
Sandra baru saja menikah dengan Farel selama satu minggu. Kemudian Farel membawa perempuan lain untuk meminta izin menikah lagi. Sialnya, perempuan itu adalah orang yang sering membully dia saat sekolah menengah.
Akhirnya Farel dibolehkan menikah dengan Dewi. Syaratnya, semua harta menjadi milik Sandra. Farel tanpa berpikir panjang dengan cepat setuju. Dia tipe pria bucin. Sedangkan Dewi yang cewe matre merasa mendapatkan zonk.
Sejak saat itu Sandra auto menjadi Miliarder. Dia bukan lagi gadis miskin....
Bab 1. Persyaratan Menikah
Namaku adalah Sandra. Aku dulunya hanya anak sebatang kara yang hidup serba kekurangan. Sekarang aku sudah berubah sejak seminggu lalu. Aku sudah menjadi istri dari orang yang akan menjadi orang nomor satu di kota ini. Karena dia akan mewarisi semua harta sebulan lagi.
Sejak aku menolong seorang nenek yang terlantar di pinggir jalan, itu yang mengubah semua jalan hidupku. Dia membalas budi dengan menjodohkan aku dengan cucunya. Saat itu aku sempat menolak keinginannya, lantaran perbedaan status kami bagaikan langit dan bumi.
Di usiaku yang sudah menginjak dua puluh enam tahun, aku belum menikah. Tidak ada orang yang mau menikahi perempuan miskin seperti aku. Apalagi aku tidak cantik dan kucel. Aku sama sekali tidak mengenal salon dan alat make up.
Orang yang telah aku tolong berusia sekitar tujuh puluh lima tahunan, namanya nek Ningsih. Nek Ningsih memiliki seorang cucu yang sebaya dengan aku, yang bernama Farel. Namun yang tidak aku sangka ternyata Farel mau menikah dengan aku.
Setelah seminggu kami menikah, Farel membawa perempuan lain untuk dijadikan istrinya. Sialnya, perempuan yang dia bawa tidak lain adalah Dewi, teman masa sekolah menengah aku. Dia adalah orang yang sering membully aku. Dia dipuji bagaikan seorang Dewi karena dia anak tercantik dan populer. Sedangkan aku hanya upik abu.
"Jadi apa maksud kamu ini?" tanya nek Ningsih menatap cucunya tajam.
Aku kembali menatap ke arah mereka berdua. Mereka berdua duduk berlutut di depan kami berdua, lebih tepatnya di depan nek Ningsih. Aku tidak akan terhitung. Mereka ingin minta restu untuk menikah dari nek Ningsih. Bukan dari aku yang istri sah Farel.
"Nek, aku sangat mencintai Dewi. Aku ingin menikah dengan Dewi, Nek," mohon Farel.
"Farel, kamu sadar apa yang kamu minta. Kamu baru seminggu yang lalu menikah dengan Sandra. Sekarang kamu minta Nenek merestui kalian berdua untuk menikah. Apa kamu pikir menikah itu hanya permainan," kata nek Ningsih kecewa dengan Farel.
Aku juga sangat kecewa melihat Farel ingin menikahi perempuan lain. Aku tidak masalah jika Farel belum mencintai aku. Tapi, tidak ada perempuan yang ingin diduakan oleh suaminya. Aku pikir dulu Farel menerima aku karena dia mencintai aku, ternyata selama ini aku salah.
"Maaf Nek, aku menikah dengan Sandra karena saat itu aku sedang marah dengan Dewi. Aku pikir Dewi akan melarang aku menikah sama perempuan lain. Terus dia akan menggagalkan pernikahan itu. Tidak tahunya, Dewi malah ketiduran," ujar Farel dengan polos.
Aku kaget mendengar jawaban Farel. Aku tidak menyangka jika suami aku sebodoh itu. Pantesan saja dia bisa dengan mudah ditipu oleh perempuan bermuka ular itu. Siapa lagi kalau bukan Dewi.
"Jadi kamu menikah dengan Sandra hanya main-main?" tanya nek Ningsih tidak percaya.
"Bukan begitu Nek. Aku hanya ingin Dewi cemburu. Sekarang Dewi sudah kembali kepadaku. Aku ingin menikah dengan Dewi juga," kata Farel dengan cepat.
Mataku beralih kepada Dewi. Aku tahu jelas perempuan seperti apa Dewi itu. Dewi adalah perempuan yang sangat matre. Dia hanya mementingkan uang saja. Aku yakin jika dulu dia hanya bermain-main dengan Farel. Setelah tahu Farel anak orang kaya, makanya dia mau kembali untuk Farel. Tapi dari mana dia tahu. Farel sudah menyamar sebagai pekerja kantoran biasa. Pasti ada yang membocorkan rahasia itu.
Farel menyamar sebagai orang biasa supaya bisa menilai orang yang benar-benar ingin bekerja. Kata nek Ningsih sekalian menggeserkan para hama yang korupsi dan makan gaji buta. Bulan depan baru dia akan diumumkan sebagai bos perusahaan. Biar orang juga tahu jika Farel adalah pekerja keras. Sekarang yang mengurus perusahaan adalah orang kepercayaan nek Ningsih.
"Nek, kami mohon," mohon Farel.
"Iya Nek, aku sangat mencintai Farel. Tolong restui hubungan kami," sambung Dewi.
"Tidak, pokoknya Nenek tidak setuju. Kalau kalian menikah bagaimana dengan Sandra," tolak nek Ningsih.
Aku lega nek Ningsih menolak permintaan Farel. Jika nek Ningsih setuju, aku lebih baik berpisah dengan Farel. Aku tidak mau satu rumah dengan Dewi. Dewi pasti akan menguasai semua dan membully aku seperti dulu. Aku tidak mau kejadian dulu terulang lagi. Aku bahkan ingin balas dendam atas perbuatan Dewi.
"Nek, Farel mohon. Farel akan melakukan apapun."
"Dewi juga akan melakukan apapun asalkan Nenek merestui kami. Aku sungguh-sungguh mencintai Farel. Nenek sudah memberi restu sudah cukup. Aku tidak peduli dengan harta Farel. Hidup di jalanan dengan Farel, aku juga rela."
Cih, akting Dewi semakin lama semakin bagus. Kalau aku tidak mengenal dia, pasti aku sudah percaya. Aku tidak boleh kalah. Aku tidak mau Dewi merebut Farel dari aku. Farel terlalu baik untuk Dewi.
"Nek, …."
"Kalian akan melakukan apapun?" tanya nek Ningsih memotong permohonan aku.
"Kami akan melakukan apapun Nek," sahut Farel cepat tanpa menutupi rasa senangnya.
"Aku juga akan melakukan apapun Nek," sambung Dewi.
"Baiklah kalau begitu. Aku setuju kalian berdua menikah," jawab nek Ningsih.
Hatiku berdetak kencang mendengar perkataan nek Ningsih. Aku tidak percaya jika nek Ningsih akan merestui hubungan mereka berdua untuk menikah. Apa sebenarnya nek Ningsih hanya kasihan kepada aku. Kenapa nek Ningsih mau menerima hubungan mereka berdua. Pernikahan kami masih seujung jagung. Apa nanti aku akan bercerai dengan Farel. Banyak sekali pertanyaan yang muncul di benakku yang tidak berani aku lontarkan.
"Kalian berdua boleh menikah. Tapi dengan dua syarat," ujar nek Ningsih.
Aku tidak sanggup lagi mendengar perkataannya. Rasanya aku ingin lari dari simi.
"Apa Nek?" tanya mereka berdua dengan semangat.
"Syarat pertama, kalau kalian menikah, Sandra tetap menjadi istri Farel dan kamu menjadi istri kedua."
Aku mantap Farel dan Dewi saling bertatap. Aku yakin kalau Dewi sebenarnya keberatan. Tapi dia tetap setuju. Aku sedikit lega saat Farel setuju tidak bercerai denganku. Artinya aku ada harapan di hatinya.
"Untuk syarat kedua, semua harta warisan yang kamu punya akan menjadi milik Sandra kalau kamu tetap ingin menikah dengan Dewi. Termasuk perusahaan, hotel, rumah ini dan sertifikat lainnya," final nek Ningsih.
Aku menatap nek Ningsih dengan tidak percaya. Begitu pula dengan Farel dan Dewi. Kami sama-sama kaget mendengar persyaratan nek Ningsih yang cukup gila.
Bersambung ….
Bab 2. Perjanjian
Aku beralih menatap Dewi dan Farel. Farel terlihat senang. Sepertinya kehilangan harta bagi dia tidak masalah asal bisa menikah dengan Dewi. Tipe bucin tingkat akut yang tidak ada obatnya. Aku heran bagaimana kehidupan Farel saat sekolah. Aku yakin jika dia sering dimanfaatkan orang.
Kemudian aku beralih ke arah Dewi. Wajah yang ditunjukkan oleh Dewi seakan matanya mau keluar. Aku yakin kalau Dewi tidak akan setuju. Mana mau orang matre menikah dengan orang yang tidak memiliki harta lagi.
Tapi dibanding itu semua, aku tidak tahu kenapa nek Ningsih memilih syarat seperti itu. Syarat itu bisa merugikan mereka jika aku jadi penghianat dan membawa kabur semua harta itu.
"Kalian setuju?"
"Iya, aku setuju," sahut Farel.
"...."
"Kamu setuju kan sayang. Tadi kamu bilang kamu akan mencintai aku apa adanya. Kamu mencintai aku bukan karena harta kan? Jadi kamu tidak apa-apa kalau aku akan kehilangan semuanya," tanya Farel beralih ke Dewi.
Dewi hanya diam. Dia belum menjawab apapun. Mana mungkin dia akan bilang jika dia hanya mau harta saja. Yang ada penjara akan penuh dengan penjahat.
"Kenapa kamu diam. Apa kamu hanya ingin harta cucuku saja?"
"Sayang?" tuntut Farel.
"Iya sayang, aku mencintai kamu apa adanya," sahut Dewi terpaksa.
Aku bisa melihat senyuman dan raut wajah Dewi yang terpaksa. Rasanya ada rasa puas melihat Dewi yang tersenyum paksa seperti itu.
"Kalau kalian setuju dua syarat dari Nenek. Nenek akan segera mengurus surat kepemilikan semua harta. Kalian siapkan saja surat nikah. Nenek tidak mau ada acara pesta."
"Tidak ada acara?"
"Iya, saat Farel dan Sandra menikah juga hanya acara biasa. Tidak ada pesta," ujar nek Ningsih.
Memang benar, aku dan Farel tidak melakukan pesta, hanya akad saja. Farel tidak mau ada acara mewah. Katanya dia tidak suka pesta. Aku tahu jika itu hanya alasan Farel agar hubungan kami tidak tersebar luas. Dia masih ingin agar Dewi yang menjadi istri dia.
"Kita menikah saja sudah cukup kan sayang. Yang penting kita sah," bujuk Farel.
"I … iya. Yang penting sah," jawab Dewi kaku.
"Setelah surat penyerahan harta kamu tandatangani, baru Nenek akan merestui pernikahan kalian."
"Tenang saja Nek. Besok Farel akan membawa surat pernikahan kami."
"Sandra, tolong antar Nenek ke kamar ya. Nenek mau istirahat. Nenek capek," pinta Nek Ningsih.
Aku mengantar nek Ningsih ke kamarnya. Aku masih lihat Dewi yang menatap tajam ke arahku. Seolah semuanya adalah salahku.
***
'Sial, kenapa semua jadi seperti ini. Kalau begini sama saja aku menikahi gembel. Dulu aku mengira jika Farel hanyalah anak pegawai kantoran biasa, makanya aku tidak terlalu serius berhubungan dengan dia. Setelah dia menikah, baru aku tahu jika dia hanya menyamar sebagai karyawan biasa. Sekarang saat dia mau menikahi aku, malah semua harta warisan diberikan ke Sandra. Awas saja kamu Sandra, aku akan merebut kembali semua harta itu. Pokoknya semua harta itu harus menjadi milikku,' batin Dewi.
"Dewi, kamu tidak apa-apa kan?" tanya Farel cemas melihat Dewi yang seperti tertekan.
"Aku tidak apa-apa Farel. Tapi apa kamu tidak masalah kalau semua harta kamu diberikan untuk Sandra?"
"Aku tidak masalah Dewi. Yang penting, aku tetap bisa bersama dengan kamu," sahut Farel.
"Tapi bagaimana jika perempuan itu jahat. Dia akan menguasai seluruh harta kamu. Bisa-bisa kamu dan nenek kamu diusir. Kamu harus waspada Farel," hasut Dewi.
"Dewi, Sandra bukan perempuan seperti itu. Dia adalah penyelamat nenek aku. Kalau dia mau, dia sudah meminta uang tebusan sejak dulu," kata Farel tidak setuju dengan Dewi.
"Farel, kamu percaya sama aku. Dia …."
"Aku percaya sama kamu Dewi. Makanya aku sangat mencintai kamu. Sekarang aku sudah cukup senang kita bisa menikah. Ayo kita urus surat pernikahan kita," ajak Farel menarik tangan Dewi.
Dewi tidak akan membiarkan harta itu jatuh kepada Sandra. Dia berjanji akan membuat hidup Sandra sengsara, seperti saat mereka sekolah dulu. Da sangat yakin kalau dia dengan mudah bisa menyabotase harta itu. Dia akan menjadi orang yang kaya raya. Dia bersyukur ada 'temannya' di kantor yang mengetahui status Farel yang sesungguhnya.
'Tidak apa, yang penting sekarang aku menikah dulu dengan Farel. Kalau kami sudah menikah, aku akan mengambil alih semua harta itu. Setelah semua harta itu aku dapatkan, aku akan mengusir Farel, Sandra dan juga nenek tua itu,' batin Dewi dengan percaya diri.
Dewi sangat percaya diri bisa menaklukan Sandra. Tapi Sandra yang sekarang bukanlah Sandra yang dulu. Dia sudah berbeda.
Sekarang kehidupan mereka akan terbalik. Jika dulu Dewi di atas, maka sekarang Sandra yang akan di atas.
***
Keesokan paginya Farel telah menyiapkan semua dokumen pernikahan mereka. Nek Ningsih juga sudah menyiapkan semua dokumen peralihan harta. Di sana juga ada ada pengacara yang mengesahkan dokumen tersebut. Beserta sekretaris nek Ningsih, Hasballah yang sering di panggil sekretaris Has.
Sandra menatap Farel yang langsung menandatangani dokumen tersebut tanpa membaca lagi. Kemudian matanya beralih ke Dewi. Mata mereka beradu, Dewi menatapnya dengan tajam dan meremehkan. Seolah-olah dia yang akan menjadi penguasa di rumah itu.
Sandra menatap Dewi dengan datar. Dia teringat kembali dengan perkataan nek Ningsih akan selalu berada di sampingnya. Nek Ningsih bilang kalau dia harus bersikap tegas, jangan mau kalah dari Dewi untuk mendapatkan Farel dari wanita ular itu.
Sekarang kehidupan mereka akan saling berhubungan. Siapa yang akan bertahan dia yang akan menang.
Bersambung ….
Bab 3. Jangan mau kalah
Beberapa saat setelah Farel dan Dewi meminta restu.
Sandra menuntun nek Ningsih ke dalam kamarnya. Dia mendudukkan nek Ningsih pada kasur, tempat yang biasa digunakan untuk tidur. Ketika dia ingin menaikkan kaki nek Ningsih agar bisa segera tidur, tapi nek Ningsih menolaknya.
"Ada apa Nek?" tanya Sandra heran.
"Nenek tidak capek. Nenek tidak mau tidur dulu," jawab nek Ningsih.
"Bukannya tadi Nenek katanya mau tidur?"
"Itu hanya alasan Nenek saja. Nenek tidak mau lama-lama di sana."
"Oh begitu," kata Sandra sedikit menghindar tatapan nek Ningsih.
Sandra masih kecewa dengan keputusan nek Ningsih yang merestui hubungan Farel dan Dewi barusan. Besok Farel, suaminya akan menikah lagi. Dia akan dimadu oleh orang yang sering menyakitinya.
"Kamu kenapa Sandra? Apa kamu marah sama Nenek?" tanya nek Ningsih khawatir.
Nek Ningsih telah menganggap jika Sandra adalah bagian dari keluarganya. Tidak ada bedanya dia dan Farel. Mereka berdua sama-sama cucunya.
"Maaf jika Sandra egois. Sandra tidak bisa …," kata Sandra berkaca-kaca ingin menangis. Dia tidak bisa meneruskan kata-katanya. Ada perasaan sesak di dada.
"Sudah jangan sedih. Nenek tahu, pasti kamu tidak rela jika Farel menikah dengan Dewi. Nenek juga tidak akan merestui mereka," ujar nek Ningsih.
"Kalau Nenek tidak merestui mereka, kenapa Nenek setuju?" tanya Sandra tidak mengerti dengan jalan pikiran nek Ningsih.
"Sandra, Nenek sudah tahu bagaimana sifat Farel. Dia tidak akan mau mendengarkan Nenek sekarang. Nenek sekali melihat Dewi langsung tahu bagaimana dengan kepribadian dia. Dia hanya menginginkan harta milik Farel. Oleh karena itu, Nenek sengaja membuat syarat kalau Farel mau menikah dengan Dewi maka semua harta dialihkan kepada kamu. Nenek tidak mau Dewi mengambil semua harta milik Farel," terang nek Ningsih.
"Apa Nenek tidak takut kalau Sandra akan membawa kabur semua harta itu?" tanya Sandra masih tidak percaya dengan pilihan nek Ningsih.
Nek Ningsih tersenyum lembut. Dia sangat percaya kepada Sandra, bahkan lebih percaya daripada Farel cucu kandungnya. Cucunya sangat baik, saking baiknya dia sering dibodohi oleh teman-temannya.
Rencananya, bulan depan Farel akan resmi diumumkan sebagai bos baru perusahaan. Jika Farel masih ada hubungan dengan Dewi, maka Sandra yang akan menjadi pemimpin dibantu dengan orang kepercayaan dia. Dia tidak akan memberikan kesempatan buat Dewi untuk menikmati harta milik keluarga mereka.
"Nenek percaya sepenuhnya sama kamu, Sandra."
"Terus bagaimana dengan Farel nanti?"
"Kamu dengarkan Nenek, jika terjadi sesuatu sama Nenek, maka …."
"Nenek jangan berkata seperti itu," potong Sandra tidak suka.
"Dengarkan Nenek dulu. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi kedepan. Jika nanti Nenek tidak ada di sini, tolong jaga Farel. Jika dia bercerai sama kamu, maka ancam dia dengan harta itu. Kalau tidak mau dengar terserah kamu mau apa dengan harta itu, tapi jangan berikan ke Dewi satu sen pun. Nenek tahu, kamu bisa menggunakan semua harta itu dengan baik. Kalau Farel tetap bersama dengan kamu dan berpisah dengan Dewi, maka kamu bisa mengembalikan sebagian harta untuk dia. Sebagian lagi untuk kamu. Hanya kamu yang Nenek akui sebagai cucu menantu di rumah ini," terang nek Ningsih.
"Ini terlalu berat buat Sandra, Nek," tolak Sandra.
"Nenek melakukan ini juga untuk kamu."
"Maksudnya Nenek?"
"Kalau Nenek menolak merestui hubungan Dewi sama Farel, Farel akan membeci kamu. Nenek tidak mau itu terjadi. Farel Harus melihat sendiri bagaimana sifat Dewi yang sesungguhnya."
"Tapi Nek, Dewi itu orang yang pernah membully aku," kata Sandra.
Nek Ningsih kembali mengingat cerita Sandra. Sandra banyak menceritakan masa lalu kepada nek Ningsih. Nek Ningsih yang meminta sendiri. Dia ingin mengenal Sandra lebih dalam. Dia tidak menyangka jika Dewi akan datang dalam kehidupan Sandra sekali lagi.
"Bukankah itu bagus-bagus," ujar nek Ningsih.
"Maksud Nek Ningsih?" tanya Sandra tidak mengerti.
"Kamu bisa menggunakan kesempatan ini untuk membalas perbuatan Dewi," usul nek Ningsih bersemangat.
"Membalas Sandra?"
"Kamu bisa menggunakan kesempatan ini untuk membalas perbuatan Dewi. Sekarang dia tidak bisa semena-mena sama kamu. Kamu akan menjadi pemilik rumah ini. Kamu lah yang berkuasa selain perintah dari Nenek. Dia tidak bisa seenaknya saja sama kamu. Dia hanya akan menjadi istri dari seorang pegawai kantoran biasa selama dia menjadi istri Farel. Nanti lama-lama dia akan bosan dan minta bercerai dengan Farel saat dia tidak mendapatkan apapun. Saat itu, kamu harus terus berada di samping Farel. Dia akan luluh dengan kebaikan kamu suatu saat. Percaya deh sama Nenek," usul nek Ningsih.
"Kalau Dewi lebih galak bagaimana Nek. Matanya sangat tajam. Seperti ini ni," terang Sandra menarik mata ingin menyerupai mata Dewi.
"Hahaha …. Kamu sangat lucu, Nak. Kamu tinggal lebih galak daripada Dewi. Pokoknya kamu jangan mau kalah. Tunjukin sama Dewi kalau kamu istri yang lebih baik daripadanya di depan Farel. Kamu jangan seperti istri di tivi-tivi yang suka ditindas," kata nek Ningsih memberikan semangat.
"Nenek, Sandra sangat berterima kasih. Sandra janji akan berusaha membuat Farel lebih sayang sama Sandra daripada sama Dewi. Sandra akan menjadi istri yang lebih baik. Sandra tidak akan kalah dari Dewi mulai sekarang," ujar Sandra memeluk nek Ningsih.
"Nah, gitu dong. Ini baru cucu Nenek," puji nek Ningsih.
Nek Ningsih mengelus punggung kecil Sandra. Sekarang dia lebih tenang meninggalkan Farel sama Sandra. Cucunya sudah ada yang menjaga. Jika dia pergi, dia akan lebih tenang.
Bersambung ….
Bab 4. Kepergian Nek Ningsih
Beberapa hari setelah Dewi dan Farel sudah resmi menjadi suami istri. Nek Ningsih benar-benar pergi meninggalkan Sandra sendiri dengan sangat cepat. Dia pergi sesuai perkataannya.
Sekarang Farel juga masih bekerja sebagai pegawai kantoran biasa. Dia hanya menerima gaji layaknya pegawai rendahan. Semua kartu kredit dia sudah ditarik kembali oleh nek Ningsih. Farel menyerahkan semua itu mau tidak mau. Semua dipegang oleh Sandra.
Lain Farel lain Dewi, Dewi sama sekali tidak rela. Dia akan tetap bertahan karena yakin jika semua itu hanya akalan nenek Farel saja. Farel dan Dewi tetap tinggal satu rumah dengan Sandra. Dewi tidak mau tinggal di kontrakan. Dia percaya kalau harta Farel tidak mungkin diserahkan semuanya untuk Sandra. Apalagi dia sudah mendapatkan info, sebulan lagi Farel akan dilantik menjadi bos baru di perusahaan. Dengan begitu, Dewi akan bisa menguras harta Farel. Dia harus bertahan selama sebulan saja. Setelah itu dia bisa menyingkirkan Sandra.
***
Saat ini Sandra sedang duduk sendirian di sofa ruang tamu. Waktu masih pagi, tapi dia dalam suasana kurang baik. Dia menatap foto nek Ningsih dengan tidak rela. Dia rasanya ingin ikut nek Ningsih pergi saja.
"Kamu ngapain di sini," kata Dewi menghampiri Sandra.
Sandra menghapuskan air matanya yang mengalir. Dia tidak mau terlihat lemah di depan Dewi. Dia sudah janji dengan nek Ningsih sebelum nek Ningsih pergi. Dia akan menjadi perempuan yang kuat.
"Terserah aku dong," sahut Sandra memeluk bingkai foto nek Ningsih.
"Buat apa sih, kamu menangis kepergiannya. Kamu hanya bikin bising saja, tahu nggak," kata Dewi tidak suka.
"Memangnya kenapa kalau aku menangisi kepergian nek Ningsih. Dia seperti nenek aku sendiri," sahut Sandra berdiri dari duduknya.
"Dewi, Sandra, ada apa ini?" tanya Farel mendekat ke arah kedua istrinya.
"Farel," panggil Sandra.
"Sayang, kamu sudah di sini," kata Dewi dengan manja dan memeluk lengan Farel.
"Sayang, masak dari tadi Sandra masih menangisi kepergian nenek kamu. Nenek kan sudah pergi beberapa hari yang lalu," lapor Dewi.
"Kamu kenapa masih menangisi kepergian nenek?" tanya Farel balik.
"Aku sedih dengan kepergian nenek. Ini baru tiga hari saja aku sudah rindu. Memangnya kamu tidak rindu Farel?" tanya Sandra balik.
"Halah Sandra, kamu jangan lebay. Nenek itu hanya pergi jalan-jalan. Kamu jangan sok dramatis," sahut Dewi malas.
Ya, itu benar. Nek Ningsih tiga hari yang lalu pamit pergi jalan-jalan. Dia ingin pergi ke keliling dunia bersama teman-temannya. Dia akan pulang sebulan kemudian. Sebelum pelantikan bos baru di perusahaan.
"Iya Sandra, nenek sudah tiga hari pergi. Kamu kenapa masih menangis sampai sekarang. Dia sudah biasa jalan-jalan keliling dunia dengan temannya. Kamu jangan khawatir sama nenek," sambung Ansel.
"Bagi Sandra itu sudah lama. Kenapa juga nenek hobinya keliling dunia. Nenek kalau di rumah sering mengeluh sakit. Kalau temannya ajak keliling dunia, dia langsung sembuh," komplain Sandra.
"Kamu ini ada-ada saja. Ayo kita sarapan pagi. Kamu tidak perlu khawatir sama nenek. Kalau nenek sudah lelah dia akan pulang sendiri," kata Farel yang sudah biasa ditinggal sendiri.
Farel sudah hidup berdua bersama neneknya sejak kecil. Orang tuanya sudah meninggal karena kecelakaan. Nek Ningsih yang selalu memberikan dia apapun. Nek Ningsih bagaikan nenk, ibu dan ayah bagi Farel sekaligus.
Farel meninggalkan mereka berdua di ruang tamu. Dia menuju ke ruang makan.
Dewi memberikan tatapan sinis kepada Sandra sebelum dia pergi menyusul Farel. Kemudian dia menggandeng tangan Farel, bukti kalau dia adalah istri kesayangan di rumah itu.
Sandra meletakkan bingkai foto nek Ningsih kembali di atas meja. Dia juga menyusul mereka berdua. Dia tidak akan membiarkan Dewi berduaan saja sama Farel. Sekarang pertempuran mereka akan dimulai.
Bersambung ….
Bab 5. Sarapan Pagi
Sandra sebelum ke ruang makan pergi ke dapur dulu. Dia akan mengambil makanan yang telah dia siapkan untuk Farel. Tangannya meletakkan sarapan pagi berupa nasi goreng dengan telaten. Setelah semua selesai ditata rapi di atas meja, Sandra duduk di sebelah kanan Farel. Sedangkan di sebelah kiri duduk Dewi.
"Lho, kok hanya ada dua piring. Buat aku mana, Sandra?" tanya Dewi tidak kebagian piring.
"Kamu kan masih sehat. Kamu bisa ambil piring sendiri di dapur," sahut Sandra.
Sandra meneruskan kegiatannya. Dia menaruh nasi goreng dan lauk pauk ke dalam piring Farel.
"Kenapa kamu tidak sekalian ambil piring buat aku," protes Dewi.
"Dewi, aku ini bukan pembantu kamu. Kamu ini istri kedua Farel. Seharusnya kamu lebih menghormati aku sebagai istri pertama Farel. Sudah untung aku mau masak lebih buat kamu. Kamu itu harus bersyukur. Kamu sebagai seorang istri hanya tahu mengurus diri. Kamu juga masak buat suami kamu dong," tegur Sandra.
"Benar apa yang dibilang Sandra, Dewi. Kamu seharusnya juga belajar masak seperti Sandra. Aku juga ingin kamu yang melayani aku," sahut Farel.
"Kenapa kamu jadi membela dia Farel?"
"Aku tidak membela salah satu di antara kalian. Bagi aku kalian sama saja. Aku hanya ingin kamu menjadi istri yang baik seperti Sandra."
'Kenapa aku jadi dibandingkan sama Sandra. Mana mau aku kerja seperti pembantu gini,' batin Dewi tidak suka.
"Sudahlah, aku sudah tidak ada nafsu makan. Kalian makan berdua saja. Nasi goreng murahan begini tidak sesuai dengan selera aku," hina Dewi dan pergi begitu saja.
"Sandra, kamu maklumi Dewi ya. Dia orang baik kok. Moodnya memang sering berubah seperti itu. Kamu jangan pikirin Dewi lagi ya," bujuk Farel agar Sandra tidak tersinggung.
'Buat apa aku capek-capek mikirin dia. Aku sudah tahu semua seluk beluknya.'
"Tidak apa Farel, sekarang kamu makan ya. Nanti kamu bisa terlambat ke kantor. Soal Dewi tenang saja, Dewi itu teman aku juga. Aku sudah tahu sifatnya. Seperti yang kamu bilang, palingan dia nanti sudah baikan sendiri," sahut Sandra dengan lembut.
"Baiklah, kamu sangat baik dan perhatian. Dewi memang perlu banyak belajar sama kamu."
Farel melanjutkan sarapan paginya. Dia bisa terlambat kalau telat. Setelah Farel selesai sarapan pagi, dia segera ingin pergi ke kantor. Dia takut terlambat karena macet. Apalagi dia hanya pergi menggunakan taksi agar orang kantor tidak curiga.
***
Dewi dan Sandra sudah berdiri di depan pintu rumah untuk mengantar kepergian Farel. Ketika taksi sudah datang, Dewi mendorong Sandra supaya dia duluan yang mengucapkan kata semangat untuk Farel ke kantor.
Sandra menahan emosi di depan Farel. Dia hampir saja terjungkal kalau reflek dia tidak bagus.
"Sandra, kamu tidak apa-apa?" tanya Farel khawatir.
Farel melepaskan tangan Dewi. Dia tadi tidak melihat Dewi mendorong Sandra.
"Tidak apa-apa Farel. Tadi aku hanya salah langkah saja," sahut Sandra memasang senyuman agar Farel tidak curiga.
"Kamu yang hati-hati dong, Sandra. Masak jalan saja hampir jatuh," ejek Dewi.
"Dewi, kamu tidak boleh begitu. Sandra hampir terluka," tegur Farel.
'Masak bodoh. Sekalian saja dia mampus.'
"Kalian berdua hati-hati di rumah. Aku berangkat ya," pamit Farel.
Sandra segera mencium tangan Farel sebelum pergi. Setelah itu baru Farel berangkat kerja.
Setelah kepergian Farel, Dewi langsung masuk ke dalam rumah.
"Bi! Bi Ijah!" teriak Dewi dengan keras memanggil salah satu pekerja di rumah mereka.
Sandra mengikuti Dewi dari belakang. Dia sedikit kaget dengan suara Dewi yang sangat keras. Suara Dewi menggema seperti menggunakan toa masjid.
"Bi Ijah!" teriak dewi lagi lebih keras.
Sandra segera menutup daun telinga. Dia tidak mau pergi ke dokter THT.
"Dewi, ini bukan hutan. Kamu jangan teriak-teriak," tegur Sandra.
"Itu terserah aku dong. Aku mau teriak kek, mau lompat-lompat ya terserah aku. Mulut-mulut aku," kata Dewi meremehkan Sandra.
"Susah ya kalau ngomong sama monyet," ujar Sandra geleng-geleng kepala.
"Apa? Kamu mau menyamai aku dengan monyet? Kamu mau menghina aku?" tanya Dewi dengan marah.
Dewi tersinggung dengan perkataan Sandra. Baru kali ini ada yang mengatakan jika dia mirip monyet. Semua orang selama ini selalu memuji kecantikannya bagaikan seorang Dewi kayangan.
"Kamu sendiri yang teriak-teriak tidak jelas dan mau lompat-lompat. Itu kan sama seperti monyet," sahut Sandra bersikap cuek.
"Kamu udah berani sama aku, heh."
Bersambung ….
Bab 6. Jalan-jalan
"Kamu udah berani sama aku, heh."
"Kenapa aku takut sama kamu. Sekarang aku istri pertama dan kamu istri kedua," sahut Sandra menantang Dewi.
"Kamu jadi istri pertama saja bangga. Kamu harus ingat, perempuan yang dicintai Farel itu adalah aku bukan kamu. Farel nikah sama kamu gara-gara dia ingin membuat aku panas saja. Kamu jangan sombong deh," sindir Dewi.
Sandra meremas kedua tangannya. Memang benar apa yang dikatakan oleh Dewi. Tapi dia tidak boleh kalah dari Dewi seperti saat sekolah. Sekarang dia ada yang berkuasa di rumah ini.
"Ada apa sih, teriak-teriak tidak jelas. Kek di dalam hutan saja," kata bi Ijah mendekat ke arah mereka berdua.
"Kamu ke sini," panggil Dewi kasar.
"Eeiiit … kamu siapa berani bersikap kasar," sahut bi Ijah tidak terima.
"Kamu berani melawan aku, hah!" bentak Dewi.
"Memangnya kamu siapa di sini. Tuan rumah juga bukan," ujar bi Ijah tidak takut.
"Aku ini istri Farel. Jadi otomatis aku juga pemilik rumah ini."
"Ini aku yang pikun atau kamu yang sudah pikun. Rumah ini kan milik Nyonya Sandra. Jadi selain Nyonya Sandra memerintahkan aku, aku tidak peduli. Kamu tidak berhak menyuruh-nyuruh aku," sahut bi Ijah cuek.
"Kamu lancang sekali. Awas saja kamu, aku akan menyuruh Farel untuk memecat kamu," ancam Dewi.
"Memangnya Farel bisa memecat Bi Ijah. Asal kamu tahu, selain nek Ningsih hanya aku yang berkuasa di rumah ini. Kamu harus ingat, rumah ini telah menjadi milik aku. Jadi kamu jangan bersikap kasar. Aku bisa kapan saja mengusir kamu," Ancam Sandra balik.
"Awas aja kamu Sandra. Kalau Farel akan menjadi bos baru di perusahaan, semua akan menjadi milik Farel kembali. Saat itu aku yang akan mengusir kamu dari rumah ini," balas Dewi.
Dewi sangat yakin jika harta itu akan kembali kepada Farel suatu saat. Dia hanya menganggap jika nek Ningsih hanya mengancam Farel saja. Mana ada orang yang mau menyerahkan semua harta untuk orang lain.
Dewi yang sangat emosi segera pergi ke kamar. Dia menyiapkan barang-barangnya untuk pergi dari rumah itu. Mending dia belanja dan menghabiskan waktu bersama teman-temannya.
"Bi," panggil Sandra dengan bergetar setelah Dewi pergi.
Sandra baru pertama kali dengan tegas melawan Dewi. Tubuhnya masih belum terbiasa. Dia langsung duduk dengan lemas.
"Nyonya, Nyonya jangan takut. Pokoknya hanya Nyonya yang Bi Ijah akui sebagai Nyonya di rumah ini. Bi Ijah tidak akan pernah mau mengikuti perintah wanita ular itu," kata bi Ijah membantu Sandra berdiri.
Sandra segera duduk di sofa dengan bantuan bi Ijah. Bukan hal mudah baginya untuk bersikap tegas. Dia lebih sering dimarahi daripada memarahi.
"Bibi akan selalu mendukung Nyonya Sandra. Di mana pun Nyonya berada, jangan kalah ya," pintanya.
"Terima kasih, Bi. Bibi tenang saja, Sandra akan tetap kuat. Sandra tidak boleh kalah sama Dewi."
"Gitu dong Nyonya. Nyonya yang semangat. Jika wanita itu berbuat kasar sama Nyonya, Nyonya laporin saja sama Bibi. Biar Bi Ijah yang hadapin," kata bi Ijah memukul dadanya.
Sandra tersentuh dengan bi Ijah. Sekarang Sandra tidak lagi sendiri lagi. Dia ada yang membela. Tidak ada yang perlu ditakutkan sekarang. Dia harus berfokus untuk merebut hati suaminya, sebelum Farel benar-benar terjerat oleh Dewi.
***
Sandra menghabiskan waktu sorenya berjalan-jalan di mall. Dia ingin menikmati layaknya seorang miliarder. Sekarang dia bisa lihat-lihat dengan bebas tanpa takut merusak barang orang. Dulu dia paling anti ke mall. Dia dulu pernah tidak sengaja memecahkan barang pajangan orang. Mau tidak mau Sandra harus membayar barang yang telah dia rusak.
Sandra hanya berjalan sendiri. Dia belum ada teman sama sekali. Orang-orang yang dia kenal masih menganggap jika dia seorang gembel. Jadi buat apa dia mencari teman yang pilih-pilih berdasarkan status.
Sandra juga tidak mungkin mengajak bi Ijah. Bi Ijah masih ada banyak pekerjaan di rumah. Dia pergi hanya diantar oleh sopir pribadi nek Ningsih.
Sandra memutuskan membeli beberapa pakaian. Kali ini Sandra membeli baju yang layak untuk kaum sosialita. Dia tidak ada baju yang bagus sama sekali. Ini juga usulan atau perintah nek Ningsih sebelum pergi.
Sandra harus membeli baju yang bagus supaya Farel tidak bosan melihatnya. Penampilan adalah nomor satu. Dia juga tidak lupa membeli beberapa alat make up. Dia akan mencoba dandan untuk suaminya. Sekarang di tangan dia sudah banyak kantong belanjaan. Dia memutuskan untuk pulang saja. Dia sudah capek berkeliling dari tadi.
"Sandra! Sandra!"
Sandra melihat ke arah asal suara yang memanggilnya. Ternyata yang memanggilnya adalah Tika, salah satu sekolah teman sekolah dia. Tika juga sedang bersama Dewi dan dua teman lainnya, Anita dan Evi. Mereka berada di sebuah restoran tidak jauh darinya.
Dewi, Tika, Anita dan Evi, mereka berempat satu kelompok saat sekolah. Kelompok yang paling sering membullynya.
"Kamu ngapain di situ, Sandra. Kamu ke sini dong," panggil Evi.
"Masa kamu sombong sih, sama teman-teman kamu," sambung Tika.
"Iya dong Sandra, kamu jangan sombong," sambung Anita.
Mereka bertiga tertawa cekikikan. Mereka belum puas hanya membully Sandra saat sekolah. Sekarang mereka ingin membully Sandra lagi. Kapan lagi ada mainan bagus.
Di sisi lain, Dewi kaget melihat Sandra. Apalagi temannya memanggil Sandra. Bisa gawat jika Sandra membocorkan rahasianya.
Sandra menatap mereka berempat dengan ragu. Tapi keraguannya hilang saat melihat Dewi yang terlihat panik.
'Sebaiknya aku menghampiri mereka. Aku ingin tahu apa yang akan mereka lakukan lagi. Aku juga mau tahu Dewi berbohong lagi atau nggak kalau dia menikah dengan seorang pegawai kantoran biasa. Pasti dia mengaku menikah dengan orang kaya. Mana mungkin dia mengaku miskin. Sebaiknya, nanti aku mengaku miskin saja. Biar mereka terkejut saat tahu sendiri kalau aku sudah jadi seorang miliarder,' batin Sandra.
Bersambung ….
Bab 7. Menghina
"Sandra, sini dong," panggil mereka lagi.
Sandra mendekat ke arah mereka berempat. Dia meletakan tas belanjaan di dekat kakinya.
"Ayo duduk sini," suruh Tika.
Sekarang posisi duduk Sandra berhadapan dengan Dewi. Sedangkan Tika berhadapan dengan Evi dan Anita.
Dewi menatap Sandra dengan harap-harap cemas. Dia takut kalau Sandra akan menyinggung status mereka. Dewi tidak mau jika teman-teman tahu jika dia hanya istri kedua. Apalagi Sandra yang menjadi istri pertama. Martabat dia bisa jatuh.
"Terima kasih," ucapan Sandra setelah duduk dengan nyaman.
"Kamu ngapain di sini, Sandra? Apa hanya melihat-lihat saja?" tanya Tika memulai membully Sandra.
"Itu barang kamu banyak amat. Jangan bilang kamu habis dijajanin sama om-om lagi. Upss … maaf Sandra, aku keceplosan ya," hina Evi.
"Oh ini, ini barang punya nenek yang aku jaga kok," jawab Sandra tidak sepenuhnya berbohong.
"Aduh, kasihan sekali kamu. Kamu hanya belanja untuk nenek yang kamu asuh ya. Apa kamu jadi pembantu?" sahut Anita sambil tersenyum meledek.
Sandra mengabaikan semua perkataan mereka. Dia akan melihat sampai mana mereka akan membully nya. Dia akan langsung membalas semuanya nanti sekaligus. Apalagi Sandra sudah mengetahui suami Tika yang bekerja sebagai manager di perusahaan milik Farel. Dia bisa mengurusnya nanti.
Tika akan terkejut jika mengetahui kalau dia jadi pemilik perusahaan tempat suaminya bekerja. Sedangkan suami Evi dan Anita bekerja di cabang perusahaan milik keluarga Farel juga. Sandra ingin tahu bagaimana reaksi mereka sebulan lagi saat tahu jika dia sudah jadi miliarder.
"Iya, aku hanya bisa lihat-lihat tanpa bisa beli. Kan aku tidak punya uang," sahut Sandra melirik ke arah Dewi.
"Nasib kamu memang jelek dari dulu Sandra. Persis seperti wajah kamu," ujar Evi.
"Apa kamu mau aku kenalin sama om aku. Dia sudah ada istri sih, tapi dia pasti akan tertarik sama kamu. Kamu bisa jadi simpanan om aku. Hitung-hitung buat permak muka kamu. Haha ….," kata Tika dengan bangga.
"Tika, bukannya om kamu sudah berumur lima puluh tahunan ya. Kamu bisa saja menjodohkan om kamu sama Sandra," sahut Anita.
"Tidak apa kalau tua Sandra. Yang penting kamu bisa dapat uang, ya nggak."
Sandra bersabar dengan tiga teman Dewi yang terus memojoknya. Sekarang matanya beralih ke arah Dewi. Dewi menatapnya dengan takut-takut. Dia sama sekali tidak berani bersuara.
"Apa yang kamu lihat Sandra. Oh kamu melihat kalung baru Dewi ya," kata Tika yang salah mengartikan arah pandang Sandra.
Mata Sandra beralih ke arah kalung yang dipakai oleh Dewi. Dia tadi tidak melihat kalung yang dipakai dewi kalau Tika tidak menyinggungnya.
"Kalung Dewi itu keluaran baru. Dia baru membelinya berapa hari yang lalu. Katanya Dewi berhasil menikah dengan calon pemilik perusahaan nomor satu di kota kita. Calon istri bos baru," ujar Tika sang ember.
Dewi segera menutup kalungnya agar tidak dilihat oleh Sandra. Tapi Sandra sudah duluan melihat kalung itu. Dewi jadi semakin berkeringat dingin.
"Kalungnya bagus. Berapa harganya Dewi?" tanya Sandra menatap Dewi dengan datar.
"Ini … ini tidak mahal kok," dalih Dewi.
"Aduh Dewi, kamu jangan malu-malu gitu. Tidak apa kalau Sandra tahu harga kalung itu. Dia pasti tidak akan mampu membelinya."
"Kasih tahu aja Dewi, biar Sandra tidak bisa tidur mikirin harga kalung kamu."
"Sandra … Sandra tidak perlu tahu harganya kan. Ini hanya imi …."
"Harganya itu tujuh puluh lima juta," potong Tika.
Dewi rasanya ingin menenggelamkan Tika di air comberan. Mulut Tika tidak ada saringan sedikit pun. Dia sudah masih matian berusaha agar Sandra tidak mengetahui harganya. Dia bahkan berniat bilang jika itu hanya kalung imitasi. Dia takut jika Sandra tahu asal usul kalung itu.
"Enak bener jadi kamu ya Dewi. Kamu bisa mendapat kalung semahal itu dari suami kamu. Sedangkan aku tidak dibelikan apapun oleh suami aku," ucap Sandra dengan berpura-pura sedih.
Dewi semakin mati kutu. Katakata Sandra seperti ancaman baginya.
"Kamu sudah menikah, Sandra?"
"Iya."
"Siapa suami kamu?"
"Suami kamu pasti hanya buruh bangunan ya. Atau tukang kredit sapu keliling? Haha …."
"Suami aku bukan buruh bangunan," sanggah Sandra.
"Terus?"
"Suami aku hanya pegawai kantoran biasa."
"Kamu memang tidak pernah berubah Sandra. Miskin tetap miskin."
"Makanya, kamu setuju saja untuk menjadi simpanan om aku. Kan lumayan bisa buat tambahan uang belanja. Istri om aku sangat galak. Kamu hanya perlu jangan sampai ketahuan saja."
"Maaf Tika, tapi sekarang aku lagi berusaha untuk mempertahankan suami aku agar tidak diambil oleh perempuan lain," ujar Sandra dengan raut wajah sangat lelah.
"Apa? Suami kamu selingkuh?"
"Bukan selingkuh, dia menikah lagi dengan perempuan lain," sahut Sandra melirik ke arah Dewi.
'Gawat, jangan-jangan Sandra mau membocorkan rahasia aku. Aku tidak boleh membiarkan Sandra seperti ini,' batin Dewi sambil menggigit jari.
"Ya ampun, kasihan sekali nasib kamu. Kamu sudah menikah dengan orang miskin, diduakan lagi. Ckck," ujar Evi berdecak lidah senang.
"Kami doakan agar yang menjadi perempuan kedua itu digigit tikus sampai busuk," doa Anita tidak suka sama pelakor.
"Kalau aku diposisi kamu, aku sudah jambak rambut perempuan itu. Aku kutuk dia jadi cewek mandul. Sekalian saja burung suami aku, aku potong. Berani sekali dia menikah lagi," sambung Tika.
'Dasar teman setan. Beraninya kalian mengutuk aku. Mulai sekarang aku tidak mau berteman dengan kalian,' batin Dewi kesal.
Sandra menaikkan sebelah alisnya. Dia menatap heran dengan respon temannya. Tadi mereka dengan semangat menyuruh dia jadi simpanan. Sekarang mereka malah mengutuk perempuan perebut laki orang. Ternyata sejahat-jahatnya mereka, mereka juga tidak akan membela pelakor.
"Makanya, kamu cari suami seperti Dewi dong. Dia itu sudah menikah dengan anak calon bos di perusahaan nomor satu di kota ini. Dia begitu mencintai Dewi dan membelikan apapun yang diminta oleh Dewi," terang Evi.
"Benarkah?"
"Iya, bulan depan dia akan dilantik menjadi bos di perusahaan," sambung Tika yang sudah tahu bocoran dari sang suami.
"Wah Dewi, kamu dapat suami yang kaya raya ya. Bukan seperti aku yang hanya 'karyawan kantoran biasa'," kata Sandra dengan menekan kata karyawan kantor biasa.
"Bukan kok, suami aku hanya pegawai kantoran biasa," sanggah Dewi berkeringat dingin.
"Kamu jangan merendah seperti itu, Dewi. Susah loh, seorang calon bos menyamar jadi seorang manager. Suami aku juga salah satu manajer di kantor yang sama dengan suami kamu Dewi. Pasti mereka saling kenal."
"Bisa jadi," jawab Dewi gagap.
Dewi meraih minumannya. Temannya terlalu banyak bicara. Dia menyesal menceritakan tentang Farel yang ditambahkan dengan kebohongan. Dewi tidak mau jika temannya tahu jika Farel menyamar sebagai karyawan kantoran biasa, jadi dia bilang sama temannya sebagai manajer dan akan dilantik sebagai bos segera.
Padahal masalah itu masih rahasia perusahaan. Dewi takut jika kabar ini sampai ke telinga Farel dan nek Ningsih. Mereka pasti akan langsung mencium bau ada orang yang membocorkan rahasia perusahaan. Jika diselidiki lebih lanjut akan sangat merugikan dia.
Sandra kembali menatap Dewi. Dia ingin tahu seberapa banyak rahasia perusahaan yang diketahui oleh Dewi. Dia akan segera melaporkan masalah ini segera ke nek Ningsih. Masalah ini bukan lagi masalah kecil. Sudah ada tikus besar yang berkeliaran di kantor. Tidak rugi dia bergabung dengan Dewi.
Bersambung ….
Bab 8. Mengikuti Alur Dewi
"Sudah, kita lanjut saja makan sambil ngobrolnya. Sayang makanan jadi dingin," ujar Tika.
"Sandra, kamu tidak pesan makanan?" tanya Evi.
"Tidak deh, aku kan tidak punya uang. Mana sanggup aku beli makanan di restoran ini. Di sini makanannya mahal-mahal," sahut Sandra.
"Aduh kasihan banget sih kamu. Apa kamu mau ini saja. Ini makanan bekas aku. Aku baru makan tiga suap saja," ejek Tika.
"Nggak deh. Aku makan rumah saja," tolak Sandra dengan halus.
'Mana mau aku makan makanan bekas kalian. Kalian memang sudah sangat keterlaluan.'
"Ya Ampun Sandra. Sekarang nyari makan itu susah. Sudah capek-capek aku tawarin, kamunya malah nggak tahu terima kasih. Kalau kamu makan bekas aku, siapa tahu kamu bisa ketularan punya suami sukses seperti aku," ujar Tika pura-pura tersinggung.
'Ketularan sukses? Suami aku saja lebih hebat dari suami kamu. Yang ada aku ketularan penyakit kamu ya kali.'
"Tika ... Tika, kamu jangan seperti itu. Nanti suami kamu malah direbut sama si Sandra. Hihi …."
"Sandra rebut suami aku? Gayanya saja mana pantas sama suami aku. Dia itu bukan selera suami aku. Suami aku itu suka sama perempuan yang cantik dan seksi seperti aku," sahut Tika menyibak rambutnya.
"Hahaha …."
"Kamu bisa aja."
"Nanti beneran ada yang rebut baru tahu rasa kamu."
"Itu tidak mungkin terjadi," kata Tika yang akan kualat.
"Oh ya, Sekarang kamu tinggal di mana Sandra?" tanya Evi setelah puas menertawakan Sandra.
"Aku tinggal di kompleks A," jawab Sandra tanpa sadar.
Sandra keceplosan. Dia tidak berniat mengatakan di mana tempat sekarang dia tinggal. Komplek A adalah komplek yang hanya ada rumah mewah. Mereka pasti akan curiga jika orang seperti dia tinggal di sana.
"Itu kan komplek orang kaya."
'Aduh, bagaimana ini.'
"Bukan nya itu sama dengan tempat tinggal Dewi ya. Dewi, kamu tinggal di komplek A juga kan sama suami kamu?"
"Iya, aku juga tinggal di komplek A," sahut Dewi sedikit gugup.
'Kenapa Sandra malah ngomong tinggal di situ sih. Bisa curiga nanti mereka kalau aku dan Sandra ada hubungan.'
"Tunggu dulu, kayaknya aku pernah melihat Dewi dan Sandra masuk ke rumah yang sama. Jangan-jangan Sandra pembantu Dewi lagi," tebak Anita.
"Penampilan nya saja sudah pantas sebagai pembantu."
"Kenapa kamu diam saja Dewi. Jangan bilang kalau kamu perempuan yang dimaksud oleh Sandra yang merebut suaminya," kata Evi tepat sasaran.
"Nggak ... kok," sahut Dewi cepat dan sedikit gagap.
"Mana mungkin aku merebut suami orang. Suami aku itu sangat mencintai aku. Dia akan memberikan apapun untuk aku. Suami Sandra mana level sama aku," sambung Dewi dengan menghindar mata Sandra.
Sandra dari tadi menatap Dewi. Dia suka melihat Dewi yang ketakutan karena berbohong. Persis seperti tikus yang terjebak.
"Kamu jangan sungkan Dewi. Sandra memang teman kita. Tapi pembantu ya tetap pembantu. Aku lihat sendiri kamu menyuruh Sandra membawa barang kamu dua hari yang lalu dan masuk ke dalam rumah. Aku kira siapa, ternyata hanya pem … ban … tu," ejek Anita.
Sandra mengingat kembali kejadian dua hari yang lalu. Saat itu memang benar Dewi menyerahkan barang kepadanya. Dewi baru saja habis foya-foya dengan uang simpanan Farel. Oleh karena itu Sandra menyita semua barang itu. Dewi belanja masih menggunakan kartu cadangan milik Farel.
"Kalian jangan salah paham. Sandra di sana buat urus nenek Farel," sahut Dewi yang semakin membuat salah paham.
"Farel itu nama suami kamu kan. Jadi nenek yang dia maksud tadi nenek suami kamu. Dunia memang sempit ya."
'Aduh, kenapa semua jadi ribet gini.'
"Kalian …."
Dewi ingin meluruskan lagi supaya mereka tidak memojokkan Sandra lagi. Dia takut jika Sandra akan berkata dengan jujur.
"Sudah Dewi, kamu kenapa sih baik hati kek gini. Kamu segitu nya tidak mau cerita kalau Sandra jadi pembantu di rumah kamu. Kamu tidak perlu berbohong pada kami."
"Bukan, kalian …."
"Iya benar, aku sebenarnya pembantu di rumah Dewi," sahut Sandra memotong Dewi.
Dewi kaget dengan jawaban Sandra. Dia tidak menduga kalau Sandra akan menjawab seperti itu. Dia pikir Sandra akan mempermalukan dia di depan teman-temannya.
"Aku duluan ya. Aku lanjut keliling-keliling. Nanti kan aku harus kerja jadi pembantu lagi," pamit Sandra menekan kata pembantu.
Sandra langsung berdiri dari duduknya. Dia sudah menghabiskan banyak waktu dengan teman Dewi. Dia harus bertemu dengan orang kepercayaan nek Ningsih, sekretaris Has.
"Sandra, kamu yang sopan dong. Dewi ini majikan kamu. Masak kamu pergi begitu aja. Panggil Nyonya dong," tegur Tika.
"Nyonya Dewi," ledek Evi dan Anita.
'Kenapa mereka makin memancing Sandra sih. Gawat kalau Sandra marah beneran.'
"Iya Nyonya 'Dewi'. Sandra pergi dulu ya," pamit Sandra dengan senyum ramah.
Senyum Sandra langsung hilang setelah dia berbalik. Dia akan mengikuti permainan Dewi.
'Kita lihat, siapa kali ini yang akan tertawa Dewi.'
Dewi tidak mau repot-repot mengurus kesalahpahaman itu lagi. Dia berharap jika teman-temannya tidak lagi bertemu dengan Sandra. Jika Farel sudah sudah menjadi bos, nanti dia tidak akan mau berteman dengan mereka lagi.
***
Sandra telah puas berkeliling mall. Dia tidak hanya mendapatkan barang yang diinginkan, tapi dia juga mendapatkan informasi yang sangat berguna. Dia memutuskan untuk pergi ke kantor dulu, tidak jadi pulang seperti rencana awalnya.
"Pak, tolong bantu saya pindahkan barang ini ke mobil ya," pinta Sandra dengan sopan.
"Baik, Nyonya," sahut sopir Supir.
Sang supir segera memasukkan barang bawaan Sandra ke dalam bagasi mobil. Setelah selesai memasukkan barang dia menutupkan kembali bagasi mobil. Kemudian dia membuka pintu untuk mempersilahkan Sandra naik.
"Silakan masuk Nyonya."
Sandra sebenarnya lebih suka masuk sendiri. Tapi nek Ningsih yang melarangnya. Itu sudah menjadi tugas supir. Kalau Sandra nekad buka pintu sendiri, nek Ningsih mengancam akan memotong gaji sang supir. Nek Ningsih tidak mau rugi membayar supir yang hampir setara dengan gaji karyawan kantoran jika tidak melayani dengan baik.
"Terima kasih Pak."
Sandra ingin masuk ke dalam mobil, ketika tangannya baru menyentuh pintu mobil tiba-tiba dia didorong ke arah lantai. Sandra bisa merasakan lututnya yang sakit karena duluan menghantam lantai. Dia segera bangun dan melihat siapa yang telah mendorongnya dengan tidak sopan.
"Kamu memang pembantu tak tahu diri ya. Nyonya kamu pergi dengan taksi tapi kamu malah enak-enakan pergi dengan sopir," cerca Tika.
"Tika," tegur Dewi.
Dewi tidak sempat mencegah Tika yang mendorong Sandra. Tika terlalu cepat mendorong Sandra dengan kuat. Mereka juga memutuskan untuk segera pulang dan tidak menyangka akan berpapasan dengan Sandra di depan pintu mall.
Sandra menepuk kedua tangannya yang kotor, begitu pula dengan lututnya. Dia menghembuskan nafas kasar untuk meredakan emosinya. Dia harus bersabar jika mau membalas mereka semua.
"Ini uang untuk kamu. Kamu pulang dengan angkot saja," kata Evi melemparkan uang lima ribu ke wajah Sandra.
"Ayo Dewi, kita masuk," ajak Anita.
Anita menggandeng tangan Dewi dan membawa Dewi ke dalam mobil. Evi ikutan masuk ke dalam mobil di bagian belakang bersama mereka.
"Makanya, jadi orang harus tahu diri. Jangan mentang-mentang Dewi berbuat baik sama kamu, kamu malah ngelunjak," kata Tika sebelum dia pergi ke kursi bagian depan.
"Nyonya, Nyonya tidak apa-apa."
"Tidak apa-apa, Pak," jawab Sandra tidak enak dengan supir yang mengkhawatirkan dia.
"Eh sopir, apa yang kamu bahas sama dia. Sekarang Nyonya kamu ada di dalam mobil. Ayo antar kami pulang," tegur Tika yang mengeluarkan kepala dari dalam mobil.
"Pak, Bapak antar saja mereka. Nanti saya akan pulang dengan taksi saja," bujuk Sandra.
"Tapi Nyonya …."
"Tidak apa, Pak. Sandra juga mau singgah di tempat lain dulu. Tapi Bapak jangan bilang pada mereka kalau saya adalah nyonya ya," pinta Sandra.
"Kamu mau dipecat ya. Jadi supir lelet amat," hujat Evi.
"Sudah, sana Pak."
"Baik Nyonya. Nyonya hati-hati di jalan."
Sandra manatap mobil itu yang sudah menghilang. Sekarang dia harus mencari taksi untuk bisa pergi ke kantor. Dia akan segera menemui sekretaris Has sebelum terlambat.
Bersambung ….
Bab 9. Kebodohan yang Mengakar
Sandra menunggu sekretaris Has di ruangan kerjanya. Sekretaris Has sedang ada rapat penting, sehingga Sandra harus menunggunya. Sandra menatap ruangan yang pernah dia kunjungi. Nek Ningsih sering mengajaknya ke tempat yang penting. Dia sudah dikenali oleh beberapa orang perusahaan sebagai keluarga jauh nek Ningsih. Hubungan mereka yang sebenarnya masih dirahasiakan agar tidak ada orang yang memanfaatkan Sandra.
Sekretaris Has langsung menunda rapat ketika mengetahui Sandra menemuinya. Tidak biasa Sandra menemui dia seorang diri. Dia yakin ada sesuatu yang penting. Apalagi nyonya nya menitipkan Sandra padanya. Nek Ningsih kurang percaya sama Farel, cucu kandungnya sendiri.
"Nona Sandra," ucap sekretaris Has masuk ke dalam ruangan.
"Pak Has," sapa Sandra bangun dari sofa.
"Ada apa Nona Sandra ke sini? Apa ada yang mendesak?"
"Ada sesuatu yang ingin saya katakan kepada Bapak," sahut Sandra.
"Kalau begitu mari duduk kembali Nona Sandra," kata sekretaris Has mempersilahkan Sandra untuk duduk kembali di sofa.
"Terima kasih Pak," jawab Sandra sopan.
Sandra duduk kembali di atas sofa yang dia dudukin tadi. Diikuti dengan sekretaris Has yang duduk di depannya.
"Jadi ada apa Nona Sandra."
"Begini Pak, sepertinya di perusahaan ini ada mata-mata," kata Sandra membuka suara.
"Maksudnya Nona Sandra?"
Sandra menceritakan apa yang dia ketahui tentang Tika dan juga Dewi kepada sekretaris Has. Perusahaan mereka ada yang membocorkan informasi penting bagi yang tidak berkepentingan, termasuk keluarga sendiri. Mereka takut kalau ada mata-mata dari perusahaan lain untuk menjatuhkan perusahaan.
"Kalau begitu Nona Sandra tenang saja. Bapak akan segera menyelidiki semua masalah ini. Ini adalah info penting. Jika penyamaran tuan Farel ketahuan, maka ada kemungkinan karyawan akan lebih berhati-hati," ujar sekretaris Has.
"Baik Pak. Hanya itu yang mau Sandra sampaikan. Kalau begitu Sandra pamit pulang," pamit Sandra.
"Baik Nona. Nona Sandra hati-hati di jalan."
Setelah itu Sandra langsung pulang ke rumah. Masih ada yang harus dia lakukan kepada Dewi dan juga suaminya, Farel.
***
Sandra, Farel dan Dewi, mereka bertiga sudah berada di ruangan keluarga. Sandra menatap Farel dan Dewi dengan lekat. Dewi tidak takut sama sekali dengan tatapan Sandra. Beda dengan Farel yang sudah bisa merasakan firasat buruk.
"Jadi Sandra, ada apa kamu memanggil aku dan Dewi?" tanya Farel setelah mereka saling diam selama beberapa menit.
"Sekarang jelaskan padaku, dari mana Dewi bisa mendapatkan uang lagi untuk belanja banyak dan dari mana kalung berlian yang dia pakai tadi siang?" tanya Sandra to the point sambil melipat kedua tangan di dada.
Benar dugaan Farel, firasat dia tidak salah. Dia menatap ke arah Dewi yang tidak bisa menahan diri untuk pamer dan menghabiskan uang. Sekarang Sandra telah mengetahui kalung yang dipakai Dewi juga.
"Memangnya kenapa kalau aku belanja. Kan itu bukan uang kamu, itu uang Farel," sahut Dewi tidak merasa salah.
Farel langsung berkeringat dingin. Dia tidak tega melihat Dewi yang uring-uringan di rumah. Jadi dia memberikan kartu kredit itu kepada Dewi secara rahasia.
"Jadi uang itu uang Farel? Farel, dari mana kamu dapat uang sebanyak itu. Tidak mungkin seorang pegawai kantoran biasa bisa membeli banyak barang mewah kan?" tuntut Sandra.
"Ah … itu …," ucap Farel gagap.
"Farel, kamu masih ingat kan, syarat pernikahan kamu dengan Dewi?" tanya Sandra dengan tegas.
"I … iya Sandra. Aku i … ingat," sahut Farel menggaruk tekuk yang tidak gatal.
Farel seperti tikus yang ketangkap basah sedang mencuri.
"Jadi, dari mana kamu bisa memberikan Sandra uang sebanyak itu."
"Itu … itu uang tabungan aku. Iya uang tabunganku," kata Farel berbohong dengan yakin diujung kalimat ketika dia ada alasan berbohong.
Sandra menaikkan sebelah alis menatap Farel. Farel sama sekali tidak pandai berbohong. Dia persis seperti bocah yang ingin berbohong. Sekali lihat, semua orang akan percaya kalau Farel sedang berbohong.
Dewi menepuk jidatnya. Alasan Farel sangat kekanakan. Mana bisa Farel menabung uang sebanyak itu. Mana akting dia sama sekali tidak menyakinkan.
"Farel, kamu jangan berbohong. Aku ingin kamu berkata dengan jujur atau kamu mau aku melaporkan hal ini kepada nek Ningsih? Kamu tahu kan, bagaimana akibatnya kalau aku melaporkan ini ke nek Ningsih."
Farel diam. Dia tidak mau berpisah dengan Dewi. Dewi adalah malaikatnya.
"Kalian ngaku saja, kalian pasti berbuat curang di belakang nek Ningsih kan. Selama nek Ningsih tidak ada di sini, aku yang berwenang di rumah ini. Kalau kalian berdua tidak terima, kalian bisa protes sama nek Ningsih," ujar Sandra dengan tegas.
"Hah, Sandra ... Sandra. Kamu itu istri Farel. Seharusnya kamu menjaga martabat suami kamu. Kamu jadi istri kok berani mengancam suami sendiri," ucap Dewi meremehkan.
"Istri? Suami? Kalau kamu tahu aku ini istri Farel, kenapa kamu mau menikah dengan suami orang? Jadi orang ketiga kok bangga," kata Sandra skakmat.
Dewi kena mental dengan perkataan Sandra. Dia kehabisan kata-kata.
"Kamu …."
"Dewi sudah, jangan ribut lagi. Kamu berikan saja kartu kredit milik Sandra ya," pinta Farel.
"Kartu kredit milik aku?" tanya Sandra tidak mengerti.
"Ah … itu … kartu kredit itu punya kamu," jawab Farel kikuk.
"Farel," kata Dewi tidak terima.
Dewi tidak terima jika Farel berkata jujur. Dia tidak mau kehilangan kartu kredit yang dia habiskan buat belanja. Nanti dia belanja pake apa.
"Tidak apa Dewi. Itu sudah seharusnya milik Sandra," ujar Farel menggenggam tangan Dewi.
"Jadi, ada yang bisa menjelaskan secara rinci?" tanya Sandra menuntut jawaban.
Dewi melepaskan tangan Farel. Percuma dia membujuk Farel. Farel tidak mau mendengarkan dia.
"Sebenarnya, kartu itu seharusnya menjadi milik kamu setelah kita menikah. Tapi aku menyimpan kartu itu karena belum sempat kasih untuk kamu. Karena semua barang aku di sita, jadi hanya tinggal kartu kredit itu saja. Lalu aku memberikan kartu kredit itu kepada Dewi agar dia bisa belanja. Katanya dia ingin beli baju baru," sahut Farel takut-takut.
Farel persis seperti suami takut istri. Dia menunduk ketika menjelaskan kepada Sandra.
"Kamu memberikan kartu kredit itu kepada Dewi?" tanya Sandra masih tidak percaya dengan kebodohan Farel.
"Iya," jawab Farel dengan takut-takut.
"Terus bagaimana dengan kalung yang digunakan oleh Dewi?" tanya Sandra memijat keningnya yang terasa sangat sakit.
Sandra seperti mengurus anak puber yang sedang dilanda cinta. Apapun akan diberikan buat orang tercinta. Kebodohan yang sudah mendarah daging.
"Itu juga kalung kamu dari nek Ningsih. Dewi memintanya karena dia suka," jawab Farel.
"Ah kepala aku," gumam Sandra memerlukan bodrex dan paramex sekaligus.
Sekali lihat, Dewi sudah terlihat cewek matre. Pasti Dewi yang memohon-mohon pada Farel. Farel bukan orang yang yang tidak bertanggung jawab. Sampai kapan suaminya itu tidak sadar kalau dia hanya dimanfaatkan.
Bersambung ….
Bab 10. Tamu Dadakan
"Baiklah, sekarang serahkan kalung dan kartu kredit tersebut," pinta Sandra menadahkan tangan ke arah Dewi.
'Dengan begini Dewi tidak akan bisa sombong lagi. Aku mau melihat sampai kapan dia akan bertahan dengan Farel yang hidup berpapasan.'
"Tidak, aku tidak mau. Kartu dan kalung ini milik aku," tolak Dewi.
"Apa kamu tidak dengar, tadi kata Farel kalung dan kartu kredit itu dititipkan sama Farel oleh nek Ningsih buat aku. Bukan buat kamu," kata Sandra.
"Ini sudah menjadi milik aku," bantah Dewi tidak terima.
"Oh, jadi kamu mau merebut kalung itu. Tidak takut jika nek Ningsih tahu hal ini," ancam Sandra.
"Dewi, kamu kasih aja kalung dan kartu kreditnya. Itu punya Sandra, bagaimana kalau nenek aku tahu," suruh Farel.
"Aku tidak mau Farel. Kamu suruh saja Sandra mengikhlaskan semua ini," suruh Dewi balik.
'Apa? Mengikhlaskan? Dia pikir itu gorengan. Main ikhlasin aja. Gorengan aja aku tidak sudi kasih untuk dia. Apalagi yang jumlahnya bisa membeli toko atau rumah,' isi hati Sandra.
"Farel, bagaimana kalau aku ingin belanja. Apa kamu tidak kasihan sama aku," bujuk Dewi dengan air mata buaya.
Farel tidak tega melihat Dewi yang memelas. Sekarang pilihan dia membujuk Sandra atau Dewi. Dia harus memilih. Namun melihat Dewi yang sudah meneteskan air mata, dia semakin tidak tega sama Dewi.
Dewi tersenyum menang di balik wajahnya yang menunduk.
'Kamu pikir aku akan memberikan barang ini lagi. Barang yang sudah ada sama aku akan menjadi milikku. Farel tidak pernah bisa menolak kalau aku sudah menangis,' batin Dewi merasa menang.
"San …."
"Apa!" kata Sandra tegas saat tahu kalau Farel sudah termakan godaan Dewi.
Farel langsung mingkem kembali. Dia takut melihat Sandra yang menatapnya tajam. Tatapannya persis seperti tatapan neneknya.
"Ya sudah kalau kamu tidak mau mengembalikan milik aku," kata Sandra dengan nada berirama agar membuat Dewi dan Farel senang.
"Beneran Sandra?" tanya Farel dengan senang.
Farel dan Dewi memakan umpan yang diberikan oleh Sandra. Sekarang saatnya menjatuhkan mereka kembali. Anak didik nek Ningsih kok dilawan.
"Iya, kamu tidak mengembalikan kalung dan kartu kredit itu tidak apa-apa. Tapi …."
Sandra sengaja menjeda kalimatnya agar menunggu reaksi Dewi dan Farel.
"Tapi apa?" tanya mereka berdua.
Mereka menatap Sandra dengan sangat serius. Akhirnya Dewi bisa belanja lagi setelah milik Farel disita.
"Tapi kalian berdua harus bercerai," kata Sandra dengan tenang.
"Sandra, kamu jangan gila. Kenapa kamu sangat jahat. Kamu menyuruh kami bercerai. Dimana hati nurani kamu?" tanya Dewi seolah paling teraniaya.
'Hati aku ada di bakso kalau sama kamu. Dari pada makan hati, mending makan bakso. Biar kenyang sekalian. Orang jahat kok teriak jahat.'
"Sandra, aku tidak mau bercerai dengan Dewi. Aku sangat mencintai Dewi. Aku akan mengabulkan permintaan kamu yang lain, ya," tawar Farel.
"Kita tidak lagi jualan Farel. Kita lagi bahas milik aku yang ada sama Dewi. Aku tidak mau milik aku diambil Dewi. Sudah cukup aku mengizinkan kalian menikah. Sekarang kasih kalung dan kartu kredit itu," pinta Sandra.
"Aku tidak mau," tolak Dewi keras kepala.
"Kamu yakin tidak mau memberikan punya aku kembali?" tanya Sandra.
"Iya dong. Aku yakin. Kenapa aku harus takut," sahut Dewi memegang kalung yang dia gunakan.
"Kamu tahu kan, kalung dan kartu kredit itu punya aku. Jadi, kalau kalian tidak mau bercerai maka aku akan melapor polisi bahwa kamu telah mencuri kalung dan kartu kredit aku. Aku ada saksi dan bukti, hanya hitungan detik kamu akan masuk penjara. Gampang kan," ancam Sandra dengan pilihan kedua.
"Kamu mau melaporkan aku ke polisi?" tanya Dewi takut.
Jika Sandra beneran membawa ke jalur hukum. Tidak ada kesempatan buat dia menang. Kartu itu atas nama Sandra. Lalu nek Ningsih yang menjadi saksi selaku pemberi kalung itu. Bisa tamat riwayat dia kalau masuk penjara.
"Itu terserah pilihan kamu. Pilih cerai, kembalikan milik aku atau mau masuk penjara," ulang Sandra untuk setiap pilihan.
"Farel, Sandra sangat keterlaluan. Dia tega mau melaporkan aku ke polisi" kata Dewi beralih ke Farel karena kalah dari Dewi.
'Kenapa dia makin lama makin pintar sih.'
"Dewi, kamu serahkan saja milik Sandra. Aku janji, nanti kalau aku ada uang, aku kamu membeli kamu perhiasan yang lebih bagus lagi untuk kamu. Aku tidak mau berpisah sama kamu. Kamu cinta dan sayang sama aku kan," sahut Farel.
'Kalau tidak ada kartu ini, bagaimana aku mau belanja. Semua perhiasan aku tidak ada yang asli lagi. Mana 'dia' sudah jarang kasih aku uang jajan lagi.'
Dewi dengan terpaksa menyerahkan kalung dan kartu kredit tersebut. Dia tidak mau Farel curiga jika dia menginginkan harta. Sedangkan Farel semakin cinta sama Dewi yang mau melepaskan milik Sandra. Baginya itu tanda cinta Dewi untuknya. Bukti kalau Dewi bukan mengejar harta dan warisan yang dia miliki.
"Kalian berdua harus ingat, kalian tidak boleh mengambil sesuatu yang menjadi milik aku. Kalian menepati janji kalian saat kalian menikah di depan nek Ningsih. Karena masalah ini sudah selesai, aku mau tidur."
"Sana pergi," usir Dewi masih kesal dengan Sandra.
"Kamu mau usir aku ke mana? Mau aku usir balik?" tantang Sandra balik yang membuat Dewi mingkem.
"Ayo Farel," ajak Sandra ke kamar.
"Tunggu, kenapa kamu ajak Farel," cegah Dewi.
"Farel juga suami aku. Apa salah?"
"Malam ini Farel sama aku. Kamu tidur saja sendiri," suruh Dewi.
'Malam ini Farel harus sama aku. Mumpung situasi masih panas, aku harus memanasi Farel agar benci Sandra.'
"Dewi, malam kemarin Farel sudah tidur sama kamu. Jadi malam ini dia tidur sama aku," kata Sandra tidak mau kalah.
"Benar apa yang dikatakan Sandra, Dewi. Aku harus bersikap adil sebagai seorang suami. Kalian berdua sama-sama istri aku. Aku tidak boleh pilih kasih," sambung Farel.
"Ok, ok. Tidak ada yang peduli sama aku lagi," ujar Dewi meninggalkan Farel dan Dewi.
'Jangan pikir aku akan mau mengalah seperti dulu. Sebagai seorang istri, aku juga harus mempertahankan Farel. Aku harus bisa merebut cinta Farel dari kamu. Kita lihat saja nanti, siapa yang akan bertahan.'
***
"Siapa sih yang menekan bel dari tadi. Mana bi Ijah nggak nampak. Kenapa harus aku yang ada di sini. Kalau itu pintu nggak dibuka, lama-lama bikin bising," gumam Dewi terganggu dengan suara bel rumah dari tadi.
Dewi berjalan ke arah pintu dengan malas. Tangannya dengan ogah-ogahan membuka pintu.
"Hai Dewi," sapa Tika, Anita dan Evi yang tiba-tiba main ke rumah Dewi atau lebih tepatnya rumah Sandra.
Mata Dewi membesar melihat ketiga temannya. Kalau tahu mereka yang datang, dia tidak akan pernah membukakan pintu.
"Kalian ngapain di sini," ujar Dewi.
Dewi dengan cepat menutup pintu rumah kembali. Dia tidak mau kalau teman-temannya sampai masuk ke dalam rumah.
"Kamu kenapa sih. Kami kan ingin main ke rumah baru kamu," sahut Tika.
"Iya, kami tidak menduga kalau kamu bisa menikahi orang kaya seperti ini. Rumah ini sangat bagus. Kamu sangat beruntung" ujar Anita.
"Benar, rumah ini seperti istana. Pasti kamu sangat senang tinggal di sini," sambung Evi.
'Kenapa mereka bertiga datang ke sini saat Sandra masih ada di rumah lagi,' batin Dewi panik.
Bersambung ….
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
