Haruskah Berpisah Bab 6 -10

13
2
Deskripsi

Prasangka sering menjadi prahara.

 

Bab 6

Prasangka sering menjadi awal prahara.

***

Dua puluh menit kemudian Kinanti sudah sampai rumah. Usai membayar ongkos taksi, ia segera masuk dan berjalan menuju kamar. Membaringkan tubuh dan menenangkan diri adalah pilihannya. Ia menelpon Dewi dan memintanya ke atas. Tak lama Dewi muncul dengan wajah khawatir saat dilihatnya Kinanti berbaring dengan mata terpejam dan wajah pucat. 

“Ibu kenapa? Mau diantar ke dokter?” Dewi bertanya pelan. Ia menatap Kinanti prihatin.

“Ambilkan saya air putih hangat ya, Wi. Kalau nanti nggak baikan, tolong antar saya ke dokter.” Kinanti merasa perut seperti diremas-remas. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya. Rasa nyeri menusuk dada hingga tembus ke punggung. Sepertinya, penyakit maagnya kambuh. 

“I-iya, Bu.” Dewi segera turun untuk mengambil segelas air putih hangat. Tak lama ia sudah kembali lalu menyodorkan gelas di tangannya pada Kinanti. “Ini, Bu,” ujarnya. 

Kinanti meraih gelas tersebut. “Makasih, Wi,” ucapnya lirih. 

Perlahan diminumnya air putih hangat tersebut hingga tersisa setengah. Ia memberi perintah pada Dewi untuk mengambilkan antasida di atas nakas. Antasida dan air putih hangat sering menjadi andalan saat maagnya kambuh. “Kamu jangan lepas ponsel ya, Wi. Biar kalau saya telpon bisa segera tahu,” titahnya kemudian. 

“Iya. Bu. Saya ada di depan kamar Ibu. Kalau ada apa-apa, panggil saja.” Depan kamar Kinanti ada ruangan yang dibiarkan terbuka menghadap jendela. Ruangan itu menjadi tempat Biru menghabiskan waktu membaca buku jika jenuh di perpustakaan. 

Kinanti menarik napas berat. “Ya udah, terserah kamu saja. Tolong bilang Mbok Nah, nitip Atha dan Abhi dulu.” Ia menatap Dewi sekilas kemudian kembali memejamkan mata.

Dewi mengangguk lalu turun untuk mencari simboknya. Setelah itu, ia membawa tas dan mengerjakan tugas di ruang terbuka di depan kamar Kinanti. 

Sudah dua tahun, tepatnya sejak Athaya lahir, simboknya bekerja di sini. Awalnya Mbok Nah tidak menginap. Tapi seiring dengan kesibukan Kinanti, ia meminta Mbok Nah untuk menginap.  Dewi, anak semata wayang Mbok Nah pun diijinkan untuk tinggal bersama mereka. Tak heran Dewi sudah menganggap Abhi dan Atha seperti adiknya sendiri. Keduanya pun dekat dengannya.

Dewi menganggap Kinanti lebih dari sekedar majikan. Banyak hal yang diajarkan Kinanti padanya, termasuk menulis dan mendongeng. Dua hal itu yang membuatnya beberapa kali meraih gelar juara. Dewi yang dulu minder karena merasa hanya anak pembantu, kini lebih percaya diri. Kinanti adalah satu-satunya majikan yang memperlakukannya seperti anaknya sendiri. Bagi Dewi, perempuan berparas ayu itu adalah ibu kedua setelah simboknya. 

Sesekali Dewi menengok majikannya yang masih terbaring lemah. Meski matanya terpejam, tetapi wajahnya terlihat gelisah. Beberapa kali Kinanti mengigau, menyebut kata “bapak” dan memanggil-manggil Biru. Ingin sekali ia menghubungi Biru demi memberi tahu kondisi Kinanti. Namun, ia tak cukup punya nyali karena belum meminta izin pada Kinanti. 

Rasa sakit yang teramat sangat menyebabkan Kinanti hanya bangun untuk Salat Magrib dan Isya. Selebihnya, ia memilih berbaring meski ia tak benar-benar bisa tidur. “Wi, kamu tidur sini saja.” Ia menunjuk ruang kosong di sisinya. 

“Ehm ..., ma-maksud Ibu?” 

“Bapak malam ini nggak pulang. Kamu tidur sama aku saja.” Meski ragu, akhirnya Dewi mengiyakan permintaan Kinanti. Ia tidak enak jika tiba-tiba Biru pulang dan mendapatinya tidur di kamar pribadi. Tentu sangat tidak sopan. 

Meski sakit kepala dan nyeri di perutnya sudah mereda, malam iniKinanti tidur dengan gelisah. Susah payah ia berusaha agar mataya terpejam. Berkali-kali ia bangun dengan napas terengah dan peluh bercucuran. Andai waktu bisa dipercepat, ia ingin fajar segera melipat malam agar mimpi-mimpi buruk itu berhenti menghantuinya. Kinanti tak ingin melihat wajah bapak dan Tante Ajeng yang seolah tak mau menyingkir dari rongga kepalanya. 

Di ujung malam, akhirnya Kinanti bisa memejamkan mata hingga dering alarm dan azan Subuh dari masjid kompleks membangunkannya. 

“Mbok, tolong kemasi beberapa pasang baju Abhizar dan Athaya, terus masukkan ke dalam koper,” perintahnya pada Mbok Nah usai salat Subuh. 

“Mas Abhi nggak sekolah, Bu?” 

Kinanti menggeleng. “Nggak, Mbok. Hari ini libur dulu. Saya sudah minta izin ke ustazahnya. Saya juga sudah bilang ke sopir mobil jemputannya. Tolong ya, Mbok, siapin baju Abhi.” 

Mbok Nah mengangguk sopan. Perempuan berusia jelang lima puluh tahun itu segera melaksanakan perintah Kinanti sementara Dewi menyiapkan sarapan dan bersiap berangkat sekolah. Makan pagi menjadi tanggung jawabnya sejak ia ikut tinggal di rumah Kinanti sementara Mbok Nah mengurus keperluan dua jagoan majikannya. 

Kinanti mengambil koper dari atas lemari yang ada di kamarnya. Setelah dibersihkan, ia membuka koper dan mulai mengisinya dengan baju dan keperluannya. Sejenak ia tercenung, menimbang keputusan yang telah diambilnya selepas salat Subuh tadi. Ia tidak ingin meninggalkan Biru, tetapi suaminya harus diberi pelajaran karena telah membohonginya. Alih-alih rapat ke Semarang, ternyata justru pergi dengan perempuan lain. 

Hati Kinanti dipenuhi bara api. Ucapan-ucapan Bu Santi kembali terngiang di telinganya serupa dengungan gerombolan lebah. Rasa nyeri kembali menyerang perut dan dadanya. Buru-buru ia meraih gelas dan meneguk isinya. Ia harus kuat dan menyerah pada keadaan. Tepat jam setengah delapan Kinanti memesan taksi online. 

“Mbok, saya nitip rumah, ya. Tolong diurus baik-baik.” Kinanti menjeda sejenak. Ada rasa sesak di dada yang tiba-tiba menyeruak. 

“I-ibu mau pergi ke mana?” tanya Mbok Nah sambil menatap sendu wajah majikannya. Ia tahu Kinanti menyimpan beban yang berat, meski tak pernah bercerita padanya. 

Kinanti mengganjur napas. “Saya butuh waktu untuk berpikir, Mbok. Nanti kalau keadaan sudah membaik, saya akan kembali.” 

“Saya ikut saja, Bu,” ujar Mbok Nah. Wajah perempuan yang selalu berjilbab rapi itu tertutup mendung tebal.  

Kinanti menggeleng sambil tersenyum. “Kalau Simbok ikut, nanti yang mengurus rumah siapa? Kasihan Bapak.”

Mbok Nah terdiam. Sejenak hening menyergap. Keduanya sibuk dengan kecamuk pikiran masing-masing. Suara klakson yang tiba-tiba terdengar dari luar membuyarkan lamunan keduanya. 

“Taksinya sudah datang. Saya pamit dulu ya, Mbok.” Kinanti menyalami tangan kasar Mbok Nah akibat bekerja keras sepanjang hidupnya. Begitu pula dengan Abhizar dan Athaya. 

Mbok Nah mencium kedua anak lelaki majikannya dengan air mata bercucuran seolah akan berpisah dalam waktu lama. Kedua tangan Kinanti menggandeng Abhizar dan Athaya. Setelah mengucap salam, ia pun berjalan cepat menuju taksi online yang telah menunggu di depan gerbang.

Mbok Nah menatap kepergian ketiganya dengan hati gerimis. Ingin sekali ia memeluk Kinanti. Tak ada yang lebih panjang dan sulit dari ujian dalam sebuah pernikahan. Perempuan paruh baya itu tahu, Biru adalah suami yang baik. Pun Kinanti adalah istri dan ibu yang istimewa. Sayangnya, semesta mereka belum menyatu. Hati mereka terpisah jarak meski hidup berdekatan. 

Mbok Nah menyeka air mata yang kembali turun membasahi pipi. Ia sangat menyayangi keluarga ini dan sudah bertekad akan mengabdi hingga badannya tak mampu lagi bekerja. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain berdoa, semoga mereka bisa kembali dan merajut asa bersama. Ia ingin melihat mereka bahagia. 

***

Bab 7

Senja bergulir, malam datang memeluk bumi. Setelah melewati perjalanan selama tiga jam, Biru sampai di rumah ketika jamaah salat Isya terlihat mulai pulang dari masjid. Usai memarkir mobil di garasi, ia segera masuk rumah. Bayangan Abhizar dan Athaya sudah bermain di pelupuk mata. 

Biru memasuki rumah dengan perasaan ganjil. Sepi, tak ada siapapun. Tak ada teriakan Abhizar atau celoteh Athaya. 

“Mbok, kok sepi?” Biru bertanya pada Mbok Nah yang sedang menata meja makan. 

Mbok Nah menatap Biru sekilas kemudian menundukkan wajah. Badannya gemetar. Hatinya gemuruh. 

“I-ibu belum pulang, Pak.” Akhirnya sebuah jawaban lolos dari lisannya. 

“Belum pulang?” tanya Biru heran. Bukan kebiasaan istrinya pulang lewat waktu isya. Kinanti selalu berusaha saat azan Magrib berkumandang sudah berada di rumah. 

“I-iya, Pak.” Mbok Nah mulai gelisah. 

“Pergi ke mana memangnya?” 

Mbok Nah menggeleng pelan. 

Biru menatap perempuan paruh baya di hadapannya lekat. Ia bisa melihat Mbok Nah yang gelisah. Beberapa kali perempuan sepuh itu meremas tangannya. 

“Anak-anak?”

“Ikut ibu, Pak.” 

Ah, sungguh ganjil. Tak biasanya seperti ini. Kinanti tak pernah membawa Athaya pergi hingga malam. Pun Abhizar, beberapa kali saja istrinya membawa Abhi ke toko. Biru segera naik ke atas meninggalkan Mbok Nah yang masih berdiri dengan gelisah. 

Biru membuka satu persatu pintu kamar kedua anaknya. Kosong dan rapi. Perlahan ia berjalan menuju kamarnya, kosong. Biru mengambil gawai dari tasnya. Ia mencoba menelpon Kinanti. Tidak aktif. Hatinya mulai disergap gelisah. Ke mana perginya perempuan yang dikasihinya itu. 

“Ret, Kinan ada di toko nggak?” Biru menelepon Retno. Ia bahkan lupa mengucap salam ketika telepon tersambung. 

“Nggak, Pak. Hari ini Ibu nggak ke toko. Beliau hanya menitip beberapa hal lewat telepon.” 

“Kamu tahu nggak ibu ke mana?”

Sejenak hening. Tak terdengar suara Retno dari seberang. 

“Ret ....”

“I-iya, Pak. Saya nggak tahu ibu ke mana.” 

“Azmi, tanyakan ke Azmi!” perintah Biru gusar. 

Kembali sunyi. 

“Ya, Pak?” terdengar suara Azmi di seberang. 

“Kamu tahu nggak ibu ke mana?” 

Sepi. Tak terdengar suara Azmi. 

