
1997, di sebuah desa di Indramayu, terjadi anomali pocong yang mengerikan, dimana ratusan pocong terjun dari langit, dan membantai para warga desa dalam satu malam.
1997, di sebuah desa di Kabupaten Indramayu, terjadi pembantaian dalam satu malam.
Saat itu, Samsul baru berusia tiga belas tahun, namun tangannya sudah cekatan membantu ibu dan bapaknya yang berjualan nasi di warung sederhana di ujung jalan desa. Setiap hari, selepas pulang sekolah, ia tak segan membereskan gelas, piring, atau sekadar mengelap meja yang habis dipakai pelanggan. Warung mereka menjadi tempat persinggahan favorit bagi para petani yang baru pulang dari sawah, letaknya memang strategis, dekat dengan tanggul dan sungai yang mengairi persawahan di desa itu.
Hari itu, suasana di warung cukup ramai seperti biasa. Namun ada yang berbeda, para pelanggan yang biasanya bersenda gurau dengan riang kini terlihat agak tegang. Mereka sedang membicarakan sesuatu yang membuat bulu kuduk meremang. Dari pembicaraan mereka, Samsul menangkap kabar yang membuatnya penasaran. Katanya, ada teror pocong yang sedang mengganggu warga desa. Semakin malam, semakin banyak pocong yang mengetuk pintu rumah-rumah penduduk.
“Ih, beneran ini, Pak Udin,” ucap seorang bapak paruh baya dengan nada serius, "Kata Pak Joni, yang sering nyari kodok malem-malem itu, pocongnya terlihat di depan rumah Pak Haji Somad. Malam itu, Pak Joni tadinya mau basa-basi karena pikirnya mungkin tamu Pak Haji, tapi ternyata yang dilihatnya malah sosok pocong sedang mengetuk pintu. Tok, tok, tok... gitu, Pak!” Ia bergidik, seakan membayangkan kembali momen seram yang diceritakan Pak Joni.
Pak Udin, bapaknya Samsul ikut bergidik mendengar cerita itu. “Tingeling, serem pisan (anjir, serem banget) Dan,” katanya dengan nada khawatir sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
Mendengar percakapan itu, Pak Udin langsung menoleh ke arah putranya yang sedang sibuk membereskan gelas-gelas kotor. “Tuh, Sul, makanya kalau keluar rumah jangan malam-malam! Bandel sih kamu, malah main petasan terus,” tegur Pak Udin dengan nada mengingatkan, namun Samsul merasa ada nada marah yang tersembunyi.
Samsul hanya menghela napas, seakan bapaknya selalu punya alasan untuk memarahinya. “Mana ada pocong bisa mengetuk pintu, Pak,” gumamnya pelan sambil meletakkan gelas yang sudah dilap ke tempatnya. Ia lalu melempar kotak tisu yang baru diisi ke atas meja yang tadi sudah dilap bersih. Ada beberapa meja dan kursi di warung nasi orang tuanya, tapi tidak ada yang seramai meja tempat para bapak-bapak itu bergunjing.
“Ngetuknya pake kepala, Sul!” kata Pak Dani sambil menundukkan kepalanya ke meja, menirukan pocong yang mengetuk pintu, membuat suasana semakin tegang sekaligus konyol.
Samsul mengernyit, tak tertarik dengan cerita itu. “Kamu ini kalau dibilangin sama orang tua, ngeyel bae! (ngeyel terus!)” sergah Pak Udin dengan nada kesal. Tapi Samsul sudah tak ingin meladeni, apalagi dengan cerita yang menurutnya hanya omong kosong.
Setelah berpamitan pada ibunya yang tengah sibuk mengaduk sambal goreng di wajan, Samsul memutuskan untuk meninggalkan warung dan menuju ruang tengah, mencari hiburan di televisi. Namun, cerita tentang pocong itu masih terngiang-ngiang di benaknya. Sesekali, ia menoleh ke arah pintu rumah, membayangkan suara tok-tok yang diceritakan tadi. Meskipun ia berusaha keras untuk tidak memikirkannya, rasa penasaran dan sedikit ketakutan mulai menyelinap di dalam hatinya.
Di hari lain, Samsul kembali mendengar percakapan yang menyeramkan di warung nasi orang tuanya. Kali ini, bukan hanya tentang pocong yang mengetuk pintu, tetapi ada cerita lain yang membuat bulu kuduk berdiri. Cerita ini datang dari Pak Tarpan, seorang lelaki tambun yang sering singgah di warung itu untuk makan siang setelah bekerja di sawah. Wajahnya serius saat bercerita, meski ujung bibirnya berbusa karena sudah terlalu lama berbicara tanpa henti.
“Katanya sekarang banyak rumah di desa ini yang paginya berserakan bunga tujuh rupa di terasnya,” ujar Pak Tarpan dengan nada penuh keyakinan. "Orang-orang mulai curiga, mungkin ada seseorang yang sengaja menebarkan bunga-bunga itu saat malam tiba."
Pak Udin, yang duduk di seberang meja, terperangah mendengar cerita tersebut. "Sing bener sira, Pan? (Yang benar kamu, Pan?)" tanyanya sambil mengerutkan dahi, tak percaya. Wajahnya yang biasanya tenang kini sedikit pucat. Bapaknya Samsul ini, meski berbadan besar dan terlihat garang, namun soal cerita seram begini, ia tetap bergidik ketakutan.
Pak Tarpan mengangguk mantap. “Bener, Pak Udin. Masa reang bobad sih? (Masa saya bohong sih?)” Ia meyakinkan Pak Udin, bapaknya Samsul, yang sejak tadi menyimak dengan cermat.
Samsul yang sedang sibuk mengelap gelas, piring, dan sendok yang sudah dicuci, mendengarkan percakapan itu dengan setengah hati. Meski tampak cuek, ia tak bisa menahan rasa ingin tahunya. Bunga tujuh rupa? Apa itu ada hubungannya dengan pocong yang dibicarakan kemarin?
Pak Dani, yang baru saja selesai makan siangnya, ikut nimbrung dalam percakapan. “Oh, pantesan tadi saya lewat rumah Pak Haji Somad, lihat beliau ngomel-ngomel ke pembantunya. Katanya, kok ada bunga tujuh rupa di terasnya. Pak Haji pikir itu ulah orang iseng,” katanya sambil mengingat kejadian pagi tadi.
“Ih, serem pisan, wong ngilmu nantu ya? (Ih, serem banget, orang ngilmu kali ya?)” Pak Tarpan menambahkan, suaranya pelan, seolah takut ada yang mendengar.
Pak Jaka, yang paling tua di antara mereka, tampak terpana. Ia bahkan hampir menyemburkan nasi yang sedang dikunyahnya. “Wah, betul tuh! Jangan-jangan emang ada orang mau belajar ilmu hitam,” ujarnya dengan nada was-was.
Keempat bapak-bapak itu, yaitu Pak Jaka, Pak Tarpan, Pak Dani, dan Pak Udin, segera terlibat dalam perbincangan panjang tentang hal-hal mistis yang membuat suasana warung semakin mencekam. Mereka saling melempar cerita dan dugaan, semakin membuat suasana siang itu terasa aneh dan penuh ketegangan.
Samsul menghembuskan napas panjang, merasa kesal. Apa yang lebih buruk dari mendengarkan bapak-bapak bergosip siang-siang? Samsul enggan menjawab pertanyaannya sendiri.
Kabar tentang adanya orang yang sedang mempraktikkan ilmu hitam atau memulai pesugihan dengan menaburkan bunga tujuh rupa di teras rumah-rumah warga desa menyebar dengan cepat. Desas-desus itu membuat warga semakin resah, takut jika hal-hal buruk akan menimpa mereka. Namun, di tengah kecemasan yang melanda, Samsul tetap skeptis. Baginya, cerita-cerita semacam itu hanya karangan orang iseng yang ingin menakut-nakuti.
Namun, keraguan Samsul mulai terkikis ketika ia mendengar kisah yang lebih mendetail dari tetangga-tetangga sekitar. Pada suatu hari, desas-desus tentang penaburan bunga di rumah warga kembali mencuat. Kali ini, ceritanya berasal dari Pak Jaka.
“Saya melihat sendiri, Pak!” seru Pak Jaka sambil membuat gerakan yang hampir mencolok kedua mata dengan jarinya, seakan ingin menegaskan bahwa penglihatannya masih tajam dan betul-betul ia melihat dengan matanya sendiri. “Ada orang yang menaburkan bunga tujuh rupa di teras rumah saya! Mau saya kejar, tapi dia keburu lari jauh!”
Pak Udin, bapaknya Samsul, tampak semakin marah mendengar cerita itu. Wajahnya merah padam seolah-olah dialah yang menyaksikan peristiwa itu sendiri. “Sayang banget nggak ketangkep! Kalau ketangkep kan bisa langsung diarak warga,” geramnya dengan nada penuh amarah, membayangkan betapa leganya jika pelaku itu tertangkap.
Meskipun cerita-cerita yang beredar semakin nyata dan intens, Samsul tetap meragukannya. Baginya, semua itu masih sulit untuk dipercaya sampai suatu malam, sebuah kejadian mengubah pandangannya.
Malam itu, Samsul terbangun dengan tenggorokan yang kering. Ia bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan ke dapur untuk mengambil segelas air. Setelah memuaskan dahaganya, ia berniat kembali ke kamar. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melewati jendela yang langsung menghadap ke teras rumah. Sesuatu di luar menarik perhatiannya—sebuah bayangan samar sedang menaburkan sesuatu di teras rumahnya.
Jantung Samsul berdegup kencang, ia hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tanpa berpikir panjang, ia berteriak memanggil orang tuanya. Teriakannya membangunkan seluruh rumah dan membuat sosok misterius di luar teras tergagap. Sosok itu segera lari terbirit-birit, tak sempat terlihat jelas oleh Samsul karena gelapnya malam.
“Tadi ada orang di teras, Pak!” Samsul berteriak dengan panik saat bapaknya tergesa-gesa keluar dari kamar. Pak Udin, yang segera meraih parang dari dapur, bergegas membuka pintu depan dengan penuh kemarahan. Namun, orang misterius itu sudah lari terlalu jauh, hanya meninggalkan jejak samar di dalam kegelapan.
“Setan!” umpat Pak Udin, merasa kecewa karena tak sempat menangkap pelaku. Parangnya masih tergenggam erat, siap membacok siapa pun yang mendekat. Setelah memastikan tak ada lagi yang mencurigakan, ia mengunci pintu depan dan memandang Samsul yang masih berdiri di sana, gemetar.
“Sudah, sana tidur lagi,” perintah Pak Udin sambil berusaha menenangkan Samsul. Namun, Samsul tetap diam di tempatnya, wajahnya pucat dan penuh kecemasan.
“Pien? Wedi turu dewek? (Kenapa? Takut tidur sendiri?)” tanya Pak Udin, sedikit melembutkan suaranya. Samsul mengangguk perlahan, merasa malu tapi tak bisa menutupi ketakutannya.
Pak Udin menghela napas panjang, lalu dengan lengan kekarnya yang gempal, ia merangkul kepala Samsul dan menyeretnya perlahan ke kamar. Samsul merasa terjepit di antara tubuh besar bapaknya dan lengan yang keras, mencium bau ketiak yang membuatnya hampir muntah.
“Wong lanang kok wedi turu dewek. Ya wis, ayo! (Laki-laki kok takut tidur sendiri. Ya sudah, ayo!)” Pak Udin tertawa kecil, mengejek rasa takut Samsul. Meski begitu, ia menuntun anaknya ke kamar dan memastikan Samsul bisa tidur dengan tenang, walau rasa takut itu masih membayangi. Bahkan di ranjang, Samsul didekap erat yang justru membuatnya tak nyaman tidur. Samsul agak menyesal.
Pada suatu hari, di saat Samsul tengah sibuk membersihkan meja di warung nasi milik keluarganya, suasana sekeliling terasa begitu akrab dan hangat. Ibunya sedang asyik menumis buncis di dapur, sementara bapaknya tekun membetulkan kaki meja yang goyah. Di salah satu sudut warung, tiga orang penggosip desa yang sudah menjadi langganan, Pak Jaka, Pak Dani, dan Pak Tarpan, tengah menghabiskan makan siang mereka. Setelah piring-piring mereka kosong, obrolan yang tadinya ringan pun mulai mengarah ke topik yang lebih serius.
“Jarene uwong… (katanya orang…)” Pak Dani memulai dengan nada yang pelan namun penuh misteri, seperti sedang membuka pintu ke rahasia besar. Samsul, yang sudah terbiasa dengan obrolan mereka, hanya memutar bola matanya, seakan berkata, "Ah, mulai lagi deh."
“Katanya, menabur bunga tujuh rupa ke rumah-rumah warga itu adalah syarat awal untuk melakukan pesugihan pocong. Jadi, sekarang semua masuk akal, kan? Ada yang ngelihat pocong, terus rumah orang-orang juga ditaburi bunga tujuh rupa. Ya, itu syaratnya!” Pak Dani melanjutkan dengan nada semakin meyakinkan.
Pak Tarpan, yang duduk di sebelahnya, mengangguk dengan penuh keyakinan. “Oh pantesan, umah sing ditaburi kembang tujuh rupa iku, umah wong sing due duit (rumah yang ditaburi bunga tujuh rupa itu, rumah orang yang punya duit.)”
Samsul memperhatikan dari kejauhan sambil terus membersihkan meja. Pak Jaka dan Pak Dani juga tampak setuju dengan pernyataan Pak Tarpan, menganggukkan kepala seolah meneguhkan hipotesis baru yang mereka yakini.
“Nah, iya kan? Rumah Pak Jaka, rumah Pak Haji Somad, rumah Pak Udin semalam, kalian semua memang punya duit. Bisnis sampean juga lancar, kan Pak Jaka?” Pak Dani menegaskan teorinya dengan lebih bersemangat.
Pak Jaka yang tadinya hanya mendengarkan, kini tampak resah. “Wah, bisa gawat kalau di desa ini ada pesugihan,” gumamnya pelan, namun penuh kekhawatiran.
Pak Udin, yang sedari tadi sibuk memegang beberapa paku di mulutnya sambil membetulkan meja, ikut berbicara meskipun suaranya agak teredam. “Sudah dari dulu kali, di desa ini memang banyak orang pesugihan, cuma ga ada bukti aja. Lagian gimana coba buat laporan ke polisi?”
Pak Jaka tampak semakin tegang, janggut putihnya bergoyang saat ia berbicara. “Ga perlu melapor, geruduk aja rumahnya kalau sudah ada bukti. Usir dia dari desa ini!”
Namun, Pak Udin tak begitu saja setuju. Ia menatap ketiga temannya dengan wajah serius. “Halah, yang sudah-sudah juga kita ga punya bukti. Alhasil mereka bebas pesugihan. Gimana caranya orang biasa kaya kita nyari bukti pesugihan?”
Perkataan Pak Udin membuat ketiga temannya terdiam dan merenung. Samsul yang dari tadi mendengarkan dengan seksama, ikut memikirkan pertanyaan itu. Benar juga, bagaimana cara menemukan bukti pesugihan?
Pak Dani tiba-tiba mendapatkan ide dan berseru dengan semangat. “Begini saja, bagaimana kalau kita bikin jadwal ronda lagi? Ajukan ke Pak Kades. Sudah berapa tahun desa kita ga bikin jadwal ronda lagi? Desa kita ga ada yang jaga!”
Namun, Pak Udin langsung menimpali dengan nada skeptis. “Tapi, kalau begitu, nanti si orang misterius itu tahu, terus dia berhenti menabur bunga. Kalau begitu, kita ga bisa tangkap basah dia.”
Pak Dani terdiam, merenungkan ulang rencananya yang terlihat cemerlang tadi. Namun, sebelum ia sempat menjawab, Pak Tarpan mengusulkan ide lain dengan antusias. “Begini saja, bagaimana kalau kita bisik-bisik saja ke tetangga?”
Pak Udin langsung memotongnya dengan sedikit keras. “Ya sama saja dong, goblok! Orang itu pasti bakal tahu juga. Mending kita berempat saja yang memergoki orang itu.”
Pak Jaka yang tadinya ragu, kini tampak setuju dengan Pak Udin. “Betul juga, ga perlu rame-rame.”
Namun tiba-tiba, Pak Udin mengangkat alisnya dan mengajukan pertanyaan yang membuat suasana mendadak tegang. “Tapi, bagaimana kalau orang itu salah satu di antara kita?”
Sejenak, mereka berempat terdiam, hening melingkupi mereka. Ketegangan makin terasa, dan Pak Dani tiba-tiba menggebrak meja dengan marah. “Ga mungkin!”
Pak Jaka, yang lebih tenang, menatap Pak Dani dengan tatapan serius. “Loh, benar kata bapaknya Samsul, bisa saja salah satu dari kita memang melakukan pesugihan!”
Pak Dani segera membantah. “Ya ga mungkin lah! Orang kita semua miskin. Pak Jaka sama Pak Udin punya duit pun cuma buat bertahan hidup, ga bisa foya-foya, kan?”
Suasana kembali hening setelah Pak Dani memperjelas ucapannya. Dalam hati, masing-masing dari mereka mulai berpikir, iya juga ya, itu masuk akal.
Pak Udin, yang tak ingin berlarut dalam keraguan, akhirnya berkata, “Akhhh, yang jelas, kita berempat saja yang coba memergoki orang itu. Kalau malam ini orang itu ga keluar, artinya salah satu dari kita yang melakukannya, atau salah satu dari kita bermulut ember dan membocorkan rencana ini.”
Pak Jaka mengangguk mantap, setuju dengan rencana tersebut. “Saya setuju, dan saya bisa jaga rahasia kok!”
Pak Tarpan dengan cepat menambahkan, “Saya juga!”
Pak Dani pun menegaskan, “Apalagi saya!”
Mereka bertiga lalu menatap Samsul, yang dari tadi mendengarkan tanpa banyak bicara. Samsul hanya menghembuskan napas pelan dan menggelengkan kepalanya, memberi isyarat bahwa ia pun akan merahasiakan rencana mereka. Warung itu kembali sunyi, sementara di luar, malam mulai merambat, seolah bersiap menyambut aksi mereka yang penuh misteri.
Samsul merasa dirinya benar-benar bodoh mengikuti rencana bapak-bapak desa yang tampaknya lebih suka berpetualang dalam gelap daripada menikmati kenyamanan di rumah. Malam itu, mereka bersembunyi di dekat sebuah rumah yang diduga belum pernah ditaburi bunga oleh sosok misterius yang hingga kini belum juga terungkap identitasnya. Rencana ini adalah ide dari Pak Udin, bapaknya Samsul, yang beralasan bahwa daripada mereka harus bergerak mencurigakan dan justru membuat sang pelaku lari ketakutan, lebih baik mereka menunggu di rumah yang belum pernah ditaburi bunga oleh si pelaku.
Waktu terus berjalan. Detik berubah menjadi menit, dan menit seolah merangkak menjadi jam. Rasa kantuk mulai menyerang Samsul, matanya berulang kali terpejam sebentar lalu terbuka lagi. Para bapak lainnya juga tampak lelah, ditambah lagi dengan gigitan nyamuk yang tak henti-hentinya menyerang mereka. Suasana semakin tak nyaman, dan Samsul mulai merasa benar-benar tak betah. Akhirnya, dia memutuskan untuk pulang sendirian, meninggalkan bapaknya dan yang lainnya yang masih setia mengawasi dari balik semak-semak dan pekarangan penuh pohon pisang.
Samsul baru saja melangkah beberapa meter dari tempat persembunyian ketika Pak Dani mengeluh dengan suara pelan, “Lama-lama darahku ini habis digigit nyamuk.”
Pak Jaka, yang selalu bisa menemukan humor di setiap situasi, nyaris tertawa ketika menanggapi, “Tinggal ngisi di rumah sakit, ga usah repot.”
Namun, tawa Pak Jaka terhenti ketika Samsul tiba-tiba berhenti di jalannya. Dalam keremangan malam, di antara bayangan pepohonan, Samsul melihat sesuatu yang membuat bulu kuduknya merinding. Di depan salah satu rumah besar di desa, rumah Pak Haji Somad yang dikenal sebagai orang kaya, Samsul melihat sesosok pocong. Bukan pocong yang sekadar berdiri kaku seperti dalam cerita-cerita yang biasa ia dengar, tetapi pocong itu bersujud, bangkit, lalu bersujud lagi, mengulang gerakan itu berulang-ulang. Setiap kali bangkit, wajah pocong itu menyala merah menyala, seperti bara api yang sedang berkobar, dan kain kafan yang membungkusnya tampak lusuh dan kotor, seolah telah terkubur dalam tanah selama bertahun-tahun.
Samsul tak bisa bergerak. Tubuhnya kaku, dan pikirannya dipenuhi rasa takut. Namun, tiba-tiba dia teringat bahwa rumah Pak Haji Somad termasuk salah satu rumah yang sudah ditaburi bunga oleh sosok misterius itu. Hatinya semakin berdebar kencang. Tanpa berpikir panjang, dia segera berlari kembali ke tempat bapaknya dan yang lainnya bersembunyi.
“Anu Pak… itu… po… pocong! Di rumah Pak Haji Somad!” Samsul berteriak dengan napas terengah-engah, hampir tidak bisa berbicara dengan jelas karena panik dan ketakutan yang menyelimutinya.
Pak Udin, yang awalnya terkejut melihat anaknya kembali dengan begitu tergesa-gesa, segera memberi kode kepada yang lainnya untuk segera bergerak ke rumah Pak Haji Somad. Mereka bergegas menuju rumah itu, berusaha tidak membuat suara yang bisa mengundang perhatian. Namun, ketika mereka tiba di sana, tidak ada pocong yang terlihat. Halaman rumah itu kosong, sepi, seperti tidak pernah ada apapun di sana.
Samsul merasa bingung, ia yakin benar apa yang dilihatnya. Wajah merah menyala, kain kafan lusuh dan kotor, pocong yang bersujud berulang-ulang—semuanya terbayang jelas di pikirannya. Namun kini, semuanya lenyap, seolah hanya ilusi.
Keesokan paginya, berita menyebar cepat di desa. Rumah yang semalam diawasi oleh Pak Udin dan bapak-bapak lainnya ditemukan dengan taburan bunga tujuh rupa di terasnya. Desas-desus tentang pocong yang dilihat Samsul malam itu pun mulai beredar, menambah ketakutan dan ketidakpastian di kalangan warga. Samsul semakin bingung, apa yang sebenarnya terjadi malam itu? Siapakah sosok misterius yang menaburkan bunga itu, dan apakah pocong yang dilihatnya benar-benar ada atau hanya tipuan mata? Semua pertanyaan itu terus menghantui pikirannya.
Desas-desus mulai menyebar cepat di desa, berbisik di antara para tetangga. Kabar itu mengenai Pak Ardi, tetangga Samsul, yang baru-baru ini membeli sepeda motor sport baru untuk anaknya yang sedang kuliah. Usaha ternak lele Pak Ardi juga dikabarkan berjalan sangat lancar. Hal ini terbukti dengan bertambahnya jumlah empang miliknya, banyaknya pekerja baru yang direkrut, dan arus barang-barang mahal yang terus berdatangan ke rumahnya. Bukan hanya sepeda motor, tetapi juga mesin cuci, kulkas, dan peralatan rumah tangga lainnya. Istrinya pun kini terlihat mengenakan perhiasan emas yang mencolok—gelang emas tebal yang melingkar di hampir seluruh lengannya, dan kalung emas yang begitu besar sehingga hampir membuatnya menundukkan kepala setiap kali memakainya.
Di sisi lain, terdengar kabar yang kurang mengenakkan tentang Pak Haji Somad, seorang tokoh terhormat di desa. Dia dikabarkan menjual salah satu sawahnya untuk membiayai pernikahan anaknya. Ini tentu menimbulkan tanda tanya, mengingat bisnis toko sembako dan toko bangunannya selama ini dikenal sukses, seharusnya lebih dari cukup untuk membiayai pernikahan anaknya. Situasi ini menimbulkan kecurigaan di antara warga, terutama kepada Pak Ardi. Bisnis Pak Ardi yang semakin maju bersamaan dengan kesulitan yang dialami Pak Haji Somad membuat orang-orang mulai membicarakan hal-hal yang tidak biasa.
Gosip itu paling sering terdengar di warung nasi milik orang tua Samsul, tempat keempat bapak-bapak sering berkumpul untuk mengobrol. Pak Dani, salah satu dari mereka, kembali membahas pengalaman Samsul yang mengaku melihat pocong di rumah Pak Haji Somad. "Tuh kan, kemarin si Samsul melihat pocong di rumah Pak Haji Somad, dan sekarang bisnisnya Pak Haji jadi lesu," kata Pak Dani dengan nada yang sedikit memancing, seolah mencoba mengaitkan kejadian mistis itu dengan kemunduran bisnis Pak Haji.
Samsul yang sedang sibuk menyusun kerupuk di dalam kaleng merasa risih mendengar namanya disebut-sebut dalam obrolan itu. Namun, dia tetap diam dan melanjutkan pekerjaannya, meskipun hatinya tidak tenang.
Pak Jaka, yang mendengar cerita itu, ikut angkat bicara. "Dan bisnisnya Pak Ardi malah makin maju. Saya dengar dari para tetangga, Pak Ardi katanya punya kebun di desa seberang lho!"
Pak Dani menambahkan dengan nada lebih rendah dan waspada, "Betul, waktunya bisa pas banget. Jangan-jangan Pak Ardi yang nyupang pocong? (Pesugihan pocong?)"
Pak Jaka yang mendengar kata "pesugihan" langsung merinding. Pikiran negatif mulai menghantui dirinya. Ia takut bisnis tambak udangnya akan terkena imbasnya. "Kalau beneran gitu, nanti bisa-bisa udang di tambak saya mati semua. Wah, bisa repot urusannya."
Pak Tarpan, yang sejak tadi hanya mendengarkan, tiba-tiba berseru dengan nada penuh semangat, "Kita nggak bisa biarin ini, Pak Udin!" Seruannya disambut dengan anggukan setuju dari Pak Dani dan Pak Jaka yang mulai terlihat cemas.
Namun, Pak Udin yang lebih tenang hanya mengusap hidungnya sebelum menanggapi, sambil terus menyusun keripik kulit ke dalam keranjang, "Ya mau bagaimana? Kita nggak punya bukti, kan?"
Obrolan itu pun berlanjut, tapi ketegangan sudah mulai terasa. Desa yang biasanya tenang kini dipenuhi oleh kecurigaan dan ketakutan yang mungkin akan membawa masalah lebih besar ke depannya. Samsul sendiri hanya bisa mendengarkan dengan perasaan tak nyaman, sambil merenungkan apa yang sebenarnya terjadi di desa mereka.
Waktu terus berlalu, dan kabar tentang Pak Ardi semakin menjadi bahan perbincangan di desa. Suatu hari, Pak Ardi baru saja pulang dari ziarah ke makam para wali. Saat kembali, dia membawa oleh-oleh berupa dua keranjang penuh buah nanas. Pak Ardi berbagi oleh-oleh yang didapatnya ke para tetangganya, termasuk keluarga Samsul. Nanas-nanas itu terlihat segar dan menggugah selera, apalagi di tengah cuaca panas yang menyengat.
Saat Samsul hendak mengupas salah satu buah nanas itu, tiba-tiba ibunya mendekatinya dengan wajah serius. "Jangan dimakan! Nanti ibu buang!" ucapnya dengan nada tegas.
Samsul menghentikan gerakannya dan menelan ludah, bingung dengan larangan itu. "Kenapa, Bu? Kan enak kalau makan yang segar-segar pas panas begini," katanya sambil masih memegang pisau dan nanas yang setengah terkelupas.
Ibunya berbisik pelan, seolah takut ada yang mendengar, "Kata bapak, nggak boleh makan pemberian dari Pak Ardi. Nanti kamu dipundut (dijadikan tumbal.)"
Kata-kata itu membuat Samsul merinding. Dipundut? Dijadikan tumbal? Pikiran-pikiran buruk mulai menghantui benaknya, membayangkan hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan enggan, dia meletakkan kembali nanas itu dan mengurungkan niatnya untuk memakannya. Ibunya segera mengambil buah itu dan memasukkannya ke dalam kantong untuk dibuang. Samsul memang anak yang penurut, bahkan jika itu bertentangan dengan pikiran dan keyakinannya, ia akan menuruti perintah orangtuanya.
Kabar pun kembali beredar di warung makan milik orangtua Samsul. Kini, desas-desus menyebutkan bahwa Pak Ardi membantu bisnis Pak Haji Somad yang sedang lesu. Sering kali, Pak Ardi berbelanja di toko sembako milik Pak Haji untuk kemudian dibagikan kepada warga yang kurang mampu. Tindakan ini membuat sebagian warga merasa terkesan, tetapi tidak sedikit yang melihatnya dengan curiga.
Tidak lama setelah itu, sebuah berita mengejutkan mengguncang desa: Pak Haji Somad ditemukan meninggal secara misterius di tokonya. Meskipun dokter menyatakan bahwa penyebab kematiannya adalah serangan jantung, warga desa tidak begitu saja mempercayainya. Ada yang yakin bahwa kematian Pak Haji terkait dengan sesuatu yang lebih gelap.
Suatu hari di warung, Pak Dani membuka percakapan dengan mengatakan, "Pak Ardi ternyata dermawan ya, suka bantu-bantu orang."
Namun, ucapan itu langsung disambut dengan tatapan sinis dari bapak-bapak yang lain. Pak Jaka, yang paling dikenal dengan kecurigaannya, segera menimpali, "Dermawan bagaimana? Itu cuma cara dia menebar benih. Nanti, saat panen, kamu bisa-bisa dipundut, dijadikan tumbal, baru tahu rasa!"
Pak Dani dan Pak Tarpan, yang kebetulan adalah dua di antara mereka yang menerima sembako dari Pak Ardi, merasa tidak nyaman dengan pernyataan itu. Mereka saling pandang, seolah mencoba memahami apakah ada kebenaran di balik rumor yang semakin santer terdengar.
Desas-desus pun semakin menyebar, menuding bahwa Pak Ardi tengah melakukan pesugihan pocong untuk memperkaya dirinya. Namun, ada juga yang tetap skeptis dan tidak percaya dengan tuduhan tersebut. Bagi mereka, kebaikan Pak Ardi yang setiap bulan rutin membagikan sembako kepada warga yang kurang mampu adalah bukti bahwa dia orang baik, bukan pelaku pesugihan.
Meskipun demikian, benih keraguan sudah ditanam. Setiap kali ada sesuatu yang aneh terjadi di desa, bayangan Pak Ardi dan rumor pesugihan pocong selalu muncul di benak warga. Samsul sendiri mulai merasakan ketegangan yang terus membayangi kehidupannya, dan ia pun bertanya-tanya, apakah ada kebenaran di balik semua cerita ini, ataukah semuanya hanya kebetulan yang terlalu rumit untuk dijelaskan?
“Si Dani sama Tarpan itu, kok ya mau-mauan menerima sembako dari Ardi,” keluh Pak Jaka dengan nada kesal. Wajahnya berkerut, penuh rasa dikhianati. Biasanya, Pak Dani dan Pak Tarpan selalu setia bergabung dengannya untuk menggunjing Pak Ardi, tapi kini, mereka mulai menjauh. Mereka sudah jarang berkumpul seperti dulu, seolah ada tembok tak kasat mata yang memisahkan mereka.
Pak Udin, yang duduk di sebelah Pak Jaka, hanya menghela napas. “Udah, biarin aja, yang penting kita jaga diri kita sendiri,” katanya dengan nada prihatin. Namun, di dalam hatinya, dia khawatir bahwa teman-temannya mungkin saja akan menjadi korban berikutnya, menjadi tumbal dari sesuatu yang tidak mereka pahami.
Desas-desus terus menyebar di desa. Mereka yang menerima kebaikan dari Pak Ardi—mulai dari orang-orang yang menerima sembako tiap bulan, hingga mereka yang selalu berhutang kepadanya dengan utang yang kian menumpuk—mulai mati secara misterius satu per satu. Kematian mereka begitu mendadak dan tak terduga, membuat ketakutan semakin mencekam di desa.
Namun, Samsul masih menganggap semua ini hanya kebetulan. Bocah berumur tiga belas tahun itu masih memegang teguh keyakinan logisnya. Baginya, teror pocong hanyalah cerita iseng yang dibesar-besarkan. Taburan bunga di teras rumah warga? Mungkin hanya ulah orang iseng. Kematian warga desa? Bisa jadi karena penyakit jantung yang memang sering menyerang orang tua. Semua itu adalah hal-hal yang masih bisa dijelaskan oleh akal sehatnya.
Suatu hari, warung nasi milik orang tua Samsul tutup. Mereka sekeluarga sedang berkunjung ke rumah nenek di luar desa untuk membicarakan rencana pernikahan kakak sepupu Samsul yang akan segera menikah. Acara itu direncanakan akan besar-besaran, sehingga semua anggota keluarga besar dilibatkan dalam diskusinya, termasuk orang tua Samsul.
Samsul, yang ditinggal sendirian di rumah, menonton TV di ruang tengah. Di luar, teman-temannya sudah berkumpul di lapangan, bermain bola dengan riuh gembira. Samsul ingin ikut bergabung, tapi ia adalah anak yang penurut. Orang tuanya telah berpesan agar dia tetap di rumah untuk menjaganya, jadi dia hanya bisa duduk diam, menonton TV.
Tiba-tiba, terdengar ketukan pelan di pintu depan. Samsul bangkit dari sofa dan menuju pintu. Ketika dibuka, ia melihat Pak Ardi berdiri di sana, tubuhnya jangkung, kurus, dengan keriput yang semakin tampak di wajahnya. Pak Ardi tersenyum lebar, memperlihatkan gigi emas yang menyempil di ujung kiri deretan giginya.
“Kok warungnya tutup, Sul?” tanya Pak Ardi dengan ramah, suaranya lembut namun terdengar sedikit serak.
Samsul menjawab dengan santai, “Soalnya bapak sama ibu lagi ke rumah nenek, Pak.”
Meski banyak orang yang takut dan curiga pada Pak Ardi, Samsul sendiri tidak merasa takut. Ia tidak percaya dengan cerita-cerita tentang pesugihan pocong yang mengaitkan Pak Ardi. Baginya, Pak Ardi adalah orang tua biasa, sama seperti yang lainnya.
“Oh, begitu? Ya sudah, ini buat kamu⸺tadi mampir sebentar ke mall, dimakan ya,” kata Pak Ardi sambil menyerahkan sebuah bungkusan kresek. Setelah memberikan bungkusan itu, Pak Ardi tersenyum lagi sebelum berpamitan dan berjalan pergi.
Samsul membuka bungkusan itu dan menemukan sebatang cokelat di dalamnya. Cokelat yang sering muncul di iklan TV, yang sudah lama diinginkan oleh Samsul. Harganya terlalu mahal untuk anak desa sepertinya, yang orangtuanya hanya berjualan nasi di warung sederhana. Senyum lebar terulas di wajah Samsul, tetapi senyum itu segera memudar ketika ia teringat pesan ibunya: “Jangan makan apapun pemberian dari Pak Ardi.”
Samsul menatap cokelat itu dengan penuh keinginan, tapi ia adalah anak yang penurut. Meski pikirannya mencoba melawan, hati kecilnya tahu bahwa ia harus menaati aturan orangtuanya. Dengan berat hati, Samsul meletakkan cokelat itu di dapur, menolak godaan yang begitu menggiurkan.
Ketika orangtuanya pulang dan Samsul menceritakan kejadian tersebut, Pak Udin langsung mengambil cokelat itu dan tanpa ragu membuangnya ke tempat sampah. Samsul hanya bisa melihat dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa lega karena telah patuh pada orangtuanya, tetapi di sisi lain, ada perasaan sedih karena kehilangan kesempatan untuk menikmati cokelat yang sudah lama ia impikan.
Dan begitulah, cerita-cerita tentang Pak Ardi terus menyelimuti desa, mengaburkan batas antara kenyataan dan mitos. Bagi Samsul, dunia seakan semakin rumit, penuh dengan teka-teki yang sulit untuk dipecahkan. Ia mulai menyadari bahwa di balik kebaikan yang terlihat, mungkin ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang belum bisa ia pahami sepenuhnya.
“Ini, buat kamu,” Samsul menerima cokelat yang sama dari bapaknya, namun ukurannya lebih kecil dari yang Pak Ardi. Samsul menatap tidak percaya. Rupanya tadi sore bapaknya pergi sendirian itu membelikan cokelat ini? Samsul masih diam tidak percaya, hampir menangis. “Ayo dimakan!” leher Samsul dililit oleh tangan besar nan kekar bapaknya, hampir sesak napas Samsul tapi matanya masih berkilauan senang.
Pak Udin tak lagi bisa menahan rasa kesalnya. Para tetangganya yang dulu hidup damai satu per satu mulai berguguran. Kematian misterius terus menghantui desa, dan semakin hari semakin sulit untuk mengabaikannya. Bahkan Pak Dani dan Pak Tarpan pun pergi secara tidak wajar. Pak Udin merasa ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. “Ini ga bisa dibiarin, Pak Jaka! Kita harus bertindak sebelum semuanya terlambat,” serunya dengan suara yang bergetar oleh amarah.
Pak Jaka, yang baru saja kehilangan sepupunya dalam keadaan yang sama misteriusnya, mengangguk setuju. Wajahnya merah padam, matanya dipenuhi dendam. “Betul, Pak Udin. Ayo kita kumpulkan warga! Ini sudah keterlaluan!”
Dengan cepat, kabar itu menyebar ke seluruh penjuru desa. Warga mulai berkerumun, berkumpul di depan warung nasi milik orangtua Samsul. Samsul, yang melihat kerumunan itu dari balik jendela, merasakan dadanya berdegup kencang. Tatapan para warga penuh dengan kebencian, suara mereka menggema dalam orasi penuh amarah yang dipimpin oleh Pak Udin. “Kita tidak bisa membiarkan para setan itu hidup tenang di desa ini! Kita seret mereka dan bawa ke lapangan!” teriak Pak Udin, membakar semangat para warga yang sudah terbakar api dendam.
Sorak-sorai semakin menguat, seperti gelombang amarah yang tak terbendung. Ingatan Samsul melayang pada peristiwa tawuran yang pernah terjadi beberapa tahun lalu di desanya. Desa ini memang terkenal suka tawuran, dan sekarang, amarah yang dulu pernah menyulut tawuran itu kembali membara, siap menghancurkan siapa saja yang dianggap sebagai musuh.
Warga yang sudah hilang kendali itu bergerak menuju rumah Pak Ardi. Seperti badai yang tak bisa dihentikan, mereka menggerebek rumah itu dengan brutal. Tangan-tangan yang marah mulai menjarah segala yang bisa diambil, menghancurkan setiap benda yang ada di depan mata. Anak dan istri Pak Ardi tak luput dari serangan. Mereka dipukuli tanpa ampun, tubuh mereka tergeletak tak berdaya, babak belur, wajah mereka penuh dengan luka lebam, dan darah yang mengalir dari hidung dan mulut yang robek akibat pukulan bertubi-tubi.
Tak puas dengan penghancuran itu, warga menyeret Pak Ardi, beserta istri dan anaknya, ke tengah lapangan desa. Mata mereka ditutup, tangan dan kaki mereka diikat erat ke batang kayu yang ditancapkan di tengah lapangan. Suara warga semakin menggema, meneriakkan satu kata yang sama, “BAKAR! BAKAR! BAKAR!”
Samsul menyaksikan semuanya dari kejauhan. Jantungnya berdetak kencang, penuh dengan campuran rasa takut dan kebingungan. Dalam hatinya, ia masih meragukan bahwa Pak Ardi benar-benar melakukan pesugihan dan menumbalkan para warga. Tapi apa yang bisa dilakukan oleh seorang bocah berumur tiga belas tahun? Samsul tak berani berbuat apa-apa, ia hanya bisa diam, menyaksikan kekejaman itu terjadi di depan matanya.
Samsul bukan satu-satunya yang tak berani bertindak. Bahkan aparat yang seharusnya menjaga ketertiban desa memilih untuk menarik diri setelah mendengar laporan bahwa ada warga yang akan dibakar. Mereka tidak mau menjadi sasaran amukan warga yang sudah tak bisa dikendalikan. Para pekerja Pak Ardi pun sudah lari kocar-kacir, menyelamatkan diri mereka sendiri sebelum amarah warga menimpa mereka juga. Samsul berdiri di sana, kaku, menyaksikan bagaimana kebencian bisa mengubah orang-orang yang dulu dikenalnya menjadi sosok yang tak lagi manusiawi.
Pak Udin semakin tidak bisa menahan kemarahannya. Dengan suara yang penuh emosi, ia mendekati Pak Ardi dan keluarganya yang sudah babak belur di hadapan para warga. "Jawab! Kalian kan yang nyupang (pesugihan) pocong!? Jawab atau saya siksa kalian lebih dari ini!" geramnya. Wajah ketiga orang itu sudah bonyok, dan istri Pak Ardi terus menangis, memohon ampunan tanpa henti. Namun, Pak Ardi tetap bersikeras, tidak ada niatan untuk mengakui tuduhan itu. Situasi menjadi semakin tegang, seolah mereka sedang beradu kekuatan dalam perang batin.
“Saya tidak melakukan pesugihan! Bisnis saya bersih dari hal kotor semacam itu! Bahkan saya menyisihkan harta saya untuk dibagikan ke warga, karena itu adalah kewajiban saya untuk saling berbagi!” ujar Pak Ardi dengan suara bergetar. Setiap kata yang diucapkannya terasa berat, seolah menambah beban pada tubuh kurusnya yang sudah tidak kuat menahan rasa sakit. Istri dan anaknya terus menangis dengan suara yang semakin parau. Anaknya yang laki-laki, meskipun sudah hampir dewasa, gemetar ketakutan hingga terkencing-kencing.
Pak Udin mengeraskan suaranya, semakin yakin bahwa Pak Ardi berbohong. "Baik, jika kau tak mau mengaku! Para warga, saksikan tukang pesugihan ini, malam ini akan mati! Dan desa kita akan terbebas dari orang nyupang! Juga, ini akan menjadi pelajaran bagi siapa saja yang mencoba macam-macam dengan desa ini!"
Suara teriakan "Bakar! Bakar! Bakar!" mulai menggema di seluruh lapangan. Semangat warga semakin memuncak, tetapi tiba-tiba suasana menjadi aneh. Di tengah gemuruh suara orang banyak, Pak Ardi, yang tampaknya sudah di ambang batas ketahanan fisiknya, tiba-tiba tertawa kecil. Tawa itu tidak berhenti di sana. Ia kemudian tertawa terbahak-bahak, tubuhnya terguncang-guncang karena kekuatan tawanya sendiri.
Anak dan istrinya, yang sebelumnya merintih kesakitan, sekarang semakin tercekam oleh ketakutan yang tidak terdefinisi. Mereka memohon ampun, namun tawa Pak Ardi semakin keras, menggema di seluruh lapangan. Pak Udin, yang awalnya penuh dengan amarah, kini terdiam sesaat, terkejut oleh perubahan perilaku Pak Ardi yang tiba-tiba.
Suasana di lapangan mendadak menjadi hening, ketegangan terasa menggantung di udara. Warga yang awalnya penuh dengan semangat ingin membakar, kini mulai diliputi ketakutan. Ada sesuatu yang sangat tidak wajar dari tawa itu. Pak Udin, yang sudah geram sejak tadi, tiba-tiba merasa ada sesuatu yang salah. "Gemuyuni apa sira kuh, RIK!? (ngetawain apa kamu, NJING?!)” teriak Pak Udin, yang tak lagi bisa menahan emosinya. Tawa Pak Ardi seolah mempermainkan mereka semua. Tapi Pak Ardi tidak menjawab, ia hanya terus tertawa, seolah kehilangan kewarasannya.
Semua orang yang berkerumun di lapangan itu sekarang tidak lagi bersorak-sorai. Mereka justru mulai merasakan ketakutan yang perlahan merayap masuk ke dalam hati mereka. Tawa Pak Ardi bukanlah tawa biasa, ada sesuatu yang gelap dan mengerikan di baliknya.
Samsul, yang berdiri di antara kerumunan, merasakan jantungnya berdegup kencang. Matanya terbelalak ketika ia secara naluriah menengadah ke atas. Suara-suara benda jatuh terdengar samar dari langit yang gelap, mengiringi tawa Pak Ardi yang semakin tidak terkendali. Warga lain yang mendengar suara itu juga mulai mengarahkan pandangan mereka ke atas, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi.
Langit di atas lapangan tampak bergejolak. Di tengah kegelapan malam, sesuatu jatuh dan terjun bebas. Mata-mata warga terpaku pada apa yang mereka lihat. Kengerian yang tidak bisa dijelaskan mulai merasuki mereka, menghapus amarah yang sebelumnya menguasai hati mereka. Suasana yang awalnya penuh dengan kebencian kini berubah menjadi ketakutan yang mendalam. Apa yang mereka saksikan di atas kepala mereka seolah menegaskan bahwa malam itu akan berakhir dengan sesuatu yang jauh lebih mengerikan dari yang pernah mereka bayangkan.
Di atas sana, langit malam yang seharusnya tenang berubah menjadi pemandangan mengerikan. Puluhan, bahkan ratusan pocong berjatuhan dari langit bagai hujan kematian. Wajah mereka yang merah menyala, penuh amarah dan kebencian, menciptakan bayangan yang meresahkan di benak siapapun yang melihatnya. Di tengah kekacauan itu, Pak Ardi tertawa terbahak-bahak, seolah-olah dia adalah satu-satunya yang mengerti lelucon yang kejam ini. Suara tawa gila itu bergema di antara jeritan histeris warga desa yang mulai berlarian, mencoba menyelamatkan diri dari bencana yang tak terduga ini. Samsul, yang awalnya berdiri di barisan belakang, dengan cepat bergabung dengan bapaknya dan memperingatkannya untuk segera lari, namun bapaknya masih berdiri tak bergeming, menatap ke langit dengan ekspresi ketidakpercayaan yang kaku.
Sementara itu, para pocong telah mendarat dengan kecepatan yang mengerikan. Tanpa ampun, mereka mulai mengejar dan menyerang siapa saja yang terlihat. Setiap langkah mereka membawa kehancuran. Teriakan-teriakan kesakitan terdengar saat pocong-pocong itu menggigit daging para warga, menusuk tubuh mereka dengan belati tajam, dan menikam mereka tanpa henti. Tidak ada belas kasihan di mata mereka yang merah menyala. Desa yang tadinya damai berubah menjadi medan pembantaian dalam sekejap mata. Darah mengalir di jalanan, organ tubuh manusia berceceran beserta darah segarnya, terikan kematian susul menyusul menggema di langit desa yang tengah terjadi pembantaian dan suara langkah kaki yang putus asa bercampur dengan suara serangan brutal.
Di tengah kekacauan itu, Samsul berlari ke arah bapaknya yang masih berdiri tak bergerak. “Ayo pergi, Pak!” teriaknya dengan panik. Namun, bapaknya seolah tak mendengar, masih terpaku menatap pemandangan horor di sekitar. Samsul berusaha meraih tangan bapaknya, namun takdir berkata lain. Sebuah kapak besar yang diayunkan oleh salah satu pocong menghantam lengan Samsul dengan kekuatan dahsyat. Jeritan kesakitan keluar dari mulut Samsul saat darah menyembur dari lengan yang terputus, dan di depan matanya, pocong itu menatapnya dengan seringai yang menyeramkan sebelum melompat dan menerkam tubuhnya.
Malam itu tawa Pak Ardi mengiringi pembantaian yang terjadi. Para pocong itu mulai menyebar dan memasuki rumah-rumah, membantai penghuninya tanpa sisa, kegelapan tidak hanya menutupi desa, tetapi juga menyelimuti nasib para penduduknya. Dalam waktu singkat, ratusan pocong telah meluluhlantakkan desa tersebut. Tak ada satu pun yang berhasil melarikan diri dari mimpi buruk yang nyata ini. Jeritan terakhir yang terdengar lenyap dalam kesunyian malam. Hanya satu keluarga yang tersisa di antara tumpukan mayat yang berserakan—Pak Ardi, istri, dan anaknya. Merekalah satu-satunya yang selamat, meski dalam kebisuan yang mengerikan, di mana tawa Pak Ardi yang gila masih terngiang-ngiang di tengah kegelapan malam.
“Di tahun 1997, di mana zaman sudah modern, kok masih saja ada warga yang tawuran sampai semua warga saling bantai dan terjadi hanya dalam satu malam?” seorang polisi dengan seragam ketatnya dan terlihat gagah, menggelengkan kepala setelah membaca laporan itu kemarin.
“Ya saya juga tidak mengerti Pak. Lima hari lalu saya mendapat empat pasien, ketiganya babak belur, dan salah satunya anak berumur belasan tahun dengan tangan yang terpotong dan mengalami pendarahan hebat. Untungnya dia berhasil selamat dan kemarin baru saja siuman. Namun sayang…” si dokter dengan jas putihnya itu menunduk seolah prihatin dengan apa yang ia katakan. Mereka mengobrol sembari berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit.
“Kenapa memangnya dok?” tanya si polisi.
“Dia agaknya trauma. Sejak kemarin, tatapannya kosong, diam saja dan tidak menimbulkan reaksi apapun. Seakan dia masih shock atas apa yang menimpa dia dan keluarganya.”
“Begitu ya?” kata si polisi dengan prihatin, “bahkan dengan bantuan satpol PP, dan bantuan dari polres-polres terdekat, kami membutuhkan waktu yang lama untuk memungut mayat-mayat warga yang saling membantai itu,” si polisi teringat dia melihat secara langsung para bawahannya menggotong para mayat warga dengan keadaan yang tak karuan. Ada yang perutnya robek dan mengeluarkan organ tubuh, ada yang kepalanya terbelah sampai gigitan-gigitan yang merobek daging mereka.
“Namun, syukurlah masih ada yang selamat di antara mereka. Saya memang mengizinkan bapak untuk datang memeriksa para korban yang selamat ini, tapi saya minta tolong kepada bapak, untuk tidak terlalu memaksakan mereka, karena saya yakin mereka juga masih trauma.” Kata si dokter memohon pada si polisi.
“Baik dok, saya akan menahan diri,” kata si polisi dengan anggukan samar.
“Baiklah kalau begitu, lewat sini,” kata si dokter menunjukkan jalan dan mereka berdua kembali berjalan di lorong-lorong rumah sakit.
“Bisa dimulai sekarang, Pak Ardi?” seorang polisi di ruang rawat.
“Iya Pak, silahkan.”
“Jadi, keluarga Bapak satu-satunya yang selamat dari tawuran antar warga?” Pak Ardi mengangguk, “Oh iya, dan anak yang di sebelah sana ya?”
“Iya, sayang sekali di usia kanak-kanaknya dia harus kehilangan keluarganya, teman-temannya, dan tangannya,” Pak Ardi menatap Samsul yang kini seakan kehilangan cahaya di matanya akibat trauma. Kondisi Samsul buruk, pendarahan hebat akibat dibacok, dan harus menerima perawatan intensif. Dan sekarang Samsul dengan tatapan kosong hanya bisa terbaring di ranjang rawatnya. Pak Ardi, istrinya, anaknya dan Samsul dirawat dalam satu ruangan yang sama.
“Di laporan ini Pak Ardi menulis bahwa warga saling membunuh karena berdebat mengenai pencalonan kepala desa?” Pak Ardi sekali lagi mengangguk. “Bisa tolong ceritakan lebih detail?” Pak Ardi kembali melirik ke arah Samsul, tersenyum simpul sesaat memperlihatkan gigi emasnya.
“Saya bisa menceritakannya, awalnya…”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
