
Aku memandangmu dalam ribuan tanya, apakah dia yang akan menemaniku hingga kulitku mengeriput? Lelaki manis bertubuh tinggi di depanku, sedang menyeruput secangkir kopi. Cara dia memegang cangkir dan saat minum kopi begitu estetik. Seolah lukisan terpampang dengan indahnya. Tubuhnya tegak serupa bangsawan berjas panjang ketika bercengkrama dengan minuman berwarna hitam dan beraroma sangat khas.
Mataku begitu dimanjakan oleh pesonanya. Tuhan, Engkau begitu sempurna saat menciptakan karya seni yang...
Meminangmu adalah Takdirku
Aku memandangmu dalam ribuan tanya, apakah dia yang akan menemaniku hingga kulitku mengeriput? Lelaki manis bertubuh tinggi di depanku, sedang menyeruput secangkir kopi. Cara dia memegang cangkir dan saat minum kopi begitu estetik. Seolah lukisan terpampang dengan indahnya. Tubuhnya tegak serupa bangsawan berjas panjang ketika bercengkrama dengan minuman berwarna hitam dan beraroma sangat khas.
Mataku begitu dimanjakan oleh pesonanya. Tuhan, Engkau begitu sempurna saat menciptakan karya seni yang satu ini.
"Apakah kopinya enak, Rey?" tanyaku memecah keheningan. Dia terkesima,.
"Maaf-maaf kopinya begitu nikmat sehingga aku lupa ada orang lain di sini," jawabnya. Rey memberiku senyum indah, memperlihatkan barisan gigi putih yang semakin mempesona. Sekali lagi aku terpesona. Aku berusaha keras menutupi kegugupanku atas pesonanya.
"Kita kenal sudah berapa lama, May?" tanyamu sambil mengetuk cangkir kopi.
"Kamu lupa lagi atau sengaja lupa atau apalagi?"
Aku tidak menjawab tapi memberi pertanyaan kembali. Rey mengetuk keningku gemas. Dia kembali menyesap kopi hitamnya. Ini orang dari tadi minum kopi terus, tidak berani menatap, apa dia ada masalah, pikirku.
"Kamu kenapa kok kelihatan gugup begitu, sih?" tanyaku sambil mengintip wajahnya yang menunduk. Dia menggeleng, menarik napas dan melihatku dengan tatapan penuh kasih. Aku merasa geli, dia tidak seperti biasanya.
"May …."
Aku menatapnya saat Rey menyebut namaku, tapi dia kembali gugup.
"Kamu ada apa? Mengapa kamu gelisah? Ambil napas … hembuskan … tenang. Oke?" Aku mencoba menenangkan kegugupannya. Rey menuruti apa yang aku pinta, lalu saat terakhir dia menarik napas, dia menatapku.
"Ngomong saja pelan-pelan," aku memberinya senyum agar Rey tenang.
"May … ki-ki-ki-ta nikah yuk." Dalam gugupnya, Rey mengatakan sesuatu yang tak terduga.
Mataku terbelalak, mimpi apa ini orang?
"Tolong katakan lagi?" pintaku.
"Kita nikah yuk, May."
Suara Rey kembali tenang seperti biasanya. Sorot netranya teduh menatapku, apakah aku tidak salah mendengar? Aku mencoba mencari kebenaran dalam ketenangan parasnya, yang kutemukan adalah senyum tulus.
Selama ini bersahabat dengan Rey, dia tidak pernah mengatakan padaku tentang asmara maupun hal yang berbau cinta-cinta. Rey bukan tipe lelaki yang suka mengobral kata-kata cinta. Akan tetapi, dia suka memberi perhatian hal-hal kecil yang tidak pernah terpikirkan olehku.
Pernah suatu ketika, Rey mengajakku menghadiri perkawinan temannya naik motor Vespa kesayangan. Saat tiba di parkir motor, aku melepas jaket dan menyampirkan di atas motor Rey. Oleh Rey, jaketku diraih, lalu melipatnya dan ditaruh di bagasi motor.
Aku memperhatikan detail kecil apa yang dilakukan Rey, membuatku semakin kagum akan sosoknya yang kalem, tidak banyak bicara, wajah selalu tersenyum. Hati cewek mana yang tidak berkedut, salah satu cewek itu adalah aku.
Kembali, aku menatap paras Rey masa kini yang semakin dewasa dan rupawan. 'Tuhan, kalau lelaki di depanku ini adalah jodohku, lancarkanlah apa yang dia inginkan untuk kebaikan kami berdua,' doaku dalam hati.
* * * *
Aroma harum teh dan kopi menyeruak lelapku, aku keluar dari dinginnya kamar sambil meregangkan tubuh. Berjalan menuju dapur, berhenti di pintu dan menyandarkan tubuhku. Terlihat punggung lelaki yang telah sebulan ini menikahiku. Lelaki yang selalu telaten, sabar, dan memanjakanku.
Mengawali harinya dengan bangun jam tiga sampai subuh, dilanjutkan menyiapkan sarapan pagi buat kami berdua. Terkadang aku malu sendiri dikalahkan oleh kecepatannya. Namun dia selalu memahamiku, tidak pernah menuntut macam-macam. Betapa manisnya dia saat lelahnya terabaikan untuk bekerja sama membantuku menyelesaikan pekerjaan rumah. Bibirku menyunggingkan senyum indah mengingat perlakuannya.
"Pagi, May. Kenapa kamu senyum-senyum sendiri?"
Senyum cerah Rey mencerahkan pagiku, lalu dia menghampiri dan mengecup kening, jemarinya membelai surai panjangku. Alhamdulillah, Allah menganugerahkan lelaki ini untukku. Beruntung aku mengenalnya, walau melalui perkenalan tak terduga. Tanganku memeluk erat tubuh lelakiku yang telah beraroma wangi. Hmmm, harum sekali, hidungku mengendus wanginya.
Sembari memeluk, aku kembali mengingatkan kenangan saat perkenalan konyol yang membuatku selalu tertawa. Bagaimana tidak, gara-gara uang saku tertinggal di rumah aku minta uang pada seorang lelaki yang kebetulan berdiri dekat angkot. Aku minta uang padanya, lalu minta nomor telepon agar bisa mengembalikan uang yang aku pinjam.
Berawal dari pinjam uang, berlanjut saling mengirim pesan. Ternyata lelaki bernama Rey adalah kakak senior di kampusku. Hanya saja Rey jurusan kedokteran, sedang aku akuntansi.
"Apa yang kamu lamunkan, May? Pasti teringat awal kita bertemu, ya?"
Rey tertawa sambil memberiku jus wortel dan stroberi kesukaanku. Aku mengangguk, menengadahkan wajahku. Menatap kedalaman matanya yang selalu bening.
"Kalau bukan karena uang sakuku ketinggalan, entah dengan cara apalagi Tuhan mempertemukan kita. Begitu manisnya perjumpaan kita hari itu."
"Ingat nggak saat aku minta uang, kamu memandangku aneh," ucapku.
Rey mengangguk, tersenyum kecil.
"Aku selalu mengingatnya. Wajahmu pucat, belum lagi keringatmu bercucuran karena gugup, suaramu juga terbata. Aku pikir, ini cewek dari planet mana? Tapi kok manis. Tiba-tiba minta uang lagi." Rey cekikikan.
Bibirku manyun mendengar olokan Rey.
"Iya-iya aku kusam banget, jelek lagi," sungutku.
"Ehhh aku kan bilang kamu manis. Jangan manyun gitu dong bibirnya. Jadinya nggak cantik lagi." Rey menjawil gemas hidungku.
Aku mengabaikan Rey, masih merajuk meski hatiku berbunga mendengar aksara manisnya. Mataku menatap jus merah yang begitu cantik, seperti cantiknya hariku bersama lelakiku, Rey. Terima kasih Tuhan, takdirmu begitu indah.
"Rey, terima kasih sudah menjadi bagian indah dari hidupku," ucapku pelan, tersipu.
Jemari panjang Rey mengelus lembut pipiku.
"Hmmm, pagi-pagi sudah menikmati arunika yang menyembul di pipimu, May," ucap Rey terbahak menyaksikan aku semakin menunduk. Rasanya ingin bersembunyi di lubang kelinci.
'Bibir Rey sangat manis saat mengucapkan aksara indah untukku,' batinku sangat gembira.
Betapa buana yang aku huni bersama lelakiku menjadi semakin cantik.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