“Nggak, Pak.” Akhirnya sebuah jawaban terdengar. 

Biru bisa mendengar suara Azmi yang bergetar. Ia semakin merasa aneh. Pasti sesuatu telah terjadi. Biru segera menutup sambungan telepon dan bergegas turun ke bawah untuk mencari Mbok Nah. 

“Mbok, saya pergi dulu. Nitip rumah. Makanannya dibereskan saja. Saya nggak lapar,” titahnya. 

Perempuan itu hanya mengangguk lemah. Lidahnya kelu untuk sekedar menjawab. 

Setengah berlari, Biru menuju garasi dan mengeluarkan motornya. Setelah mengunci garasi dan pintu gerbang, ia memacu motornya secepat mungkin menuju rumah orang tua Kinanti. 

Tiga puluh menit kemudian dia sudah sampai di rumah dengan arsitektur jawa tersebut. Deretan bunga anggrek aneka warna menyambutnya. Harum bunga melati menguar dari beberapa rumpun melati yang tengah berbunga lebat. Biru memencet bel. Tak lama, seorang perempuan berusia lebih dari setengah abad yang masih terlihat ayu membukakan pintu. 

“Nak Biru?” Bu Tika berseru. “Mana anak-anak?” tanyanya semringah. 

Biru menarik napas berat. “Apa Kinan dan anak-anak di sini, Bu?” 

Bu Tika menatap Biru dengan sorot mata heran. Kedua alisnya bertaut, kemudian menggeleng. “Nggak, Nak. Kinan terakhir ke sini tiga hari lalu.” 

Mendengar jawaban mertuanya, Biru mulai frustasi. 

“Ayo masuk dulu. Kita bicarakan di dalam.” Bu Tika membuka pintu lebih lebar agar Biru bisa masuk. Keduanya kemudian duduk berhadapan di ruang tamu. 

“Sebenarnya ada apa, Nak?” Bu Tika bukan tidak tahu masalah rumah tangga anaknya. Selama ini yang bisa dilakukannya hanya menguatkan anak bungsunya itu serta terus berdoa. Ia tidak ingin rumah tangga keduanya bernasib sama dengan dirinya. Cukup dia saja yang merasakan luka itu. 

Biru duduk dengan gelisah. “Saya juga nggak tahu, Bu. Tiba-tiba Kinan pergi.” 

“Sudah nelepon dia?” 

“Ponselnya tidak aktif, Bu.” Biru menjawab putus asa. Ia benar-benar bingung. Selama tujuh tahun hidup bersama, tak pernah sekalipun Kinan pergi tanpa pamit. 

“Mungkin lembur di toko?” 

Biru menggeleng. “Dia nggak ke toko hari ini.” 

Sekian waktu mereka disergap hening. “Coba telepon Om Dimas. Mungkin Kinan di sana.” 

Biru mengambil ponsel dan menghubungi Dimas. Nihil. 

“Atau mungkin Kinan di rumah Pakdhe Hadi?” Bu Tika semakin gusar. Selama ini, Kinanti tidak pernah pergi tanpa pamit. 

Biru menghubungi Pakdhe Hadi. Bagi Kinanti, Pakdhe Hadi adalah pengganti bapak. Ia sangat dekat dengan lelaki paruh baya itu. Lelaki yang begitu sabar dan bijak. Rupanya Kinanti tidak ada di rumah Pakdhe Hadi. 

Biru menyandarkan dirinya di kursi. Matanya terpejam, mencoba membuka memori di kepalanya, kesalahan apa yang dilakukannya sehingga Kinan pergi dari rumah. Sejak peristiwa makan malam yang gagal itu istrinya memang sedikit berubah. Ia terlihat lebih banyak diam. Wajahnya pun terlihat sedikit pucat. Mata kejoranya tak lagi tampak. Biru lebih sering melihat tatapan sendu Kinan. Banyaknya pekerjaan di kantor dan kafe membuatnya alpa untuk bertanya. Hampir tiap hari ia pulang larut. 

“Diminum dulu, Nak.” Bu Tika menyodorkan secangkir wedang secang. Dua lembar daun mint terlihat mengapung di permukaan cangkir, mengeluarkan bau segar. 

“Terima kasih, Bu,” ujar Biru tulus. Diraihnya cangkir tersebut lalu menyesapnya perlahan. Wedang yang masih hangat membuatnya merasa lebih segar. Ia kembali menyandarkan tubuhnya di kursi.

“Coba Ibu teleponkan sepupunya. Dian kan baru melahirkan dua minggu lalu. Mungkin Kinan ke sana.” Bu Tika berkata sambil beranjak dari kursi kemudian berjalan masuk ke dalam untuk mengambil gawai. 

Dian adalah anak bungsu Pakde Hadi yang menikah tiga tahun yang lalu. Ia tinggal di kota ini juga. 

Bu Tika menggeleng. “Kinan nggak di rumah Ratna,” ujarnya khawatir. Belum pernah Kinanti senekat ini. “Apa mungkin ke rumah Firman?” tanya Bu Tika ragu. 

“Sepertinya tidak, Bu. Nggak mungkin Kinan bawa anak dan pergi sendiri ke Semarang.” 

“Tak ada salahnya tanya ke Firman.” Bu Tika meraih ponselnya yang terletak di atas meja. 

“Eh, nggak usah nelepon Mas Firman, Bu. Nanti malah dia khawatir,” sergah Biru cepat. Kalau Firman tahu adiknya pergi, ia tak bisa membayangkan bagaimana reaksi kakaknya itu. Biru merasa lebih baik mencari Kinan tanpa melibatkan Firman. 

“Lalu, ke mana lagi kita cari Kinan?” Bu Tika bertanya dengan suara bergetar. Embun mulai terlihat di sudut matanya. 

Kembali keduanya disergap hening, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tiba-tiba Biru menegakkan badannya. “Coba saya cari ke rumah Amira. Mungkin Kinan di sana,” ujarnya. 

Bu Tika menyeka gerimis yang perlahan membasahi pipinya kemudian mengangguk. Ia sudah tidak mampu lagi mengucap sepatah katapun. Hanya tatapan penuh kabut yang terlihat di netra Biru. 

Biru segera menyesap tehnya hingga tandas kemudian berpamitan pada mertuanya untuk pergi ke rumah Amira. Biru yakin, perempuan berhijab lebar itu pasti tahu keberadaan Kinan. Mereka bersahabat dekat. 

***

Bab 8

Kadang cinta butuh diucapkan. Sebab dia bukan cenayang yang bisa membaca pikiran dan menyibak isi hati. 

***

Biru merasa tanah tempatnya berpijak seolah terbelah lalu ia terbenam di dalamnya. Ucapan Ilham bahwa Kinanti tidak berada di rumahnya seperti sambaran petir bagi lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu. Rumah Amira adalah kemungkinan terakhir yang terlintas di benaknya, satu-satunya teman dekat Kinanti sejak berseragam putih biru. 

Kinanti memiliki banyak teman, apalagi setelah membuka toko yang menyediakan racikan teh dan sabun handmade buatannya. Istrinya memiliki wajah secerah bintang Alpha Centauri, bintang paling terang di rasi Centaurus dan senyum semanis brownies cokelat. Ia adalah magnet bagi banyak orang. 

Berbicara dengan Kinanti seperti tengah berbincang dengan seorang ibu. Hangat. Nyaman. Pesona itulah yang memikat hati Biru sejak pertama kali bertemu. Membayangkan hidupnya tanpa senyum Kinanti membuat hatinya sekelam black hole di angkasa. 

Berkali-kali Biru menelepon dan mengirim pesan pada Kinanti. Namun, tidak satu pun pesannya yang sampai. Teleponnya juga berkawan sunyi. Istrinya seolah keluar dari orbit hidupnya. 

“Masuk dulu, Ru. Di luar dingin.” Ilham menatap sahabatnya prihatin. Ia tak menyangka jika Kinanti sanggup berbuat nekat, pergi dari rumah tanpa pamit. 

Seperti orang yang kehilangan akal, Biru melangkah gontai lalu menjatuhkan tubuhnya di atas sofa ruang tamu rumah Ilham. 

“Kamu mandi-mandi dulu saja biar seger. Baru pulang, kan?” Ilham memindai tubuh Biru yang masih berpakaian formal. Ia bangkit dan meninggalkan Biru yang bersandar di kursi dengan mata terpejam dan tangan memijit-mijit pelipis. 

“Kamu sudah salat Isya belum?” Pertanyaan Ilham menyentak kesadaran Biru. Ia menggeleng lemah. 

“Mandi dulu trus salat, gih.” Ilham menyodorkan perlengkapan mandi lengkap dengan baju ganti. 

Dengan langkah berat, Biru beranjak menuju kamar mandi. Ia sudah hafal setiap jengkal rumah Ilham, kecuali kamar-kamar pribadi, karena rumah ini tidak asing baginya..

“Kinan nggak wa kamu, Ra?” Penuh harap, Biru menatap Amira yang sudah duduk di samping Ilham. Ia baru saja selesai salat Isya. Wajahnya yang sempat berselimut kabut tebal terlihat lebih segar dan cerah. 

Jemari Amira meraih gawai di atas meja kemudian mencari pesan dari Kinanti. “Hari ini tumben banget Kinan nggak wa aku. Kupikir sih, lagi sibuk. Soalnya tempo hari dia cerita ada order ratusan gift bag dari tiga orang yang berbeda.” 

“Dia sama anak-anak nginep di mana, ya, Ham? Kinan nggak pernah pergi sendiri malam-malam gini.” Biru menatap Ilham gusar. 

“Mungkin nggak Kinan nginep di hotel?” 

Lelaki dengan rahang kokoh itu termangu. “Ehm …, mungkin juga.” Hanya gumaman pelan yang keluar dari mulutnya. 

“Kalian bertengkar?” Amira menatap Biru penuh selidik. 

Biru menggeleng. “Aku baru pulang dari luar kota, Ra. Kapan bertengkarnya?” sungut Biru kesal. Pertanyaan Amira mengacaukan suasana hatinya yang sempat membaik. 

“Ya berantem kan, nggak mesti tatap muka. Lewat hape juga bisa kan, berantem.” Jejak rasa kesal terlihat di wajah Amira. 

Biru membisu, membiarkan ucapan Amira mengapung di udara. Ia mencoba membongkar file memori kepalanya, mencari-cari pangkal masalah yang membuat Kinanti pergi tanpa pesan. 

“Kamu lupa kalau ada janji?” Amira menelisik. 

Tatapan tajam Biru menyambar wajah Amira. Rasa kesal bergumpal-gumpal di dalam hatinya. Ia menganggap Amira terlalu menyudutkannya. 

“Ra ….” Ilham meraih tangan Amira dan menggenggamnya. Mata seteduh naungan pohon beringin itu menatap istrinya, memberi isyarat untuk menahan diri. Ia tahu Amira sudah akrab dengan masalah rumah tangga Kinanti. Namun, Biru paling tidak suka diperlakukan seperti penjahat sedang diinterogasi polisi. Semakin terpojok, Biru akan semakin menutup diri. Alih-alih mengurai masalah, justru akan membuat kondisi semakin runyam.

Amira menarik napas panjang. Bahwa Biru seorang yang pelupa, begitu terpatri dalam benaknya dan tersimpan rapi dalam memori kepala sehingga ia langsung melontarkan tuduhan pada suami sahabatnya itu. 

“Tolong buatin kopi, Ra. Biar segeran dikit badannya.” Ucapan Ilham memecah kebisuan yang sempat tercipta. 

Seperti prajurit yang menerima perintah sang komandan, Amira segera bangkit dan berjalan menuju dapur. 

“Nggak coba kamu cari di rumah Mas Firman, Ru? Tinggal itu satu-satunya tempat yang paling mungkin didatangi Kinanti.” Ilham mencoba mengurai masalah. 

Biru bergeming. Ia tidak punya cukup nyali untuk mencari Kinanti di tempat Firman. 

“Nggak ada salahnya coba hubungi Mas Firman.” 

“Kinan nggak mungkin bawa anak-anak sendirian ke Semarang, Ham. Repot.” 

“Kondisi bisa mengubah yang tidak mungkin jadi mungkin. Semarang tidak jauh dari sini. Banyak pilihan angkutan juga untuk sampai ke sana.” 

Biru tahu alasan Ilham cukup logis, tetapi ia benar-benar tidak ingin melibatkan Firman dalam masalahnya. 

“Kalau tidak ke Mas Firman, ke mana lagi kita mau nyari Kinan dan anak-anak, Ru?” Ilham berusaha menahan riak-riak yang mulai timbul di dalam hatinya melihat keengganan Biru menghubungi Firman. 

“Aku yakin Kinan masih di Magelang, Ham.” 

“Trus di mana kalau memang masih di Magelang?” 

Hening. Biru juga tidak tahu. Namun, ia yakin istri dan anak-anaknya masih di kota ini.

“Coba besok kamu ke sekolah Abhi, Ru.” Amira yang sudah kembali dengan membawa dua cangkir kopi memecah keheningan. 

“Kenapa?” Biru menatap Amira heran. 

Amira berdecak kesal. “Besok kan, nggak libur, Bapak Manajer. Besok Kinan pasti bakal ngantar Abhi ke sekolah.” 

Kedua lelaki di dalam ruang tamu menatap Amira seperti melihat cahaya berpendar di dalam ruang gelap. Biru menepuk jidatnya. Pikiran seruwet benang kusut membuat sel-sel kelabu di kepalanya kehilangan kemampuan untuk berpikir jernih.

“Kinan orangnya disiplin banget. Dia nggak bakal melewatkan Abhi bolos sekolah. Jadi, besok pasti dia ngantar Abhi.” Amira berujar cepat tanpa jeda. 

“Makasih, Ra. Besok pagi aku ke sekolah Abhi.” Setitik harapan muncul di hati Biru. Ia akan berusaha tidak tidur lagi setelah subuh sehingga bisa ke sekolah Abhi sepagi mungkin agar kedatangan Kinanti tidak terlewat dari tangkapan matanya. 

Kopi yang tersaji di hadapan tak lagi menarik untuk dinikmati. Jemari kokoh Biru meraih cangkir dan meneguknya cepat-cepat. Ia harus segera pulang. Sebentar lagi tengah malam. Ia harus segera tidur agar esok tidak terlambat menjumpai matahari pagi. 

Usai menandaskan kopi, Biru pamit. Hanya dalam hitungan menit ia sudah membelah jalanan kota Magelang yang sunyi. Ia memacu motor secepat mungkin. Harap dan cemas berkelindan dalam hati ditingkahi embusan angin malam yang menggigit. Dingin. 

Lima belas menit sebelum tengah malam Biru tiba kembali di rumah. Sebelum kelopak matanya tertutup, ia masih sempat mengirim pesan pada Kinanti, memintanya untuk kembali karena ia tidak akan sanggup menjalani hari tanpa senyum sehangat mentari dan tatapan sesejuk mata air pegunungan milik Kinanti.

***

Kehilangan adalah cara Allah mengingatkan arti orang lain dalam hidup.

***

Biru mengerjapkan mata. Sayup, telinganya mendengar suara Mbok Nah memanggil namanya. Ia menggeliat perlahan. Seluruh badannya terasa sakit. Ia merasa tubuhnya begitu penat dan letih. 

“Maaf, Pak, sudah siang. Bapak belum Salat Subuh.” Lagi suara Mbok Nah menerobos rongga telinga Biru, kali ini terdengar lebih jelas. Perempuan tua itu menatap majikannya prihatin. 

“Jam berapa memangnya, Mbok?” Biru bangun dengan nyawa yang belum terkumpul sempurna. 

“Setengah enam, Pak.” 

“Astagfirullah!” Biru terlonjak kaget. Ia menatap jam dinding sekilas lalu berjalan cepat ke kamar mandi. “Kok, nggak bangunin pas azan subuh, sih, Mbok.” Sayup terdengar teriakan Biru. 

Biasanya Kinanti akan membangunkannya sehingga tidak ketinggalan salat Subuh. Sering tidur lewat tengah malah membuat Biru susah bangun pagi. Bukan perkara mudah membangunkan lelaki berhidung bangir itu. Butuh menaikkan suara satu oktaf agar mata Biru terbuka sempurna. Dan Mbok Nah tentu saja tidak berani melakukannya. 

“Apa bener Ibu nggak bilang apa-apa ke Mbok Nah?” Biru menatap Mbok Nah yang duduk dengan kepala tertunduk di seberang meja makan. Ia baru saja selesai menyiapkan semangkuk potongan buah dan segelas smoothies buah untuk Biru. Majikannya itu memang tidak pernah sarapan selain buah dan sayur di pagi hari. 

“Selama ini kalau mau ke mana-mana Ibu pasti bilang ke Mbok Nah.” Ada tekanan dalam suara Biru melihat perempuan tua itu masih enggan membuka mulut. 

Sekian menit hening. Biru menyuapkan potongan pisang dan strawberi ke dalam mulut sembari menunggu Mbok Nah bersuara. Ia berusaha menahan gejolak rasa jengkel di dalam hati karena Mbok Nah masih saja menunduk. Lelaki muda itu tidak akan pernah membentak perempuan yang usianya hampir sama dengan ibunya itu. Meski ia hanya seorang pembantu, tetapi Biru berusaha menghormatinya seperti ia menghormati ibunya. Bagaimanapun juga, lewat tangan perempuan itu urusan rumah tangganya beres. 

“Gimana, Mbok? Beneran Ibu nggak ngomong apa-apa?” Biru menatap jam dinding. Masih ada waktu untuk menunggu perempuan di hadapannya bicara. 

Perlahan Mbok Nah mendongak, menatap lurus majikannya. Ia menggeleng. “Ibu nggak bilang apa-apa, Pak. Cuma bilang nitip rumah biar Bapak nggak repot.” 

Biru membuang napas kasar sembari menelisik wajah Mbok Nah. Ia tidak menemukan kilat dusta di mata tua yang terlihat berkabut itu. 

“Ya sudah, Mbok. Mbok Nah boleh pergi sekarang.” Biru menandaskan smoothies di dalam gelas kemudian menyodorkan mangkuk dan gelas kosong kepada pembantunya. Pikirannya kini tertuju ke sekolah Abhizar. Satu-satunya tempat yang paling mungkin dikunjungi Kinanti pagi ini. 

