
Bab 11
Abang Gajinya Berapa?
Arka terdiam di depan pintu kamar rawat papanya.
Caraka yang memperhatikan tingkah Arka akhirnya menepuk bahunya pelan. "Kenapa?"
"Kalo Papa marah sama aku gimana?"
"Ya minta maaf."
"KaloPpapa collapse lagi begitu ngelihat aku?"
"Ya udah, Abang masuk duluan, bilang kalo ada kamu mau ketemu Papa, gimana?"
Arka menatap Caraka beberapa detik dan hanya menemukan tatapannya yang meyakinkan dan berhasil membuat Arka menganggukkan kepalanya.
Caraka mengetuk pintu pelan kemudian menghilang di balik pintu itu, meninggalkan Arka seorang diri duduk di kursi tunggu yang ada di dekat pintu.
"Sendiri, Ka?" tanya Hadi Wijaya begitu melihat menantunya masuk ke dalam kamarnya. "Arka ngajar?"
"Arka ... di luar, Pa. Arka takut masuk, takut bikin keadaan Papa memburuk lagi."
Lelaki paruh baya yang terbaring lemah di kasur itu menghela napas berat. "Anak itu."
"Papa gimana kondisinya?"
"Udah baikan kok. Tapi ya gitu, dokter masih mau mantau kondisi jantung Papa. Suruh Arka masuk, Ka. Biar habis itu mama sama Arga bisa pulang."
"Kok Papa langsung ngusir Mama begitu Caraka datang?" rajuk Avi pada suaminya.
"Kan Mama kurang istirahat. Mana papa tega biarin Mama terus-terusan nungguin Papa. Nanti kan bisa gantian lagi."
Avi kembali duduk di single seater sofa sambil menatap anak sulungnya yang masih tertidur pulas di atas two seater sofa yang ada di dekatnya.
"Aku panggil Arka dulu ya, Pa." Caraka lantas berjalan keluar, menemukan Arka yang tertunduk lesu di kursi paling ujung. Ia berjongkok di depan Arka, dengan canggung memegang tangan Arka yang saling bertautan. "Papa mau ketemu sama kamu."
Arka terkesiap. "Boleh? Papa nggak bakal sakit lagi?" tanya Arka yang bahkan tidak sadar tangannya tengah digenggam Caraka.
"Nggak, Papa kok yang nanya kamu di mana, dikira Papa kamu ngajar." Caraka berdiri, mengulurkan satu tangannya untuk membantu Arka berdiri. "Ayo."
Arka menatap tangan Caraka dengan gamang, tapi beberapa detik uluran tangan itu masih setia menantinya, Arka akhirnya meraihnya lalu bangkit dan mengikuti langkah lelaki itu masuk ke dalam ruang rawat papanya.
Arka terlebih dulu mencium punggung tangan mamanya sebelum mendekat ke ranjang papanya dan berganti mencium punggung tangan papanya. Tapi kali ini Arka tidak melepaskan tangan papanya. Ia duduk di pinggir ranjang dan mulai menangis terisak.
"Ini yang dateng ke sini anak Papa yang udah jadi guru TK apa muridnya sih? Kok tiba-tiba nangis kayak anak kecil."
"Aku minta maaf, Pa." Arka tidak mampu berbicara lagi karena kini ia menyandarkan kepalanya ke dada papanya dan merasakan kelegaan yang luar biasa saat masih bisa mendengar detak jantung lelaki paruh baya yang menjadi cinta pertamanya.
Dengan satu tangan yang tidak terpasang infus, Hadi Wijaya mengusapi puncak kepala anaknya dengan sayang. Ia tahu kalau kejadian belakangan ini terlalu berat untuk ditanggung Arka seorang diri. Dia boleh saja sudah menjadi seorang guru, tapi Arka tetaplah anak bungsu di keluarga Bestari yang sejak kecil diperlakukan seperti seorang putri.
"Dek, udah nangisnya, nanti baju Papa basah kena ingusmu."
Arka merenggangkan jarak, kemudian menatap papanya yang justru tersenyum melihatnya, seakan keberadaannya di rumah sakit itu bukan akibat ulah Arka.
"Maafin aku ya, Pa. Aku cabut omonganku semalem. Aku nggak akan minta cerai dari Abang," ucap Arka di tengah-tengah isak tangisnya.
"Abang?" Sungguh seorang Hadi Wijaya yang tidak peka berhasil merusak suasana sendu yang tercipta. "Abang siapa?"
"Bang ... Caraka."
"Oooh."
Arka melirik ke Caraka yang ternyata sejak tadi berdiri tidak jauh darinya.
"Papa boleh nyebutin permintaan terakhir Papa ke kamu, Dek?"
Arka menggeleng cepat. "Nggak boleh. Papa masih boleh minta banyak hal ke aku." Beberapa detik kemudian, air mata Arka kembali berderai.
"Termasuk—"
Belum juga papanya kelar menyampaikan maksudnya, Arka langsung menyela, "Termasuk yang semalam aku omongin ke Papa. Aku cabut semuanya. Aku nggak bakal minta cerai dari Abang."
"Makasih ya, Dek. Papa harap ini langkah awal buat kamu membuka hatimu untuk berumah tangga."
Lagi, Arka terisak sambil memeluk papanya.
"Astaga, anak TK mana sih ini pagi-pagi nangis sesenggukan di sini?" sindir Arga yang merasa tidurnya terganggu karena isak tangis Arka yang semakin lama semakin kencang.
Hadi Wijaya terkekeh mendengar ucapan Arga yang berhasil membuat Arka mengangkat kepalanya lalu melemparkan tatapan tajam pada kakaknya itu. Tapi tawanya itu membuat ia tersengal dan Arka seketika panik ketika mendapati papanya memegang dadanya kembali.
"Papa nggak apa-apa, Dek. Caraka, bawa istrimu pergi dulu, ngopi-ngopi dulu sana biar dia tenang."
"Papa—"
"Nggak apa-apa, cuma kaget aja dipake ketawa. Arga, kamu juga sana sarapan dulu, biar mamamu di sini dulu berdua sama Papa sebelum pulang ke rumah."
Menurut, akhirnya kedua anak dan menantunya pergi dari ruang rawat itu.
Arga merangkul pundak adiknya yang terlihat rapuh sambil melirik pada Caraka. Ia tahu Caraka tentu masih canggung untuk kontak fisik dengan adiknya, tapi ia juga tahu kalau Arka sedang membutuhkan pelukan sebagai penguatnya.
"Udah ya nangisnya, nanti kalo mau nangis lagi di depan suami kamu aja, jangan di depan Papa. Bikin mood Papa jadi bagus biar bisa cepet pulih."
"Iya, maaf."
"Punya suami dimanfaatkan dengan maksimal, minta peluk gitu kalo abis nangis," goda Arga. Tidak hanya Arka yang merona, Caraka juga terlihat salah tingkah karena ucapannya.
Arga tengah melakukan pemanasan pada lehernya yang terasa kaku akibat tidur di sofa rumah sakit, saat tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ia menyingkir untuk mengangkat telepon dan memberikan kode kepada Arka dan Caraka untuk berjalan lebih dulu.
"Udah tenang, Ka?"
Arka mengangguk pelan.
"Mau ke toilet dulu?"
Arka terkejut dan langsung mengambil ponsel di sakunya untuk berkaca. 'Emang gue jelek banget apa?'
"Kalo nggak mau cuci muka dulu juga nggak apa-apa kok. Yang kenal cuma aku sama masmu doang kan."
"Abang ilfeel?"
Caraka menggeleng. "Cuma khawatir dikira orang abang yang bikin kamu nangis."
Tadinya Arka ingin mencuci muka, tapi setelah mendengar ucapan Caraka, ia mengurungkan niatnya. Paling tidak lelaki itu harus bertanggung jawab atas kehadirannya yang mendadak dalam hidup Arka. Tatapan orang-orang yang menyalahkannya mungkin sedikit bisa mengobati luka Arka.
Setelah menemukan meja kosong yang berada di tengah kantin, Caraka memesankan segelas teh hangat sesuai keinginan Arka dan dua gelas kopi untuknya dan Arga.
"Ka, setelah Papa sembuh, kamu mau mempertimbangkan tawaranku sebelumnya?"
"Tawaran yang mana?"
Diam-diam Caraka merasa lega, sepertinya Arka sudah mulai jinak.
"Pindah rumah, kita coba hidup berdua."
Arga yang baru datang mendengar apa yang diucapkan Caraka pada adiknya. Saat melihat adiknya terlihat berpikir dan bingung, Arga mencoba untuk memberikan masukan yang mungkin bisa jadi pertimbangan Arka.
"Nggak apa-apa, Dek. Kalau kalian tetap di rumah kita sekarang, pasti kalian canggung. Coba, gimana caranya kamu ngomong ke Papa sama Mama kalo kamu ngizinin Caraka tidur di kamarmu. Kan serba nggak enak. Kamu tenang aja, ada Mas yang jagain Papa Mama."
Arka menatap Caraka dengan ragu. "Memangnya Abang punya uang buat beli rumah?"
Arga menatap bingung pada Arka yang baru saja melemparkan pertanyaan absurd. "Kenapa kamu nanya gitu? Memangnya kamu mau rumah segede apa?"
"Kan tukang … gajiannya nggak tentu, Mas."
"Hah?" Kini Arga menatap Caraka meminta penjelasan, sementara yang ditatap hanya mengulum senyumnya.
"Kita ngontrak dulu nggak apa-apa ya?" tanya Caraka.
Arga semakin membelalakkan matanya. "Caraka?"
Arka mengangguk pelan. Pikirnya, nanti ia bisa pelan-pelan berbicara dengan Caraka untuk membeli rumah dari tabungannya.
Arga menepuk keningnya. Adiknya polos atau bagaimana sebenarnya? Masa iya Arka percaya begitu saja dengan ucapan Caraka, padahal ia sudah beberapa kali naik motor sport dan mobil milik Caraka.
Setelah menyesap hampir separuh gelas berisi teh hangat, Arka tiba-tiba menatap Caraka dengan tatapan yang serius. "Abang, gaji tukang berapa ya? Abang nggak mau kerja sama Mas Arga aja?"

Bab 12
Satu Nama di Dalam Tidurnya
"Perlu bantuan, Ka?"
Sebenarnya sudah hampir lima menit Caraka berdiri di ambang pintu kamar Arka yang terbuka. Ia memperhatikan Arka dalam diam. Di depan wanita itu ada satu koper yang masih terbuka, sementara di dekat ranjang tidur, sudah berdiri dua koper yang sepertinya telah berisi pakaian ataupun barang lain milik Arka.
Anehnya, selama Caraka berdiri di depan pintu, Arka sama sekali tidak menyadarinya, dan Caraka tahu kalau Arka sedang melamun karena tidak ada pergerakan dari gadis itu.
"Eh?" Arka sedikit terkejut mendengar suara yang belakangan ini akrab di telinganya. "Udah pulang, Bang?" Arka mendekat ke arah Caraka yang hari itu lagi-lagi terlihat kumal sepulang kerja. Bukan berarti lantas kadar ketampanan Caraka turun, hanya saja pakaian yang dikenakannya tampak lusuh dan ada beberapa noda di celananya seperti semen atau entah apa yang Arka sendiri juga sebenarnya tidak paham.
"Mau dibikinin minum, Bang?" tanya Arka. Meskipun rasanya masih canggung, tapi ia tahu tidak selamanya ia bisa menolak keadaan. Jadi dengan segala kewarasan otaknya ia berusaha menerima Caraka, walau progress hubungan mereka bisa diibaratkan seperti siput yang berjalan.
"Nggak usah, Abang udah minum tadi sebelum naik ke sini." Tanpa bertanya lagi pada Arka, Caraka masuk ke dalam kamar Arka dan menjatuhkan diri di sofa yang seakan sedang memanggil-manggilnya.
"Mandi dulu, Bang. Baju Abang kotor. Kalo udah bersih kan enak mau rebahan atau ngapain bisa."
Caraka tergelak mendengar nasihat 'bijak' Arka. "Dikatakan oleh seorang Arkadewi yang memiliki moto hidup 'Ada dua hal yang nggak bisa dipaksakan di dunia ini, hati dan mandi'."
Mata Arka membulat sempurna dengan rona pipi yang mulai memerah. "Abang! Pasti Mas Arga nih yang bocor."
"Bagian moto hidupmu itu iya, tapi Abang denger sendiri gimana Mama neriakin kamu supaya kamu mau mandi hari Sabtu kemaren."
Arka memberengut kesal, kemudian kembali bersimpuh di lantai untuk membereskan barang-barangnya daripada ia menanggapi ucapan Caraka yang kenyataannya benar.
"Butuh bantuan nggak? Abang mandi dulu, nanti bantuin kamu kalo barang yang mau di-pack masih banyak."
"Nggak kok, ini koper terakhir. Aku nggak bawa semua barang, takutnya kontrakan kita nanti jadi sempit kepenuhan barangku. Lagian juga biar gampang kalo pas mau nginep di sini, nggak perlu bawa baju ganti lagi."
Caraka mengulum senyumnya. "Ya udah, Abang balik ke kamar ya. Nanti kalo butuh bantuan panggil Abang."
Arka mengangguk asal tanpa melihat Caraka yang keluar dari kamarnya. Ia akhirnya bisa menghela napas lega. Kehadiran Caraka sampai detik itu masih menyesakkan baginya. Rasanya seperti terkungkung dalam ruangan sempit. Ingin keluar tapi tak ada pintu.
Berkali-kali Arka menghela napas berat, kadang pikirannya fokus pada pakaian yang sedang dilipat dan ditatanya ke dalam koper, tapi kadang pikirannya menerawang jauh, mencari cara bagaimana mengatakan keadaannya kepada Yudha yang saat ini pulang ke rumah orang tuanya di Bandung sampai ia benar-benar pulih.
Lelaki yang masih berstatus pacarnya itu, masih menghubunginya setiap malam sebelum tidur, masih mengirimkan pesan seperti biasanya, dan Arka pun masih menerima segala bentuk perhatiannya. Bagaimana pun juga ia belum benar-benar putus dari Yudha dan perasaannya pada Yudha tidak bisa hilang dalam waktu hitungan hari kan?
Karena kebanyakan melamun, Arka baru bisa menyelesaikan kegiatan packing barang itu ketika waktu hampir mendekati makan malam. Ia bergegas turun, khawatir semua anggota keluarga tengah menunggunya.
Untungnya saat ia tiba di meja makan hanya ada kakaknya yang tengah menyantap makanan di hadapannya. "Papa Mama mana, Mas?"
"Pergi, ada jamuan makan di rumah temen Papa."
"Oooh." Arka mengangguk lantas menarik kursi yang biasa ia duduki. "Ih, Mas kok nggak manggil aku kalo udah waktunya makan malam. Malah makan duluan, kalo ada Papa Mama udah ditegur loh."
"Laper, Dek. Kerjaan Mas lagi banyak hari ini. Udah sana buruan makan, jangan kebanyakan ngomel."
Arka membalik piringnya lalu mengambil nasi dan beberapa lauk yang diinginkannya.
"Suami kamu mana?"
Arka mengedikkan bahu. "Emangnya belum keluar?"
"Kalo udah keluar, Mas nggak bakal makan sendirian tadi."
Arka mengabaikan ucapan kakaknya. Ia mulai menyendokkan makanan ke dalam mulutnya sampai tiba-tiba bayangan Caraka dengan pakaian lusuh dan celana yang kotor menyergap pikirannya. Pasti Caraka lelah setelah bekerja seharian.
"Aku panggil Abang dulu deh," pamitnya pada Arga yang tanpa disadarinya tengah mengulas senyum tipis melihat tingkahnya.
Arka berjalan menuju kamar tamu yang letaknya tidak terlalu jauh dari ruang makan. Setelah beberapa kali mengetuk pintu, ia hanya mendengar geraman samar dari dalam. "Bang, makan malam dulu."
Hening. Hanya sekali geraman Caraka muncul, setelahnya Arka sama sekali tidak mendengar apa-apa lagi.
Memberanikan diri, Arka meraih handle pintu, mengintip sedikit sebelum akhirnya ia masuk ke dalam kamar yang ditempati Caraka.
Langkahnya terhenti saat menatap Caraka yang sudah tertidur pulas di atas kasur. Mungkin tadi niatnya hanya berbaring karena Arka melihat ponsel Caraka yang masih tergenggam di tangannya dan posisi tidur Caraka yang tanpa mengenakan selimut.
Lelaki itu pasti kelelahan, kerjaan berat selalu melelahkan di penghujung hari.
Tapi ia tidak bisa membiarkan Caraka tidur tanpa mengisi perutnya dulu. Dengan perlahan, Arka menggoyangkan lengan Caraka, berusaha membangunkannya. "Abang. Bang, makan malam dulu yuk."
Lelaki itu menggeram pelan, mengucapkan sesuatu yang samar-samar didengar Arka. "Niken"
Niken?
Arka mengabaikannya, mungkin ia salah dengar, mungkin lelaki itu hanya bermimpi.
Setelah berkali-kali upaya Yara menggoyang-goyangkan lengan Caraka, barulah lelaki itu membuka matanya.
"Arka?" Itulah kata pertama yang diucapkannya sambil menatap Arka penuh tanya.
"Makan dulu, Bang. Abang pasti capek." Setelah mengucapkannya, Arka berbalik dan berjalan meninggalkan Caraka yang masih mengumpulkan nyawanya.
"Mana Caraka?" tanya Arga begitu melihat Arka kembali seorang diri.
"Baru bangun tidur, paling bentar lagi ke sini. Pules banget tidurnya, susah banget dibangunin. Pake ngigo segala lagi."
Arga terkekeh mendengar gerutuan adiknya. Paling tidak, Arga merasa ada kemajuan hubungan antara adiknya dan Caraka.
Benar saja, Caraka menyusul beberapa saat kemudian. Bisa terlihat jelas dari wajahnya, kalau ia benar-benar mengantuk dan ingin segera mengakhiri makan malam itu untuk kembali melanjutkan tidurnya.
"Lagi banyak kerjaan?" tanya Arga.
"Iya, banyak banget, namanya juga masih peralihan."
"Abang susah banget deh dibanguninnya." Arka melirik Caraka. Setidaknya kalau tadi Caraka meledeknya masalah ia yang malas mandi, kini ia bisa membalasnya dengan kenyataan kalau Caraka sangat susah dibangunkan.
"Maaf, ngantuk banget tadi."
Arka mencibir Caraka. "Udah susah banget dibangunin, pake ngigo lagi. Nyebut-nyebut nama Niken. Siapa Niken, Bang? Mantan?"
Caraka dan Arga tersedak bersamaan sambil saling pandang.

Bab 13
Pindah Rumah
"Bang, Abang ngeluarin uang berapa buat nyewa rumah ini?" Dahi Arka mengernyit tidak suka. Bukan karena rumahnya lebih kecil daripada yang ada di otaknya, tapi karena rumah dua lantai yang berada di cluster perumahan itu pasti bernilai sewa tinggi.
Arka masih bertahan di dalam mobil meskipun Caraka telah menghentikan mobil dan memarkirkannya dengan sempurna di garasi rumah yang akan mereka tempati.
"Kenapa memangnya?" tanya Caraka yang masih bertahan menunggu Arka mengatasi kebingungannya.
"Ini nggak mungkin murah sewanya, Bang. Abang—" Yang semula Arka menatap rumah itu dengan kagum, kini beralih menatap Caraka dan berusaha mengintimidasinya, walaupun nyatanya gagal karena Caraka malah tertawa setelahnya. "Abang kerja apa sih? Nggak mungkin tukang bisa sewa rumah kayak gini."
"Kamu nggak usah ngeributin Abang kerja apa. Kalau Abang bisa nyediain ya berarti Abang punya uang yang cukup buat nyediainnya." Caraka kembali mengajak turun tapi gelengan tegas menjadi jawaban Arka.
"Aku nggak mau turun kalo Abang belum ngasih jawaban. Jangan-jangan aku diajak pindah cuma buat jagain lilin malem-malem."
Caraka kali ini benar-benar terbahak mendengar gumaman Arka. "Makanya kita butuh tinggal di daerah yang kayak gini, tetangga kita orang kaya semua, jadi kalo mau ngepet dapetnya nggak tanggung-tanggung."
Arka membuka mulutnya tapi tidak ada sepatah kata pun yang bisa keluar dari mulutnya.
'Gemesin banget sih,' batin Caraka yang masih susah payah menghentikan tawanya. "Bercanda, Arka. Anggep aja Abang bosnya tukang. Udah yuk, masuk. Banyak kerjaan kita hari ini, belum nata barang-barang kamu kan."
"Mandor?" Pertanyaan Arka itu tidak terdengar oleh Caraka yang sudah lebih dulu turun dari mobil dan bergegas menuju pintu utama rumah itu.
Arka mau tidak mau ikut turun. Sebelum menginjakkan kaki ke teras rumah yang baru pertama kali disambanginya itu, Arka memejamkan mata sesaat, berusaha meyakinkan diri kalau langkah yang diambilnya adalah langkah yang paling benar.
"Bang!" teriak Arka yang tidak menemukan keberadaan Caraka begitu masuk ke dalam rumah.
Sebelum mencari keberadaan Caraka, Arka menghabiskan waktu cukup lama untuk mengagumi tatanan rumah itu. Tentu saja gaya rumah itu jauh berbeda dengan rumah orang tuanya. Rumah orang tuanya bergaya klasik dengan ornamen Jawa yang kental, sementara rumah yang akan ditempatinya itu bergaya modern minimalis yang sekarang sedang trend di kalangan anak muda. Ditambah lagi dengan tidak adanya sekat antara ruang tamu, ruang menonton TV, dapur, dan ruang makan, membuat rumah itu terasa luas meskipun sebenarnya luasnya mungkin hanya seperlima rumah orang tuanya.
"Di kamar, Ka."
Arka mengarahkan langkahnya menuju ruangan dengan pintu yang berada di sisi ruang menonton TV, dari mana suara Caraka berasal. Karena pintu itu terbuka, Arka langsung bisa melihat Caraka yang sedang mendorong sebuah meja kerja ke arah ujung.
"Sini, Ka. Kita perlu bahas sesuatu bentar." Caraka kemudian duduk di foot board ranjang dan menepuk sisinya agar Arka ikut duduk dengannya. "Masalah kamar—"
"Bang." Arka menyela ucapan Caraka sambil menatap penuh permohonan. "Aku ... aku belum siap—"
"Iya, tau, kamu belum mau sekamar sama Abang. Justru karena itu Abang mau nanya, kamu mau di kamar yang mana? Di lantai bawah ada satu kamar plus satu kamar ART, di lantai dua ada tiga kamar. Kamu mau di kamar bawah apa atas?"
"Abang di mana?"
"Kenapa? Katanya nggak mau sekamar?"
"Iiiih, ya maksudku kalo Abang mau di sini, aku di kamar atas."
"Ya udah kalo gitu, Abang di kamar—"
"Tapi, Bang. Kalo kita sama-sama di kamar atas emangnya kenapa? Cuma beda kamar aja, tapi sama-sama di lantai dua."
"Kamu takut?" Caraka mengulum senyumnya melihat Arka kesulitan untuk mengungkapkan perasaannya.
Sebenarnya Arka ingin berkata kalau dirinya bukan sekadar takut, ia memang punya kesulitan tidur di tempat baru. Bahkan ia sudah mempersiapkan obat tidur kalau-kalau dirinya tidak bisa tidur dalam beberapa hari ke depan.
Akan tetapi gengsinya masih terlalu tinggi untuk mengakui itu semua. "Ya udah kalo Abang mau di sini. Aku di kamar atas aja."
Caraka tiba-tiba berdiri kemudian meraih pergelangan tangan Arka untuk mengajaknya bangkit.
"Ke mana?"
"Ayo kita lihat kamar yang di atas."
"Aku sendiri aja nanti, tinggal milih salah satu dari tiga kamar kan."
“Di atas ada tiga kamar. Yang dua ada kamar mandi di dalamnya. Yang satu pake kamar mandi luar deket perpustakaan. Ntar kamu pake satu yang ada kamar mandi dalemnya, Abang make yang lain."
"Eh? Abang mau di kamar atas juga?"
"Iya, daripada kamu ketakutan."
"Tapi, Bang—"
Caraka menghentikan langkahnya sebelum menginjakkan kaki ke anak tangga pertama. Kedua tangan Caraka menyentuh bahu Arka dan berusaha membuat Arka yakin kalau ia seserius itu. "Arka, kamu inget kan tadi gimana beratnya orang tuamu sama kakakmu ngelepas kamu buat tinggal sama Abang? Dan Abang janji ke keluargamu buat jaga kamu. Keamanan rumah ini nggak kalah dengan keamanan rumahmu, karena gimana pun juga kamu adalah keluarga Bestari. Tapi menurut Abang, keamanan itu aja nggak cukup, kenyamanan kamu di rumah ini juga jadi salah satu hal yang nggak bisa Abang abaikan."
Arka sempat terkesiap sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya. Beberapa detik lagi ia menatap Caraka, bisa dipastikan pipinya akan mulai merona merah.
"Ayo, Abang tunjukin kamarnya," ucap Caraka yang berusaha mencairkan kekakuan di antara mereka akibat ucapannya.
Setibanya di anak tangga teratas, Caraka melangkah menuju sisi kanan. Ada dua buah kamar dengan pintunya yang berhadapan. Caraka membuka salah satu pintu dan menunjukkan kamar Arka. "Ini kamar paling luas di lantai dua. Nggak seluas kamarmu memang, tapi semoga aja kamu nyaman."
Tanpa sadar Arka tersenyum melihat kamar barunya. Ini sungguh di luar ekspektasinya. Ia pikir akan menemukan kamar minimalis seperti tema rumah itu, tapi nyatanya kamarnya sangat cozy dan memberikan kesan hangat, seakan kamar itu memang dipersiapkan untuknya.
"Kamu mau Abang tidur di kamar depanmu atau di kamar yang ujung sana?"
Arka menimbang-nimbang sesaat, kamar yang di ujung letaknya agak jauh dari kamarnya, karena terpisahkan sebuah ruang yang berisi rak besar--seperti semacam perpustakaan, tapi kalau ia meminta Caraka memilih kamar di depan kamarnya, apakah lelaki itu tidak akan salah sangka?
"Ya udah, karena kamu bingung, Abang di kamar yang depan kamarmu aja ya."
Arka mengangguk pelan walau dalam hati bersorak.
"Lagian Abang nggak suka di kamar yang ujung sana, ada balkonnya. Abang suka berimajinasi macem-macem kalo ada balkonnya, serem." Tanpa rasa bersalah, Caraka beranjak masuk ke dalam kamar yang baru saja dipilihnya.
Arka langsung melongok ke kamarnya di mana salah satu sisinya juga terdapat balkon. Semula ia sama sekali tidak punya rasa tidak suka dengan balkon, tapi kata-kata Caraka berhasil mengusiknya. Dengan tergesa ia merangsek menuju kamar Caraka yang baru beberapa detik lalu tertutup pintunya.
"Abang! Jangan nakut-nakutin gitu napa sih? Kamarku juga ada balkonnya, Bang."
Arka mengerjap pelan, kemudian membalik badannya sambil menutup mata. "Sorry, Bang, nggak tau kalo Abang lagi ganti baju."

Bab 14
Homesick
Arka terpaksa kembali ke kamarnya walaupun sebenarnya ia ingin mengonfrontasi Caraka karena ucapannya yang membuat Arka kini berulang kali menoleh ke arah balkon.
Namun, sepertinya ia tidak akan sanggup bertemu Caraka untuk sementara waktu. Pemandangan yang baru saja dilihatnya, ditambah dengan ekspresi Caraka—yang terkejut saat ia menerobos masuk sementara Caraka tengah topless—yang masih terbayang jelas di otaknya membuat jantungnya belum berada pada kondisi yang stabil.
Untuk menetralkan jantungnya, Arka memilih mencuci mukanya di kamar mandi yang terdapat di dalam kamarnya, sekaligus untuk melihat kondisi kamar mandi itu.
Not bad, tidak sebesar kamar mandi di rumahnya yang tersedia bathtub untuknya berendam, tapi kamar mandi itu juga melebihi ekspektasinya, bahkan mirip seperti kamar mandi hotel.
Saat Arka masih tertegun di dalam kamar mandi, samar ia mendengar suara ketukan di pintu kamarnya. Arka menarik napas panjang dan menghelanya dengan kasar sebelum memberanikan diri untuk membuka pintu.
"Kopermu, Ka," ucap Caraka sambil mendorong tiga koper masuk ke dalam kamar Arka. Entah kapan lelaki itu mengangkatnya dari mobil, dan hal itu membuat Arka semakin salah tingkah.
"Ma ... makasih, Bang. Harusnya Abang bilang kalo mau ngangkat koper, biar aku bisa bantu, nggak semuanya Abang yang ngangkat."
"Kan kamu yang tadi lari dari kamar Abang."
Kembali Arka dibuat memerah karena ucapan Caraka berhasil menarik kembali ingatannya pada kejadian memalukan beberapa menit sebelumnya.
"Aku mau beres-beres dulu, Bang," kilah Arka sambil mendorong kopernya mendekat ke lemari.
"Butuh bantuan?"
"Nggak. Abang beresin barang Abang aja sendiri."
"Ok. Nanti kalo butuh apa-apa panggil Abang aja. Tapi ketuk pintu dulu ya, Ka. Untung tadi Abang cuma buka baju, kalo—"
"Iya, Bang. Iya. Maaf yang tadi."
Caraka menahan tawanya sambil berlalu pergi menuju kamarnya sendiri.
***
Entah berapa jam yang keduanya habiskan untuk menata barang-barang di kamar mereka masing-masing.
Karena kelelahan, Caraka sempat tertidur dan baru terbangun ketika jarum jam menunjuk angka tujuh. Ia yang panik segera mengetuk kamar Arka. Beberapa kali ia mengetuk pintu sampai Arka membuka pintu dengan tampang yang tidak jauh berbeda darinya, 'tampang bantal' baru bangun tidur.
"Kamu tidur, Ka? Udah malem ternyata. Cari makan malam yuk."
"Abang susah banget dibangunin. Tadi aku udah ngetuk pintu kamar Abang dari sore, tapi Abang nggak buka-buka. Akhirnya aku balik ke kamar, ikut tidur juga." Arka mengerucutkan bibir karena mengingat upayanya membangunkan Caraka yang tidak berhasil.
"Oh ya? Maaf ya, Abang kalo kecapekan emang gitu tidurnya. Harusnya kamu masuk aja."
"Ya nggak berani lah, Bang. Kejadian tadi siang udah jadi pelajaran buatku."
"Lain kali masuk aja. Abang nggak akan sembarangan lepas baju lagi." Caraka berusaha meyakinkan Arka walaupun ia tahu tindakannya tadi tidak bisa disebut sembarangan karena ia berganti baju di kamarnya sendiri, Arka lah yang sembarangan masuk ke dalam kamarnya. Tapi untuk membuat Arka berhenti merajuk, Caraka terpaksa mengalah.
"Makan yuk. Laper kan abis beres-beres seharian?"
"Capek, Bang, kalo mesti keluar. Delivery aja deh, Bang. Mau masak juga nggak ada bahan masakan di dapur."
"Ya udah, kamu mau pesen apa? Biar Abang pesenin."
"Aku aja yang pesen, Bang. Abang mau apa? Eh tapi aku minta alamat lengkapnya di sini biar aku masukin ke aplikasi."
"Di aplikasi Abang udah ada alamat sini, biar cepet pake punya Abang aja."
"Tapi ... kan Abang udah keluar uang banyak. Biar aku yang nanggung makan kita sebulan ini."
Caraka menepuk keningnya. Sepertinya Arka masih menganggap kalau uang Caraka habis untuk sewa rumah. Caraka terpaksa membuka aplikasi food delivery online miliknya dan menunjukkan depositnya di akun itu. Tidak banyak memang, hanya satu juta, karena ia juga jarang menggunakannya kecuali untuk order makanan. Biasanya ia akan top up ketika saldonya di bawah tiga ratus ribu. Untung kali ini saldonya masih tersisa cukup banyak untuk membuat Arka yakin kalau ia masih sanggup untuk memberi makan Arka.
"Cari yang paling deket aja, Bang. Apa aja aku makan."
"Ada ayam bakar, nggak sampe sekilo dari sini. Mau? Tapi karena Abang belum pernah coba juga, nggak tau enak atau nggak."
"Nggak apa-apa, itu aja."
Caraka mengutak-atik ponselnya untuk beberapa saat sampai akhirnya ia mendongak dan menemukan Arka yang menempel di daun pintu seperti ingin tertidur lagi.
"Mandi dulu, Ka. Kalo nggak, kamu pasti bakal ketiduran lagi. Abis mandi langsung turun ya, siapa tau udah nyampe makanannya."
Caraka meninggalkan Arka untuk melakukan hal yang sama. Badannya terasa lengket setelah beres-beres seharian. Karena itu, ia juga perlu mandi dan menyegarkan badannya sekaligus menjernihkan otaknya. Siapa bilang hanya Arka yang merasa malu atas kejadian siang tadi, bahkan Caraka sendiri tidak tahu harus berbuat apa untuk menghadapi kecerobohan Arka. Bagaimana kalau ia tergoda? Tinggal berdua dengan Arka ternyata tidak mudah.
***
Usai makan malam singkat dan hening, keduanya kembali ke kamar masing-masing. Arka beralasan masih harus membereskan beberapa barang, sementara Caraka terpaksa ikut masuk ke kamarnya sendiri karena tidak tahu harus melakukan apa di luar sendirian.
Tiba-tiba saja ponsel Caraka bergetar singkat, menandakan pesan masuk.
Ia berdecak ketika membaca pesan yang dikirim kakak iparnya.
Arga: Seranjang apa pisah ranjang?
Caraka: Nggak usah ngeledek
Arga: Ok, fix, pisah ranjang
Caraka yang malas menanggapi ledekan kakak iparnya memilih merebahkan badannya di kasur, badannya sepertinya memang butuh istirahat lebih banyak. Dan akhirnya, ia benar-benar jatuh tertidur, sampai ia terbangun tengah malam dan merasa tenggorokannya kering. Sialnya ia tidak membawa air minum ke dalam kamarnya. Artinya ia harus turun ke dapur untuk mengambil air minum. Ia mencatat dalam kepalanya untuk menambahkan satu dispenser di lantai dua, kasihan Arka kalau harus turun ke dapur malam-malam karena haus.
Ia menuruni anak tangga perlahan karena rasa kantuknya masih menguasai. Seluruh lampu di lantai satu masih dalam keadaan menyala. Wajar, karena saat ia dan Arka naik ke lantai dua setelah makan malam, ia memang tidak mematikan lampu di lantai satu.
Akan tetapi, saat ia hampir menginjakkan kaki di anak tangga terakhir, sayup-sayup Caraka mendengar suara tangisan. 'Damn it! Rumah ini belum dingajiin ya.'
Caraka menelan ludahnya dengan susah payah. Tenggorokannya yang terasa kering dan bulu halus di belakangnya yang mulai meremang membuatnya gamang untuk meneruskan langkahnya.
Menginjakkan kaki di lantai satu, Caraka langsung mengedarkan pandangannya. Biasanya kalau ada suara, wujudnya tidak terlihat kan?
Tapi ia salah, sesosok wanita tengah bersandar pada punggung sofa bed yang ada di ruang menonton televisi. Wanita itu menangis terisak dan membuat hati Caraka ikut merasakan sakitnya.
"Arka, kenapa?" Caraka mendekat, kemudian memberanikan diri untuk mengusapi air mata Arka. "Inget Mama Papa? Apa ada hal lain?"
Kalau Arka menjawab 'hal lain', Caraka berniat tidak akan membahasnya lebih lanjut, karena pasti jawabannya berkaitan dengan Yudha.
Masih dengan napas yang tersengal, Arka melemparkan pertanyaan balik pada Caraka, "Abang kebangun gara-gara suaraku?"
Caraka menggeleng. "Kamu kan tau Abang susah dibangunin, bahkan kamu ketuk pintu kamar Abang aja Abang nggak bangun, ya nggak mungkin suaramu kedengeran sampe kamar Abang. Kamu kenapa?"
"Aku belum pernah pisah dari Mama Papa, kuliah pun aku di Jakarta karena nggak mau pisah sama mereka."
Baru sehari dan Arka sudah homesick! Caraka berusaha mengerti perasaan Arka. berkali-kali ia mengingatkan dirinya sendiri kalau Arka adalah perempuan keturunan keluarga Bestari yang tentunya diperlakukan istimewa.
"Aku ... aku juga nggak bisa tidur di tempat yang baru. Tadi aku udah minum obat tidur, tapi belum ngantuk juga sampe sekarang."
Caraka membelalakkan matanya. Semenyiksa itu kah sampai Arka harus mengonsumsi obat tidur?
"Karena takut?" tanya Caraka berusaha mencari akar permasalahan.
Arka mengedikkan bahu. "Rasanya nggak tenang aja."
Tiba-tiba Caraka berdiri dan beranjak menuju kamar tidur yang berada di lantai satu. Tak lama kemudian ia keluar sambil membawa bantal dan bed cover. Diam-diam Caraka merasa pilihannya memasang sofabed di ruang itu adalah keputusan yang tepat. "Bangun dulu, Ka. Biar Abang setting kursinya jadi kasur. Tidur sini aja ya? Abang temenin."

Bab 15
Tersulut Emosi
Arka menggeliat, mengubah posisi tidurnya.
Matanya yang semula masih mengerjap pelan, tiba-tiba saja membuka sempurna saat tangannya tidak sengaja menyenggol ponselnya dan membuat benda itu jatuh dari atas sofabed.
Dengan kesasarannya yang telah utuh, Arka menengok ke bawah, mencoba mencari keberadaan ponselnya.
Akan tetapi, yang pertama ia lihat adalah sosok Caraka yang tidur dengan nyenyak, hanya beralaskan karpet, bahkan tanpa selimut.
Tanpa sadar ia mengulas senyum tipis. Ia teringat malam hari sebelumnya di mana ia termangu setelah mendengar kata-kata Caraka yang akan menemaninya tidur.
Pikirannya sempat melayang ke mana-mana sebelum mendengar tawa terbahak yang keluar dari mulut Caraka.
'Abang tidur di bawah, kamu di sofabed, Arka. Kamu mikir apa? Atau sebenernya kamu mau tidur sambil Abang peluk?’
Ucapan dari Caraka yang menggodanya masih jelas di ingatan, dan kini melihat Caraka benar-benar tidur dengan beralas karpet, membuat Arka tiba-tiba saja merasa bersalah.
Setelah berhasil meraih ponselnya, Arka menurunkan bedcover yang membebat tubuhnya. Baru saja ia berdiri dan hendak berjalan kembali ke kamarnya, kakinya tersandung bedcover yang sedianya digunakan untuk kasur berukuran 200x200 itu. Satu kakinya yang memijak mantap di lantai tidak mampu menopang badannya yang sempoyongan dan selanjutnya ia hanya bisa memejamkan mata ketika tubuhnya mendarat pada sesuatu yang tidak sekeras lantai, tapi juga tidak seempuk sofabed.
"Jadi begini cara baru kamu bangunin Abang?"
Tentu saja kali ini Caraka langsung terbangun karena badan Arka yang tiba-tiba ambruk di atas badannya.
Tenggorokan Arka terasa tercekat. Alasan yang akan diucapkannya akan membuat ia tampak sangat ceroboh dan dia tidak suka mendapat title itu. Keluarganya sejak dulu sering mengatakan kalau ia ceroboh. Kini, ia tidak mau menambah daftar orang yang mengatakan kalau dirinya ceroboh.
Namun, lebih tidak masuk akal lagi kalau ia tidak menyampaikan alasan apa pun. Pasti Caraka mengira ia sengaja menggodanya.
"Aku kesandung bedcover, Bang."
"Terus, sampai kapan kamu mau di atas Abang?"
What! Ternyata ia membutuhkan waktu sebanyak itu untuk berpikir sampai-sampai Caraka bertanya seperti itu. "Maaf, Bang." Arka kembali berdiri tapi satu kakinya malah menendang sesuatu pada diri Caraka yang membuat laki-laki itu tiba-tiba mengerang kesakitan.
"Arkaaa!"
"Ups! Maaf, Bang." Untuk menutupi malunya, setelah berhasil berdiri, Arka langsung berlari menuju lantai dua di mana kamarnya berada.
Caraka mengatur napasnya, masih berusaha meredakan rasa sakit pada juniornya akibat ulah Arka. "Banyak banget ya cobaannya serumah sama kamu, Ka. Bisa-bisanya nendang junior yang lagi hormat."
***
Arka menutup pintu kamarnya—hampir seperti membanting sebenarnya—karena jantungnya yang berdegup kencang, ditambah rasa malu terparah yang pernah ia alami seumur hidupnya. Arka menggeram kesal karena kecerobohannya sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Good, belum 24 jam dan udah ada insiden memalukan!"
Setelah berhasil menenangkan diri, Arka masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri ... dan otaknya. Beruntung hari itu adalah hari minggu, ia bisa menghabiskan waktu sedikit lama dalam kamar mandi dengan luluran dan menggunakan hair mask. Rutinitas yang biasa ia lakukan sendiri kalau ia sedang tidak sempat atau malas ke salon.
Arka sampai tidak sadar sudah berapa lama di dalam kamar mandi sampai suara Caraka memanggilnya dari luar kamar sambil mengetuk pintu.
"Bentar, Bang! Masih mandi!" teriak Arka dari dalam kamar mandi, berharap lelaki itu mendengarnya.
Lima belas menit kemudian, Arka sudah menyelesaikan semua prosesinya, bahkan sudah berganti dengan pakaian bersih, tapi ... ia tidak berani keluar dan bertemu dengan Caraka.
Berkali-kali ia hampir menyentuh handle pintu dan membukanya, sayangnya keberaniannya menguap seketika begitu tangannya menyentuh dinginnya handle pintu. Bagaimana ia menghadapi Caraka setelah kejadian memalukan itu?
"Arka, kamu nggak laper? Sarapan dulu, Ka."
Caraka terpaksa memanggil Arka yang tidak kunjung turun, dan dengan terpaksa juga Arka membuka pintu kamarnya.
"Abang?" Arka langsung gelagapan begitu melihat sosok Caraka di depan pintu kamarnya.
"Kamu mandi apa pingsan? Hampir Abang dobrak pintunya. Ayo sarapan dulu."
Arka menurut, berjalan sambil menunduk mengekori langkah Caraka menuju ruang makan.
"Ada uang recehmu yang jatuh, Ka?" tanya Caraka begitu melihat Arka yang sejak tadi menundukkan kepalanya.
"Hah?"
"Kalo jalan ngelihat ke depan, nanti kesandung apa lah lagi, trus kamu nabrak Abang lagi." Caraka hampir meledakkan tawanya melihat ekspresi memelas dari Arka.
"Abang nggak usag inget-inget yang tadi pagi bisa nggak sih?"
"Bisa, kalo Abang amnesia."
Arka kembali mengerucutkan bibir, kesal dengan ucapan Caraka disertai dengan tawa meledeknya.
"Abis ini kita belanja keperluan bulanan ya, Ka."
Arka mengangguk sambil menyantap bubur ayam yang dibelikan Arka entah di mana.
"Kamu mau Abang anter nggak besok berangkat kerjanya?"
"Hmm? Hmm ... aku sendiri aja kali ya, Bang. Aku bingung kalo temen-temenku di sekolah pada nanya siapa yang nganter aku."
"Kamu malu sama Abang?"
"Selama ini Yudha pun nggak pernah nganter jemput aku sampe ke halaman sekolah kayak Abang waktu itu. Paling aku dijemput atau diturunin di deket sekolah. Aku ... cuma nggak suka digosipin, Bang."
Caraka terdiam setelah Arka kembali menyebut nama Yudha. Ia tidak lagi bertanya bagaimana Arka akan berangkat ke sekolah besok. Mood-nya tiba-tiba anjlok ke dasar jurang. Dengan segera ia menghabiskan makanannya dan meninggalkan Arka sendiri. Ia juga butuh sendiri, memikirkan perasaannya yang mulai tumbuh untuk Arka sementara perasaan Arka masih untuk orang lain.
"Bang, katanya mau belanja." Arka mengetuk pintu kamar Caraka setelah waktu menunjukkan pukul sebelas siang dan lelaki itu tidak kunjung keluar dari kamarnya.
"Iya, tunggu Abang siap-siap."
Caraka juga kembali ke kamarnya untuk bersiap.
Keduanya menuju supermarket yang agak sedikit jauh dari rumah mereka, tapi memiliki barang lebih beragam dengan stok lengkap. Caraka masih lebih banyak diam setelah Arka menyebut-nyebut nama Yudha, dan Arka masih banyak diam karena malu atas kejadian pagi tadi.
Mereka baru setengah jalan saat ponsel Arka bergetar karena pesan singkat yang masuk ke ponselnya.
Yudha: Arka, aku udah balik ke Jakarta
Yudha: Bisa kita ketemu?
Yudha: Aku udah kangen banget sama kamu
Yudha: Bilang aja mau ketemu di mana, nanti aku yang nyamperin kamu
Arka merasa gamang untuk membalas pesan dari Yudha. Tapi ia telah memulai hidup barunya, dan ia berjanji pada keluarganya serta Caraka, untuk mengakhiri hubungannya dengan Yudha setelah lelaki itu sembuh dan kembali ke Jakarta.
Menatap Caraka, Arka mencoba mengatakan ajakan Yudha yang ingin bertemu dengannya. Tapi ... bagaimana ia mengatakan pada Caraka? Dan yang lebih mengganggu pikirannya, bagaimana ia mengatakan putus kepada Yudha?
"Kenapa?" tanya Caraka dingin.
"Abang, Yudha udah di Jakarta. Yudha mau ketemu aku."
Rahang Caraka mengeras, tapi ia berusaha mengontrol perasaannya. "Kamu mau ketemu dia?"
Arka mengangguk pelan.
"Kamu mau ketemu dia di mana? Abang anterin ke sana."
"Bang, boleh nggak kalo aku ketemu berdua aja sama dia?"
"Di mana?" Kali ini Caraka tidak dapat mengontrol emosinya, terlihat dari nada bicaranya yang semakin dingin.
"Di depan situ ada Pizza Hut, di situ aja."
Benar kata Arka, sekitar dua ratus meter di depan mereka, terlihat logo tempat makan itu. Caraka menepikan mobilnya, tidak benar-benar masuk ke dalam area parkirnya.
"Abang marah?" Tidak mendengar jawaban apa pun dari Caraka, akhirnya Arka memutuskan turun. "Aku turun dulu ya, Bang," pamit Arka sebelum turun.
Caraka yang tersulut emomsinya langsung melajukan mobil tanpa menjawab ucapan Arka, bahkan menoleh pun tidak.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
