
Di sinilah kisah Rehan bermula, di tengah keheningan yang mengisi rumah besar yang dulu penuh tawa keluarganya. Setelah kehilangan lima anggota keluarganya dalam kecelakaan tragis, Rehan mencoba bertahan dan meresapi kenyataan yang begitu pahit. Namun, ketika kejadian-kejadian aneh mulai terjadi—dari paket misterius yang datang untuk pamannya yang sudah meninggal hingga tanda-tanda tak terjelaskan yang muncul di rumahnya—Rehan mulai mempertanyakan apakah ada sesuatu yang lebih menyeramkan di balik...
Pagi itu adalah ke tujuh kalinya Rehan menyiram air bunga yang sudah diberi doa tahlilan para tetangganya semalam. Ia membawa toples besar yang sudah kosong itu dan menyimpannya ke kantong kresek. Ada beberapa bunga basah yang masih membekas di dalamnya, potongan daun pandan juga beberapa tangkai melati yang masih tersisa bersama beberapa tetes air yang menggenang di sudut toples. Rehan menatap kelima makam yang masih segar itu, bahkan bongkahan tanahnya masih belum terbiasa tersiram cahaya matahari.
Di situlah terbaring adiknya, kakaknya, ibunya, ayahnya, dan pamannya. Berjejer. Mereka mengalami kecelakaan lalu lintas sepulang dari menjenguk Rehan di bumi perkemahan seminggu lalu. Mata rehan yang masih merah nan sembab itu sudah berkali-kali menangis. Tapi, mungkin matanya pun sudah lelah menangis, dadanya pun sudah letih naik turun, air matanya pun mungkin sudah habis, di hari ketujuh kematian keluarganya, Rehan hanya terdiam beberapa saat sembari bertatapan kosong.
Sepulang dari makam, Rehan masih melihat di rumahnya ada beberapa orang yang mengambil peralatan masak mereka masing-masing yang dipinjamkan ke Rehan untuk mengadakan tahlilan selama tujuh hari. Ada yang meminjamkan panci, dandang besar, kompor besar, pisau dan sebagainya yang kini mulai diangkut kembali oleh pemiliknya masing-masing.
“Kamu yang tegar ya Rehan, yang sabar, kalo perlu apa-apa tinggal ke rumah saja, ya?” kata seorang ibu paruh baya, istri Pak RT. Dia yang paling terakhir mengambil barangnya di rumah Rehan. Rehan hanya tersenyum mengangguk.
“Eh itu masih ada yang kotor, biar aku bersihkan saja, Bu RT!” Rehan melihat noda hitam di kuali besar milik Bu RT. Tidak enak jika kuali itu kurang bersih, padahal tadi pagi-pagi sekali ia sudah pastikan semuanya bersih. Masih saja ada yang kelewat.
“Eh? Bukan, ini tanda kalo wajan ini milik saya. Kan repot kalo ga ditandain?” Bu RT tertawa tipis. Yang Rehan lihat itu bukan tanda biasa, noda itu bergambar tiga buah batang tombak dengan ujung tombaknya masing-masing menembus tengkorak. Tanda yang aneh, Rehan pikir.
“Oh iya, tadi ada paket, udah ditaruh di ruang tamu, katanya buat paman kamu.” Kata Bu RT, lalu pergi dengan peralatan masaknya.
Paket? Rehan tidak tahu jika akan datang paket ke rumahnya. Terlebih itu untuk pamannya yang baru saja meninggal. Rehan lalu kembali mengangguk dan memasuki rumahnya yang lenggang, hanya dia sendiri di rumah itu. Rasanya aneh bagi Rehan, rumah ini selalu ramai oleh kebisingan adiknya yang berlarian, kakaknya yang selalu bersenandung sembari menyisir rambut, pamannya yang sibuk dengan perkakas kayu di halaman belakang, ibunya yang memasak dan ayahnya yang sibuk teleponan dengan bos dan klien. Saat ini, rasanya begitu sunyi nan kosong.
Paket yang dimaksud adalah sebuah persegi yang tipis berukuran A1, mungkin sebuah bingkai? Paket itu terbungkus koran lama. Rehan melihat sudut koran itu bertanggal 13/8/2019, di sudutnya ada busa dan tali yang mengikat dari sisi ke sisi. Rehan menyobek koran demi koran dan berusaha mengeluarkan isinya. Sebuah lukisan dengan cat akrilik bergambarkan wanita berkulit pucat, berbaju merah kusam dan berbibir hitam, matanya merah dan bibirnya berekspresi datar, satu matanya tertutup rambut keriting yang panjang dengan background lukisan cenderung cokelat kusam dan dibuat dengan goresan seadanya. Lukisan itu terlihat sangat kusam, meski Rehan pikir itu adalah lukisan yang baru, namun terlihat kusam.
Rehan tidak tahu harus diapakan lukisan ini. Ia sandarkan saja di ruang tengah untuk sementara waktu, tapi saat ita berniat memindahkan lukisan itu dari ruang tamu ke ruang tengah⸻ Rehan melihat tulisan 13/8/2019 menggunakan spidol hitam di belakang kanvas lukisan itu. Rehan mengerutkan dahinya. Tidak asing dengan tanggal itu. Apa itu tanggal pemesanan lukisan ini? Tapi kenapa bisa sama dengan tanggal kematian lima anggota keluarganya? Rehan hanya menggeleng pelan dan tidak memikirkan kebetulan itu. Setelah ia pikir-pikir, lebih baik menaruh lukisan ini ke kamar pamannya bersama barang-barang artistik lainnya.
Pamannya itu memang tukang patung kayu, kamarnya digunakan sebagai penyimpanan beberapa karyanya. Pamannya itu suka membentuk patung dengan menggabungkan dua unsur menjadi satu. Seperti patung kuda bertubuh manusia, manusia bertangan kepiting, singa berkepala burung dan sebagainya. Rehan pun tidak mengerti di mana letak estetikanya.
Setelah meletakan lukisan yang Rehan juga tidak paham dimana letak keindahannya itu, Rehan hendak keluar dari kamar pamannya dan berniat untuk membereskan dapur. Saat ini dia tinggal sendirian, jadi segalanya harus ia lakukan sendiri. Tidak bisa lagi bagi-bagi tugas dengan kakak dan adiknya seperti dulu.
Saat membereskan dapur, keheningan kembali merambat di dinding rumahnya, mengisi tiap sudut rumahnya yang cukup besar. Rehan hampir saja menangis jika dia tidak segera mengalihkan perhatiannya. Kenapa dia jadi sering melamun dan memikirkan keluarganya? Apa dia belum rela mereka semua pergi? Jelas! Rehan pun jika ditanya, jelas tidak akan rela. Tapi, mereka sudah pergi. Mau tidak mau harus diterima.
Saat Rehan akan mengelap tempat kompor yang terbuat dari beton dan keramik yang masih agak kotor karena kemarin digunakan untuk memasak bumbu untuk tujuh harian keluarganya, Rehan melihat tulisan setelah ia mengelapnya dengan bersih. Rehan menelan ludah, terdapat tulisan 13/8/2019⸻ mungkin lebih tepatnya ukiran. Ukiran di keramik tempat kompor di dapurnya, sejak kapan ukiran ini ada? Rehan tidak mengingatnya. Jika ukiran ini dibuat menandakan pembuatan tempat kompor, jelas tidak mungkin karena tempat kompor ini usianya sama dengan adiknya yang baru tujuh tahun itu. Sementara 13/8/2019 adalah baru tujuh hari kemarin, tepat keluarganya terlibat kecelakaan lalu lintas dan meninggal di tempat.
Rehan tertegun, perasaan takut dan bingung mulai menjalari tubuhnya. Ia memandangi ukiran itu dengan lebih seksama, berusaha mencari penjelasan rasional. "Mungkin ini hanya kebetulan," pikirnya. Tapi, kenapa tanggal yang sama terus muncul? Ia mencoba mengalihkan pikirannya, namun pikirannya terus kembali ke ukiran, tulisan dan lukisan yang ditemukannya tadi.
Keesokan paginya, Rehan membersihkan kamar ibu dan ayahnya, kemarin sudah datang Pak RT untuk meminta barang-barang yang sudah tidak terpakai agar bisa disumbangkan untuk warga lain yang lebih membutuhkan. Tidak perlu merasa tidak etis dengan tindakan Pak RT, warga di sini sudah mengerti. Daripada barang-barang seperti pakaian dan lainnya menganggur dan berdebu, lebih baik diberikan kepada orang yang lebih membutuhkan. Rehan pun paham dan berniat menyisakan barang keluarganya untuk ia simpan, dan selebihnya akan ia sumbangkan melalui Pak RT.
Setelah membereskan kamar orangtuanya, ia sudah mengepakkan pakaian orangtuanya yang hendak disumbangkan. Dan tak lama kemudian Pak RT datang. “Kemarin katanya ada polisi ya Mas Rehan?” kata Pak RT, Rehan mengangguk, itu adalah polisi yang mengurus kecelakaan keluarganya.
“Katanya suruh mengurus ini itu Pak,” jawab Rehan dengan ramah.
“Orang kecelakaan pun masih diberi repot ya Mas Rehan? Ya seenggaknya bantu meringankan keluarga yang ditinggalkan gitu lho, kok malah disuruh mengurus ini itu,” Rehan hanya tersenyum sebagai jawaban dari Pak RT yang mengomel sembari ikut membantu Rehan menggotong dua kardus besar.
“Lho? Pak RT punya tato ya?” Rehan baru menyadarinya.
“Eh, iya Mas, biarlah Mas, pengen ikutan kaya anak muda,” wajah Pak RT memerah dan tertawa canggung. Mungkin malu karena tatonya dilihat anak muda. Sesaat Rehan melihat tato itu bergambar tiga buah batang tombak dengan ujung tombaknya masing-masing menembus tengkorak. Tato itu terletak di sekitar pergelangan tangan Pak RT.
Rehan menghembuskan napas berat, ia resah sekali. Kemarin saat polisi datang, tidak hanya meminta Rehan untuk mengurus sesuatu mengenai mobil keluarganya yang sudah tidak berbentuk itu. Tapi, ada hal lain yang disampaikan oleh polisi yang membuatnya resah.
“Apa Mas Rehan sering mendengar pertengkaran di keluarga Mas Rehan?” Rehan mengerutkan dahinya, pertengkaran adalah kata yang asing di keluarganya. Keluarga mereka selalu membagi keceriaan dan kebahagiaan. Mereka mencoba saling mengerti dan sangat dekat satu sama lain. Rehan tersentak, kecuali pamannya dengan kakak dan adiknya. Mereka tidak terlalu dekat.
“Memangnya kenapa, Pak? Keluarga kami baik-baik saja, bahkan sebelum saya pergi berkemah, kami mengadakan pesta BBQ kecil-kecilan, dan bahkan pemanggannya pun masih belum dibersihkan,” Rehan bertanya-tanya apa sebabnya polisi bertanya demikian? Apa kerja polisi sekarang adalah mencampuri urusan orang lain?
“Maaf Mas Rehan, kami menemukan tikaman di beberapa tubuh korban. Semua korban mendapatkan luka tikaman di bagian leher dan perut. Kami baru menyampaikannya dikarenakan kami tidak ingin mengganggu Mas Rehan yang tengah berduka,” Rehan tertunduk, hampir menangis, pantas saja saat itu Pak RT melarangnya untuk melihat jenazah keluarganya. Yang Rehan tahu, mereka sudah terbungkus kain kafan dengan rapi. Rehan juga tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi mereka.
“Begini Mas Rehan, bukan maksud kami membuat Mas Rehan kembali berduka,” polisi yang satunya merasa tidak enak begitu melihat Rehan yang hampir menangis, namun Rehan menggeleng pelan. “Mas Rehan, kecelakaan yang keluarga Mas Rehan alami bukan berakibat dari kelalaian pengendara, malfungsinya mobil, ataupun kelalaian dari truk yang menabraknya, melainkan akibat luka tusuk yang dialami pengendara dan semua penumpang di mobil itu. Pengendara mengalami luka tusuk, tewas ditempat, sehingga menyebabkan kecelakaan.”
“Dengan bertanya begitu, maksud Bapak keluarga saya saling tikam di mobil?” Rehan tidak mengerti, itu adalah kalimat paling aneh yang ia ucapkan. Keluarganya? Yang harmonis itu, saling tikam?
“Ini yang membuat kami pusing, Mas Rehan. Dalam mobil itu, kami tidak menemukan pisau. Di tempat kecelakaan, di bagian tubuh korban, di mobil yang sudah tak berbentuk karena tertabrak truk di jalan tol, di sungai dekat jalan tol, semua sudah kami periksa dan tidak menemukan pisau apapun atau benda tajam apapun yang bisa digunakan untuk menikam sesorang,” Rehan terbelalak, apa maksudnya itu? Polisi itu mendekat ke arah Rehan, berbisik begitu samar, “apa Mas Rehan tidak berpikir jika mereka disantet?” Rehan semakin bingung, polisi mana yang mengurus santet?
Rehan kembali ke kamar orangtuanya, berniat mengambil golok koleksi ayahnya untuk ia taruh di bagian perkakas rumah. Ayahnya itu memang menyukai golok yang berukir dan mengoleksinya beberapa. Rehan hanya menyimpan satu dan sisanya ia sumbangkan dan sudah dibawa Pak RT tadi. Rehan mengambil golok itu dan langsung keluar dari kamar orangtuanya, tapi langkahnya terhenti karena saat ia melewati pintu kamar pamannya, pintu itu terbuka pelan dengan sendirinya.
Rehan terheran karena bahkan hari ini sedari pagi dia tidak menyentuh pintu kamar pamannya. Rehan tertegun sesaat dan berniat menutup pintu itu. Saat hendak menutup pintu, Rehan tanpa sengaja melihat lukisan aneh itu di sudut kamar pamannya bersama beberapa patung kayu di sebelah kanan ranjang pamannya.
Saat itu kamar pamannya itu gelap, matahari dari jendela kamar pamannya itu terhalang tirai dan memperlihatkan suasana remang-remang cenderung gelap. Memang Rehan tidak melihat jelas lukisan itu, tapi tetap saja Rehan yakin jika saat ini lukisan itu berubah. Lukisan wanita pucat itu menjadi tersenyum, matanya menjadi sedikit sipit karena senyumnya yang lebar. Rehan menyalakan lampu, agar melihat lukisan itu lebih jelas. Dan begitu dinyalakan lampu kamar pamannya, lukisan itu tetap menampilkan wanita pucat dengan senyum lebar. Rehan langsung menutup pintu kamar pamannya. Ini sudah terlalu aneh baginya. Mana bisa lukisan berubah begitu.
Keesokan harinya, Rehan sudah selesai membereskan barang-barang dari kakak dan adiknya untuk disumbangkan lewat Pak RT dan menyimpan beberapa barang yang sentimentil baginya. Pak RT datang seperti biasa, tersenyum ramah dan berbasa-basi sedikit.
“Berarti besok tinggal barang-barang Mas Remon ya Mas?” Rehan mengangguk, Remon adalah nama pamannya. “Atau hari ini saja? Nanti saya bantuin deh, Mas.” Katanya dengan nada bersemangat.
“Eh? Besok aja deh Pak, takutnya ada barang penting, saya ga enak kalo ada orang bantuin, nanti takutnya malah diburu-buru.”
“Oh gitu ya Mas?” wajahnya nampak kecewa.
“Di kamar Om Remon ada banyak patung sama lukisan, mau tidak Pak?” Pak RT itu menimbang.
“Bukannya sayang Mas Rehan? Mas Remon itu orang yang begitu cinta sama karya seni, kalau disumbangkan, apa tidak terlalu berharga? Mending sempaknya saja,” Rehan berpikir ulang, pamannya itu memang lebih mencintai karya seni daripada wanita. Buktinya, Rehan tidak pernah melihat pamannya itu membawa wanita mana pun ke rumah. Atau bahkan meminta izin menikah pada ibunya. Eh⸻ tunggu, apa? Sempak?
“Sempak Om Remon buat apa Pak?” Rehan mengangkat alisnya, heran.
“Eh? Anu, itu, ya… ya ga papa kan Mas? Siapa tahu ada yang perlu sempak?” Pak RT nyengir.
Setelah Pak RT pergi dan membawa dua kardus besar dari barang-barang adik dan kakaknya untuk diberikan ke orang yang lebih membutuhkan, Rehan sepertinya lapar dan berniat membeli nasi seperti biasanya. Membawa motornya, Rehan ke gang depan untuk membeli nasi. Sayangnya siang itu tutup. Rehan mencari penjual nasi yang lain. Di ujung jalanan besar, Rehan menemukan penjual nasi. Rehan tidak ingat jika ada warung nasi di sini.
Warung nasi itu seperti bentuk warteg pada umumnya, sangat sederhana dengan kursi panjang yang mengitari etalase yang berisi berbagai macam lauk. Sepi, tidak ada orang selain penjual seorang bapak paruh baya yang kurus berjenggot putih panjang dan nampak tidak terlalu ramah.
“Mau makan apa?” kata bapak itu tanpa beramah tamah.
“Nasi pakai ayam, telor sama tumis buncis Pak,” kata Rehan mengabaikan ketidakramahan si Bapak. Tangan si Bapak itu bergerak dalam kesunyian dan tak lama si Bapak langsung menyerahkan pesanan Rehan yang sudah terbungkus. “Berapa Pak?”
“Tiga belas agustus, dua ribu sembilan belas,” ucap si Bapak dengan ekspresi datar. Rehan termenung.
“Maksudnya, Pak?”
“Tiga belas ribu,” wajah si Bapak tidak berubah lebih ramah. Rehan buru-buru mengeluarkan duit pas dan langsung pergi. Namun begitu keluar dari warung nasi itu, Rehan tiba-tiba diterkam oleh sesorang dengan wajah lusuh, rambut panjang tak terurus bertahun-tahun dan baju yang tak pernah diganti.
“11 KLIWON TAHUN AKHIR DUA!!! BERHATI-HATILAH!!!” tubuh Rehan dicengkram lebih kuat, si wanita yang nampak gila itu berteriak histeris pada Rehan. Rehan mulai ketakutan.
“Hei! Pergi!” usir si penjual nasi. Wanita gila itu segera pergi ketakutan. Rehan sempat bertemu pandang dengan si penjual nasi. Lalu ia kembali masuk dan Rehan pun dengan perasaan tak menentu pergi dengan motornya.
Sesampainya di rumah, Rehan menjadi sangat kepikiran. Apa itu 13/8/2019? Dan kenapa keluarganya mengalami kecelakaan sampai semuanya meninggal di tempat dan kenapa dengan kebetulan super hebat, bertepatan dengan tanggal itu? Rehan menahan napasnya beberapa kali karena sedari tadi ia panik sehingga ia menghirup napas lebih banyak dan membuat dadanya terasa sakit.
Rehan jadi tidak nafsu makan, ia menaruh bungkusan nasi itu di rak buku di ruang tengah dan tanpa sengaja menyenggol beberapa buku sehingga berjatuhan. Rehan menggeleng pelan, tapi ia tersadar akan benda yang baru saja ia jatuhkan adalah album foto keluarganya yang terbuka di halaman tengah. Itu album milik ayah dan ibunya, sebelum kakaknya lahir. Saat mereka masih muda.
Rehan meraih album foto itu dan tersenyum kecil melihat foto ibu dan ayahnya yang masih menjadi pasangan muda, berfoto dengan pose mesra. Ibunya bersandar ke dada ayahnya, berpelukan mesra, bahkan ada foto mereka berciuman dengan mesranya. Rehan jadi malu sendiri melihatnya.
Saat itu ibu Rehan seperti tidak pernah mengikat rambut karena rambut ikalnya itu selalu terurai di semua foto yang Rehan lihat. Rehan kembali melihat-lihat foto demi foto. Ada yang foto mereka di pantai, di sungai yang jernih dengan bebatuan yang besar, ada yang di taman kota⸻ tubuh Rehan membeku. Ibunya sangat mirip dengan lukisan wanita pucat di kamar pamannya.
Rehan berlari kecil dan langsung membuka kamar pamannya, sembari ia menenteng dan membandingkan foto ibunya dengan wanita di lukisan itu. Wanita di lukisan itu masih tersenyum lebar dengan kulit pucatnya serta mata merah menyalanya. Rehan menelan ludah. Jika wanita di lukisan itu tidak bermata merah, tidak berbibir dengan lipstik hitam, wanita itu sangat mirip dengan ibunya yang masih muda.
Rehan hampir tidak bisa tidur karena memikirkan semuanya. Namun, karena lelah seharian beberes, dia akhirnya jatuh tertidur juga. Entah karena sedang memikirkan pamannya atau bagaimana, Rehan memimpikan pamannya. Lebih tepatnya, di mimpi itu ingatan Rehan akan pamannya mencuat.
“Om, kalau aku pakai baju ini, keren ga?” kata Rehan, itu adalah jaman dia SMP saat akan pentas seni untuk pertama kalinya.
“Keren Rehan, kamu selalu keren.” Ujar pamannya dengan senyum lembut.
“Kalau aku Om?!” kata kakaknya berteriak antusias karena hari itu kakaknya Rehan pun ada lomba modeling di SMA.
“Om ga ngerti baju cewek, tanya ibumu saja ya?” lalu diakhiri dengan senyum kaku, yang membuat kakaknya itu sedikit kesal.
Mimpi Rehan melompat-lompat, seperti sedang menonton berbagai video pendek tentang ingatan Rehan. Saat itu Rehan baru mengetahui jika pamannya adalah adik tiri ibunya. Rehan yang masih TK pun tidak terlalu mengerti dengan istilah adik tiri, itu membuatnya terkejut bahkan menangis terseduh-sedu mengira itu artinya dia tidak punya paman lagi.
Rehan melompat lagi ke ingatannya yang lain. Dulu Rehan sering mendengar kehebatan ayahnya dari pamannya. Pamannya bercerita jika dulu ayah Rehan adalah seorang lelaki yang hebat, penuh perhatian, suka menolong dan karir di kantornya melejit.
“Nanti Rehan bisa jadi seperti ayah ga Om?” kata Rehan yang masih berusia lima tahun.
“Tentu, kamu mirip sekali sama ayah! Kamu juga pasti jadi orang hebat, sama seperti ayah!” katanya dengan akhiran senyum manis seperti biasa. Tapi jika Rehan ingat-ingat, senyum manis pamannya itu tak pernah didapat oleh adik dan kakaknya. Jadi seringkali Rehan merasa lebih spesial di mata pamannya.
Pagi harinya Rehan terbangun, dan hendak membereskan kamar pamannya. Mimpi semalam dia tidak ingat, terpendam kembali di sudut ingatannya yang paling sudut. Pertama-tama dia memindahkan semua patung aneh pamannya itu, lalu mulai menyapu dan menyortir mana yang layak disumbangkan, mana yang dibuang dan mana yang disimpan. Seperti biasa. Di lemari bagian bawah sudut paling kiri milik pamannya, terdapat banyak tumpukan kertas dan buku. Rehan memeriksanya lebih dulu.
Ada kertas promo minimarket, dan setumpuk kertas corat-coret tak karuan. Mungkin itu sketsa dari patungnya. Ada buku catatan, Rehan membukanya, rupanya buku diary. Rehan tutup lagi, tidak penting. Ada buku yang dibalut kain sebagai sampul. Lebih tepatnya papan kayu tipis yang dibungkus kain dan digunakan sebagai sampul. Kertas di dalamnya juga sama usangnya dengan sampulnya.
Rehan membuka sekilas, tulisan-tulisan aneh muncul. Ada gambar-gambar tidak karuan, ada banyak simbol-simbol tak bisa dimengerti olehnya. Ada simbol yang familiar dengannya yakni simbol tiga buah batang tombak dengan ujung tombaknya masing-masing menembus tengkorak. Ada juga gambar banyak pisau yang melayang-layang, ada gambar wanita yang diikat dan tengah disiksa dengan banyak pisau yang melayang. Bahkan ada gambar orang yang berkerumun melingkar seperti tengah memuja sesuatu. Namun, yang menarik perhatiannya adalah ada gambar sebuah bingkai, seperti bingkai lukisan yang tergambar di dalamnya sebuah sketsa awal. Seperti sebuah manekin yang digunakan para pelukis untuk membuat sketsa awal sebagai gambaran awal suatu pose dari objek yang akan dia lukis.
Rehan lalu membandingkan sketsa awal di buku itu dengan lukisan wanita berkulit pucat dan bermata merah. Rehan menelan ludah, posenya sama. Pose antara wanita di lukisan itu, dengan sketsa awal di buku itu, mereka berpose dengan sama persis. Sudutnya, posenya, dan komposisinya. Di bawah lukisan itu, ada sebuah angka 11 lalu tulisan tidak jelas, lalu ada angka dua di akhirnya.
Rehan yang merasa pamannya ini penuh akan misteri, memutuskan untuk membuka diary pamannya yang ia tadi anggap tak penting itu, dan mencari sesuatu yang mungkin bisa ia temukan sebagai petunjuk.
Berlembar-lembar Rehan baca, namun tidak ada yang terlalu penting sampai akhirnya ia menemukan lembar terakhir dengan tanggal 24 Juli 2018, adalah tulisan terakhir pamannya di buku diary milik pamannya.
Dulu aku punya kekasih,
Begitu pengertian, penuh perhatian, begitu menyayangi diriku setulus hati dan aku begitu merasa aman jika aku bersandar di dadanya.
Tapi itu dulu, sebelum ia pergi.
Dia pergi ingin mencari kebahagiaan baru, padahal aku di sini sudah memberikan segala yang aku punya untuknya.
Katanya dia ingin dunia tahu jika ia bisa mencintai seseorang. Hati ku patah mendengarnya. Dia anggap apa aku selama ini? Hanya permainan saja kah diriku ini?
Sudah begitu dia memutuskan untuk bersama dengan orang yang aku benci.
Aku semakin membencinya, membenci mereka!
Tapi, hati ini selalu bergetar… aku tidak bisa membencinya, ataupun membenci apa yang dia tinggalkan, segala hal yang serupa dengan dia, atau mengingatkan aku dengan dia, aku tidak bisa membencinya. Wangi sabun yang ia pakai, wangi sampo yang ia gunakan, baju jelek yang ia pakai, dan segala yang ia tinggalkan… aku tidak bisa membencinya.
Namun,
Di kehidupan selanjutnya,
Mungkin kita bisa bersama.
Abadi, tak terbatas akan apapun, hanya kebahagiaan yang menyelimuti kami.
Rehan menaruh pelan buku diary itu, tidak terlalu mengerti maksudnya. Lalu ada album foto. Album itu sepertinya sudah lama dibuat. Rehan membukanya. Ada foto pamannya dan ayahnya. Saat mereka masih muda. Rehan termenung sesaat, lalu ia berlari bersama album foto itu, ia berlari ke ruang tengah dan mengambil album foto ayah dan ibunya, ia bandingkan dengan kedua album foto itu… pose tiap foto di album itu, sama, dengan latar yang sama pula.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