“Mbok, kalau sewaktu-waktu Ibu pulang, telepon saya, ya,” titah Biru sebelum meninggalkan ruang makan. Baju yang dibawa Kinanti tidak banyak. Ia yakin istrinya tidak akan pergi dalam waktu lama. 

Jenak berikutnya, Biru sudah memacu motor menuju sekolah Abhizar. Butuh tiga puluh menit untuk mencapai kompleks sekolah islam terpadu itu. 

Geliat kehidupan yang riuh terlihat di sekolah yang terletak di dekat mall terbesar di Kota Magelang itu ketika Biru sampai. Anak-anak berseragam putih merah turun dari motor atau mobil lalu berlarian memasuki halaman. Sedangkan anak-anak usia TK dituntun orang tua masing-masing menuju gedung di sebelah utara. 

Biru duduk di atas motor, mengamati keriuhan yang tersaji di hadapannya. Matanya awas mencari wajah Kinanti dan Abhizar. Namun, sampai pintu gerbang ditutup, kedua orang yang dicarinya itu tak jua datang. 

Lelaki berkulit cokelat itu mulai frustasi. Buru-buru ia ke gedung di sebelah utara, mencari guru anaknya. 

“Assalamualaykum, Pak, ada yang bisa kami bantu?” Salah satu guru yang tengah berdiri mengawasi anak-anak menyapa Biru. 

“Maaf, Ustazah, saya ingin tahu apa ada kabar dari anak saya. Kebetulan ia ikut ibunya sejak kemarin dan belum pulang. Saya kira akan menemukannya di sini.” Biru mengedarkan pandangan, berharap ada Abhizar di antara anak-anak yang tengah berbaris itu. 

“Kelas apa putranya, Pak?”

“TKB, Ust.” 

“TKB kelas apa, Pak? Ada tiga kelas TKB di sini. Abu Bakr, Umar, Utsman.” 

Biru menggaruk kepala yang takgatal. Ia bahkan tidak tahu anaknya kelas apa. Selama ini urusan sekolah menjadi tanggung jawab Kinanti. Ia hanya memastikan anaknya berangkat sekolah setiap hari. 

“Sa-saya tidak tahu, Ust.” Terpaksa Biru mengaku meski rasa malu menjalari seluruh tubuhnya. “Abhizar nama anak saya.” 

Perempuan yang dipanggil ustazah itu tersenyum. “Oh, Mas Abhi. Kelas Umar, Pak. Saya panggil Ustazah Nita dulu ya, Pak. Beliau wali kelas Mas Abhi.” 

Tak lama kemudian seorang perempuan muda berkacamata menemui Biru. “Maaf, Pak, semalam Bu Kinanti mengirim pesan kalau seminggu ini mungkin Mas Abhi izin dulu karena ada keperluan di luar kota,” ujar Ustazah Nita setelah Biru menjelaskan kedatangannya. 

Biru terperenyak. Mendadak tubuhnya terasa lemas. Sepertinya Kinanti telah merencanakan semuanya sehingga kepergiannya benar-benar rapi. 

“Apa Bu Kinan tidak menyampaikan pada Bapak kalau mau pergi ke luar kota?” Ustazah Nita menatap Biru prihatin. Lelaki di hadapannya terlihat begitu kaget dan frustasi. 

Biru menggeleng. “Tidak, Ust. Sejak kemarin istri saya pergi dengan anak-anak. Saya hubungi nomornya tidak aktif.”

“Astagfirullah.” Ustazah Nita takmampu menyembunyikan kekagetannya. “Lalu gimana, Pak? Apa mungkin Bu Kinan dan anak-anak diculik?” 

“Tidak, tidak, Ust. Mereka tidak diculik. Istri saya memang pergi dari rumah tanpa sepengetahuan saya.” Ada rasa nyeri menyeruak di hati Biru ketika mulutnya meloloskan kalimat itu. Sungguh memalukan ada suami yang tidak tahu ke mana istri dan anak-anaknya pergi. 

Merasa tidak akan menemukan apa pun lagi di sekolah ini, Biru pun pamit. Ia melihat ada beberapa wali yang masih duduk-duduk di gazebo tak jauh dari gedung sekolah TK, tetapi ia segan untuk bertanya pada mereka. Biru khawatir masalah ini justru akan semakin rumit jika wali yang lain tahu. 

Biru melajukan motor secepat mungkin meninggalkan sekolah. Rumah Ilham menjadi tujuannya kini. 

“Kinan nggak nganter Abhi ke sekolah, Ham.” Biru berseru sembari menatap Ilham gusar ketika sahabatnya itu muncul dari balik pintu. “Aku baru dari sana. Kata wali kelas Abhi, Abhi izin selama seminggu karena ada perlu keluar kota.” 

“Masuk dulu, Ru.” Ilham menggeser tubuh agar Biru bisa masuk. “Kalau keluar kota, berarti ke tempat Mas Firman, Ru. Gimana kalau sekarang kita ke sana?” 

Biru mengangguk pasrah. Takada pilihan lain selain mencari ke rumah Mas Firman meski baginya itu sangat memalukan karena kepergian Kinanti adalah bukti bahwa ia telah gagal sebagai nahkoda di rumah tangganya. 

“Aku saja yang pergi, Ham.” 

“Aku antar. Nggak baik nyetir dengan hati kalut.” Ilham menahan Biru yang sudah bangkit dari kursi. 

“Kamu ngajar, kan?” 

“Hari ini ada dua kelas. Nanti aku kirim tugas ke anak-anak. Ada asistenku yang siap handel.” Ilham meninggalkan Biru tanpa memberi kesempatan lelaki itu untuk kembali menyanggah. Tak sampai lima menit kemudian, ia sudah kembali dengan kunci mobil di tangan. 

“Ra, kalau Kinan telepon atau kirim wa, kabari aku secepatnya, ya.” Biru menatap Amira dengan wajah sekusut benang ruwet sebelum pergi bersama Ilham. 

Amira menggangguk. “Iya, Ru. Pasti aku kabari secepatnya. Aku juga bantu cari di sini.” 

“Makasih, Ra.” 

Biru  berjalan cepat menuju mobil yang langsung melaju begitu tubuhnya berada di dalamnya. Lelaki dengan rambut lurus tebal itu menyandarkan tubuh di sandaran kursi. Matanya terpejam. Suara murotal yang mengalun pelan takmampu meredakan pikirannya yang centang-perenang dan hati yang kelut-melut. 

***

Bab 10

Biru menjatuhkan punggungnya di sandaran kursi sambil menutup wajah dengan kedua tangan. Frustrasi. Perempuan yang dicarinya tak ada di rumah Firman. Jejak Kinanti dan anak-anak seperti asap yang mengepul dari secangkir teh kemudian hilang ditiup angin. 

“Mungkin dia keluar kota tapi nginep di rumah temennya, Ru.” Widya, istri Firman menatap iparnya prihatin. Ia tidak menyangka rumah tangga adiknya dilanda prahara. Selama ini, keduanya terlihat akur. Di matanya Biru adalah suami yang penyayang meski bukan tipe lelaki dengan banyak kata. 

“Kamu tahu nggak temen-temen deket dia yang di luar kota tapi nggak jauh dari Magelang?” Widya kembali bertanya sembari menyodorkan secangkir teh.  “Yang di Jogja mungkin. Kalian dulu kuliah di Jogja, kan?” 

Pertanyaan-pertanyaan Widya terdengar seperti desingan peluru di telinga Biru. Jujur, ia tidak tahu teman-teman dekat Kinanti kecuali Amira. Selain istri Ilham itu, Kinanti hanya bercerita tentang Ratna dan Azmi, dua karyawan kepercayaannya. 

“Aku nggak tahu temen-temen dia dulu, Mbak.” Suara Biru nyaris tak terdengar. 

“Bisa jadi Kinanti masih di Magelang. Kita pulang saja, Ru. Mungkin dia nginep di hotel. Kita cari nanti.” Ilham memberi usul. Ia merasa tidak ada yang perlu dilakukan lagi di sini. Kinanti tidak ada dan kakaknya tidak tahu sama sekali keberadaannya. Diam-diam Ilham mengakui kecerdikan istri Biru itu. Di balik pembawaannya yang kalem ia menyimpan jalan pikiran yang rumit. 

“Maafin Mbak, Ru. Mbak bener-bener nggak tahu.” 

“Nggak apa-apa, Mbak. Aku pamit dulu kalau gitu.” Biru meraih cangkir dan menandaskan isinya. 

“Makan dulu. Mbak sudah masak, kok.” Widya memberi isyarat pada Biru dan Ilham untuk masuk ke ruang makan. 

Ilham memberi isyarat pada Biru untuk mengiyakan permintaan Widya ketika sepasang mata keduanya saling bersitatap. 

“Jangan bilang Mas Firman ya, Mbak.” Biru menyuapkan makanan tanpa selera. Ia menatap Widya penuh harap agar masalah ini tidak sampai ke telinga Firman.

“Kinan deket banget sama Mas Firman. Siapa tahu Mas Firman tahu di mana Kinan dan anak-anak.” 

“Bener juga, Ru. Gimana kalau Mbak Widya nelepon Mas Firman dulu?” 

Biru menatap Ilham dengan tatapan seolah berkata “jangan” sementara mulutnya masih mengunyah potongan sayur. 

“Atau kita ke kantor Mas Firman saja? Sayang juga sudah sampai sini nggak maksimal nyari.” 

Biru tersedak. Tangannya segera menyambar segelas air putih yang disodorkan Widya. “Nggak usah, Ham. Aku yakin Mas Firman juga nggak tahu,” ujarnya setelah meneguk setengah isi gelas di tangannya. “Kita pulang aja,” putus Biru. Ia tidak ingin masalahnya melebar. Jika Mas Firman tidak tahu, itu lebih baik. Semakin sedikit orang yang tahu, semakin baik. Ia nahkoda kapal rumah tangganya, ia yang harus menyelesaikan masalah ini. 

Ilham menarik napas panjang lalu mengosongkan piring dalam diam. Rahang Biru mengeras dan tatapan sahabatnya itu seperti mata pisau yang terarah tepat ke ulu hati lawan bicara, tajam dan menusuk. Tujuh tahun berteman dekat, Ilham cukup tahu jika pandangan mata Biru adalah pertanda lelaki itu tidak mau dibantah. 

Usai makan siang, Ilham memacu mobil kembali kea rah Magelang. Sepanjang perjalanan, Biru lebih banyak membisu. Ia duduk bersandar dengan mata terpejam, memikirkan ke mana lagi harus mencari Kinanti. Syaraf-syaraf otaknya mencoba mengingat, apa saja yang dilakukan Kinanti selama ini selain mengurus toko. Dan Biru harus menelan pil pahit karena ia benar-benar tidak tahu kegiatan Kinanti di luar toko dan mengurus rumah. 

“Ra, kamu tahu nggak temen deket Kinan siapa saja selain kamu?” tanyanya setelah Ilham dan Biru kembali ke rumah Ilham. Akhirnya Biru menyerah. Ia harus mencari tahu lewat orang lain. 

Amira meletakkan dua cangkir kopi dan satu piring pisang panggang madu di atas meja. Taburan kayu manis menguarkan aroma yang menggugah selera. Ia kemudian duduk di samping Ilham dan mencoba membongkar file memori di kepalanya, mencari nama-nama orang yang mungkin dekat dengan Kinanti. 

Tanpa menunggu dipersilakan, Biru mencomot sepotong pisang dan segera memasukkan ke mulut. Cacing-cacing yang berdemo di perut membuatnya melupakan rasa malu. 

“Setahuku, Kinan tuh, cuma curhat sama aku. Memang aku pernah sih, nyaranin dia ke konselor pernikahan waktu beberapa kali dia bilang mau nyerah aja.” Amira menjeda penjelasannya dengan tarikan napas panjang. 

Kalimat yang terlontar dari bibir perempuan berjilbab di depannya membuat Biru tersirap. Potongan pisang yang sudah melewati mulut seolah berhenti di tenggorokan. “Nyerah? Nyerah dari apa?” 

Amira menatap Ilham lekat seolah meminta pendapat, haruskan ia bicara jujur pada Biru saat ini. 

“Ya intinya, Kinan tuh, pengen kamu yang dulu, kamu yang perhatian meski hanya lewat hal kecil. Gitu sih, menurutku.” Akhirnya Amira mencoba mencari kalimat yang tidak terlalu menusuk agar Biru tidak terpuruk. 

“Nah, aku nggak tahu dia sudah nyoba ke konselor itu belum. Kalau sudah, mungkin kamu bisa ketemu. Siapa tahu Kinan cerita lebih banyak ke konselor itu.” 

“Siapa konselornya, Ra?” sergah Biru cepat. Ia tidak mengira masalah yang sebenarnya tidak rumit menjadi sekusut benang. Ia memang jarang mengirim pesan kata-kata mesra lagi seperti dulu. Kesibukan dan waktu pernikahan yang berbilang tahun membuatnya menganggap bahwa semua itu tidak perlu lagi dilakukan. Dan ia kecewa karena Kinanti harus bercerita pada Amira, bukan mengatakan padanya langsung. 

“Ustaz Ridwan dan istri beliau. Sering ngasih kajian parenting juga kok, di sekolah Abhi. Kayaknya tempo hari sekolah Abhi launching Sekolah Ayah, de, Ru. Semua wali diundang, suami istri. Yang launching Ustaz Ridwan. Jadi kamu pasti sudah tahu, kan, Ustaz Ridwan yang mana?” 

Biru menyugar rambut. Ia ingat undangan itu dan tidak bisa datang karena ada rapat dadakan di Yogyakarta. “Aku belum kenal, Ra. Minta alamatnya saja. Nanti aku ke sana.” 

Amira bangkit lalu mengambil ponsel dari rak. Ia menyebutkan sederet angka kepada Biru. 

“Thanks, Ra. Nanti aku ke rumahnya.” 

“Beliau sibuk banget, Ru. Tapi kalau habis magrib pasti ada di rumah tahfiz karena beliau pengelola dan rumahnya masih satu kompleks dengan rumah tahfiz. Biasanya juga kalau ada yang mau konsul beliau kasih waktu habis isya kalau hari-hari biasa. Kalau Sabtu beliau dari pagi stand by di sana.” 

“Oke, Ra. Ntar malem deh, aku ke sana. Kalau gitu aku pamit dulu, ya.” Biru meletakkan cangkir kosong di atas meja. “Makasih banyak, Ham, udah bantu aku.” Ia mengulurkan tangan pada Ilham. 

Ilham berdecak. “Kayak sama siapa aja, Ru.” Ia tersenyum lebar. 

Taklama kemudian Biru sudah berada di atas motor membelah jalanan kota Magelang, menembus kawasan Pecinan yang ramai. Ia memutuskan untuk mampir ke toko Kinanti di Jalan Ikhlas. Siapa tahu semesta berpihak padanya dan ia bisa bertemu istrinya di sana. 

“Dari kemarin Ibu nggak ke sini, Pak.” Azmi yang tengah meracik teh menghentikan pekerjaan. Ia menatap takut-takut ke arah Biru yang baru saja datang dan langsung menanyainya. Tatapan suami majikannya yang terlihat intimidatif itu membuat Azmi seperti ikan dikeluarkan dari kolam, megap-megap. 

Azmi menarik napas lega ketika lonceng tanda pintu terbuka menerobos rongga telinga. Buru-buru ia minta izin kepada Biru dan segera berdiri di bali meja customer service karena Retno tengah mengemas teh pesanan Bunda Reina. 

“Selamat datang, Pak. Ada yang bisa kami bantu?” Azmi menyapa ramah seorang lelaki muda yang sudah duduk di hadapan meja. 

Lelaki itu mengambil nota dari saku baju lalu menyodorkannya pada Azmi. “Saya mau mengambil pesanan saya. Kebetulan saya lewat jalan ini, jadi sekalian saja.” 

“Oh, pesanan Bunda Reina, ya, Pak? Mohon tunggu sebentar ya, Pak, saya ambilkan dulu.” 

Lelaki itu menarik kedua sudut bibir ke atas sembari menganggukkan kepala. Setelah kepergian Azmi, ia menyibukkan diri dengan ponsel tanpa menyadari keberadaan Biru di ruangan yang sama. 

Sepuluh menit menunggu, Azmi dan Retno datang membawa dua kardus berukuran sedang. “Ini pesanannya, Pak. Silakan dicek dan dihitung dulu.” 

Lelaki itu pun menghitung dan mengecek barang-barang di dalam kardus. “Sudah pas, Mbak. Saya terima, ya.” Senyum masih belum tanggal dari wajah lelaki itu. Membuat paras tampan miliknya terlihat semakin memesona. 

“Sama-sama, Pak. Terima kasih sudah memesan di tempat kami. Semoga Bunda Reina puas dengan teh racikan kami.”

“Pasti. Ibu saya sudah mencandu racikan Bu Kinan.” 

Biru berjengit mendengar nama istrinya disebut. Ia segera menajamkan telinga. 

“Oh iya, apa Bu Kinan ada?” 

“Kebetulan beliau tidak ke toko hari ini, Pak. Sedang ada kesibukan di luar.” 

Dari balik tempatnya duduk, Biru bisa melihat rasa kecewa tergambar di wajah lelaki itu. 

“Kalau begitu salam buat Bu Kinan, ya. Kebetulan beberapa kali saya telepon tidak tersambung.” 

Biru semakin heran. Sejak kapan Kinanti memiliki teman laki-laki? Atau dia peserta sekolah ayah yang tadi diceritakan Amira? Pikiran-pikiran buruk tetiba melintasi benak Biru. 

“Siapa orang itu, Ret?” Biru tak mampu menahan rasa ingin tahunya. Ia langsung melesatkan anak panah setelah lelaki itu meninggalkan toko. 

 

Bersambung…

 

Bab 11-15
https://karyakarsa.com/AnifahSetyawati/haruskah-berpisah-bab-11-15

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Haruskah Berpisah Bab 11 - 15
5
2
Biarkan aku pergi agar kita bisa saling berpikir tentang hubungan kita saat ini dan masa datang. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan