
Cintaku Bersemi Di Depan Ponten
"Silakan, Mas. Duluan saja."
Aku mempersilakan seorang cowok yang terlihat terburu dengan tangan memegang perut. Tubuhnya agak membungkuk, belum lagi keringat membasahi wajahnya.
"Maaf ya, Mbak. Perut saya sakit, kena diare," sahut cowok yang bertubuh ceking. Dia segera masuk ke kamar mandi.
Sedangkan aku yang sebenarnya terburu kuliah, mungkin harus kena hukuman dari dosen lagi. 'Ya sudahlah, lebih baik aku menolong orang yang lagi sakit. Siapa tahu dia jodohku. Eh,...
Cintaku Bersemi Di Depan Ponten
"Silakan, Mas. Duluan saja."
Aku mempersilakan seorang cowok yang terlihat terburu dengan tangan memegang perut. Tubuhnya agak membungkuk, belum lagi keringat membasahi wajahnya.
"Maaf ya, Mbak. Perut saya sakit, kena diare," sahut cowok yang bertubuh ceking. Dia segera masuk ke kamar mandi.
Sedangkan aku yang sebenarnya terburu kuliah, mungkin harus kena hukuman dari dosen lagi. 'Ya sudahlah, lebih baik aku menolong orang yang lagi sakit. Siapa tahu dia jodohku. Eh, kenapa tetiba aku berdoa jodoh? Kuliah saja belum selesai,' candaku seraya menertawakan diri sendiri.
"Mbak, kenapa senyum-senyum sendiri? Hati-hati kesurupan, apalagi di depan ponten," olok cowok berkulit sawo matang yang baru saja keluar dari kamar mandi.
Aku tersipu malu, menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
"Hehehe. Perutnya sudah tidak sakit, Mas?" tanyaku mengalihkan pertanyaan.
"Eh iya, makasih. Maaf ya tadi nggak ngantri. Sudah nggak tahan ini perut," sahutnya sambil menepuk perut.
Aku mengangguk maklum.
"Kalau Mas-nya mau, saya punya obat diare." Aku menawari cowok di depanku yang memandangku dengan sorot mata bahagia.
"Mbak baik banget. Padahal kita baru bertemu. Saya kamarnya paling pojok dekat pohon mangga. Mbak sebelah mana?
"Wahhh kebetulan. Kamar saya persis di depan kamar Mas-nya," jawabku.
"Mas, saya mau mandi dulu. Sudah telat banget ini kuliah saya."
Aku segera masuk ke kamar mandi. Bibirku menyunggingkan senyum membayangkan wajah manis cowok yang baru aku mengerti kalau kamarnya tepat di depanku.
'Aku kemana saja kok tidak pernah berjumpa?' Pikirku saat di kamar mandi.
"Mbak! Namanya siapa? Saya Rahman!"
Aku terkejut mendengar teriakan cowok itu dari luar.
"Saya Ina, Mas!"
Aku pun membalasnya dengan teriakan bahagia. Usai menyudahi mandi, aku tergesa ke kamar dan berganti baju. Aku meraih tas kuliah di atas meja belajar dan tidak sengaja melihat obat diare. Mengingat kejadian di depan kamar mandi, tanganku meraih obat dan membawanya.
Ketika mengunci pintu kamar, pintu kamar di depanku terbuka. Terlihat Mas yang mengaku namanya Rahman keluar dari kamar dengan wajah pucat pasi.
"Mas Rahman, ini obat sakit perutnya. Diminum dulu, atau saya antar ke rumah sakit. Mas terlihat pucat banget," ucapku menawarkan bantuan.
Mas Rahman mengangguk, tangannya akan meraih obat yang aku bawa. Namun, baru saja memegang obat, dia sudah ambruk ke lantai.
Akhirnya, dibantu teman kos lainnya, aku membawa Mas Rahman ke rumah sakit.
* * *
Aku memandangi wajah tirus dan pucat cowok yang masih terbaring lemas di depanku. Berbaring di atas ranjang rumah sakit, tangannya diberi jarum infus. Entah infus yang keberapa, tubuhnya terlalu banyak kehabisan cairan karena diare akut.
Hampir seminggu ini, sebelum dan sesudah kuliah aku selalu mengunjungi dan menunggu Mas Rahman di rumah sakit. Perasaan sesama anak rantau membuat jiwa sosialku tumbuh.
"Na, makasih kamu sudah merawat aku. Maaf sudah merepotkan, padahal kamu juga harus kuliah."
Suara Mas Rahman terdengar masih lemas.
"Nggak apa-apa, selagi Ina mampu," jawabku dengan tersenyum.
Aku menoleh ke pintu saat terdengar ketukan dan beranjak membuka. Terlihat rombongan bapak-bapak dan ibu-ibu berseragam berdiri di depan pintu.
"Mbak, ini kamarnya Rahman?"
"Benar, Bu. Silakan masuk."
Aku mempersilakan mereka yang ingin menjenguk Mas Rahman.
"Man, kamu tidak mengenalkan istrimu pada kami?" ucap seorang bapak.
"Kamu nikah gak undang kami, Man?" sahut seorang ibu.
Rahman menyunggingkan senyum lemah, enggan membantah. Dia menatapku penuh arti.
"Kami teman satu kos beda kamar, Pak," sahutku tersipu, mengelak tudingan mereka. Mungkin parasku sekarang sudah seperti pelangi, beraneka warna.
Mereka pun terbahak saat mendengar ucapanku.
* * *
Setelah Mas Rahman sembuh, aku kembali dengan rutinitas kuliahku yang hampir lulus. Aku disibukkan dengan mengerjakan skripsi. Begitu pun dengan Mas Rahman yang sibuk dengan pekerjaan, aku tidak pernah berjumpa lagi. Dia selalu pulang malam, lebih banyak tugas luar kota. Itu yang aku dengar dari teman-teman kos.
Terkadang, secara tidak sadar aku menatap pintu seberang kamarku yang tertutup saat aku hendak berangkat kuliah. Akan tetapi, pintu itu tidak pernah terbuka. Entah apa yang kuharapkan, ataukah aku berharap pintu itu terbuka. Seolah ada sesuatu yang hilang saat aku tidak pernah bertemu lelaki penghuni kamar seberangku. Apakah aku merindukannya? Ah, tidak-tidak, gelengku keras.
Pagi itu, aku yang terbangun agak siang, bergegas ke kamar mandi. Tanpa memperhatikan sekitar, aku bergegas. Namun, tidak sengaja aku yang berjalan menunduk menabrak seseorang. Keningku membentur sesuatu yang keras.
"Aduh!" Keluhku, tanganku mengusap kening yang agak sakit.
"Makanya Na, kalau jalan jangan menunduk terus. Apakah uangmu ada yang jatuh?"
Aku melirik orang yang aku tabrak, dia meringis dan mengusap dadanya. Hatiku bertalu saat menatap paras manis itu. Belum lagi saat mendengar alunan suara lembut seseorang yang sudah hampir dua minggu ini menghilang. Aku tidak berani menatapnya, masih menata hatiku yang berdentang. 'Mengapa jantungku berdegup kencang? Ada apakah ini?' Aku bertanya heran dalam hati.
"Na, kamu baik-baik sajakah?"
Aku mengangguk, tanpa memberi jawaban, aku segera masuk kamar mandi dan menutup pintu. Menepuk dadaku yang berdetak-detak agar kembali tenang.
"Na! Beneran kamu baik-baik saja?!" Teriak Mas Rahman dari luar.
Aku menatap aliran air yang masuk ke bak penampung air yang diisi dari sumur. Mas Rahman melakukannya untukku, batinku. Senyum mengembang indah di bibirku dengan perhatian yang diberikan Mas Rahman.
"Na, sekali lagi terima kasih, kamu sudah merawatku sangat baik saat aku sakit. Maafkan aku baru hari ini bisa mengucapkan lagi terima kasih ke kamu. Bukannya aku tidak tahu terima kasih, tapi aku ditugaskan keluar kota."
'Sudah kuduga,' batinku.
Mas Rahman mengucapkan pelan saat aku baru saja menutup pintu ponten bersama. Entah mengapa, aku tidak berani menatap Mas Rahman. Mengapa hatiku menjadi tidak menentu saat bertemu Mas Rahman, apakah aku menyukainya? Aku terkejut dengan pertanyaan yang kuajukan pada diriku sendiri.
"Na, maaf kalau aku mengabaikanmu setelah aku sakit. Maaff, Na." Mas Rahman mengucapkannya penuh sesal.
"Kamu tahu 'kan kita juga belum menyimpan nomor ponsel?"
Aku mengangguk, lalu menatap di kedalaman matanya. Mencari jawaban yang ingin aku temukan. Teduh mata Mas Rahman membuatku tidak bertahan lama menatapnya. Aku kembali menunduk.
"Na, I miss you." Lirih sekali suara lelaki manis di depanku saat berucap.
Deg. Jantungku serasa berhenti sejenak, lalu semakin cepat melaju seperti lari kuda yang mengguncang sang penumpang.
Aku menengadah, senyum manis terlukis di bibir tipis Mas Rahman. 'Bagaimana bisa kamu mengucap rindu di depan ponten, Mas?' Ucapku dalam hati.
"Sudah beberapa hari ini aku menunggumu, Na. Tapi, kamu berangkat pagi pulang malam. Kamu sibuk sekali," gumam Mas Rahman.
Bibirku terdiam, takmampu berucap. Hanya hatiku yang merasakan kegembiraan luar biasa saat mendengar perkataan I miss you terucap dari seseorang yang ternyata juga aku rindukan.
* * *
Aku menatap lelaki dengan setelan adat jawa berwarna putih di sampingku. Netraku berkaca-kaca saat kata sah keluar dari penghulu dan saksi pernikahanku. Prosesi ijab kabul membuat Mas Rahman dan aku resmi menjadi sepasang suami istri.
Kini, Mas Rahman menjadi lelakiku yang paling tampan di duniaku. Waktu setahun telah menghantarkan kami menjadi pasangan yang akan saling melengkapi, saling menemani dalam suka dan duka di dunia dan akhirat.
Bulir air mataku mengalir tak tertahankan saat Mas Rahman mengecup lembut keningku. Lelakiku menatap dengan berjuta bintang menghiasi mata beningnya.
"Terima kasih, Na." Mas Rahman mendekapku erat.
TAMAT
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
