Pocong Wedon

0
0
Deskripsi

Rian selalu menganggap cerita neneknya tentang Pocong Wedon hanyalah dongeng belaka—hingga suatu hari ia mendapatkan pesan aneh dari bibinya yang tinggal di kampung. Pesan itu meminta Rian segera pulang karena neneknya mungkin tidak akan bertahan lama. Bersama dua temannya, Temon dan Jefri, Rian kembali ke dusun yang sepi dan misterius, di mana kesunyian mencekam menyelimuti setiap sudut.

Namun, ketika mereka tiba, keanehan demi keanehan mulai muncul. Rumah neneknya kosong tanpa jejak kehidupan,...

Rian sering mendengar cerita tentang pocong wedon dari neneknya saat ia masih kecil. Cerita itu selalu diceritakan dengan nada yang penuh misteri dan ketegangan, sehingga meskipun ia berusaha untuk tidak mempercayainya, ada sesuatu dalam nada suara neneknya yang membuatnya sedikit was-was. Pocong wedon, menurut neneknya, bukanlah pocong biasa. Konon, pocong ini memiliki tujuan tertentu, sering kali untuk menjemput seseorang yang sudah waktunya berpulang, namun ada juga yang percaya bahwa pocong wedon ini adalah pertanda buruk bagi yang melihatnya. Tapi tak sedikit yang menganggap pocong wedon bukanlah pocong, yang adalah peliharaan untuk mencelakakan seseorang. 

Beberapa hari belakangan, Rian mendapatkan pesan yang tidak biasa dari bibinya yang tinggal di kampung. Pesan-pesan itu terasa mendesak, seolah ada sesuatu yang sangat penting yang harus disampaikan. Bibinya meminta Rian untuk segera datang, menyebutkan bahwa neneknya mungkin tidak akan bertahan lama lagi. Namun, yang membuat Rian semakin khawatir adalah kenyataan bahwa setiap kali ia mencoba menelepon bibinya, panggilan tersebut selalu gagal tersambung. Anehnya, bibinya terus menghubunginya lewat pesan, tetapi tidak pernah mengangkat teleponnya. Rian berpikir mungkin bibinya itu sibuk. 

Dengan perasaan tak menentu, Rian memutuskan untuk berangkat ke kampung neneknya bersama Temon dan Jefri menggunakan dua motor. Kampung itu terbagi menjadi empat dusun, dan dusun tempat neneknya tinggal berada di paling ujung, terpisah oleh sawah dan hutan yang membentang sekitar dua kilometer dari dusun lainnya. Sejak kecil, Rian tahu bahwa dusun tersebut memang terpencil, namun ia tidak pernah merasakan kesunyian yang begitu mencekam seperti saat ini. Saat tiba di dusun itu, ia merasakan sesuatu yang aneh. Sedari mereka memasuki gapura dusun, suasana di dusun begitu tidak mengenakan. Tidak ada satu pun orang yang terlihat, tidak ada aktivitas yang biasanya ramai di siang hari. Dusun itu terasa seperti telah lama ditinggalkan.

“Sepi banget anjir!” kata Temon, teman yang Rian ajak. 

“Takut banget si Mon!” Jefri berdecak bibir, risih dengan sikap Temon. 

“Apaan sih, enggak!” Temon mengelak, walaupun hatinya tak tentu karena merasa ada yang janggal di tempat ini. 

Rian merasa ada sesuatu yang tidak beres. Rumah neneknya, yang biasanya penuh dengan kehangatan keluarga, kini tampak sepi dan kosong. Tidak ada bibinya yang selalu riang menyambut, tidak ada neneknya yang tersenyum ramah padanya, sepupunya yang masih tiga tahun berlarian memeluk lututnya, ataupun pamannya yang biasa membetulkan pacul di teras rumah. 

Pintu rumah sedikit terbuka, dan tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Barang-barang di dalam rumah pun tampak seperti dibiarkan begitu saja, seolah-olah penghuninya pergi dengan tergesa-gesa. Perasaan panik mulai menjalari pikirannya. Ia membayangkan kemungkinan terburuk—mungkin neneknya benar-benar sekarat dan telah dibawa ke rumah sakit. Atau mungkin, ada sesuatu yang lebih mengerikan terjadi di sini.

Meskipun teman-temannya yang ikut menemaninya sudah merasa tidak nyaman dan ingin segera kembali ke kota, Rian bersikeras untuk tetap tinggal dan menunggu keluarganya pulang. Baginya, meninggalkan dusun itu tanpa mengetahui keadaan keluarganya adalah hal yang tidak bisa ia lakukan. Ia terus mencoba menghubungi bibinya, meskipun panggilan-panggilannya terus berujung pada nada sambung yang tak pernah tersambung. Rasa takut bercampur dengan ketidakpastian membuatnya merasa semakin tertekan. 

Tak lama kemudian, muncul seorang bapak paruh baya dari arah hutan. Penampilannya membuat bulu kuduk Rian sedikit meremang. Tubuh bapak itu sangat kurus, seolah-olah hanya terdiri dari tulang yang dilapisi kulit tipis. Wajahnya penuh dengan kerutan yang menandakan usia, dan matanya cekung dengan tatapan yang sulit diartikan. Meski demikian, bapak itu menyapa mereka dengan ramah, menanyakan apa yang sedang Rian dan teman-temannya lakukan di dusun yang sepi itu.

Rian menjelaskan maksud kedatangannya dengan singkat, sambil sesekali melirik ke arah rumah neneknya yang masih tampak kosong dan tidak ada tanda-tanda kehidupan. Mendengar cerita Rian, bapak paruh baya itu mengangguk-angguk. "Oh, begitu," katanya pelan. Ia kemudian menawarkan untuk mengajak mereka ke rumahnya sementara menunggu keluarga Rian kembali. "Keluargamu mungkin masih di rumah sakit. Memang saya mendengar ramai-ramai ada yang dibawa ke rumah sakit tadi siang. Mereka pasti membawa nenekmu ke sana," ujarnya dengan suara yang serak.

Ramai? Kata yang sangat kontras dengan apa yang terjadi sekarang. Lihatlah, tidak ada suara serangga hutan, suara burung, angin juga seakan mati. Benar-benar dusun yang sunyi. Bahkan Rian tidak merasakan tanda-tanda kehidupan di dusun ini. 

Tapi, setidaknya Rian merasa sedikit lega mendengar penjelasan bapak itu. Meskipun ada rasa ragu di dalam dirinya, Rian dan dua temannya memutuskan untuk menerima tawaran si bapak. Mereka mengikuti bapak paruh baya itu menuju rumahnya yang ternyata tidak jauh dari rumah nenek Rian. Rumah itu tampak tua dan sederhana, dengan dinding kayu yang mulai lapuk dan atap yang sebagian sudah tertutup lumut. Ketika mereka masuk, aroma khas rumah tua yang bercampur dengan bau kayu bakar langsung menyambut mereka.

Di dalam rumah, suasananya tidak jauh berbeda dengan luarnya. Ruangan itu remang-remang, hanya diterangi oleh beberapa lampu minyak yang tergantung di sudut-sudut. Bapak paruh baya itu mempersilakan mereka duduk di ruang tamu yang dipenuhi dengan perabotan kuno. Ia kemudian pergi ke dapur dan kembali dengan membawa nampan yang berisi kopi hitam dan camilan sederhana berupa kacang rebus dan ubi.

Rian dan teman-temannya berterima kasih dan mulai menyantap hidangan tersebut. Kopi hitam itu terasa pahit dan kuat, sementara kacang dan ubi rebusnya hangat, memberikan sedikit rasa nyaman di tengah suasana yang serba aneh. Mereka berbicara pelan, merasa sedikit canggung di hadapan bapak paruh baya yang terus memandang mereka dengan tatapan yang sulit ditebak.

Namun, seiring berjalannya waktu, rasa canggung itu sedikit demi sedikit mulai menghilang. Mereka mulai berbicara lebih leluasa, bertanya tentang dusun yang tampak begitu sepi dan mengapa tidak ada satu pun orang yang terlihat. Bapak paruh baya itu menjawab dengan tenang, menjelaskan bahwa dusun ini memang selalu sepi, terutama sejak banyak warganya yang pindah ke kota mencari kehidupan yang lebih baik. "Hanya beberapa orang tua saja yang masih bertahan di sini. Yah, bisa dibilang, kami yang tua ini berniat mati di sini," katanya dengan nada datar.

Rian yang masih merasa tidak nyaman dengan keheningan yang melingkupi dusun itu tak bisa menahan rasa penasarannya. "Kok di dusun ini sepi banget ya, Pak?" tanyanya, mencoba memecah keheningan yang terasa semakin menyesakkan.

Bapak paruh baya yang duduk di seberang meja tiba-tiba menegang. Ia menoleh ke arah Rian, dan dengan cepat meletakkan jari telunjuknya di depan bibir, memberikan isyarat agar Rian tidak melanjutkan pertanyaannya. "Ssshttt," bisik bapak itu dengan nada serius, matanya melebar sedikit. Rian bisa merasakan ketegangan yang tiba-tiba memenuhi ruangan, membuat atmosfer yang tadinya hanya canggung menjadi lebih berat dan menakutkan.

Bapak itu mendekatkan wajahnya, seolah ingin memastikan bahwa percakapan mereka tidak akan terdengar oleh siapapun di luar sana. Dengan suara bergetar, ia berkata, "Warga dusun ini percaya jika sore menjelang malam adalah waktu mereka untuk keluar." Jemarinya yang kurus masih menutupi bibirnya, matanya menyapu sekeliling ruangan, seolah takut akan ada yang mendengar. "Makanya, para warga sudah diam di rumah masing-masing saat mulai senja. Karena itu saya ajak kalian ke sini, di luar bahaya!"

Rian merasa udara di ruangan itu tiba-tiba menjadi lebih dingin. Ia bisa merasakan jantungnya berdegup lebih kencang, tetapi rasa ingin tahunya mendorongnya untuk bertanya lebih lanjut. "Mereka siapa, Pak?" tanyanya, meskipun ia sudah menduga apa yang akan menjadi jawaban bapak itu.

Bapak paruh baya itu mendekatkan wajahnya lagi, kali ini lebih dekat, hampir berbisik di telinga Rian. "Pocong Wedon," bisiknya dengan suara rendah yang terdengar seperti gemerisik dedaunan kering yang tertiup angin malam. Kata-kata itu meluncur dari bibir bapak itu seolah membawa serta dinginnya malam yang merasuk ke dalam hati Rian.

Rian menelan ludah, merasakan tenggorokannya yang kering. Kata-kata neneknya yang dulu selalu dianggapnya hanya dongeng belaka kini bergaung kembali di pikirannya. Pocong Wedon, sosok yang selalu digambarkan sebagai makhluk yang menakutkan, bukan hanya sekadar pocong biasa, melainkan sesuatu yang lebih mengerikan, lebih berbahaya. Menurut cerita neneknya, Pocong Wedon tidak hanya muncul untuk menjemput arwah yang telah waktunya pergi, tetapi juga membawa kematian bagi siapa saja yang cukup sial untuk melihatnya.

Di dalam kepala Rian, berbagai spekulasi dan ketakutan mulai bermain-main. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di dusun ini? Apakah rumor itu memang benar? Ia merasa semakin terjebak dalam ketidakpastian, antara ingin segera meninggalkan tempat itu atau bertahan untuk mencari tahu kebenarannya. Ketika ia menatap bapak paruh baya itu lagi, ia bisa melihat seberkas ketakutan di mata lelaki tua tersebut—sebuah ketakutan yang tampak tulus dan mendalam.

Sementara pikiran-pikiran itu berkecamuk di dalam benaknya, suasana di dalam rumah semakin terasa mencekam. Jam dinding di ruang tamu berdetak pelan, seolah menghitung detik-detik menuju sesuatu yang tidak diinginkan. Rian merasa napasnya semakin berat, sementara teman-temannya juga mulai merasakan kegelisahan yang sama. Mereka semua terdiam, hanya bisa mendengar detak jantung mereka sendiri yang berpacu lebih cepat dari biasanya.

Tak lama setelah itu, mungkin karena kecapekan, mereka jatuh tertidur lelap. Dan saat Rian bangun, sudah larut malam. Rian mau membangunkan teman-temannya yang tertidur di ruang tamu bapak tadi. 

“Ayo ke rumah nenek gue, siapa tahu mereka sudah pulang.” 

“Bukannya ga boleh kemana-mana, kata si Bapak itu?” 

“Penakut banget si!” kata Jefri, “udah, kalo mau di sini ya silahkan, ayo Yan, kita pergi aja.” 

“Eh tunggu gue mau ikut!”

Saat pintu dibuka, dusun itu terasa semakin mencekam, sepi tidak ada orang satupun, gelap karena tidak ada lampu yang menyala dan hanya cahaya rembulan yang menjadi penerangan. Angin menghembuskan napasnya pelan dan menyapu permukaan kulit mereka bertiga, suasana semakin tidak mengenakan. 

“Coba telepon dulu bibi lu Yan, siapa tahu mereka udah pulang atau kalo gitu kita susul aja kalo emang masih di rumah sakit.” Rian mengangguk setuju perkataan Jefri. Tak lama setelah itu Rian berdecak bibir. 

“Ga nyambung Jef.” Rian terlihat resah. 

“Eh, itu kali mereka!” seru Temon, menunjuk cahaya mobil. Cahaya mobil itu bersinar putih redup dan siapapun akan ragu jika itu adalah cahaya dari lampu mobil. Namun, itu jelas adalah dua buah bulatan putih yang mengambang di jalanan. 

“Mereka udah pulang kayak⸻” napas Jefri, bahkan napas Rian dan Temon pun berhenti sejenak karena dua benda putih yang mengambang di jalan yang tadi dikira lampu mobil itu semakin naik dan melewati pepohonan yang tinggi. Benda putih bulat itu semakin membesar, melebar, dan membentuk sesuatu. 

Rian menelan ludah, kaki dan tangannya seakan membeku dan mungkin hal yang sama juga terjadi pada Jefri dan Temon. Bulatan putih itu semakin membesar dan membentuk sesuatu yang menyeramkan. Dua makhluk itu mewujud sebagai dua pocong raksasa setinggi pohon lebih dari tiga meter, mata mereka merah menyala, wajah mereka menyeramkan dan menatap tajam ke arah Rian dan dua orang temannya. Jantung Rian berdegup kencang, sebisa mungkin ia mengambil napas dan berusaha bergerak.

“Lari Mon! Jef!” teriak Rian, Rian berlari namun hanya beberapa langkah ia berhenti karena dua orang temannya itu masih saja terdiam kaku, mata mereka melotot menatap dua makhluk raksasa menyeramkan itu. 

Rian melihat dua sosok pocong raksasa itu seakan meludah dan mengeluarkan cairan kuning yang mengeluarkan asap, cairan itu hampir mengenai kedua orang temannya jika saja mereka tidak segera sadar dan menghindar. 

“APAAN ITU YAN!” teriak Temon panik.

“UDAH BEGO, NANTI AJA, SEKARANG LARI!” Jefri teriak dan mereka bertiga lari terbirit-birit masuk ke rumah bapak yang tadi. Saat pintu dibuka oleh Rian, mereka bertiga kembali berteriak histeris karena di ruang tamu rumah bapak itu terdapat dua tengkorak yang sedang duduk di kursi, seakan kerangka manusia yang sudah lama. 

Mereka berniat kabur menggunakan motor namun mereka tidak sempat melakukannya karena ludah dari dua pocong raksasa itu mengenai motor mereka dan meleleh sekaligus. Mereka histeris dan berlari sebisa mungkin menjauh dari dua makhluk besar itu. Dari arah gapura dusun, Rian melihat deretan pocong dengan kafan yang lusuh, wajah mereka seakan melepuh dengan darah yang mendidih, kulit mereka mengelupas dan mata yang hampir lepas dari lubangnya. Rian meringis karena di salah satu deretan pocong itu ia melihat bibi dan neneknya, walaupun dengan wajah yang sudah rusak, Rian masih bisa mengenali. 

Mereka masuk dengan terburu-buru ke rumah keluarga Rian. 

“Itu apaan si Yan!? Ini tempat apaan si?!” suara Temon terdengar antara marah dan takut bersamaan. 

“Ya gue juga ga tahu, Mon!” Rian juga tidak mengerti apa yang terjadi. 

“Aneh banget! Dari awal kita dateng ke sini, dusun ini sepi, si bapak yang itu juga udah ga tahu ke mana. Dusun ini sepi bukan karena warganya pada masuk ke rumah, tapi udah pada ga ada!” Jefri dari awal merasa aneh, tapi ia menepis perasaan itu karena ia datang ke sini memang berniat untuk menemani sahabatnya, Rian. 

“Terus pada ke mana mereka?!” Temon bisa-bisanya nanya di saat begini. 

“Ya mana gue tahu! Pokoknya aneh aja! Kalian juga ngerasa kan kalau tempat ini kaya tempat yang udah lama ditinggalin, kan?! Ga ada suara cicak, ga ada suara serangga malam, senyap, hening!” Jefri cemas, merasa buntu. 

“Terus gimana?” Temon semakin panik. 

“Ya ga tahu!” 

“Lu ga tahu mulu dari tadi?!” Temon sudah sangat pasrah, wajahnya semakin tak karuan karena takut dan panik. 

“Ya emang ga tahu!” Jefri jadi kesal daripada takut dan panik. “Yan, gimana nih?” 

“Udah kita di sini dulu,” Rian berusaha tenang, percuma juga kalo panik. 

“Itu mereka Yannnnn” suara Temon bergetar, ia mengintip dari balik jendela yang kotor berdebu dan bersarang laba-laba. Di jalanan tanah, para pocong itu berdiri, seperti serdadu yang hendak menggempur benteng lawan. 

Jefri kembali menelan ludah, ini adalah pengalaman yang paling tak ingin ia alami. “Yakin kita cuma diam di sini aja Yan?” kata Jefri. 

“Kalo lari, kita juga mau ke mana? Motor aja bisa langsung hangus kena ludah mereka,” Rian berusaha mencari solusi, dan hanya itu yang ia temukan. “Kita cuma bisa diam aja di sini.” 

Mereka duduk melingkar, Jefri dan Rian berusaha keras untuk tenang. Sementara Temon sedari tadi berjuang menahan untuk tidak menangis dan mengompol. Deretan pocong itu masih di luar sana, berderet menghadap rumah ini. Sementara itu Rian tidak melihat dua sosok pocong raksasa tadi. 

“Pocong apa yang sebesar itu, Yan?” 

“Itu bukan pocong,” kata Rian pelan. Ia ingat betul cerita neneknya, yang ternyata benar ini. 

“Jadi itu apa Yan?” Jefri tidak bisa mengenali makhluk lain selain pocong. 

“Mereka itu pocong wedon, bukan pocong tapi mirip pocong. Gue ga tahu detailnya tapi intinya mereka bukan pocong, walaupun mirip.” 

“Kita bisa bilang mereka pocong gede aja ga sih? Ribet amat!” Jefri jadi pusing memikirkan pocong atau bukan. 

“Gue juga ga paham, ada yang bilang mereka pocong wedon, ada yang bilang wedon, ada yang bilang wedon juga pocong, akh!!! Gue juga ga ngerti!” 

“Seriusan kita debatin masalah nama pocong, sementara mereka lagi nungguin kita di luar?” Temon tidak habis pikir pada dua sahabatnya. Bisa-bisanya berdebat soal pocong di saat seperti ini. Pocong ya pocong, udah deh! Hening sesaat. 

“Kita udah berapa lama si di sini?” Kata Jefri, rasanya sudah lama sekali mereka bersembunyi dari pocong-pocong itu. 

“Gue ga tahu, jam di handphone gue dari tadi ga berubah,” Rian menunjukkan handphonenya ke Jefri. 

“Di handpone gue juga!” Temon jadi panik, ia baru sadar. 

“Sial, punya gue juga. Eh⸻” Jefri tersadar akan sesuatu. “Itu nomor bibi lu, Yan?” Jefri melihat nomor yang tidak disimpan berada di pesan paling atas deretan whatsappnya. Jefri bertanya pada Rian karena ada pesan dari bibinya itu dengan huruf besar berisi “JANGAN KE SINI!!!” 

Wajah Rian justru aneh, “kok gue baru lihat pesan ini? Tapi di keterangan waktunya, pesan ini sudah empat bulan lalu?” Rian merasa aneh karena nomor bibinya kok tidak disimpan? Padahal sudah lama Rian punya nomor bibinya, dan sudah disimpan sejak lama juga. Tapi profil Whatsapp dari nomor itu sama dengan profil nomor Whatsapp bibinya yang ia simpan. Ia berusaha tidak memikirkan itu lebih dulu, Rian membuka pesan itu untuk memastikan, mata Rian terbelalak karena terkejut.

“Kenapa Yan?” tanya Jefri setelah melihat ekspresi terkejut Rian. 

“Yan jangan bikin gue takut, please!” Temon kembali panik wajahnya. 

“Pesan-pesan dari bibi gue yang dulu udah ga ada!” Rian berkata lirih, seakan tidak percaya. 

“Pesan ga ada gimana? Maksud lu apa si Yan?” Jefri tidak mengerti, Temon takutnya udah ga ketahan. Rasanya mau mengompol. Dia sepertinya paham garis besar keanehan ini. 

“Pesan-pesan bibi gue yang bilang nenek gue sakit-sakitan, pesan dia yang nyuruh gue ke sini sebelum nenek benar-benar ga ada, itu semua hilang! Hilang bukan karena dihapus, tapi hilang karena kaya ga pernah dikirim, kaya ga pernah ada!” Rian termenung, bingung, panik dan takut. 

“Jadi? Maksud lo?” Jefri menatap tidak percaya. 

“Maksudnya dari tadi Rian dikirim pesan gaib dari bibinya! Masa gitu aja ga paham si Jef!?” Temon menyikut pelan. 

“Gue paham, anjing! Tapi kok bisa gitu, itu maksud gue, anjing!” Jefri jadi kesal sendiri pada Temon. 

Tiba-tiba suara pintu diketuk pelan, berjeda pelan namun konsisten. Wajah mereka pucat. Rian, Jefri, dan Temon mengintip dari jendela kotor berdebu, mengintip siapa yang mengetok pintu. Wajah mereka semakin pucat karena yang mengetuk adalah sesosok pocong dengan dahinya, berkali-kali. Mereka langsung mundur dan duduk melingkar, merapatkan diri satu sama lain penuh ketakutan. Sementara itu ketukan berjeda pelan itu tetap konsisten terdengar. 

“Mas? Mas? Kalian ini ngapain?” suara bapak yang tadi, Rian menelan ludah. Saat mereka membuka mata, cahaya pagi masuk ke dalam rumah itu melalui sela-sela pintu, di luar sana sudah terang? 

Rian, Jefri dan Temon kembali mengintip dari jendela kotor berdebu. Memang benar yang mengetuk itu adalah bapak kurus yang kemarin sore menemui mereka. Rian berniat membuka pintu tapi Temon menahannya. 

“Mungkin itu mereka Yan?” suara Temon bergetar. 

“Ini udah pagi, Mon!” Jefri meneriaki Temon. Rian menggeleng pelan dan membuka pintu itu. Seperti transisi yang sangat mulus, pintu itu dibuka bertepatan dengan bergantinya suasana dari pagi cerah kembali ke gelap malam dan saat pintu itu dibuka, yang mereka temui bukanlah si bapak yang tadi, melainkan sosok pocong dengan wajah hancur, deretan pocong di belakangnya juga menatap tajam ke arah mereka bertiga, sementara itu si pocong wedon atau pocong raksasa juga mengawasi mereka dari barisan paling belakang. Mereka berteriak sejadi-jadinya. 

 

 

“Kalau boleh tahu, dusun ini kosong kenapa ya Pak?” tanya seorang berseragam PNS, mungkin pekerja dari kecamatan. 

“Tidak tahu Mas, tiga bulan lalu tiba-tiba penghuni dusun pada tewas. Entah wabah atau apa, saya tidak paham. Tahu-tahu, ada laporan dari orang yang biasa nyari rumput di sekitar sini kalo dusun ini ditemuin banyak mayat.” Kata si Bapak bertubuh gempal itu dan berkumis tebal itu. Mereka memasuki gapura dusun setelah turun dari motor. 

“Waduh, kalo wabah bahaya dong, bisa menyebar.” 

“Ya ga tahu si Mas, soalnya orang-orang yang mindahin mayat-mayatnya juga masih sehat kok, ga ngerti deh pokoknya Mas. Lagian aneh juga Mas, semua mayat yang ditemui di sini sudah terbungkus kafan,” Bapak itu menggeleng tak paham. 

Si PNS bergidik sesaat, untung dia menuruti kata hatinya untuk memeriksa tempat ini pagi-pagi. “Lho, itu kok ada dua motor? Milik warga sini Pak?” 

“Ga mungkin Mas, berang-barang penting udah pada diambilin sama keluarganya atau dilelang Mas, ga mungkin ada motor.” Kata si Bapak, ia juga tidak percaya dengan apa yang dia lihat. 

“Pasti anak muda ini, buat mesum!” kata si PNS, wajahnya merah karena marah. 

“Mas, itu ada rumah yang pintunya kebuka!” kata si Bapak. 

Mereka berlari kecil, bersiap memergoki orang-orang yang berbuat mesum di tempat kosong, saat mereka sampai, mereka justru menemukan tiga orang pemuda yang sudah terbujur kaku dan terbungkus kain kafan, lengkap dengan sumbatan di hidung dan wajah mereka yang sudah pucat.  

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya 13/08/2019
0
0
Di sinilah kisah Rehan bermula, di tengah keheningan yang mengisi rumah besar yang dulu penuh tawa keluarganya. Setelah kehilangan lima anggota keluarganya dalam kecelakaan tragis, Rehan mencoba bertahan dan meresapi kenyataan yang begitu pahit. Namun, ketika kejadian-kejadian aneh mulai terjadi—dari paket misterius yang datang untuk pamannya yang sudah meninggal hingga tanda-tanda tak terjelaskan yang muncul di rumahnya—Rehan mulai mempertanyakan apakah ada sesuatu yang lebih menyeramkan di balik kematian keluarganya.Dalam usahanya untuk mengungkap misteri di balik tragedi itu, Rehan dihadapkan pada teka-teki yang semakin menegangkan, mengaburkan batas antara kenyataan dan halusinasi. Apakah keluarganya benar-benar tewas dalam kecelakaan, atau ada kekuatan gelap yang terlibat? Saat semua petunjuk mulai mengarah pada sesuatu yang jauh lebih mengerikan, Rehan harus menghadapi kebenaran yang mungkin ia tidak siap untuk terima.Sebuah cerita horor yang memikat dan mencekam, mengajak pembaca menyelami kegelapan hati manusia dan misteri yang tersembunyi di balik kematian.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan