadi, semua aset Bunda akan berpindah ke tanganmu.”
Lintang menggeleng. “Saya tidak berhak, Bunda. Semua tempat ini milik Bunda. Mas Satya yang akan meneruskannya.”
Bu Sekar tersenyum. Sinar di wajahnya kembali merekah. “Satya sudah punya bagiannya sendiri, Nduk. Kamu tidak perlu mengkhawatirkannya. Kalian berdua sudah memiliki bagian masing-masing.”
Meski belum sepenuhnya mengerti, Lintang menghela napas lega. Setidaknya, Bu Sekar tetap memikirkan Satya. Apa kata orang jika ia memiliki semua harta Bu Sekar. Bisa-bisa ia viral karena kaya mendadak. Orang tua Lintang memang mewariskan toko dan tanah, tetapi tidak sebesar dan sebanyak kekayaan Bu Sekar.
“Janji ya, Nduk Cah Ayu, kamu mau meneruskan usaha Bunda nguri-uri budaya Jawa ini?” Bu Sekar menatap Lintang penuh harap.
Lagi-lagi Lintang berusaha meyakinkan diri bahwa pendengarannya tidak salah sebelum ia akhirnya menganggukkan kepala untuk mengiyakan permintaan Bu Sekar.
Bu Sekar tersenyum lega melihat anggukan Lintang. Meski keraguan terlihat di wajah Lintang, perempuan sepuh itu yakin Lintang akan menerima dan menjalankan bisnisnya dengan baik.
Kini, Bu Sekar merasa tenang. Jika sewaktu-waktu jiwanya terpisah dari raga, ia telah telah menjalankan wasiat mendiang suaminya dan menebus jasa sahabatnya. Suami dan sahabatnya akan tenang di sana. Pun dengan dirinya. Diam-diam ia melantunkan doa agar waktu perpisahan itu tidak akan lama lagi karena tugasnya di dunia telah usai.
Setelah menghabiskan hidangan, Bu Sekar mengajak Lintang ke Omah Lowo. Bangunan tua peninggalan Belanda itu telah diubah menjadi kedai kopi dan toko batik bergaya Eropa klasik.
“Ini akan menjadi milik Satya,” ujar Bu Sekar dengan mata berbinar. “Kamu tahu, Nduk, Satya sangat menyukai kopi. Dia seperti mendiang ayahnya.”
Lintang bisa melihat tatapan penuh kerinduan di manik mata kelabu milik Bu Sekar. Lagi-lagi wajah Satya melintas di kepala. Andai tatapan itu yang dilihatnya di mata Satya, tentu ia akan merasa sangat bahagia. Sayang, semua hanya mimpi. Satya bukan miliknya.
Puas melihat-lihat Omah Lowo yang rencananya akan diresmikan sebulan lagi, Bu Sekar mengajak Lintang pulang. Rasa lelah mulai merambati tubuhnya.
Meski wajahnya terlihat sedikit pucat, Bu Sekar tampak bahagia menjalani sisa hari ini. Ia mengajak Sekar melihat-lihat album foto dan sebelum tidur mereka menonton drama korea.
“Bunda suka drakor juga rupanya.” Lintang tersenyum geli. Ia justru hampir tidak pernah menonton. Agendanya begitu padat seolah tidak menyisakan ruang untuk menikmati film. Lagi pula, drama Korea memang bukan seleranya.
“Hanya sesekali, Nduk,” jawab Bu Sekar.
Mereka pun menghabiskan malam dengan menonton dan berbagi cerita. Lebih tepatnya mendengar Bu Sekar bercerita, tentang Satya dan mendiang suaminya.
“Terima kasih sudah menjadi anakku, Nduk.” Bu Sekar menggenggam erat jemari Lintang. “Aku bisa pergi dengan tenang sekarang.” Selarik senyum terbit di wajahnya.
“Bunda bicara apa, sih. Bunda belum nimang cucu, lho,” canda Lintang. Entah kenapa wajah Bu Sekar terlihat lain.
“Bunda akan melihat cucu-cucu Bunda dari sana.” Bu Sekar mencubit hidung Lintang. “Sudah, ayo tidur. Biar besok nggak terlambat bangun subuh.” Bu Sekar bangkit dan berjalan menuju kamar diikuti Lintang.
Lintang tengah membaca Al Quran dan suara tarhim dari masjid terdengar menyambut Azan Subuh ketika teriakan Mbok Darmi terdengar dari kamar Bu Sekar. Tergopoh, Lintang berlari keluar dari musala menuju kamar Bu Sekar.
“Ibu, Mbak.” Mbok Darmi melihat Lintang sekilas lalu memeluk tubuh tuannya.
Lintang mendekat. Diraihnya tangan Bu Sekar. Dingin. Denyut nadinya tidak terasa. Ditatapnya wajah perempuan berambut lurus itu. Ia terlihat seperti tengah tertidur lelap.
“Innalillahi wa innaialihi roojiuun,” ujarnya lirih ketika tak didapatinya embusan napas dari hidung Bu Sekar.
***
Bab 6
“A-apa? Ya, Tuhan!” teriak Satya saat mendengar kabar kematian Bu Sekar. Telinganya masih jelas mendengar getar suara Lintang di seberang dan isak Mbok Darmi.
“Ka-kamu nggak bohong, kan, Lin? Kamu nggak nge-prank aku, kan?” Satya masih tidak percaya dengan pendengarannya. Semalam ibunya terlihat bahagia ketika video call dengannya dan menceritakan kegiatan sehari bersama Lintang. Bagaimana mungkin pagi ini perempuan yang sangat dicintainya itu telah pergi. Apakah Tuhan sedang bercanda dengannya?
“O-oke, Lin. Aku pulang secepatnya,” ujar Satya setelah Lintang selesai mengabarkan waktu pemakaman Bu Sekar yang telah disepakati keluarga dan pengurus masjid setempat. “ Tolong jangan kuburkan Bunda sebelum aku sampai di rumah,” pungkasnya.
Satya segera mencari tiket dan memesan penerbangan tercepat ke Solo. Tergesa ia berkemas dan mendelegasikan beberapa pekerjaan kepada stafnya setelah mengajukan cuti selama sepekan. Tidak lama kemudian ucapan belasungkawa mengalir ke Whatsapp miliknya meski tak satu pun yang ia balas. Pikirannya centang-perenang dan hatinya kelut-melut. Ia masih belum percaya jika perempuan yang keberadaannya tidak akan pernah tergantikan oleh siapa pun itu telah pergi.
Terkadang, banyaknya pekerjaan menyibukkan Satya sehingga terpaksa menunda kepulangan ke Solo. Jika lebih dari dua pekan ia tidak menampakkan batang hidung di rumah dan tetap menunda kepulangan, maka Bu Sekar akan menjadikan penyakit yang dideritanya sebagai senjata. Ia akan mengabarkan kalau dirinya sakit dan tidak ingin mati tanpa diketahui anaknya. Jika sudah demikian, Satya akan berusaha menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin dan segera pulang. Bu Sekar akan menyambut kedatangannya dengan semringah. Tidak terlihat jejak rasa sakit di wajahnya.
“Ratu drama”, begitu Satya berkelakar di depan Bu Sekar jika perempuan itu berpura-pura sakit. Sudah lama ibunya tergantung dengan bermacam obat. Hipertensi, diabetes, asma, adalah penyakit yang setia bersarang di tubuh Bu Sekar sejak bertahun lalu. Belakangan jantung dan ginjalnya pun bermasalah. Tiga bulan sebelum hari pernikahannya dengan Lintang, Bu Sekar menjalani operasi pemasangan ring di jantungnya.
Meski menanggung berbagai penyakit, Satya selalu yakin kondisi ibunya cukup terkendali karena ada dokter yang rutin memeriksa setiap pekan sekali. Kabar duka pagi ini di luar perhitungannya.
Ketika kakinya menapak di halaman rumah yang dipenuhi pelayat dan puluhan rangkaian bunga ucapan belasungkawa, Satya merasa bumi tempatnya berpijak bergoyang dan mengguncang tubuhnya dengan keras. Kali ini, ibunya memang tidak sedang bercanda. Perempuan berusia enam puluh tahun itu tidak sedang bermain drama seperti hari-hari yang telah lalu.
Satya menghentikan langkah sejenak dan menarik napas panjang sebelum kembali melangkah. Susah payah ditahannya air mata yang seolah ingin segera mengalir keluar. Beberapa kerabat menyalami dan memeluknya, membisikkan kata sabar yang terdengar seperti nyanyian sumbang. Salah satu di antara mereka menggandeng lengan Satya dan membawanya ke ruang tamu di mana jenazah sang bunda terbaring.
Beberapa pelayat yang baru selesai menyalatkan jenazah Bu Sekar menyalami Satya dan memberi ucapan belasungkawa. Satya memaksakan diri mengurai senyum dan mengucapkan terima kasih.
Jenak berikutnya, Satya berjalan dengan gontai mendekati tubuh Bu Sekar yang tertutup kain jarik. Lelaki berusia tiga puluh tahun itu masih berharap semua hanya mimpi dan ibunya hanya tidur. Perempuan itu akan bangun lagi dan memeluknya sebagaimana yang biasa dilakukan ketika menyambut kedatangannya.
“Ya, Tuhan.” Satya merasa hatinya seperti diremas sekuat tenaga, menyisakan rasa nyeri yang luar biasa. Gemetar tangannya menyibak kain yang menutup bagian kepala. Di hadapannya, wajah sang bunda terlihat tenang dan damai. Ia seperti tengah tertidur pulas sembari menyunggingkan senyum, senyum yang selalu ia rindukan dan tidak akan pernah lagi ditemuinya. Satya menyadari sepotong hatinya telah pergi.
“Ya, Tuhan.” Hanya dua kata itu yang sanggup terlontar dari bibirnya. Detik berikutnya, tangannya melingkar di atas tubuh Bu Sekar sementara bahunya berguncang keras meningkahi air mata yang mengalir deras.
Entah berapa lama Satya memeluk tubuh Bu Sekar. Tidak ada yang berani mengganggunya hingga sebuah tepukan lembut membuat lelaki itu mengangkat kepala dan menghapus lelehan air mata.
“Mas Satya nyalatin Bunda dulu ya. Sebentar lagi waktu pemakaman.” Suara Lintang terdengar parau. Tadi ia tengah di belakang ketika Satya datang. Ia membiarkan Satya memeluk Bu Sekar untuk terakhir kalinya sampai Ustaz Salim memberi tahu kalau waktu pemakaman sudah tiba.
Suara Lintang seperti tali kasat mata yang menarik tubuh Satya. Lelaki berkulit cokelat itu menatap wajah sembab Lintang. “Kenapa Bunda bisa meninggal, Lin? Bukannya Bunda sehat-sehat saja kemarin?” Kedua tangan Satya meraih lengan Lintang dan mengguncang tubuh perempuan itu.
Duka kembali mengalir dari mata Lintang. Andai Satya tahu, hatinya lebih remuk ketimbang Satya. Ia baru saja bahagia karena bisa merasakan kasih sayang ibu yang lama dirindukannya. Lalu, semua itu lenyap dalam sekejap. Namun, ia bisa apa. Semua yang ada di dunia ini memang hanya titipan dan Allah telah mengambil milik-Nya. Hanya mengikhlaskan yang bisa dilakukan.
“Apa Bunda lupa minum obat? Bunda kecapekan? Dokter lupa ngecek?” Satya terus mencecar sembari mengguncang tubuh Lintang. Ia masih belum bisa menerima jika matahari yang menyinari hidupnya telah pergi. “Mana dr. Adrian? Kenapa Bunda bisa begini? Dia harus bertanggung jawab,” racau Satya.
Lintang menarik napas dalam. “Semua baik-baik saja, Mas. Bunda sehat, bahagia.” Gemetar bibir Lintang meloloskan kalimat. “Tapi Allah sudah mencukupkan rezeki Bunda hari ini. Sudah saatnya Bunda kembali ke rumahnya di surga.”
Satya merasa kata-kata Lintang seperti palu yang dipukulkan ke kepalanya berkali-kali. “Ya, Tuhan, aku belum sempat membahagiakannya dan Engkau sudah mengambilnya,” ujarnya. Satya melepas kedua lengan Lintang dan kembali memeluk Bu Sekar.
Melihat Satya yang sangat terpukul dan masih tergugu seraya memeluk tubuh Bu Sekar, Lintang menghapus jejak air mata di wajahnya dan meminta panitia untuk menunda beberapa menit prosesi pemberangkatan jenazah sampai Satya bisa menenangkan diri.
“Nak Satya.” Suara berat Ustaz Salim, ketua takmir masjid di sana, menerobos rongga telinga Satya. “Sudah saatnya ibumu dimakamkan. Ikhlaskan beliau. Insyaallah beliau husnul khatimah.”
Satya mengangkat tubuhnya lalu menghapus air mata dengan kasar.
“Kamu salatkan ibumu dulu sebelum beliau diberangkatkan,” lanjut Ustaz Salim.
“Ba-baik, Bah.” Satya berjalan gontai menuju bagian belakang rumahnya untuk berwudu. Suara lelaki kharismatik itu berhasil mengeluarkan Satya dari kecamuk pikiran dan badai di dalam hati. Perlahan ia bisa menerima jika ibunya memang telah tiada.
Akhirnya, disaksikan ribuan pelayat, jenazah Bu Sekar dibawa menuju pemakaman keluarga.
Satu jam telah berlalu sejak Bu Sekar dimakamkan. Namun, Satya masih belum beranjak dari makam. Tubuhnya seolah terpaku dan bumi berhenti berputar mengelilingi matahari. Aroma mawar dan sedap malam tidak mampu melerai rasa sesak yang menggumpal di dada.
Lintang yang semula berjongkok di seberang makam Bu Sekar bangkit dan mendekati Satya. Ia pun berjongkok di samping suaminya dan memberanikan diri melingkarkan tangan di lengan Satya. Lintang lega karena Satya tidak menolaknya. Lelaki berkulit cokelat itu hanya melihatnya sekilas lalu kembali tenggelam dalam kubangan duka.
Sekelumit ingatan masa kecil berkelebat di kepala Lintang. Ia seperti mengalami de javu. Tiga belas tahun yang lalu, ia masih bercengkerama dengan kedua orang tuanya pada malam hari dan tidak sampai dua puluh empat jam berikutnya, mereka telah terbujur kaku di ruang tamu rumahnya.
Suara mendiang ibunya yang tengah membacakan buku sebelum tidur kembali terngiang di telinga Lintang disusul suara Bu Sekar yang riuh bercerita semalam. Begitu cepat cakram waktu berputar dan mengubah nasib manusia.
Satya mengelus nisan di ujung makam. “Satya pamit dulu, Bun. Baik-baik di sana. Selamat berkumpul kembali dengan Ayah.” Ia pun berdiri lalu berjalan menuju pintu keluar makam. diikuti Lintang di belakangnya.
“Mas Satya!” Sebuah suara terdengar ketika Satya dan Lintang baru saja keluar dari area makam. Sontak keduanya menengok ke arah sumber suara hingga terlihat Hanum tengah berdiri dari jarak lima meter.
***
Bab 7
Satya dan Lintang menatap Hanum yang sedang memangkas jarak. Andai tidak ada Lintang di sampingnya, Satya pasti akan segera menyongsong Hanum dan memeluknya, mencari sebait rasa tenang di dalam rengkuhan perempuan yang selama dua tahun mengisi hatinya itu.
“Aku ikut belasungkawa, Mas,” ujar Hanum setelah berdiri di hadapan Satya. “Semoga dosa Bunda diampuni dan beliau ditempatkan di tempat terbaik.”
Lintang memandang Satya dan Hanum bergantian. Hatinya terasa nyeri saat melihat sorot mata mendamba di mata suaminya ketika bersitatap dengan Hanum. Tatapan yang tidak pernah ia dapatkan semenjak resmi menjadi istrinya. Duka yang bergelayut di mata Satya tak mampu menyembunyikan rindu dan kenangan yang tersimpan di sana.
“Terima kasih, Num.” Suara Satya seperti desau angin bertiup di hari yang sendu.
“Kemarin pagi padahal kami masih ngobrol dan Bunda kelihatannya baik-baik saja.” Hanum menjeda kalimat dengan satu tarikan napas. Ingatannya kembali pada pertemuan kemarin. “Wajah Bunda bahkan terlihat cerah.”
“Kita tidak pernah tahu umur manusia, Num. Aku juga nggak nyangka. Tapi mau bagaimana lagi, memang sudah begini takdirnya.” Satya mencoba bersikap bijak meski belum mampu melerai rasa kehilangan di hati.
Hanum mengangguk. “Kalau gitu aku pamit dulu, Mas.”
“Nggak mampir rumah?” tanya Satya.
“Pengen, sih, mampir. Tapi aku masih ada kerjaan. Nanti malam aku datang pengajian.” Hanum menyalami Satya dan Lintang bergantian lalu pergi.
Satya menarik napas panjang sembari menatap punggung Hanum yang menjauh. Diam-diam pikirannya mengandaikan kekasihnya itulah yang berada di sisinya saat ini. Tentu hatinya lebih tenang dan akan membantunya melewati masa-masa berat ini.
“Kita pulang sekarang, Mas?”
Suara Lintang menarik Satya dari kecamuk pikiran. “Ah, eh, iya.” Satya membalikkan badan kemudian membukakan pintu mobil untuk Lintang sebelum ia duduk di balik kemudi.
Makam keluarga Satya memang terletak cukup jauh dari rumah sehingga membutuhkan kendaraan bermotor untuk mencapainya. Makam tersebut dibangun leluhur Satya dan telah menjadi tempat tetirah terakhir keluarganya sejak tiga generasi sebelumnya.
Sepasang suami istri itu dicekam sunyi sepanjang dua puluh menit perjalanan dari makam ke rumah. Satya mengunci mulut rapat-rapat dan memilih fokus menatap jalanan kota yang ramai. Sementara itu, Lintang menghabiskan waktu dengan berzikir sembari memandang suasana kota Solo yang dilaluinya. Ia tidak punya cukup keberanian untuk memulai percakapan dengan Satya.
Tujuh hari berlalu sejak kematian Bu Sekar dan bagi Satya, waktu seolah berjalan begitu lambat. Ia merasa semesta tengah menggodanya dengan membuat waktu bergerak melambat. Setiap sudut rumah selalu mengingatkannya tentang Bunda dan setiap kenangan itu menyeruak, air matanya seolah ingin tumpah. Tamu-tamu yang masih terus berdatangan tidak mampu mengusir lara di hati lelaki bertubuh atletis itu. Meski berusaha tetap tegar di hadapan para tamu, tetapi dalam kesendirian tangisnya tak terbendung. Ia tidak tahu kenapa bisa serapuh ini.
“Besok aku balik Bandung dulu, Lin.” Satya membuka pembicaraan setelah para tamu yang mengikuti pengajian hari ketujuh pulang. Jarum pendek jam di dinding menunjuk angka sepuluh.
Lintang yang tengah membereskan ruang tengah menghentikan pekerjaan. Ia mendekat dan duduk di dekat Satya. “Iya, Mas. Besok berangkat jam berapa?”
Satya menatap wajah Lintang yang terlihat lelah. Ada haru yang menyelusup ke relung hatinya. Meski diabaikan, Lintang tidak pernah menampakkan wajah tidak suka atau pun kecewa. Ia bahkan cukup cekatan mengurus semua keperluan pengajian sejak hari pertama hingga terakhir.
“Pesawat berangkat jam tujuh. Jadi aku berangkat setengah enam.”
“Aku siapkan baju-bajunya sekarang kalau gitu. Biar besok nggak terburu-buru.”
“Eh, nggak usah.” Refleks Satya meraih tangan Lintang yang baru saja bangkit dari duduk. Sesaat kedua pasang mata itu saling bersitatap. Dalam hati, Satya mengakui jika wajah Lintang memang tidak secantik Hanum, tetapi selalu menawarkan keteduhan.
“Aku bisa menyiapkan sendiri,” lanjutnya agak gugup. “Kamu istirahat saja. Kamu pasti lelah.”
Entah kenapa Satya merasa jantngnya berdetak lebih cepat ketika tatapan mata sebening telaga milik Lintang memindai tubuhnya. Namun, wajah Hanum yang berkelebat cepat di benak menormalkan kembali detak jantung Satya. Ia harus menjaga diri. Bagaimanapun juga ia sudah berjanji akan kembali kepada Hanum.
Lintang tersenyum. “Nggak, kok, Mas. Sudah jadi tanggung jawabku untuk menyiapkan keperluan Mas Satya.”
Jemari kokoh Satya kembali meraih tangan Lintang. “Nggak usah, Lin. Nanti aku beresin sendiri. Aku bukan anak mama yang semua keperluannya harus diurus orang lain.” Membiarkan Lintang membereskan pakaiannya sama saja membuka kesempatan mereka lebih dekat karena perempuan itu memasuki salah satu bagian privatnya dan Satya tidak mau itu terjadi. Ia harus menutup semua celah yang mampu menumbuhkan benih cinta di antara mereka.
“Oh, baiklah kalau begitu.” Meski senyum masih menetap di wajah Lintang, tetapi rasa kecewa diam-diam menggumpal di hatinya.
“Kapan kamu balik Jogja?” Satya mengalihkan pembicaraan.
“Kalau Mas Satya mengizinkan, besok aku balik Jogja,” jawab Lintang setelah kembali duduk di sofa.
Satya tersenyum. “Kenapa harus minta izin? Kamu bebas pergi ke mana pun. Jangan merasa terikat denganku.”
Ucapan Satnya seperti cubitan di hati Lintang. “Ya, aku, kan, istri Mas Satya. Kewajiban seorang istri untuk minta izin suami ke mana pun dia pergi. Jadi kalau terjadi apa-apa, meninggal misalnya, suami ridha.” Lintang berusaha menjawab pertanyaan Satya setenang mungkin.
Satya berjengit. “Kamu ngaco. Jangan ngomongin mati. Cukup aku kehilangan Bunda.”
“Ya, memang -- “
“Pokoknya jangan ngomongin soal mati. Titik!” potong Satya cepat.
Lintang menutup mulutnya. Sepasang mata bening miliknya menatap wajah Satya yang terlihat keruh. “Ma-maaf. Aku nggak bermaksud apa-apa.”
Satya mengganjur napas. “Aku yang minta maaf, Lin. Aku cuma nggak ingin ngomongin soal mati.” Ia menatap wajah Lintang yang menunduk. “Kamu boleh pergi ke mana pun tanpa minta izin kepadaku. Kita memang suami istri, tapi hanya sementara. Kamu tetap manusia bebas, tidak terikat. Tidak perlu bersusah payah meminta izinku, apalagi mengurus keperluanku.”
“Ya, Salam, Ya, Latif,” batin Lintang perih. Ia berharap pendengarannya salah dan bukan Satya yang baru saja mengucapkannya. Nyatanya, kalimat demi kalimat setajam duri mawar itu memang diucapkan Satya.
“Udah malam, Lin. Yuk, istirahat.” Satya bangkit. Lelaki itu sama sekali tidak terlihat merasa bersalah dengan ucapannya yang telah melukai hati Lintang. “Besok biar kamu diantar Pak Parjo. Jadi nggak usah ngebis.” Satya menatap wajah istrinya sekilas lalu pergi ke kamarnya, meninggalkan Lintang yang nyaris meledakkan tangis.
Dua minggu berlalu sejak Satya dan Lintang kembali ke kehidupan masing-masing. Lintang berusaha mengejar waktu yang tersisa. Ia menenggelamkan diri di perpustakaan dan sesekali ke laboratorium untuk mengambil hasil analisis. Beruntung, ia tidak perlu mengulang penelitian karena hasil analisis sesuai dengan hipotesis penelitiannya.
Sepekan pertama terpisah jarak, tidak pernah satu kali pun Satya berkirim kabar lebih dulu. Selalu Lintang yang mengawali percakapan di antara mereka hingga Lintang merasa malu dan khawatir dianggap terlalu mengejar-ngejar Satya. Akhirnya, pada minggu kedua, Lintang memutuskan untuk tidak lagi menghubungi Satya meski hanya sekadar bertanya apakah suaminya sudah makan atau belum sebagaimana yang dilakukannya pada pekan sebelumnya.
Lintang baru saja membereskan buku-buku ketika ponselnya bergetar. Refleks tangannya membekap mulut saat melihat nama Satya terpampang di layar ponsel.
“Lin, besok kamu Sabtu Minggu kamu pulang ke Solo nggak?” tanya Satya setelah membalas salam Lintang.
“A-apa Mas Satya besok pulang?” Tiba-tiba Lintang merasa gugup. Ia berharap sikap Satya berubah.
“Iya, ini aku sudah di bandara. Malam ini juga aku ke Solo.”
“Kalau gitu, besok aku pulang, Mas. Aku ngebis paling pagi,” ujar Lintang semringah.
“Nggak usah naik bus. Besok aku jemput kamu,” pungkas Satya sebelum memutus pembicaraan.
***
Bab 8
“Ya, Latif, Ya, Rahman, Ya, Rahim.” Lintang takkuasa menahan rasa bahagia. Bayang wajah Satya dan hubungannya yang membaik memekarkan bunga-bunga di hatinya.
“Duh, yang baru ditelepon pacarnya.” Suara Dini membuyarkan lamunan Lintang.
Buru-buru Lintang memasukkan ponsel ke dalam tas sembari menahan rasa malu. Beruntung tinggal segelintir orang yang berada di perpustakaan sehingga tidak banyak yang mendengar ucapan Dini.
“Apa aku bilang, batu sekeras apa pun bisa berlubang jika terus-menerus terkena tetesan air. Apalagi hati Satya yang menurutmu sekeras batu itu. Kalau didoakan pasti bakal luluh juga,” ucap Dini sok bijak ketika mereka berjalan menyusuri koridor gedung utama menuju pintu keluar.
Dini memang sudah mengetahui masalah yang dihadapi Lintang. Mereka telah berteman dekat sejak tahun pertama menjadi mahasiswa di kampus biru dan tidak segan saling bertukar cerita.
“Tapi kalau kamu lihat wajah Mas Satya yang datar seperti layar komputer itu, pasti doa-doa yang telah tersimpan dalam hati seketika meleleh sebelum kemudian menguap tak berbekas.”
Dini tertawa. “Itu hanya perasaanmu saja. Kalau Allah sudah berkehendak, kamu bisa apa?” Lagi-lagi kalimat menenangkan terlontar dari lisan Dini.
“Entahlah, Din. Tapi aku tidak ingin berharap terlalu banyak.” Lintang mencoba menepis harapan yang mulai mekar di hati.
“Nggak ada yang tidak mungkin bagi Allah, Lin. Apalagi ibunya Satya mendoakan hubungan kalian. Doa itu itu keramat, mustajab.”
Lintang terdiam sesaat. Semua kata-kata Dini benar. Namun, ia tetap tidak ingin terlalu tinggi melangitkan harap. Ia tidak ingin jatuh terbanting lalu remuk redam dihajar rasa sakit. Ia tidak siap menerima itu semua.
“Tetep saja aku nggak berani berharap banyak, Din.”
“Ya, itu, sih, terserah kamu, Lin. Kalau aku jadi kamu, aku akan berusaha sekeras mungkin buat naklukin hati Satya. Selain dengan doa tentunya,” ujar Dini penuh semangat.
Keduanya berhenti sejenak di depan pintu keluar gedung utama. Lintang menatap wajah Dini sembari tersenyum. Sahabatnya itu memang selalu optimis dan penuh semangat.
“Kalau aku saja yang usaha, namanya berkorban, Din.” Lintang kembali meneruskan langkah. “Apa aku harus berkorban terus? Sampai kapan? Aku juga punya hati.”
“Yaelah, yang bilang kamu nggak punya hati siapa? Nggak ada salahnya berkorban di awal dan di akhir dapat hadiah cowok ganteng, tajir, pinter, gagah. Kurang apa lagi coba? Kalau kamu nggak mau, buat aku aja, deh.”
Keduanya saling pandang lalu melepas tawa.
“Coba saja, Din. Nanti kalau aku sudah nggak bisa bertahan, kamu yang gantiin.”
“Diih, ogah. Masa nerusin bekas kamu.” Dini pura-pura manyun.
“Masih segel, kok. Bukan bekas aku.”
Dini mencekal tangan Lintang hingga keduanya menghentikan langkah tepat di depan parkiran. “Serius? Jadi kamu nggak becanda?”
Lintang berdecak. “Serius, Din. Itulah yang bikin hatiku seperti gelas dibanting.”
“Jangan-jangan dia nggak normal, Lin? Masa, sih, cewek secakep kamu dianggurin?” Dini menatap heran Lintang.
Lintang mencubit hidung Dini. “Apa gunanya aku berbohong?”
Dini menepuk jidat.
“Dia kayak gitu bukan karena nggak normal, tapi karena sudah punya pacar. Aku kayaknya sudah cerita, deh.”
“Walaupun dia sudah punya pacar, tetep saja posisi kamu lebih kuat secara hukum, Lin. Pokoknya kamu jangan nyerah gitu saja. Kamu mesti usaha buat merebut hati Satya.”
Angin berkesiur meniup jilbab mereka, menerbangkan debu dan daun-daun kering yang berserakan di tanah. Lintang menatap Dini lamat-lamat. Ia ingin harapan itu tetap menyala di hati. Sayang, wajah datar Satya meremukkan harapan itu.
“Kita lihat tiga bulan lagi. Dia, kan, ngasih batas waktu tiga bulan,” ujar Lintang. Ucapan Satya saat malam pertama masih terekam jelas dalam ingatan.
“Aku tetap yakin Satya akan luluh. Aku yakin Allah akan membuka hatinya,” pungkas Dini optimis.
Selarik senyum terlukis di wajah Lintang. “Makasih, Din. Kamu seperti obor di tengah gulita malam,” ujar Lintang tulus.
“Jangan lupa traktir aku kalau kamu berhasil menaklukkan hati Satya.” Senyum lebar tercetak di wajah Dini.
“Beres. Kamu bebas milih baju dan perawatan di spa milik Bunda Sekar.” Lintang menepuk kedua pipi Dini.
Matahari yang rebah sempurna ke barat menyudahi percakapan mereka. Gegas keduanya memacu motor menuju kostan masing-masing.
Sesuai janjinya semalam, Satya benar-benar menjemput Lintang di kostnya. Laki-laki itu tiba di kost Lintang jelang waktu Zuhur. Lintang menyambut Satya dengan semringah. Hatinya berdetak begitu cepat melihat tubuh tegap Satya yang berbalut kaus dan jeans. Penampilannya semakin menawan dengan topi di kepala.
Lintang menarik napas dalam, mencoba meredakan debar di dada. Gegas ia mencium punggung tangan lelaki itu ketika mereka telah bediri berhadapan di teras kost.
Meski canggung dan gugup, Satya membiarkan Lintang mencium punggung tangannya. Buru-buru ia menepis getar-getar aneh yang menyelusup ke dalam hatinya. Ia tidak ingin mengecewakan Hanum.
Usai mencium punggung tangan Satya, Lintang mengikuti langkah tegap Satya menuju mobil yang terparkir di tepi jalan. Mereka melanjutkan perjalanan ke Solo setelah salat Zuhur di masjid kampus. Toyota Alphard milik Satya melaju dengan kecepatan sedang. Gesekan biola Daniel Jang menemani perjalanan mereka. Sesekali denting piano Yiruma menyela.
“Makan dulu, ya. Aku lapar.” Satya menoleh sekilas ke arah Lintang lalu kembali menatap lurus ke depan. Mereka telah sampai di Klaten.
Lintang yang tengah menatap jalan dari jendela tergeragap. Suara Satya seperti suara seruling yang menariknya dari lamunan dan kecamuk pikiran. Sejak berangkat dari Masjid Kampus, tak sepatah kata pun keluar dari dari bibir Satya. Ia pikir, suaminya akan terus mengunci mulut sampai mereka sampai di rumah.
“Kamu pengen makan apa?” Satya kembali bersuara sebelum Lintang sempat membuka mulut.
“Ehm, terserah Mas Satya. Saya nggak punya makanan favorit. Apa saja suka asal halal.” Lintang menatap wajah suaminya. Benar kata Bu Sekar, wajah Satya sangat mirip dengan sang ayah yang ia lihat di album foto semalam sebelum Bu Sekar meninggal.
“Beneran nggak pengen milih?” Selarik senyum tersungging di wajah Satya. Senyum yang selalu berhasil membuat hati Lintang tertawan.
“Iya, aku ikut Mas Satya aja.”
“Okelah kalau begitu.” Satya menoleh ke arah Lintang. Sebuah tindakan yang membuatnya harus meredakan riak di dalam hati karena menatap sepasang mata bening Lintang.
Satya mengalihkan pandangan dan kembali menatap jalanan. Ia meyakinkan diri untuk tetap setia dengan janjinya pada Hanum dan menepis tatapan sesejuk embun pagi yang disuguhkan Lintang.
Satya menghentikan mobil di depan warung bebek goreng yang cukup terkenal di Klaten. “Kata Bunda menu di sini cukup enak,” ujarnya setelah duduk di dalam dan memesan makanan.
Lintang hanya menanggapi ujaran Satya dengan senyum. Mendengar suaminya memulai pembicaraan cukup membuat apa pun yang tersaji di hadapannya terasa lezat.
“Ngomong-ngomong gimana skripsimu?”
Air jeruk hangat yang baru saja melewati mulut seolah tertahan di tenggorokan. Lintang takpercaya Satya menanyakan skripsinya. Selama ini lelaki itu tidak pernah bertanya apa pun tentang dirinya.
“Besok Senin ada janji dengan Prof. Katrina. Semoga beliau acc dan bisa segera daftar ujian sebelum beliau berangkat ke Jerman.”
“Syukurlah. Semoga lancar.”
Meski diucapkan dengan wajah datar, Lintang tetap merasa semesta tengah memeluknya. Benar kata Dini, ia tidak boleh kehilangan harapan. Perlahan, Satya pasti akan menerimanya.
“Terima kasih doanya,” ujar Lintang tulus lalu keduanya saling melempar senyum meski kemudian kembali disergap hening dan sibuk menghabiskan makanan masing-masing.
Matahari telah tergelincir ke barat ketika mereka tiba di rumah. Mbok Nah menyambut kedatangan keduanya dengan semringah. Perempuan berusia lima puluh tahun itu bahkan memeluk erat Lintang seolah mereka telah terpisah berbilang tahun lamanya.
“Mbak Lintang tambah berisi dan cantik. Apa cucu yang diharapkan almarhum ibu akan segera lahir?”
“Mbok Nah ada-ada saja. Minta doanya saja semoga diberikan yang terbaik.” Lintang melirik Satya yang terlihat sedikit gugup.
“Apa Pak Andrian sudah datang, Mbok?” Satya mengalihkan pembicaraan.
“Belum, Mas.” Mbok Nah melepaskan genggaman tangannya dari tangan Lintang dan memberikan jalan bagi keduanya untuk masuk ke dalam rumah.
“Lho, Mbak Lintang, kok, ke kamar itu?” Suara Mbok Nah menghentikan langkah Lintang yang telah bersiap membuka pintu kamar yang ditempatinya tempo hari.
Seketika Satya menghentikan langkah tepat di depan pintu kamarnya. Ia menoleh ke arah Mbok Nah lalu tatapan penuh tanya segera menyambar perempuan itu.
“Pesan ibu, kamar Mas Satya jadi kamar untuk Njenengan berdua. Saya dan Kang Pardi sudah menata kamar Mas Satya supaya bisa ditempati berdua.”
Satya membalikkan tubuh lalu membuka pintu kamarnya. Matanya membulat sempurna saat kamar berukuran enam belas meter persegi itu sudah berubah. Ranjangnya kini lebih besar dan dilengkapi kelambu transparan berwarna putih. Tiga tangkai bunga sedap malam menghias meja di samping lemari baju.
“Ibu ingin melihat Mas Satya dan Mbak Lintang seperti Bima dan Arimbi.”
***
Bab 9
Selama beberapa detik ekspresi wajah Satya berubah. Namun, ia segera bisa menguasai diri.
“Oh, iya. Benar juga, Mbok.” Lelaki berusia jelang tiga puluh tahun itu mengalihkan pandangan pada Lintang yang masih terpasak di depan pintu kamarnya. “Kamar kamu di sini, Lin, bareng aku.” Meski canggung, akhirnya kalimat itu lolos juga dari mulutnya.
Selama tujuh hari setelah meninggalnya Bu Sekar, kamar Satya ditempati kerabat yang datang melayat. Ia memilih tidur di ruang perpustakaan. Tidak ada yang mengusiknya karena semua menganggap Satya tengah terpukul dengan meninggalnya sang bunda. Tidak ada yang mempertanyakan mengapa ia tidak tidur di kamar yang ditempati Lintang karena kerabat-kerabatnya menganggap Satya sedang berusaha menenangkan diri. Kini, hanya ada Mbok Darmi dan Kang Pardi di rumah ini. Mereka berdua bisa curiga jika ia tidur terpisah dengan Lintang.
Dulu, setelah acara ngunduh mantu di sini, mereka tidak tidur dalam satu kamar karena setelah acara mereka harus menunggu Bu Sekar yang dirawat di rumah sakit selama tiga hari. Semua peristiwa yang terjadi setelah akad seolah menunjukkan jika semesta mengamini keinginan Satya yang enggan berdekatan dengan Lintang. Kini, keadaan sudah berubah dan Satya mulai risau.
Akhirnya Satya memberi isyarat dengan kedipan mata agar Lintang segera mendekat.
“Eh, iya, Mas. Maaf, saya juga masih kebawa waktu pertama kali ke sini sudah tidur di kamar ini.” Ia segera memangkas jarak hingga berdiri di samping Satya.
“Makasih sudah menyiapkan kami kami, Mbok.” Satya melingkarkan lengan ke pinggang Lintang membuat jantung perempuan bertubuh semampai itu serasa berhenti berdetak.
Mbok Darmi tersenyum dan mengangguk sopan kemudian pamit.
Satya buru-buru menarik tangannya dari pinggang Lintang setelah kepergian Mbok Darmi. “So-sorry, Lin. Aku nggak bermaksud kurang ajar.” Ia membalikkan badan lalu membuka pintu kamar.
Lintang membiarkan kata-kata Satya mengapung di udara tanpa tanggapan. Butuh waktu beberapa detik baginya untuk menetralisir perasaan. Sejak pernikahan mereka, baru pertama kali Satya melingkarkan tangan ke pinggangnya. Biasanya lelaki itu hanya menggandeng tangannya saja, tidak lebih. Di satu sisi Lintang merasa bahagia. Namun, di sisi lain ia merasa harus meredam rasa demi berjaga-jaga. Ia tidak tahu perasaan Satya dan tidak ingin terlalu menyimpan harap.
“Lin, kok, malah bengong di situ?” Satya melongokkan wajah keluar kamar lalu mengedarkan pandangan, khawatir Mbok Darmi atau Kang Pardi melihat Lintang yang termangu di depan pintu kamar.
“Eh, iya, Mas.” Gugup Lintang melangkah masuk. Debar di dadanya semakin kuat ketika Satya menutup pintu. Suara gemericik air mancur dari kolam di samping kamar dan aroma sedap malam di dalam kamar tidak mampu mengusir rasa gugup dan malu di hati Lintang.
“Letakkan saja barang-barangmu di lemari ini.” Satya membuka pintu sebelah kiri almari kayu jati. “Masih ada tempat.” Ia menunjukkan bagian yang kosong di dalam almari.
Lintang mengangguk. Ia masih duduk di sofa sembari mengamati kamar berukuran enam belas meter persegi itu. Hiasan wayang tergantung di salah satu sisi dinding kamar, tepat di atas meja rias. Kelambu putih yang menutupi ranjang membuat Lintang tersenyum geli membayangkan ia tidur di dalamnya. Selama ini ia berpikir hanya bayi yang tidur di atas ranjang berkelambu.
“Nanti malam Pak Andrian mau ke sini.” Satya duduk di samping Lintang. “Ada surat wasiat bunda yang mau dibacakan.” Ia menatap wajah Lintang sekejap lalu mengalihkan pandangan ke jendela yang terbuka. Tangkai dendrobium berbunga kuning menari dicumbu angin.
“Su-surat wasiat? Buat saya?” Lintang memberanikan diri memandang wajah Satya.
“Buat kita berdua. Makanya aku minta kamu pulang ke Solo karena Pak Andrian hanya mau membacakan wasiat kalau ada kamu sesuai perintah bunda.”
Sesuai perkiraannya, Satya memang tidak benar-benar ingin bertemu dengannya. Jika tidak diminta Pak Andrian, tentu lelaki itu tidak akan memintanya pulang. Lintang merasa harus menambah stok sabar di dalam hatinya. Ia tengah menghadapi manusia yang nyata-nyata menolaknya dan ia tidak tahu sampai kapan mampu bertahan.
“Sabar itu nggak ada batasnya, Lin.” Begitu guru ngajinya pernah berkata. Namun, menghadapi manusia seegois Satya, apa ia mampu bertahan dan bersabar?
“Memangnya apa isi surat wasiat bunda, Mas?”
“Aku sendiri tidak tahu. Pak Andrian sama sekali tidak mau memberitahu tanpa ada kamu,” jawab Satya tanpa memandang Lintang sedikit pun seolah dendrobium di luar lebih menarik ketimbang istrinya.
“Ya udah, kamu duluan yang mandi. Aku mau ke perpustakaan dulu.” Satya bangkit lalu keluar kamar.
Lintang menggeleng pelan. Ingin rasanya ia berteriak demi menumpahkan kecewa yang bergulung-gulung di dada. Harga dirinya seperti dibanting oleh Satya. Buru-buru gadis itu merapal istigfar dan melangitkan doa semoga Allah membuka hati suaminya.
Tepat jam setengah delapan malam, orang yang ditunggu tiba. Lelaki dengan rambut kelabu dan berwajah ramah itu menyalami Satya dengan hangat. Terlihat jika keduanya telah saling kenal sejak lama.
Lintang menangkupkan kedua tangan di depan dada sembari mengucap kata maaf ketika Pak Adrian mengulurkan tangan. Setelah itu, Lintang lebih banyak mendengar obrolan ringan antara Pak Adrian dan suaminya.
“Saya kira saat ini waktu yang tepat untuk menyampaikan wasiat Bu Sekar. Anda dan istri tentu sudah melewati masa duka.” Lalaki bertubuh sedang itu memulai pembicaraan serius. Ia membetulkan letak kacamata lalu mengambil map dari tas kerja.
“Surat ini sudah disiapkan usai melamar Mbak Lintang karena beliau khawatir usianya tidak sampai waktu pernikahan,” lanjut Pak Adrian. Selembar kertas telah berada di tangannya.
“Apa Anda berdua sudah siap mendengarnya?” Pak Adrian menatap Lintang dan Satya bergantian.
Pak Adrian mulai membacakan wasiat Bu Sekar setelah Satya dan Lintang mengiyakan pertanyaannya dan membagikan surat yang sama kepada kliennya.
“Bu Sekar memutuskan memberikan lima toko batik dan dua spa milik beliau kepada Mbak Lintang. Sementara itu, pabrik batik di Laweyan, rumah dan tanah yang ada, dua galeri dan coffee shop menjadi milik Mas Satya.” Pak Adrian menerangkan setelah membaca bagian pembuka surat yang cukup panjang.
Lintang tidak mampu menyembunyikan rasa terkejut ketika mendengar ucapan Pak Adrian. Ia pikir waktu itu Bu Sekar tidak sungguh-sungguh. Ia mencoba mengkonfirmasi pendengarannya dengan membaca deretan huruf yang tercetak di atas kertas dalam pegangan tangannya. Pengacara itu memang tidak salah baca.
“Selanjutnya Bu Sekar berharap Mas Satya dan Mbak Lintang bersama-sama mengelola dan membesarkan usaha yang sudah dirintis Bu Sekar dan Pak Hadi. Beliau juga berharap Anda berdua meneruskan tradisi leluhur untuk nguri-uri budaya Jawa yang adiluhung.”
Satya tertegun mendengar kalimat demi kalimat yang terlontar dari lisan Pak Adrian. Tidak, dia tidak mempermasalahkan pemberian ibunya pada Lintang. Justru keinginan sang bunda untuk meneruskan hidup dan usaha dengan Lintang yang membuat hatinya seperti dirajam. Seketika wajah Hanum dan Lintang silih berganti menjajah kepala.
“Seandainya Mas Satya tidak bersedia mengundurkan diri dari pekerjaan yang saat ini sedang dijalani di Bandung, Bu Sekar tidak keberatan jika usaha ini dikelola dari jarak jauh. Namun, Bu Sekar tidak mengizinkan usaha ini jatuh ke tangan orang lain karena sudah menjadi wasiat Pak Hadi agar usaha ini menjadi perusahaan keluarga.”
Hati Satya kelut-melut. Ia tidak mungkin menolak perintah sang bunda dan wasiat mendiang ayahnya. Namun, ia juga terikat janji dengan Hanum dan tidak ingin dianggap sebagai lelaki tak bertanggungjawab karena membatalkan janji yang pernah terucap. Apalagi Hanum bersedia menunggunya bercerai dengan Lintang. Kekasihnya itu telah berkorban begitu banyak dan ia tidak mungkin meninggalkannya.
“Selanjutnya saya akan mengurus semua keperluan balik nama aset-aset Bu Sekar dan akan saya kabari kalau semua sudah selesai. Terkait biaya, semua sudah disiapkan Bu Sekar.”
Satya mengiyakan semua ucapan Pak Adrian. Saraf-saraf otaknya mendadak tumpul. Sementara Lintang memilih diam. Ia merasa tidak memiliki hak apa pun dan hanya bisa menerima semua keputusan Bu Sekar.
Pak Adrian pamit setelah makan malam dan sepasang suami istri itu menandatangani surat kuasa pengurusan balik nama aset-aset milik sang bunda.
“Kalau capek, tidur aja dulu, Lin. Aku masih ada kerjaan,” ujar Satya saat keduanya berada di kamar. Jarum jam dinding menunjuk angka sembilan.
“Kasurnya buat kamu. Nanti aku tidur di sofa.” Satya meninggalkan Lintang tanpa memberi kesempatan pada perempuan itu untuk menanggapi.
***
Bab 10
Sepeninggal Satya, Lintang tertegun sesaat. Ia khawatir Satya sebenarnya tidak setuju sang bunda membagi warisan untuk mereka berdua sehingga meninggalkannya begitu saja tanpa banyak bicara. Padahal, ia tidak keberatan jika harus mengembalikan pemberian Bu Sekar kepada Satya. Toko batik dan spa itu sama sekali tidak menarik minat Lintang. Ia juga tidak pernah bercita-cita menjadi pengusaha. Lintang memutuskan akan membicarakannya esok pagi dengan Satya. Saat ini, ia tidak punya cukup keberanian untuk mengganggu suaminya.
Rasa lelah dan kantuk menyebabkan Lintang tertidur dengan cepat. Ia bahkan tidak tahu kapan Satya masuk ke dalam kamar. Perempuan bertubuh tinggi itu berjengit saat matanya terbuka sempurna dan melihat sang suami tidur di sofa. Rupanya Satya benar-benar memilih tidur di sofa ketimbang memeluk mimpi di ranjang yang empuk dan nyaman ini.
Lintang bangkit lalu mengambil selimut yang jatuh di lantai dan menutupkannya ke tubuh Satya. Dalam ia mengamati wajah sang suami yang terlihat damai. Hampir saja jemarinya menyentuh wajah Satya, tetapi buru-buru ditahannya. Bagaimanapun juga lelaki itu belum menerimanya sebagi istri. Hati Satya hanya untuk Hanum dan tidak ada sedikit pun kesempatan untuk menggeser kedudukan perempuan itu.
Lintang menarik napas panjang kemudian bangkit dan mengambil wudu. Taklama kemudian, Lintang sudah berada di musala dan berada di sana hingga azan Subuh berkumandang. Ia baru keluar dari musala setelah menyelesaikan zikir pagi dan setengah juz sisa bacaan Quran yang belum diselesaikan usai salat malam.
Suara dengkuran halus tertangkap telinga Lintang ketika ia membuka pintu kamar. Rupanya Satya masih meringkuk di atas sofa. Lintang pun membangunkan menepuk-nepuk tubuh Satya seraya memanggil namanya.
Satya membuka mata perlahan setelah panggilan kelima. “Ada apa, Lin?” tanyanya malas ketika dilihatnya sang istri berjongkok di samping sofa.
“Sudah salat belum, Mas?”
“Jam berapa memangnya?” Satya menaikkan selimut hingga leher. Matanya kembali terpejam.
“Setengah enam.”
“Ya, Tuhan!” Dikibaskannya selimut dengan cepat lalu berlari ke kamar mandi. Tergopoh Satya menuju musala untuk salat Subuh.
“Kok udah beres-beres, Lin. Mau ke mana?” Satya menatap heran istrinya yang tengah berkemas.
Lintang menghentikan pekerjaan lalu menatap wajah Satya yang terlihat segar. “Saya mau balik Jogja sekarang, Mas. Barusan Prof. Katrin menelepon kalau besok sebelum jam tujuh harus ke kantornya untuk konsultasi.”
“Tapi aku nggak bisa antar kamu pagi ini, Lin. Aku ada janji dengan CEO dan manajer Hadipranoto Group jam sembilan nanti.” Rasa sesal terlihat di wajah Satya.
“Nggak apa-apa, Mas. Saya naik bus saja,” ujar Lintang Santai.
Satya menggeleng. “Biar Kang Pardi antar kamu sampai kost.” Satya mengambil ponsel dan menelepon Pak Pardi agar menyiapkan mobil pagi ini.
“Oh iya, Mas, ada yang ingin saya tanyakan.” Lintang menutup reitsleiting ransel kemudian duduk di tepi ranjang. Ia menatap Satya yang duduk di sofa. “Apa Mas Satya keberatan atas keputusan bunda tentang toko batik dan spa itu?” tanya Lintang hati-hati.
Sebenarnya, Lintang merasa lega dengan keputusan Bu Sekar. Kelima toko dan spa itu akan mengikat dirinya dan Satya. Harapannya untuk melanjutkan pernikahan yang sempat meredup, kembali bersinar.
Satya terdiam sejenak. Lintang mungkin merasa tidak enak dengan sikapnya semalam. Padahal hatinya rusuh karena ia tidak mungkin mengabaikan wasiat Bu Sekar. Di sisi lain, ia terika janji dengan Hanum.
“Tidak, aku tidak keberatan dengan keputusan bunda, Lin,” jawabnya kemudian. “Aku tahu bunda sangat menyayangimu. Kukira pemberiannya sangat wajar,” lanjut Satya lalu memperlihatkan selarik senyum semanis cokelat hangat yang berhasil membuat jantung Lintang berdetak lebih cepat.
“Tapi saya belum bisa mengurusnya sekarang.”
“Aku yang akan mengurusnya,” sahut Satya cepat.
“Alhamdulillah. Terima kasih, Mas.” Lintang tersenyum lega. Satu masalah terselesaikan. Sementara ini, ia bisa konsentrasi menyelesaikan skripsinya.
“Lagi pula, toko dan spa itu bisa jadi sumber penghasilan kamu setelah kita berpisah.”
Seketika raut wajah Lintang berubah. Ucapan Satya bagai anak panah yang memelesat cepat menembus jantung.
“Ya, Tuhan,” batin Satya. Ia menyesali ucapannya. Sayang, semua sudah terlanjur.
Satya terdiam, manik mata kelamnya menatap Lintang. Hati Satya bagai diamuk badai melihat sepasang mata sewarna madu milik Lintang siap menumpahkan air mata.
“Jadi memang Mas Satya benar-benar ingin melanjutkan pernikahan ini?” Sekuat tenaga Lintang menahan gelombang di hati. Bagaimanapun juga ia tidak ingin terlihat kalah di hadapan Satya.
Satya menutup wajah dengan kedua tangan lalu menyugar rambut frustrasi. Ia benar-benar menyesal. “A-aku ….” Lelaki berambut lurus tebal itu bangkit dari sofa lalu mendekati Lintang. “Ma-maksudku ….”
“Kalau memang Mas Satya tidak ingin melanjutkan pernikahan ini, ceraikan saya sekarang juga.” Tatapan setajam pisau milik Lintang menyambar tubuh Satya yang terpaku selangkah di depan Lintang.
“Dulu Mas Satya meminta waktu untuk membujuk bunda dan sekarang beliau sudah tiada. Tidak ada lagi yang bisa menghalangi Mas Satya untuk menceraikan saya. Sebelum terlalu jauh melangkah, ceraikan saya sekarang juga, Mas.”
Lintang memalingkan wajah dari Satya. Ditatapnya dendrobium di kebun samping kamar. Andaikan memiliki sayap, ia ingin pergi sekarang juga dari hadapan Satya.
“A-aku tidak bisa melakukannya sekarang, Lin. Aku belum siap ketemu paklik kamu.”
Satya benar-benar menyesali ucapannya. Ia memang berencana menceraikan Lintang, tetapi nanti setelah istrinya wisuda. Ia tidak ingin merusak konsentrasi Lintang. Lagi pula, ia belum punya cukup nyali untuk bertemu keluarga Lintang. Apa kata mereka jika tiba-tiba ia menceraikan Lintang.
Lintang menarik napas panjang. Kamar tidur yang luas ini seolah menyempit dan menghimpit tubuhnya hingga terasa sesak. “Kalau begitu, saya beri waktu satu bulan pada Mas Satya untuk menyerahkan saya pada paklik,” putus Lintang tanpa menatap Satya sama sekali. Hatinya benar-benar hancur. Harapan telah sirna. Ia seperti bunga yang dipetik sebelum mekar lalu dilempar begitu saja di jalanan. Hati Lintang sakit. Nyeri. Pedih.
Lintang menepis tangan Satya yang ingin meraih jemarinya. “Saya akan segera menulis surat penyerahan toko batik dan spa pada Mas Satya dan akan saya kirim secepatnya. Setelah itu, tidak ada hubungan apa-apa lagi di antara kita.”
Satya menggeleng. “Toko dan spa itu tetap menjadi milikmu, Lin. Itu wasiat bunda. Dosa kalau kita tidak melakukan wasiatnya.”
“Pemberian bunda sudah saya terima dan sekarang saya kembalikan. Wasiat bunda sudah kita tunaikan.” Suara Lintang meninggi. Ia kesal karena merasa Satya berusaha menahannnya.
“Tidak, Lin. Toko dan spa itu tetap jadi milikmu.”
Lintang meraih ransel dan mencangklongnya. “Nanti saya bicarakan dengan Pak Adrian, Mas.”
“Bukan ---“
“Saya pamit dulu, Mas.” Gegas Lintang meninggalkan kamar, membiarkan ucapan salamnya mengapung di udara.
Sejenak Satya tertegun, sebelum akhirnya mengejar Lintang. Ia sampai di halaman tepat ketika istrinya sudah berada di dalam mobil.
“Tunggu, Lin!” Teriakan Satya menghentikan Pak Pardi yang akan menginjak pedal gas.
“Saya harus balik Jogja sekarang, Mas. Prof Katrin sudah menunggu,” ujar Lintang pada Satya saat suaminya telah berada di samping mobil.
“Ayo, Pak, kita berangkat sekarang,” perintah Lintang.
Meski bingung, akhirnya Pak Pardi menurut. Dalam hitungan menit, Toyota Alphard itu telah melaju di atas jalanan kota Solo.
“Saya turun di Stasiun Balapan ya, Pak,” ujar Lintang setelah mobil berada cukup jauh dari rumah Satya.
“Lho, Mbak Lintang nggak balik Jogja?”
“Saya naik kereta saja, Pak. Tolong antar saya ke Stasiun Balapan.”
Bersambung
Bab 11-15
https://www.karyakarsa.com/AnifahSetyawati/menggapai-bahagia-usai-berpisah-bab-11-15
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
