WHEN A PLAYER MEETS ANOTHER PLAYER (Bab 6 - 10)

8
1
Deskripsi

Bab 6

Dinner

 

“Ervin?” Panggilan Arla itu membuat Ervin mendongak dari layar ponselnya.

Arla berhasil menyelinap dari balik punggung Ardi, sambil menunduk berjalan menuju toilet yang ada di sudut ruangan dan kemudian berjalan menghampiri Ervin seakan-akan dia hanya pelanggan biasa di coffee shop itu yang baru kembali dari toilet.

“Arla? Ngapain di sini?”

“Biasa, urusan kerjaan.” Arla melemparkan senyuman terbaiknya. Untuk yang satu ini ia tidak bohong kan? Ia benar-benar berada di gedung itu karena urusan kerjaan, literally dia memang bekerja di situ, hanya saja fakta itu tidak diungkapkannya. “Kamu?”

“Kebetulan lewat trus pengen ngopi.”

Arla mengangguk-angguk. “Mau langsung balik atau—”

“Kamu ada waktu buat ngobrol dulu sama aku?” tanya Ervin yang tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan sebagus ini. Hanya doa yang dipanjatkannya, semoga pekerjaan mamanya agak lebih lama selesainya. Papanya pasti akan mengumpat kalau tahu ia berdoa seperti ini.

“Bisa, bisa. Kamu udah pesen?” Arla hanya berbasa-basi karena ia melihat sendiri tadi dari balik mesin espresso, Ervin baru saja masuk ke dalam coffee shop.

“Belum, kamu? Mau kupesenin sekalian?”

“Aku udah pesen kok.”

“Duduk duluan aja kalo gitu, La. Nanti abis pesen aku nyusul.”

Arla mengangguk, kemudian mendekat ke arah Ardi. “Mas, pesenan saya tadi tolong dianter ke meja yang deket kaca ya.”

“Iya, Mbak, nanti saya antar.” Ardi berdecak pelan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Seisi gedung itu sudah tahu siapa Arla dan bagaimana sepak terjangnya dalam hubungan asmara. Wajar menurutnya, penampilan Arla bisa membuat lelaki mana pun menempel padanya. Bahkan, kalau ia tidak tahu diri, ia juga ingin bisa memiliki hubungan dengan Arla kemudian memamerkannya kepada teman-temannya. Tapi ia masih tahu diri, lelaki seperti dirinya tidak akan dilirik oleh Arla, kecuali untuk menjadi rekan kerja.

“Silakan, Nona.” Ervin meletakkan secangkir cappuccino di hadapan Arla dan secangkir espresso di hadapannya sendiri. “Kayaknya baristanya belum terlatih bikin latte art ya.” Ervin menatap geli pada latte art yang ada di cangkir Arla, sekaligus mencoba membuat reminder di otaknya untuk memberitahukan mamanya masalah ini. Jangan sampai pelanggan kabur hanya karena latte art yang bentuknya tidak karuan.

Arla tersenyum kecut. Bukan baristanya yang tidak terlatih, tapi itu tadi memang buatannya, jelas saja bentuknya tidak karuan. “Thanks, kok kamu yang bawain?”

“Nggak apa-apa kan sekalian jalan ke sini. Mau pesen cemilan? Aku bingung tadi mau mesenin apa, jadi aku ke sini dulu buat nanya kamu.”

“Nggak, nggak usah, Vin.” Arla menautkan anak rambutnya ke daun telinga. Gesture seperti itu yang biasa disukai para lelaki karena rambutnya yang berwarna coklat gelap dan sering dikira hasil dari cat rambut, menjadi terlihat berkilau, apalagi diterpa cahaya sinar matahari sore dari balik kaca.

“Kamu kerja di mana sih, La? Kalau aku nggak boleh tau alamat kamu, senggaknya aku boleh tau dong di mana kamu kerja, atau di bidang apa.”

“Aku asisten. Bukan asisten pribadi sih. Lebih kayak bantuin bos ngurusin kerjaan yang nggak mungkin beliau handle sendiri.”

Harusnya Ervin tidak kaget mendengar Arla sebagai asisten. Dia pun mau punya asisten kalau seperti Arla, daripada punya sekretaris yang selalu menentangnya seperti Lily.

“Kamu?” Arla balik bertanya. Arla yakin pekerjaan Ervin tidak main-main kalau dilihat dari penampilannya. Dan itulah salah satu kriterianya mendekati seorang lelaki.

“Marketing.” Ervin tidak perlu membuka jabatannya sebagai Direktur Pemasaran, intinya toh sama, sama-sama marketing.

Arla menahan reaksi terkejutnya. Ok, marketing yang sukses memang berduit, tapi … rasanya Ervin bukan hanya sekadar marketing.

Mereka melanjutkan obrolan sampai sekitar sepuluh menit kemudian. Arla yang pertama kali sadar kalau dirinya sudah terlalu lama berada di coffee shop, bisa jadi atasannya mencarinya. Tapi bagaimana caranya ia naik tangga ke lantai 3 kalau masih ada Ervin.

“La, aku … mesti cepet balik, masih ada urusan. Kalo ada waktu, mau makan malam sama gue nggak?” Ervin harus bertindak cepat karena mamanya baru saja memberitahunya kalau semua pekerjaannya telah selesai.

Arla menghela napas lega. Ia tidak perlu mencari-cari alasan untuk pergi lebih dulu dari hadapan Ervin, ditambah ajakan dinner dari Ervin. “Sure, kapan?”

“Besok malam? Kalau kamu ada waktu.”

“Ok.”

“Ok, aku chat atau telepon ya nanti.”

Arla mengangguk, membiarkan Ervin tergesa pergi keluar dari coffee shop itu dan ia pun berlari kecil menaiki anak tangga menuju lantai 3.

***

“Hai, La.”

Ervin yang pertama kali tiba di restoran yang bertema fine dinning itu. Sepanjang hari kemarin Ervin merayu Arla untuk memberitahukan alamatnya agar ia bisa menjemput Arla. Tapi Arla bersikeras untuk datang sendiri.

Sejujurnya harga diri Ervin agak jatuh karena hal ini. Masa iya seorang player seperti dirinya tidak bisa mendapatkan alamat wanita yang diincarnya. Padahal sebelumnya ia tidak pernah kesulitan seperti ini. 

“Sorry, lama ya, Vin.” Arla bergegas mengambil posisi duduk di hadapan Ervin. “Mobilku ada masalah tadi, tiba-tiba aja susah dinyalain. Daripada aku maksa bawa trus ada apa-apa di jalan kan, jadinya aku mesti nyari taksi dulu.”

“That’s why, kalo ada yang nawarin jemput, nurut aja.”

Arla terkekeh geli. ‘Ervin dan usahanya.’

“Perlu kupanggilin montir buat ngecek mobilmu?” tawar Ervin setelah mereka selesai memesan dan tiba-tiba Ervin teringat akan hal itu. Siapa tahu bisa jadi point plusnya di mata Arla.

“Aku ada montir langganan kok, santai aja.” Tidak ada yang salah dengan mobilnya, ia hanya sengaja ingin datang lebih lama daripada Ervin. Bertindak terlalu agresif untuk tipe player seperti Ervin sepertinya bukanlah hal yang tepat. Karena itu, alasan mobil mogok dan ketidakinginannya untuk dijemput, semua sudah ada dalam master plan Arla untuk mendekati Ervin.

“Harusnya ambil yang indoor aja ya.”

Saat itu Ervin memang memilih area outdoor untuk makan malam mereka. Suasana malam Jakarta yang bisa dilihat dari lantai 35 hotel itu bisa membuat suarana jadi lebih romantis. Sayangnya Ervin lupa, remangnya lampu di area outdoor itu membuat Ervin tidak bisa menatap dengan puas warna mata hazel milik Arla. Dari beberapa kali pertemuannya, warna mata wanita itu selalu sama. Kemungkinannya, itu benar-benar warna mata aslinya, atau … dia suka mengenakan soft lens berwarna hazel.

“Kenapa? Di sini enak juga kok. Apalagi tetep ada aturan nggak boleh merokok meskipun di outdoor, jadi nyaman banget.”

“Tapi aku nggak bisa lihat warna matamu dengan jelas.”

Arla terdiam. Ia menunggu kelanjutan ucapan Ervin. Tapi nihil, lelaki itu berhenti bicara, kemudian fokus pada appetizer yang baru saja diantarkan pramusaji.

Biasanya setiap lelaki yang mendekatinya pasti akan bertanya, apakah ia mengenakan soft lens, apakah ia keturunan asing, dan hal-hal semacam itu yang membuatnya terpaksa berbohong demi dirinya sendiri. Luka-luka lamanya akan terbuka kalau itu sudah menyangkut DNA siapa yang ada di dalam tubuhnya.

“Hei, kenapa malah bengong?” Ervin menegur Arla yang masih belum mulai menyentuh potato and porcini mushroom soup di hadapannya.

“Eh? Nggak kok.” Arla mulai menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, tapi otaknya masih terus memikirkan keanehan Ervin dibanding lelaki lainnya. ‘Serius? Nggak nanya lebih jauh tentang warna mata atau rambutku?’

Ervin yang melihat Arla lebih banyak diam setelah ia menyinggung tentang warna matanya, kini memilih untuk membicarakan hal lain. Dan untungnya Arla mulai ikut larut dalam obrolan yang diciptakannya.

Sampai …

Seorang lelaki menghampiri meja mereka dan melirik sebentar ke arah Ervin, sebelum beralih menatap Arla dan mengusapi puncak kepala Arla. “Kok kamu di sini, Yang?” 

 

 

 

 

Bab 7

Barisan Gagal Move On

 

Arla mendongak, kemudian menghela napas lelah. “Ya lagi makan lah. Pake nanya.” Dengan nada sinis, Arla menjawab pertanyaan lelaki itu.

“Galak banget sih, Yang.” Lelaki itu hampir mengusapi puncak kepala Arla lagi sebelum Arla memiringkan kepalanya, berusaha memberi jarak lebih jauh.

Ervin masih menahan diri. Sejak tadi ia hanya memperhatikan interaksi keduanya. Kalau ia boleh jujur, harga dirinya lagi-lagi terluka. Setelah Arla menolak dijemput, sekarang ada lelaki lain yang terang-terangan menunjukkan Public Displays of Affection (PDA) di hadapannya.

Apa lelaki itu tidak punya mata? Arla sedang bersama dirinya. Berani-beraninya laki-laki itu mendekati Arla. Arla adalah targetnya!

“Hei, Arla kayaknya nggak suka kamu sentuh!”

Lelaki itu tidak menjawab, hanya menunjukkan seringainya kepada Ervin.

“Than, please! Aku ke sini sama … pacarku. Hargai pacarku dong.”

Untung saja Ervin sedang tidak mengunyah sesuatu, karena bisa dipastikan ia akan tersedak setelah mendengar ucapan Arla.

“Kamu udah panya pacar?”

“Ya … seperti yang kamu lihat. Please, Than. Pergi dari sini.”

Lelaki itu seperti masih ingin menyuarakan protesnya saat Ervin kembali memberinya peringatan. “Saya bisa minta kamu diusir dari tempat ini kalau kamu masih mengganggu makan malam kami.”

Lelaki itu terpaksa undur diri dengan wajah kesalnya. Namun lelaki itu tidak benar-benar pergi. Ia hanya menjauh, duduk di meja yang berjarak tiga meja dari mereka.

Ervin lagi-lagi menahan diri untuk tidak menanyakan kepada Arla tentang siapa laki-laki itu. Arla pasti akan menjelaskannya sendiri kalau merasa perlu. Apalagi Arla tadi berani mengakuinya sebagai pacar. Pasti Arla akan meminta maaf setelah ini.

“Vin, sorry banget ya, Vin.”

See? Tebakannya tepat.

“Sorry kenapa, La? Kamu nggak salah kok. Kan dia yang ganggu makan malam kita.”

“Tapi tadi aku pinjem kamu buat ngelindungin aku. Sorry aku bilang kalo kamu pacarku. Cewekmu pasti ngamuk kalo denger.”

“Kalo aku punya cewek, nggak mungkin aku makan malamnya sama kamu, La.”

Arla hampir saja kelepasan menarik salah satu sudut bibirnya ke atas. Ervin free. Status itu yang penting untuknya. Ia tidak pernah mau menjalin hubungan dengan seseorang yang memiliki kekasih, tunangan, apalagi istri.

"Tapi aku beneran minta maaf banget, takutnya kamu ngerasa nggak nyaman kuakui begitu di depan umum."

"Nggak apa-apa kok, pake aja namaku kalau kamu butuh." Ervin tersenyum lebar. Tidak masalah Arla mengakuinya sebavai pacar, selama itu tidak dilakukannya di depan wanita-wanita lain yang masuk sebagai kandidatnya.

"Kamu nggak nanya siapa dia?" Arla cukup bingung dengan segala sikap Ervin malam itu. Ia benar-benar berbeda dengan laki-laki yang pernah dikenalnya selama ini.

"Kamu bakal ngejelasin kalau kamu merasa perlu. Iya kan?"

"Hmm. Just someone ... yang nggak bisa move on."

Ervin terkekeh dibuatnya. "Memang move on itu urusan paling susah di dunia ini. Harusnya kita kasihan sama dia, bukannya malah kita usir pergi."

Arla mendelik kesal mendengar pendapat Ervin. "Kadang yang nggak bisa move on itu berubah jadi super duper nyebelin, dan aku nggak suka direcokin sama orang yang nggak bisa move on."

Di sini Arla sedang menekankan sesuatu. Ia sengaja menyusun kalimat yang menyiratkan ketidaksukaannya terhadap barisan gagal move on.

Tujuannya satu, kalau suatu hari nanti ia benar bisa menjalin hubungan dengan Ervin dan akhirnya hubungan mereka berakhir, Arla tidak mau dikejar-kejar lagi oleh seseorang yang belum bisa move on.

Sebenarnya hal ini juga selalu ia sampaikan kepada lelaki yang sedang dekat dengannya atau yang jadi pacar-pacarnya terdahulu. Tapi tetap saja ia kecolongan. Sekali dua kali pasti ada mantan pacarnya yang muncul lagi di kehidupannya dan mengganggunya.

"I know. Annoying, right?" Ervin menahan senyumnya.

Ia pun demikian. Beberapa mantan pacarnya masih berusaha mengejarnya meskipun mereka putus dalam keadaan baik-baik dan dengan kesepakatan untuk tidak saling mengganggu.

"Banget."

"Ya udah lupain aja. Ini baru sampe appetizer, La. Sayang kalo habis ini kamu nggak bisa nikmatin rasa makanannya gara-gara orang tadi. Si Than itu."

Ervin sengaja menyebut dengan panggilan yang tadi dilayangkan Arla untuk laki-laki yang dari jauh masih sering melirik ke arah mereka itu.

Tidak tahan lagi, Arla menyemburkan tawa akibat Ervin yang menyebut 'Si Than' jadi terdengar seperti 'Se Than.'

"Namanya Nathan, Vin. Kasihan ah anak orang dipanggil Se Than."

"Oh, ya ... kan aku cuma denger kamu manggil dia Than Than aja dari tadi."

Obrolan mereka tidak pernah berhenti terlalu lama. Selalu ada saja yang bisa mereka obrolkan. Sampai Ervin keceplosan bercerita tentang pekerjaannya sebagai Direktur Pemasaran sebuah perusahaan retail.

"Gitu ngakunya marketing."

Ervin terdiam. What the ...! Sejak kapan pembicaraannya bisa disetir seorang wanita?

"Ya ... nggak salah dong, kan marketing."

"Iya, iya. Apalagi yang kamu sembunyiin?" selidik Arla.

"Tanya aja, aku pasti jawab kok."

Arla masih memikirkan pertanyaan apa yang bisa ia lemparkan ke Ervin. Pertanyaan yang jelas tidak membuat Ervin ilfeel, tapi juga mampu membuat lelaki itu menceritakan hal yang disembunyikan.

"Permisi."

Seorang pramusaji tiba-tiba muncul di samping Arla sambil membawa nampan berisi segelas wine. "Dari Mas yang di sana, Mbak," ucap pramusaji itu sambil menunjuk ke arah Nathan duduk.

Nathan tampak menyeringai, berusaha menggoda Arla dari kejauhan.

"Tolong kembalikan ke orangnya, Mbak. Saya nggak minum wine," tolak Arla halus.

Meski serba salah, akhirnya pramusaji itu mengalah dan mengangkat kembali nampannya.

"Kamu mau wine, La? Aku bisa pesenin." Ervin menatap garang pada Nathan yang lagi-lagi mengganggu acaranya. Segelas wine? Apa Nathan pikir segelas wine bisa membuat Arla menoleh lagi padanya sementara ada seorang Ervin Adhinata Candra di hadapan Arla?

"Aku nggak minum wine, Vin."

"Jadi kamu nolak karena kamu memang nggak minum wine? Kalo dia mesenin jus jeruk, kamu bakal terima?"

"Ya nggak lah." Arla tergelak melihat betapa cute-nya Ervin saat sedang menutupi rasa cemburunya. Oh, ralat, mungkin sekadar rasa tidak suka karena sejak tadi Nathan mengganggu mereka.

"Aku menghargai partnerku, Vin. Aku cuma akan nerima apa pun yang diberikan partnerku, bukan orang lain."

***

"Please, La. Aku anter ya. Udah malem. Mana mungkin aku ngebiarin kamu pulang naik taksi." Ervin masih saja belum berhasil merayu Arla untuk yang satu ini.

"Kamu tinggal catat nomor taksiku, Vin. Aku janji begitu sampe langsung ngasih tau kamu."

"Waaah. Ini bener-bener bukan caraku nge-treat cewek, La."

"Ya anggep aja aku memang beda."

"Tetep aja—"

"Kuanter ya, Yang."

"Shit!" Kali ini Ervin benar-benar mengumpat dengan kehadiran Nathan yang masih terus saja mengganggu ditambah dengan memanggil Arla 'Yang'.

"Kenapa sih dari tadi ganggu orang terus." Ervin maju selangkah dan memosisikan diri di antara Arla dan Nathan.

"Arla makan malam sama aku, jadi aku yang nganter Arla pulang!" tegas Ervin sambil menggenggam tangan Arla dan berjalan menuju mobilnya meskipun Arla belum memberikan persetujuan. Masa bodoh!

 

 

 

 

Bab 8

Eleminasi Bakal Calon Pacar Ervin

 

"Hai.” Ervin menyapa Ema yang baru saja masuk ke dalam mobilnya.

See? Harusnya semudah ini untuk mendapatkan alamat rumah atau kantor dari seorang wanita. Memang hanya Arla yang jual mahalnya kemahalan.

“Hai, Vin.” Ema yang berprofesi sebagai influencer itu melemparkan senyum dan segera memasang seat belt-nya. Mungkin dari semua lelaki yang pernah mendekatinya, Ervin adalah yang paling tinggi levelnya, dari segi fisik maupun kekayaan.

“So, kita mau ke mana? Kamu mau makan apa?” tanya Ervin.

“Hmm … terserah deh.”

Ervin menahan helaan napas beratnya yang hampir keluar. Untung sudah ada sebuah tempat di dalam pikirannya. Selalu seperti itu. Ervin pasti akan memikirkan sebuah tempat kalau-kalau wanita yang dibawanya menjawab dengan kata ‘terserah’.

“Di PIK ada café yang lagi happening, mau ke sana?”

“Boleh, aku ngikut aja.”

Salenco, café dua lantai yang mengusung konsep healthy food itu ternyata dari luar lebih terlihat seperti rumah dua lantai dibanding sebuah café.

Ema sedikit mengernyit bingung karena diajak ke café kecil seperti itu. Ervin pun sebenarnya tidak terlalu tahu tentang tempat itu, ia hanya tahu kalau café itu mengusung konsep healthy food yang biasanya disukai para wanita.

“Coba masuk dulu aja ya, nanti kalo nggak cocok, kita bisa cari tempat lain.”

Ema akhirnya mengangguk, tidak mungkin juga ia menjadi pemilih di depan Ervin, yang bisa berpotensi membuat Ervin ilfeel padanya.

Ervin lega ketika Ema akhirnya berdecak kagum saat memasuki café itu. Setiap sudut di café itu bisa dijadikannya spot foto, tidak mungkin Ema tidak menyukainya. Belum lagi healthy food yang disajikan, bisa menambah koleksi fotonya untuk dipamerkan ke media sosialnya.

“Gimana, mau pindah tempat?” tanya Ervin setelah melihat Ema membaca buku menu.

“Nggak, di sini aja. Keren kok tempatnya.”

Ervin menghela napas lega. Kalau diharuskan mencari tempat makan lain, dan wanita itu tetap menjawab ‘terserah’, mungkin Ervin akan membawanya ke gerai fast food.

“Kok kamu bisa banget sih milih cafenya.” Ema tersenyum senang, lagi-lagi sembari mengarahkan kamera ponselnya ke berbagai sudut café. “Kayaknya lain kali aku bakal ke sini lagi deh sama temen-temenku. Tempatnya kece banget, menunya healthy food pula. Thanks ya, Vin.”

Ervin membalas senyuman Ema sama lebarnya. Bahagianya adalah ketika wanita yang jalan dengannya juga bahagia.

“Gue nggak mau difoto, Em!” tegur Ervin saat Ema mengarahkan kamera ponsel kepadanya.

“Why? Pake malu-malu sih, Vin.”

“Kamu kan kebiasaan upload semuanya. Aku nggak mau ah mukaku beredar di medsos.” Padahal itu bukan alasan Ervin satu-satunya. Bisa bubar semua rencana pendekatannya dengan wanita lain kalau sampai wajahnya beredar di media sosial seorang Ema dengan lebih dari tiga ratus ribu follower.

“Ok, ok.” Ema menurunkan ponselnya seiring dengan datangnya pesanan mereka.

Keduanya sedang menyantap hidangan pembuka—Smoked Veggie Spring Roll—dari piring yang sama, ketika suara seorang wanita menyapa Ervin dari belakang punggungnya.

“Vin.”

Punggung Ervin menegang seketika. Tidak perlu menoleh pun ia hapal siapa pemilik suara lembut tapi tegas itu.

“Kak, kok Kakak di sini?” Ervin ingin mengumpati dirinya sendiri saat teringat sesuatu. Nama café ini muncul di dalam ingatannya karena sekitar dua minggu lalu ia mendengar kakaknya yang sedang menelepon dan berkata ingin mencoba café Salenco yang mengusung tema healthy food di daerah Pantai Indah Kapuk. Tapi Ervin pikir kakaknya sudah pergi ke café yang mereka bicarakan, lalu kenapa sekarang kakaknya ada di café ini lagi?

“Kakak ketagihan sama makanan di sini, makanya mampir ke sini lagi. Eh ketemu adek Kakak yang paling ganteng.”

Ervin memutar kedua bola matanya dengan malas. Jelas dia paling ganteng, dia satu-satunya adik laki-laki kakaknya itu.

“Kakak nggak dikenalin, Vin?”

‘Duh, runyam semua!’ Ervin bergeser, membiarkan kakaknya ikut duduk di sampingnya. “Kenalin Kak. Ema. Em, ini kakakku, Aileen.”

Ema yang dari tadi—sebelum diperkenalkan—tampak bingung dengan keadaan di hadapannya, sekarang bisa mengerti apa yang terjadi.

“Hai, Em. Aileen.”

Ema menyambut uluran tangan Aileen sambil memperkenalkan dirinya. “Ema.”

“Kamu … yang biasa review product skincare kan ya?”

“Iya, Kak.” Ema tersenyum penuh percaya diri. Kepercayaan dirinya selalu membumbung tinggi kalau berkaitan dengan pekerjaannya.

“Kalau aku gabung di meja kalian boleh nggak sih? Sekalian aku mau ngomongin masalah skincare sama Ema.”

“Kaaak!” Ervin terlihat tidak terima dengan keinginan kakaknya. Lagipula skincare apa yang ingin dibicarakan kakaknya, jelas-jelas kakaknya punya dokter kulit langganan.

“Boleh kok, Kak,” jawab Ema akhirnya. Tidak apa-apa lah kebersamaannya dengan Ervin sedikit terganggu, toh yang mengganggu mereka adalah calon kakak iparnya sendiri. Mendadak Ema terkikik geli membayangkan wanita anggun di depannya sebagai kakak iparnya.

“Kakak ngapain sih?” Ervin berbisik pada kakaknya yang sedang memegang buku menu untuk memilih makanannya siang itu.

Wanita yang berusia lima belas bulan lebih tua dari Ervin itu hanya mengedikkan bahu sambil balas berbisik, ‘Ngawasin adekku pacaran.’

“Nggak pacaran kok.”

“Oh belom? Ini masih dalam rangka sayembara? Ok lah, Kakak bantu nilai.”

Tidak ada lagi yang bisa dilakukan Ervin untuk menyelamatkan makan siangnya. Kalau Lily ibaratnya angin kencang saat hujan, kakaknya adalah badai tropis. Kedua wanita itu bisa sama-sama memorak-porandakan acara ‘pra’ kencannya dengan cara mereka sendiri.

“Kamu full time influencer, Em?”

“Iya, Kak. Kalo Kakak?”

“Oh, aku cuma kerja kerjaan kantoran biasa.” Kerja kantoran biasa di sini adalah Direktur Legal di Candra Group. Bahkan jabatan Aileen jauh lebih strategis dibanding dengan jabatan Ervin. Tapi Ema sepertinya berpendapat lain.

Ema hanya mengangguk-angguk. Mulai berpikir kalau penampilan wah dari kakak Ervin itu ditopang oleh orang tuanya atau … jangan-jangan Ervin juga menopang biaya barang-barang mewah yang dikenakan kakaknya?

“Kerja kantoran gajinya pasti gede ya, Kak, kalau dilihat dari penampilan Kakak.”

Aileen sedikit mengernyitkan dahi. Terlalu privasi bukannya menanyakan gaji seseorang di awal pertemuan. “Yah segitu aja sih. Kebanyakan dikasih sama keluarga. Jam tangan ini yang ngasih Ervin, waktu ulang tahunku tahun lalu.” Aileen menunjukkan jam tangan Rolex Datejust 36 di pergelangan tangannya. “Tas dari Mama. Yaaah, kebanyakan dikasih sih.”

Ema kehilangan senyumnya. Bersaing dengan kakak pasangan tidak pernah ada dalam mimpinya. Tapi lelaki seperti Ervin terlalu sayang untuk dilewatkan. 

“Eh, Em, skincare yang kamu endorse tuh, udah BPOM semua kan ya?” Entah kenapa Aileen tiba-tiba teringat staf di kantornya yang tergiur oleh skincare yang ditawarkan seorang influencer, dan berakhirlah wajah mulusnya, digantikan beruntusan dan warna merah di area wajahnya.

“Hmm … harusnya sih BPOM ya, Kak.”

“Harusnya? Jadi kamu nggak ngecek dulu itu BPOM atau nggak?” Aileen masih santai menanggapinya, menganggapnya obrolan wanita pada umumnya.

“Harusnya sih itu tugas manajerku yang ngecek.”

Aileen mengangguk-angguk. Mungkin memang begitu SOP-nya. “Kamu nanya dulu kan sebelum nyoba produknya? Kalau manajermu nggak ngecek BPOM-nya apa kamu nggak khawatir?”

Ema terkekeh geli sambil mencondongkan wajah lebih maju ke arah Aileen. “Kakak polos banget sih. Jangan bilang siapa-siapa ya, Kak. Itu kan cuma kita sebutin aja produknya di depan kamera. Aku malah hampir nggak pernah make. Kalaupun ada produk yang mau bener-bener aku make produknya, ya … habis shooting aku langsung hapus.”

OMG! Aileen ingin menggeleng-gelengkan kepalanya namun masih bisa menahan diri.

“Kok bisa kamu dapet yang begitu sih, Vin?” bisik Aileen ketika Ema pamit ke toilet.

“Cantik kan, Kak?”

“Iya, cantik, tapi … Kakak nggak suka. Dia nggak bertanggung jawab sama kerjaannya. Kerjaan dia jelas-jelas meng-influence orang, Vin. Memengaruhi orang tentang apa yang disampaikannya. Tapi yang disampaikannya aja nggak bisa dipertanggungjawabkan.”

“Belum jadi pacar sih, Kak.”

“Iya, tapi—”

Obrolan mereka terhenti karena Ema yang kembali duduk di hadapan mereka. Sekembalinya dari toilet, ia menemukan resolusi baru. Ervin mampu membelikan apapun untuk kakaknya, nanti setelah ia benar-benar menjalin hubungan dengan Ervin, tinggal bagaimana caranya ia melarang Ervin untuk membelikan barang mahal untuk kakaknya.

“Seru deh makan siang sama Kakak. Kapan-kapan lagi yuk, Kak.” Ema berusaha berakrab ria dengan Aileen, siapa tahu itu bisa jadi point plus untuknya di mata Ervin. “Kalau Kak Aileen ngelihat skincare yang aku review, dan Kakak suka, bilang ke aku aja, Kak. Nanti aku bawain.”

‘Skincare yang kamu bahkan nggak tau ada nomor BPOM-nya atau nggak itu? Sorry deh.’ Aileen memijat pelipisnya sambil berpikir cara apa yang cocok untuk menjauhkan si influencer ini dari adiknya.

“Iya, nanti atur aja waktu ketemunya. Kalo mau jalan berdua sama aku sih gampang sebenernya, aku free kok. Tapi kalo mau ngajak Ervin … duh susah kayaknya. Dia kan setiap minggu cewek yang diajak jalan ganti.”

Ervin menghela napas sambil memejamkan matanya. Kan, ia tinggal menunggu waktu sampai kakaknya membongkar kedoknya.

“Maksud Kak Aileen?”

“Eh? Kamu … bukannya cuma temenan sama Ervin? Eh sorry, sorry. Nggak, nggak.” Aileen sengaja menunjukkan kepanikannya agar Ema semakin curiga.

“Kuanter pulang yuk, Em. Kakak masih lama nggak?”

“Kamu duluan aja, Kakak masih mau pesen dessert. Good luck ya, Vin.” Aileen terkekeh geli karena pada akhirnya siang itu ia bukannya membantu menilai bakal calon pacar Ervin melainkan mengeleminasi salah satunya.

***

“Yara, hari ini ajakin Kak Aileen ke salon kek, ke mana kek.”

Setelah kekacauan di hari sebelumnya, Ervin meminta bantuan adiknya untuk menjauhkan Aileen sejauh-jauhnya.

“Males ah. Capek,” jawab Yara sambil kembali memeluk gulingnya. Minggu pagi dan ia terlalu malas untuk beranjak dari kasurnya.

“Nih.” Ervin mengeluarkan kartunya dari dalam dompet. “Pake aja buat nyalon sana.”

Yara hanya melirik sekilas. “Yah kalo cuma buat nyalon, ngapain aku minta Kak Ervin sih? Dipake nyalon setahun juga cukup isi kartuku sendiri.”

“Buat belanja juga boleh.”

“Beneran?”

“Iya.”

Yara tersenyum manis. Ia sudah hapal dengan kelakuan kakaknya. “Ok, aku nyalon di tempat biasa, di Gading aja, Kak Ervin agak jauhan mainnya.”

“Gitu dong, jadi adek yang bermanfaat untuk kakaknya.”

Ervin berlari pergi dari kamar Yara karena Yara sudah mengangkat guling untuk ia pukulkan kepadanya.

Sebuah mall di daerah Jakarta Pusat menjadi tujuan Ervin untuk bertemu dengan Linda. Kegagalannya dengan Ema sehari sebelumnya tidak membuat Ervin jera untuk melanjutkan sayembaranya.

“Kita mau makan dulu, Lin?”

Wanita itu mengangguk sambil tersenyum. Dengan mudahnya ia melingkarkan tangannya ke tangan lengan Ervin.

Ervin sendiri membiarkannya. Ia tahu ada tipe wanita yang suka ‘menempel’. Dia beberapa kali menemukannya. Hanya kebiasaan wanita itu saja yang seperti harus memegang sesuatu saat berjalan atau berdiri.

Untungnya hari itu berjalan lancar, tidak ada satupun yang mengganggu acaranya. Adiknya menjalankan tugasnya dengan baik.

***

Nathan: -sent picture-

Nathan: Lihat nih aku ketemu siapa di mall?

Nathan: Yang bener aja La

Nathan: Kayak nggak ada cowok lain aja

Arla menatap pesan singkat yang baru saja masuk ke dalam ponselnya. Foto Ervin yang bergandengan mesra dengan seorang wanita memenuhi layar ponselnya. ‘Damn you, Vin!’ 

 

 

 

 

Bab 9

Pernikahan Tidak Ada dalam Kamus Arla

 

0821 4545 xxxx: Arla

Dahi Arla mengernyit heran. Baru jam 6 pagi. Terlalu pagi rasanya seorang penipu mengirim chat padanya. Tapi ia belum menyimpan nomor orang yang baru saja menghubunginya via chat room.

Lalu sesaat kemudian, nomor yang sama mengiriminya pesan lagi.

0821 4545 xxxx: It’s me

0821 4545 xxxx: Raihan

0821 4545 xxxx: Bisa ketemu La?

0821 4545 xxxx: Aku udah balik dari Aussie

Ah, Raihan. Mantannya dua tahun lalu. Arla masih ingat, saat itu mereka putus karena Raihan sibuk mengurus persiapan kuliah S3-nya di luar negeri. Kemudian Raihan memintanya untuk serius dengannya dan melanjutkan hubungan mereka ke jenjang pernikahan sebelum Raihan berangkat ke Australia.

Hell no! Kata ‘pernikahan’ tidak ada dalam kamus Arla. Maka beberapa detik setelah Raihan memintanya untuk lanjut ke jenjang pernikahan, Arla malah meminta putus dari Raihan.

Untuk apa Raihan ingin bertemu dengannya lagi? Apa dia mau meminta maaf karena akhir hubungan mereka yang kurang mengenakkan?

Harus Arla akui, Raihan adalah tipe yang berbahaya. Ia suka memaksakan kehendaknya. Beruntung Raihan segera pergi dari Indonesia hingga Arla tidak perlu merasa khawatir. Tapi sekarang lelaki itu kembali.

Arla: Hai Han

Arla: Ketemu buat apa ya?

Keluarga Raihan merupakan keluarga yang terpandang. Mayoritas keluarganya terjun ke politik. Mudah saja bagi Raihan untuk menemukan di mana ia bekerja atau di mana ia tinggal. Karena itu Arla mencoba meladeni Raihan.

0821 4545 xxxx: Udah lama nggak ketemu kan

0821 4545 xxxx: Pengen tau keadaan kamu sekarang aja

0821 4545 xxxx: Sekalian aku mau ngasih oleh-oleh

Arla mendecakkan lidahnya. Haruskah ia menemuinya?

Arla: Nggak usah repot-repot Han

0821 4545 xxxx: Makan malam?

0821 4545 xxxx: Kamu mau makan di mana?

See? Raihan lumayan pemaksa. Mungkin ia memang harus meladeninya sekali, sekalian mengingatkan lelaki itu kalau hubungan mereka sudah berakhir bertahun-tahun yang lalu. Arla harus mencari tempat yang cukup ramai agar Raihan tidak bertingkah.

Arla: BK tempat kita dulu sering nongkrong?

0821 4545 xxxx: Sure

0821 4545 xxxx: Kamu masih inget tempat kita sering nongkrong aja bikin aku tersanjung La

Arla menggusah napas kesalnya. Mungkin ia salah langkah dengan mengajak lelaki itu bertemu di tempat dulu mereka biasa nongkrong. Lelaki itu bisa saja salah paham kan.

Mengabaikan room chat-nya dengan Raihan, Arla memilih bersiap. Banyak pekerjaan yang harus diselesaikannya hari itu, dan karena ia harus menepati janjinya bertemu Raihan, maka Arla harus menyelesaikan semua pekerjaannya sebelum jam enam sore.

***

“Keburu-buru banget, La? Pasti ada kencan,” tebak Desti.

Hell yeah, Arla memang terburu-buru. Hell no, ini bukannya kencan.

Saat itu waktu sudah menujuk pukul 18.35. Bosnya baru pulang beberapa menit lalu. Walaupun bisa saja Arla meminta izin untuk pulang duluan—yang biasanya tidak pernah ditolak bosnya—tapi rasanya Arla lebih memilih menemani Bu Rhea hingga suaminya menjemput daripada bertemu dengan Raihan.

“Ada mantan yang ngajak ketemu. Aku mesti gimana dong?”

“Yaaa kalo mau ketemu ya temuin aja. Kalo nggak mau ketemu ya tolak aja.”

“Dia anaknya pejabat, nggak ketemu sekarang, aku jamin besok pagi dia udah nongkrong di coffee shop bawah. Lebih nggak enak lagi kan kalo gitu.”

“Ya udah temuin bentar, bicara seperlunya, bangun tembok pembatas, trus pulang deh.”

“Exactly. Itu yang mau aku lakukan. Duluan ya, doain juga ya.”

Arla melangkah tergesa menuju Honda Civic putih kesayangannya. Butuh sekitar empat puluh menit untuknya tiba di BK yang ada di Salemba Raya.

Setibanya di area parkir tempat itu, Arla baru membuka room chat yang sejak tadi sengaja diabaikannya.

0821 4545 xxxx: Aku udah di dalam ya

0821 4545 xxxx: Di lantai 2

0821 4545 xxxx: Semua kesukaanmu udah aku pesenin

0821 4545 xxxx: Kamu tinggal naik aja

Setelah menghela napas panjang, barulah Arla turun dari mobil dan langsung menuju ke lantai 2.

Hanya ada beberapa meja yang terisi di lantai 2, salah satunya meja yang ditempati pria seorang diri. Dari belakang, Arla bisa menebak kalau pria itu adalah Raihan.

Memantapkan langkahnya, Arla menghampiri lelaki itu. “Raihan?”

“Arla.” Raihan bergegas berdiri dan menarik Arla ke dalam pelukannya.

Ok, Arla pikir itu hanya bentuk kangen sebagai teman atau … mantan. Arla biarkan saja Raihan memeluknya, lagipula dua tahun di negeri orang mungkin saja membuat Raihan jadi terbiasa melakukan kontak fisik seperti itu.

“Udah lama? Sorry ya, tadi aku nggak enak mau pamit kalo bosku belum pulang.”

“Nggak apa-apa kok. Nggak selama aku nunggu bisa balik ke Indo lagi buat ketemu kamu.”

Arla tersenyum samar.

“Udah selesai S3 kamu?”

“Udah dong. Karena itu aku cepet-cepet balik. Udah nggak sabar mau ketemu kamu.”

“Ketemu aku? Kirain udah nggak sabar ketemu keluarga, atau nggak sabar mau nyoba jadi profesor atau apa pun itu.”

“Kamu yang pengen aku temui pertama kali.”

Arla memalingkan wajahnya. Harus berapa kali ia mengatakan kepada lelaki itu kalau pernikahan tidak ada dalam kamusnya. Ia hanya menjalin hubungan untuk kesenangan pribadinya. Lebih tepatnya rasa senang ketika berhasil menyakiti hati seorang lelaki mapan.

Ya, hanya itu syarat menjadi pacar Arla. Cukup lelaki mapan. Seakan-akan ia sedang membuktikan kalau uang tidak akan bisa membuat para laki-laki mapan itu untuk menghindar dari sebuah perasaan yang bernama sakit hati.

“Kamu makin cantik deh, La.”

“Thanks.” Tidak ada lagi yang ingin Arla ucapkan. Jelas tujuan Raihan adalah untuk merayunya agar kembali lagi.

“Dimakan dulu. Masih sama kan kesukaanmu? Mushroom Swiss?”

Arla mengambil burger di atas mejanya. Setelah ia menyesap soda di depannya, ia mulai menggigit burger itu.

‘Cepat selesaikan makan dan pulang,’ begitu batin Arla berteriak.

“Padahal aku mau ngajak kamu ke restoran gitu, La. Bukannya makan fast food, tapi karena kamu bilang ini dulu tempat nongkrong kita, kupikir kayaknya nyenengin juga buat inget-inget masa lalu kita waktu masih bareng.”

“Oh, by the way, ada perlu apa kamu ngajak ketemu? Aku mesti cepet balik soalnya. Ada janji sama kakakku.” Arla bisa menangkap raut wajah kecewa pada Raihan ketika ia mengabaikan ucapan Raihan.

“Itu oleh-oleh buat kamu.” Raihan menunjuk paper bag di atas kursi di sebelahnya. “Aku juga kangen, La.”

Arla memilih fokus pada burger-nya. Tidak ada sedikit pun bagian dari hatinya yang bergetar mendengar ucapan kangen itu.

“Kamu udah punya pacar?”

“Sorry ya, Han. Hubungan kita udah berakhir dua tahun lalu. Dan aku nggak ada keinginan untuk mengulangnya lagi.”

“Why, La? Semua wanita meminta kepastian. Aku ngasih kamu kepastian, aku mau nikah sama kamu.”

Arla meletakkan burger-nya yang masih sisa setengah. “Harus kubilang berapa kali. Aku nggak mau nikah sama kamu.”

“Arla!” Raihan meraih tangan Arla yang ada di atas meja, namun Arla dengan cepat menepisnya. “Aku bisa ngasih apa pun yang kamu mau.”

“Yang aku mau kamu nggak ganggu aku lagi.”

“Kamu … bener-bener ya …. Jangan kamu kira aku nggak tau kalau kamu suka gonta-ganti pacar. Ada yang mau sama kamu aja harusnya kamu bersyukur!” bentak Raihan.

Lelaki itu sudah memperhatikan keadaan sekitar. Lantai 2 itu kini sepi, hanya tersisa mereka dan dua orang wanita yang duduk di sudut ruangan. Kedua wanita itu lantas bergegas turun karena tidak enak mendengar pertengkaran orang lain.

Oh, enough! Arla tidak suka dibentak orang lain. “Ya karena itu kamu bersyukurlah karena nggak berakhir sama aku. Ok?”

Raihan mengacak rambutnya dengan frustasi. Dua tahun ia berusaha melupakan Arla tapi gagal. Mata hazel Arla juga banyak ia temukan di sana, tetapi tidak ada yang benar-benar seperti Arla.

“La, please. Kasih aku kesempatan. Dua tahun aku nggak bisa ngelupain kamu di sana. Ok, kalo kamu masih belum mau nikah. Nggak apa-apa. Kita jalanin aja dulu seperti kita dua tahun lalu.”

“Sorry, Han.” Arla bangkit dari duduknya, bersiap untuk pergi meninggalkan Raihan, tapi tangan lelaki itu lebih dulu mencekal tangannya.

Arla yang mengenakan heels tentu saja tidak bisa menjaga keseimbangannya dengan baik akibat cekalan Raihan yang mendadak itu. Badannya terhuyung, menabrak dua kursi yang berada dekat dengannya dan berakhir ambruk di lantai.

Sikunya luka, kakinya juga sepertinya agak terkilir. Arla kesusahan bangun tapi Raihan dengan cepat memegangi lengan Arla.

Bukannya senang karena mendapat bantuan, Arla justru berjengit ketika Raihan menyentuhnya dan ia mendorong Raihan sekuat tenaganya. Raihan hanya mundur beberapa langkah, tapi lagi-lagi Arla terjatuh karena pegangan Raihan yang tiba-tiba terlepas.

Ya Tuhan! Kesialan apalagi ini.

Sekarang bertambah lagi lututnya yang terluka karena ia memang mengenakan rok sepan pendek hari itu.

“Aku mau nolong kamu, La. Nggak usah berlebihan reaksimu.”

“Aku bisa sendiri.”

Arla mencoba berdiri dengan bertumpu pada kursi di dekatnya. Sepertinya ia harus melepas heels-nya. Ia bisa terjatuh lagi kalau tetap memaksakan diri menggunakan heels-nya yang sembilan centi itu.

Raihan baru ingin maju lagi untuk menolong Arla sebelum Arla menahannya. “Please, Han. Jauh-jauh dari aku. Aku bisa sendiri.”

“Seorang wanita murahan yang mencoba jual mahal.” Raihan menatap Arla dengan nyalang.

“Tapi nyatanya kamu tadi memohon ke wanita murahan ini untuk diberi kesempatan!”

Raihan semakin frustasi. Wajah Arla begitu menantang dan menggoda  di saat yang bersamaan. Harus bagaimana ia menghadapi Arla yang seperti ini? Memanfaatkan lantai 2 yang memang tidak ada orang lagi, Raihan berjongkok di sebelah Arla, mengungkit dagu Arla dengan paksa dan berniat setidaknya memberikan satu kecupan atas kata-kata yang baru saja diucapkan wanita itu.

Tenaga Arla masih cukup kuat untuk mengayunkan tangannya ke kepala Raihan dan membuat lelaki itu berdesis marah.

“Stop atau aku teriak, Han!” ancam Arla.

Raihan mencengkeram kedua pergelangan tangan Arla.

“Dua tahun berlalu, kenapa kamu jadi liar gini sih?”

Arla baru akan menyemburkan kalimat-kalimat pedasnya, saat terdengar suara seseorang dari ujung anak tangga. “Arla.”

 

 

 

 

Bab 10

Obat Luka Buat Kulit, Bukan Obat Luka Hati

 

Arla menoleh ke ujung tangga, menyaksikan seorang laki-laki yang beberapa hari lalu membuatnya kesal setengah mati, kini melangkah tergesa ke arahnya dan membantunya berdiri.

Ervin hanya menatap lelaki yang berdiri sekitar dua meter di dekat Arla dengan tatapan membunuh. Mungkin ia memang beberapa kali menyakiti hati perempuan, tapi tidak sekalipun ia pernah menyakiti perempuan secara fisik. Ervin dengan pemikirannya yang sempit. Padahal sakit hati tetaplah terasa sakit, mungkin lebih sakit daripada sekadar kaki yang keseleo.

“Kamu nggak apa-apa, La?”

Akhirnya dengan bantuan dari Ervin, Arla bisa berdiri lagi, meski kini hanya menopangkan berat tubuhnya pada kaki kirinya yang masih bisa berdiri tegak, sementara kaki kanannya sepertinya terkilir.

“Ini yang baru, La?” Raihan menunjuk Ervin dengan dagunya.

Arla tidak suka dibentak, apalagi dikasari. Buatnya, lelaki seperti itu harus ditenggelamkan ke dasar bumi. Lebih baik tidak hidup sama sekali demi membuat bumi ini damai.

“Urus aja urusanmu sendiri.” Arla masih berusaha memperhalus kata-katanya. Versi kasar yang sebenarnya berputar dalam otaknya adalah ‘It’s not your fu**ing bussiness!’

“Mau balik?” tanya Ervin begitu Arla membalik tubuhnya.

Arla hanya mengangguk singkat, berjalan tertatih karena kaki kanannya yang sakit jika digunakan untuk bertumpu.

Ervin sekali lagi melemparkan tatapan tajam ketika Raihan yang hendak menyusul Arla. Hanya beberapa detik untuk membuat Raihan mengurungkan niatnya untuk menyusul Arla. Ervin melanjutkan langkahnya, menyusul Arla yang berjalan pelan, membiarkan Bastian dan Adit yang datang bersamanya terbengong.

“Arla, bawa mobil?”

Lagi-lagi Arla mengangguk tanpa suara.

“Titip mobil gue, Bro.” Ervin melempar kuncinya kepada Adit yang memang hari itu menebeng pada mobil Ervin.

“Kubantu, La.” Tawar Ervin setelah melompati anak tangga dua sekaligus demi menyusul Arla.

“Aku bisa sendiri, Vin.”

“Gimana kamu bisa bawa mobil kalo keadaanmu kayak gini.”

Arla menimbang-nimbang ucapan Ervin, kakinya memang sakit, tapi sepertinya ia masih bisa menahan. Yang penting ia membawa mobilnya dengan santai, harusnya tidak apa-apa.

“La. Kuanter ya.”

Melihat perseistennya Ervin, Arla menyerahkan kunci mobilnya.

“Ok, sekarang pegangan sama aku. Ke parkiran masih ada beberapa meter lagi.”

“Kok nambah-nambah sih.”

“Opsinya dua, La. Lepas sepatumu, atau pegang tanganku,” ucap Ervin sambil melipat sikunya agar bisa menjadi tumpuan Arla.

Banyaknya mata yang memandang ke arah mereka, membuat Arla akhirnya menautkan tangannya ke lengan Ervin. Walaupun ia masih terlihat agak kesakitan ketika berjalan, setidaknya rasa sakitnya tidak separah sebelumnya.

“Wait, La.” Arla sudah masuk ke dalam kursi penumpang tapi setelah Ervin menyalakan mesin mobil, Ervin malah meninggalkannya. 

Arla menghela napas, menempelkan punggung pada sandara kursi dan memejamkan mata.

Tak berselang lama, terdengar pintu mobil yang dibuka, dan Ervin yang masuk ke sisi pengemudi.

“Yang luka-luka diobatin dulu, La.”

“Emang ada apotek deket sini?”

“Itu, seberang jalan.”

Arla menoleh ke arah yang ditunjukkan Ervin, dan memang benar ada apotek di seberang jalan.

“Sini, kubantu ngobatin.”

Ervin meraih tangan Arla dan mulai membersihkan lukanya dengan alkohol.

“Udah sering bersihin luka cewek ya, Vin?” sindir Arla. Lelaki itu, yang mengaku tidak punya pacar, tapi sembunyi-sembunyi bertemu wanita lain di mall, kemudian jalan berdua dengan wanita yang entah orang yang sama atau bukan. Kalau bukan player, apa namanya? Jadi, Arla tidak perlu kaget kalau Ervin bahkan bisa mengobati lukanya dengan luwes.

“Sering banget. Ini aku cuma bawain obat luka buat kulit ya, La, bukan obat luka hati.”

Arla tergelak karena ucapan Ervin.

“Adekku tuh kerjanya jadi desainer interior. Desainer interior kan nggak melulu cuma nge-desain. Dia juga milih bahan dasar buat desainnya, trus belum lagi kalo dateng ke proyek sebelum proyeknya rampung. Jadi nggak aneh kalo dia sering jatuh, atau kebesret bahan bangunan yang dia pegang.”

“Adek beneran apa adek ketemu gede?”

Ervin mendongakkan wajahnya untuk menatap Arla. “Kamu … pikir aku ngobatin cewek lain selain adekku?” Ervin mengangkat satu sudut bibirnya, memberikan senyum geli yang tertahan.

Arla hanya bisa mengedikkan bahu setelah melihat senyuman Ervin. Sialan! Kenapa si player ini bisa membuatnya berdebar?

“Ke apartemen kan?” Ervin kembali tersenyum lebar. Upayanya beberapa malam sebelumnya untuk mengantarkan Arla berhasil karena kedatangan Nathan yang cukup mengganggu. Dan siapa sangka malam itu ia kembali berkesempatan untuk mengantar Arla karena kehadiran laki-laki lain.

Ervin kemudian tersadar. Sepertinya sepak terjang Arla juga tidak main-main mengingat banyaknya laki-laki yang mengejarnya.

“Waktu itu Nathan, sekarang laki-laki aneh barusan, next time siapa lagi, La?”

“Kan kamu sendiri yang bilang kalau move on itu hal paling susah di dunia ini.”

***

Setelah perdebatan panjang, akhirnya Arla membiarkan Ervin mengantarnya sampai ke depan unit apartemen. Toh apartemen itu dia tempati berdua dengan Risma, jadi Ervin tentu saja tidak akan bisa macam-macam dengannya.

“Nanti sebelum tidur diobatin lagi  ya lukanya. Ada temenmu kan yang bisa ngobatin luka? Atau aku perlu stay dulu buat ngobatin luka kamu lagi?”

Mulus!

Kalau saja mereka sudah kenal lama dan hubungannya dengan Ervin sedekat hubungannya dengan sahabat laki-lakinya yang lain, dijamin sekarang Arla sudah menoyor kepala Ervin untuk meluruskan otaknya.

“Ada Risma kok, tenang aja.”

“Ok.” Ervin menyerahkan kunci mobil milik Arla ke tangan kanan perempuan itu yang tidak memegang apa-apa, sementara tangan kirinya memegang plastik obat dari apotek.

“Kamu naik apa pulangnya, Vin?”

“Gampang. Nanti aku minta Adit jemput ke sini atau naik taksi.”

“Thanks ya, Vin.”

“Nggak—” Ervin belum menyelesaikan ucapannya saat pintu unit itu terbuka.

“Al.” Arla sempat terdiam beberapa saat kemudian tersadar kalau kakaknya memang akan berkunjung ke apartemennya malam itu.

Alice memperhatikan plastik apotek di tangan adiknya. Plastik tipis berwarna putih itu cukup transparan untuk memperlihatkan botol alkohol, botol obat merah, kasa, dan plaster di dalamnya.

“Siapa yang luka?”

“Cuma jatuh kok.”

Alice menarik adiknya, memperhatikan dengan lebih seksama dan menemukan beberapa luka di tubuh Arla. Begitu juga dengan kakinya yang terkilir, semua tidak luput dari perhatian Alice.

“Siapa yang bikin kamu begini?” Mata Alice kemudian bersirobok dengan Ervin yang masih diam membisu di tempat. “Dia?”

“Bukan, Al.”

Alice membuka pintu unit itu lebih lebar. “Masuk dulu, kita ngomong di dalem!” perintah Alice pada sosok laki-laki yang tidak dikenalnya dan berani mengantar adiknya sampai depan unit apartemen.

“Al, bukan salah dia. Dia mau pulang. Udah ah, aku cerita nanti di dalam.”

“Tu ne diras pas la vérité avec moi.” (Kamu nggak bakal ngomong jujur ke aku) 

Ervin terkesiap. Ia tidak yakin dengan apa yang didengarnya. Tapi sejak tadi yang membuatnya berdiri diam adalah wanita—yang dipanggil ‘Al’ oleh Arla—yang sepertinya blasteran Indonesia-Eropa. Dan ya, Ervin juga sempat berpikir kalau Arla blasteran sejak pertama kali bertemu, tapi ia ragu. Tidak seperti ketika melihat Al, Ervin yakin 100%.

“Masuk dulu!” Kali ini Alice tidak memedulikan rengekan Arla. Ia tetap meminta Ervin untuk masuk ke dalam unit apartemen adiknya. “Saya Alice, kakaknya Arla. Kita perlu bicara!”

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya WHEN A PLAYER MEETS ANOTHER PLAYER (Bab 11 - 15)
8
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan