Haruskah Berpisah Bab 1 - 5

29
4
Deskripsi

Tersedia versi e-book. Info dan pemesanan hubungi 088221160714.

***

Hidup Kinanti Larasati begitu sempurna saat laki-laki yang dicintainya, Banyu Biru, menikahinya. 

Rupanya, perjalanan pernikahan mereka penuh riak dan konflik. Kesibukan keduanya membuat cinta di antara mereka semakin hambar. Bahkan kehadiran anak-anak tak membuat mereka semakin dekat. Luka dan trauma masa lalu semakin menambah rumit masalah. 

Mampukah Biru dan Kinanti menyelamatkan pernikahan mereka? 

Bab 1

Kinanti menatap Amira sendu. Sahabatnya itu telah menjadi tempat terbaik menampung segala keluh. Kesabaran yang ia miliki seolah mencapai titik nadhir. Pernikahan yang ia perjuangkan sudah di ujung tanduk. Hari ini ia kembali menemui Amira demi mencurahkan segenap luka yang bersemayam di hati.

“Ra, kayaknya aku nyerah.” Kinanti berkata sambil matanya menyeruakkan embun.

Amira menatap sahabatnya tak berkedip. “Maksudmu?”

Sebuah helaan napas panjang terdengar. “Apa yang bisa dipertahankan dari sebuah pernikahan yang tak memberikan bahagia?” tanya Kinanti retoris.

Amira menyesap cokelat hangat di hadapannya. Ia bukan tak tahu masalah yang dihadapi sahabatnya. Bukan kali ini saja Kinanti berniat mengakhir penikahannya. Tapi ia selalu berusaha membesarkan hati sahabatnya. Amira yakin, pernikahan mereka masih bisa diperbaiki.

“Coba kalian pergi berdua, bulan madu lagi. Anak-anak biar sama aku. Kalian bicara dari hati ke hati.”

Kinanti tersenyum miris. Gurat kecewa terlihat di wajahnya. “Jangankan liburan berdua, mengantar Abhi sekolah atau menjemputnya saja ia tak ada waktu. Kurasa Mas Biru memang sudah tidak peduli pada kami. Untuk apa terus bersama?” Kinanti menjeda sejenak, menyeruput coklat hangat dan membiarkan rasa manisnya perlahan melewati mulut.

“Kami seperti dua makhluk yang hidup dalam satu galaksi tapi berbeda planet,” lanjutnya. Kinanti menatap lurus ke depan. “Untuk apa mempertahankan sebuah pernikahan yang hambar?”

Sekian detik Amira bergeming, menatap netra sahabatnya, mencari kesungguhan atas apa yang diucapkannya. “Tak ada masalah yang tak bisa diselesaikan, Nan. Cobalah untuk bicara dulu, dari hati ke hati. Aku yakin Biru mau. Dia hanya sibuk, tapi cintanya tak pernah berkurang.”

“Tahu nggak, Ra, dulu bapak juga seolah cintanya hanya untuk kami. Semua kebutuhan kami dipenuhi. Toh diam-diam dia membagi hati.”

“Maksudmu, Biru juga begitu?” Amira bertanya menegaskan.

Kinanti terdiam. Perlahan diaduknya coklat hangat yang masih tersisa di hadapannya. “Bisa jadi,” gumamnya lirih. “Mas Biru sering pamit ke luar kota, kadang menginap semalam, kadang dua malam. Kamu tahu kan, godaan di luar seperti apa, Ra?”

“Kamu terlalu jauh berpikir. Aku yakin Biru tidak seperti itu. Pernikahan kalian masih bisa diperbaiki, Nan. Aku yakin Biru setia.”

“Jika menurutmu semua masih bisa diperbaiki, beri tahu aku caranya, Ra. Aku sudah lelah, tak mampu lagi berpikir,” ujar Kinanti pasrah.

Seulas senyum tercetak di wajah Amira. Tangannya menggenggam tangan Kinanti. “Ingat nggak kalau sebentar lagi anniversary kalian?” Amira bertanya dengan mata berbinar.

Sejenak hening. Kinanti mengangguk, kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Sekelebat bayangan kembali terlintas di kepalanya. Hari saat ia melihat tubuh tegap Biru berbalut jas warna navy mengucap ijab qabul. Meski ia sempat kecewa karena bapak tidak bisa hadir menikahkannya, namun cinta terpacar dari wajah Biru menghangatkan hatinya, melontarkan setumpuk asa serangkai harap dalam jiwanya.

“Coba kamu bikin sesuatu yang spesial, Nan,” usul Amira. “Kamu pasti tahu apa yang disukai Biru,” lanjutnya.

Kata-kata Amira membuyarkan pikirannya. Netranya menatap Amira penuh tanda tanya.

“Cobalah buat perayaan kecil-kecilan. Semacam makan malam bareng, kasih hadiah, atau apalah.” Amira berkata penuh semangat seolah idenya begitu istimewa.

Kinanti kembali menyesap coklat hangatnya. Sejenak memikirkan usul Amira.

“Inget nggak Nan, aku pernah pesen sabun khusus dengan aroma maskulin dan sedikit taburan rempah beberapa waktu lalu?”

Sejenak terdiam mengingat, Kinanti mengangguk. “Lalu?”

“Itu hadiah dariku buat Ilham di hari pernikahan kami. Dan rupanya Ilham juga sudah menyiapkan hadiah spesial untukku. Dia juga memesannya ke kamu. Lilin aromaterapi dengan wangi lavender kesukaanku. Kamu ingat nggak?”

Sekali lagi Kinanti terdiam mencoba membongkar memorinya. Kedua sudut bibirnya terangkat ke atas. “Iya aku ingat. Lilin dengan warna ungu dan Ilham memintaku mengemaskan istimewa. Aku sampai harus mencari referensi ke mana-mana untuk menemukan wadah yang cocok. Aku baru tahu kalau Ilham ternyata romantis.”

Amira tertawa. “Coba sekarang kamu pikirkan, hadiah terbaik apa buat Biru. Berapa pasang suami istri yang sudah kamu bantu biar tambah romantis? Saatnya kamu memikirkan untuk diri dan suamimu.” Amira menjeda sejenak, menandaskan sisa coklat hangat di cangkirnya. “Ciptakan momen romantis kalian,” bisiknya dengan mata berbinar.

Usul Amira laksana matari yang menyinari bumi usai gelap malam menyingkir, melesat memenuhi rongga kepala Kinanti, menumbuhkan kelebatan-kelebatan ide dalam benaknya. Perlahan kabut menghilang dari netranya. Binar bahagia kembali menghias wajahnya.

“Makan malam romantis kayaknya seru juga ya, Ra?” Tiba-tiba terlintas di benak Kinanti untuk makan malam di kebun belakang rumah mereka.

“Nah, bener banget, tuh. Aku sama Ilham selalu mengagendakan minimal sebulan sekali dinner berdua. Nggak harus di resto mewah, kita juga bisa melakukannya di rumah.”

Kinanti tersenyum. “Aku coba. Doakan berhasil, Ra,” ujarnya yakin. Bayangan dirinya dan Biru menikmati malam sambil menatap bintang di langit berkelebat. Tiba-tiba hatinya merindu suaminya yang dulu sering mengirim kata-kata mesra atau puisi di sela-sela jam kantor.

“Selalu, selalu aku doakan kamu, Nan. Good luck!” Amira menggenggam tangan Kinanti. Hatinya bungah melihat semangat kembali terlukis di wajah sahabatnya.

***

Hidup bagi Kinanti Larasati serupa menggabungkan kepingan-kepingan puzzle yang terkoyak oleh luka masa lalu. Pengkhianatan, kebohongan, dan kepergian bapak meninggalkan keluarga membuat dirinya kehilangan separuh jiwa. Senyum selalu tercetak di wajahnya yang putih bersih, namun hatinya menyimpan nyeri. Baginya, semua lelaki sama, bebas memberi cinta dan harapan, lalu pergi begitu saja kala menemukan bunga yang lebih indah.

Candra yang berganti melipat warsa, tak mampu menyembuhkan luka hatinnya. Ia menutup diri dari lelaki. Cinta baginya adalah sebentuk ilusi. Dan ia tak ingin terjebak pada harapan semu. Maka, berulangkali Kinanti menolak kedatangan laki-laki yang mencoba mengisi hatinya. Hingga suatu hari, datang Banyu Biru menawarkan pesonanya. Lelaki bermanik mata hitam pekat itu tak banyak bicara, namun matanya teduh dan senyumnya hangat. Mengingatkannya pada sosok bapak yang pergi sekian tahun yang lalu.

Meski demikian, butuh berbilang purnama untuk menerima Biru menjadi bagian hidupnya. Dan di sinilah ia, mencoba mengumpulkan kembali puzzle yang sempat terserak bersama Banyu Biru sejak tujuh tahun yang lalu.

Kesibukan Biru yang semakin padat melemparkan Kinanti pada bayang masa lalu. Ketakutan, kecemasan, hinggap di hatinya. Ingatannya kembali terbuka saat mendapati bapak yang jarang pulang ternyata telah memiliki keluarga yang baru. Hati Kinanti risau, adakah ia akan bernasib sama dengan ibunya, ditinggalkan suami yang diam-diam berbagi hati.

***

Bab 2

Mas, hari ini sibuk?” Kinanti bertanya pada suaminya yang tengah memakai baju.

Biru menghentikan gerakan tangannya mengancingkan baju. “Kenapa, Nan?” Ia menatap wajah Kinanti. Ia hapal kebiasaan istrinya. Pertanyaan itu pertanda ada yang ingin dibicarakan. Mungkin soal sekolah Abhizar, rumah, atau bisnisnya.

“Nanti pulang cepet, ya.” Kinanti menjawab pendek sambil tersenyum.

Biru mengambil ponselnya, mengecek agenda hari ini. Sementara Kinanti menunggu dengan dada berdebar.

“Aku ....”

“Ada rapat?” sergah Kinanti.

Sejenak terdiam, Biru menimbang apa yang harus disampaikan pada Kinanti. Ia memang ada rapat nanti siang dan tidak tahu sampai jam berapa. Sebentar lagi waktu pelunasan biaya haji bagi calon jamaah haji yang berangkat tahun ini.

Melihat suaminya diam, Kinanti merasa jika dugaannya benar. “Ya sudah kalau Mas sibuk. Lain kali saja,” ujarnya kecewa.

Biru menarik napas panjang. “Aku usahakan Magrib sudah di rumah, Nan. Nanti ingetin aku, ya,” ujarnya kemudian, mencoba melerai kecewa dari hati istrinya.

Selarik senyum tersungging di wajah Kinanti. “Bener ya, Mas. Aku tunggu.”

Biru mengangguk kemudian pamit. Kinanti melepas kepergian suaminya dengan hati berdebar. Sungguh tak sabar menanti saat malam tiba.

Hari ini Kinanti tidak pergi ke toko. Urusan toko sudah ia serahkan pada Retno dan Azmi, dua orang kepercayaannya yang sudah berkerja di toko sejak pertama kali berdiri. Ia ingin menyiapkan semuanya dengan baik untuk nanti malam. Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan mereka.

Beberapa kali berselancar di dunia maya, akhirnya Kinanti menemukan sebuah sweater warna maroon dengan aksen garis abu yang dirasa cocok untuk Biru. Paduan kemeja dan sweater adalah salah satu outfit kegemaran lelakinya. Dan sepertinya, sudah lama suaminya tidak membeli sweater baru. Kinanti mengemasnya dalam sebuah kotak khusus yang juga ia pesan online.

Kinanti meminta Mbok Nah membantunya memasak nasi kebuli. Biru sangat suka nasi berempah tersebut. Ia bisa berulang kali nambah jika Kinanti menyajikannya di meja makan. Meski tak pernah memuji, tapi sorot mata suaminya menunjukkan kalau ia menikmati masakannya. Sekotak brownies talas juga sudah ia siapkan. Brownies favorit yang sering mereka beli. Tak lupa lilin aromaterapi dengan wangi citrus yang menenangkan.

Siang hari ia menata kamar mereka. Bersyukur Dewi, anak Mbok Nah, pulang cepat hari ini. Ia meminta bantuan Dewi menata kamar karena harus memindah beberapa barang.

“Kayaknya baru dua minggu lalu kamarnya ditata, Bu?” tanya Dewi heran.

“Iya, Wi. Saya sudah bosen lagi.”

Dewi mengangguk kemudian mengerjakan semua instruksi Kinanti. Tepat saat azan Ashar berkumandang, kamarnya sudah lebih rapi. Terlihat beberapa tangkai mawar di atas nakas. Kinanti juga berencana meletakkan kuntum-kuntum melati di atas ranjang. Ia akan memetiknya nanti. Perempuan berwajah putih bersih itu menatap kamarnya dengan wajah puas. Ia juga sudah menyiapkan beberapa drama romantis untuk ditonton bersama. Untuk itu Kinanti harus bertanya pada mesin pencari di dunia maya karena sudah lama tontonannya sama dengan Abhizar dan Athaya.

Usai salat Ashar Kinanti membersihkan kebun kecil di belakang rumah mereka. Ia meletakkan sebuah meja dan dua buah kursi di salah satu sudut. Beberapa anggrek yang sedang berbunga menambah cantik suasana. Dendrobium berbunga putih dan kuning yang sedang mekar mengingatkannya pada saat Biru datang melamar. Kedua bunga itu yang dibawanya. Mengingatnya membuat hati Kinanti menghangat. Seulas senyum tercetak di wajahnya.

Tak lupa Kinanti meminta Mbok Nah dan Dewi menginap agar bisa menemani dan menidurkan kedua anaknya sementara ia dan Biru menikmati makan malam berduaJantung Kinanti berdebar menanti Biru pulang. Rasanya tak sabar menyambut pangerannya datang.

Senja datang menyapa ketika piringan matahari terbenam sempurna di balik cakrawala. Kinanti mulai disergap gelisah. Ia sudah mengingatkan Biru pada janjinya. Bahkan beberapa kali ia berusaha menelpon, namun tidak pernah diangkat. Bahkan usai salat Magrib, ponselnya sudah tidak dapat dihubungi.

Waktu dengan cepat bergerak. Demi mengusir risau, Kinanti membacakan kedua anaknya buku. Satu hal yang selalu dilakukannya sebelum mereka tidur. Mereka biasa berkumpul di kamar Abhizar. Setelah semua terlelap, ia akan menggendong Athaya menuju kamarnya. Kadang, rasa lelah yang mendera membuatnya ikut terlelap sehingga ketiganya tertidur di kamar Abhizar hingga pagi.

Hingga kedua buah hatinya memejamkan mata, Biru tak kunjung pulang. Kinanti putus asa. Romantisme makan malam berdua yang ia bayangkan sirna. Setelah menyelimuti Athaya, ia beranjak menuju kamar, menikmati drama romantis yang sudah disiapkan dalam sunyi. Hatinya gerimis merasa semua yang telah dilakukannya tak berarti.

***

Bab 3

Biru menepuk jidatnya saat menghidupkan ponsel yang sempat mati kehabisan batere dan mendapati banyak sekali panggilan dari istrinya.

“Kenapa, Bro?” Ilham yang sedang bersamanya terlihat ikut kaget. Malam ini mereka memang bertemu di kafe buku yang mereka bangun untuk membahas rencana pembukaan kafe buku baru di dekat kampus UNTIDAR.

“Aku lupa kalau hari ini janji sama Kinan pulang sebelum Magrib.”

“Astaghfirullah ..., cepetan pulang, Ru.” Dari cerita Amira, Ilham tahu jika rumah tangga Biru bermasalah. Sayangnya, sahabatnya itu merasa semua baik-baik saja. Baginya, selama ia bisa mencukupi semua kebutuhan keluarganya, itu sudah cukup.

“Kamu sih, ngajakin ketemuan,” rutuk Biru.

“Yang lupa siapa, yang disalahin siapa,” ujar Ilham sambil menggelengkan kepala.

“Ya udah, aku pulang dulu, Ham,” katanya sambil memasukkan ponsel dan laptop ke dalam tas. “Assalamualaikum,” pamit Biru.

“Waalaikumsalam,” jawab Ilham. “Ru!” Tiba-tiba Ilham memanggil Biru yang baru berjalan tiga langkah.

Biru membalikkan badan. “Kenapa lagi?” tanyanya tergesa.

“Kinan butuh kamu, butuh perhatian kamu. Jangan sampai lupa kalau punya janji ke dia.”

Sekian detik Biru bergeming. “Maksudmu?”

Ilham berdiri dari tempatnya dan berjalan hingga mereka berdua berhadapan. “Seperti yang sudah sering kukatakan padamu, istri kita bukan robot. Mereka tidak hanya butuh nafkah lahir, tapi juga batin.”

“Aku sudah memberikan semuanya,” sergah Biru sedikit kesal. Kata-kata Ilham serupa peluru yang menusuk harga dirinya. Setelah semua gaji ia berikan, dan waktu ia habiskan untuk bekerja, apa lagi yang diinginkan Kinanti darinya.

“Nafkah batin tidak melulu soal itu. Perhatian dan kasih sayang itu juga nafkah batin.”

Biru mengusap wajahnya kasar. “Aku lebih tahu urusan rumah tanggaku, Ham. Terima kasih sudah mengingatkan.” Biru membalikkan badan, kemudian berjalan cepat meninggalkan Ilham. Hatinya gemuruh. Ia merasa Ilham mencampuri urusan rumah tangganya.

Ilham menghela napas berat. Sahabatnya sebenarnya orang yang menyenangkan diajak diskusi, rendah hati, dan pekerja keras. Biru akan selalu mengerjakan semua tugas yang menjadi tanggung jawabnya dengan baik, sesempurna mungkin. Itulah sebabnya waktunya habis di kantor dan karirnya cukup bagus. Ia kini menjadi manajer UKM bank syariah berwarna hijau untuk wilayah Kedu Raya. Hal yang membuatnya semakin jarang di rumah karena harus berkeliling ke berbagai kantor cabang.

Berbeda dengan soal rumah tangganya, Biru sangat tertutup. Sangat jarang mereka bertukar cerita. Ia segera masuk ke dalam benteng yang kokoh jika Ilham sudah menyinggung soal Kinanti. Pun hari ini, lelaki tegap yang selalu berpenampilan rapi itu kembali masuk benteng ketika diingatkan soal rumah tangganya.

***

Biru memacu motornya secepat mungkin. Angin malam menerpa wajahnya. Hatinya was-was. Segera ia memasukkan motornya ke dalam garasi yang belum terkunci, kemudian bergegas naik ke lantai dua menuju kamarnya. Sebelum masuk ke kamar, ia meletakkan tas di ruang perpustakaan yang terletak di sudut barat lantai dua.

Perlahan dibukanya pintu kamar. Samar indera penciumannya menghirup aroma melati. Biru sedikit terkejut melihat kamarnya yang berubah. Dilihatnya Kinanti tertidur di atas karpet di salah satu sudut kamar.

“Nan ...,” Biru menepuk lengan istrinya lembut.

Kinanti mengerjapkan mata setelah beberapa kali tepukan. Perlahan ia bangun. “Baru pulang?” tanyanya dengan nada kecewa setelah kesadarannya penuh.

“Ma-maaf, Nan, aku lupa.” Biru memegang tangan Kinanti, mencoba meredakan rasa kesal yang seolah akan segera meledak.

Kinanti membuang muka. Bukan sekali ini separuh jiwanya lupa dengan janji yang telah dibuat. Lupa menjemput Abhizar, lupa mengantar Abhi kontrol ke dokter Anita, lupa, dan lupa. Lalu semuanya hanya berujung maaf, tak pernah ada usaha untuk memperbaiki diri. Ia lelah. Lelah menunggu suaminya berubah.

Biru memegang dagu Kinanti dan menghadapkan wajahnya padanya. Gerimis perlahan membasahi wajah ayu Kinanti.

“Apa kami bukan lagi prioritasmu, Mas?”

Jantung Biru seolah bergeming mendengar pertanyaan itu. Untuk pertama kalinya istrinya melontarkan sebuah pertanyaan yang baginya ganjil. Setelah semua kerja kerasnya, bagaimana mungkin mereka bukan prioritas bagi dirinya?

“Apa urusan kantormu, pekerjaanmu, kafemu, lebih penting dari urusan kami?”

Sekian detik keduanya saling menatap. Kinanti kembali membuang muka. Manik mata hitam pekat lelakinya menyiratkan terlihat terluka. Tapi ia sudah tak sanggup diam. Suaminya harus tahu bahwa mereka juga membutuhkan kehadirannya, bukan hanya uang, mainan, dan semua materi yang tak sanggup membeli kasih sayang.

“Kamu pikir aku kerja untuk siapa, Nan?” Biru bertanya dengan hati gemuruh. “Setelah semua yang kulakukan, kamu masih menganggap itu kurang? Sejak kapan kamu menjadi istri yang penuntut?” Runtuh sudah pertahanannya. Ada yang nyeri di hatinya.

Kinanti menggeleng pelan. “Aku tahu kamu melakukan semua untuk kami. Tapi kami bukan robot, Mas. Kami juga butuh kehadiranmu. Abhi dan Atha butuh ayahnya. Kamu contoh bagi mereka. Dari mana mereka mendapatkan teladan jika bukan dari ayahnya?”

Biru menatap nanar istrinya. “Bukankah sudah sepantasnya kita berbagi tugas, aku mencari nafkah dan kamu mengurus anak? Aku tidak mungkin sanggup mengurus semuanya,” ujarnya kemudian.

Kinanti menarik napas panjang. Mencoba mengisi paru-parunya dengan sebanyak mungkin oksigen. Ia harus menerima kenyataan bahwa Biru memang telah berubah. Suaminya saat ini bukanlah lelaki yang dinikahinya tujuh tahun lalu. Karir dan promosi jabatan telah merenggut hatinya. Kinanti menyeka sisa air mata di wajahnya. Tak perlu ada tangis untuk sesuatu yang orang lain tak merasa bersalah.

“Baiklah jika seperti itu keinginanmu.” Kinanti menyerah. “Boleh aku minta satu hal?”

“Aku tidak pernah menolak semua permintaanmu, Nan.”

“Jangan lupa jika punya janji dengan kami,” pungkasnya. Kinanti mematikan laptop kemudian mengambil sesuatu dari meja rias.

“Ini untukmu,” ujarnya sambil menyodorkan sebuah kotak berwarna coklat. “Hari ini ulang tahun pernikahan kita. Ini hadiah dariku.”

Biru terkejut. Ia bahkan tak ingat jika hari ini adalah hari istimewa mereka. Gemetar Biru menerima kotak tersebut. “Terima kasih,” gumamnya lirih.

“Selama ini kita hampir tak pernah punya waktu berdua. Sebenarnya tadi aku ingin mengajakmu makan malam di kebun kecil kita.” Kinanti mengambil napas, kemudian tersenyum miris. “Tapi sudahlah, semua sudah berlalu. Aku masak nasi kebuli. Kalau kamu lapar, makan saja di bawah. Kami sudah makan.”

Kinanti berjalan menuju ranjang. Hatinya lelah. Segera dibaringkannya tubuhnya. Berharap matanya cepat terpejam agar segala sesak di dada terlibas habis.

***

Bab 4

Bagaimana rasanya diabaikan? Bagaimana rasanya semua yang kita usahakan sia-sia karena orang yang kita harapkan cinta dan perhatiannya tidak pernah menganggap apa yang kita lakukan penting?

Kinanti merasa terjatuh ke dalam jurang yang gelap dan Biru sama sekali tak berniat untuk menolongnya. Laki-laki yang menikahinya tujuh tahun lalu itu lebih memilih pekerjaan daripada ia dan kedua anak mereka.

“Mendidik dan mengasuh anak itu tugas ayah dan bunda, suami dan istri, bukan istri saja.” Ustaz yang mengisi kajian parenting di sekolah Abhi dan Athaya berujar suatu hari. “Malah dalam Al Quran, dialog seorang ayah dengan anak disebutkan lebih banyak. Contohnya bagaimana Luqman berdialog dengan anaknya, Nabi Ibrahim dengan Ismail. Artinya tanggung jawab utama pendidikan sebenarnya ada di pundak suami, ayah.”

Kinanti mengganjur napas. Ia merasa tersudut. Jangankan mengobrol, Biru pulang larut dan sering bangun kesiangan. Sesi parenting di sekolah Abhi dan Athaya hari itu membuat hati Kintanti tercabik-cabik. Hampir semua orang tua hadir berpasangan. Hanya segelintir, termasuk dirinya yang hadir tanpa suami.

Ia sudah meminta Biru untuk ikut serta. Namun, suaminya mendadak membatalkan karena ada janji dengan klien padahal hari itu libur. Terpaksa Kinanti datang dengan membawa hati yang berselubung kecewa.

“Ayahnya Abhi itu kan, ganteng. Apa Jeng Kinan tidak khawatir kalau kesambet orang?” Bu Santi, ibu teman Abhi tiba-tiba melempar bola panas saat Kinan duduk-duduk di gazebo depan sekolah sambil menunggu anaknya keluar kelas.

Kinanti hanya tersenyum samar tanpa kata. Ia tak berminat menyiram bola panas itu dengan air.

“Iya kan, ibu-ibu? Suami ganteng, karir moncer. Nggak mungkin didiemin sama perempuan-perempuan di luar sana.” Bu Santi semakin menjadi. Ia menatap tiga orang wali yang duduk bersama mereka dengan sorot mata seolah minta persetujuan.

“Iya, Jeng Kinan. Bener itu kata Jeng Santi. Hati-hati saja.” Bu Dewi menyiram bensin membuat nyala bola api semakin berkobar. “Kapan hari ada manajer area bank pelat merah ketahuan indehoy di hotel lho, Jeng.”

Kinanti tersirap. Bayangan Bapak yang ketahuan berlibur dengan Tante Ajeng mengusik ingatan. Tiba-tiba dadanya terasa sesak dan kepalanya seperti dihantam palu berkali-kali. Beruntung Abhizar keluar dari kelas dan berlari ke arahnya. Buru-buru Kinanti pamit. Sepanjang perjalanan pulang hatinya didera rasa sakit.

Meski berusaha sekuat tenaga untuk melupakan omongan usil Bu Santi dan Bu Dewi, tetap saja ucapan mereka seringkali menyeruak kembali, memantik rasa takut dan bara di hati Kinanti.

Kinanti disergap rasa khawatir jika Biru pergi keluar kota dan menginap. Ia selalu mencium aroma baju biru sepulang kerja, mencari-cari bau parfum perempuan yang bisa jadi menyelusup di antara wangi parfum Biru.

Perempuan berparas ayu itu selalu bertanya menyelidik saat berkesempatan mengobrol dengan Biru sehingga terkadang suaminya jengah dengan pertanyaan-pertanyaan Kinanti. Beberapa kali ia membuka-buka ponsel Biru, mencari nama-nama aneh yang ada dalam pesan di aplikasi hijau. Setiap hari ia juga membuka media sosial Biru, mencari-cari keanehan dalam postingan dan inbox Biru. Nihil. Ia tidak menemukan keanehan apa pun.

“Pokoknya laki-laki jangan dipercaya, Jeng. Kita harus awasi penuh.” Suara Bu Santi suatu hari kembali terngiang di telinga. “Pokoknya jangan kasih kendor. Apalagi suami Jeng Kinan ganteng.” Entah berapa kali kata ganteng terlontar dari bibir bergincu merah Bu Santi.

Kinanti bermetamorfosis menjadi wartawan koran gosip dan intel yang berusaha memata-matai Biru. Ia terperosok dalam lubang rasa tidak percaya yang dibuatnya sendiri.

***

“Gimana makan malam kalian? Sukses, kan?” tanya Amira penuh semangat. Sahabatnya itu menyempatkan datang ke tokonya pada hari Senin pagi setelah makan malam romantis yang gagal.

Kinanti tersenyum miris. “Nggak usah dibicarakan lagi, Ra.” Terdengar nada putus asa dari jawabannya.

“Biru lupa?” tebak Amira. Lupa adalah kebiasaan Biru yang berulangkali diceritakan Kinanti.

“Begitulah.” Kinanti menjawab pendek. Ia membuang napas kasar. “Hatiku seperti mengalami gerhana matahari total,” lanjutnya sambil tertawa sumbang. Mengingat wajah Biru yang merasa tidak bersalah saja membuat gumpalan rasa kecewa timbul kembali di hati Kinanti. Ditambah lagu boyband lawas yang diputar karyawannya membuat ingatan akan malam minggu kelabu kembali menyeruak.

“Lalu, apa yang kalian malam Minggu kemarin?” selidik Amira.

Kinanti bergeming sembari menautkan alis. “Memangnya apa yang bisa dilakukan sepasang suami istri yang sedang perang dunia?” batinnya heran.

Melihat Kinanti yang menatapnya penuh tanda tanya, Amira melanjutkan, “Maksudku, apa yang terjadi setelah Biru datang terlambat? Apa kalian tidak mencoba berbicara dari hati ke hati? Toh kalian sempat bertemu kan?”

Meski enggan, tak urung Kinanti menceritakan kejadian malam Minggu kemarin sekilas. “Aku pegang janjinya untuk tidak lupa lagi, Ra. Mungkin untuk sementara ini sudah cukup.”

Amira menggeleng sembari menatap Kinanti prihatin. “Aku bilang mas Ilham biar dia ngasih tahu Biru.”

“Tidak perlu, Ra,” tukas Kinanti. “Mas Biru tidak suka urusan pribadinya diketahui orang lain. Melibatkan Ilham hanya akan memperkeruh suasana.” Kinanti menatap mata coklat Amira lekat. “Biarkan semesta yang berbicara,” pungkasnya.

“Mendiamkannya juga bukan solusi, Nan. Tetap harus ada usaha buat ngingetin dia.” Amira berkeras.

“Tak ada yang bisa dilakukan saat ini selain diam. Kita lihat sampai di mana aku bisa kuat menjalaninya.”

Amira menggenggam tangan sahabatnya. “Jangan menyerah, Nan. Teruslah berjuang. Aku yakin suatu hari, hati Biru akan terbuka.”

“Berjuang itu kalau yang melakukan kedua pihak, Ra. Kalau sepihak namanya berkorban,” ujar Kinanti satir.

“Apa pun itu, aku yakin kamu bisa, Nan. Kamu sudah berusaha sejauh ini, jangan pernah menyerah.”

“Terima kasih, Ra. Kamu selalu ada untukku.”

Rengkuhan Amira berhasil mengurai belitan tali yang mengikat dada Kinanti. Sekian menit ia menumpahkan segala sesak di dada. Gerimis yang ditahannya sejak kemarin tumpah sudah.

“Nan, Rasulullah pernah bersabda, doa adalah senjata seorang mukmin. Doakan terus Biru. Allah yang kuasa membolak-balik hati,” ujar Amira sambil melepas pelukannya.

Kinanti mengangguk lemah. “Doakan aku juga, Ra.”

“Insyaallah, Nan.” Sekali lagi keduanya berpelukan sebelum Amira pamit.

Suara lonceng pertanda ada tamu memasuki toko menarik perhatian Retno yang tengah sibuk dengan pekerjaan mereka. Sigap Retno menyambut kedatangan lelaki bertubuh ranggi dalam balutan stelan jas.

“Saya ingin memesan teh ini.” Lelaki itu menyodorkan botol kaca kosong kepada Retno usai gadis itu menanyakan maksud kedatangannya.

Retno meraih botol kaca dan membaca label yang tertempel di bagian luar.

“Ibu saya memesan teh yang sama persis dengan ini.” Lelaki itu kembali berujar.

“Oh, Bunda Kireina ya?” Ratna menarik kedua sudut bibirnya.

Lelaki itu mengangguk. Senyum semanis madu terpahat sempurna di wajah berkulit putih miliknya. “Betul. Tolong buatkan dua puluh toples. Mama ingin memberikannya sebagai hadiah kepada kolega-koleganya.”

“Baik, Pak. Silakan duduk dulu.” Retno mengambil buku catatan pesan kemudian mencatat semua pesanan Rayhan. Kireina adalah pelanggan setia toko ini sejak pertama kali berdiri. Meski baru sekarang anaknya sendiri yang datang. Biasanya Reina hanya menelpon dan ojek online akan mengantar pesanannya.

Mengetahui tamunya masih menunggu di sofa, Kinanti menghentikan pekerjaan dan mendatanginya. Lelaki itu sedang membuka-buka koran yang tersedia di samping sofa. Mata Kinanti mengerjap. Ia merasa tidak asing dengan tamunya.

“Terima kasih atas ….” Kinanti tertegun. Tidak menyangka kalau dugaannya benar. Keping ingatan masa lalu berkelebatan seperti panah-panah api . Ia tidak menyangka jika akan bertemu lagi dengan laki-laki itu.

“Kinan?” Rayhan nyaris terlonjak dari tempatnya duduk. Bertahun ia mencari keberadaan Kinanti. Pendulum nasib mempertemukannya kembali di tempat ini. “Jadi ini toko kamu?” Ia memindai wajah ayu Kinanti. Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat. Ingin sekali ia melipat jarak dan memeluk tubuh perempuan yang dirinduinya berpuluh purnama itu. Namun, otaknya masih cukup waras sehingga ia memilih menahan gejolak di hati.

***

Bab 5

Sekian detik Kinanti terpaku. Matanya terkunci pada wajah setenang telaga Rayhan. Lalu, ingatan masa lalu berkelebat silih berganti seperti putaran drama televisi. “Kapan balik Magelang?” Akhirnya, justru pertanyaan itu yang terlontar dari bibir Kinanti. Selama satu tahun Reina menjadi pelanggannya, belum pernah sekalipun ia bertemu lelaki bermanik mata cokelat itu.

Nyala rindu terlihat jelas di wajah Rayhan. Matanya terus memindai tubuh Kinanti seperti elang yang tidak ingin melepas calon mangsanya. “Belum lama." Selarik senyum sehangat mentari tercetak di wajah Rayhan. “Baru sebulan lalu Bunda nyuruh aku pulang.” Rayhan menjelaskan tanpa diminta.

Hening. Rasa canggung tiba-tiba menyergap keduanya.

“Ini total tagihannya, Pak. Insyaallah pesanan akan kami kirim dua hari lagi menunggu gift box-nya jadi.” Retno datang memecah kebisuan di antara mereka.

Kinanti menarik napas panjang berusaha meredakan rasa gugup yang tiba-tiba menyergap. Kemunculan Rayhan telah membuka kunci kotak Pandora yang disimpannya rapat-rapat.

Rayhan mengucapkan terima kasih lalu menyodorkan sejumlah uang yang tertera di nota. Ia kembali menatap Kinanti setelah kepergian Retno. “Ini kartu namaku, Nan. Aku akan sangat senang kalau kita bisa bersahabat.” Lagi-lagi senyum menawan itu kembali disuguhkan Rayhan sembari meletakkan secarik kertas berwarna putih di atas meja. “Aku pergi dulu. Makasih banyak untuk excellent service-nya.”

Kinanti mengangguk. Tak sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Lidahnya kelu bahkan untuk sekadar membalas ucapan salam Rayhan.

***

Satu purnama berlalu sejak perayaan ulang tahun pernikahan yang gagal. Kinanti mencoba menjalani hidupnya senormal mungkin, menjalani semua rutinitas yang telah dilakoninya selama ini. Perempuan dengan rambut panjang berombak itu mencoba mengusir gelisah dengan menenggelamkan dirinya di toko. Sesekali ia kembali ke panti asuhan yang sempat ditinggalkannya sejak kelahiran Athaya. Sebelum menikah, Kinanti menjadi salah satu pengurus panti tersebut. Kelahiran Athaya membuatnya kerepotan sehingga memutuskan untuk berhenti.

“Nan, kok wajahmu pucat? Kamu sakit?” Biru bertanya saat mereka sarapan pagi. Baru ia sadari jika binar di wajah Kinanti menghilang. Istrinya terlihat seperti bunga anyelir yang layu kekurangan air.

“Enggak kok. Mungkin kecapekan saja, Mas.” Kinanti mencoba mengelak. Akhir-akhir ini ia memang jarang makan. Nafsu makannya menurun drastis. Ditambah insomnia yang kembali menyerang. Jika Biru keluar kota dan tidak pulang ke rumah, bisa dipastikan ia akan sulit memejamkan mata.

“Atau ...?” Biru menganggantung kalimat. Matanya menatap Kinanti penuh arti.

Kinanti menautkan kedua alisnya. “Atau apa, Mas?” tanyanya.

“Athaya mau punya adek,” jawab Biru dengan mata bersinar.

Kinanti memperlihatkan deretan giginya. “Enggak, Mas. Negatif, kok. Mungkin aku kecapekan.”

“Ya udah, nggak usah ke toko dulu kalau kecapekan, Nan. Istirahat saja di rumah.”

Kinanti tersenyum. “Iya, Mas.” Dalam hati Kinanti mengharapkan lebih dari sekadar anjuran istrahat di rumah. Ia ingin Biru melakukan lebih dari itu. Namun, mulutnya terkunci untuk mengungkapkan keinginannya.

Usai menghabiskan sarapannya, Biru pamit sementara Kinanti mengantar Abhizar ke teras rumah untuk menunggu mobil jemputan. Merasa tubuhnya kurang fit akhir-akhir ini, Kinanti memesan mobil antar jemput sekolah sejak sepekan yang lalu.

Kinanti memutuskan untuk beristirahat sejenak sebelum berangkat ke toko. Kepalanya terasa pusing dan badan pun sedikit lemas. Tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Biru terlihat di layar benda berukuran enam inchi itu.

“Nan, aku lupa ngasih tahu kalau nanti sore aku berangkat ke Semarang. Besok pagi ada rapat dengan pimpinan Jateng – DIY.” Terdengar suara Biru di seberang setelah sebelumnya mengucap salam.

“Ya, Mas. Kayaknya belum bawa baju ganti ya?”

“Iya. Tolong siapin ya, Nan. Aku cuma sehari di Semarang. Besok sore sudah balik lagi. Nanti siang biar diambilkan Pak Pardi, sopir kantor.”

“Ya, Mas. Nanti kalau aku ke toko, bajunya aku titip Mbok Nah.”

“Oke, makasih, Nan.”

Biru memutus sambungan telepon. Jika memori otak bisa diupgrade, Kinanti berharap memori otak Biru menjadi salah satu yang diupgrade. Tingkat pelupanya sudah melebihi batas wajar.

Kinanti pergi ke toko usai salat Zuhur sehingga ia masih sempat bertemu Pak Pardi untuk menyerahkan baju Biru. Tepat saat Pak Pardi meninggalkan rumah, mobil jemputan Abhi pulang. Kinanti meluangkan waktu menyapa anak lelakinya sebelum melajukan motornya ke toko. Andaikan tidak ada janji dengan salah satu pelanggan setia tokonya, ia ingin di rumah saja.

“Bu, tadi Bu Santi telpon, katanya mau ketemuan di Penyet Suroboyo Mertoyudan saja. Sekalian ngobrol santai katanya.” Retno melaporkan saat ia sudah sampai.

“Jam berapa?”

“Jam empat, Bu.”

“Oke, deh. Nanti kamu nemenin aku, ya. Toko biar dijaga Azmi.”

“Iya, Bu.”

Kinanti segera menyiapkan beberapa pilihan suvenir untuk Bu Santi. Dia sudah cukup hafal dengan selera pelanggannya tersebut sehingga tidak terlalu sulit baginya untuk menyiapkan apa saja yang harus dibawa. Usai salat Ashar, Kinanti dan Retno pergi ke tempat yang telah ditentukan.

Tepat jam empat kurang sepuluh menit mereka sudah sampai di tempat. Ia sengaja datang lebih awal karena Bu Santi tidak senang jika harus menunggu. Ia dan Retno berjalan ke arah warung usai memarkir motor. Aroma masakan segera menyergap hidung, menggugah selera. Warung berdinding bambu setinggi satu meter ini selalu menjadi tempat pertemuannya dengan Bu Santi.

Tiba-tiba pandangan Kinanti tertumbuk pada punggung lelaki yang begitu dikenalnya. Semakin dekat dengan pintu, iasemakin yakin jika memang suaminyalah yang duduk berhadapan dengan seorang perempuan. Keduanya tampak tengah membaca buku menu.

Kinanti terdiam di dekat pintu masuk. Sementara Retno yang mengekor di belakangnya menunggu dengan heran. Sejurus kemudian ia berbalik dan menarik tangan Retno kembali ke motor. Mendadak kepalanya berdenyut. Bayangan Bapak yang berjalan dengan Tante Ajeng di pantai saat ia sedang liburan bersama Om Firman berkelebat cepat. Kinanti merasakan kepalanya semakin pusing.

“Ret, kamu yang ketemu Bu Santi, ya. Paling sebentar lagi beliau datang.” Kinanti mengganjur napas, mencoba melerai rasa takut dan khawatir yang menyelubungi hatinya. “Saya pulang dulu. Kepala saya pusing banget.” Tangannya segera menyentuh layar gawai dan memesan taksi online.

Retno hanya mengangguk pasrah. Taksi online datang tepat ketika mobil Bu Santi memasuki halaman warung penyet. Kinanti segera masuk ke dalam taksi tanpa sempat menemui Bu Santi.

Kinanti merasakan pusing di kepalanya semakin bertambah dan dadanya sesak. Bayangan Ibu yang menangis, Bapak yang pergi bersama Tante Ajeng, Bapak yang bahkan tak datang di hari pernikahannya datang silih berganti memenuhi rongga kepala.

Kinanti menarik napas panjang, mencoba mengisi paru-parunya dengan sebanyak mungkin oksigen. Bayangan masa lalu berganti dengan wajah perempuan yang duduk di depan Biru. Wajah yang terlihat cantik dengan jilbab warna hijau muda. “Bukankah seharusnya Mas Biru berangkat ke Semarang tadi siang? Kenapa masih di sini?”

Bersambung

Bab 6-10

https://karyakarsa.com/AnifahSetyawati/haruskah-berisah-bab-6-10

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Haruskah Berpisah Bab 6 -10
13
2
Prasangka sering menjadi prahara.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan