
#CeritadanRasaIndomie
Assalamualaikum. Hai semua, ini adalah memoir kisahku dengan mie instant kebanggaan negeri, Indomie, selama berada di luar negeri. Alhamdulilah, Indomie sudah mendunia. Namun, mendapatkannya tidak lah semudah waktu di Indonesia. Apa saja sih suka dukaku dengan Indomie, yuks, ikutin kisah di bawah ini. Selamat membaca. Happy reading, thank you. 😊
======
Berburu Indomie di Mancanegara
Saya teringat momen lebaran di tahun 2020, tepatnya 23 Mei. Karena situasi pandemik, keluarga besar mengadakan halal-bihalal melalui conference call. Tampak di layar video ponsel, masing-masing keluarga berbagi suasana lebaran di rumah. Mereka saling menunjukkan aneka hidangan khas lebaran: ketupat, lontong sayur, rendang, opor ayam, semur, kerupuk, dan sambal sebagai menu utama. Tak ketinggalan ragam kue kering sebagai pemanis suasana: nastar, putri salju, castangel, dan lain-lain.
Saya turut berbahagia walau hanya dapat melihat melalui layar ponsel. Tak terasa sudah dua belas tahun tidak merayakan idulfitri di tanah air karena seringkali saya mudik di luar jadwal lebaran. Merayakan idulfitri lewat conference call ini sudah biasa saya lakukan. Jarak yang cukup jauh, melintasi batas negara dan lautan, cukup membuat saya harus bersabar merayakannya secara online. Harusnya, tahun ini jatah untuk mudik, tetapi pandemik ini membuat saya dan hampir kebanyakan orang merayakan dengan cara stay at home. Selain saya, ada beberapa anggota keluarga lainnya yang juga sedang bermukim di luar negeri dan bernasib sama, tidak bisa mudik. Melalui conference call, kami merasa seakan-akan melakukan halal bi halal internasional dengan keluarga besar di Indonesia, saya di Pakistan, Tante dan kakak saya di Sydney, sepupu di Seoul, dan keponakan di Malaysia.
Tiba-tiba mereka menanyakan apa saja yang saya masak di Hari Raya. Sebenarnya itu pertanyaan standar yang nanti juga akan ditanyakan keluarga dari jalur suami.
Entah kenapa, saat itu saya hanya ingin menunjukkan, saya masak: Indomie.
Meledak tawa keluarga di sana. Tante saya yang di Australia lalu menunjukkan stok Indomie dan bahan makanan lainnya di dalam lemari. Katanya, "Efek panic buying."
Lebaran tahun ini saya memang sengaja tidak masak banyak. Pertama, sesuai pesan suami, masak sedikit saja. Alasannya karena kita tidak ada tamu dan tidak bisa juga membagi makanan di tengah suasana lock down ini. Kedua, musim panas yang suhunya menanjak naik di atas 40 derajat celcius menjadikannya rawan untuk menyimpan makanan yang terlalu lama, bahkan dalam kulkas. Ketiga, keluarga kecil kami hanya berempat. Anak-anak termasuk picky eater yang makannya juga tidak banyak.
Jadilah menu masakan hari ini hanya sheer khurma (kudapan manis sebagai tradisi di Pakistan untuk dimakan sebelum sholat eid) dan chicken biryani. Tidak ada lontong sayur. Karena percuma membuatnya jika yang makan hanya aku seorang--with that much effort. Suasana idulfitri adalah suasana yang membuat saya semakin rindu dengan tanah air, terlebih jika karena satu dan lain hal membuat saya tidak bisa mudik. Karena itu, obat kangen yang mudah dan tidak membuat lelah adalah indomie.
Jika dulu di Indonesia, Indomie adalah makanan yang terjangkau, mudah dicari dan dikonsumsi, sehingga saat itu orang-orang banyak melabeli indomie sebagai P3K, bukan Pertolongan Pertama pada Kecelakaan, tetapi Pertolongan Pertama pada Kelaparan. Banyak dari kalangan mahasiswa, pegawai kantoran, hingga ibu-ibu rumah tangga yang sudah kecapaian memasak memilih opsi makanan instan itu sebagai penyelamat.
Namun sebaliknya, ketika saya mulai menginjakkan kaki di luar negeri, Indomie menjadi barang mewah. Mewah karena langka dan termasuk barang impor, yang sudah tentu harganya lebih mahal dari mie instan lokal. Ketika saya berada di Beijing pada tahun 2009 hingga 2012, dapat dihitung dengan jari berapa kali saya dapat makan mie instan kebanggaan Indonesia itu. Harga indomie sangat mahal, beberapa kali lipat dari harga di Indonesia, dan itu cukup mahal untuk kantong mahasiswa seperti saya yang hanya hidup bergantung beasiswa pas-pas-an dari pemerintah China saat itu. Terlebih, dengan kelahiran anak pertama membuat saya harus berhemat dan bijak dalam berbelanja. Saya mencoba beradaptasi dengan mie lokal. Walaupun China terkenal akan produk mie, bagi saya rasa mie instan Indomie tetap tak tertandingi. Saya kurang menyukai mie instan lokal walaupun ada logo halalnya. Satu-satunya mie lokal yang saya suka hanyalah niu rou lamian, mie asal propinsi muslim Lanzhou. Alhamdulillah, saya masih beruntung, masih bisa mengkonsumsi Indomie dari teman-teman kuliah yang mudik ke Indonesia. Setiap kali mereka kembali, mereka suka berbagi makanan yang paling kami tunggu: Indomie. Seakan ada komitmen tak tertulis bahwa indomie adalah makanan wajib untuk dibawa dari Indonesia.
Tidak hanya di Beijing, Indomie juga menjadi makanan yang dirindukan dan dihargai karena kemewahanya saat saya tinggal di Moskow. Karena keterbatasan mendapat mie instan halal lokal, Indomie menjadi barang yang saya elu-elukan. Ketika berangkat ke Rusia, saya membawa stok indomie cukup banyak, itupun diirit-irit masaknya. Ketika stok habis, saya cukup merana, terlebih di musim dingin yang lebih panjang dari musim panas. Saat kedinginan di musim dingin Moskow--yang dinginnya lebih dingin dari freezer kulkas, saya sering merindukan sup hangat dari Indomie ayam kari, seperti merindukan tanah air. Namun, alhamdulilah, saya lagi-lagi beruntung, ketika ada rombongan turis Indonesia yang melancong ke Moskow, saya dapat juga oleh-oleh Indomie dari mereka. Walau sedikit, lumayan mengobati rasa kangen.
Kemudian ketika tinggal di Pakistan, saya mendapati produk mie instan lokal sebagian besar pasar dikuasai dua merk ternama, Knorr dan Maggi. Cara masak dan menyajikan ala orang Pakistan pun berbeda dengan lazimnya pencinta mie di Indonesia dan Asia Timur. Mereka merebusnya hingga airnya habis dan tekstur mie sangat lembek. Waktu itu, di tahun 2012, Indomie masih belum ada di sana. Alhamdulilah di tahun-tahun berikutnya Indomie mulai penetrasi ke market Pakistan. Sebenarnya, produk Indomie yang beredar di Pakistan ditujukan untuk pasar Timur Tengah dan Asia Selatan sehingga menyesuaikan rasanya, tanpa minyak. Namun, bagi saya rasa ini menjadi tidak otentik dan kurang gurih dibandingkan Indomie yang diproduksi di tanah air. Produk Indomie di Pakistan pun masih cukup langka, tidak di semua supermarket menyediakan. Walaupun harganya tiga kali lipat dari harga lokal, suami masih mau membelikan. Sayangnya, yang paling banyak dijual hanya beberapa varian rasa: kari ayam, soto ayam, dan daging, jarang yang menjual Indomie goreng, padahal itu satu-satunya Indomie yang anak-anak saya sukai. Saya menyetok Indomie di rumah sebagai makanan darurat, terutama kala bepergian. Tidak semua makanan luar mudah dimakan anak saya, maka Indomie kembali jadi penyelamat. Baik traveling ke luar kota, ke pegunungan Himalaya, ke wilayah Kashmir dan Hunza, ke luar negeri, Indomie selalu ada dalam stok bekal makanan.
Indomie memang barang mewah. Saya ingat ketika pertama kali membeli dari teman yang memiliki bisnis kargo pada tahun 2019, dia menghargai sebungkusnya Rs 65 (kira-kira seharga Rp 6500 jika mengacu kurs saat itu). Lalu di tahun berikutnya, naik menjadi rs 100 perbungkus, dan terakhir saya membeli di bulan April 2022, sebungkusnya seharga Rs 150. Apa daya, saya tetap membelinya demi anak-anak. Saya sudah mencoba memasak mie dengan bumbu sendiri, tetapi anak saya tetap hanya menyukai Indomie goreng. Baru beberapa bulan terakhir ini saya berhenti membeli Indomie karena ada kebijakan pelarangan import beberapa komoditi untuk menstabilkan kurs rupees Pakistan yang terus jatuh.

Ingat Indomie, ingat tanah air. Karena itu, Indomie selalu di hati. Dirgahayu ke-50 tahun, Indomie-ku. Jayalah selalu.
-------
Milana
Lhr, 31/7/2022
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
